Kamis, 18 Februari 2016

Imam Izzuddin bin Abdussalam

Ringkasan Biografi Imam Izzuddin bin Abdussalam dan kitabnya Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam
Imam Izzuddin bin Abdussalam
 Ia dilahirkan di Damaskus. Mengenai tahun kelahirannya, para sejarawan berbeda pendapat. Ada yang mengatakan, ia dilahirkan pada tahun 577 H. Sebagian mencatat bahwa ia lahir tahun 578 H. Namun pendapat pertama lebih kuat. Imam agung ini wafat pada tahun 660 H di Kairo. Gelar Izzuddin diberikan sesuai dengan adat pada masa itu. Setiap khalifah, sultan, pejabat, terlebih lagi para ulama diberi tambahan gelar pada namanya. Gelar ini nantinya lebih melekat dalam dirinya. Sehingga ia lebih dikenal dengan nama Izzuddin bin Abdussalam atau Al-Izz bin Abdussalam.
 Di samping itu, ia juga digelari Sulthan Al-Ulama (raja para ulama) oleh muridnya, Ibnu Daqiq Al-id. Ini sebagai legitimasi atas kerja keras beliau menjaga reputasi para ulama pada masanya. Usaha itu diimplementasikan dalam sikap-sikapnya yang tegas saat melawan tirani dan kediktatoran. Beliaulah yang mengomandani para ulama dalam beramar ma’ruf nahi mungkar. Selama beberapa tahun ia menjabat qadhi di kota Damaskus. Namun, karena tidak sejalan dengan penguasa di kota itu, beliau hijrah menuju Mesir. Ia akhirnya bermukim di kota Kairo. Najmuddin Ayyub, penguasa kota saat itu, menyambut kedatangannya. Ia kemudian ditasbihkan sebagai khatib masjid Jami’ Amr bin Al-Ash dan Qadhi di Kairo.
          
