Wasiat menurut bahasa artinya berpesan, kata wasiat di dalam
al-Quran sebanyak 9 kali. Dalam bentuk kata kerja, wasiat disebut 14 kali dan
dalam bentuk kata benda jadian disebut 2 kali. Seluruhnya di dalam al-Quran
disebut sebanyak 25 kali[1].
Sayid sabiq mengemukakan, bahwa wasiat itu adalah pemberian
seseorang kepada orang lain, berupa benda, utang atau manfaat, agar si penerima
memiliki benda itu setelah si pewasiat meninggal. Ada juga yang mengatakan,
bahwa wasiat adalah penyerahan hak atas harta tertentu dari seseorang kepada
orang lain secara sukarela yang pelaksanaannya ditangguhkan hingga pemilik
harta meninggal dunia[2].
Pendapat lain mengatakan, bahwa wasiat adalah pemilikan yang disandarkan
pada sesudah meninggalnya si pewasiat dengan jalan tabarru’ (kebaikan
tanpa menuntut imbalan. Fuqaha’ hanafiyah mengatakan, bahwa wasiat adalah
tindakan seseorang memberikan hak kepada orang lain untuk memiliki sesuatu baik
berupa benda atau manfaat secara sukarela (tabarru’) yang pelaksanaannya
ditangguhkan setelah peristiwa kematian orang yang memberi wasiat[3].
Fuqaha’ Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah memberikan definisi
yang lebih rinci; yaitu suatu transaksi yang mengharuskan si penerima wasiat
berhak memiliki 1/3 harta peninggalan si pemberi setelah meninggal, atau yang
mengharuskan penggantian hak 1/3 harta si pewasiat kepada penerima[4].
Dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 171 huruf f disebutkan,
bahwa wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau
lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
B.
SYARAT-SYARAT
1.
Pewasiat
Pemberi wasiat diisyaratkan kepada
orang dewasa yang cakap melakukan perbuatan hukum, mereka dalam pengertian
bebas memilih dan tidak mendapat paksaan. Ulama berbeda pendapat mengenai wasiat
anak-anak. Imam Malik memandang sah kalau anak-anak itu sudah mumayyiz, tetapi
Abu Hanifah tidak membnarkan wasiat anak-anak, baik yang sudah mumayyiz
ataupun yang belum mumayyiz[5].
Di dalam Kompilasi Hukum Islam, pada
pasal 194 ayat (1) disebutkan, bahwa “orang yang berumur sekurang-kurangnya 21
tahun, berakal sehat dan tanpa ada paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta
bendanya kepada orang lain atau lembaga”.
2.
Penerima wasiat
Para ulama sepakat, bahwa
orang-orang atau badan yang menerima wasiat adalah bukan ahli waris dan secara
hukum dapat dipandang sebagai cakap untuk memiliki suatu hak atau benda[6].
Riwayat dari Abu Umamah, berkata
bahwa ia mendengar Rasulullah SAW. Bersabda dalam khutbah tahun haji wada’:
إنٌ الله قد أعطى لكلٌ ذي حقٌه فلا وصيُة لوارث (رواه
الترمزي)
Artinya : “sesungguhnya Allah telah memberikan kepada
orang yang mempunyai hak akan hak-haknya, maka tidak sah wasiat bagi ahli waris.
(HR. Turmuzi)”
Pendapat yang membolehkan wasiat
kepada ahli waris dengan syarat apabila ahli waris lain menyetujui adalah
mazhab Syafi’iyah, Hanafiyah dan Malikiyah[7]. Dasarnya:
لا وصيٌة لوارث إلآ أن يجيز الورثة (رواه
الدارقطني)
Artinya : “tidak sah wasiat kepada ahli waris,
kecuali apabila ahli waris lain membolehkannya. (HR. Daruqthuny)”
Pasal 195 ayat (3) Kompilasi Hukum
Islam menyebutkan, bahwa wasiat kepda ahli waris hanya berlaku apabila
disetujui oleh semua ahli waris. Kemudian, pada pasal 208 disebutkan bahwa
wasiat tidak berlaku bagi notaris dan saksi-saksi pembuat akte tersebut.
3.
Harta atau
barang yang diwasiatkan
Tidak sah mewasiatkan harta atau
barang yang belum jelas statusnya. Harta itu mempunyai nilai yang jelas atau
bermanfaat bagi penerima wasiat, bukan harta atau barang-barang yang diharamkan
atau yang akan membawa kemudaratan bagi penerima wasiat[8].
Kompolasi Hukum Islam pasal 194 ayat
(2)menyatakan, harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.
Dan pasal 195 ayat (2) menyebutkan, wasiat hanya diperbolehkan
sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli
waris menyetujui.
C. YANG TIDAK BOLEH MENERIMA WASIAT
Kompilasi Hukum Islam pasal 207 mneyebutkan, “wasiat tidak
diperbolehkan kepada orang yang melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang
dan kepada orang memberikan tuntutan kerohanian sewaktu ia menderita sakit hingga
meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jasa untuk membalas jasa”.
Dan pada pasal 208, “wasiat tidak berlaku bagi notaris dan saksi-saksi pembuat
akte tersebut”.
Pengeturan tersebut, dimaksudkan agar tidak terjadi penyimpangan
dalam pelaksanaan wasiat mengingat orang-orang yang disebut dalam pasal 207 dan
208 terlibat langsung dalam wasiat tersebut.
