Senin, 15 Februari 2016

WASIAT

A.  PENGERTIAN
Wasiat menurut bahasa artinya berpesan, kata wasiat di dalam al-Quran sebanyak 9 kali. Dalam bentuk kata kerja, wasiat disebut 14 kali dan dalam bentuk kata benda jadian disebut 2 kali. Seluruhnya di dalam al-Quran disebut sebanyak 25 kali[1].
Sayid sabiq mengemukakan, bahwa wasiat itu adalah pemberian seseorang kepada orang lain, berupa benda, utang atau manfaat, agar si penerima memiliki benda itu setelah si pewasiat meninggal. Ada juga yang mengatakan, bahwa wasiat adalah penyerahan hak atas harta tertentu dari seseorang kepada orang lain secara sukarela yang pelaksanaannya ditangguhkan hingga pemilik harta meninggal dunia[2].
Pendapat lain mengatakan, bahwa wasiat adalah pemilikan yang disandarkan pada sesudah meninggalnya si pewasiat dengan jalan tabarru’ (kebaikan tanpa menuntut imbalan. Fuqaha’ hanafiyah mengatakan, bahwa wasiat adalah tindakan seseorang memberikan hak kepada orang lain untuk memiliki sesuatu baik berupa benda atau manfaat secara sukarela (tabarru’) yang pelaksanaannya ditangguhkan setelah peristiwa kematian orang yang memberi wasiat[3].
Fuqaha’ Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah memberikan definisi yang lebih rinci; yaitu suatu transaksi yang mengharuskan si penerima wasiat berhak memiliki 1/3 harta peninggalan si pemberi setelah meninggal, atau yang mengharuskan penggantian hak 1/3 harta si pewasiat kepada penerima[4].
Dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 171 huruf f disebutkan, bahwa wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.

B.   SYARAT-SYARAT
1.      Pewasiat
Pemberi wasiat diisyaratkan kepada orang dewasa yang cakap melakukan perbuatan hukum, mereka dalam pengertian bebas memilih dan tidak mendapat paksaan. Ulama berbeda pendapat mengenai wasiat anak-anak. Imam Malik memandang sah kalau anak-anak itu sudah mumayyiz, tetapi Abu Hanifah tidak membnarkan wasiat anak-anak, baik yang sudah mumayyiz ataupun yang belum mumayyiz[5].
Di dalam Kompilasi Hukum Islam, pada pasal 194 ayat (1) disebutkan, bahwa “orang yang berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa ada paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga”.
2.      Penerima wasiat
Para ulama sepakat, bahwa orang-orang atau badan yang menerima wasiat adalah bukan ahli waris dan secara hukum dapat dipandang sebagai cakap untuk memiliki suatu hak atau benda[6].
Riwayat dari Abu Umamah, berkata bahwa ia mendengar Rasulullah SAW. Bersabda dalam khutbah tahun haji wada’:
إنٌ الله قد أعطى لكلٌ ذي حقٌه فلا وصيُة لوارث (رواه الترمزي)
Artinya  :  “sesungguhnya Allah telah memberikan kepada orang yang mempunyai hak akan hak-haknya, maka tidak sah wasiat bagi ahli waris. (HR. Turmuzi)”

Pendapat yang membolehkan wasiat kepada ahli waris dengan syarat apabila ahli waris lain menyetujui adalah mazhab Syafi’iyah, Hanafiyah dan Malikiyah[7]. Dasarnya:
لا وصيٌة لوارث إلآ أن يجيز الورثة (رواه الدارقطني)
Artinya  :  “tidak sah wasiat kepada ahli waris, kecuali apabila ahli waris lain membolehkannya. (HR. Daruqthuny)”

Pasal 195 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan, bahwa wasiat kepda ahli waris hanya berlaku apabila disetujui oleh semua ahli waris. Kemudian, pada pasal 208 disebutkan bahwa wasiat tidak berlaku bagi notaris dan saksi-saksi pembuat akte tersebut.

3.      Harta atau barang yang diwasiatkan
Tidak sah mewasiatkan harta atau barang yang belum jelas statusnya. Harta itu mempunyai nilai yang jelas atau bermanfaat bagi penerima wasiat, bukan harta atau barang-barang yang diharamkan atau yang akan membawa kemudaratan bagi penerima wasiat[8].
Kompolasi Hukum Islam pasal 194 ayat (2)menyatakan, harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat. Dan pasal 195 ayat (2) menyebutkan, wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui.


C.  YANG TIDAK BOLEH MENERIMA WASIAT
Kompilasi Hukum Islam pasal 207 mneyebutkan, “wasiat tidak diperbolehkan kepada orang yang melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang dan kepada orang memberikan tuntutan kerohanian sewaktu ia menderita sakit hingga meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jasa untuk membalas jasa”. Dan pada pasal 208, “wasiat tidak berlaku bagi notaris dan saksi-saksi pembuat akte tersebut”.
Pengeturan tersebut, dimaksudkan agar tidak terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan wasiat mengingat orang-orang yang disebut dalam pasal 207 dan 208 terlibat langsung dalam wasiat tersebut.
Satu hal yang perlu ditambahkan di sini, bahwa yang tidak boleh menerima wasiat adalah orang atau badan yang diketahui telah mempraktekkan dan menyalahgunakan tindakannya untuk kepentingan maksiat. Misalnya, seorang berwasiat 10 ha lahannya untuk diskotik atau bar, maka tidak perlu dilaksanakan, karena badan ini tidak berhak menerimanya[9].

