Kamis, 18 Februari 2016

Kemunduran dan Kehancuran Daulah Abbasiyah

A.   Pendahuluan
Masa kejayaan Islam telah terukir dalam sejarah. Demikian pula dengan masa kemunduran dan kehancurannya yang tidak mungkin luput dari unsur-unsur sejarah atau historis. Hal ini bisa dilihat dari pengertian sejarah sebagaimana diformulasi-kan oleh Taufik Abdullah adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, obyek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut.[1]
Masa khilafah Abbasiyah dielu-elukan sebagai masa keemasan Islam. Karena pada masa ini kemajuan dalam berbagai bidang sangat pesat.Daulah Abbasiyah mencapai masa kejayaannya di zaman khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan putranya Al-Makmun (813-833 M). Namun jatuhnya kota Baghdad pada tahun 1258 M ke tangan bangsa Mongol bukan saja mengakhiri khilafah Abbasiyah di sana, tetapi juga merupakan awal dari masa kemunduran politik dan peradaban Islam, karena Baghdad sebagai pusat kebudayaan dan per-adaban Islam yang sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan itu ikut lenyap dibumihanguskan Mongol yang dipimpin Hulagu Khan.
            Daulah Abbasiyah dibagi menjadi tiga periode. Pertama, periode perkembangan dan puncak kejayaan, ditandai dengan berkembangnya kebudayaan dan peradaban. Kedua, periode disintegrasi ditandai dengan upaya wilayah-wilayah  melepaskan diri dari daulah Abbasiyah. Ketiga, periode kemunduran dan kehancuran.[2]
            Untuk lebih jelasnya permasalahan ini, maka pemakalah mencoba membahas  dua periode terakhir yang mencakup: fartor internal kemunduran Daulah Abbasiyah serta kehancuran Daulah Abbasiyah yang di sebabkan oleh serangan bangsa Mongol.


B.   Pembahasan
Kehancuran Bani Saljuk merupakan tonggak kehancuran Daulah Abbasiyah, karena fakta sejarah menyebutkan bahwa setelah kehancuran Bani Saljuk, muncul dinasti-dinasti kecil tetapi tidak lagi terikat dengan Daulah Abbasiyah. Penulis akan memaparkan beberapa penyebab yang melatar belakangi kehancuran Daulah Abbasiyah ini.
1.      Faktor-Faktor Internal Kemunduran Daulah Abbasiyah
Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode kedua. Namun demikian, faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.
Disamping kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut
a.       Faktor Militer
Keruntuhan Daulah Abbasiyah disebabkan faktor militer, yaitu:
1.    Luasnya wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyah, sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para pengusaha dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.
2.   Dengan profesionalisme angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
3.    Keuangan negara sangat sulit, karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.[3]
Pada abad ke-9, beberapa suku bangsa Turki dari Asia Tengah bermigrasi ke Timur Tengah dengan maksud mencari tanah subur buat ternak dan kuda mereka. Mereka kemudian menjadi tentara dengan imbalan yang cukup mengiurkan. Disamping itu beberapa tokoh keturunan mereka juga berhasil masuk dalam lingkaran birokrasi pemerintahan Daulah Abbasiyah.
 Meskipun demikian, banyak juga kalangan yang ditawan dalam perperangan menjadi budak bagi kahlifah. Tetapi dibawah pemerintahan al-Mu’tasim, orang-orang Turki menjadi pengapdi kekhalifahan terjadi secara lebih sistematis dan berskala besar. Ribuan anak laki-laki dibeli dari pedagang perantara di asia Tengah, dibawa ke Bagdad, dididik secara Islam, dan dilatih menjadi tentara administrator, atau pelayan Dinasti Abbasiyah. Mereka sengaja dididik sejak umur dini agar tertanam pandangan bahwa para khalifah adalah sumber segala kesenangan materi.
Para budak Turki ini lebih dipercaya dari pada belatentara Persia. Dalam waktu yang tidak lama mereka menjadi unsur terkuat dalam angkatan perang Abbasiyah. Bahkan, begitu kuatnya kedudukan yang diterima mereka dapat memanipulasi dam membunuh khalifah yang tidak mereka sukai. Oleh karena itu orang-orang Turki dapat mengambil alih kekuasaan, baik di ibukota maupun disebahagian propinsi.[4] 

