![](file:///C:/Users/COMFOR~1/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
Imam Izzuddin bin Abdussalam
Ia dilahirkan di Damaskus. Mengenai tahun
kelahirannya, para sejarawan berbeda pendapat. Ada yang mengatakan, ia
dilahirkan pada tahun 577 H. Sebagian mencatat bahwa ia lahir tahun 578 H.
Namun pendapat pertama lebih kuat. Imam agung ini wafat pada tahun 660 H di
Kairo. Gelar Izzuddin diberikan sesuai dengan adat pada masa itu. Setiap
khalifah, sultan, pejabat, terlebih lagi para ulama diberi tambahan gelar pada
namanya. Gelar ini nantinya lebih melekat dalam dirinya. Sehingga ia lebih
dikenal dengan nama Izzuddin bin Abdussalam atau Al-Izz bin Abdussalam.
Di samping itu, ia juga digelari Sulthan
Al-Ulama (raja para ulama) oleh muridnya, Ibnu Daqiq Al-id. Ini sebagai
legitimasi atas kerja keras beliau menjaga reputasi para ulama pada masanya.
Usaha itu diimplementasikan dalam sikap-sikapnya yang tegas saat melawan tirani
dan kediktatoran. Beliaulah yang mengomandani para ulama dalam beramar ma’ruf
nahi mungkar. Selama beberapa tahun ia menjabat qadhi di kota Damaskus. Namun,
karena tidak sejalan dengan penguasa di kota itu, beliau hijrah menuju Mesir.
Ia akhirnya bermukim di kota Kairo. Najmuddin Ayyub, penguasa kota saat itu,
menyambut kedatangannya. Ia kemudian ditasbihkan sebagai khatib masjid Jami’
Amr bin Al-Ash dan Qadhi di Kairo.
Para Guru dan Muridnya
Ia berguru kepada Syaikh Fahruddin bin Asakir,
belajar ushul dari Syaikh Saifuddin Al-Amidi, belajar hadits dari Al-Hafizh Abu
Muhammad Al-Qasim dan Al-Hafizh Al-Kabir Abu Al-Qasim bin Asakir. Ia juga
menimba ilmu dari Barakat bin Ibrahim Al-Kasyu’I, Al-Qadhi Abdusshamad bin
Muhammad Al-Harastani, dan lain-lain. Demikian menurut Imam As-Subki dalam Thabaqat
Asy-Syafi’iyah.
Imam As-Subki juga menyebut sebagian
murid-murid Imam Al-Izzu di antaranya: Ibnu Daqiq Al-Id, Imam Alaudin Abu
Muhammad Ad-Dimyathi, dan Al-Hafizh Abu Bakar Muhammad bin Yusuf bin Masdi.
Karya-karyanya
Izzuddin Al-Husaini menilai Imam Al-Izzu
sebagai tokoh sentral ilmu pada masanya yang menguasai berbagai disiplin
keilmuan. Adapun menurut ulama lainnya, Imam Al-Izzu adalah Sultanul Ulama dan
Syaikhul Ulama. Ia bagaikan lautan ilmu dan pengetahuan. Ia termasuk orang yang
disebut “ilmunya lebih banyak daripada karyanya”. Di antara karya-karya beliau
adalah:
- Al-Qawaid
Al-Kubro
- Al-Qawaid
As-Shughra
- Qawaidhul
Ahkam fi Masalihil Anam
- Al-Imamah
fi Adillatil Ahkam
- Al-Fatawa
Al-Misriyah
- Al-Fatawa
Al-Maushuliyah
- Majaz
Al-Qur’an
- Syajarah
Al-Ma’arif
- At-Tafsir
- Al-Ghayah
fi Ikhtishar An-Nihayah
- Mukhtasar
Shahih Muslim dan lain-lain
Semoga Allah mensucikan ruhnya dan memberikan
pahala yang sempurna kepada beliau atas amal dan jihadnya. Semoga kaum Muslimin
memperoleh keberkahan ilmunya demi kejayaan Islam dan Muslimin.
Kitab Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam
Imam Izzuddin bin
'Abdussalam, seorang ulama bermadzhab Syafi'i yang wafat pada tahun 660 H
menulis sebuah kitab yang diberi judul Qawa'idul
Ahkam fii Mashalihil Anam. Kitab ini menjelaskan berbagai maslahat yang
terkandung di dalam amal ibadah, muamalat, dan berbagai aktivitas seorang
hamba.
Ia memberikan penjelasan
berkenaan dengan tujuan penulisan kitab ini,
"Tujuan penulisan kitab ini ialah untuk memberikan
penjelasan tentang pelbagai maslahat dalam
melakukan ketaatan, mu'amalah, dan tingkah laku
supaya para hamba berupaya mencapainya; memberikan
penjelasan mengenai mudharat menentang ajaran Allah, agar mereka
bisa menghindarinya; memberikan penjelasan mengenai maslahat
berbagai ibadah agar mereka melakukannya;
penjelasan mengenai didahulukannya sebagian
kemaslahatan atas sebagian yang
lain, dan diakhirkannya sebagian mafsadat atas mafsadat
yang lain; serta penjelasan mengenai
perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang dia tidak
mempunyai kekuasaan untuk melakukannya.”
Ia melanjutkan,”Syari'ah
agama ini secara keseluruhan mengandung berbagai macam
kemaslahatan; baik berupa penolakan terhadap kerusakan atau
pengambilan kemaslahatan. Jika Anda mendengarkan firman Allah:
"Wahai orang-orang yang beriman," maka perhatikan pesan yang
datang setelah panggilan ini, pasti Anda tidak
akan menemukan kecuali kebaikan yang dianjurkan
olehnya, atau keburukan yang Anda dilarang melakukannya, atau
keduanya sekaligus.
Kelebihan kitab ini terletak pada kecermatan
penulisnya dalam mengklasifikasi maslahat dan mafsadat sesuai dengan
tingkatannya. Selanjutnya ia memaparkan secara lugas alasan-alasan
pengklasifikasian itu berdasarkan nash-nash yang ada. Di sini, tampak sekali
kualitas keilmuan penulis dalam memahami Maqasid As-syari’ah (tujuan
penetapan syariat) secara mendalam dan komprehensif.
Tokoh kita kali inilah termasuk
peletak dasar fiqhul Aulawiyat (Fiqih Prioritas) di samping Imam Al-Ghazali.
Demikianlah menurut penuturan Dr. Yusuf Al-Qaradhawi. Ulama kontemporer ini pun
sebelum menulis kitab Fiqhul Aulawiat harus mendalami kitab karya Imam Al-Izzu
ini terlebih dahulu, sebagaimana ia mendalami kitab Ihya Ulumiddin karya
Imam Al-Ghazali.
Membaca kitab Qawa'idul
Ahkam fii Mashalihil Anam, mengajarkan
bagaimana kita memahami posisi Maqasid As-Syariah terhadap nash-nash Al-Qur’an
dan As-Sunnah. Kitab ini adalah jawaban bagi mereka yang mencoba membenturkan
antara nash dengan maqasid dan mereka yang mengabaikan kandungan maqasid di
dalam nash. Tampak sekali dalam kitab ini fleksibelitas syariat Islam berkat
orisinalitas pemikiran Imam Izzuddin bin Abdussalam.
BAB BID’AH
Bid’ah adalah
perbuatan yang tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah. Bid’ah terbagi kepada lima bagian, yaitu;
wajib, haram,
mandub, makruh dan mubah. Untuk mengetahui pembagian bid’ah tersebut dapat diketahui
melalui undang-undang agama.
a.
bid’ah
wajib; mendalami ilmu nahu untuk memahami kalamullah dan sabda rasul. Untuk
memahami hal itu wajib, karena memelihara agama adalah suatu kewajiban dan
tidak sempurnalah yang wajib kecuali dengan melakukan yang wajib juga. Memelihara
kata-kata yang ganjil yang terdapat dalam kitab dan sunnah dari segi ilmu
lugah. Mengumpulkan dasar-dasar fiqh. Perkataan dalam mencela dan memuji untuk membedakan mana yang baik
dari perkataan yang tidak baik. Dan undang-undang syariah menjadi dasar bahwa
memelihara agama itu fardu kifayah walaupun tidak rasional, dan seperti itulah
dalam menjaga agama.
b.
bid’ah
haram, diantaranya; mazhab qadariyah, jabariyah, murjiah, mujassimah. Penganut
empat mazhab ini menolak adanaya bid’ah wajib.
c.
bidah
mandub; membuat ikatan persaudaraan, mengajar, membangun gedung tinggi. Setiap kebaikan yang tidak ada pada masa Rasul. Shalat tarawih. Pembahasan
tentang tasawuf. Pembahasan
tentang debat untuk mencari solusi dalam suatu masalah.
d.
bid’ah
makruh; menghiasi mesjid, kaligrafi, seperti tulisan menghiasi alquran sampai
merobah lafaz alquran dari segi bahasa arab. Yang lebih tepat bahwa contoh
tersebut adalah untuk bid’ah haram.
e.
bid’ah
mubah; bersalam-salaman mengiringi subuh dan ashar. Berlapang-lapang
dalam bergembira diantaranya makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan
pakaian kebesaran, melebarkan lengan baju, dan terkadang-kadang menyalahi
sebagian demikian. Maka sebagian ulama menjadikan contoh tersebut menjadi
makruh dan sebagian lagi mengatakan itu adalah tradisi yang dilakukan yang ada
pada masa Rasul dan setelah itu, seperti ta’auz dan basmalah dalam shalat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar