Persoalan yang terkomplek yang dihadapi oleh umat Islam adalah
ketika menemukan suatu permasalahan yang belum ada ketetapan hukumnya di dalam kitabullah
dan sunnah. Oleh karena itu penetapan hukum terhadap hal-hal yang belum
ada ketetapan hukumnya ulama mesti menggali supaya jelas duduk perkaranya,
menetapkan suatu hukum yang belum ditemukan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah tentu
diperlukan metode untuk menetapkannya, misalnya memakai metode Ijma’, Qias dan
lain sebagainya.
Berakhirnya
masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib umat Islam dihadapkan dengan
permasalahan-permasalahan baru akibat pertentangan Ali bin Abi Thalib dan
Mu’awiyah yang pada akhirnya umat Islam terpecah kepada beberapa golongan yaitu
khawarij, syi’ah, mu’awiyan dan jumhur ulama. Walaupun dalam persoalan politik
pada masa ini sungguh memprihatinkan namun dari segi ilmu-ilmu keislaman cukup
berkembang dengan pesat.
Dalam
makalah ini penulis akan membahas tentang tasyri’ pada masa sighar sahabat dan
tabi’in, munculnya ahli hadis dan ahli ra’yi. Masa ini diawali dari
pemerintahan Mu'awiyah
bin Abi Sufyan pada tahun 41H.
B.
Pembahasan
1.
Tasyr’ pada Masa Sighar sahabat
Sebelum
dibahas makalah ini lebih jauh perlu dijelaskan secara umum siapa itu sahabat, siapa itu sighar sahabat
dan tabi’in, disini penulis hanya menjelaskan secara umum saja. Definisi
sahabat yang dikemukakan oleh Muhammad Ajjaj al-Khatib dalam bukunya Ushul
al-Hadis adalah setiap orang muslim yang hidup semasa dengan Rasul, bergaul
serta menimba ilmu (meriwayatkan hadis) dari Rasulullah. Menurut Muslim “Sahabat
adalah setiap orang muslim yang pernah melihat Rasulullah SAW.” Menurut Ushuliyyin
“Sahabat adalah orang yang pernah berkumpul dalam satu majlis, belajar dan
meriwayatkan hadis dari Rasul.”[1]
Dari beberapa definisi diatas dapat dipahami bahwa sahabat adalah setiap orang
muslim yang hidup semasa dengan Rasul, berjumpa baik meriwayatkan hadis atau
tidak, yang sudah dewasa ataupun yang masih kecil.
Sighar
Sahabat adalah sahabat yang hidup pada masa Rasul namun pada masi itu Ia masih
kecil. Penulis belum menjumpai pengertian sighar sahabat secara jelas dan
khusus setelah merujuk beberapa referensi yaitu dalam kitab Muhammad ‘Ajjaj
al-Khatib, Sunnah Qobla Tadwin dalam buku ini definisi sahabat dibahas
pada halaman 387. Dalam buku Muhammad al-Khudari, Tarekh Tasyri’ Islami juga
dibahas mengenai sahabat dan tabi’in pada halaman 72, namun belum penulis
temukan pengertian sighar sahabat, begitu juga Manna’ al-Qattan Tarekh
Tasyri’ Islami yang pembahasannya pada halaman 257. Penulis menyadari bahwa
pengertian sighar sahabat itu ada akan tetapi karena sedikitnya buku yang
penulis baca dan keterbatasan dalam memahami bacaan, jadi belum penulis temukan
pengertian sighar sahabat tersebut. Adapun
tabiin adalah seseorang yang berkumpul (berjumpa) dengan sahabat dalam keadaan
beriman dan meninggal dalam keadaan beriman.
Priode
sighar sahabat dan tabi’in ini dimui ketika para khalifah Bani Umayyah memegang
tampuk kekuasaan kaum muslimin setelah terbunuhnya Imam Ali bin Abi Thalib pada
tahun 41 H. dan berakhir pada abad kedua hijriah sebelum berakhirnya Dinasti
Umayyah pada tahun 132 H. Masa ini penuh dengan berbagai peristiwa dan
perkembangan, perbedaan fiqh dan pergolakan politik karena sejak awal
berdirinya dinasti ini kaum muslimin terpecah kepada tiga golongan.[2]
Antara kelompok Khawarij, Syi’ah, dan Jumhur kaum muslimin mereka berbeda
doktrin sebagai berikut:
1.
khawarij
a.
Orang-orang
khawarij mengingkari qiyas dan tidak menganggapnya sebagai sumber hukum
syariat. Mereka juga menolak ijma’ dan tidak dapat dijadikan dasar hukum, yang
menjadi dasar adalah sandaran ijma’ jika memang tampak dan jika tidak tampak
tidak dijadikan dalil.
b.
Sebagian
mereka mengingkari hukum-hukum syara’ yang telah ditetapkan dengan ijma’,
seperti menggugurkan hukuman rajam bagi seorang pezina
2.
Syi’ah
a.
Dalam
pemakaian sunnah sebagai sumber hukum, orang syi’ah tidak mengambilnya kecuali
hadis-hadis yang datang dari periwayatan ahli bait dan pengikutnya. Adapun
ijma’ mereka menolaknya sebagai sumber hukum karena mengamalkan ijma’ sama
artinya dengan mengabaikan pendapat sahabat yang lain atau tabi’in.
b.
Mayoritas
orang syi’ah menolak qiyas karena ia berupa pendapat pribadi, dan agama tidak
dikaji dengan pendapat pribadi namun diambil dari Allah dan Rasulnya serta para
imam yang maksum.
3.
Jumhur
Kaum Muslimin
Metode
yang dipakai oleh jumhur kaum muslimin dalam menetapkan hukum terbagi kepada
dua bentuk[3]:
a.
Kelompok
yang yang pertama ini sebahagian jumhur kaum muslimin berpegang kepada nash
yang zahir saja (lebih mengutamakan nash dari pada ra’yu),
pengikut ini dinamakan ahli hadis (kaum literalis)
b.
Aliran
yang mencari ilat-ilat hukum dan hikmahnya dari nash maka kelompok ini
dinamakan ahli ra’yi (kaum rasionalis)
Secara
umum sumber tasyri’ pada masa Dinasti Umayyah ini sama dengan pada masa
sahabat, namun terdapat sedikit perbedaan akibat terpecahnya umat Islam kepada
beberapa kelompok seperti syi’ah tidak berpegang kepada hadis yang tidak diriwayatkan
oleh ahli bait.
2.
Munculnya Ahli Hadis dan Ahli Ra’yi
a.
Munculnya Ahli Hadis
Pada
pertengahan abad ke-2 H sekelompok ulama telah berupaya mengumpulkan hadis
berdasarkan perawinya yang terpisah dari perkataan sahabat, yang bisa di ketahui
dari sanad-sanadnya. Orang yang pertama kali mengumpulkan hadis adalah Rabi’
bin Shabih yang telah wafat pada tahun 160 H.[4]
Pada
masa pemerintahan Bani Umayyah, wilayah kekuasaan Islam sampai ke Mesir,
Persia, Irak, Afrika Selatan, Samarkan dan Spanyol, di samping tersebarnya di
Madinah, Makkah, Basrah, Syam, dan Khurasan. Sejalan dengan pesatnya perluasan
wilayah kekuasaan Islam, penyebaran sahabat-sahabat ke wilayah tersebut terus
meningkat dan menjadi latar belakang munculnya pusat-pusat periwayatan hadis,
sehingga masa ini di kenal dengan menyebarnya periwayatan hadis.
Pusat
pembinaan hadis tersebut adalah Madinah karena disinilah Rasulullah SAW menetap
setelah hijrah, kemudian membina masyarakat Islam yang terdiri dari kaum
Muhajirin dan Anshar.
a.
Pusat-
pusat pembinaan hadis
Tercatat
beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam meriwayatkan hadis sebagai tujuan
para tabi’in dalam mencari hadis. Kota-kota tersebut adalah Madinah, Makkah,
Kuffah, Basrah, Syam, Magribi, Andalus, Yaman dan Khurasan.[5]
Pusat
pembinaan yang pertama adalah Madinah, karena disinilah Rasulullah SAW menetap
setelah hijrah. Dan disini pulalah Rasul membina masyarakat Islam yang di
dalamnya terdiri dari kaum muhajirin dan anshar, dari berbagai suku dan
kabilah.
Adapun
tokoh-tokoh pembinaan hadis di setiap kota tersebut adalah:
1.
Madinah
diawali oleh Khalifa Rasyidin, Abu Huraira, dan Aisyah, Abdullah bin Umar dan
Abu Said al-Khudri dengan melahirkan para pembesar dari kalangan tabi’in,
seperti Sa’id Ibnu Musayyab, Urwah Ibnu Zubair, Ibnu Shihab al-Zuhri,
Ubaidillah Ibnu Uthbah Ibnu Mas’ud dan Salim Ibnu Abdillah.
2.
Makkah
adalah Atha’ bin Abi Rabbah, Thawus bin Kaisan dan Ikramah Maula Ibnu Abbas.
3.
Di
Kuffah al-Rabi’ ibn Qasam, kamal ibn Zaid al-Nakh’I, Sa’id ibn Zubair al-Asadi,
Amir ibn Sarahil al-Sya’bi, Ibrahim al-Nakh’I dan Abu Ishaq al-Sa’bi.
4.
Di
Basrah Hasan al-Bashri, Muhammad ibn Sirin, Ayub al-Sakhyatani, Yunus ibn
‘Ubaid, Abdullah bin Aun, Qatadah ibn Du’amah al-Sudus, Hisyam bin Hasan.
5.
Di
Syam ialah Salim bin Abdillah al-Muharibi, Abu Idris al-Khaulani, Abu Sulaiman
al-Darani dan Umar ibn Hana’i.
6.
Di
Mesir Amr ibn al-Harits, Khair ibn Zu’aimi al-Hadharami,Yazid ibn Abi Habib,
Abdullah ibn Abi Ja’far dan Abdullah ibn Sulaiman al-Thawil.
7.
Andalus
ialah Ziyad ibn An’am al-Mu’afi, Abdurrahman ibn Ziyad, Yazid ibn Rafi’ dan
Muslim ibn Yasar.
8.
Yaman
ialah Hammam ibn Munabah dan Wahab ibn Munabah, Thawus dan Ma’mur ibn Rasyid.
9.
Khurasan
Muhammad ibn Ziyad ibn Tsabit al-Anshari dan Yahya ibn Sabih al-Mugri.
b.
Pergolakan
politik dan pemalsuan hadis
Pergolakan
ini sebenarnya terjadi pada masa sahabat setelah terjadinya perang jamal dan
perang shiffin yaitu ketika kekuasaan di pegang oleh khalifah Ali bin Abi
Thalib. Akan tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut dengan terpecahnya
umat Islam kepada beberapa kelompok (Khawarij, Syi’ah, Mu’awiyah dan golongan
mayoritas yang tidak masuk ke dalam tiga kelompok tersebut ).[6]
Pengaruh
yang negatif akibat terjadinya perpecahan umat Islam kepada beberapa kelompok
tersebut yaitu munculnya hadis-hadis palsu (maudhu’ ) yang dilakukan
untuk mendukung kepentingan politik
masing-masing kelompok dan menjatuhkan posisi lawan mereka, dalam hal ini yang
dimaksud adalah antara kelompok syi’ah dan khawarij.
Adapun
yang menghalangi tindakan pemalsuan hadis ialah dengan lahirnya rencana dan
usaha yang mendorong diadakannya kodifikasi atau tadwin hadis sebagai upaya
menyelamatkan hadis dari pemusnahan dan pemalsuan sebagai akibat dari
pergolakan politik tersebut.
Pada
masa khalifah Usman bin Affan, para sahabat sudah terpencar di berbagai
wilayah, mereka berada di tanah air yang berbeda-beda. Para sahabat membawa
hadis Rasulullah dan hukum-hukum syari’at ke tanah air mereka yang baru di
Hijaz, Yaman, Irak, Syam, dan Mesir.
Para
sahabat mengajarkan ilmu-ilmu agama dan hadis yang mereka terima dari Rasul
kepada generasi sesudah mereka yang di sebut dengan tabi’in. berdasarkan
kekhawatiran para sahabat akan hilang dan rusaknya makna hadis-hadis yang di
peroleh dari rasulullah maka sahabat memerintahkan tabi’in untuk menulis setiap
hadis-hadis yang mereka ajarkan.
Para
tabi’in mereka bertanggung jawab mewarisi kebenaran hadis yang ditinggalkan
oleh Rasulullah SAW senantiasa meneladani sahabat karena mereka meyakini bahwa
para sahabat adalah generasi pertama setelah rasul yang memelihara al-Qur’an
dan Sunnah. Maka pada umumnya tabi’in dan para sahabat sepakat dalam mencegah pemalsuan hadis.[7]
b.
Munculnya Ahli ar-Ra’yu
Ahli
ar-Ra’yu ialah suatu sifat yang dimiliki oleh setiap orang yang
berijtihat dan menggali hukum yang tidak ada pada nash dan membaandingkannya
pada yang lain dan membawa furu’ terhadap ushul dalam kitabullah
dan sunnah.[8]
Ar-Ra’yu pada masa sahabat memiliki keistimewaan di antaranya: para
sahabat mampu menggali hukum dan memberikan pendapat langsung terhadap
peristiwa yang terjadi, tidak memiliki prasangka-prasangka terhadap peristiwa
yang belum terjadi. Pada masa sahabat ra’yu ini belum banyak dibutuhkan.
Adapun
pada masa Bani Umayyah, tasyri’ Islam dimulai dengan berakhirnya masa Khalifa Rasyidin
pada tahun 41 H. metode yang digunakan sama dengan metode pada masa sahabat
yaitu berpegang kepada sumber-sumber hukum yang berlaku pada masa sahabat dan
mengikuti metode mereka dalam mengambil hukum kecuali ijtihat terdapat beberapa
perbedaan, diantaranya:[9]
meluasnya cakupan fiqh dan banyaknya perbedaan dalam berbagai masalah.
Semakin
banyak terjadi permasalahan-permasalahan, maka semakin luas cakupan fiqh dan
ijtihat untuk istinbat hukum. Semakin tidak di temukan hukum yang tertulis dari
kitab dan sunnah atau hilangnya ijma’ dari sahabat, maka bertambahlah
kesempatan untuk munculnya perbedaan
pendapat diantara para mujtahid dalam menetapkan hukum suatu masalah. Pada
masa ini banyak terjadi persoalan baru
yang tidak ada hukum yang tertulis atau ijtihat sahabat sebelumnya karena
meluasnya wilayah Islam dan terjadi berbagai perbedaan kebiasaan, keadaan
social ekonomi dan sebagainya. Permasalahan tersebut muncul karena semakin
luarnya wilayah Islam dan semakin kompleknya permasalahan umat.
Jadi
pada periode ini para Ulama dalam
mengemukakan pemikiran dapat digolongkan menjadi dua golongan pertama “Ahli Hadis”
yaitu para ulama’ yang dominan menggunakan riwayat dan sangat hati-hati dalam
menggunakan ra’yu. kedua ulama ”Ahli Ra’yu” mereka ini lebih
banyak penggunaan pemikirannya (ra’yu) dalam menyelesaikan kasus dibandingkan hadis.
c.
Munculnya Fuqaha Sab’ah
Sejak
khalifah Ali bin Abi Thalib, ahli hadis telah tersebar di Hijaz yang dikepalai
oleh Sa’id bin Musayyab dari kalangan tabi’in, kemudian mereka terbagi kepada
mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan ahli ar-ra’yu tersebar di
Kuffah yang dikepalai oleh Ibrahim an-Nakh’i dari kalangan tabi’in kemudian
mereka dikatakan golongan Hanafiyah.
Pada
masa tabi’in telah populer madrasa ahli hadis fuqaha Madinah yang tujuh (fuqaha
sab’ah), yaitu:[10]
1.
Sa’id
bin musayyab
2.
‘Urwah
bin zubair
3.
Qosim
bin Muhammad bin Abu Bakar
4.
Kharijah
bin Zaid
5.
Abu
Bakar bin ‘Abdurrahman bin Harits
6.
Sulaiman
bin yasar
7.
Abdullah
bin Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’ud
Biografi
singkat fuqaha sab’ah:
Ø Sa’id bin Musayyab
Dilahirkan
dua tahun setelah pemerintahan Umar yaitu pada tahun 15 H, ia dikenal dari
kibar as-sahabat yang mengatakan bahwa Sa’id bin Musayyab ini sangat luas
ilmunya. Ibnu umar berkata “ sa’id bin musayyab adalah seorang mufti”. Qotada’
berkata ”tidak ada yang saya lihat orang yang paling alim selain sa’id bin
musayyab”, Ia wafat pada tahun 94 H.[11]
Ø ‘Urwah bin Zubair
Lahir
pada masa khalifah Usman yaitu pada tahun 22 H. Dia bnyak meriwayatkan hadis
dari sahabat dan mendalami hadis dari Aisyah. ‘urwah dikenal seorang yang
sangat ‘alim, Ia wafat pada tahun 94 H.[12]
Ø Qosim bin Muhammad bin Abu Bakar
Qosim
banyak mendengar hadis dari bibinya Aisyah, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, berkata
Yahya bin Sa’id “kami tidak tahu di Madinah yang melebihi ilmunya Qosim. Ibnu
‘Uyaynah juga mengatakan bahwa Qosim adalah seorang yang paling ‘alim. Qosim
wafat pada tahun 106 H.[13]
Ø Kharijah bin Zaid
Ø Abu Bakar bin ‘Abdurrahman bin Harits
Dia
dilahirkan pada masa khalifah Umar dan banyak meriwayatkan hadis dari bapaknya,
para sahabat dan juga meriwayatkan hadis dari Zuhri, kemudian dari kalangan
tabi’in yang lain. Abu Bakar bin Abdurrahman bin harits wafat di Madinah pada
tahun 94 H.[14]
Ø Sulaiman bin Yasar
Sulaiman
bin Yasar menerima hadis dari Maimunah, Aisyah, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Zaid
bin Tsabit dan yang lainnya. Berkata Ibnu Muhammad bin al-Hanafiyah “Sulaiman
bin Yasar lebih faham dari kami tentang segala sesuatu dan juga lebih luas
ilmunya dari Sa’id bin Musayyab. Sulaiman bin Yasar meninggal pada tahun 107 H.[15]
Ø Abdullah bin Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’ud
Abdullah
bin Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’ud menerima
hadis dari Aisyah, Abu Huraira, Ibnu Abbas, dan dari sahabat yang lain.
Abdullah dikenal seorang yang sangat luas ilmunya (lautan ilmu), dan meninggal
pada tahun 98 H.[16]
Mereka
tersebut adalah tujuh orang ulama kota Madinah yang keluasan ilmunya tidak saja
diakui oleh penduduk negeri tersebut, namun diakui pula oleh para ulama
diseluru penjuru negeri. Adapun ahli ar-Ra’yu yang menonjol di Kuffah adalah
Ibrahim an-Nakh’i dan sahabat-sahabatnya dari fuqaha kuffah.[17]
Ada
beberapa sebab tersebarnya madrasa ahli hadis dan ahli ra’yu:
1.
Sebab
tersebarnya madrasa ahli hadis di hijaz ialah sebagai berikut.
a.
Pengaruh
fuqahah tabi’in di hijaz melalui syekh-syekh mereka dari kalangan sahabat
seperti ’Abdullah bin Umar dan ‘ibnu Abbas yang bergantung pada atsar.
b.
Kebanyakan
muhaddisin atau fuqoha di Madinah menetapkan suatu perkara tidak membutuhkan ra’yu
dan mengutamakan nash. Seperti perkataan Ahmad bin Hambal “hadis yang
lemah itu lebih kuat dari pendapat seseorang”
c.
Penduduk
hijaz tidak suka berbicara mengenai hukum dari permasalahan yang belum
terjadi..
2.
Sebab
tersebarnya ahli ra’yu di kuffah (irak)[18]
a.
Pengaruh
penduduk Irak melalui syekh mereka dari kalangan sahabat ‘abdullah bin Mas’ud mempergunakan ra’yu
ketika tidak adanya Nash.
b.
Penduduk
Irak yang menggunakan hadis berjumlah sedikit, karena sahabat yang hijrah ke
kuffah tidak pernah lagi kembali ke hijaz, dikarenakan kesibukan sahat dalam
berijtihat.
c.
Banyak
persoalan-persoalan baru yang timbul di Irak, membutuhkan penetapan hukum yang
belum ditemukan dalam nash.
d.
Irak
dikenal dengan negerinya kaum syi’ah dan khawarij, di Irak pada masa itu banyak
berkembang hadis-hadis palsu yang sengaja dibuat oleh kaum syi’ah dan khawarij
untuk menonjolkan kelompok mereka masing-masing.
d.