b.       Faktor non Militer
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Ibnu Khaldun, ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia dari pada orang-orang Arab:
a.    Sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu.
b.    Orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ashabiyah (kesukuan). Dengan demikian, khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas ashabiyah tradisional.
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu, bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab ('ajam). Selain itu, wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India.[5]
2)      Munculnya Dinasti-Dinasti Kecil Yang Memerdekakan Diri 
Wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama hingga masa keruntuhan sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India. Walaupun dalam kentaannya banyak daerah yang tidak dikuasai oleh Khalifah, secara riil, daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaaan gubernur-gubernur bersangkutan. Hubungan dengan Khalifah hanya ditandai dengan pembayaran upeti.[6]
Ada kemungkinan penguasa Bani Abbas sudah cukup puas dengan pengakuan nominal, dengan pembayaran upeti. Alasannya, karena Khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk, tingkat saling percaya di kalangan penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah dan juga para penguasa Abbasiyah lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada politik dan ekspansi.[7] Selain itu, penyebab utama mengapa banyak daerah yang memerdekakan diri adalah terjadinya kekacauan atau perebutan kekuasaan di pemerintahan pusat yang dilakukan oleh bangsa Persia dan Turki.[8]
Akibatnya propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas. Ini bisa terjadi dengan dua cara, pertama, seorang pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, seperti daulah Umayyah di Spanyol dan Idrisiyah di Marokko. Kedua, seorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh Khalifah yang kedudukannya semakin kuat, seperti daulah Aghlabiyah di Tunisiyah dan Thahiriyyah di Khurasan.
Dinasti yang lahir dan memisahkan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khilafah Abbasiyah, di antaranya adalah:
Yang berbangsa Persia:
  1. Bani Thahiriyyah di Khurasan, (205-259 H/820-872 M).
  2. Bani Shafariyah di Fars, (254-290 H/868-901 M).
  3. Bani Samaniyah di Transoxania, (261-389 H/873-998 M).
  4. Bani Sajiyyah di Azerbaijan, (266-318 H/878-930 M).
  5. Bani Buwaih, bahkan menguasai Baghdad, (320-447 H/ 932-1055 M).
Yang berbangsa Turki:
  1. Thuluniyah di Mesir, (254-292 H/837-903 M).
  2. Ikhsyidiyah di Turkistan, (320-560 H/932-1163 M).
  3. Ghaznawiyah di Afganistan, (351-585 H/962-1189 M).
  4. Bani Seljuk/Salajiqah dan cabang-cabangnya:
a.  Seljuk besar, atau Seljuk Agung, didirikan oleh Rukn al-Din Abu Thalib Tuqhril Bek ibn Mikail ibn Seljuk ibn Tuqaq. Seljuk ini menguasai Baghdad dan memerintah selama sekitar 93 tahun (429-522H/1037-1127 M). Dan Sulthan Alib Arselan Rahimahullah memenangkan Perang Salib ke I atas kaisar Romanus IV dan berhasil menawannya.
b.  Seljuk Kinnan di Kirman, (433-583 H/1040-1187 M).
c.  Seljuk Syria atau Syam di Syria, (487-511 H/1094-1117 M).
d.  Seljuk Irak di Irak dan Kurdistan, (511-590 H/1117-1194 M).
e.  Seljuk Ruum atau Asia kecil di Asia tengah(Jazirah Anatolia), (470-700 H/1077-1299 M).
Yang berbangsa Kurdi:
  1. al-Barzuqani, (348-406 H/959-1015 M).
  2. Abu 'Ali, (380-489 H/990-1095 M).
  3. al-Ayyubiyyah, (564-648 H/1167-1250 M), didirikan oleh Sulthan Shalahuddin al-ayyubi setelah keberhasilannya memenangkan Perang Salib periode ke III.
Yang berbangsa Arab:
  1. Idrisiyyah di Maghrib, (172-375 H/788-985 M).
  2. Aghlabiyyah di Tunisia (184-289 H/800-900 M).
  3. Dulafiyah di Kurdistan, (210-285 H/825-898 M).
  4. 'Alawiyah di Thabaristan, (250-316 H/864-928 M).
  5. Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil, (317-394 H/929- 1002 M).
  6. Mazyadiyyah di Hillah, (403-545 H/1011-1150 M).
  7. Ukailiyyah di Maushil, (386-489 H/996-1 095 M).
  8. Mirdasiyyah di Aleppo, (414-472 H/1023-1079 M).
Yang mengaku dirinya sebagai khilafah:
  1. Umayyah di Spanyol.
  2. Fatimiyah di Mesir.[9]

