Sebelum membahas tentang dialektika keilmuan Barat dan Islam.
Terlebih dahulu akan membicarakan sekilas tentang kemajuan ilmu pengetahuan
umat Islam pada abad pertengahan. Umat Islam mencapai masa keemasannya pada
abad pertengahan dengan munculnya para ilmuwan dari kalangan umat Islam, yang
membawa konsep baru untuk ilmu pengetahuan serta membawa umat Islam kepada
kemakmuran. Tapi kejayaan tersebut tidak
bertahan lama.
Ketika umat Islam mengalami kemunduran ,bahkan kejumudan dalam
berbagai bidang, bangsa Eropa mencanangkan kehidupan modern. Bangsa Eropa
mengalami kemajuan yang pesat, salah satunya dalam bidang ilmu pengetahuan.
Mereka menerapkan teori-teori keilmuan secara sistematis dan sampai sekarang
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan sebaliknya umat Islam pada abad
modern menjadi statis atau menjadi konsumen dari hasil penelitian yang
dihasilkan oleh bangsa Barat.
Pada makalah sebelumnya telah dibahas tentang keilmuan Islam pada
abad pertengahan dan keilmuan Barat pada abad modern. Jadi, dalam makalah ini,
akan dibahas tentang dialektika keilmuan Islam dan Barat pada abad modern.
B.
Keilmuan Barat dan Islam
1.
Keilmuan
Islam
Kemajuan kaum muslimin abad
pertengahan, karena memperoleh ilham untuk mengadakan penyelidikan ilmiah dari
Alquran dan hadis. Ilmu pengetahuan yang sekarang kita kenal adalah hasil dari
metode eksperimen yang diperkenalkan orang Arab kepada bangsa Eropa. sebagaimana
didalam buku ilmu pengetahuan dan
metodenya dikatakan bahwa ilmu pengetahuan modern merupakan sumbangan paling
penting paradaban Islam.[1]
Meskipun pada abad pertengahan kaum
muslim mencapai masa kejayaan dalam ilmu pengetahuan, tapi ada kekurangan dikalangan ilmuwan muslim yaitu
tidak adanya teori ilmu pengetahuan atau logika metodologi ilmiah.
Oleh karena itu, ilmu pengetahuan
tidak pernah menjadi gerakan dikalangan muslim karena tidak ada dasar teoritis
untuk prakarsa ilmiah mereka. Jika seorang ilmuwan Islam terhenti maka secara
otomatis kegiatan ilmiah pun terhenti. Seperti yang diketahui, suatu pernyataan
ilmiah dapat diterima kalau didukung oleh fakta-fakta dan dapat diuji.
Faktor lain yang menjadi penyebab
keruntuhan muslimin setelah masa kejayaannya adalah kemerosotan metode
penyelidikan induktif yang merupakan faktor penting dan menyebabkan hilangnya
penyelidikan ilmiah dikalangan muslim.
Penyebab lain yang menyebabkan
kemunduran umat Islam karena umat Islam sendiri terlena dengan kehebatan para
faqih, teolog dan ilmuwan pada masa kejayaan tersebut. Ditambah lagi situasi
politik umat Islam tidak mendukung berkembangnya pembaharuan pemikiran dan
penelitian ilmiah. Lama kelamaan ajaran
para ulama itulah yang mengkristal di diri umat Islam. Fenomena yang demikian
membuat Islam tidak kreatif lagi, bahkan mengalami kejumudan karena umat Islam
mengambil saja apa yang sudah dijelaskan oleh para ilmuwan.
Pada abad ke tujuh belas bangsa Barat
mulai menjajah umat Islam, sehingga kejumudan semakin meluas dikalangan umat Islam,
aqidah umat dihinggapi oleh tahayul dan kurafat, kuburan yang dianggap keramat
mulai bermunculan yang menjadi tempat penghambaan diri bagi masyarakat awam.
Sementara Barat mencanangkan abad modern dan industri.
