Senin, 15 Februari 2016

DIALEKTIKA KEILMUAN BARAT DAN ISLAM DI ABAD MODERN

A.    Pendahuluan
Sebelum membahas tentang dialektika keilmuan Barat dan Islam. Terlebih dahulu akan membicarakan sekilas tentang kemajuan ilmu pengetahuan umat Islam pada abad pertengahan. Umat Islam mencapai masa keemasannya pada abad pertengahan dengan munculnya para ilmuwan dari kalangan umat Islam, yang membawa konsep baru untuk ilmu pengetahuan serta membawa umat Islam kepada kemakmuran.  Tapi kejayaan tersebut tidak bertahan lama.
Ketika umat Islam mengalami kemunduran ,bahkan kejumudan dalam berbagai bidang, bangsa Eropa mencanangkan kehidupan modern. Bangsa Eropa mengalami kemajuan yang pesat, salah satunya dalam bidang ilmu pengetahuan. Mereka menerapkan teori-teori keilmuan secara sistematis dan sampai sekarang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan sebaliknya umat Islam pada abad modern menjadi statis atau menjadi konsumen dari hasil penelitian yang dihasilkan oleh bangsa Barat.
Pada makalah sebelumnya telah dibahas tentang keilmuan Islam pada abad pertengahan dan keilmuan Barat pada abad modern. Jadi, dalam makalah ini, akan dibahas tentang dialektika keilmuan Islam dan Barat pada abad modern.
B.     Keilmuan Barat dan Islam
1.      Keilmuan Islam
Kemajuan kaum muslimin abad pertengahan, karena memperoleh ilham untuk mengadakan penyelidikan ilmiah dari Alquran dan hadis. Ilmu pengetahuan yang sekarang kita kenal adalah hasil dari metode eksperimen yang diperkenalkan orang Arab kepada bangsa Eropa. sebagaimana didalam  buku ilmu pengetahuan dan metodenya dikatakan bahwa ilmu pengetahuan modern merupakan sumbangan paling penting paradaban Islam.[1]
Meskipun pada abad pertengahan kaum muslim mencapai masa kejayaan dalam ilmu pengetahuan, tapi ada  kekurangan dikalangan ilmuwan muslim yaitu tidak adanya teori ilmu pengetahuan atau logika metodologi ilmiah.
Oleh karena itu, ilmu pengetahuan tidak pernah menjadi gerakan dikalangan muslim karena tidak ada dasar teoritis untuk prakarsa ilmiah mereka. Jika seorang ilmuwan Islam terhenti maka secara otomatis kegiatan ilmiah pun terhenti. Seperti yang diketahui, suatu pernyataan ilmiah dapat diterima kalau didukung oleh fakta-fakta dan dapat diuji.
Faktor lain yang menjadi penyebab keruntuhan muslimin setelah masa kejayaannya adalah kemerosotan metode penyelidikan induktif yang merupakan faktor penting dan menyebabkan hilangnya penyelidikan ilmiah dikalangan muslim.
Penyebab lain yang menyebabkan kemunduran umat Islam karena umat Islam sendiri terlena dengan kehebatan para faqih, teolog dan ilmuwan pada masa kejayaan tersebut. Ditambah lagi situasi politik umat Islam tidak mendukung berkembangnya pembaharuan pemikiran dan penelitian ilmiah.  Lama kelamaan ajaran para ulama itulah yang mengkristal di diri umat Islam. Fenomena yang demikian membuat Islam tidak kreatif lagi, bahkan mengalami kejumudan karena umat Islam mengambil saja apa yang sudah dijelaskan oleh para ilmuwan.     
Pada abad ke tujuh belas bangsa Barat mulai menjajah umat Islam, sehingga kejumudan semakin meluas dikalangan umat Islam, aqidah umat dihinggapi oleh tahayul dan kurafat, kuburan yang dianggap keramat mulai bermunculan yang menjadi tempat penghambaan diri bagi masyarakat awam. Sementara Barat mencanangkan abad modern dan industri.
Ketika dunia Islam pada masa kemundurannya, bergemalah dari padang pasir tempat lahirnya Islam, memanggil umat Islam agar kembali kejalan yang benar. Yang menyeru itu ialah juru dakwah Islam termasyhur Muhammad bin Abdul Wahab yang lahir sekitar tahun 1700 M. Dari tokoh Islam ini sumber semboyan “kembali kepada Alquran dan hadis”, semboyan ini menjadi motto revolusioner untuk umat Islam.[2]
Kebangkitan kembali  dunia Islam dilatarbelakangi oleh adanya satu demi satu Negara Islam jatuh ke tangan Barat dan kesadaran pemuka Islam untuk memperbaiki kedudukan mereka dengan menoleh dan belajar ke Barat serta pemimpin Islam ingin memodernkan dunia Islam. Sejak itulah pemuka Islam mengeluarkan pemikiran–pemikiran bagaiman caranya membuat umat Islam maju kembali seperti periode klasik.
Peranan Islam dalam ilmu dan peradaban teknologi pada abad modern, dapat didekati dengan dua aspek yang mendasar yaitu aspek agamawi dan non agamawi.[3]