3)       Perebutan Kekuasaan di Pusat Pemerintahan 
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Ibnu Khaldun, ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab. Pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ashabiyah (kesukuan).
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab ('ajam) di dunia Islam.
Fanatisme kebangsaan ini nampaknya dibiarkan berkembang oleh penguasa. Sementara itu, para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara.
Adalah Khalifah Al-Mu’tashim (218-227 H) yang memberi peluang besar kepada bangsa Turki untuk masuk dalam pemerintahan. Mereka di diangkat menjadi orang-orang penting di pemerintahan, diberi istana dan rumah dalam kota. Merekapun menjadi dominan dan menguasai tempat yang mereka diami, sehingga khalifah berikutnya menjadi boneka mereka.[10]
Setelah al-Mutawakkil (232-247 H), seorang Khalifah yang lemah, naik tahta, dominasi tentara Turki semakin kuat, mereka dapat menentukan siapa yang diangkat jadi Khalifah. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia, pada periode ketiga (334-447), dan selanjutnya beralih kepada Dinasti Seljuk, bangsa Turki pada periode keempat (447-590H).[11]
4)      Kemerosotan Ekonomi
Khilafah Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Baitul-Mal penuh dengan harta. Menurut Muh. Nurhakim, sumber penghasilan Bani Abbasiyah antara lain adalah pajak dari wilayah dan pertanian. Sehubungan dengan ini, banyaknya wilayah yang membebaskan diri sangat mempengaruhi jumlah wilayah pembayar pajak.[12]
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat, diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti, sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah. Jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan korupsi. Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah kedua, faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan.
5)      Konflik Keagamaan (Munculnya Aliran-Aliran Sesat dan Fanatisme Keagamaan)
Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai untuk menjadi penguasa, maka kekecewaan itu mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah.
Adalah khalifah Al-Manshur yang berusaha keras memberantasnya, beliau juga memerangi Khawarij yang mendirikan Negara  Shafariyah di Sajalmasah pada tahun 140 H.[13] setelah al Manshur wafat digantikan oleh putranya Al-Mahdi yang lebih keras dalam memerangi orang-orang Zindiq bahkan beliau mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan mereka serta melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bid'ah. Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum beriman dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu.
Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi'ah, sehingga banyak aliran Syi'ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi'ah sendiri. Aliran Syi'ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Antara keduanya sering terjadi konflik yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa. Al-Mutawakkil, misalnya, memerintahkan agar makam Husein Ibn Ali di Karballa dihancurkan. Namun anaknya, al-Muntashir (861-862 M), kembali memperkenankan orang syi'ah "menziarahi" makam Husein tersebut.[14] Syi'ah pernah berkuasa di dalam khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun. Dinasti Idrisiyah di Marokko dan khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua dinasti Syi'ah yang memerdekakan diri dari Baghdad yang Sunni.
Selain itu terjadi juga konflik dengan aliran Islam lainnya seperti perselisihan antara Ahlusunnah dengan Mu'tazilah, yang dipertajam oleh al-Ma'mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M), dengan menjadikan mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara dan melakukan mihnah. Pada masa al-Mutawakkil (847-861 M), aliran Mu'tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan ahlusunnah kembali naik daun. Aliran Mu'tazilah bangkit kembali pada masa Bani Buwaih. Namun pada masa dinasti Seljuk yang menganut paham Asy'ariyyah penyingkiran golongan Mu'tazilah mulai dilakukan secara sistematis. Dengan didukung penguasa, aliran Asy'ariyah tumbuh subur dan berjaya.[15]
Fanatisme keagamaan terkait erat dengan persoalan kebangsaan. Pada periode Abbasiyah, konflik keagamaan yang muncul menjadi isu sentra sehingga mengakibatkan terjadi perpecahan. Berbagai aliran keagamaan seperti Mu’tazilah, Syi’ah, Ahlus Sunnah, dan kelompok-kelompok lainnya menjadikan pemerintahan Abbasiyah mengalami kesulitan untuk memepersatukan berbagai faham keagamaan yang ada.[16]

2.      Faktor Eksternal (Ancaman dari Luar)
Apa yang telah disebutkan di atas adalah faktor-faktor internal. Disamping itu, ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan khilafah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur. Adapun faktor –faktornya antara lain:

a.    Perang Salib
Perang salib merupakan penyebab lemahnya pemerintahan Abbasiyah, karena kosentrasi dan perhatian Abbasiyah terpecah belah untuk menghadapi tentara Salib.
Perang Salib ini terjadi pada tahun 1095 M, saat Paus Urbanus II berseru kepada umat Kristen di Eropa untuk melakukan perang suci, untuk memperoleh kembali keleluasaan berziarah di Baitul Maqdis yang dikuasai oleh Penguasa Seljuk, serta menghambat pengaruh dan invasi dari tentara Muslim atas wilayah Kristen. Sebagaimana sebelumhnya tentara Sulthan Alp Arselan Rahimahullah tahun 464 H (1071 M), yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit, dalam peristiwa ini berhasil mengalahkan tentara Romawi yang berjumlah 2.000.000 orang, terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis dan Armenia, peristiwa ini dikenal dengan peristiwa Manzikert.
Walaupun umat Islam berhasil mempertahankan daerah-daerahnya dari tentara Salib, namun kerugian yang mereka derita banyak sekali, karena peperangan itu terjadi di wilayahnya. Kerugian-kerugian ini mengakibatkan kekuatan politik umat Islam menjadi lemah. Dalam kondisi demikian mereka bukan menjadi bersatu, tetapi malah terpecah belah. Banyak daulah kecil yang memerdekakan diri dari pemerintahan pusat Abbasiyah di Baghdad.[17]
b.    Kehancuran Daulah Abbasiyah : Serangan Bangsa Mongol
1.      Latar Belakang Serangan
Kehancuran Abbasiyah selain disebabkan faktor-faktor internal, juga disebabkan oleh faktor eksternal. Faktor eksternal yang menyebabkan runtuhnya kekuasaan Abbasiyah meliputi adanya perang salib dan serangan Mongol terhadap wilayah kekuasaan Islam. Serangan Bangsa Mongol berdampak besar pada peradaban Islam selanjutnya.
Jatuhnya Kota Baghdad pada tahun 1258 M ke tangan Mongol bukan saja mengakhiri kekhalifahan Abbasiyah, tetapi juga merupakan awal dari kemunduran politik dan peradaban Islam. Berdasarkan latar belakang tersebut maka perlu dikaji kembali tentang serangan Mongol ke dunia Islam, baik latar belakang serangan Mongol maupun akibat serangan tersebut.
Serangan-serangan yang dilakukan oleh Mongol memiliki latar belakang yang menjadi motivasi mereka untuk melakukan penyerang tersebut. Maidir Harun dan Firdaus,[18] memaparkan bahwa ada beberapa hal yang menjadi motivasi bagi Mongol untuk melakukan serangan, sebagai berikut:
a)       Faktor Politik
Pada tahun 615 H. sekitar 400 orang pedagang bangsa Tartar dibunuh atas persetujuan wali (gubernur) Utrar. Barang dagangan mereka dirampas dan dijual kepada saudagar Bukhara dan Samarkand dengan tuduhan mata-mata Mongol. Tentu saja hal ini menimbulkan kemarahan Jenghis Khan. Jenghis Khan mengirimkan pasukan kepada Sultan Khawarizmi untuk meminta agar wali Utrar diserahkan sebagai ganti rugi kepadanya. Utusan ini juga dibunuh oleh Khawarizmi Syah sehingga Jenghis Khan dengan pasukannya melakukan penyerangan terhadap wilayah Khawarizmi.[19]
Turkistan yang merupakan pemerintahan independen dari Khilafah Abbasiyah. Selanjutnya serangan-serangan Mongol ke dunia Islam terbagi menjadi 3 gelombang serangan dahsyat Mongol ke dunia Islam, yaitu:
  1. Penghancuran dan pembantaian di Turkistan dan Khurasan di bawah pimpinan Jengiz Khan.
  2.  Serangan ke Baghdad di bawah pimpinan Hulagu Khan pada tanggal 10 Februari 1258
  3. Invasi ke negara-negara Asia di bawah pimpinan Timur Lenk yang dimulai dengan serangan ke Persia pada tahun 1380 M.[20]


b)     Motif Ekonomi
Motif ini diperkuat oleh ucapan Jenghis Khan sendiri, bahwa penaklukan-penaklukan dilakukannya adalah semata-mata untuk memperbaiki nasib bangsanya, menambah penduduk yang masih sedikit, membantu orang-orang miskin dan yang belum berpakaian. Sementara di wilayah Islam rakyatnya makmur, sudah berperadaban maju, tetapi kekuatan militernya sudah rapuh.
c)      Tabiat Orang Mongol yang Suka Mengembara
Tabiat mereka yang suka mengembara, diundang ataupun tidak diundang mereka akan datang juga menjarah dan merampas harta kekayaan penduduk dimana mereka berdiam. Penyerangan-penyerangan yang dilakukan oleh Jenghis Khan dengan pasukan perangnya yang terorganisir, berusaha memperluas wilayah kekuasaan dengan melakukan penaklukan. Para ahli pertukangan mereka bawa dalam pasukan batalion Zeni (yon-zipur) untuk membuat jembatan dan menjamin melancarkan transportasi dalam penyerangan. Para tawanan perang dimanfaatkan secara paksa untuk memanggul perlengkapan perang dan makanan. Strategi perang Jenghis Khan yang tidak ketinggalan juga adalah membariskan penduduk sipil yang telah kalah di depan tentara sebagai tameng untuk menggetarkan musuh. Di samping itu, Jenghis Khan membawa penasehat yang terdiri dari para rahib dan tukang ramal.
2.      Proses Serangan Bangsa Mongol dan Dampaknya bagi Peradaban Islam
 Adapun serangan Mongol terhadap Bani Abbasiyah di Baghdad. Semuanya dimulai dari keinginan raja Mongolia yang bernama Mangu untuk memeperluas wilayah kekuasaanya. Maka, raja Mangu memerintahkan Kubalai untuk penyerangan ke wilayah timur, sedangkan ke arah barat raja Mangu memerintahkan Hulagu untuk menaklukan kekhilafaan Islam. Sementara, latar belakang Hulagu berminat sekali menghancurkan kekhilafaan Islam  dikarenakan dua hal, kebenciannya terhadap Islam, di mana hal ini ditimbulkan oleh istrinya yang beragama kristen, dan karena janji raja Mangu kepada raja Armenia untuk menyerahkan Jerussalem kepada orang-orang Salib, apabila Mangu berhasil menumbangkan kekuasaan Islam. Disebutkan juga bahwa Hulagu Khan, panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti Islam itu dan diperkeras di kantong-kantong ahl al-kitab.[21]
Pada 10 Februari 565 H/1258 M, tentara Mongol yang berkekuatan sekitar 200.000 orang tiba di salah satu pintu Baghdad. Khalifah Al-Musta'shim, penguasa terakhir Bani Abbas di Baghdad (1243 - 1258), betul-betul tidak berdaya dan tidak mampu membendung "topan" tentara Hulagu Khan.
Pada saat yang kritis tersebut, wazir khilafah Abbasiyah, Ibn Alqami ingin mengambil kesempatan dengan menipu khalifah. la mengatakan kepada khalifah, "Saya telah menemui mereka untuk perjanjian damai. Hulagu Khan ingin mengawinkan anak perempuannya dengan Abu Bakr Ibn Mu'tashim, putera khalifah. Dengan demikian, Hulagu Khan akan menjamin posisimu. la tidak menginginkan sesuatu kecuali kepatuhan, sebagaimana kakek-kakekmu terhadap sulthan-sulthan Seljuk".
Khalifah menerima usul itu, la keluar bersama beberapa orang pengikut dengan membawa mutiara, permata dan hadiah-hadiah berharga lainnya untuk diserahkan kepada Hulagu Khan. Hadiah-hadiah itu dibagi-bagikan Hulagu kepada para panglimanya. Keberangkatan khalifah disusul oleh para pembesar istana yang terdiri dari ahli fikih dan orang-orang terpandang. Tetapi, sambutan Hulagu Khan sungguh di luar dugaan khalifah. Apa yang dikatakan wazirnya temyata tidak benar. Mereka semua, termasuk wazir sendiri, dibunuh dengan leher dipancung secara bergiliran.[22]
Buku-buku yang terkumpul di Baitul Hikmah dibakar dan dibuang ke sungai Trigis, sehingga berubalah warna air sungai tersebut yang jernih bersih menjadi hitam kelam karena lunturan tinta yang ada pada buku-buku itu.[23]
Inilah hari yang sangat menyedihkan bagi umat Islam sedunia, sebab kehancuran politik Baghdad sama juga hancurnya politik Islam kala itu. Dengan demikian, lenyaplah dinasti Abbasiyah yang telah memainkan peran penting dalam percaturan kebudayaan dan peradaban Islam secara gemilang.
3.      Daulah Abbasiyah Pasca Serangan Bangsa Mongol
Dengan pembunuhan yang kejam ini berakhirlah kekuasaan Abbasiyah di Baghdad. Kota Baghdad sendiri dihancurkan rata dengan tanah, sebagaimana kota-kota lain yang dilalui tentara Mongol tersebut. Walaupun sudah dihancurkan, Hulagu Khan memantapkan kekuasaannya di Baghdad selama dua tahun, sebelum melanjutkan gerakan ke Syria dan Mesir.
Jatuhnya kota Baghdad pada tahun 1258 M ke tangan bangsa Mongol bukan saja mengakhiri kekuasaan khilafah Bani Abbasiyah di sana, tetapi juga merupakan awal dari masa kemunduran politik dan peradaban Islam, karena Bagdad sebagai pusat kebudayaan dan peradaban Islam yang sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan itu ikut pula lenyap dibumihanguskan oleh pasukan Mongol yang dipimpin Hulaghu Khan tersebut.

C.   PENUTUP
Kemunduran Daulah Abbasiyah disebabkan oleh beberapa faktor, faktor internal dan faktor eksternal. Adapun fakto-faktor internalnya, yaitu luasnya wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyah, sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan, ketergantungan khalifah kepada angkatan bersenjata sangat tinggi, keuangan negara sangat sulit, karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Di samping itu, ada pula faktor-faktor yang lain,  masa disintegrasi, persaingan antarbangsa, kemerosotan ekonomi, dan konflik keagamaan.
Adapun faktor-faktor eksternal yang menyebabkan khilafah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur, yaitu dampak dari perang salib yang membuat kosentrasi dan perhatian Abbasiyah terpecah belah. Di samping itu, serangan bangsa mongol yang menghancurkan kota Baghdad. Bahkan, Khalifah Bani Abbasiyah yang terakhir beserta keluarganya, Al-Mu’tashim Billah dibunuh, buku-buku yang terkumpul di Baitul Hikmah dibakar dan dibuang ke sungai Tigris. Maka hancurlah dinasti Abbasiyah yang telah memainkan peran penting dalam percaturan kebudayaan dan peradaban Islam secara gemilang.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik. dkk,. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve. 2003.
Al-Isy, Yusuuf Tarikh ‘Ashr Al-Khilafah Al-‘Abbasiyyah. Terj. Arif Munandar. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2007
Al-Usyairy, Ahmad. Attarikh al-Islami. Terj. Samson Rahman. Jakarta: Akbar. 2003
Amin, Samsul Munir. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah. 2009
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ichtiar van Hoeven. 2003
Hasan, Hasan Ibrahim. Sejarah Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Penerbit Kota Kembang. 1989
Harun, Maidir, Firdaus. Sejarah Peradaban Islam. Padang: IAIN-IB Press.2002
Supriyadi, Dedi. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: CV Pustaka Setia. 2008
Montgomery Watt, Montgomery.  Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh     Orientalis. Yogyakarta: Tiara Wacana. 1990
Muir, Sir William. The Caliphat. New York: AMS Inc. 1975

Nata, Abudin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2003
Nurhakim, Muhammad. Sejarah & Peradaban Islam. Malang: UMM Press. 2004
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarata: PT Raja Grafindo Persada. 2008
Zainab, Nurul. Serangan Mongol ke Dunia Islam. Makalah Studi Peradaban Islam. Program Studi Pendidikan Agama Islam, Program Pascasarjana, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. 2011
http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Abbasiyah#Masa_Disintegrasi_.281000-1250_M.29
http://maktabahku.wordpress.com/2008/11/13/sebab-sebab-kemunduran-pemerintahan-bani-abbas-masa-disintegrasi/



[1] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), cet. VIII, h. 46.
[2] Muh. Nurhakim, Sejarah & Peradaban Islam, (Malang: UMM Press, 2004), h. 70
[3]W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis Dari Tokoh Orientalis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), h. 165-166
[4] Taufik Abdullah, dkk, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), h. 108-109.
[5]  http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Abbasiyah#Persaingan_antar_Bangsa
[6]  Sir William Muir, The Caliphat, New York: AMS Inc, 1975. hlm.432 yang dikutip Badari yatim , sejarah peradaban Islam Dirasah islamiayah II. Hlm 63
[7] Badari yatim , sejarah peradaban Islam Dirasah islamiayah II. Hlm. 63
[8] Yusuuf al-Isy, Tarikh ‘Ashr Al-Khilafah Al-‘Abbasiyyah, Terj. Arif Munandar. hlm. 137
[9]  Badari yatim , sejarah peradaban Islam Dirasah islamiayah II. Hlm.65-66. lihat juga Yusuuf al-Isy, Tarikh ‘Ashr Al-Khilafah Al-‘Abbasiyyah, Terj. Arif Munandar, hlm. 261- 297
[10]  Yusuuf al-Isy, Tarikh ‘Ashr Al-Khilafah Al-‘Abbasiyyah, Terj. Arif Munandar, Jakarta Pustaka Al-Kautsar, 2007. hlm. 102-104
[11]  Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah islamiayah II. h. 50
[12]  Muh. Nurhakim, Sejarah & Peradaban Islam, (Malang: UMM Press, 2004), h. 72
[13]  Ahmad al-Usyairy, Attarikh al-Islami, Terj. Samson Rahman, Jakarta: Akbar, 2003. hlm. 224
[14]  Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, Yogyakarta: Penerbit Kota Kembang, 1989. yang dikutip Badari yatim , sejarah peradaban Islam Dirasah islamiayah II. Hlm. 83
[15] Ibid. Hlm. 84
[16] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), h.156
[17] http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Abbasiyah#Masa_Disintegrasi_.281000-1250_M.29
[18] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, (Padang: IAIN-IB Press, 2002), jld.2, h.107-108.
[19] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ichtiar van Hoeven, 2003), h. 242.
[20] Nurul Zainab, 2011, Serangan Mongol ke Dunia Islam. Makalah Studi Peradaban Islam, Program Studi Pendidikan Agama Islam, Program Pascasarjana, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
[21]http://maktabahku.wordpress.com/2008/11/13/sebab-sebab-kemunduran-pemerintahan-bani-abbas-masa-disintegrasi/
[22]http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Abbasiyah#Serangan_Bangsa_Mongol_dan_JatuhnyaBaghdad
[23] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), h.156-157

Tidak ada komentar:

Posting Komentar