Ketika dunia Islam pada masa
kemundurannya, bergemalah dari padang pasir tempat lahirnya Islam, memanggil
umat Islam agar kembali kejalan yang benar. Yang menyeru itu ialah juru dakwah
Islam termasyhur Muhammad bin Abdul Wahab yang lahir sekitar tahun 1700 M. Dari
tokoh Islam ini sumber semboyan “kembali kepada Alquran dan hadis”, semboyan
ini menjadi motto revolusioner untuk umat Islam.[2]
Kebangkitan kembali dunia Islam dilatarbelakangi oleh adanya satu
demi satu Negara Islam jatuh ke tangan Barat dan kesadaran pemuka Islam untuk
memperbaiki kedudukan mereka dengan menoleh dan belajar ke Barat serta pemimpin
Islam ingin memodernkan dunia Islam. Sejak itulah pemuka Islam mengeluarkan
pemikiran–pemikiran bagaiman caranya membuat umat Islam maju kembali seperti
periode klasik.
Peranan Islam dalam ilmu dan
peradaban teknologi pada abad modern, dapat didekati dengan dua aspek yang
mendasar yaitu aspek agamawi dan non agamawi.[3]
Aspek agamawi yaitu agama Islam
mampu membawa manusia di dunia modern untuk memantapkan dan tekun dalam
beragama, asalkan nilai-nilai agamis mampu menjawab tantangan zaman. Agama
dapat dilihat dari unsur dogmatis dan rasionalitasnya. Sehingga dogmatis dan
rasionalitas dapat disatukan dan akan menjadi kekuatan untuk kehidupan modern.
Aspek non agama yaitu masalah yang
timbul dapat didekati melalui aspek ilmu pengetahuan, teknologi dan lain-lain.
Disiplin ilmu yang nampaknya sepintas mengesampingkan agama, walaupun pada
hakikatnya semua aspek kehidupan manusia akan senantiasa kembali kepada Allah.
Ciri-ciri bisanya Islam menerima
modernisasi, dari dalil-dalil Islam yang tidak dapat diragukan kebenarannya,
yaitu dengan menjelaskan secara dogmatis dan rasional, sebagaimana yang terdapat dalam buku ilmu dan
teknologi dalam Islam.
Pertama, Islam membawa supaya lebih
maju, dinamis dan peka terhadap kejadian dalam kehidupan dirinya, lingkungan
dan masyarakat. Dengan demikian, Islam menghendaki umatnya mampu memahami
kehidupan lingkungan dan pribadinya dengan meneliti hal-hal yang timbul dihadapannya.
Sebagaiman firaman Allah dalam surat al-Jatsiyah ayat 13, ayat tersebut
menjelaskan bahwa isi alam semesta ini diciptakan untuk keperluan manusia.
Kedua, Islam memang tegas menekankan
kepada pemeluknya untuk mempunyai pikiran yang sangat luas. Terbukti dengan
adanya sikap dan pola nabi Muhammad yang selalu mengadakan hubungan dengan
raja-raja. Ketiga, orang modern selalu menghargai waktu dan jika melakukan
sesuatu selalu dengan disiplin dan
teratur dalam penyusunan proggramnya. Ajaran Islam sangat cocok dengan pola
pemikiran seperti ini, karena Islam telah memberi petunjuk agar dalam
menjalankan tugas harus diatur. Sebagaimana proses penciptaan alam semesta yang
diterangkan Allah dalam enam hari.
Keempat, selalu terlibat dalam suatu
aktivitas atau kegiatan yang menuju kepada dinamisasi pola berpikir dan selalu
mengadakan perencanaan yang baik. Perencanaan
dan pengorganisasian yang sistematis dalam ajaran Islam disebut dengan
ihsan yakni perbuatan yang baik yang diarahkan kepada suatu pola kerja yang
terencana, terorganisir.
Kelima, orang modern adalah orang
yang percaya pada diri sendiri, mampu mengatasi persoalan dengan sebaiknya dan
mempunyai keyakinan yang mantap bahwa dirinya mampu menguasai alam lingkungan
masyarakat demi meningkatkan mutu, tujuan dan sasaran hidup. Usaha dan upaya
yang dikerjakan terus menerus tanpa mengenal lelah, dimana usaha ini selalu
disesuaikan dengan perkembangan zaman atau perkembangan pemikiran manusia dari
masa kemasa yang dikenal di dalam ajaran Islam yaitu ijtihad.