D.  BATALNYA WASIAT
Pasal 197 Kompilasi Hukum Islam, menyebutkan:
(1)   Wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dihukum karena:
a.       Diperslahkan karena membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat kepada pewasiat.
b.      Dipersalahkan secara menfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
c.       Dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut atau merubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat.
d.      Dipersalahkan karena telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat wasiat dari pewasiat.
(2)   Wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu:
a.       Tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai ia meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat
b.      Mengetahui adanya wasiat itu, tapi ia menolak untuk menerimanya.
c.       Mengetahui adanya wsiat itu, tapi tidak pernah menyatakan menerima atau menolak sampai ia meninggal sebelum meninggalnya pewasiat.
(3)   Wasiat menjadi batal apabila barang yang diwasiatkan musnah.

Memperhatikan isi pasal 197 tersebut, dapat diperoleh kesan bahwa ketentuan batalnya wasiat tersebut dianalogikan kepada mawani’ al-irs (penghalang dalam kewarisan) mekipun tidak seluruhnya. Namun karena tujuannya jelas, yaitu karena demi terealisasikannya tujuan wasiat itu, maka ketentuan pasal tersebut perlu disosialisasikan[10].
Sayid Sabiq berpendapat, bahwa yang membatalkan wasiat yaitu:
a.       Jika pewasiat menderita gila hingga meninggal
b.      Jika penerima wasiat meninggal sebelum pewasiat meninggal
c.       Jika benda yang diwasiatkan rusak sebelum diterima oleh orang atau badan yang menerima wasiat[11].
Peunoh Daly merincikan hal-hal yang menjadikan wasiat batal ke dalam 7 hal, yaitu:
a.       Yang menerima wasiat dengan sengaja membunuh pemberi wasiat
b.      Yang menerima wasiat meninggal lebih dahulu dari si pemberi wasiat
c.       Yang menerima wasiat menolak wasiat yang diberikan itu sesudah meninggalnya si pewsiat
d.      Yang mewasiat menarik kembali wasiatnya
e.       Yang memberi wasiat hilang kecakapannya dalam melakukan hukum karena gila terus-menerus sampai meninggal[12].

E.   PENCABUTAN WASIAT
Pencabutan wasiat ini hanya ada wewenang pada tangan si pewasiat, dia berhak mencabut Wsiat kapan saja. Wasiat itu suatu keharusan yang harus dilaksanakan oleh seorang untuk memberi wasiat atau menerima wasiat. Oleh karena itu, orang yang memberi wasiat itu boleh saja menarik kembali wasiat yang dinyatakan, baik itu wasiat yang berkenaan dengan kekuasaan atau wilayah. Pencabutan kembali wasiat itu dapat dilaksanakan dengan lisan atau dengan perbuatan, seperti seseorang mewariskan sebidang tanah untuk orang lain, kemudian orang yang mewasiatkan itu menjual tanah tersebut kepada pihak lain lagi tanpa memberitahukan kepada orang yang telah menerima wasiat itu.
KHI pasal 199
(1)   Pewasiat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum menyatakan persetujuannya tetapi kemudian menarik kembali.
(2)   Pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disakasikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akte notaris bila wasit terdahulu dibuat secara lisan.
(3)   Bila waasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat dicabut secara tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akte notaris.
(4)   Bila wasiat dibuat berdasarkan akte notaris, maka hanya dapat dicabut dengan akte notaris.

BAB III
PENUTUP
A.     KESIMPULAN
1.      Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
2.      Syarat-syarat dari wasiat itu adalah meliputi pewasiat, penerima wasiat dan barang yang diwasiatkan.
3.      Wasiat tidak diperbolehkan kepada orang yang melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang dan kepada orang memberikan tuntutan kerohanian sewaktu ia menderita sakit hingga meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jasa untuk membalas jasa
4.      Wasiat batal apabila dianalogikan kepada mawani’ al-irs (penghalang dalam kewarisan).
5.      Pencabutan wasiat terjadi apabila pewasiat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum menyatakan persetujuannya tetapi kemudian menarik kembali.

B.     SARAN
Agar pelaksanaan wasiat dapat terlaksana denngan semestinya serta menjaga dari keutuhan dari wasiat tersebut, maka hendaklah kita memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah diatur mengenai wasiat ini. Karena wasiat merupakan penyerahan hara dari seeseorang kepada orang lain. Supaya tidak terjadinya sengketa pada hal ini, maka sepatutnya kita memenuhi ketentuan yang telah dibut oleh negara kita.




[1] Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 438
[2] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal. 140
[3] Ahmad Rafiq, Op.cit, hal. 439
[4] Ibid, hal. 439
[5] Zainuddin Ali, Op.cit, hal. 142
[6] Ahmad Rafiq, Op.cit, hal. 451
[7] Ibid, hal. 452
[8] Zainuddin Ali, Op.cit, hal. 142
[9] Ahmad Rafiq, Op.cit, hal. 458
[10] Ahmad Rafiq, Op.cit, hal. 459
[11] Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, juz 3 (Kairo: Maktabah Dar al-Turas), hal. 423
[12] Ahmad Rafiq, Op.cit, hal. 460

Tidak ada komentar:

Posting Komentar