Senin, 15 Februari 2016

TASYRIK PADA MASA SIGHAR SAHABAT DAN TABI’IN

A.    Pendahuluan
Persoalan yang terkomplek yang dihadapi oleh umat Islam adalah ketika menemukan suatu permasalahan yang belum ada ketetapan hukumnya di dalam kitabullah dan sunnah. Oleh karena itu penetapan hukum terhadap hal-hal yang belum ada ketetapan hukumnya ulama mesti menggali supaya jelas duduk perkaranya, menetapkan suatu hukum yang belum ditemukan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah tentu diperlukan metode untuk menetapkannya, misalnya memakai metode Ijma’, Qias dan lain sebagainya.
Berakhirnya masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib umat Islam dihadapkan dengan permasalahan-permasalahan baru akibat pertentangan Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah yang pada akhirnya umat Islam terpecah kepada beberapa golongan yaitu khawarij, syi’ah, mu’awiyan dan jumhur ulama. Walaupun dalam persoalan politik pada masa ini sungguh memprihatinkan namun dari segi ilmu-ilmu keislaman cukup berkembang dengan pesat.
Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang tasyri’ pada masa sighar sahabat dan tabi’in, munculnya ahli hadis dan ahli ra’yi. Masa ini diawali dari pemerintahan Mu'awiyah bin Abi Sufyan pada tahun 41H.




B.       Pembahasan
1.      Tasyr’ pada Masa Sighar sahabat
Sebelum dibahas makalah ini lebih jauh perlu dijelaskan secara umum  siapa itu sahabat, siapa itu sighar sahabat dan tabi’in, disini penulis hanya menjelaskan secara umum saja. Definisi sahabat yang dikemukakan oleh Muhammad Ajjaj al-Khatib dalam bukunya Ushul al-Hadis adalah setiap orang muslim yang hidup semasa dengan Rasul, bergaul serta menimba ilmu (meriwayatkan hadis) dari Rasulullah. Menurut Muslim “Sahabat adalah setiap orang muslim yang pernah melihat Rasulullah SAW.” Menurut Ushuliyyin “Sahabat adalah orang yang pernah berkumpul dalam satu majlis, belajar dan meriwayatkan hadis dari Rasul.”[1] Dari beberapa definisi diatas dapat dipahami bahwa sahabat adalah setiap orang muslim yang hidup semasa dengan Rasul, berjumpa baik meriwayatkan hadis atau tidak, yang sudah dewasa ataupun yang masih kecil.
Sighar Sahabat adalah sahabat yang hidup pada masa Rasul namun pada masi itu Ia masih kecil. Penulis belum menjumpai pengertian sighar sahabat secara jelas dan khusus setelah merujuk beberapa referensi yaitu dalam kitab Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Sunnah Qobla Tadwin dalam buku ini definisi sahabat dibahas pada halaman 387. Dalam buku Muhammad al-Khudari, Tarekh Tasyri’ Islami juga dibahas mengenai sahabat dan tabi’in pada halaman 72, namun belum penulis temukan pengertian sighar sahabat, begitu juga Manna’ al-Qattan Tarekh Tasyri’ Islami yang pembahasannya pada halaman 257. Penulis menyadari bahwa pengertian sighar sahabat itu ada akan tetapi karena sedikitnya buku yang penulis baca dan keterbatasan dalam memahami bacaan, jadi belum penulis temukan pengertian sighar sahabat tersebut.  Adapun tabiin adalah seseorang yang berkumpul (berjumpa) dengan sahabat dalam keadaan beriman dan meninggal dalam keadaan beriman.
Priode sighar sahabat dan tabi’in ini dimui ketika para khalifah Bani Umayyah memegang tampuk kekuasaan kaum muslimin setelah terbunuhnya Imam Ali bin Abi Thalib pada tahun 41 H. dan berakhir pada abad kedua hijriah sebelum berakhirnya Dinasti Umayyah pada tahun 132 H. Masa ini penuh dengan berbagai peristiwa dan perkembangan, perbedaan fiqh dan pergolakan politik karena sejak awal berdirinya dinasti ini kaum muslimin terpecah kepada tiga golongan.[2] Antara kelompok Khawarij, Syi’ah, dan Jumhur kaum muslimin mereka berbeda doktrin sebagai berikut:
1.      khawarij
a.       Orang-orang khawarij mengingkari qiyas dan tidak menganggapnya sebagai sumber hukum syariat. Mereka juga menolak ijma’ dan tidak dapat dijadikan dasar hukum, yang menjadi dasar adalah sandaran ijma’ jika memang tampak dan jika tidak tampak tidak dijadikan dalil.
b.      Sebagian mereka mengingkari hukum-hukum syara’ yang telah ditetapkan dengan ijma’, seperti menggugurkan hukuman rajam bagi seorang pezina
2.      Syi’ah
a.       Dalam pemakaian sunnah sebagai sumber hukum, orang syi’ah tidak mengambilnya kecuali hadis-hadis yang datang dari periwayatan ahli bait dan pengikutnya. Adapun ijma’ mereka menolaknya sebagai sumber hukum karena mengamalkan ijma’ sama artinya dengan mengabaikan pendapat sahabat yang lain atau tabi’in.
b.      Mayoritas orang syi’ah menolak qiyas karena ia berupa pendapat pribadi, dan agama tidak dikaji dengan pendapat pribadi namun diambil dari Allah dan Rasulnya serta para imam yang maksum.
3.      Jumhur Kaum Muslimin
Metode yang dipakai oleh jumhur kaum muslimin dalam menetapkan hukum terbagi kepada dua bentuk[3]:
a.       Kelompok yang yang pertama ini sebahagian jumhur kaum muslimin berpegang kepada nash yang zahir saja (lebih mengutamakan nash dari pada ra’yu), pengikut ini dinamakan ahli hadis (kaum literalis)
b.      Aliran yang mencari ilat-ilat hukum dan hikmahnya dari nash maka kelompok ini dinamakan ahli ra’yi (kaum rasionalis)
Secara umum sumber tasyri’ pada masa Dinasti Umayyah ini sama dengan pada masa sahabat, namun terdapat sedikit perbedaan akibat terpecahnya umat Islam kepada beberapa kelompok seperti syi’ah tidak berpegang kepada hadis yang tidak diriwayatkan oleh ahli bait.
2.        Munculnya Ahli Hadis dan Ahli Ra’yi
a.      Munculnya Ahli Hadis
Pada pertengahan abad ke-2 H sekelompok ulama telah berupaya mengumpulkan hadis berdasarkan perawinya yang terpisah dari perkataan sahabat, yang bisa di ketahui dari sanad-sanadnya. Orang yang pertama kali mengumpulkan hadis adalah Rabi’ bin Shabih yang telah wafat pada tahun 160 H.[4]
Pada masa pemerintahan Bani Umayyah, wilayah kekuasaan Islam sampai ke Mesir, Persia, Irak, Afrika Selatan, Samarkan dan Spanyol, di samping tersebarnya di Madinah, Makkah, Basrah, Syam, dan Khurasan. Sejalan dengan pesatnya perluasan wilayah kekuasaan Islam, penyebaran sahabat-sahabat ke wilayah tersebut terus meningkat dan menjadi latar belakang munculnya pusat-pusat periwayatan hadis, sehingga masa ini di kenal dengan menyebarnya periwayatan hadis.
Pusat pembinaan hadis tersebut adalah Madinah karena disinilah Rasulullah SAW menetap setelah hijrah, kemudian membina masyarakat Islam yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar.
a.       Pusat- pusat pembinaan hadis
Tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam meriwayatkan hadis sebagai tujuan para tabi’in dalam mencari hadis. Kota-kota tersebut adalah Madinah, Makkah, Kuffah, Basrah, Syam, Magribi, Andalus, Yaman dan Khurasan.[5]
Pusat pembinaan yang pertama adalah Madinah, karena disinilah Rasulullah SAW menetap setelah hijrah. Dan disini pulalah Rasul membina masyarakat Islam yang di dalamnya terdiri dari kaum muhajirin dan anshar, dari berbagai suku dan kabilah.
Adapun tokoh-tokoh pembinaan hadis di setiap kota tersebut adalah:
1.      Madinah diawali oleh Khalifa Rasyidin, Abu Huraira, dan Aisyah, Abdullah bin Umar dan Abu Said al-Khudri dengan melahirkan para pembesar dari kalangan tabi’in, seperti Sa’id Ibnu Musayyab, Urwah Ibnu Zubair, Ibnu Shihab al-Zuhri, Ubaidillah Ibnu Uthbah Ibnu Mas’ud dan Salim Ibnu Abdillah.
2.      Makkah adalah Atha’ bin Abi Rabbah, Thawus bin Kaisan dan Ikramah Maula Ibnu Abbas.
3.      Di Kuffah al-Rabi’ ibn Qasam, kamal ibn Zaid al-Nakh’I, Sa’id ibn Zubair al-Asadi, Amir ibn Sarahil al-Sya’bi, Ibrahim al-Nakh’I dan Abu Ishaq al-Sa’bi.
4.      Di Basrah Hasan al-Bashri, Muhammad ibn Sirin, Ayub al-Sakhyatani, Yunus ibn ‘Ubaid, Abdullah bin Aun, Qatadah ibn Du’amah al-Sudus, Hisyam bin Hasan.
5.      Di Syam ialah Salim bin Abdillah al-Muharibi, Abu Idris al-Khaulani, Abu Sulaiman al-Darani dan Umar ibn Hana’i.
6.      Di Mesir Amr ibn al-Harits, Khair ibn Zu’aimi al-Hadharami,Yazid ibn Abi Habib, Abdullah ibn Abi Ja’far dan Abdullah ibn Sulaiman al-Thawil.
7.      Andalus ialah Ziyad ibn An’am al-Mu’afi, Abdurrahman ibn Ziyad, Yazid ibn Rafi’ dan Muslim ibn Yasar.
8.      Yaman ialah Hammam ibn Munabah dan Wahab ibn Munabah, Thawus dan Ma’mur ibn Rasyid.
9.      Khurasan Muhammad ibn Ziyad ibn Tsabit al-Anshari dan Yahya ibn Sabih al-Mugri. 
b.      Pergolakan politik dan pemalsuan hadis
Pergolakan ini sebenarnya terjadi pada masa sahabat setelah terjadinya perang jamal dan perang shiffin yaitu ketika kekuasaan di pegang oleh khalifah Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat Islam kepada beberapa kelompok (Khawarij, Syi’ah, Mu’awiyah dan golongan mayoritas yang tidak masuk ke dalam tiga kelompok tersebut ).[6]
Pengaruh yang negatif akibat terjadinya perpecahan umat Islam kepada beberapa kelompok tersebut yaitu munculnya hadis-hadis palsu (maudhu’ ) yang dilakukan untuk mendukung kepentingan  politik masing-masing kelompok dan menjatuhkan posisi lawan mereka, dalam hal ini yang dimaksud adalah antara kelompok syi’ah dan khawarij.
Adapun yang menghalangi tindakan pemalsuan hadis ialah dengan lahirnya rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kodifikasi atau tadwin hadis sebagai upaya menyelamatkan hadis dari pemusnahan dan pemalsuan sebagai akibat dari pergolakan politik tersebut.
Pada masa khalifah Usman bin Affan, para sahabat sudah terpencar di berbagai wilayah, mereka berada di tanah air yang berbeda-beda. Para sahabat membawa hadis Rasulullah dan hukum-hukum syari’at ke tanah air mereka yang baru di Hijaz, Yaman, Irak, Syam, dan Mesir.
Para sahabat mengajarkan ilmu-ilmu agama dan hadis yang mereka terima dari Rasul kepada generasi sesudah mereka yang di sebut dengan tabi’in. berdasarkan kekhawatiran para sahabat akan hilang dan rusaknya makna hadis-hadis yang di peroleh dari rasulullah maka sahabat memerintahkan tabi’in untuk menulis setiap hadis-hadis yang mereka ajarkan.
Para tabi’in mereka bertanggung jawab mewarisi kebenaran hadis yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW senantiasa meneladani sahabat karena mereka meyakini bahwa para sahabat adalah generasi pertama setelah rasul yang memelihara al-Qur’an dan Sunnah. Maka pada umumnya tabi’in dan para sahabat  sepakat dalam mencegah pemalsuan hadis.[7]
b.      Munculnya Ahli ar-Ra’yu
Ahli ar-Ra’yu ialah suatu sifat yang dimiliki oleh setiap orang yang berijtihat dan menggali hukum yang tidak ada pada nash dan membaandingkannya pada yang lain dan membawa furu’ terhadap ushul dalam kitabullah dan sunnah.[8] Ar-Ra’yu pada masa sahabat memiliki keistimewaan di antaranya: para sahabat mampu menggali hukum dan memberikan pendapat langsung terhadap peristiwa yang terjadi, tidak memiliki prasangka-prasangka terhadap peristiwa yang belum terjadi. Pada masa sahabat ra’yu ini belum banyak dibutuhkan.
Adapun pada masa Bani Umayyah, tasyri’ Islam dimulai dengan berakhirnya masa Khalifa Rasyidin pada tahun 41 H. metode yang digunakan sama dengan metode pada masa sahabat yaitu berpegang kepada sumber-sumber hukum yang berlaku pada masa sahabat dan mengikuti metode mereka dalam mengambil hukum kecuali ijtihat terdapat beberapa perbedaan, diantaranya:[9] meluasnya cakupan fiqh dan banyaknya perbedaan dalam berbagai masalah.
Semakin banyak terjadi permasalahan-permasalahan, maka semakin luas cakupan fiqh dan ijtihat untuk istinbat hukum. Semakin tidak di temukan hukum yang tertulis dari kitab dan sunnah atau hilangnya ijma’ dari sahabat, maka bertambahlah kesempatan untuk munculnya  perbedaan pendapat diantara para mujtahid dalam menetapkan hukum suatu masalah. Pada masa  ini banyak terjadi persoalan baru yang tidak ada hukum yang tertulis atau ijtihat sahabat sebelumnya karena meluasnya wilayah Islam dan terjadi berbagai perbedaan kebiasaan, keadaan social ekonomi dan sebagainya. Permasalahan tersebut muncul karena semakin luarnya wilayah Islam dan semakin kompleknya permasalahan umat.
Jadi pada periode ini para Ulama dalam mengemukakan pemikiran dapat digolongkan menjadi dua golongan pertama “Ahli Hadis” yaitu para ulama’ yang dominan menggunakan riwayat dan sangat hati-hati dalam menggunakan ra’yu. kedua ulama ”Ahli Ra’yu” mereka ini lebih banyak penggunaan pemikirannya (ra’yu) dalam menyelesaikan kasus  dibandingkan hadis.
c.    Munculnya Fuqaha Sab’ah
Sejak khalifah Ali bin Abi Thalib, ahli hadis telah tersebar di Hijaz yang dikepalai oleh Sa’id bin Musayyab dari kalangan tabi’in, kemudian mereka terbagi kepada mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan ahli ar-ra’yu tersebar di Kuffah yang dikepalai oleh Ibrahim an-Nakh’i dari kalangan tabi’in kemudian mereka dikatakan golongan Hanafiyah.