Keenam, orang modern selalu
memperhitungkan dalam kehidupan diri pribadinya maupun kehidupan yang
berhubungan dengan alam sekitarnya. Hal ini juga tidak bertentangan dengan
ajaran Islam, yang pada prinsipnya manusia mengetahui gejala alam, kemudian
diterapkan melalui teori yang ada dapat ditentukan secara hipotesis.
Ketujuh, dari sifat modern adalah adanya
sifat menghargai orang lain dan merasa sadar bahwa dirinya tidak akan hidup
sendirian saja. Dimana orang lain mempunyai kedudukan yang sama. Dalam hal ini,
Islam juga mengajarkan adanya sikap saling menghormati antara individu supaya
terjalinnya suasana hidup yang rukun. Oleh karena itu, Islam melarang manusia
saling menghina antara sesamanya.
Kedelapan, senantiasa meningkatkan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Artinya, manusia menempatkan ilmu pengetahuan
dan teknologi pada posisi yang diperlukan dalam kehidupan. Sebab dengan ilmu
dan teknologi yang tinggi manusia akan terangkat derajat kehidupannya baik
kehidupan agama, politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Kesembilan, selalu berbuat adil
artinya perbuatan yang dapat menempatkan pada tempar yang sebenarnya dengan
menghindarkan dari penyelewengan dan tindakan sewenang-wengang kepada orang
lain. Orang yang adil dan pola pelaksanaannya didasarkan pada ajran Islam,
konsekuensi dan ikhlas, maka perbuatan tersebut akan diridhai oleh Allah.
Kesembilan ciri manusia modern di
atas, tidak menyimpang dari ajaran Islam. Hanya saja penerapan dari kesembilan
hal tersebut harus disesuaikan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Karena esensi
ajaran Islam adalah mewujudkan manusia yang berjiwa agamis, berfikir rasional,
berilmu pengetahuan yang luas dan kreatif dalam melakukan sesuatu perbuatan
untuk menuju dinamisasi berpikir dan dinamisasi hidup manusia.
2.
Keilmuan
Barat
Di wilayah Barat, pada abad
pertengahan kekuasaan gereja menjadi dominan, tidak saja pada hal yang
berhubungan dengan agama tetapi juga dalam wilayah ilmiah. Tradisi ilmiah yang
pada awalnya tidak baku dan statis menjadi sakral dan tidak boleh diubah.
Inilah penyebab terjadinya
ketegangan antara ilmuwan dan kalangan gereja. Ketegangan ini memicu munculnya
paham sekularisme di Barat.[4]Agamawan
berjalan menurut ajaran dan doktrin gereja, sedangkan ilmuwan berjalan sesuai
dengan struktur dan ukuran rasional dan empiris. Akibatnya antara agama dan
ilmu tidak ada persinggungan, sehingga sains di Barat tidak mengenal agama. Dengan
artian yang menentukan segalanya adalah akal manusia.
Pemakaian ilmu pengetahuan tidak ada
control dari agama. Ilmu pengetahuan dikembangkan tanpa mengindahkan kerusakan
yang dibawanya ke masyarakat. Persoalan apakah ilmu tersebut membawa manfaat
atau kerusakan bagi masyarakat bukanlah urusan para saintis tapi itu adalah
masalah kaum agama.
Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi di Barat, nilai-nilai agama berangsur bergeser bahkan bersebrangan
dengan ilmu. Bagi ilmuwan Barat agama adalah penghalang kemajuan. Karena itu,
mereka beranggapan jika ingin maju agama tidak boleh mengurusi masalah
keduniaan seperti politik dan ilmu pengetahuan. Sebagaimana August Comte
mengatakan bahwa agama hanya cocok untuk masyarakat yang masih primitive dan
terbelakang.[5]
Pada abad ke tujuh belas dan delapan
belas, merupakan dasar yang kuat bagi peradaban umumnya lebih lagi ekspansi
intelektual, ilmu pengetahuan, filsafat dan kesusasteraan. Sebagai faktor
lainnya adanya usaha ilmu pengetahuan dari ilmuwan dan pengamatan dengan teliti
terhadap alam dan juga adanya penemuan baru.
Dengan adanya ilmu pengetahuan
dengan hasil yang mengagumkan dan kinerja ilmu pengetahuan meningkatkan pandangan
rasionalis yang menjadi ciri penting peradaban Eropa dan yang merobah Eropa
secara mendasar. Terutama dalam
perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Dan inilah yang menjadi dasar kemodernan di Eropa yaitu tahapan dari
segala keagamaan dimana kebenaran hanya diukur dengan rasio.[6]
Para filusuf abad modern melahirkan
pemikiran yang berpusat pada manusia sebagai subjektivitas dan rasio sebagai
kemampuan kritis . subjektivitas adalah manusia itu sendiri yang menjadi
sebagai pusat realitas yang menjadi ukuran segala sesuatu. Dan manusia bisa
mengetahui kenyataan dengan rasionya sendiri.[7]
Perkembangan ilmu pengetahuan di
Eropa didalam buku sejarah filsafat ilmu dan teknologi. Perkembangannya
berdasarkan tiga sumber yaitu karya-karya bangsa Yunani yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab di Semenanjung Liberia, dengan terjadinya perang salib antar
bangsa Eropa dengan umat Islam dan sumber ketiga jatuhnya Istambul ke dalam
tangan bangsa Turki pada tahun 1453 M, yang menyebabkan mengungsinya para
sarjana dan pendeta dari Istambul ke Italia dan Negara Eropa lainnya, dengan
membawa hasil karya bangsa Yunani dalam bahasa lainnya.
Barat cenderung untuk menekankan dunia
obyektif dari penekanan ini telah menghasilkan sains dan teknologi dimana Barat
menunjukkan keunggulannya. Ini adalah cara berfikir yang diwarisi dari Yunani. Barat
telah menimbulkan filsafat alam yang menunjang serta meranting dalam bermacam
sains. Pengetahuan yang dihasilkan dikelompokkan dan bersifat empiris dan deskriptif.
Jika pengetahuan melampaui dunia rasa, ia menjadi teoritis dan diekspresikan
dalam berbagai symbol matematika atau lisan.
Pengetahuan harus bersifat demikian,
sehingga dapat diuraikan dalam istilah deskriptif empiris atau disampaikan
kepada orang lain menurut peraturan logika dan pemeriksaan ilmiah. Filsafat dan
agama di Barat berorientasi empiris dan dalam tradisi keagamaan Barat dunia
empiris sangat berarti. Tindakan Tuhan memberikan wahyu terdapat dalam kejadian
empiris termasuk didalamnya kesaksian orang yang terlibat dalam kejadian.[8]
Bagi filosof timur, dunia rasa
adalah bersifat sementara dan khayalan. Filosof Timur mementingkan segi dalam
benda dan tidak puas dengan pandangan luar terhadap benda tersebut. Ia tak
hanya ingin melihat tetapi ingin menjadi sesuatu. Lebih menerima pengalaman dan
kesaksian orang dahulu, sejarah dan intuisi yang menurutnya lebih dapat
dipercaya.
Filsafat adalah way of life (cara
hidup) , suatu eksperimen dalam hidup. Watak benda harus diungkapkan , bukan
dengan kesimpulan logika dan fakta dunia, tetapi dengan pengenalan melalui
pengalaman pribadi. Untuk mendapatkan pengenalan atau pandangan dalam hal ini
akal harus dibersihkan dari hambatan keinginan pribadi dan emosi yang
mengganggu. Disiplin dan pengendalian diri adalah sangat diperlukan. Disiplin
ini bersifat intelektual dan moral tetapi juga emosional dan fisik.[9]
Berdasarkan paparan tersebut, adanya
perbedaan keilmuan Islam dan Barat pada abad modern.
1.
Di
Barat, antara ilmu dengan agama tidak ada persinggungan. Sedangkan Islam,
menjadikan agama sebagai pengontrol ilmu
2.
Sumber
ilmu pengetahuan yang berbeda. Ilmu Barat sumber ilmu berdasarkan kepada rasio.
Sedangkan dalam Islam sumber ilmu adalah wahyu dan rasio
3.
Ilmu Barat, gersang dari motivasi agama
dan menganggap agama sebagai penghalang
kemajuan ilmu. Sebaliknya di dunia Islam, agama sebagai motivasi seorang
ilmuwan untuk mengembang ilmu pengetahuan
4.
Ilmuwan
muslim tidak adanya teori ilmu pengetahuan atau logika metodologi ilmiah.
Sedangkan para ilmuwan Barat mempunyai dasar-dasar teori mereka
5.
Pada
abad modern bangsa Eropa mengalami kemajuan dalam ilmu pengetahuan, sedangkan
pada dunia Islam mengalami kemunduran
C.
Kesimpulan
Pada abad modern, kemajuan ilmu
pengetahuan di wilayah Eropa mengalami kemajuan yang sangat pesat dan dapat
kita rasakan sampai sekarang. Pada wilayah Barat ilmu perembangan ilmu
pengetahuan terpisah dengan agama, karena mereka hanya mencari kebenaran
malalui rasio atau akal saja dan ilmu
pengetahuan tidak ada hubungannya dengan agama.
Di dalam dunia Islam, pada abad
modern terjadinya kemunduran dalam ilmu pengetahuan yang disebabkan oleh
beberapa faktor. Pada umat Islam terhentinya tentang penelitian ilmu dan umat
Islam hanya memakai hasil pemikiran dari ilmuwan sebelumnya. Tidak adanya sifat
kretif dari umat Islam karena menganggap bahwa apa yang dihasilkan oleh ilmuwan
sebelumnya sudah mencukupi. Akibatnya terjadinya kemunduran dalam dunia Islam,
walaupun pada awal abad ketujuh belas adanya seruan untuk umat Islam kembali
lagi ke Alqurana dan hadis.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul,
Rohadi Fatah dan Sudarsono, Ilmu dan Teknologi dalam Islam, Jakarta:
Rineka Cipta, 1990
Bakhtiar, Amsal, Filasafat Agama, Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1999
Hardiman,
F Budi, Filsafat Modern dari Machiavalli sampai Nietzsche,Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2004
Salam,
Burhanuddin Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi, Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2000
S. Suriasumantri, Jujun, Ilmu Pengetahuan dan Metodenya,
Penyunting. C.A Qadir, Penerjemah. Bosco Carvallo, Sonny Keraf A., dan Adre Ata
Ujan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988
Yacub, Tasman, Modernisasi Pemikiran Islam, Jakarta: The
Minangkabau Foundation,2000
Titus, H. Harold Marilyn S. Smith , Richard T Nolan,
Persoalan-Persoalan Filasafat, judul asli: Living Issues In Philosophy,
terj. M Rasjidi, Jakarta: PT Bulan Bintang,
1984
[1]
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu
Pengetahuan dan Metodenya, Penyunting. C.A Qadir, Penerjemah. Bosco
Carvallo, Sonny Keraf A., dan Adre Ata Ujan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1988), Ed.1, hal. 2
[2]
Burhanuddin Salam, Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi, (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2000), hal.154
[3]
Rohadi Abdul Fatah dan Sudarsono, Ilmu dan Teknologi dalam Islam,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hal. vi
[4]
Amsal Bakhtiar, Filasafat Agama, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999),
Cet. II, hal. 228
[5]
Amsal bakhtiar, hal.231
[6]
A. Tasman Yacub, Modernisasi Pemikiran Islam, Jakarta: The Minangkabau
Foundation,2000), Cet.I, hal. 40
[7]
F Budi Hardiman, Filsafat Modern dari Machiavalli sampai Nietzsche,
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004), hal. 4-5
[8]
Harold H Titus, Marilyn S. Smith , Richard T Nolan, Persoalan-Persoalan
Filasafat, judul asli: Living Issues In Philosophy, terj. M Rasjidi, ( Jakarta: PT Bulan Bintang,
1984), Cet. I, halm. 208
[9]
Harold H Titus, halmn. 208-209
Tidak ada komentar:
Posting Komentar