Satu hal yang perlu ditambahkan di sini, bahwa yang tidak boleh
menerima wasiat adalah orang atau badan yang diketahui telah mempraktekkan dan
menyalahgunakan tindakannya untuk kepentingan maksiat. Misalnya, seorang
berwasiat 10 ha lahannya untuk diskotik atau bar, maka tidak perlu
dilaksanakan, karena badan ini tidak berhak menerimanya[9].
D. BATALNYA WASIAT
Pasal 197 Kompilasi Hukum Islam, menyebutkan:
(1)
Wasiat menjadi
batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan keputusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap dihukum karena:
a.
Diperslahkan
karena membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat kepada pewasiat.
b.
Dipersalahkan
secara menfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan
suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman lima tahun penjara atau hukuman
yang lebih berat.
c.
Dipersalahkan
dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut
atau merubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat.
d.
Dipersalahkan
karena telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat wasiat dari
pewasiat.
(2)
Wasiat menjadi
batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu:
a.
Tidak
mengetahui adanya wasiat tersebut sampai ia meninggal dunia sebelum
meninggalnya pewasiat
b.
Mengetahui
adanya wasiat itu, tapi ia menolak untuk menerimanya.
c.
Mengetahui
adanya wsiat itu, tapi tidak pernah menyatakan menerima atau menolak sampai ia
meninggal sebelum meninggalnya pewasiat.
(3)
Wasiat menjadi
batal apabila barang yang diwasiatkan musnah.
Memperhatikan isi pasal 197 tersebut, dapat diperoleh kesan bahwa
ketentuan batalnya wasiat tersebut dianalogikan kepada mawani’ al-irs
(penghalang dalam kewarisan) mekipun tidak seluruhnya. Namun karena tujuannya
jelas, yaitu karena demi terealisasikannya tujuan wasiat itu, maka ketentuan
pasal tersebut perlu disosialisasikan[10].
Sayid Sabiq berpendapat, bahwa yang membatalkan wasiat yaitu:
a.
Jika pewasiat
menderita gila hingga meninggal
b.
Jika penerima
wasiat meninggal sebelum pewasiat meninggal
c.
Jika benda yang
diwasiatkan rusak sebelum diterima oleh orang atau badan yang menerima wasiat[11].
Peunoh Daly merincikan hal-hal yang menjadikan wasiat batal ke
dalam 7 hal, yaitu:
a.
Yang menerima
wasiat dengan sengaja membunuh pemberi wasiat
b.
Yang menerima
wasiat meninggal lebih dahulu dari si pemberi wasiat
c.
Yang menerima
wasiat menolak wasiat yang diberikan itu sesudah meninggalnya si pewsiat
d.
Yang mewasiat
menarik kembali wasiatnya
e.
Yang memberi
wasiat hilang kecakapannya dalam melakukan hukum karena gila terus-menerus
sampai meninggal[12].
E.
PENCABUTAN
WASIAT
Pencabutan wasiat ini hanya ada wewenang pada tangan si pewasiat,
dia berhak mencabut Wsiat kapan saja. Wasiat itu suatu keharusan
yang harus dilaksanakan oleh seorang untuk memberi wasiat atau menerima wasiat.
Oleh karena itu, orang yang memberi wasiat itu boleh saja menarik kembali
wasiat yang dinyatakan, baik itu wasiat yang berkenaan dengan kekuasaan atau
wilayah. Pencabutan kembali wasiat itu dapat dilaksanakan dengan lisan atau
dengan perbuatan, seperti seseorang mewariskan sebidang tanah untuk orang lain,
kemudian orang yang mewasiatkan itu menjual tanah tersebut kepada pihak lain
lagi tanpa memberitahukan kepada orang yang telah menerima wasiat itu.
KHI pasal 199
(1)
Pewasiat
mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum menyatakan persetujuannya
tetapi kemudian menarik kembali.
(2)
Pencabutan
wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disakasikan oleh dua orang saksi atau
berdasarkan akte notaris bila wasit terdahulu dibuat secara lisan.
(3)
Bila waasiat
dibuat secara tertulis, maka hanya dapat dicabut secara tertulis dengan
disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akte notaris.
(4)
Bila wasiat dibuat
berdasarkan akte notaris, maka hanya dapat dicabut dengan akte notaris.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1.
Wasiat adalah
pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan
berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
2.
Syarat-syarat
dari wasiat itu adalah meliputi pewasiat, penerima wasiat dan barang yang
diwasiatkan.
3.
Wasiat tidak
diperbolehkan kepada orang yang melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang
dan kepada orang memberikan tuntutan kerohanian sewaktu ia menderita sakit
hingga meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jasa untuk membalas
jasa
4.
Wasiat batal apabila
dianalogikan kepada mawani’ al-irs (penghalang dalam kewarisan).
5.
Pencabutan
wasiat terjadi apabila pewasiat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat
belum menyatakan persetujuannya tetapi kemudian menarik kembali.
B.
SARAN
Agar pelaksanaan wasiat dapat terlaksana denngan semestinya serta
menjaga dari keutuhan dari wasiat tersebut, maka hendaklah kita memenuhi
ketentuan-ketentuan yang telah diatur mengenai wasiat ini. Karena wasiat
merupakan penyerahan hara dari seeseorang kepada orang lain. Supaya tidak
terjadinya sengketa pada hal ini, maka sepatutnya kita memenuhi ketentuan yang
telah dibut oleh negara kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar