Dalam kajian filsafat Islam, Ibn Miskawaih dan
Ikhwan al-Shafa merupakan sosok filsuf
yang sangat penting untuk terus dikaji teori filsafatnya, karena hasil
pemikiran mereka yang sangat cemerlang dan keilmuannya telah banyak memperikan kontribusi terhadap kemajuan
dan perkembangan keilmuan Islam. Ibn Miskawaih seorang filosof yang mendasari
pemikirannya dengan pokok-pokok
ajaran Islam, ia dikenal sebagai Bapak etika. Oleh karena itu penting
rasanya supaya filsafat ini senantiasa dikaji, mungkin di dalamnya ada nilai-nilai yang layak untuk diteladani atau diperaktekkan,
karena pada masa sekarang ini Islam merindukan orang-orang cerdas dan berpemikiran maju seperti Ibn Miskwaih dan Ikhwan
al-Shafa. Pembahasan ini meliputi riwayat
singkat tentang kehidupan mereka dan
filsafatnya. Pembahasan ini dibuat dalam bentuk makalah dan disajikan
dalambentuk diskusi.
B.
Riwayat hidup Ibn Miskawaih
Nama lengkapnya adalah Ahmad Ibn
Muhammad Ibn Ya’qub Ibn Miskawaih. Ia lahir pada tahun 320 H/ 932 M. di Rayy, dan meninggal di Isfahan pada tanggal 9 Shafar tahun 412 H/ 16 Februari 1030 M. Ibn Miskawaih hidup pada masa pemerintahan
Dinasti Buwaihi (320-450H./ 932-1062 M.) yang sebagian besar pemukanya
bermazhab Syi’ah.[1]
Dari segi latar belakang
pendidikannya tidak dijumpai data sejarah yang rinci. Namun dijumpai
keterangan, bahwa ia mempelajari sejarah dari Abu Bakar Ahmad Ibn Kamil
al-Qadhi, mempelajari filasafat dari Ibn al-Akhmar, dan mempelajari kimia dari
Abu Tayyib.[2]
Dalam bidang pekerjaan Ibn Miskawaih adalah bendaharawan,
sekretaris, pustakawan, dan pendidik anak para pemuka dinasti Buwahi.
Selain akrab dengan penguasa, ia juga
banyak bergaul dengan ilmuan seperti Abu Hayyan at-Tauhidi, Yahya Ibn ‘Adi dan Ibn Sina. Selain itu Ibnu Miskawaih
juga dikenal sebagai sejarawan besar yang kemasyhurannya
melebihi para pendahulunya, at-Thabari
(w. 310 H./ 923 M.) selanjutnya juga ia
dikenal sebagai dokter, penyair dan ahli bahasa. Keahlian Ibn Miskawaih dalam
berbagai bidang ilmu tersebut antara lain dibuktikan dengan karya tulisnya
berupa buku dan artikel.[3]
Di antara karya tulisnya adalah:
a.
Al-Fauz
al-Akbar
b.
Al-Fauz
al-Asghar
c.
Tajarib
al-Umam (Sebuah sejarah tentang banjir besar
yang ditulisnya pada tahun 369 H/979 M.)
d.
Uns
al-Farid (Koleksi anekdot, sya’ir, pribahasa,
dan kata-kata hikmah).
e.
Tartib
al-Sa’adat (akhlak dan
politik).
f.
Al-Mustaufa
(sya’ir-sy’ir pilihan)
g.
Jawidan
Khairad (koleksi ungkapan bijak)
h.
Al-Jami’
i.
Al-Siyab
j.
On
the Simple Dreugs (kedokteran)
k.
On
the Compisiton of the Bajats (Seni
memasak).
l.
Kitab
al-Ashribah (tentang
inuman).
m.
Tahzib
al-Akhlaq (akhlak)
n.
Risalat
fi al-Lazzat wa al-Alam fi Jauhir al-Nafs
o.
Ajwibat
wa As’ilat fi al-Nafs wa al-‘Aql
p.
Al-Jawab
fi al-Masail al-Salas
q.
Risalat
fi Jawab fi Sau’al Ali Ibn Muhammad abu Hayyan al-Shufi fi haqiqat al-‘Aql
Menurut
Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, bahwa semua karya Ibn
Miskawaih tidak luput dari kepentingan
filsafat dan akhlak. Sehubungan dengan itu Ibnu Miskawaih dikenal sebagai
moralis.[5]
C.
Filsafat jiwa
Pada manusia itu terdapat materi tubuh
dan jiwanya. Tubuh dan jiwa itu mempunyai esensi dan subtansi yang berbeda.
An-Nafs (jiwa) menurut
Ibn Miskawaih, adalah jauhar rohani yang tidak hancur dengan sebab kematian jasad. Ia adalah kesatuan yang tidak terbagi-bagi. Ia akan tetap hidup. Ia tidak dapat diraba dengan
panca indera. Jiwa dapat menangkap bentuk
sesuatu yang berlawanan dalam waktu yang bersamaan, seperti warna hitam dan putih sedangkan badan tidak dapat seperti
itu[6].
Artinya jika tubuh menerima suatu bentuk tertentu, maka dengan bentuk itu dia tidak bisa lagi menerima bentuk lain
dalam satu waktu melainkan bila ia telah
meninggalkan bentuknya yang pertama secara sempurna. Seperti kalau materi tubuh
sedang menerima bentuk segi empat, maka ketika itu dia tidak bisa menerima
bentuk lingkaran atau segi tiga.
Sedangkan jiwa bisa menerima semua
bentuk dari sesuatu, baik yang abstrak
maupun yang kongkrit secara sempurna, bentuk pertama yang diterima oleh jiwa
tidak akan hilang dengan datangnya
bentuk kedua dan seterusnya. Karena
itulah pengetahuan manusia selalu
bertambah setiap kali jiwa menerima pengetahuan baru, Ketika menerima
pengetahuan baru pengetahuan lama
tidaklah hilang. Inilah yang menjadi
dalil bagi Ibn Miskawaih membedakan subtansi, tabiat antara jiwa dengan jasad.
Pandangan Ibn Miskawaih sangat
berbeda dengan kaum materialistis yang meniadakan roh bagi manusia. Ibn Miskawaih membuktikan
adanya roh pada manusia dengan argumennya seperti di atas. Namun roh tidak
dapat bermateri, sekalipun ia bertempat pada materi, karena materi hanya menerima satu bentuk dalam waktu
tertentu.
Ibn Miskawaih juga membedakan antara pengetahuan jiwa dengan
pengetahuan panca indera. Secara tegas ia katakan bahwa panca indera tidak
dapat menangkap selain apa yang dapat diraba atau di indera. Sedangkan jiwa
dapat menangkap apa yang dapat ditangkap oleh indera dan yang tidak dapat
diraba oleh indera.
Jiwa mempunyai tiga kekuatan di
dalam diri manusia, yaitu;
1.
Kekuatan
untuk berfikir, (An- Nafsun-Nathiqah) jiwa yang berfikir, ini mendorong
untuk memahami dan membedakan sesuatu.
2.
Kekuatan
untuk marah, (An-Nufus-Sabu’iyah) jiwa yang ganas, ini mendorong untuk
berlaku berani, rindu, dan sebagainya.
3.
Kekuatan
yang menimbulkan syahwat, (An-Nafsul Bahimiyah) jiwa yang bebal. Ini
mendorong untuk makan, minum, dan kelezatan-kelezatan fisik lainnya.
Kekuatan-kekuatan jiwa tersebut
saling berlomba untuk menjadi paling depan, antara satu dengan yang lainnya
akan saling tekan menekan. Manusia yang paling baik adalah manusia yang
mempunyai kekuatan nafsu nathqiyah yang lebih unggul dibanding kekuatan
yang lainnya karena dengan demikian akan mendapatkan bantuan atau bimbingan
dari malaikat.
D.
Filsafat
Akhlak
Ibnu Miskawaih
adalah seorang moralis yang sangat terkenal. Keistimewaan yang sangat menarik
dalam kajiannya ialah pembahasannya yang didasarkan kepada al-Qur’an dan
hadits. Namun bukan berarti ia tidak memakai sumber lain seperti filsafat
Yunani kuno dan pemikiran Persia. Ibnu Miskawaih tetap merujuk kepada filsafat
Yunani dan pemikiran-pemikiran Persia, akan tetapi hanya sebatas yang sesuai
dengan ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan hadits. Apabila terjadi pertentangan
dengan prinsip dasar Al-Qur’an dan
hadits ia tidak mengambilnya. Jadi filsafat Yunani dan pemikiran Persia hanya
dijadikannya sebagai pelengkap dan penyempurna saja[7].
Akhlak menurut
konsep Ibnu Miskawaih adalah suatu sikap mental atau keadaan jiwa yang
mendorong seseorang untuk berbuat tanpa pikir dan pertimbangan sebelumnya.
Sementara tingkah laku manusia terbagi kepada dua unsur, unsur watak naluriah
dan unsur yang lahir lewat kebiasaan dan latihan[8].
Dari pengertian
akhlak yang dikemukakan oleh Ibn Miskawaih tersebut, bisa dipahami bahwa akhlak
sifatnya adalah spontanitas. Respon yang langsung diberikan seseorang terhadap
sesuatu, maka itu mencerminkan keperibadian (akhlaknya). Apabila respon atau
tindakan yang diberikan terhadap sesuatu telah didasari pemikiran atau
pertimbangan berarti itu bukanlah kepribadian sesungguhnya.
Dari pernyataan
di atas juga bisa dipahami, bahwa secara tidak langsung Ibn Miskawaih menolak
pendapat yang menyatakan bahwa akhlak tidak bisa berubah. Dalam konsep Ibn
Miskawaih akhlak tercela bisa berubah menjadi akhlak mulia melalui pendidikan
dan latihan-latihan. Pemikiran seperti ini jelas sejalan dengan ajaran islam.
Pada hakikatnya ajaran syari’at Islam mengarahkan
manusia kepada perubahan akhlak, dari
akhlak tercela kepada akhlak yng terpuji. Bahkan Nabi Muhammad sendiri
menjelaskan bahwa misi penting diutusnya beliau ke dunia ini adalah untuk
memperbaiki akhlak manusia. Mustahil akhlak manusia tidak dapat berubah,
sedangkan naluri bintang saja bisa berubah dari galak menjadi bersahabat, dari
liar menjadi jinak dan sebagainya. Tegasnya bagi Ibn Miskawaih tujuan agama
ialah untuk mengarahkan akhlak manusia ke arah akhlak yang mulia.
Tentang masalah
baik dan buruk, Ibn Miskawaih mengatakan, bahwa kebaikan itu ada dalam objek, namun kebaikan yang dalam
objek itu dipandang oleh manusia dengan kaca mata yang berbeda-beda (bersifat
relatif). Karena berlainan sisi pandang maka kebaikan itu menjadi banyak
sebanyak cara orang yang memendangnya.
Ada yang
mengatakan kebaikan itu terbagi tiga macam, yaitu: sesuatu yang mulia, sesuatu
yang terpuji, dan sesuatu yang bermanfaat. Sesuatu yang mulia itu dimuliakan
karena zatnya, karena itu orang yang memangkunya akan mulia pula, karena zat
kemuliaan melekat pada dirinya. Sesuatu yang terpuji dianggap baik karena ia
muncul dari yang baik. Demikian juga sesuatu yang memberi manfaat dianggap baik
karena ia menyampaikan kepada kebaikan. Demikian salah satu pandangan tentang
kebaikan.
Menurut Ibn miskawaih akhlaq merupakan bentuk
jamak dari khuluq yang berarti peri keadaan jiwa untuk mengajak seseorang melakukan
perbuatan-perbuatan tanpa dipikirkan dan diperhitungkan sebelumnya. Sehingga
dapat dijadikan fitrah menusia maupun hasil dari latihan-latihan yang telah
dilakukan, hingga menjadi sifat diri yang dapat melahirkan semua perbuatan yang
bernialai kebaikan.[9]
Ibn Miskawaih juga menjelaskan
tentang sifat-sifat yang utama. Sifat-sifat ini menurutnya erat kaitannya
dengan jiwa. Jiwa memiliki tiga daya: daya berpikir, daya marah dan daya
keinginan. Sifat hikmah adalah sifat utama bagi jiwa berpikir yang lahir dari
ilmu. Berani adalah sifat utama bagi jiwa marah, yang timbul dari sifat hilm
(menahan diri). Sedangkan murah adalah sifat utama bagi jiwa keinginan,
yang lahir dari iffah (memelihara kehormatan diri), dengan demikian tiga
sifat utama, yakni hikmah, berani, dan murah. Apabila ketiga sifat utama ini
serasi, maka muncul yang keempat, yakni adil. Adapun lawan dari sifat utama ini adalah bodoh, rakus, penakut, dan zalim.[10]
Ada pun kebahagiaan dapat dirasakan
oleh kedua unsur yang ada pada manusia, yaitu jasad dan roh. Kebahagiaan yang
dirasakan oleh jasad bersifat material sedangkan Kebahagian yang dirasakan oleh
roh adalah bersifat spiritual. Kebahagiaaan yang bersifat material selalu
diimbangi oleh kepayahan dan kepedihan, tetapi kebahagiaan spiritual lebih
sempurna dan lebih kekal nikmatnya. Ia dapat dicapai bila kebahagiaan material
dapat dilepaskan secara berangsur. Bila
kebahagian material telah dilepaskan dapatlah orang meningkat naik menuju
kesempurnaan sejati.
Menyangkut balasan di akhirat Ibn Miskawaih mengatakan bahwa jiwalah yang akan menerima balasan (kebahagian dan kesengsaraan)
di akhirat. Karena menurutnya kelezatan jasmaniah bukanlah kelesatan yang
sebenarnya.
IKWAN
AL-SHAFA
A.
Sejarah Kelahiran dan Karyanya
Ikhwan al-Shafa adalah nama
se-kelompok pemikir Islam berasal dari sekte Syi’ah Isma’iliyah yang lahir di tengah-tengh
komunitas Sunni sekitar abad ke-4 H/ 10 M. di Bashrah. Kelompok ini merupakan
gerakan bawah tanah yang mempertahankan semangat berfilsafat khususnya dan
pemikiran rasional umumnya dikalangan pengikutnya. Kelompok ini mereka sebut
juga dengan Khulan al-Wafa’ Ahl al-Adl dan Abna’ al-Hamd. Tokoh
terkemuka yang menjadi peloper organisasi ini adalah Ahmad Ibn Abd Allah, Abu
Sulaiman Ibn Nashr al-Busti yang terkenal dengan sebutan al-Muqaddasi, Zaid Ibn
Rafi’ah dan Abu al-Hasan Ali Ibn Harun al-Zanjani.[11]
Munculnya organisasi yang bergerak di bidang keilmuan dan juga bertendensi
politik ini erat kaitannya dengan kondisi Islam pada masa itu. Sejak pembatalan
teologi Mu’tazilah sebagai mazhab Negara oleh Al-Mutawakkil, maka kaum
rasionalis dicopot dari jabatan pemerintahan, dan kemudian diusir dari Baghdad.
Berikutnya penguasa melarang mengajarkan kesusasteraan dan ilmu filsafat.
Kondisi seperti ini ternyata berlanjut sampai pada khalifah-khalifah
berikutnya. Hal ini membut semakin suburnya cara berpikir tradisional dan semakin langka cara berpiki rasional.
Atas kondisi inilah lahirnya Ikhwan al-Shafa yang ingin
menyelamatkan masyarakat dan mengembalikan manusia kepada jalan yang diridhai
Allah. Karena menurut mereka ajaran syari’at telah ternodai dengan
bermacam-macam kejahilan dan kesesatan. Maka satu-satunya cara untuk
membersihkannya adalah filsafat.[12]
Jemaat Ikhwan al-Shafa terdiri dari empat kelompok, yaitu: pertama,
kelompok yang mereka sebut Al-Ikhwan al-Abrar al-Ruhama (para
saudara yang baik dan dikasihi). Kelompok ini adalah mereka yang berusia dari
15 sampai 30 tahun. Kedua, kelompok yang mereka sebut Al-Ikhwan
Al-Akhyar Al-Fudhala (para saudara yang terbaik dan utama). Kelompok ini
mereka yang berusia dari 30 sampai 40 tahun. Ketiga, kelompok yang
mereka sebut Al-Ikhwan Al-Fudhala Al-Karim (para saudara yang utama dan
mulia). Kelompok ini mereka yang berusia 40 sampai 50 tahun, keempat,
kelompok yang berusia 50 tahun ke atas, kelompok elit yang hati mereka telah
terbuka dan menyaksikan kebenaran dengan mata hati mereka sesuai dengan
kelompok mereka untuk menelaah dan mengkaji ilmu pengetahuan, filsafat,
dan agama seperti yang mereka tulis
dalam risalah-risalah mereka.[13]
Dari gambaran di atas maka bisa dipahami bahwa tujuan mereka merahasiakan atau menutup diri paling
kurang untuk menjaga keselamatan diri mereka, baik dari pihak yang mencurigai
dan mememusuhi filsafat, atau dari pemerintah yang berkuasa ketika itu.
Ikhwan Al-Shafa mempunyai karya yang banyak, karya beliau terdiri
dari 52 naskah yang disusun menjadi empat kelompo:
1.
Tentang
matematika, kelompok ini terdiri dari empat belas naskah, meliputi geometri,
astronomi, music, geigrafi, seni teoritis dan praktis, moral, dan logika.
2.
Tentang
ilmu alam dan fisika, kelompok ini terdiri dari tujuh belas naskah yang
meliputi fisika, meneraligi, botani, alam kehidupan dan kematian, dan
batas-batas kemampuan pemahaman manusia.
3.
Sain
tentang pemikiran dan psykologi, meliputi sepuluh naskah antara lain metafisika
dan pemikiran tentang edar dan waktu, tabi’at cinta, dan kebangkitan kembali
pada hari kiamat.
4.
Ilmu
tentang agama dan ketuhanan, terdiri dari sebelas naskah yang meliputi tentang
keimanan da upacara ritual, peratutaran tentang hubungan manusia dengan tuhan,
upacara-upacara Ikhwan Al-Shafa, ramalan dan keadaan mereka, entitas (perwujudan
spiritual dan tindakan. Type perundangan politik, takdir, ilmu gaib, dan
‘azimat (jimat). Secara garis besar, pemikiran Ikhwan Al-Shafa bersifat
liberal. Meski tetap ingin memadukannya dengan Islam.[14]
B.
Filsafat Ketuhanan dan Penciptaan
Sebagaimana Al-Farabi, Ikhwan al-Shafa juga menganut paham
penciptaan alam oleh Tuhan melalui cara emanasi. Paham emanasi mereka berbeda
dengan paham Al-Farabi. Menurut paham emanasi Ikhwan al-Shafa, dari Tuhan
memancar akal universal atau akal aktif, dari akal universal memancar jiwa
universal, dari jiwa universal memancar materi pertama, bentuk-bentuk dan
jiwa-jiwa. Jiwa universal dengan bantuan akal universal menggerakkan materi
pertama sehingga mengambil bentuk yang memiliki dimensi panjang, lebar, dan
tinggi sehingga terbentuk raga atau jisim yang mutlak, dan dengan tubuh
yang mutlak itu tersusun alam langit dan unsur yang empat (tanah, air,
udara, dan api). Karena pengaruh gerakan langit yang berputar, terjadilah
percampuran unsure yang empat sehingga
dapat muncul mineral, tumbuh-tumbuhan,
hewan, dan manusia. Di alam langit yang lebih dulu muncul adalah yang paling
mulia (akal universal, kemudian jiwa universal, dan seterusnya), sedangkan di
bumi yang paling akhir muncul adalah yang paling mulia (diawali dengan mineral,
tumbuh-tumbuhan, kemudian hewan, dan terakhir manusia). Bila di urutkan Tuhan
dan kemunculan wujud alam itu dari yang pertama sampai yang terakhir, maka
urutannya adalah: (1) Tuhan, (2) akal universal, (3) jiwa universal, (4) materi
pertama dan bentuk, (5) tabiat, (6) tubuh mutlak, (7) falak/langit, (8) unsur
yang empat (tanah, air, udara, dan api), dan (9) yang dilahirkan dari unsur yang
empat dan tanpa jiwa, mulai dari benda-benda logam atau material, tumbuhan,
binatang.[15]
Bila pada Al-Farabi, penciptaan alam merupakan akibat aktivitas Tuhan berfikir
tentang diri-Nya, maka pada filsafat Ikhwan al-Shafa, penciptaan alam oleh Tuhan adalah manifestasi kepemurahan
Tuhan. Tuhan menciptakan segenap alam rohani dan potensi dalam raga yang
tersusun sekaligus. Ia menciptakan alam rohani sekaligus, sedangkan alam
tubuh/raga tersusun dan diciptakan-Nya tidak sekaligus, tetapi berangsur-angsur
dengan cara merobahnya dari keberadaan potensial kepada keberadaan aktual.
Keberadaan ayah secara aktual lebih dahulu dari keberadaan anak secara aktual,
akan tetapi keberadaan keduanya secara potensil adalah sama. Tuhan berperan
sebagai sebab pertama dan langsung bagi keberadaan akal universal, tapi hanya
sebagai sebab pertama dan tidak langsung bagi keberadaan, dan terjadinya
perubahan pada ciptaan-Nya yang lain.[16]
Tentang adanya Allah, menurut Ikhwan al-Shafa, merupakan hal yang
sangat mudah dan nyata. Hal ini disebabkan manusia dengan fitrahnya dapat
mengenal allah dan seluruh yang ada ini
akan membawa manusia kepada kesimpulan pasti tentang adanya Allah yang
menciptakan segala yang ada.
Tentang ilmu Allah mereka kataan bahwa seluruh pengetahuan berada dalam
ilmu Allah sebagaimana beradanya seluruh bilangan dalam bilangan satu. Berbeda
dengan ilmu para pemikir, ilmu Allah dari zat-Nya sebagaimana bilangan yang
banyak dari bilangan yang satu, yang meliputi seluruh bilangan. Demikin pula
ilmu Allah terhadap segala yang ada.[17]
C.
Jiwa Manusia
Jiwa manusia bersumber dari jiwa universal. Dalam perkembangan
selanjutnya jiwa manusia banyak
dipengaruhi oleh materi yang terdapat di
sekitarnya. Agar jiwa tidak kecewa dalam perkembangannya, maka jiwa dibantu oleh akal
yang merupakan daya bagi jiwa untuk berkembang.