Aspek agamawi yaitu agama Islam mampu membawa manusia di dunia modern untuk memantapkan dan tekun dalam beragama, asalkan nilai-nilai agamis mampu menjawab tantangan zaman. Agama dapat dilihat dari unsur dogmatis dan rasionalitasnya. Sehingga dogmatis dan rasionalitas dapat disatukan dan akan menjadi kekuatan untuk kehidupan modern.
Aspek non agama yaitu masalah yang timbul dapat didekati melalui aspek ilmu pengetahuan, teknologi dan lain-lain. Disiplin ilmu yang nampaknya sepintas mengesampingkan agama, walaupun pada hakikatnya semua aspek kehidupan manusia akan senantiasa kembali kepada Allah.
Ciri-ciri bisanya Islam menerima modernisasi, dari dalil-dalil Islam yang tidak dapat diragukan kebenarannya, yaitu dengan menjelaskan secara dogmatis dan rasional,  sebagaimana yang terdapat dalam buku ilmu dan teknologi dalam Islam.
Pertama, Islam membawa supaya lebih maju, dinamis dan peka terhadap kejadian dalam kehidupan dirinya, lingkungan dan masyarakat. Dengan demikian, Islam menghendaki umatnya mampu memahami kehidupan lingkungan dan pribadinya dengan meneliti hal-hal yang timbul dihadapannya. Sebagaiman firaman Allah dalam surat al-Jatsiyah ayat 13, ayat tersebut menjelaskan bahwa isi alam semesta ini diciptakan untuk keperluan manusia.
Kedua, Islam memang tegas menekankan kepada pemeluknya untuk mempunyai pikiran yang sangat luas. Terbukti dengan adanya sikap dan pola nabi Muhammad yang selalu mengadakan hubungan dengan raja-raja. Ketiga, orang modern selalu menghargai waktu dan jika melakukan sesuatu selalu dengan disiplin  dan teratur dalam penyusunan proggramnya. Ajaran Islam sangat cocok dengan pola pemikiran seperti ini, karena Islam telah memberi petunjuk agar dalam menjalankan tugas harus diatur. Sebagaimana proses penciptaan alam semesta yang diterangkan Allah dalam enam hari.
Keempat, selalu terlibat dalam suatu aktivitas atau kegiatan yang menuju kepada dinamisasi pola berpikir dan selalu mengadakan perencanaan yang baik. Perencanaan  dan pengorganisasian yang sistematis dalam ajaran Islam disebut dengan ihsan yakni perbuatan yang baik yang diarahkan kepada suatu pola kerja yang terencana, terorganisir.
Kelima, orang modern adalah orang yang percaya pada diri sendiri, mampu mengatasi persoalan dengan sebaiknya dan mempunyai keyakinan yang mantap bahwa dirinya mampu menguasai alam lingkungan masyarakat demi meningkatkan mutu, tujuan dan sasaran hidup. Usaha dan upaya yang dikerjakan terus menerus tanpa mengenal lelah, dimana usaha ini selalu disesuaikan dengan perkembangan zaman atau perkembangan pemikiran manusia dari masa kemasa yang dikenal di dalam ajaran Islam yaitu ijtihad.
Keenam, orang modern selalu memperhitungkan dalam kehidupan diri pribadinya maupun kehidupan yang berhubungan dengan alam sekitarnya. Hal ini juga tidak bertentangan dengan ajaran Islam, yang pada prinsipnya manusia mengetahui gejala alam, kemudian diterapkan melalui teori yang ada dapat ditentukan secara hipotesis.
Ketujuh, dari sifat modern adalah adanya sifat menghargai orang lain dan merasa sadar bahwa dirinya tidak akan hidup sendirian saja. Dimana orang lain mempunyai kedudukan yang sama. Dalam hal ini, Islam juga mengajarkan adanya sikap saling menghormati antara individu supaya terjalinnya suasana hidup yang rukun. Oleh karena itu, Islam melarang manusia saling menghina antara sesamanya.
Kedelapan, senantiasa meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Artinya, manusia menempatkan ilmu pengetahuan dan teknologi pada posisi yang diperlukan dalam kehidupan. Sebab dengan ilmu dan teknologi yang tinggi manusia akan terangkat derajat kehidupannya baik kehidupan agama, politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Kesembilan, selalu berbuat adil artinya perbuatan yang dapat menempatkan  pada tempar yang sebenarnya dengan menghindarkan dari penyelewengan dan tindakan sewenang-wengang kepada orang lain. Orang yang adil dan pola pelaksanaannya didasarkan pada ajran Islam, konsekuensi dan ikhlas, maka perbuatan tersebut akan diridhai oleh Allah.
Kesembilan ciri manusia modern di atas, tidak menyimpang dari ajaran Islam. Hanya saja penerapan dari kesembilan hal tersebut harus disesuaikan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Karena esensi ajaran Islam adalah mewujudkan manusia yang berjiwa agamis, berfikir rasional, berilmu pengetahuan yang luas dan kreatif dalam melakukan sesuatu perbuatan untuk menuju dinamisasi berpikir dan dinamisasi hidup manusia.         
   