Pada masa tabi’in telah populer madrasa ahli hadis fuqaha Madinah yang tujuh (fuqaha sab’ah), yaitu:[10]
1.        Sa’id bin musayyab
2.        ‘Urwah bin zubair
3.        Qosim bin Muhammad bin Abu Bakar
4.        Kharijah bin Zaid
5.        Abu Bakar bin ‘Abdurrahman bin Harits
6.        Sulaiman bin yasar
7.        Abdullah bin Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’ud
Biografi singkat fuqaha sab’ah:
Ø  Sa’id bin Musayyab
Dilahirkan dua tahun setelah pemerintahan Umar yaitu pada tahun 15 H, ia dikenal dari kibar as-sahabat yang mengatakan bahwa Sa’id bin Musayyab ini sangat luas ilmunya. Ibnu umar berkata “ sa’id bin musayyab adalah seorang mufti”. Qotada’ berkata ”tidak ada yang saya lihat orang yang paling alim selain sa’id bin musayyab”, Ia wafat pada tahun 94 H.[11]
Ø  ‘Urwah bin Zubair
Lahir pada masa khalifah Usman yaitu pada tahun 22 H. Dia bnyak meriwayatkan hadis dari sahabat dan mendalami hadis dari Aisyah. ‘urwah dikenal seorang yang sangat ‘alim, Ia wafat pada tahun 94 H.[12]
Ø  Qosim bin Muhammad bin Abu Bakar
Qosim banyak mendengar hadis dari bibinya Aisyah, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, berkata Yahya bin Sa’id “kami tidak tahu di Madinah yang melebihi ilmunya Qosim. Ibnu ‘Uyaynah juga mengatakan bahwa Qosim adalah seorang yang paling ‘alim. Qosim wafat pada tahun 106 H.[13]
Ø  Kharijah bin Zaid
Ø  Abu Bakar bin ‘Abdurrahman bin Harits
Dia dilahirkan pada masa khalifah Umar dan banyak meriwayatkan hadis dari bapaknya, para sahabat dan juga meriwayatkan hadis dari Zuhri, kemudian dari kalangan tabi’in yang lain. Abu Bakar bin Abdurrahman bin harits wafat di Madinah pada tahun 94 H.[14]
Ø  Sulaiman bin Yasar
Sulaiman bin Yasar menerima hadis dari Maimunah, Aisyah, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit dan yang lainnya. Berkata Ibnu Muhammad bin al-Hanafiyah “Sulaiman bin Yasar lebih faham dari kami tentang segala sesuatu dan juga lebih luas ilmunya dari Sa’id bin Musayyab. Sulaiman bin Yasar meninggal pada tahun 107 H.[15]
Ø  Abdullah bin Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’ud
Abdullah bin Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’ud  menerima hadis dari Aisyah, Abu Huraira, Ibnu Abbas, dan dari sahabat yang lain. Abdullah dikenal seorang yang sangat luas ilmunya (lautan ilmu), dan meninggal pada tahun 98 H.[16]
Mereka tersebut adalah tujuh orang ulama kota Madinah yang keluasan ilmunya tidak saja diakui oleh penduduk negeri tersebut, namun diakui pula oleh para ulama diseluru penjuru negeri. Adapun ahli ar-Ra’yu yang menonjol di Kuffah adalah Ibrahim an-Nakh’i dan sahabat-sahabatnya dari fuqaha kuffah.[17]
Ada beberapa sebab tersebarnya madrasa ahli hadis dan ahli ra’yu:
1.        Sebab tersebarnya madrasa ahli hadis di hijaz ialah sebagai berikut.
a.    Pengaruh fuqahah tabi’in di hijaz melalui syekh-syekh mereka dari kalangan sahabat seperti ’Abdullah bin Umar dan ‘ibnu Abbas yang bergantung pada atsar.
b.      Kebanyakan muhaddisin atau fuqoha di Madinah menetapkan suatu perkara tidak membutuhkan ra’yu dan mengutamakan nash. Seperti perkataan Ahmad bin Hambal “hadis yang lemah itu lebih kuat dari pendapat seseorang”
c.       Penduduk hijaz tidak suka berbicara mengenai hukum dari permasalahan yang belum terjadi..
2.      Sebab tersebarnya ahli ra’yu di kuffah (irak)[18]
a.       Pengaruh penduduk Irak melalui syekh mereka dari kalangan sahabat  ‘abdullah bin Mas’ud mempergunakan ra’yu ketika tidak adanya Nash.
b.      Penduduk Irak yang menggunakan hadis berjumlah sedikit, karena sahabat yang hijrah ke kuffah tidak pernah lagi kembali ke hijaz, dikarenakan kesibukan sahat dalam berijtihat.
c.       Banyak persoalan-persoalan baru yang timbul di Irak, membutuhkan penetapan hukum yang belum ditemukan dalam nash.
d.      Irak dikenal dengan negerinya kaum syi’ah dan khawarij, di Irak pada masa itu banyak berkembang hadis-hadis palsu yang sengaja dibuat oleh kaum syi’ah dan khawarij untuk menonjolkan kelompok mereka masing-masing.
d.   Warisan Mereka
Langkah utama pada abad ketiga diawali dengan pengelompokan hadis. Yang memisahkan mana yang hadis marfu’, mauquf dan maqthu’. Hadis marfu’ adalah hadis yang berisi tentang prilaku Rasul SAW. Hadis maukuf adalah adalah hadis yang berisi tentang prilaku sahabat. Hadis maqthu’ adalah hadis yang berisi tentang prilaku tabi’in. pengelompokan tersebut dilakukan oleh Ahmad bin Hambal, Abdullah bin Musa al-Abasi al-Kufi, Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i dan Usman bin Abi Syu’bah. Yang paling mendapat perhatian paling besar dari ulama-ulama sesudahnya adalah  al-Musnad al-Kabir karya Ahmad bin Hambal dan sudah adanya ilmu jarah wa ta’dil pada masa tabi’in.
Pendadwinan hadis dilaksanakan dengan penelitian  sanad dan rawi-rawinya. Ulama yang terkenal yang mempelopori usaha pentadwinan ini adalah Ishaq bin Rahawaih bin mukhlad al-Handali at-Tamimi al-Marwazi (161-238 H / 780-855 M). ia adalah salah satu guru Ahmad bin Hambal, Bukhari, Muslim, at-Tirmizi, an-Nasa’i.
Usaha Ishaq ini selain dilanjutkan oleh Bukhari kemudian diteruskan oleh muridnya yaitu Muslim. Akhirnya para ulama sesudahnya melanjutkan sehingga pentadwinan kitab hadis terwujud dalam kitab al-Jami’ush Shahih Bukhari, al-Jami’ush Shahih Muslim, as-Sunan Ibnu Majah dan seterusnya. Pada abad ini telah diusahakan memisahkan hadis yang shahih dengan hadis yang dho’if.
Pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib (35-40 H) terjadi Musibah besar yang menimpa umat Islam yang menelan korban dan  harta yang tidak sedikit  akibat adanya keinginan untuk merebut kekuasaan kekhalifahan, kemudian terjadi pergeseran dalam bidang syari’ah dan aqidah dengan membuat hadis-hadis palsu untuk membela kelompoknya masing-masing. akibat dari peristiwa ini maka terbunuhlah Husain bin Ali bin Abi Thalib (61 H / 681 M), para sahabat kecil yang masih hidup  terutama para tabi’in tidak mau lagi menerima hadis baru yang sebelumnya tidak mereka miliki. Kalaupun sahabat kecil dan tabi’in menerimanya namun sangat berhati-hati dengan melihat siapa yang menjadi sumber dan siapa yang membawa hadis tersebut. Sebab mereka mengetahui siapa yang terlibat dalam persengketaan pada masa itu.




[1] Muhammad ‘Ajjaj Khatib, as-Sunnah qobl tadwin, (Bairut: Darul fikr Cet. V th 1401 H/ 1961 M), h.391
[2] Rasyad Hasan Khalil,  Tarikh Tasyri’, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 77
[3] Ibid, h, 83
[4] Fatimah Sayyid, asy-syariah wa at-Tasyri’, makallah al-Mukarram, 1417 H, h, 76
[5] Suparta Munzier, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2003), Cet. Ke-4, h. 47
[6] Ibit., h. 70
[7] Muhammad ‘Ajjaj, Op Cit, h.363
[8] Fatimah Sayyid., Op Cit, h. 84
[9] Ibid.,102
[10] Manna’ al-Qhatthan, Tarikh Tasyri’ Islam, (Riyad: Maktabatul Maarif, 1996), Cet ke-1, h. 294
[11] Muhammad al-khudary, Tasyri’ Islami, (ttp: 1941 M. / 1401 H.), h.152
[12] Ibid,.152
[13] Ibid.,154
[14] Ibid., 153
[15] Ibid.,154
[16] Ibid.,153
[17]Manna’ al-Qhatthan Op Cit., h.296
[18] Sa’ban Muhammad Ismail, Tasyri’ Islami, (Kairo: Maktabah an-Nahdho, 1985), Cet ke-2, h.282

Tidak ada komentar:

Posting Komentar