Pengetahuan diperoleh melalui proses berpikir. Anak-anak pada mulanya
seperti kertas putih yang bersih belum ada coretan. Lembaran tersebut akan
tertulis dengan adanya tanggapan panca indera yang menyalurkannya ke otak
bagian depan yang memiliki daya imajinasi (al-quwwat al-mutakhayyilat). Dari
sini meningkat ke daya berpikir (al-quwwat al-mufakkirat) yang terdapat
pada otak bagian tengah. Pada tingkat ini manusia sanggup membedakan antara
benar dan salah, antara baik dan buruk. Setelah itu disalurkan ke daya
ingatan (al-quwwat al-hafizhat) yang
terdapat pada otak bagian belakang. Pada tingkat ini seseorang sudah sanggup
menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh daya berpikir. Tingkat terakhir
adalah daya berbicara (al-quwwat al-nuathiqat), yaitu kemampuan
mengungkapkan pikiran dan ingatan itu melalui tutur kata yang bermakna kepada
pendengar atau menuangkannya lewat
bahasa tulis kepada membaca.[18]
Manusia selain mempunyai indera yang zahir, juga memiliki indera
batin yang berfungsi mengolah hal-hal
yang ditangkap oleh indera zahir sehingga melahirkan konsep-konsep.
Dalam tubuh manusia, jiwa memiliki tiga fakultas.
a.
Jiwa
tumbuhan
Jiwa
ini dimilikimoleh semua makhluk hidup: tumbuhan, hewan, dan manusia. Jiwa ini
terbagi dalam tiga daya: makan, tumbuh, dan reproduksi.
b.
Jiwa
hewan
Jiwa
ini hanya dimiliki oleh hewan dan manusia. Ia terbagi dalam dua daya: penggerak
dan sensasi (persepsi dan emosi)
c.
Jiwa
manusia
Jiwa
ini hanya dimiliki oleh manusia. Jiwa yang mendorong manusia untuk berpikir dan
berbicara.
Ketiga
fakultas jiwa di atas bersama dengan daya-dayanya bekerja sama dan mdalam diri
manusia. Di sinilah letak kelebihan manusia disbanding ciptaan Allah yang
lainnya.
Sementara
itu tentang kebangkitan di akhirat, Ikhwan al-Shafa ternyata pendapatnya tidak
berbeda dengan pendapat para filosof muslim pendahulunya, yakni kebangkitan
berbentuk rohani. Sorga dan neraka dipahami secara makna hakikat. Sorga adalah kesenangan dan neraka
adalah penderitaan.[19]
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Dahlan, Abdul
Aziz Pemikiran Falsafi Dalam
Islam, Padang: IAIN IB Press, 1999
Nata, Abuddin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian
Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003
Ya’cub, Tasman, Filsafat Islam, Padang: IAIN IB Press, 1999
Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2004
____________, Filsafat Islam I, Padang: IAIN Press, 2003
[1]
. Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 5
[2]
. Ibid.
[3]
. Ibid.
[4]
. Sirajuddin Zar, Filsafat Islam 1, (Padang: IAIN Press, 2003), h. 80
[5]
. Abuddin Nata, Op.cit, h. 6
[6]
. Sirajuddin Zar, Op.cit, h. 84
[7].
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2004), h. 135
[8].
Ibid
[9].
Abuddin Nata, op.cit., h. 11
[10].
Sirajuddin Zar, op.cit., h.86
[11].
Sirajuddin Zar, loc.cit, h. 96
[12].
Ibid, h.97
[13]
. Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi Dalam Islam, (Padang: IAIN IB
Press, 1999),h. 70
[14].
Tasman Ya’cub, Filsafat Islam, (Padang: IAIN IB Press, 1999), h. 44
[15]
Abdul Aziz Dahlan, Op.Cit., h. 73-74
[16]
Ibid, h. 74
[17].
Zirajuddin Zar, Op.Cit., h. 148
[18].
Ibid, h. 152
[19].
Ibid, h. 153
Tidak ada komentar:
Posting Komentar