2.      Keilmuan Barat
Di wilayah Barat, pada abad pertengahan kekuasaan gereja menjadi dominan, tidak saja pada hal yang berhubungan dengan agama tetapi juga dalam wilayah ilmiah. Tradisi ilmiah yang pada awalnya tidak baku dan statis menjadi sakral dan tidak boleh diubah.
Inilah penyebab terjadinya ketegangan antara ilmuwan dan kalangan gereja. Ketegangan ini memicu munculnya paham sekularisme di Barat.[4]Agamawan berjalan menurut ajaran dan doktrin gereja, sedangkan ilmuwan berjalan sesuai dengan struktur dan ukuran rasional dan empiris. Akibatnya antara agama dan ilmu tidak ada persinggungan, sehingga sains di Barat tidak mengenal agama. Dengan artian yang menentukan segalanya adalah akal manusia.
Pemakaian ilmu pengetahuan tidak ada control dari agama. Ilmu pengetahuan dikembangkan tanpa mengindahkan kerusakan yang dibawanya ke masyarakat. Persoalan apakah ilmu tersebut membawa manfaat atau kerusakan bagi masyarakat bukanlah urusan para saintis tapi itu adalah masalah kaum agama.
Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di Barat, nilai-nilai agama berangsur bergeser bahkan bersebrangan dengan ilmu. Bagi ilmuwan Barat agama adalah penghalang kemajuan. Karena itu, mereka beranggapan jika ingin maju agama tidak boleh mengurusi masalah keduniaan seperti politik dan ilmu pengetahuan. Sebagaimana August Comte mengatakan bahwa agama hanya cocok untuk masyarakat yang masih primitive dan terbelakang.[5]   
Pada abad ke tujuh belas dan delapan belas, merupakan dasar yang kuat bagi peradaban umumnya lebih lagi ekspansi intelektual, ilmu pengetahuan, filsafat dan kesusasteraan. Sebagai faktor lainnya adanya usaha ilmu pengetahuan dari ilmuwan dan pengamatan dengan teliti terhadap alam dan juga adanya penemuan baru.
Dengan adanya ilmu pengetahuan dengan hasil yang mengagumkan dan kinerja ilmu pengetahuan meningkatkan pandangan rasionalis yang menjadi ciri penting peradaban Eropa dan yang merobah Eropa secara mendasar.  Terutama dalam perkembangan  ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan inilah yang menjadi dasar kemodernan di Eropa yaitu tahapan dari segala keagamaan dimana kebenaran hanya diukur dengan rasio.[6]
Para filusuf abad modern melahirkan pemikiran yang berpusat pada manusia sebagai subjektivitas dan rasio sebagai kemampuan kritis . subjektivitas adalah manusia itu sendiri yang menjadi sebagai pusat realitas yang menjadi ukuran segala sesuatu. Dan manusia bisa mengetahui kenyataan dengan rasionya sendiri.[7]
Perkembangan ilmu pengetahuan di Eropa didalam buku sejarah filsafat ilmu dan teknologi. Perkembangannya berdasarkan tiga sumber yaitu karya-karya bangsa Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab di Semenanjung Liberia, dengan terjadinya perang salib antar bangsa Eropa dengan umat Islam dan sumber ketiga jatuhnya Istambul ke dalam tangan bangsa Turki pada tahun 1453 M, yang menyebabkan mengungsinya para sarjana dan pendeta dari Istambul ke Italia dan Negara Eropa lainnya, dengan membawa hasil karya bangsa Yunani dalam bahasa lainnya.
Barat cenderung untuk menekankan dunia obyektif dari penekanan ini telah menghasilkan sains dan teknologi dimana Barat menunjukkan keunggulannya. Ini adalah cara berfikir yang diwarisi dari Yunani. Barat telah menimbulkan filsafat alam yang menunjang serta meranting dalam bermacam sains. Pengetahuan yang dihasilkan dikelompokkan dan bersifat empiris dan deskriptif. Jika pengetahuan melampaui dunia rasa, ia menjadi teoritis dan diekspresikan dalam berbagai symbol matematika atau lisan.
Pengetahuan harus bersifat demikian, sehingga dapat diuraikan dalam istilah deskriptif empiris atau disampaikan kepada orang lain menurut peraturan logika dan pemeriksaan ilmiah. Filsafat dan agama di Barat berorientasi empiris dan dalam tradisi keagamaan Barat dunia empiris sangat berarti. Tindakan Tuhan memberikan wahyu terdapat dalam kejadian empiris termasuk didalamnya kesaksian orang yang terlibat dalam kejadian.[8]
Bagi filosof timur, dunia rasa adalah bersifat sementara dan khayalan. Filosof Timur mementingkan segi dalam benda dan tidak puas dengan pandangan luar terhadap benda tersebut. Ia tak hanya ingin melihat tetapi ingin menjadi sesuatu. Lebih menerima pengalaman dan kesaksian orang dahulu, sejarah dan intuisi yang menurutnya lebih dapat dipercaya.
Filsafat adalah way of life (cara hidup) , suatu eksperimen dalam hidup. Watak benda harus diungkapkan , bukan dengan kesimpulan logika dan fakta dunia, tetapi dengan pengenalan melalui pengalaman pribadi. Untuk mendapatkan pengenalan atau pandangan dalam hal ini akal harus dibersihkan dari hambatan keinginan pribadi dan emosi yang mengganggu. Disiplin dan pengendalian diri adalah sangat diperlukan. Disiplin ini bersifat intelektual dan moral tetapi juga emosional dan fisik.[9]
Berdasarkan paparan tersebut, adanya perbedaan keilmuan Islam dan Barat pada abad modern.
1.      Di Barat, antara ilmu dengan agama tidak ada persinggungan. Sedangkan Islam, menjadikan agama sebagai pengontrol ilmu
2.      Sumber ilmu pengetahuan yang berbeda. Ilmu Barat sumber ilmu berdasarkan kepada rasio. Sedangkan dalam Islam sumber ilmu adalah wahyu dan rasio
3.       Ilmu Barat, gersang dari motivasi agama dan  menganggap agama sebagai penghalang kemajuan ilmu. Sebaliknya di dunia Islam, agama sebagai motivasi seorang ilmuwan untuk mengembang ilmu pengetahuan
4.      Ilmuwan muslim tidak adanya teori ilmu pengetahuan atau logika metodologi ilmiah. Sedangkan para ilmuwan Barat mempunyai dasar-dasar teori mereka
5.      Pada abad modern bangsa Eropa mengalami kemajuan dalam ilmu pengetahuan, sedangkan pada dunia Islam mengalami kemunduran 
C.    Kesimpulan
Pada abad modern, kemajuan ilmu pengetahuan di wilayah Eropa mengalami kemajuan yang sangat pesat dan dapat kita rasakan sampai sekarang. Pada wilayah Barat ilmu perembangan ilmu pengetahuan terpisah dengan agama, karena mereka hanya mencari kebenaran malalui rasio  atau akal saja dan ilmu pengetahuan tidak ada hubungannya dengan agama.
Di dalam dunia Islam, pada abad modern terjadinya kemunduran dalam ilmu pengetahuan yang disebabkan oleh beberapa faktor. Pada umat Islam terhentinya tentang penelitian ilmu dan umat Islam hanya memakai hasil pemikiran dari ilmuwan sebelumnya. Tidak adanya sifat kretif dari umat Islam karena menganggap bahwa apa yang dihasilkan oleh ilmuwan sebelumnya sudah mencukupi. Akibatnya terjadinya kemunduran dalam dunia Islam, walaupun pada awal abad ketujuh belas adanya seruan untuk umat Islam kembali lagi ke Alqurana dan hadis.  