Para Guru dan Muridnya
Ia berguru kepada Syaikh Fahruddin bin Asakir, belajar ushul dari Syaikh Saifuddin Al-Amidi, belajar hadits dari Al-Hafizh Abu Muhammad Al-Qasim dan Al-Hafizh Al-Kabir Abu Al-Qasim bin Asakir. Ia juga menimba ilmu dari Barakat bin Ibrahim Al-Kasyu’I, Al-Qadhi Abdusshamad bin Muhammad Al-Harastani, dan lain-lain. Demikian menurut Imam As-Subki dalam Thabaqat Asy-Syafi’iyah.
Imam As-Subki juga menyebut sebagian murid-murid Imam Al-Izzu di antaranya: Ibnu Daqiq Al-Id, Imam Alaudin Abu Muhammad Ad-Dimyathi, dan Al-Hafizh Abu Bakar Muhammad bin Yusuf bin Masdi.
Karya-karyanya
Izzuddin Al-Husaini menilai Imam Al-Izzu sebagai tokoh sentral ilmu pada masanya yang menguasai berbagai disiplin keilmuan. Adapun menurut ulama lainnya, Imam Al-Izzu adalah Sultanul Ulama dan Syaikhul Ulama. Ia bagaikan lautan ilmu dan pengetahuan. Ia termasuk orang yang disebut “ilmunya lebih banyak daripada karyanya”. Di antara karya-karya beliau adalah:
  1. Al-Qawaid Al-Kubro
  2. Al-Qawaid As-Shughra
  3. Qawaidhul Ahkam fi Masalihil Anam
  4. Al-Imamah fi Adillatil Ahkam
  5. Al-Fatawa Al-Misriyah
  6. Al-Fatawa Al-Maushuliyah
  7. Majaz Al-Qur’an
  8. Syajarah Al-Ma’arif
  9. At-Tafsir
  10. Al-Ghayah fi Ikhtishar An-Nihayah
  11. Mukhtasar Shahih Muslim dan lain-lain
Semoga Allah mensucikan ruhnya dan memberikan pahala yang sempurna kepada beliau atas amal dan jihadnya. Semoga kaum Muslimin memperoleh keberkahan ilmunya demi kejayaan Islam dan Muslimin.
Kitab Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam
 Imam Izzuddin bin 'Abdussalam, seorang ulama bermadzhab Syafi'i yang wafat pada tahun 660 H menulis sebuah kitab yang diberi judul Qawa'idul Ahkam fii Mashalihil Anam. Kitab ini menjelaskan berbagai maslahat yang terkandung di dalam amal ibadah, muamalat, dan berbagai aktivitas seorang hamba.
 Ia memberikan penjelasan  berkenaan  dengan tujuan  penulisan  kitab ini,  "Tujuan  penulisan kitab ini ialah untuk  memberikan   penjelasan   tentang   pelbagai   maslahat dalam melakukan  ketaatan,  mu'amalah,  dan tingkah laku  supaya  para hamba berupaya   mencapainya; memberikan  penjelasan  mengenai mudharat menentang  ajaran Allah, agar mereka bisa menghindarinya; memberikan  penjelasan  mengenai  maslahat berbagai ibadah agar mereka  melakukannya;   penjelasan   mengenai   didahulukannya sebagian   kemaslahatan   atas   sebagian   yang   lain,   dan diakhirkannya sebagian mafsadat atas mafsadat  yang  lain; serta   penjelasan  mengenai  perbuatan  yang  dilakukan  oleh manusia yang dia tidak mempunyai kekuasaan untuk melakukannya.”
 Ia melanjutkan,”Syari'ah  agama  ini  secara  keseluruhan  mengandung berbagai macam kemaslahatan; baik berupa penolakan  terhadap  kerusakan atau  pengambilan  kemaslahatan. Jika Anda mendengarkan firman Allah: "Wahai orang-orang yang beriman," maka perhatikan pesan yang  datang  setelah  panggilan  ini,  pasti  Anda tidak akan menemukan  kecuali  kebaikan  yang  dianjurkan  olehnya,  atau keburukan  yang  Anda dilarang melakukannya, atau keduanya sekaligus.
Kelebihan kitab ini terletak pada kecermatan penulisnya dalam mengklasifikasi maslahat dan mafsadat sesuai dengan tingkatannya. Selanjutnya ia memaparkan secara lugas alasan-alasan pengklasifikasian itu berdasarkan nash-nash yang ada. Di sini, tampak sekali kualitas keilmuan penulis dalam memahami Maqasid As-syari’ah (tujuan penetapan syariat) secara mendalam dan komprehensif.
Tokoh kita kali inilah termasuk peletak dasar fiqhul Aulawiyat (Fiqih Prioritas) di samping Imam Al-Ghazali. Demikianlah menurut penuturan Dr. Yusuf Al-Qaradhawi. Ulama kontemporer ini pun sebelum menulis kitab Fiqhul Aulawiat harus mendalami kitab karya Imam Al-Izzu ini terlebih dahulu, sebagaimana ia mendalami kitab Ihya Ulumiddin karya Imam Al-Ghazali.
Membaca kitab Qawa'idul Ahkam fii Mashalihil Anam, mengajarkan bagaimana kita memahami posisi Maqasid As-Syariah terhadap nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kitab ini adalah jawaban bagi mereka yang mencoba membenturkan antara nash dengan maqasid dan mereka yang mengabaikan kandungan maqasid di dalam nash. Tampak sekali dalam kitab ini fleksibelitas syariat Islam berkat orisinalitas pemikiran Imam Izzuddin bin Abdussalam.
BAB BID’AH
Bid’ah adalah perbuatan yang tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah. Bid’ah terbagi kepada lima bagian, yaitu;
wajib, haram, mandub, makruh dan mubah. Untuk mengetahui pembagian bid’ah tersebut dapat diketahui melalui undang-undang agama.
a.       bid’ah wajib; mendalami ilmu nahu untuk memahami kalamullah dan sabda rasul. Untuk memahami hal itu wajib, karena memelihara agama adalah suatu kewajiban dan tidak sempurnalah yang wajib kecuali dengan melakukan yang wajib juga. Memelihara kata-kata yang ganjil yang terdapat dalam kitab dan sunnah dari segi ilmu lugah. Mengumpulkan dasar-dasar fiqh. Perkataan dalam mencela dan memuji untuk membedakan mana yang baik dari perkataan yang tidak baik. Dan undang-undang syariah menjadi dasar bahwa memelihara agama itu fardu kifayah walaupun tidak rasional, dan seperti itulah dalam menjaga agama.
b.      bid’ah haram, diantaranya; mazhab qadariyah, jabariyah, murjiah, mujassimah. Penganut empat mazhab ini menolak adanaya bid’ah wajib.
c.       bidah mandub; membuat ikatan persaudaraan, mengajar, membangun gedung tinggi.      Setiap kebaikan yang tidak ada pada masa Rasul. Shalat tarawih. Pembahasan tentang tasawuf. Pembahasan tentang debat untuk mencari solusi dalam suatu masalah.
d.      bid’ah makruh; menghiasi mesjid, kaligrafi, seperti tulisan menghiasi alquran sampai merobah lafaz alquran dari segi bahasa arab. Yang lebih tepat bahwa contoh tersebut adalah untuk bid’ah haram.

e.       bid’ah mubah; bersalam-salaman mengiringi subuh dan ashar. Berlapang-lapang dalam bergembira diantaranya makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan pakaian kebesaran, melebarkan lengan baju, dan terkadang-kadang menyalahi sebagian demikian. Maka sebagian ulama menjadikan contoh tersebut menjadi makruh dan sebagian lagi mengatakan itu adalah tradisi yang dilakukan yang ada pada masa Rasul dan setelah itu, seperti ta’auz dan basmalah dalam shalat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar