Senin, 15 Februari 2016

IJTIHAD

I.                   PENDAHULUAN
Syari’at Islam mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Nash-nash syari’at telah ditetapkan oleh Allah untuk mengatur kehidupan agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Tujuan umum syari’at Islam adalah untuk memperoleh kemashlahatan dan mencegah terjadinya kemafsadatan.
Seiring dengan perkembangan zaman, kasus-kasus yang terjadi semakin rumit dan kompleks dan membutuhkan jawaban dari syari’at Islam. Di sisi lain, Syari’at ada yang datang dalam bentuk global atau ada juga yang bersifat parsial, namun jika dilihat dari lafazd yang tersurat terkadang banyak yang tidak bisa menjawab persoalan-persoalan yang muncul. Untuk menjawab persoalan tersebut dibutuhkan keahlian dari para ulama dalam menafsirkan nash-nash tersebut agar bisa diaplikasikan terhadap kasus yang terjadi. Rangkaian proses meneliti, memahami dan menemukan hukum Allah serta menaplikasikannya disebut dengan ijtihad.
Dalam makalah yang pendek ini penulis mencoba membahas hakikat ijtihad dan segala persoalan yang berhubungan dengannya. Semoga Allah memberikan taufiqNya, Amiin.

II.                PENGERTIAN
Secara etimologi, Ijtihad merupakan bab yang kedua Tsulasti mazid dua huruf dari stulasti mujarad jahd atau juhd. Jahd berarti kesungguhan, sepenuh hati atau keseriusan. Contohnya terdapat dalam surat al-An’am ayat 109
(#qßJ|¡ø%r&ur «!$$Î/ yôgy_ öNÍkÈ]»yJ÷ƒr& .......
Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sungguh-sungguh sumpah.....
 Juhd berarti kesanggupan atau kemampuan yang didalamnya mengandung kesulitan, berat dan susah. Contohnya firman Allah dalam surat al-Taubah ayat 79
..... šúïÏ%©!$#ur Ÿw tbrßÅgs žwÎ) óOèdyôgã_ tbrãyó¡tsù öNåk÷]ÏB   tÏy ª!$# öNåk÷]ÏB öNçlm;ur ë>#xtã îLìÏ9r&
...orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, Maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih.
Perubahan dari bentuk jahd atau  juhd menjadi ijtihad dengan menambah hurf alif pada awal dan huruf ta antara huruf jim dengan huruf ha mengandung beberapa pengertian dan salah satunya adalah mubalaghah[1] (sangat) dan ghayah[2] (akhir/kesudahan). Kata ijtahada jika dihubungkan dengan asalnya (tsulatsi mujarat yaitu jahd atau juhd) mengandung pengertian kesanggupan yang sangat atau kesungguhan yang sangat sampai kepada akhir kesanggupan atau akhir kesungguhan.
Menurut ahli ushul fiqh terdapat beberapa pengertian ijtihad secara terminologi, di antaranya:
A.      Jalal al-Din Muhammad bin Ahmad al-Mahalli al-Syafi’i mendefinisikan ijtihad dengan
بذل الوسع في بلوغ الغرض المقصود من العلم ليحصل له [3]
“Ijtihad adalah mengerahkan seluruh kemampuan dalam mencapai tujuan yang dimaksud berupa ilmu”.
Kata bazl al-wus’ dalam definisi diatas menunjukkan bahwa orang yang melakukan ijtihad itu harus sungguh-sungguh, sepenuh hati dan bukan main-main. Definisi ini masih bersifat umum karena tidak menyebutkan subjek yang mengerahkan kemampuan. Kata ilmu yang dimuat dalam definisi ini juga masih umum, bukan hanya ilmu syar’i tetapi mengandung seluruh jenis (afrad) ilmu.
B.       Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali mendifinisikan ijtihad dengan
بذل المجتهد وسعه في طلب العلم بأحكام الشريعة [4]
“Mujtahid mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mencari (menggali) ilmu yang berkenaan dengan hukum syari’at”.
Dibanding dari definisi yang pertama di atas, definisi ini agaknya lebih lengkap, karena subjek yang melakukan ijtihad sudah disebutkan yaitu mujtahid. Subjek yang mengerahkan seluruh kemampuannya bukanlah sembarang orang tetapi orang yang sudah mencapai derjat mujtahid. Ilmu sebagai objek yang menjadi kajian ijtihad juga telah dijelaskan yaitu hukum syari’at.
C.       Imam Muhammad bin Ali al-Syaukani mendefinisikan ijtihad dengan
بذل الوسع في نيل حكم شرعي عملي بطريق الاستنباط [5]
“Mengerahkan kemampuan dalam mencapai (memperoleh) hukum syar’i yang besifat amali dengan jalan istinbath
Definisi yang dikemukakan oleh imam al-Syaukani ini lebih menekankan kepada objek yang akan dihasilkan dari ijtihad yaitu hukum syar’i yang bersifat amali. Hukum syari’at yang tidak bersifat amali tidak termasuk kedalam lapangan ijtihad, seperti aqidah dan akhlaq karena pada awalnya seluruh ajaran Islam disebut syari’at walaupun pada akhirnya ulama mengkhususkan bahwa yang dimaksud dengan syari’at adalah titah Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf baik berupa taklif, wadha’ atau takhyir.
Kata istinbath menunjukkan bahwa untuk menghasilkan hukum syri’at yang amali tersebut harus dengan langkah-langkah tertentu yang disebut dengan istinbath. Seseorang tidak bisa seenaknya saja menetapkan hukum menurut rasio akal fikiran dan hawa nafsunya. Ia harus memahami kandungan lafazd nash. Sementara, nash yang sudah terang-terang mengandung pengertian jelas dan mudah dipahami tidak termasuk dalam kajian ijtihad.
D.      Taj al-Din Abd al-Wahab bin Ali al-Subki mendifinisikan ijtihad dengan
الاجتهاد استفراغ الفقيه الوسع لتحصيل ظن بحكم [6]
Pengerahan kemampuan seorang faqih untuk menghasilkn dugaan kuat tentang hukum”
Prof Dr.H Amir Syarifuddin menambahkan kata  شرعيsetelah lafazd حكم [7]. Jadi, hukum yang dihasilkan dari pengerahan kemampuan seorang faqih tersebut adalah hukum syar’i. Kata faqih mengandung arti bahwa yang mengerahkan kemampuan adalah orang yang telah mencapai derjat tertentu yang disebut dengan faqih. Dibandingkan dengan definisi yang dikemukakan Imam al-Ghazali di atas, definisi yang dikemukakan oleh Imam Subki ini lebih mengerucut karena untuk menerangkan subjek yang mengerahkan kemampuan disebut dengan faqih, sementara Imam al-Ghazali menyebutnya dengan mujtahid yang lebih luas cakupannya. Kata zhan yang terdapat dalam definisi ini mengandung arti bahwa yang hasil yang diperoleh merupakan dugaan kuat terhadap hukum Allah bukan hakikat dari hukum Allah karena tidak ada yang tahu pasti tentang hakikat hukum Allah kecuali Allah sendiri sebagai Syari’.
E.       Syaifuddin al-Amidi mendefinisikan ijtihad sebagaimana yang dikutip oleh Prof Dr.H Amir Syarifuddin menyatakan bahwa ijtihad adalah
استفراغ الوسع في طلب الظن بشيئ من الاحكام الشرعية بحيث يحسى النفس العجز عن المزيد فيه [8]
“Pengerahan kemampuan dalam memperoleh dugaan kuat tentang sesuatu dari hukum syara’ dalam bentuk dirinya merasa tidak mampu berbuat lebih dari itu”
Definisi ini memberi ta’kit (memperkokoh) bahwa yang dimaksud dengan pengerahan kemampaun tersebut adalah sampai batas kemampuan terakhir, puncak (klimaks) dan ia tidak merasa mampu untuk berbuat lebih dari itu. Pengerahan kemampuan dengan asal-asalan, sebagian atau sembrono tidak dinamakan dengan ijtihad.
Dari berbagai definisi diatas dapat dianalisa bahwa walupun berbeda beda redaksinya namun masing-masing definisi tersebut saling melengkapi dan saling menunjang sehingga hakikat ijtihad itu adalah sebagai berikut[9] :
1.      Pengerahan daya nalar secara maksimal
2.      Usaha ijtihad dilakukan oleh orang yang sudah mencapai derjat tertentu yang disebut dengan faqih atau mujtahid
3.      Produk yang diperoleh dari hasil ijtihad adalah dugaan yang kuat tentang hukum syara’ yang bersifat amaliah
4.      Usaha ijtihad ditempuh dengan jalan istinbath
Menurut pandangan penulis pemakaian lafazd syara’ pada beberapa definisi diatas kurang tepat, karena kata syara’ mengandung pengertian ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf. Syari’at tidak membutuhkan pengerahan kemampuan secara optimal karena syari’at dapat diketahui melalui nash secara mudah (dharury). Syari’at bersifat qath’i yang ditetapkan berdasarkan nash dan tidak bisa dirubah sampai akhir zaman. Sementara hasil ijtihad bersifat zhanny (dugaan kuat) tentang hukum Allah dan dapat berubah disebabkan dengan perubahan kondisi dan waktu. Oleh karena itu, lebih tepat kira kata syara’ tersebut diganti dengan kata fiqh karena hasil dari ijtihad adalah fiqh.
III.             HUKUM MELAKSANAKAN IJTIHAD
Ijtihad merupakan dasar pertama dari asal syari’at[10]. Banyak ayat dan hadits yang memerintahkan untuk melakukan ijtihad. Betapa banyak ayat al-Qur’an yang diakhiri dengan lafazd افلايتذكرون ,افلاتعقلون  , ان في ذالك لايات لقوم يتفكرون dan lain sebagainya. Di antara ayat al-Qur’an yang menganjurkan untuk ijtihad adalah surat al-Nisa’ ayat 59
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ .........
Secara eksplisit kata farudduhu ila Allah wa al-rasul mengandung pengertian harus dianalogikan (qiyas) kepada al-Qur’an dan sunnah. Metode qiyas merupakan salah satu bentuk dari ijtihad.
Ijtihad juga berdasarkan hadits nabi Muhammad SAW,di antaranya
عن عمروبن العاص انه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول اذا حكم الحاكم فاجتهد فاصاب فله اجران واذاحكم فاجتهد ثم اخطأ فله اجر  (متفق عليه) [11]
Dari Amr bin Ash, bahwa dia mendengar Rsulullah SAW bersabda, “ apabila seorang hakim menetapkan putusan dengan ijtihadnya kemudian keputusannya itu betul maka dia diberi dua pahala, apabila dia memutuskan perkara dengan ijtihadnya ternyata keputusan itu salah maka ia akan memperoleh satu pahala.
Hadits tentang Mu’azd ketika diutus menjadi di Yaman
( أخبرنا ) : الثقةُ أو ثقةُ غيرُهُ أو هُماعن زَكَرِيا بن إسحاقَ عن يَحي بن عبد اللَّه بن صَيفي عن أبي مَعبَدٍ عن ابن عباسٍ رضي اللَّه عنهما : أنَّ رَسولَ اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم قالَ لِمُعَاذٍ حينَ بعثه ( معاذ بضم أوله وفته عينه : هو معاذ بن جبل وقد كان بعثه رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم إلى اليمن أميراً كما في البخاري وفي الاستيعاب بعثه إلى اليمن واليا على الجند يعلم الناس القرآن وشرائع الإسلام ويقضي بينهم وجعل إليه قبض الصدقات من العمال الذين باليمن وقال له حين وجهه إلى اليمن : " بم تقضي ؟ قال : بما في كتاب اللَّه قال : فإن لم تجد ؟ قال : بما في سنة رسول اللَّه قال : فإن لم تجد ؟ قال : أجتهد رأيي فقال رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم : الحمد للَّه الذي وفق رسول اللَّه لما يحب رسول اللَّه "[12]
......Ketika Rasulullah SAW mengutus Mu’az sebagai Qadhi di Yaman, maka Rasul bertanya kepadanya dengan apa engkau memutuskan perkara? Ia menjawab, Aku putuskan berdasarkan kitabullah, Rasul bertanya lagi, jika engkau tidak menjumpai dalam kitabullah? Ia menjawab, aku putuskan berdasarkan apa yang telah diputuskan oleh Rasulullah. Rasul bertanya lagi, kalau engkau tidak memperolehnya? Ia menjawab, aku akan berijtihad dengan ra’yi.
Berdasarkan beberapa ayat dan hadits yang telah dikemukakan diatas maka hukum ashal dari ijtihad adalah wajib. Kewajiban untuk melakukan ijtihad adalah bagi orang yang telah mencapai derjat mujtahid. Hukum ijtihad dapat dilihat dari hasil ijtihad, apakah untuk diamalkan sendiri seperti menentukan arah kiblat pada waktu akan shalat atau untuk kepentingan orang banyak seperti seorang mufti ditanya tentang hukum suatu hal oleh pengikutnya. Hukum ijtihad seorang faqih juga dapat dilihat dari segi prinsip umum dalam menetapkan hukum tanpa memperhatikan kondisi dan keadaan apapun. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut maka hukum ijtihad dari ashalnya wajib akan berubah kepada:
1.        Fardhu ain dapat dilihat dalam 2 bentuk, yaitu:
a.       Ijtihad yang dilakukan untuk pribadi mujtahid sendiri terhadap kasus yang terjadi, baik dalam hal ibadah maupun dalam hal mu’amalah, maka ia wajib merujuk hukumnya kepada al-Qur’an dan sunnah dengan cara qiyas, istihsan, mashlahah dan lain-lain[13].
b.      Ijtihad yang dilakukan terhadap orang lain berupa mujtahid yang ditanya tentang suatu kasus yang telah terjadi, sementara tidak ada mujtahid lain selain dia dan dikhawatirkan kalau ia tidak melakukan ijtihad maka kasus tersebut akan luput dari hukum[14]. Seorang mujtahid dilarang bertaqlid terhadap peristiwa yang berhubungan dengan dirinya maupun dengan orang lain karena hukum yang ditetapkan berdasarkan ijtihad merupakan dugaan kuat bahwa hukum itu adalah hukum Allah[15].
2.      Wajib kifayah. Yaitu ketika seorang mujthid ditanya tentang suatu kasus yang telah terjadi dan tidak dikhawatirkan akan luputnya kasus tersebut serta pada waktu itu ada beberapa orang mujtahid selain dia. Apabila salah seorang diantara mereka melakukan ijtihad maka hilang tuntutan ijtihad bagi yang lainnya. Seandainya tiada seorangpun yang melakukannya maka memua mereka akan berdosa.
3.      Nadab (sunnat), yaitu ketika seorang mujtahid malakukan ijtihad tentang kasus yang belum terjadi, baik ditanya atau tidak oleh pengikutnya.
4.      Haram, yaitu ketika seorang malakukan ijtihad terhadap hal-hal yang telah diatur secara qath’i berdasarkan nash al-Qur’an, Sunnah atau ijma’
5.      Prof Dr. Amir Syarifuddin menambah hukum ijtihad dengan mubah. Yaitu apabila menghadapi suatu kasus yang sudah terjadi atau belum terjadi dan kasus tersebut belum diatur secara jelas dalam nash al-Qur’an maupun sunnah sedangkan ada beberapa orang yang memiliki kualifikasi sebagai mujtahid[16].

IV.             BENTUK-BENTUK IJTIHAD
Para ahli suhul fiqh berbeda-beda dalam membagi bentuk-bentuk ijtihad. Perbedaan mereka berdasarkan objek dan hasil kajian yang timbul dari ijtihad. Di antara pendapat ulama tentang bentuk-bentuk ijtihad adalah :
1.      Muhammad Fadhl Allah membagi bentuk ijtihad kepada 2 bagian, yaitu:
a.       Ijtihad muthlaq, yaitu ijtihad yang meliputi semua masalah hukum, tidak memilah dan memilih dalam bentuk bagian-bagian masalah tertentu. Semua kasus hukum yang timbul menjadi objek kajian dari ijtihad muthlaq bukan hanya kasus yang bersifat parsial. Pelaku ijtihad muthlaq ini disebut dengan mujtahid muthlaq. Imam mujtahid yang empat (Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali) termasuk kedalam golongan mujtahid muthlaq.
b.      Ijtihad juz’i atau parsial. Ujtihad seperti ini adalah ijtihad dengan cara melakukan kajian yang mendalam tentang bagian tertentu dari hukum dan tidak mendalami kajian yang lain. Pelaku ijtihad ini disebut dengan mujtahid juz’i. Kebanyakan mujtahid selain imam mujtahid yang empat termasuk kedalam golongan ini.
2.      Muhammad abu Zahrah dalam bukunya ushul fiqh sebagimana yang dikutip oleh Prof.Dr Amir syarifuddin, membagi ijtihad dari segi bentuk karya ijtihadnya kepada 2 bagian, yaitu :
a.       Ijtihad al-istinbathi, yaitu kegiatan ijtihad yag berusaha menggali dan menemukan hukum dari dalil-dalil yang telah ditentukan. Bentuk ijtihad ini adalah bentuk ijtihad yang paripurna. Secara khusus ijtihad ini berlaku dikalangan sekelompok ulama yang berfungsi mencari hukum furu’ yang amaliah dari dalilnya yang terperinci.
b.      Ijtihad tatbiqi, yaitu ijtihhad untuk mengaplikasikan atau menerapkan hasil ijtihad (temuan) imam mujtahid terdahulu terhadap kasus yan muncul kemdian. Ijtihad tatbiqi bukan untuk menggali hukum dari sumbernya tetapi untuk penerapan hukum yang ditemukan dari hasil ijtihad istinbathi yang dilakukan oleh imam mujtahid.
3.      Menurut ibnu Subki ijtihad tathbiqi terbagi kepada 2 bagian, yaitu[17] :
a.       Takhrij al-ahkam, yaitu menetapkan hukum terhadap suatu kejadian yang baru dengan cara menghubungkannya kepada hukum yang pernah ditetapkan oleh imam mujtahid terdahulu. Pelakunya disebut dengan mujtahid mazhab. Menghubungkan kejadian yang baru dengan hukum yang telah ditetapkan itu dengan cara melihat kesebandingan antara keduanya atau merentangkan hasil ijtihad imam mujtahid kepada kejadian yang baru, seolah-olah hukum kejadian yang baru ditetapkan melalui pengerahan kemampuan untuk mengeluarkan hukum baru takhrij al-ahkam. Hukum terhadap kejadian yang baru disebut dengan qaul mukharraj, dan pendapat imam mujtahid sebagai tempat membandingkan atau yang direntangkan disebut dengan qaul manshush. Hasil temuan hukum yang ditemukan oleh imam mujtahid menjadi berkembang dan semakin luas dikalangan pengikutnya. Para pengikutnya mengembangkannya terhadap kasus-kasus yang mereka hadapi. Karena banyaknya pengikut dan berbeda-beda kemampuan yang mereka miliki serta berbeda kondisi yang mereka hadapi sehingga seringkali timbul juga perbedaan dari hasil ijtihad mereka. Hal ini menimbulkan keraguan dikalangan generasi berikutnya pendapat mana yang praktis untuk diikuti. Untuk menghadapi persoalannya ini maka perlu ditarjih seluruh pendapat-pendapat tersebut.
b.      Tarjih, yaitu usaha untuk menemukan kejelasan sebagai pegangan dimasa yang akan datang bagi para pengikut imam mujtahid dengan membandingkan beberapa pendapat imam mujtahid dan memilih pendapat yang paling kuat dalilnya untuk diikuti an diamalkan. Pelakunya disebut mujtahid fatwa.

V.                MACAM-MACAM IJTIHAD
Ulama berbeda pendapat ketika menjelaskan macam-macam ijtihad karena mereka berbeda juga dalam cara melihatnya. Di antara perbedaan itu adalah :
1.      Ijtihad dilihat dari dalil yang dijadikan pedoman, terdiri dari tiga macam :
a.       Ijtihad bayani, yaitu ijtihad untuk menemukan hukum yang terkandung dalam nash namun sifatya zhanni baik dari segi ketetapannya maupundari segi penunjukannya. Ijtihad ini menerangkan kandungan dari sebuah nash dan menguatkan salah satu beberapa pemahaman yang berbeda-beda. Kajian ijtihad ini terhadap hukum yang terkandung dalam sebuah nash tetapi tidak membrikan penjelasan yang pasti. Untuk mengamalkan nash tersebut perlu penjelasan dari seorang mujtahid agar bisa diamalkan. Contoh soerang wanita yang dalam keadaan tidak hamil ditalak oleh suaminya harus beriddah sebanyak tiga quru. Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 228 :
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4 .........
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'
Kata quru’ dalam ayat diatas mengandung dua pengertian yang berbeda dan saling bertolak belakang, yaitu bisa berarti suci dan juga bisa berarti haid. Ijtihad yang dilakukan untuk menetapkan pengertian quru’ dengan memperhatikan beberapa qarinah sebagai penunjuknya disebut dengan ijtihad bayani.
b.      Ijtihad qiyasi, yaitu ijtahd untuk menggali dan menetapkan hukum terhadap suatu kejadian yang tidak ditemukan dalilnya dalam nash baik secara qath’i maupun secara zhanni dan tidak ditemukan ijma’ yang menetapkan hukumnya. Ijtihad ini menetapkan hukum terhadap suatu kasus dengan cara merujuk kepada kasus lain yang mirip dan sudah ada ketetapan hukum sebelumnya. Kemiripan kedua kasus tersebut melihat dengan cara membandingkan illat hukum yang terkandung didalam keduanya apakah sama atau tidak. Kalau sama illat yang terkandung pada kedua kasus tersebut maka mujtahid akan menetapkan hukum yang sama terhadap kasus yang kemudian dengan kasus yang pertama yang sudah ada ketetapan hukumnya. Penetapan hukum dengan cara ini disebut dengan ijtihad qiyasi dan istihsan atau zaman sekarang dikenal dengan istilah hukum yurisprudensi. Penetapan hukum pada ijtihad qiyasi dengan cara merentangkan hukum yang terdapat pada suatu kasus yang sudah ditetapkan oleh nash dengan melihat kesamaan illat yang terkandung didalamnya, karena pada kasus yang lain tidak tersurat langsung dalam nash tetapi tersirat. Oleh sebab itu butuh kepada usaha yang sungguh-sungguh untuk menggali hukum yang tersirat tersebut.
c.       Ijtihad ishtilahi, yaitu karya ijtihad yang menggali, menemukan dan merumuskan hukum dengan cara menetapkan kaidah kulli untuk kejadian (kasus) yang tidak ada ketentuan hukumnya didalam nash, baik secara qath’i maupun zhanni, tidak terdapat ijma’ dan tidak ada kemungkinan untuk menghubungkan hukumnya dengan kejadian (kasus) yang sudah ada ketetapannya dalam nash. Prinsip-prinsip umum syari’at menjadi dasar pegangan dalam menetapkan hukum pada ijtihad ishtilahi, seperti mewujudkan kemashlahatan umum, dengan jalan mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan.
Hasil ijtihad dalam bentuk bayani diterima oleh semua golongan ulama, termasuk golongan zhahiriyah dan golongan syi’ah. Sedangkan hasil ijtihad qiyasi dan ishtilahi terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah menggunakan cara ijtihad ini. Ulama Syafi’iyah membatasinya dengan tidak memakai cara istihsan dan ijtihad yang berada diluar wilayah nash. Ulama Zhahiriyah menolak ijtihad dengan cara qiyasi dan ishtilahi.
2.      Al-Syathibi melihat ijtihad dari segi mungkin atau tidak mungkin terhenti kegiataannya, hal ini terbagi kepada dua macam, yaitu :
a.       Tahqiq al-manath (ijtihad dalam menjelaskan hukum). Ijtihad dalam bentuk ini tidak mungkin terhenti kegiatannya. Semua ulama menerima ijtihad dalam bentuk ini[18]Jenis ijtihad ini sama dengan ijtihad bayani yang telah dikemukakan diatas yang keberadaannya diakui oleh semua pihak.
b.      Tanqih al-manath dan takhrij al-manath. Kedua ijtihad ini mungkin terjadi terhenti kegiatannya[19]. Rumusan tanqih al-manath dan takhrij al-manath sama dengan konsep ijtihad qiyasi.
3.      Dilihat dari hasil yang dicapai melalui ijtihad. Al-Syatihibi membaginya kepada dua macam, yaitu :
a.       Ijtihad mu’tabar, yaitu ijtihad yang secara hukum dapat dipandang sebagai penemuan hukum. Hasil ijtihad yang dilakukan oleh sesorang yang sudah mencapai derjat mujtahid dan memenuhi syarat-syarat tertentu.
b.      Ijtihad ghair mu’tabar, yaitu ijtihad yang dalam pandangan hukum tidak bisa dijadikan sebagai cara menemukan hukum. Hasil ijtihad seperti ini dilakukan oleh orang yang belum mencapai derjat mujtahid dan tidak memenuhi syarat-syarat tertentu.
4.      Dilihat dari sudut pandang kegiatan ijtihad dalam kaitannya dengan cara yang digunakan, sebagaimana al-Syaukani menukilkan pendapat al-Mawardi, maka ijtihad seperti ini terbagi kepada delapan macam[20], yaitu:
a.      Ijtihad yang mengeluarkan hukum dari tujuan makna yang terdapat dalam nash. Contohnya firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 276
ß,ysôJtƒ ª!$# (#4qt/Ìh9$# Î/öãƒur ÏM»s%y¢Á9$# 3 ª!$#ur Ÿw =Åsム¨@ä. A$¤ÿx. ?LìÏOr& ÇËÐÏÈ  
Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.
Mujtahid mencoba mencari illat yang terkandung dalam ayat ini, yaitu riba akan merusak dan merugikan sedangkan shadaqah akan menguntungkan.
b.      Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum yang terdapat kemiripan dengan kandungan nash. Contohnya adalah penetapan hukum yang berhubungan dengan budak, melihat kepada kasus-kasus tertentu. Pada kasus tertentu seorang udak dapat disamakan dengan manusia merdeka karena ia juga dibebani dengan beberapa hukum, diberi hak untuk memiliki seperti berhak untuk dihadiahi atau diberi sedekah oleh orang lain. Pada sisi lain seorang budak disamakan dengan hewan karena ia dapat diperjualbelikan dan dimiliki oleh tuannya, sehingga dalam hal ini ia tidak dapat memiliki. Jadi, mujtahid menetapkan hukum yang berkaitan dengan budak melihat kepada kondisi tertentu yang mendukungnya.
c.       Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum daari keumuman lafazd nash. Contohnya adalah menentukan pihak yang memaafkan suami dari membayar mahar istri yang diceraikannya sebelum ia campuri. Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 237
bÎ)ur £`èdqßJçFø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br& £`èdq¡yJs? ôs%ur óOçFôÊtsù £`çlm; ZpŸÒƒÌsù ß#óÁÏYsù $tB ÷LäêôÊtsù HwÎ) br& šcqàÿ÷ètƒ ÷rr& (#uqàÿ÷ètƒ Ï%©!$# ¾ÍnÏuÎ/ äoyø)ãã Çy%s3ÏiZ9$# 4 ........ 
Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah.
Pada ayat diatas pihak yang memegang ikatan nikah bersifat umum. Ijtihad dengan cara mengeluarkan hukum terhadap wali nikah dari keumuman nash tersebut termasuk kedalam jenis ijtihad ini.
d.      Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari kumpulan nash. Contohnya ijtihad untuk menetapkan kadar mut’ah atau kewajiban suami untuk membayarkan mahar terhadp istri yang belum dicampurinya sedangkan maharnya belum ditetapkan. Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 236
............. £`èdqãèÏnFtBur n?tã ÆìÅqçRùQ$# ¼çnâys% n?tãur ÎŽÏIø)ßJø9$# ¼çnâys% ...............
........dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), .............
Ijtihad dalam bentuk ini mengeluarkan kadar mut’ah sesuai dengan kondisi ekonomi dari seorang suami.
e.       Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari keadaan-keadaan yang terdapat didalam nash. Contohnya ijtihad untuk menetapkan dam (denda haji) pada haji tamattu’, firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 196
.... 4 `yJsù öN©9 ôÅgs ãP$uÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$­ƒr& Îû Ædkptø:$# >pyèö7yur #sŒÎ) öNçF÷èy_u 3....... 
..........jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), Maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali.....
Pelaksanaan kewajiban puasa tujuh hari dapat dilaksnakan setelah meninggalkan tanah suci atau setelah kembali kepada keluarganya. Ijtihad dalam menetapkan kedua keadaan tersebut yang dominan.
f.        Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari dalil (petunjuk yang kuat) dalam nash. Contoh kewajiban suami untuk memberi nafkah terhadap istrinya sesuai dengan kemampuannya, firman Allah dalam surat al-Thalaq ayat 7
÷,ÏÿYãÏ9 rèŒ 7pyèy `ÏiB ¾ÏmÏFyèy .......  
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya....
Ayat ini tidak menjelaskan tidak menjelaskan kewajiabn nafkah suami terhadap istrinya. Berdasarkan hasil ijtihad dari penunjukkan nash, kewajiban nafkah suami yang kaya adalah sebanyak dua mud sebagai ukuran maksimal kewajiban membayar fidyah. Kewajiban nafkah suami yang miskin adalah satu mud sebagai ukuran minimal yang ditetapkan sunnah untuk membayar kifarah bagi orang yang mencampuri istrinya siang hari bulan ramadhan.
g.      Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari ‘amarat (petunjuk yang kurang kuat) dalam nash. Contohnya ijtihad menentukan arah kiblat bagi ornag yang samar tentang kiblat, firman Allah dalam surat al-Nahl ayat 16
;M»yJ»n=tæur 4 ÄNôf¨Z9$$Î/ur öNèd tbrßtGöku  
Dan (dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). dan dengan bintang-bintang Itulah mereka mendapat petunjuk.
Ijtihad dengan menetapkan arah kiblat berdasarkan petunjuk-petunjuk dan tanda-tanda seperti arah tiupan angin dan posisi bintang-bintang merupakan bentuk dari ijtihad jenis ini.
Ketujuh macam ijtihad diatas mempunyai “cantelan” kepada nash baik tersurat maupun tersirat, baik dengan penunjukan (dilalah)nya kuat ataupun tidak. Oleh karena itu, semua ulama menerimanya dan tidak memperdebatkannya sebab, ketujuh bentuk ijtihad tersebut diatas merupakan penjabaran dari bentuk ijtihad bayani yang tidak diperselisihkan oleh ulama.
h.      Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum bukan dari nash dan bukan juga dari prinsip nash. Ijtihad dalam jenis ini tidak mempunyai keterkaitan dengan nash baik secara tersurat mupun tersirat, baik langgsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, ijtihad seperti ini diperdebatkan oleh para ulama. Sebagian ulama berpendapat tidak boleh ijtihad dalam bentuk ini sampai ada nash yang menjadi “cantelan”nya. Sebagian ulama berpendapat boleh ijtihad seperti ini dilakukan karena ijtihad seperti ini sesuai dengan prinsip umum syara’
5.      Ijtihad dilihat dari pelaksanaannya dan jumlah pelaksananya (mujtahid) yang terlibat didalamnya, terbagi kepada dua macam, yaitu :
a.       Ijtihad fardi, yaitu ijtihad yang pelakunya hanya seorang. Ijtihad ini memungkinkan terjadi terhadap kasus yang sederhana dan dilingkungan masyarakat yang sederhana sehingga tidak membutuhkan penelitian dari berbagai disiplin ilmu. Mungkin juga mujtahidnya menguasai berbagai disiplin ilmu yang diperlukan untuk mengkaji masalah tersebut. Contohnya ijtihad untuk menentukan taayamum apakah ntuk satu shalat atau beberapa shalat.
b.      Ijtihad jama’i, yaitu ijtihad yang pelakunya terdiri dari beberapa orang secara kolektif(bersama). Ijtihat ini terjadi karena kasus yang terjadi sangat rumit dan kompleks, meliputi bidanag yang luas, sehingga perlu melibatkan berbgai pakar dibidangnya dari beerbagai disiplin ilmu pengetahuan dan tidak mungkin dilakukan oleh seseorang yang spesialis dalam satu bidang saja. Contohnya menetapkan hukum tentang donor darah, pencangkokan organ tubuh, bayi tabung dan lain-lain. Untuk menetapkan hukum terhadap semua kasus tersebut tidak bisa dialkukan oleh seorang faqih saja tetapi harus dibantu oleh ahli kesehatan dan ahli biologi.
Hukum dari hasil ijma’ jama’i tidak sama statusnya dengan hukum hasil ijma’ karena semua pakar yang terkumpul dalam ijtihad jama’i tidak sama derjat dan persyaratan dengan ulama yang melakukan ijma’. Hasil ijtihad jama’i pada satu kasus yang sama bisa berubah dan berbeda sesuai dengan kondisi, waktu dan tempat. Sedangkan ijma’ tidak bisa berubah dan berbeda karena semua ulama telah membuat satu kesepakatan.

VI.             LANGKAH-LANGKAH DALAM PELAKSANAAN IJTIHAD.
Langkah-langkah yang dilakukan oleh seorang mujtahid dalam berijtihad mengacu kepada teori yang terkandung dalam kisah nabi mengutus Mu’azd bin Jabal untuk menjadi qadhi di Yaman. Ketika Rasul bertanya kepadanya tentang cara ia memutuskan perkara, maka kesimpulan dari jawabannya adalah dengan al-kitab (al-Qur’an), kemudian dengan sunnah dan kemudian berijtihad dengan ra’yinya. Urutan yang dikemukakan oleh Mu’azd bin Jabal tersebut merupakan rumusan dasar yang ditempuh ketika melakukan ijtidad. Rumusan dasar ini diikuti oleh seluruh ulama-ulama mujtahid.
Abu Hanifah mengatakan, “ Apabila suatu kasus terdapat hukumnya dalam kitabullah maka aku berpegang dengannya, kalau tidak terdapat dalam kitabullah maka aku memakai sunnah rasul, apabila tidak aku temui hukumnya didalam keduanya maka aku berpegang dengan pendapat (ijma’)shahabat. Apabila tidak aku temui pendapat sampai kepada pendapat Ibrahim, Syu’bi, Ibn Sirin,  ‘Atha’ dan Said bin Musayyib maka aku akan berijtihad sebagaimana mereka berijtihat[21].
Menurut imam Syafi’i sebagaimana yang dinukilkan imam Ghazali[22] apabila sebuah kasus terjadi dihadapan seorang mujtahid maka ia harus melihat nash al-kitab, kalau tidak ada maka dilihat dalam khabar mutawatir kalau tidak ada maka lihat dalam khabar ahad, kalau tidak ada lihat apakah ada ijma sahabat atau tidak kalau tidak ditemui dalam ijma’ maka lakukan qiyas.
Langkah-langkah ijtihad secara terperinci adalah sebagai berikut :
1.      Merujuk kepada Al-Qur’an.
a.       Bila nash al-qur’an menunjukan dalil atau petunjuk umum atau zhahir maka harus dicari penjelasannya baik dalam bentuk lafazd khas yang akan mentakhshishkan keumumannya. Lafazd muqayyad yang akan mentaqyid kemuthlaqannya atau ada qarenah yang akan menjelaskan maksudnya.
b.      Pilih dan pilah lafazd zhahir, nash, mufassar dan muhkam.
c.       Pilih dan pilah hakikat dan majaz serta sharih dan kinayah.
d.      Teliti ‘ibarah, isyarah, iqtidhah dan dilalah.
e.       Teliti manthuq dan mafhum yang terdapat dalam manthuq itu.
Hukum yang terkandung dalam al-Qur’an diteliti dari segala segi. Andaikata tidak ditemukan hukum dari yang tersurat maka harus dicari hukum yang tersirat dibalik yang tersurat tersebut.
2.      Merujuk kepada sunnah.
Sunnah yang pertama kali menjadi rujukan adalah sunnah yaang mutawatir, kalau tidak ditemukan hukumnya dalam sunnah mutawatir maka cari dalam sunnah yang derjat kesahihannya dibawah mutawatir. Kalau tidak ditemukan dari lafazd yang tersurat cari dari balik lafazd yang tersurat itu makna yang tersirat.
3.      Merujuk kepada ijma sahabat.
4.      Bila tidak ditemukan hukumnya dalam ijma’, maka seorang mujtahid harus mengerahkan seluruh kemampuan dan ilmunya untuk mencari, menggali dan menemukan hukum Allah yang ia yakini pasti ada.
Langkah-langkah yang ditempuh oleh empat imam mujtahid adalah sebagai berikut :
1.      Langkah-langkah ijtihad imam Abu hanifah adalah al-Qur’an, sunnah nabi dengan cara yang ketat dan hati-hati, pendapat sahabat, qiyas, istihsan dan hayl al-sya’i.
2.      Langkah-langkah ijtihad imam Malik adalah al-Qur’an, Sunnah nabi, amal ahl Madinah, mashlahat al-mursalah, qiyas, istihsan dan saddu al-zari’ah.
3.      Langkah-langkah ijtihad Imam Syafi’i adalah al-Qur’an, sunnah nabi, yang shahih, meskipun bentuk periwayatannya perorangan (ahad), ijma’ seluruh mujtahid dan qiyas. Ijma’ sahabat didahulukan dari ijma’ ulama dan langkah terakhir yang digunakan adalah istishab.
4.      Langkah-langkah ijtihad imam Ahmad bin Hanbal adalah al-Qur’an, sunnah, fatwa sahabat (ijma’ sahabat) kalau pendapat sahabat berbeda maka dipilih yang kuat menurutnya, hadits mursal dan hadits yang diperkirakan tingkatannya lemah dan terakhir qiyas.

VII.          LAPANGAN IJTIHAD
Lapangan ijtihad adalah kasus-kasus yang tidak dijelaskan hukumnya oleh al-qur’an dan sunnah dan kasus yang sudah ada nashnya tetapi tidak pasti apakah memang nash tersebut untuk kasus itu. Tidak terdapat kejelasan hukum dari kasus tersebut dalam al-Qur’an dan sunnah dapat dilihat dari dua bentuk :
1.      Al-Qur’an dan sunnah secara jelas dan langsung tidak menetapkan hukumnya, baik secara keseluruhan maupun sebagiannya. Contohnya adalah pembukuan al-Qur’an dalam satu mushaf.
2.      Secara jelas, langsung dan menyeluruh tidak ada ketentuan hukumnya dalam al-Qur’an dan sunnah, namun secara tidak langsung atau sebagiannya ada penjelasan. Contoh penjelasan tidak langsung adalah memukul orang tua. Dalam al-Qur’an hukum yang ditetapkan hanya mengatakan urf kepada orang tua. Contoh sebagiannya ada penjelasannya adalah hukum transplantasi organ tubuh yang berasal dari mayat. Al-Qur’an dan sunnah tidak ada yang menjelaskannya, namun ada hadits nabi yang menyatakan dilarang merusak tubuh mayat. 
Ketidak pastian dapat dilihat dari segi keberadaannya (wurud) sebagai dalil dan dapat juga dilihat dari penunjukkan terhadap hukum. Kalau dirinci ketidakpastian dapat dilihat dari tiga segi, yaitu:
1.      Tidak pasti keberadaannya sebagai nash (zhanni al-wurud), namun pasti penunjukkannya terhadap hukum(qath’i al-dalalah). Contoh ucapan Ibnu Mas’ud, “saya menetapkan atas apa yang ditetapkan oleh nabi yaitu bagian seorang anak perempuan adalah setengah, bagian cucu perempuan seperenam untuk melengkapi dua pertiga dan selebihnya untuk saudara perempuan. Dari segi wurudnya hadits ini adalah hadits ahad (zhanni al-wurud), namun penunjukannya terhadap hukum sangat jelas (qath’i al-dalalah).
2.      Tidak pasti penunjukannya terhadap hukum (zhanni al-dalalah), namun pasti keberadaannya sebagai dalil nash (qath’i al-wurud). Contohnya firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 228
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% .........
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'
Keberadaan ayat tersebut sebagai nash al-Qur’an tidak diragukan lagi, namun lafazd quru pada ayat diatas tidak menunjukan dilalah yang pasti karean kata quru bisa berarti suci dan juga bisa beerarti haid.
3.      Tidak pasti keberadaannya sebagai dalil (zhanni wurud) dan tidak pasti juga penunjukannya terhadap hukum (zhanni al-dalalah) contohnya hadits nabi
Hadits nabi tersebut merupakan hadits ahad, yang diragui kebenarannya datang dari nabi sehingga jadi zhanni al-wurud. Penunjukannya juga zhanni al-dalalh karena hadits tersebut mengandung dua kemungkinan. Kemungkinan pertama bahwa tidak sah nikah seorang perempuan yang diaqadkan oleh selain walinya. Kemungkinan kedua sah nikah seorang perempuan yang telah dizinkan oleh walinya walaupun yang mengaqadkan nikahnya bukan walinya

VIII.       KEBENARAN HASIL IJTIHAD.
Pada dasarnya yang berhak menetapkan hukum syara’ hanyalah Allah SWT, tiada hukum kecuali hukum Allah. Bagaimana jika seorang mujtahid dengan mengerahkan semua kemampuan dan ilmu yang dimiliki menemukan hukum? Secara lahiriyah ia telah menemukan hukum syara’, namun pada hakikatnya ia tidak menetapkan dan membuat hukum syara’ karena hukum syara’ hanya milik Allah. Hukum yang ditetapkan oleh mujtahid itu dpt disebut hukum Allah dalam lisan mujtahid.
Pada sisi lain hukum yang ditetapkan mujtahid terhadap kasus yang sama bisa berbeda-beda. Manakah diantara hukum itu yang paling benar? Kalau hanya benar satu tentu yang lainnya salah dan pelakunya akan berdosa. Kalau dianggap semua hasil ijtihad adalah benar tentu akan bermacam-macam hukum Allah terhadap satu yang sama. Hal ini menjadi kajian dikalangan ulama ushul fiqh. Ulama shul fiqh membagi permaslahan ini kepada dua pembagian, yaitu :
1.      Masalah aqliyah dan nazhariyah, yaitu masalah aqidah.
2.      Masalah syari’ah.
Pada dasarnya masalah aqidah tidak menjadi pembahasan dalam kajian ushul fiqh, namun kebanyakan ulama ushul fiqh tetap membahasnya. Bidang aqliyah dalam kajian ini dibagi kepada dua masalah, yaitu :
1.      Masalah yang paling dasar dalam agama yang seandainya salah dalam bidang ini dapat menghilangkan iman dan menyimpang dari ketentuan agama. Mayoritas ulama sepakat bahwa hasil ijtihad yang salah dalam bidang aqliyah dalam bentuk ini menyebabkan pelakunya berdosa, dan dianggap kafir keluar dari ajran agama.
2.      Masalah aqliyah yang seandainya salah dalam bidang ini, tidak sampai menghilangkan keimanan kepada Allah dan rasulNya, seperti kemungkinan melihat Allah, sifat-sifat Allah dan sifat-sifat rasulNya. Moyoritas ulama juga mengatakan ijtihad yang salah dalam bentuk ini menyebabkan pelakunya berdosa tetapi mereka berbeda pendapat tentang mengkafirkan pelakunya. Beda pendapat tersebut adalah sebagai berikut :
a.       Sebagian besar ulama mengatakan bahwa mujtahid dalam bentuk ini tidak kafir karena dasar keimanannya masih ada.
b.      Sebagian ulama mengatakan bahwa mujtahid dalam bentuk ini menjadi kafir karena menyimpang dalam aqidanya.
3.      Al-Jahizh dan Ubaidullah ibn al-Hasan al-Anbari dari golongan Mu’tazilah, sebagaimana yang dikutip oleh Prof.Dr Amir Syarifuddin, meyatakan bahwahasil ijtihad yang berbeda dari mujtahidalam bidang aqliyah dan aqidah semuanya betul dan tidak menyebabkan pelakunya berdosa dan kafir.al-Jahizh mengatakan bahwa yang betul dari hasil ijtihad itu hanya satu sedangkan yang lainnya salah tetapi tidak meyebabkan pelakunya berdosa dan kafir[24].
Dalam masalah syari’ah, Jumhur ulama membaginya kepada dua bentuk :
1.      Bidang yang pasti dapat diketahui secara mudah dharuri, seperti wajib shalat, puasa, zakat atau haramnya minuman khamar dan haram zina dan merupakan hal-hal yang pokok dalam agama. Contoh-contoh diatas merupakan hasil ijtihad karena Allah dan RasulNya tidak pernah berkata tentang rumusan seperti itu. Hasil ijtihad seperti ini diyakini semua kebenaran oleh semua ulama karena merukan hal pokok dalam agama. Kesalahan yang terjad mengakibatkan pelakunya berdosa dan ada ulama yang menganggapnya kafir karena merupakan hal pokok dalam agama.
Terhadap hal-hal yang bukan merupakan bukan hal yang pokok dalam agama (bukan daruriyat) maka ulama berbeda pendapat bahwa :
a.       Kesalahan yang merupakan kelalain mujtahid maka pelakunya dianggap berdosa.
b.      Kesalahan yang disebabkan bukan karena kelalaian mujtahid, maka pelakunya dianggapo tidak berdosa.
2.      Bidang syari’at yang tidak memiliki dalil yang qath’i dan meyakinkan, ulama berbea pendapat dalam hal ini, yaitu :
a.       Kebanyakan ulama seperti Abu Hasan al-Asy’ari an Mu’tazilah berpendapat bahwa setiap mujtahid yang mengemukakan hasil ijtihadnya terdapat kebenaran karena setiap mujtahid adalah benar.
b.      Imam abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’i dan kebanyakan ulama berpendapat bahwa yang benar hanya satu diantara beberapa pendapat mujtahid. Untuk menentukan pendapat yang benar hanya Allah yang berhak, manusia tidak dapat memilih dan menentukan yang benar.
IX.             KEKUATAN HASIL IJTIHAD
Hasil ijtihad hanya bersifat zhanni (dugaan kuat), tidak bersifat qath’i (pasti). Jika diungkapkan dalam bentuk ucapan, maka ucapan mujtahid tentang hasil ijtihadnya adalah “menurut dugaan kuat saya, inilah hukum Allah tentang masalah ini”[25]. Hasil ijtihad mujtahid yang ia yakini benar dalam hatinya dan hatinya telah menerima dengn mantap mempunyai daya mengikat untuk dirinya. Ia harus beramal sesuai dengan hasil ijtihadnya, seandainya ia beramal menyalahi hasil ijtihadnya maka amalannya menjadi batal.
Seorang mujtahid tidak boleh bertaqlid kepada orang atau mujtahid lain. Ia harus mengerahkan semua kemampuannya untuk menemukan dan menetapkan hukum.
Hasil ijtihad mujtahid juga mengikat kepada orang awam. Hasil ijtihad juga mengikat kepada orang yang minta fatwa hukum kepada seorang mujtahid. Hasil ijtihad tidak mengikat kepada umat karena hasil ijtihad bersifat zhanni dan orang lain juga dapat melakukan ijtihad.



X.                PENUTUP.
Ijtihad adalah pengerahan seluruh kemampuan sorang mujtahid untuk menemukan dan menetapkan hukum fiqh yang amali dengan jalan istinbath dimana dia tidak mampa lagi melakukan lebih dari itu. Pada dasarnya hukum melaksanakan ijtihad adalah wajib, namun jika dilihat dari kondisi yang mempengaruhinya maka hukum ijtihad bisa manjadi fardu ain, fardu kifayah, sunat, haram dan mubah.
Ulama ushul fiqh membagi bentuk ijtihad berdasarkan objek dan hasil kajian yang muncul dari ijtihad. Mereka juga berbeda pendapat ketika membicarakan macam-macam ijtihad karena cara berbeda cara melihatnya. Langkah-langkah yang ditempuh oleh mujtahid juga berbeda-beda, namun yang disepakati dimulai dari al-Qur’an, sunnah dan ijma’, selainnya mereka berbeda pendapat dalam urutan dan menggunakannya. Lapangan ijtihad adalah kasus yang tidak ada ketetapan hukum secara jelas (qath’i) dari nash al-Qur’an dan sunnah. Hukum yang dihasilkan ijtihad bersifat zhanni.


DAFTAR BACAAN

al-‘Amri, Nadiyah Syarif. Al-Ijtihad fi al-Islam. (Beirut: Muassasah al-Risalah. 1981) al-Syafi’i, Jalal al-Din Muhammad bin Ahmad al-Mahalli. Syarh al-Waraqat fi ‘Ilmi Ushul al-Fiqh. ( Makah Mukarramah: Maktabah Nizar Musthafa al-Bazi.cet.1. 1996)
al-‘Asqalani, Al-Hafizd Ahmad bin Ali bin Hajr. Bulugh al-Maram min Adilat al-Ahkam. (tp.2003)
al-Asyqari, Umar Sulaiman Abdullah. Al-Madkhal ila Dirasah al-Mazahib wa al-Madaris al-Fiqhiyah. (Dar al-Nafais.tt)
al-Ghazali, Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Al-Mustashfa min Ilm al-Ushul Juz.IV. Tahqiq: Hamzah bin Zuhair Hafizd. (tp.tt)
________. Al-mankhul min Ta’liq al-Ushul. Tahqiq: Muhammad Hasan Hitu. (tp.tt)
al-Muthalibi, Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin Saib bin Ubaid Ibnu Abi Yazid Hasyim bin Muthalib bin Abdul Manaf al-Qurasyi. Musnad al-Syafi’i tartib al-Sanadi. (Maktabah Syamilah: Bab al-Awalu fi al-Amr biha)
al-Subki, Taj al-Din Abd al-Wahab bin Ali. Jam’ al-Jawami’ fi Ushul al-Fiqh. (Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiah. Cet ke-8. 2002)
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh Jil.2. (Jakarta: PT.Logos Wacana Ilmu. 1999)
al-Syatibi, Abu Ishak Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi. Al-Muwafaqat. Jil.5.(Dar Ibn ‘Affan)
al-Syaukani, Al-Imam Muhammad bin Ali. Irsyad al-Fuhul Juz.2. Tahqiq: Abi Hafash Sami bin al-Azni al-Usri. (Riyadh: Dar al-Fadhilah li al-Nasyri wa al-Tawzi’. 2000)
al-Zanjani, Abi Fadhail Ibrahim bin Abd al-Wahab ‘Imad al-Din bin Ibrahim. Syarah al-Alamah Sa’ad al-Din al-Taftazani Ala al-Tashrif al-‘Uza. (Surabaya: Serikat Bengkulu Indah. Tt)
Zuhaili, Wahbah. Ushul al-Fiqh al-Islami. (Damaskus: Dar al-fikr.1986)




[1] Abi Fadhail Ibrahim bin Abd al-Wahab ‘Imad al-Din bin Ibrahim al-Zanjani. Syarah al-Alamah Sa’ad al-Din al-Taftazani Ala al-Tashrif al-‘Uza. (Surabaya: Serikat Bengkulu Indah. Tt) h.6
[2] Nadiyah Syarif al-‘Amri. Al-Ijtihad fi al-Islam. (Beirut: Muassasah al-Risalah. 1981) h. 18
[3] Jalal al-Din Muhammad bin Ahmad al-Mahalli al-Syafi’i. Syarh al-Waraqat fi ‘Ilmi Ushul al-Fiqh. ( Makah Mukarramah: Maktabah Nizar Musthafa al-Bazi.cet.1. 1996) h.144
[4] Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Al-Mustashfa min Ilm al-Ushul Juz.IV. Tahqiq: Hamzah bin Zuhair Hafizd. (tp.tt) h.4
[5] Al-Imam Muhammad bin Ali al-Syaukani. Irsyad al-Fuhul Juz.2. Tahqiq: Abi Hafash Sami bin al-Azni al-Usri. (Riyadh: Dar al-Fadhilah li al-Nasyri wa al-Tawzi’. 2000) h. 1025-1026
[6] Taj al-Din Abd al-Wahab bin Ali al-Subki. Jam’ al-Jawami’ fi Ushul al-Fiqh. (Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiah. Cet ke-8. 2002) h.118
[7] Amir Syarifuddin. Ushul Fiqh Jil.2. (Jakarta: PT.Logos Wacana Ilmu. 1999) h.225
[8] Ibid, h.226
[9] Ibid,
[10] Wahbah Zuhaili. Ushul al-Fiqh al-Islami. (Damaskus: Dar al-fikr.1986) h.1039
[11] Al-Hafizd Ahmad bin Ali bin Hajr al-‘Asqalani. Bulugh al-Maram min Adilat al-Ahkam. (tp.2003) h.423
[12] Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin Saib bin Ubaid Ibnu Abi Yazid Hasyim bin Muthalib bin Abdul Manaf al-Qurasyi al-Muthalibi. Musnad al-Syafi’i tartib al-Sanadi. (Maktabah Syamilah: Bab al-Awalu fi al-Amr biha) h.645
[13] Nadiyah, op.cit, h.122
[14] Nadiyah op.cit, h.122
[15] Wahbah 0p.cit, h.1055
[16] Amir op.cit, h229
[17] Ibnu Subki, op.cit, h.119
[18] Abu Ishak Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi al-Syatibi. Al-Muwafaqat. Jil.5.(Dar Ibn ‘Affan)h.12
[19] Ibid, h.20 dan 21
[20] Al-Syaukani h.1057-1059. Lihat juga Amir Syarifuddin.h.267-272
[21] Umar Sulaiman Abdullah al-Asyqari. Al-Madkhal ila Dirasah al-Mazahib wa al-Madaris al-Fiqhiyah. Dar al-Nafais.tt. h.116
[22] Al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Al-mankhul min Ta’liq al-Ushul. Tahqiq: Muhammad Hasan Hitu. (tp.tt) h.466-467
[23] Al-Hafizh, op.cit, h.297
[24] Amir. 292.
[25] Amir h,297

Tidak ada komentar:

Posting Komentar