Warisan Mereka
Langkah
utama pada abad ketiga diawali dengan pengelompokan hadis. Yang memisahkan mana
yang hadis marfu’, mauquf dan maqthu’. Hadis marfu’
adalah hadis yang berisi tentang prilaku Rasul SAW. Hadis maukuf adalah
adalah hadis yang berisi tentang prilaku sahabat. Hadis maqthu’ adalah hadis
yang berisi tentang prilaku tabi’in. pengelompokan tersebut dilakukan oleh
Ahmad bin Hambal, Abdullah bin Musa al-Abasi al-Kufi, Nu’aim bin Hammad
al-Khuza’i dan Usman bin Abi Syu’bah. Yang paling mendapat perhatian paling
besar dari ulama-ulama sesudahnya adalah
al-Musnad al-Kabir karya Ahmad bin Hambal dan sudah adanya ilmu jarah wa
ta’dil pada masa tabi’in.
Pendadwinan
hadis dilaksanakan dengan penelitian
sanad dan rawi-rawinya. Ulama yang terkenal yang mempelopori usaha
pentadwinan ini adalah Ishaq bin Rahawaih bin mukhlad al-Handali at-Tamimi
al-Marwazi (161-238 H / 780-855 M). ia adalah salah satu guru Ahmad bin Hambal,
Bukhari, Muslim, at-Tirmizi, an-Nasa’i.
Usaha
Ishaq ini selain dilanjutkan oleh Bukhari kemudian diteruskan oleh muridnya
yaitu Muslim. Akhirnya para ulama sesudahnya melanjutkan sehingga pentadwinan
kitab hadis terwujud dalam kitab al-Jami’ush Shahih Bukhari, al-Jami’ush
Shahih Muslim, as-Sunan Ibnu Majah dan seterusnya. Pada abad ini
telah diusahakan memisahkan hadis yang shahih dengan hadis yang dho’if.
Pada
masa khalifah Ali bin Abi Thalib (35-40 H) terjadi Musibah besar yang menimpa
umat Islam yang menelan korban dan harta
yang tidak sedikit akibat adanya
keinginan untuk merebut kekuasaan kekhalifahan, kemudian terjadi pergeseran dalam
bidang syari’ah dan aqidah dengan membuat hadis-hadis palsu untuk membela
kelompoknya masing-masing. akibat dari peristiwa ini maka terbunuhlah Husain
bin Ali bin Abi Thalib (61 H / 681 M), para sahabat kecil yang masih hidup terutama para tabi’in tidak mau lagi menerima
hadis baru yang sebelumnya tidak mereka miliki. Kalaupun sahabat kecil dan
tabi’in menerimanya namun sangat berhati-hati dengan melihat siapa yang menjadi
sumber dan siapa yang membawa hadis tersebut. Sebab mereka mengetahui siapa
yang terlibat dalam persengketaan pada masa itu.
[1] Muhammad ‘Ajjaj
Khatib, as-Sunnah qobl tadwin, (Bairut: Darul fikr Cet. V th 1401 H/
1961 M), h.391
[2] Rasyad Hasan
Khalil, Tarikh Tasyri’, (Jakarta:
Amzah, 2009), h. 77
[3] Ibid,
h, 83
[4] Fatimah
Sayyid, asy-syariah wa at-Tasyri’, makallah al-Mukarram, 1417 H, h, 76
[5] Suparta
Munzier, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2003), Cet. Ke-4, h.
47
[6] Ibit.,
h. 70
[7] Muhammad
‘Ajjaj, Op Cit, h.363
[8] Fatimah
Sayyid., Op Cit, h. 84
[10] Manna’
al-Qhatthan, Tarikh Tasyri’ Islam, (Riyad: Maktabatul Maarif, 1996), Cet
ke-1, h. 294
[11] Muhammad
al-khudary, Tasyri’ Islami, (ttp: 1941 M. / 1401 H.), h.152
[12] Ibid,.152
[13] Ibid.,154
[16]
Ibid.,153
[17]Manna’
al-Qhatthan Op Cit., h.296
[18]
Sa’ban Muhammad Ismail, Tasyri’ Islami, (Kairo: Maktabah an-Nahdho,
1985), Cet ke-2, h.282
Tidak ada komentar:
Posting Komentar