DAFTAR PUSTAKA

Abdul, Rohadi Fatah dan Sudarsono, Ilmu dan Teknologi dalam Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1990

Bakhtiar, Amsal, Filasafat Agama, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999
Hardiman, F Budi, Filsafat Modern dari Machiavalli sampai Nietzsche,Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004

Salam, Burhanuddin Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000

S. Suriasumantri, Jujun, Ilmu Pengetahuan dan Metodenya, Penyunting. C.A Qadir, Penerjemah. Bosco Carvallo, Sonny Keraf A., dan Adre Ata Ujan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988

Yacub, Tasman, Modernisasi Pemikiran Islam, Jakarta: The Minangkabau Foundation,2000

Titus, H. Harold Marilyn S. Smith , Richard T Nolan, Persoalan-Persoalan Filasafat, judul asli: Living Issues In Philosophy, terj.  M Rasjidi, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1984





[1] Jujun  S. Suriasumantri, Ilmu Pengetahuan dan Metodenya, Penyunting. C.A Qadir, Penerjemah. Bosco Carvallo, Sonny Keraf A., dan Adre Ata Ujan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988), Ed.1, hal. 2
[2] Burhanuddin Salam, Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000), hal.154
[3] Rohadi Abdul Fatah dan Sudarsono, Ilmu dan Teknologi dalam Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hal. vi
[4] Amsal Bakhtiar, Filasafat Agama, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet. II, hal. 228
[5] Amsal bakhtiar, hal.231
[6] A. Tasman Yacub, Modernisasi Pemikiran Islam, Jakarta: The Minangkabau Foundation,2000), Cet.I, hal. 40
[7] F Budi Hardiman, Filsafat Modern dari Machiavalli sampai Nietzsche, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004), hal. 4-5
[8] Harold H Titus, Marilyn S. Smith , Richard T Nolan, Persoalan-Persoalan Filasafat, judul asli: Living Issues In Philosophy, terj.  M Rasjidi, ( Jakarta: PT Bulan Bintang, 1984), Cet. I, halm. 208  
[9] Harold H Titus, halmn. 208-209 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar