Syari’at Islam mencakup seluruh aspek kehidupan
manusia. Nash-nash syari’at telah ditetapkan oleh Allah untuk mengatur
kehidupan agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Tujuan umum syari’at
Islam adalah untuk memperoleh kemashlahatan dan mencegah terjadinya
kemafsadatan.
Seiring dengan perkembangan zaman, kasus-kasus
yang terjadi semakin rumit dan kompleks dan membutuhkan jawaban dari syari’at
Islam. Di sisi lain, Syari’at ada yang datang dalam bentuk global atau
ada juga yang bersifat parsial, namun jika dilihat dari lafazd yang tersurat
terkadang banyak yang tidak bisa menjawab persoalan-persoalan yang muncul.
Untuk menjawab persoalan tersebut dibutuhkan keahlian dari para ulama dalam
menafsirkan nash-nash tersebut agar bisa diaplikasikan terhadap kasus yang
terjadi. Rangkaian proses meneliti, memahami dan menemukan hukum Allah serta
menaplikasikannya disebut dengan ijtihad.
Dalam makalah yang pendek ini penulis mencoba
membahas hakikat ijtihad dan segala persoalan yang berhubungan dengannya.
Semoga Allah memberikan taufiqNya, Amiin.
II.
PENGERTIAN
Secara etimologi, Ijtihad merupakan bab yang
kedua Tsulasti mazid dua huruf dari stulasti mujarad jahd atau juhd.
Jahd berarti kesungguhan, sepenuh hati atau keseriusan. Contohnya
terdapat dalam surat al-An’am ayat 109
(#qßJ|¡ø%r&ur
«!$$Î/
yôgy_
öNÍkÈ]»yJ÷r&
.......
Mereka
bersumpah dengan nama Allah dengan sungguh-sungguh
sumpah.....
Juhd berarti kesanggupan atau kemampuan yang didalamnya
mengandung kesulitan, berat dan susah. Contohnya firman Allah dalam surat
al-Taubah ayat 79
.....
úïÏ%©!$#ur
w
tbrßÅgs
wÎ)
óOèdyôgã_
tbrãyó¡tsù
öNåk÷]ÏB
tÏy
ª!$#
öNåk÷]ÏB
öNçlm;ur
ë>#xtã
îLìÏ9r&
...orang-orang yang tidak memperoleh
(untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, Maka orang-orang munafik
itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu,
dan untuk mereka azab yang pedih.
Perubahan dari bentuk jahd atau juhd menjadi ijtihad dengan
menambah hurf alif pada awal dan huruf ta antara huruf jim dengan huruf ha mengandung
beberapa pengertian dan salah satunya adalah mubalaghah[1]
(sangat) dan ghayah[2]
(akhir/kesudahan). Kata ijtahada jika dihubungkan dengan asalnya (tsulatsi
mujarat yaitu jahd atau juhd) mengandung pengertian
kesanggupan yang sangat atau kesungguhan yang sangat sampai kepada akhir
kesanggupan atau akhir kesungguhan.
Menurut ahli ushul fiqh terdapat beberapa
pengertian ijtihad secara terminologi, di antaranya:
A. Jalal al-Din Muhammad bin Ahmad al-Mahalli al-Syafi’i mendefinisikan
ijtihad dengan
“Ijtihad adalah mengerahkan seluruh kemampuan dalam mencapai
tujuan yang dimaksud berupa ilmu”.
Kata bazl al-wus’ dalam definisi diatas
menunjukkan bahwa orang yang melakukan ijtihad itu harus sungguh-sungguh,
sepenuh hati dan bukan main-main. Definisi ini masih bersifat umum karena tidak
menyebutkan subjek yang mengerahkan kemampuan. Kata ilmu yang dimuat dalam
definisi ini juga masih umum, bukan hanya ilmu syar’i tetapi mengandung
seluruh jenis (afrad) ilmu.
B. Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali mendifinisikan ijtihad
dengan
بذل المجتهد وسعه في طلب العلم بأحكام الشريعة [4]
“Mujtahid mengerahkan
seluruh kemampuannya untuk mencari (menggali) ilmu yang berkenaan dengan hukum syari’at”.
Dibanding dari definisi yang pertama di atas,
definisi ini agaknya lebih lengkap, karena subjek yang melakukan ijtihad
sudah disebutkan yaitu mujtahid. Subjek yang mengerahkan seluruh
kemampuannya bukanlah sembarang orang tetapi orang yang sudah mencapai derjat mujtahid.
Ilmu sebagai objek yang menjadi kajian ijtihad juga telah dijelaskan
yaitu hukum syari’at.
C. Imam Muhammad bin Ali al-Syaukani mendefinisikan ijtihad dengan
بذل الوسع في نيل حكم شرعي عملي بطريق الاستنباط
[5]
“Mengerahkan kemampuan
dalam mencapai (memperoleh) hukum syar’i yang besifat amali dengan jalan
istinbath”
Definisi yang dikemukakan oleh imam
al-Syaukani ini lebih menekankan kepada objek yang akan dihasilkan dari ijtihad
yaitu hukum syar’i yang bersifat amali. Hukum syari’at
yang tidak bersifat amali tidak termasuk kedalam lapangan ijtihad,
seperti aqidah dan akhlaq karena pada awalnya seluruh ajaran
Islam disebut syari’at walaupun pada akhirnya ulama mengkhususkan bahwa
yang dimaksud dengan syari’at adalah titah Allah yang berhubungan dengan
perbuatan mukallaf baik berupa taklif, wadha’ atau takhyir.
Kata istinbath menunjukkan bahwa untuk
menghasilkan hukum syri’at yang amali tersebut harus dengan
langkah-langkah tertentu yang disebut dengan istinbath. Seseorang tidak
bisa seenaknya saja menetapkan hukum menurut rasio akal fikiran dan hawa
nafsunya. Ia harus memahami kandungan lafazd nash. Sementara, nash
yang sudah terang-terang mengandung pengertian jelas dan mudah dipahami tidak
termasuk dalam kajian ijtihad.
D. Taj al-Din Abd al-Wahab bin Ali al-Subki mendifinisikan ijtihad dengan
الاجتهاد استفراغ الفقيه الوسع لتحصيل ظن بحكم [6]
“Pengerahan kemampuan seorang faqih untuk menghasilkn dugaan kuat
tentang hukum”
Prof Dr.H Amir Syarifuddin menambahkan kata شرعيsetelah lafazd حكم [7]. Jadi, hukum yang dihasilkan dari pengerahan
kemampuan seorang faqih tersebut adalah hukum syar’i. Kata faqih
mengandung arti bahwa yang mengerahkan kemampuan adalah orang yang telah
mencapai derjat tertentu yang disebut dengan faqih. Dibandingkan dengan
definisi yang dikemukakan Imam al-Ghazali di atas, definisi yang dikemukakan
oleh Imam Subki ini lebih mengerucut karena untuk menerangkan subjek yang
mengerahkan kemampuan disebut dengan faqih, sementara Imam al-Ghazali
menyebutnya dengan mujtahid yang lebih luas cakupannya. Kata zhan yang
terdapat dalam definisi ini mengandung arti bahwa yang hasil yang diperoleh
merupakan dugaan kuat terhadap hukum Allah bukan hakikat dari hukum Allah
karena tidak ada yang tahu pasti tentang hakikat hukum Allah kecuali Allah
sendiri sebagai Syari’.
E. Syaifuddin al-Amidi mendefinisikan ijtihad sebagaimana yang dikutip oleh
Prof Dr.H Amir Syarifuddin menyatakan bahwa ijtihad adalah
استفراغ الوسع في طلب الظن بشيئ من الاحكام
الشرعية بحيث يحسى النفس العجز عن المزيد فيه [8]
“Pengerahan kemampuan dalam memperoleh dugaan kuat tentang
sesuatu dari hukum syara’ dalam bentuk dirinya merasa tidak mampu berbuat lebih
dari itu”
Definisi ini memberi ta’kit
(memperkokoh) bahwa yang dimaksud dengan pengerahan kemampaun tersebut adalah
sampai batas kemampuan terakhir, puncak (klimaks) dan ia tidak merasa mampu
untuk berbuat lebih dari itu. Pengerahan kemampuan dengan asal-asalan, sebagian
atau sembrono tidak dinamakan dengan ijtihad.
Dari berbagai definisi diatas dapat dianalisa
bahwa walupun berbeda beda redaksinya namun masing-masing definisi tersebut
saling melengkapi dan saling menunjang sehingga hakikat ijtihad itu adalah
sebagai berikut[9]
:
1. Pengerahan daya nalar secara maksimal
2. Usaha ijtihad dilakukan oleh orang yang sudah mencapai derjat tertentu yang
disebut dengan faqih atau mujtahid
3. Produk yang diperoleh dari hasil ijtihad adalah dugaan yang kuat
tentang hukum syara’ yang bersifat amaliah
4. Usaha ijtihad ditempuh dengan jalan istinbath
Menurut pandangan penulis pemakaian lafazd syara’
pada beberapa definisi diatas kurang tepat, karena kata syara’
mengandung pengertian ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan
mukallaf. Syari’at tidak membutuhkan pengerahan kemampuan secara optimal
karena syari’at dapat diketahui melalui nash secara mudah (dharury).
Syari’at bersifat qath’i yang ditetapkan berdasarkan nash dan tidak bisa
dirubah sampai akhir zaman. Sementara hasil ijtihad bersifat zhanny
(dugaan kuat) tentang hukum Allah dan dapat berubah disebabkan dengan perubahan
kondisi dan waktu. Oleh karena itu, lebih tepat kira kata syara’
tersebut diganti dengan kata fiqh karena hasil dari ijtihad
adalah fiqh.
III.
HUKUM MELAKSANAKAN IJTIHAD
Ijtihad merupakan dasar pertama dari asal
syari’at[10].
Banyak ayat dan hadits yang memerintahkan untuk melakukan ijtihad. Betapa
banyak ayat al-Qur’an yang diakhiri dengan lafazd افلايتذكرون ,افلاتعقلون , ان في ذالك لايات لقوم يتفكرون dan lain sebagainya. Di antara ayat al-Qur’an yang
menganjurkan untuk ijtihad adalah surat al-Nisa’ ayat 59
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ .........
Secara eksplisit kata farudduhu ila Allah wa al-rasul mengandung pengertian
harus dianalogikan (qiyas) kepada al-Qur’an dan sunnah. Metode qiyas merupakan
salah satu bentuk dari ijtihad.
Ijtihad juga berdasarkan hadits nabi Muhammad
SAW,di antaranya
عن عمروبن العاص انه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول اذا حكم الحاكم
فاجتهد فاصاب فله اجران واذاحكم فاجتهد ثم اخطأ فله اجر (متفق عليه) [11]
Dari Amr bin Ash, bahwa dia mendengar
Rsulullah SAW bersabda, “ apabila seorang hakim menetapkan putusan dengan
ijtihadnya kemudian keputusannya itu betul maka dia diberi dua pahala, apabila
dia memutuskan perkara dengan ijtihadnya ternyata keputusan itu salah maka ia akan
memperoleh satu pahala.
Hadits tentang Mu’azd ketika diutus menjadi di
Yaman
( أخبرنا ) : الثقةُ أو ثقةُ غيرُهُ أو هُماعن
زَكَرِيا بن إسحاقَ عن يَحي بن عبد اللَّه بن صَيفي عن أبي مَعبَدٍ عن ابن عباسٍ
رضي اللَّه عنهما : أنَّ رَسولَ اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم قالَ لِمُعَاذٍ حينَ
بعثه ( معاذ بضم أوله وفته عينه : هو معاذ بن جبل وقد كان بعثه رسول اللَّه صلى
اللَّه عليه وسلم إلى اليمن أميراً كما في البخاري وفي الاستيعاب بعثه إلى اليمن
واليا على الجند يعلم الناس القرآن وشرائع الإسلام ويقضي بينهم وجعل إليه قبض
الصدقات من العمال الذين باليمن وقال له حين وجهه إلى اليمن : " بم تقضي
؟ قال : بما في كتاب اللَّه قال : فإن لم تجد ؟ قال : بما في سنة رسول اللَّه قال
: فإن لم تجد ؟ قال : أجتهد رأيي فقال رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم : الحمد
للَّه الذي وفق رسول اللَّه لما يحب رسول اللَّه "[12]
......Ketika Rasulullah SAW mengutus Mu’az
sebagai Qadhi di Yaman, maka Rasul bertanya kepadanya dengan apa engkau
memutuskan perkara? Ia menjawab, Aku putuskan berdasarkan kitabullah, Rasul
bertanya lagi, jika engkau tidak menjumpai dalam kitabullah? Ia menjawab, aku
putuskan berdasarkan apa yang telah diputuskan oleh Rasulullah. Rasul bertanya
lagi, kalau engkau tidak memperolehnya? Ia menjawab, aku akan berijtihad dengan
ra’yi.
Berdasarkan beberapa ayat dan hadits yang telah dikemukakan diatas maka
hukum ashal dari ijtihad adalah wajib. Kewajiban untuk melakukan ijtihad adalah
bagi orang yang telah mencapai derjat mujtahid. Hukum ijtihad dapat dilihat
dari hasil ijtihad, apakah untuk diamalkan sendiri seperti menentukan arah kiblat
pada waktu akan shalat atau untuk kepentingan orang banyak seperti seorang
mufti ditanya tentang hukum suatu hal oleh pengikutnya. Hukum ijtihad seorang
faqih juga dapat dilihat dari segi prinsip umum dalam menetapkan hukum tanpa
memperhatikan kondisi dan keadaan apapun. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut
maka hukum ijtihad dari ashalnya wajib akan berubah kepada:
1.
Fardhu ain dapat dilihat dalam 2 bentuk,
yaitu:
a.
Ijtihad yang dilakukan untuk pribadi mujtahid
sendiri terhadap kasus yang terjadi, baik dalam hal ibadah maupun dalam hal
mu’amalah, maka ia wajib merujuk hukumnya kepada al-Qur’an dan sunnah dengan
cara qiyas, istihsan, mashlahah dan lain-lain[13].
b. Ijtihad yang dilakukan terhadap orang lain berupa mujtahid yang ditanya
tentang suatu kasus yang telah terjadi, sementara tidak ada mujtahid lain
selain dia dan dikhawatirkan kalau ia tidak melakukan ijtihad maka kasus
tersebut akan luput dari hukum[14]. Seorang
mujtahid dilarang bertaqlid terhadap peristiwa yang berhubungan dengan dirinya
maupun dengan orang lain karena hukum yang ditetapkan berdasarkan ijtihad
merupakan dugaan kuat bahwa hukum itu adalah hukum Allah[15].
2. Wajib kifayah. Yaitu ketika seorang mujthid ditanya tentang suatu kasus
yang telah terjadi dan tidak dikhawatirkan akan luputnya kasus tersebut serta
pada waktu itu ada beberapa orang mujtahid selain dia. Apabila salah seorang
diantara mereka melakukan ijtihad maka hilang tuntutan ijtihad bagi yang
lainnya. Seandainya tiada seorangpun yang melakukannya maka memua mereka akan
berdosa.
3. Nadab (sunnat), yaitu ketika seorang mujtahid malakukan ijtihad tentang
kasus yang belum terjadi, baik ditanya atau tidak oleh pengikutnya.
4. Haram, yaitu ketika seorang malakukan ijtihad terhadap hal-hal yang telah
diatur secara qath’i berdasarkan nash al-Qur’an, Sunnah atau ijma’
5. Prof Dr. Amir Syarifuddin menambah hukum ijtihad dengan mubah. Yaitu
apabila menghadapi suatu kasus yang sudah terjadi atau belum terjadi dan kasus
tersebut belum diatur secara jelas dalam nash al-Qur’an maupun sunnah sedangkan
ada beberapa orang yang memiliki kualifikasi sebagai mujtahid[16].
IV.
BENTUK-BENTUK IJTIHAD
Para ahli suhul fiqh berbeda-beda dalam membagi bentuk-bentuk ijtihad. Perbedaan
mereka berdasarkan objek dan hasil kajian yang timbul dari ijtihad. Di antara
pendapat ulama tentang bentuk-bentuk ijtihad adalah :
1.
Muhammad Fadhl Allah membagi bentuk ijtihad
kepada 2 bagian, yaitu:
a. Ijtihad muthlaq, yaitu ijtihad yang meliputi semua masalah hukum, tidak
memilah dan memilih dalam bentuk bagian-bagian masalah tertentu. Semua kasus hukum
yang timbul menjadi objek kajian dari ijtihad muthlaq bukan hanya kasus yang
bersifat parsial. Pelaku ijtihad muthlaq ini disebut dengan mujtahid muthlaq.
Imam mujtahid yang empat (Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali) termasuk kedalam
golongan mujtahid muthlaq.
b. Ijtihad juz’i atau parsial. Ujtihad seperti ini adalah ijtihad dengan cara
melakukan kajian yang mendalam tentang bagian tertentu dari hukum dan tidak
mendalami kajian yang lain. Pelaku ijtihad ini disebut dengan mujtahid juz’i.
Kebanyakan mujtahid selain imam mujtahid yang empat termasuk kedalam golongan
ini.
2. Muhammad abu Zahrah dalam bukunya ushul fiqh sebagimana yang dikutip oleh
Prof.Dr Amir syarifuddin, membagi ijtihad dari segi bentuk karya ijtihadnya
kepada 2 bagian, yaitu :
a. Ijtihad al-istinbathi, yaitu kegiatan ijtihad yag berusaha menggali dan
menemukan hukum dari dalil-dalil yang telah ditentukan. Bentuk ijtihad ini
adalah bentuk ijtihad yang paripurna. Secara khusus ijtihad ini berlaku
dikalangan sekelompok ulama yang berfungsi mencari hukum furu’ yang amaliah
dari dalilnya yang terperinci.
b. Ijtihad tatbiqi, yaitu ijtihhad untuk mengaplikasikan atau menerapkan hasil
ijtihad (temuan) imam mujtahid terdahulu terhadap kasus yan muncul kemdian.
Ijtihad tatbiqi bukan untuk menggali hukum dari sumbernya tetapi untuk
penerapan hukum yang ditemukan dari hasil ijtihad istinbathi yang dilakukan
oleh imam mujtahid.
3.
Menurut ibnu Subki ijtihad tathbiqi terbagi
kepada 2 bagian, yaitu[17] :
a. Takhrij al-ahkam, yaitu menetapkan hukum terhadap suatu kejadian yang baru
dengan cara menghubungkannya kepada hukum yang pernah ditetapkan oleh imam
mujtahid terdahulu. Pelakunya disebut dengan mujtahid mazhab. Menghubungkan
kejadian yang baru dengan hukum yang telah ditetapkan itu dengan cara melihat
kesebandingan antara keduanya atau merentangkan hasil ijtihad imam mujtahid
kepada kejadian yang baru, seolah-olah hukum kejadian yang baru ditetapkan
melalui pengerahan kemampuan untuk mengeluarkan hukum baru takhrij al-ahkam.
Hukum terhadap kejadian yang baru disebut dengan qaul mukharraj, dan pendapat
imam mujtahid sebagai tempat membandingkan atau yang direntangkan disebut
dengan qaul manshush. Hasil temuan hukum yang ditemukan oleh imam mujtahid
menjadi berkembang dan semakin luas dikalangan pengikutnya. Para pengikutnya
mengembangkannya terhadap kasus-kasus yang mereka hadapi. Karena banyaknya
pengikut dan berbeda-beda kemampuan yang mereka miliki serta berbeda kondisi
yang mereka hadapi sehingga seringkali timbul juga perbedaan dari hasil ijtihad
mereka. Hal ini menimbulkan keraguan dikalangan generasi berikutnya pendapat
mana yang praktis untuk diikuti. Untuk menghadapi persoalannya ini maka perlu
ditarjih seluruh pendapat-pendapat tersebut.
b. Tarjih, yaitu usaha untuk menemukan kejelasan sebagai pegangan dimasa yang akan
datang bagi para pengikut imam mujtahid dengan membandingkan beberapa pendapat
imam mujtahid dan memilih pendapat yang paling kuat dalilnya untuk diikuti an
diamalkan. Pelakunya disebut mujtahid fatwa.
V.
MACAM-MACAM IJTIHAD
Ulama berbeda pendapat ketika menjelaskan macam-macam ijtihad karena mereka
berbeda juga dalam cara melihatnya. Di antara perbedaan itu adalah :
1. Ijtihad dilihat dari dalil yang dijadikan pedoman, terdiri dari tiga macam
:
a. Ijtihad bayani, yaitu ijtihad untuk menemukan hukum yang terkandung dalam
nash namun sifatya zhanni baik dari segi ketetapannya maupundari segi
penunjukannya. Ijtihad ini menerangkan kandungan dari sebuah nash dan
menguatkan salah satu beberapa pemahaman yang berbeda-beda. Kajian ijtihad ini
terhadap hukum yang terkandung dalam sebuah nash tetapi tidak membrikan
penjelasan yang pasti. Untuk mengamalkan nash tersebut perlu penjelasan dari
seorang mujtahid agar bisa diamalkan. Contoh soerang wanita yang dalam keadaan
tidak hamil ditalak oleh suaminya harus beriddah sebanyak tiga quru. Firman
Allah dalam surat al-Baqarah ayat 228 :
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur ÆóÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4 .........
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan
diri (menunggu) tiga kali quru'
Kata quru’ dalam ayat diatas mengandung dua
pengertian yang berbeda dan saling bertolak belakang, yaitu bisa berarti suci
dan juga bisa berarti haid. Ijtihad yang dilakukan untuk menetapkan pengertian
quru’ dengan memperhatikan beberapa qarinah sebagai penunjuknya disebut dengan
ijtihad bayani.
b. Ijtihad qiyasi, yaitu ijtahd untuk menggali dan menetapkan hukum terhadap
suatu kejadian yang tidak ditemukan dalilnya dalam nash baik secara qath’i
maupun secara zhanni dan tidak ditemukan ijma’ yang menetapkan hukumnya.
Ijtihad ini menetapkan hukum terhadap suatu kasus dengan cara merujuk kepada
kasus lain yang mirip dan sudah ada ketetapan hukum sebelumnya. Kemiripan kedua
kasus tersebut melihat dengan cara membandingkan illat hukum yang terkandung
didalam keduanya apakah sama atau tidak. Kalau sama illat yang terkandung pada
kedua kasus tersebut maka mujtahid akan menetapkan hukum yang sama terhadap
kasus yang kemudian dengan kasus yang pertama yang sudah ada ketetapan
hukumnya. Penetapan hukum dengan cara ini disebut dengan ijtihad qiyasi dan
istihsan atau zaman sekarang dikenal dengan istilah hukum yurisprudensi. Penetapan
hukum pada ijtihad qiyasi dengan cara merentangkan hukum yang terdapat pada
suatu kasus yang sudah ditetapkan oleh nash dengan melihat kesamaan illat yang
terkandung didalamnya, karena pada kasus yang lain tidak tersurat langsung
dalam nash tetapi tersirat. Oleh sebab itu butuh kepada usaha yang
sungguh-sungguh untuk menggali hukum yang tersirat tersebut.
c. Ijtihad ishtilahi, yaitu karya ijtihad yang menggali, menemukan dan
merumuskan hukum dengan cara menetapkan kaidah kulli untuk kejadian (kasus)
yang tidak ada ketentuan hukumnya didalam nash, baik secara qath’i maupun
zhanni, tidak terdapat ijma’ dan tidak ada kemungkinan untuk menghubungkan
hukumnya dengan kejadian (kasus) yang sudah ada ketetapannya dalam nash.
Prinsip-prinsip umum syari’at menjadi dasar pegangan dalam menetapkan hukum
pada ijtihad ishtilahi, seperti mewujudkan kemashlahatan umum, dengan jalan
mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan.
Hasil ijtihad dalam bentuk bayani diterima
oleh semua golongan ulama, termasuk golongan zhahiriyah dan golongan syi’ah.
Sedangkan hasil ijtihad qiyasi dan ishtilahi terdapat perbedaan pendapat
dikalangan ulama. Ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah menggunakan cara
ijtihad ini. Ulama Syafi’iyah membatasinya dengan tidak memakai cara istihsan
dan ijtihad yang berada diluar wilayah nash. Ulama Zhahiriyah menolak ijtihad
dengan cara qiyasi dan ishtilahi.
2. Al-Syathibi melihat ijtihad dari segi mungkin atau tidak mungkin terhenti
kegiataannya, hal ini terbagi kepada dua macam, yaitu :
a. Tahqiq al-manath (ijtihad dalam menjelaskan hukum). Ijtihad dalam bentuk
ini tidak mungkin terhenti kegiatannya. Semua ulama menerima ijtihad dalam
bentuk ini[18]Jenis
ijtihad ini sama dengan ijtihad bayani yang telah dikemukakan diatas yang
keberadaannya diakui oleh semua pihak.
b. Tanqih al-manath dan takhrij al-manath. Kedua ijtihad ini mungkin terjadi
terhenti kegiatannya[19].
Rumusan tanqih al-manath dan takhrij al-manath sama dengan konsep ijtihad
qiyasi.
3. Dilihat dari hasil yang dicapai melalui ijtihad. Al-Syatihibi membaginya
kepada dua macam, yaitu :
a. Ijtihad mu’tabar, yaitu ijtihad yang secara hukum dapat dipandang sebagai
penemuan hukum. Hasil ijtihad yang dilakukan oleh sesorang yang sudah mencapai
derjat mujtahid dan memenuhi syarat-syarat tertentu.
b. Ijtihad ghair mu’tabar, yaitu ijtihad yang dalam pandangan hukum tidak bisa
dijadikan sebagai cara menemukan hukum. Hasil ijtihad seperti ini dilakukan
oleh orang yang belum mencapai derjat mujtahid dan tidak memenuhi syarat-syarat
tertentu.
4. Dilihat dari sudut pandang kegiatan ijtihad dalam kaitannya dengan cara
yang digunakan, sebagaimana al-Syaukani menukilkan pendapat al-Mawardi, maka
ijtihad seperti ini terbagi kepada delapan macam[20],
yaitu:
a.
Ijtihad yang
mengeluarkan hukum dari tujuan makna yang terdapat dalam nash. Contohnya firman
Allah dalam surat al-Baqarah ayat 276
ß,ysôJt
ª!$#
(#4qt/Ìh9$#
Î/öãur
ÏM»s%y¢Á9$#
3
ª!$#ur
w
=Åsã
¨@ä.
A$¤ÿx.
?LìÏOr&
ÇËÐÏÈ
Allah
memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai Setiap orang
yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.
Mujtahid mencoba mencari illat yang terkandung dalam ayat
ini, yaitu riba akan merusak dan merugikan sedangkan shadaqah akan
menguntungkan.
b.
Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum yang terdapat
kemiripan dengan kandungan nash. Contohnya adalah penetapan hukum yang
berhubungan dengan budak, melihat kepada kasus-kasus tertentu. Pada kasus
tertentu seorang udak dapat disamakan dengan manusia merdeka karena ia juga
dibebani dengan beberapa hukum, diberi hak untuk memiliki seperti berhak untuk
dihadiahi atau diberi sedekah oleh orang lain. Pada sisi lain seorang budak
disamakan dengan hewan karena ia dapat diperjualbelikan dan dimiliki oleh tuannya,
sehingga dalam hal ini ia tidak dapat memiliki. Jadi, mujtahid menetapkan hukum
yang berkaitan dengan budak melihat kepada kondisi tertentu yang mendukungnya.
c.
Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum daari
keumuman lafazd nash. Contohnya adalah menentukan pihak yang memaafkan suami
dari membayar mahar istri yang diceraikannya sebelum ia campuri. Firman Allah
dalam surat al-Baqarah ayat 237
bÎ)ur
£`èdqßJçFø)¯=sÛ
`ÏB
È@ö6s%
br&
£`èdq¡yJs?
ôs%ur
óOçFôÊtsù
£`çlm;
ZpÒÌsù
ß#óÁÏYsù
$tB
÷LäêôÊtsù
HwÎ)
br&
cqàÿ÷èt
÷rr&
(#uqàÿ÷èt
Ï%©!$#
¾ÍnÏuÎ/
äoyø)ãã
Çy%s3ÏiZ9$#
4
........
Jika
kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal
Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar
yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema'afkan atau
dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah.
Pada ayat diatas pihak yang memegang ikatan nikah
bersifat umum. Ijtihad dengan cara mengeluarkan hukum terhadap wali nikah dari keumuman
nash tersebut termasuk kedalam jenis ijtihad ini.
d.
Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari kumpulan
nash. Contohnya ijtihad untuk menetapkan kadar mut’ah atau kewajiban suami
untuk membayarkan mahar terhadp istri yang belum dicampurinya sedangkan
maharnya belum ditetapkan. Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 236
............. £`èdqãèÏnFtBur
n?tã
ÆìÅqçRùQ$#
¼çnâys%
n?tãur
ÎÏIø)ßJø9$#
¼çnâys%
...............
........dan
hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu
menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), .............
Ijtihad dalam bentuk ini mengeluarkan kadar mut’ah sesuai
dengan kondisi ekonomi dari seorang suami.
e.
Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari
keadaan-keadaan yang terdapat didalam nash. Contohnya ijtihad untuk menetapkan
dam (denda haji) pada haji tamattu’, firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat
196
....
4
`yJsù
öN©9
ôÅgs
ãP$uÅÁsù
ÏpsW»n=rO
5Q$r&
Îû
Ædkptø:$#
>pyèö7yur
#sÎ)
öNçF÷èy_u
3.......
..........jika
ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), Maka wajib berpuasa tiga
hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang
kembali.....
Pelaksanaan kewajiban puasa tujuh hari dapat dilaksnakan
setelah meninggalkan tanah suci atau setelah kembali kepada
keluarganya. Ijtihad dalam menetapkan kedua keadaan tersebut yang dominan.
f.
Ijtihad yang
kegiatannya mengeluarkan hukum dari dalil (petunjuk yang kuat) dalam nash.
Contoh kewajiban suami untuk memberi nafkah terhadap istrinya sesuai dengan
kemampuannya, firman Allah dalam surat al-Thalaq ayat 7
÷,ÏÿYãÏ9
rè
7pyèy
`ÏiB
¾ÏmÏFyèy
.......
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya....
Ayat ini tidak menjelaskan tidak menjelaskan kewajiabn nafkah suami
terhadap istrinya. Berdasarkan hasil ijtihad dari penunjukkan nash, kewajiban
nafkah suami yang kaya adalah sebanyak dua mud sebagai ukuran maksimal
kewajiban membayar fidyah. Kewajiban nafkah suami yang miskin adalah satu mud
sebagai ukuran minimal yang ditetapkan sunnah untuk membayar kifarah bagi orang
yang mencampuri istrinya siang hari bulan ramadhan.
g.
Ijtihad yang
kegiatannya mengeluarkan hukum dari ‘amarat (petunjuk yang kurang kuat) dalam
nash. Contohnya ijtihad menentukan arah kiblat bagi ornag yang samar tentang
kiblat, firman Allah dalam surat al-Nahl ayat 16
;M»yJ»n=tæur
4
ÄNôf¨Z9$$Î/ur
öNèd
tbrßtGöku
Dan
(dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). dan dengan bintang-bintang Itulah
mereka mendapat petunjuk.
Ijtihad dengan menetapkan arah kiblat berdasarkan
petunjuk-petunjuk dan tanda-tanda seperti arah tiupan angin dan posisi
bintang-bintang merupakan bentuk dari ijtihad jenis ini.
Ketujuh macam ijtihad diatas mempunyai “cantelan” kepada
nash baik tersurat maupun tersirat, baik dengan penunjukan (dilalah)nya kuat
ataupun tidak. Oleh karena itu, semua ulama menerimanya dan tidak
memperdebatkannya sebab, ketujuh bentuk ijtihad tersebut diatas merupakan penjabaran
dari bentuk ijtihad bayani yang tidak diperselisihkan oleh ulama.
h.
Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum bukan dari
nash dan bukan juga dari prinsip nash. Ijtihad dalam jenis ini tidak mempunyai
keterkaitan dengan nash baik secara tersurat mupun tersirat, baik langgsung
maupun tidak langsung. Oleh karena itu, ijtihad seperti ini diperdebatkan oleh
para ulama. Sebagian ulama berpendapat tidak boleh ijtihad dalam bentuk ini
sampai ada nash yang menjadi “cantelan”nya. Sebagian ulama berpendapat boleh
ijtihad seperti ini dilakukan karena ijtihad seperti ini sesuai dengan prinsip
umum syara’
5.
Ijtihad dilihat dari pelaksanaannya dan jumlah
pelaksananya (mujtahid) yang terlibat didalamnya, terbagi kepada dua macam,
yaitu :
a.
Ijtihad fardi, yaitu ijtihad yang pelakunya hanya
seorang. Ijtihad ini memungkinkan terjadi terhadap kasus yang sederhana dan
dilingkungan masyarakat yang sederhana sehingga tidak membutuhkan penelitian
dari berbagai disiplin ilmu. Mungkin juga mujtahidnya menguasai berbagai
disiplin ilmu yang diperlukan untuk mengkaji masalah tersebut. Contohnya
ijtihad untuk menentukan taayamum apakah ntuk satu shalat atau beberapa shalat.
b.
Ijtihad jama’i, yaitu ijtihad yang pelakunya terdiri dari
beberapa orang secara kolektif(bersama). Ijtihat ini terjadi karena kasus yang
terjadi sangat rumit dan kompleks, meliputi bidanag yang luas, sehingga perlu
melibatkan berbgai pakar dibidangnya dari beerbagai disiplin ilmu pengetahuan
dan tidak mungkin dilakukan oleh seseorang yang spesialis dalam satu bidang saja.
Contohnya menetapkan hukum tentang donor darah, pencangkokan organ tubuh, bayi
tabung dan lain-lain. Untuk menetapkan hukum terhadap semua kasus tersebut
tidak bisa dialkukan oleh seorang faqih saja tetapi harus dibantu oleh ahli
kesehatan dan ahli biologi.
Hukum dari hasil ijma’ jama’i tidak sama statusnya dengan
hukum hasil ijma’ karena semua pakar yang terkumpul dalam ijtihad jama’i tidak
sama derjat dan persyaratan dengan ulama yang melakukan ijma’. Hasil ijtihad
jama’i pada satu kasus yang sama bisa berubah dan berbeda sesuai dengan
kondisi, waktu dan tempat. Sedangkan ijma’ tidak bisa berubah dan berbeda
karena semua ulama telah membuat satu kesepakatan.
VI.
LANGKAH-LANGKAH DALAM PELAKSANAAN IJTIHAD.
Langkah-langkah yang dilakukan oleh seorang mujtahid dalam berijtihad
mengacu kepada teori yang terkandung dalam kisah nabi mengutus Mu’azd bin Jabal
untuk menjadi qadhi di Yaman. Ketika Rasul bertanya kepadanya tentang cara ia
memutuskan perkara, maka kesimpulan dari jawabannya adalah dengan al-kitab
(al-Qur’an), kemudian dengan sunnah dan kemudian berijtihad dengan ra’yinya.
Urutan yang dikemukakan oleh Mu’azd bin Jabal tersebut merupakan rumusan dasar
yang ditempuh ketika melakukan ijtidad. Rumusan dasar ini diikuti oleh seluruh
ulama-ulama mujtahid.
Abu Hanifah mengatakan, “ Apabila suatu kasus terdapat hukumnya dalam
kitabullah maka aku berpegang dengannya, kalau tidak terdapat dalam kitabullah
maka aku memakai sunnah rasul, apabila tidak aku temui hukumnya didalam
keduanya maka aku berpegang dengan pendapat (ijma’)shahabat. Apabila tidak aku
temui pendapat sampai kepada pendapat Ibrahim, Syu’bi, Ibn Sirin, ‘Atha’ dan Said bin Musayyib maka aku akan
berijtihad sebagaimana mereka berijtihat[21].
Menurut imam Syafi’i sebagaimana yang dinukilkan imam Ghazali[22]
apabila sebuah kasus terjadi dihadapan seorang mujtahid maka ia harus melihat
nash al-kitab, kalau tidak ada maka dilihat dalam khabar mutawatir kalau tidak
ada maka lihat dalam khabar ahad, kalau tidak ada lihat apakah ada ijma sahabat
atau tidak kalau tidak ditemui dalam ijma’ maka lakukan qiyas.
Langkah-langkah ijtihad secara terperinci
adalah sebagai berikut :
1.
Merujuk kepada Al-Qur’an.
a. Bila nash al-qur’an menunjukan dalil atau petunjuk umum atau zhahir maka
harus dicari penjelasannya baik dalam bentuk lafazd khas yang akan
mentakhshishkan keumumannya. Lafazd muqayyad yang akan mentaqyid kemuthlaqannya
atau ada qarenah yang akan menjelaskan maksudnya.
b. Pilih dan pilah lafazd zhahir, nash, mufassar dan muhkam.
c. Pilih dan pilah hakikat dan majaz serta sharih dan kinayah.
d. Teliti ‘ibarah, isyarah, iqtidhah dan dilalah.
e. Teliti manthuq dan mafhum yang terdapat dalam manthuq itu.
Hukum yang terkandung dalam
al-Qur’an diteliti dari segala segi. Andaikata tidak ditemukan hukum dari yang
tersurat maka harus dicari hukum yang tersirat dibalik yang tersurat tersebut.
2.
Merujuk kepada
sunnah.
Sunnah yang pertama kali menjadi rujukan
adalah sunnah yaang mutawatir, kalau tidak ditemukan hukumnya dalam sunnah
mutawatir maka cari dalam sunnah yang derjat kesahihannya dibawah mutawatir.
Kalau tidak ditemukan dari lafazd yang tersurat cari dari balik lafazd yang
tersurat itu makna yang tersirat.
3. Merujuk kepada ijma sahabat.
4.
Bila tidak ditemukan hukumnya dalam ijma’,
maka seorang mujtahid harus mengerahkan seluruh kemampuan dan ilmunya untuk
mencari, menggali dan menemukan hukum Allah yang ia yakini pasti ada.
Langkah-langkah yang ditempuh oleh empat imam mujtahid
adalah sebagai berikut :
1. Langkah-langkah ijtihad imam Abu hanifah adalah al-Qur’an, sunnah nabi
dengan cara yang ketat dan hati-hati, pendapat sahabat, qiyas, istihsan dan
hayl al-sya’i.
2. Langkah-langkah ijtihad imam Malik adalah al-Qur’an, Sunnah nabi, amal ahl
Madinah, mashlahat al-mursalah, qiyas, istihsan dan saddu al-zari’ah.
3. Langkah-langkah ijtihad Imam Syafi’i adalah al-Qur’an, sunnah nabi, yang
shahih, meskipun bentuk periwayatannya perorangan (ahad), ijma’ seluruh
mujtahid dan qiyas. Ijma’ sahabat didahulukan dari ijma’ ulama dan langkah
terakhir yang digunakan adalah istishab.
4. Langkah-langkah ijtihad imam Ahmad bin Hanbal adalah al-Qur’an, sunnah,
fatwa sahabat (ijma’ sahabat) kalau pendapat sahabat berbeda maka dipilih yang
kuat menurutnya, hadits mursal dan hadits yang diperkirakan tingkatannya lemah
dan terakhir qiyas.
VII.
LAPANGAN IJTIHAD
Lapangan ijtihad adalah kasus-kasus yang tidak
dijelaskan hukumnya oleh al-qur’an dan sunnah dan kasus yang sudah ada nashnya
tetapi tidak pasti apakah memang nash tersebut untuk kasus itu. Tidak terdapat
kejelasan hukum dari kasus tersebut dalam al-Qur’an dan sunnah dapat dilihat
dari dua bentuk :
1. Al-Qur’an dan sunnah secara jelas dan langsung tidak menetapkan hukumnya,
baik secara keseluruhan maupun sebagiannya. Contohnya adalah pembukuan
al-Qur’an dalam satu mushaf.
2. Secara jelas, langsung dan menyeluruh tidak ada ketentuan hukumnya dalam
al-Qur’an dan sunnah, namun secara tidak langsung atau sebagiannya ada
penjelasan. Contoh penjelasan tidak langsung adalah memukul orang tua. Dalam
al-Qur’an hukum yang ditetapkan hanya mengatakan urf kepada orang tua. Contoh
sebagiannya ada penjelasannya adalah hukum transplantasi organ tubuh yang
berasal dari mayat. Al-Qur’an dan sunnah tidak ada yang menjelaskannya, namun
ada hadits nabi yang menyatakan dilarang merusak tubuh mayat.
Ketidak pastian dapat dilihat dari segi keberadaannya (wurud) sebagai dalil
dan dapat juga dilihat dari penunjukkan terhadap hukum. Kalau dirinci
ketidakpastian dapat dilihat dari tiga segi, yaitu:
1. Tidak pasti keberadaannya sebagai nash (zhanni al-wurud), namun pasti penunjukkannya
terhadap hukum(qath’i al-dalalah). Contoh ucapan Ibnu Mas’ud, “saya menetapkan
atas apa yang ditetapkan oleh nabi yaitu bagian seorang anak perempuan adalah
setengah, bagian cucu perempuan seperenam untuk melengkapi dua pertiga dan
selebihnya untuk saudara perempuan. Dari segi wurudnya hadits ini adalah hadits
ahad (zhanni al-wurud), namun penunjukannya terhadap hukum sangat jelas (qath’i
al-dalalah).
2. Tidak pasti penunjukannya terhadap hukum (zhanni al-dalalah), namun pasti
keberadaannya sebagai dalil nash (qath’i al-wurud). Contohnya firman Allah
dalam surat al-Baqarah ayat 228
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur ÆóÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% .........
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan
diri (menunggu) tiga kali quru'
Keberadaan ayat tersebut sebagai nash al-Qur’an tidak
diragukan lagi, namun lafazd quru pada ayat diatas tidak menunjukan dilalah
yang pasti karean kata quru bisa berarti suci dan juga bisa beerarti haid.
3. Tidak pasti keberadaannya sebagai dalil (zhanni wurud) dan tidak pasti juga
penunjukannya terhadap hukum (zhanni al-dalalah) contohnya hadits nabi
Hadits nabi tersebut merupakan hadits ahad, yang diragui
kebenarannya datang dari nabi sehingga jadi zhanni al-wurud. Penunjukannya juga
zhanni al-dalalh karena hadits tersebut mengandung dua kemungkinan. Kemungkinan
pertama bahwa tidak sah nikah seorang perempuan yang diaqadkan oleh selain
walinya. Kemungkinan kedua sah nikah seorang perempuan yang telah dizinkan oleh
walinya walaupun yang mengaqadkan nikahnya bukan walinya
VIII. KEBENARAN HASIL IJTIHAD.
Pada dasarnya yang berhak menetapkan hukum syara’ hanyalah Allah SWT, tiada
hukum kecuali hukum Allah. Bagaimana jika seorang mujtahid dengan mengerahkan
semua kemampuan dan ilmu yang dimiliki menemukan hukum? Secara lahiriyah ia
telah menemukan hukum syara’, namun pada hakikatnya ia tidak menetapkan dan
membuat hukum syara’ karena hukum syara’ hanya milik Allah. Hukum yang
ditetapkan oleh mujtahid itu dpt disebut hukum Allah dalam lisan mujtahid.
Pada sisi lain hukum yang ditetapkan mujtahid terhadap kasus yang sama bisa
berbeda-beda. Manakah diantara hukum itu yang paling benar? Kalau hanya benar
satu tentu yang lainnya salah dan pelakunya akan berdosa. Kalau dianggap semua
hasil ijtihad adalah benar tentu akan bermacam-macam hukum Allah terhadap satu
yang sama. Hal ini menjadi kajian dikalangan ulama ushul fiqh. Ulama shul fiqh
membagi permaslahan ini kepada dua pembagian, yaitu :
1. Masalah aqliyah dan nazhariyah, yaitu masalah aqidah.
2.
Masalah syari’ah.
Pada dasarnya masalah aqidah tidak menjadi pembahasan dalam kajian ushul
fiqh, namun kebanyakan ulama ushul fiqh tetap membahasnya. Bidang aqliyah dalam
kajian ini dibagi kepada dua masalah, yaitu :
1. Masalah yang paling dasar dalam agama yang seandainya salah dalam bidang
ini dapat menghilangkan iman dan menyimpang dari ketentuan agama. Mayoritas
ulama sepakat bahwa hasil ijtihad yang salah dalam bidang aqliyah dalam bentuk
ini menyebabkan pelakunya berdosa, dan dianggap kafir keluar dari ajran agama.
2. Masalah aqliyah yang seandainya salah dalam bidang ini, tidak sampai
menghilangkan keimanan kepada Allah dan rasulNya, seperti kemungkinan melihat
Allah, sifat-sifat Allah dan sifat-sifat rasulNya. Moyoritas ulama juga
mengatakan ijtihad yang salah dalam bentuk ini menyebabkan pelakunya berdosa
tetapi mereka berbeda pendapat tentang mengkafirkan pelakunya. Beda pendapat
tersebut adalah sebagai berikut :
a. Sebagian besar ulama mengatakan bahwa mujtahid dalam bentuk ini tidak kafir
karena dasar keimanannya masih ada.
b. Sebagian ulama mengatakan bahwa mujtahid dalam bentuk ini menjadi kafir
karena menyimpang dalam aqidanya.
3. Al-Jahizh dan Ubaidullah ibn al-Hasan al-Anbari dari golongan Mu’tazilah,
sebagaimana yang dikutip oleh Prof.Dr Amir Syarifuddin, meyatakan bahwahasil
ijtihad yang berbeda dari mujtahidalam bidang aqliyah dan aqidah semuanya betul
dan tidak menyebabkan pelakunya berdosa dan kafir.al-Jahizh mengatakan bahwa
yang betul dari hasil ijtihad itu hanya satu sedangkan yang lainnya salah
tetapi tidak meyebabkan pelakunya berdosa dan kafir[24].
Dalam masalah syari’ah, Jumhur ulama
membaginya kepada dua bentuk :
1. Bidang yang pasti dapat diketahui secara mudah dharuri, seperti wajib
shalat, puasa, zakat atau haramnya minuman khamar dan haram zina dan merupakan
hal-hal yang pokok dalam agama. Contoh-contoh diatas merupakan hasil ijtihad
karena Allah dan RasulNya tidak pernah berkata tentang rumusan seperti itu.
Hasil ijtihad seperti ini diyakini semua kebenaran oleh semua ulama karena
merukan hal pokok dalam agama. Kesalahan yang terjad mengakibatkan pelakunya
berdosa dan ada ulama yang menganggapnya kafir karena merupakan hal pokok dalam
agama.
Terhadap hal-hal yang bukan merupakan bukan
hal yang pokok dalam agama (bukan daruriyat) maka ulama berbeda pendapat bahwa
:
a. Kesalahan yang merupakan kelalain mujtahid maka pelakunya dianggap berdosa.
b. Kesalahan yang disebabkan bukan karena kelalaian mujtahid, maka pelakunya
dianggapo tidak berdosa.
2. Bidang syari’at yang tidak memiliki dalil yang qath’i dan meyakinkan, ulama
berbea pendapat dalam hal ini, yaitu :
a. Kebanyakan ulama seperti Abu Hasan al-Asy’ari an Mu’tazilah berpendapat
bahwa setiap mujtahid yang mengemukakan hasil ijtihadnya terdapat kebenaran
karena setiap mujtahid adalah benar.
b. Imam abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’i dan kebanyakan ulama
berpendapat bahwa yang benar hanya satu diantara beberapa pendapat mujtahid.
Untuk menentukan pendapat yang benar hanya Allah yang berhak, manusia tidak
dapat memilih dan menentukan yang benar.
IX.
KEKUATAN HASIL IJTIHAD
Hasil ijtihad hanya bersifat zhanni (dugaan kuat), tidak bersifat qath’i
(pasti). Jika diungkapkan dalam bentuk ucapan, maka ucapan mujtahid tentang hasil
ijtihadnya adalah “menurut dugaan kuat saya, inilah hukum Allah tentang masalah
ini”[25].
Hasil ijtihad mujtahid yang ia yakini benar dalam hatinya dan hatinya telah
menerima dengn mantap mempunyai daya mengikat untuk dirinya. Ia harus beramal
sesuai dengan hasil ijtihadnya, seandainya ia beramal menyalahi hasil
ijtihadnya maka amalannya menjadi batal.
Seorang mujtahid tidak boleh bertaqlid kepada orang atau mujtahid lain. Ia
harus mengerahkan semua kemampuannya untuk menemukan dan menetapkan hukum.
Hasil ijtihad mujtahid juga mengikat kepada orang awam. Hasil ijtihad juga
mengikat kepada orang yang minta fatwa hukum kepada seorang mujtahid. Hasil
ijtihad tidak mengikat kepada umat karena hasil ijtihad bersifat zhanni dan
orang lain juga dapat melakukan ijtihad.
X.
PENUTUP.
Ijtihad adalah pengerahan seluruh kemampuan sorang
mujtahid untuk menemukan dan menetapkan hukum fiqh yang amali dengan jalan
istinbath dimana dia tidak mampa lagi melakukan lebih dari itu. Pada dasarnya
hukum melaksanakan ijtihad adalah wajib, namun jika dilihat dari kondisi yang
mempengaruhinya maka hukum ijtihad bisa manjadi fardu ain, fardu kifayah,
sunat, haram dan mubah.
Ulama ushul fiqh membagi bentuk ijtihad berdasarkan objek dan hasil kajian
yang muncul dari ijtihad. Mereka juga berbeda pendapat ketika membicarakan
macam-macam ijtihad karena cara berbeda cara melihatnya. Langkah-langkah yang
ditempuh oleh mujtahid juga berbeda-beda, namun yang disepakati dimulai dari
al-Qur’an, sunnah dan ijma’, selainnya mereka berbeda pendapat dalam urutan dan
menggunakannya. Lapangan ijtihad adalah kasus yang tidak ada ketetapan hukum
secara jelas (qath’i) dari nash al-Qur’an dan sunnah. Hukum yang dihasilkan
ijtihad bersifat zhanni.
DAFTAR BACAAN
al-‘Amri, Nadiyah Syarif. Al-Ijtihad fi al-Islam.
(Beirut: Muassasah al-Risalah. 1981) al-Syafi’i, Jalal al-Din Muhammad bin
Ahmad al-Mahalli. Syarh al-Waraqat fi ‘Ilmi Ushul al-Fiqh. ( Makah
Mukarramah: Maktabah Nizar Musthafa al-Bazi.cet.1. 1996)
al-‘Asqalani, Al-Hafizd Ahmad bin Ali bin Hajr. Bulugh
al-Maram min Adilat al-Ahkam. (tp.2003)
al-Asyqari, Umar Sulaiman Abdullah. Al-Madkhal ila
Dirasah al-Mazahib wa al-Madaris al-Fiqhiyah. (Dar al-Nafais.tt)
al-Ghazali, Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Al-Mustashfa
min Ilm al-Ushul Juz.IV. Tahqiq: Hamzah bin Zuhair Hafizd. (tp.tt)
________. Al-mankhul min Ta’liq al-Ushul. Tahqiq:
Muhammad Hasan Hitu. (tp.tt)
al-Muthalibi, Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin
Syafi’i bin Saib bin Ubaid Ibnu Abi Yazid Hasyim bin Muthalib bin Abdul Manaf
al-Qurasyi. Musnad al-Syafi’i tartib al-Sanadi. (Maktabah Syamilah: Bab
al-Awalu fi al-Amr biha)
al-Subki, Taj al-Din Abd al-Wahab bin Ali. Jam’
al-Jawami’ fi Ushul al-Fiqh. (Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiah. Cet ke-8.
2002)
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh Jil.2. (Jakarta:
PT.Logos Wacana Ilmu. 1999)
al-Syatibi, Abu Ishak Ibrahim bin Musa bin Muhammad
al-Lakhmi. Al-Muwafaqat. Jil.5.(Dar Ibn ‘Affan)
al-Syaukani, Al-Imam Muhammad bin Ali. Irsyad al-Fuhul
Juz.2. Tahqiq: Abi Hafash Sami bin al-Azni al-Usri. (Riyadh: Dar
al-Fadhilah li al-Nasyri wa al-Tawzi’. 2000)
al-Zanjani, Abi Fadhail Ibrahim bin Abd al-Wahab ‘Imad
al-Din bin Ibrahim. Syarah al-Alamah Sa’ad al-Din al-Taftazani Ala
al-Tashrif al-‘Uza. (Surabaya: Serikat Bengkulu Indah. Tt)
Zuhaili, Wahbah. Ushul al-Fiqh al-Islami.
(Damaskus: Dar al-fikr.1986)
[1]
Abi Fadhail Ibrahim bin Abd al-Wahab
‘Imad al-Din bin Ibrahim al-Zanjani. Syarah al-Alamah Sa’ad al-Din
al-Taftazani Ala al-Tashrif al-‘Uza. (Surabaya: Serikat Bengkulu Indah. Tt)
h.6
[2]
Nadiyah Syarif al-‘Amri. Al-Ijtihad
fi al-Islam. (Beirut: Muassasah al-Risalah. 1981) h. 18
[3] Jalal al-Din Muhammad bin Ahmad
al-Mahalli al-Syafi’i. Syarh al-Waraqat fi ‘Ilmi Ushul al-Fiqh. ( Makah
Mukarramah: Maktabah Nizar Musthafa al-Bazi.cet.1. 1996) h.144
[4]
Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad
al-Ghazali. Al-Mustashfa min Ilm al-Ushul Juz.IV. Tahqiq: Hamzah bin
Zuhair Hafizd. (tp.tt) h.4
[5]
Al-Imam Muhammad bin Ali
al-Syaukani. Irsyad al-Fuhul Juz.2. Tahqiq: Abi Hafash Sami bin al-Azni
al-Usri. (Riyadh: Dar al-Fadhilah li al-Nasyri wa al-Tawzi’. 2000) h. 1025-1026
[6] Taj al-Din Abd al-Wahab bin Ali
al-Subki. Jam’ al-Jawami’ fi Ushul al-Fiqh. (Beirut: Dar al-Kitab
al-Ilmiah. Cet ke-8. 2002) h.118
[7]
Amir Syarifuddin. Ushul Fiqh
Jil.2. (Jakarta: PT.Logos Wacana Ilmu. 1999) h.225
[8]
Ibid, h.226
[9]
Ibid,
[10]
Wahbah Zuhaili. Ushul al-Fiqh
al-Islami. (Damaskus: Dar al-fikr.1986) h.1039
[11]
Al-Hafizd Ahmad bin Ali bin Hajr
al-‘Asqalani. Bulugh al-Maram min Adilat al-Ahkam. (tp.2003) h.423
[12]
Muhammad bin Idris bin Abbas bin
Utsman bin Syafi’i bin Saib bin Ubaid Ibnu Abi Yazid Hasyim bin Muthalib bin
Abdul Manaf al-Qurasyi al-Muthalibi. Musnad al-Syafi’i tartib al-Sanadi.
(Maktabah Syamilah: Bab al-Awalu fi al-Amr biha) h.645
[13] Nadiyah, op.cit, h.122
[14] Nadiyah op.cit, h.122
[15] Wahbah 0p.cit, h.1055
[16] Amir op.cit, h229
[17]
Ibnu Subki, op.cit, h.119
[18] Abu Ishak Ibrahim bin Musa bin
Muhammad al-Lakhmi al-Syatibi. Al-Muwafaqat. Jil.5.(Dar Ibn ‘Affan)h.12
[19]
Ibid, h.20 dan 21
[20] Al-Syaukani h.1057-1059. Lihat juga Amir
Syarifuddin.h.267-272
[21] Umar Sulaiman Abdullah al-Asyqari. Al-Madkhal
ila Dirasah al-Mazahib wa al-Madaris al-Fiqhiyah. Dar al-Nafais.tt. h.116
[22]
Al-Imam Abi Hamid Muhammad bin
Muhammad al-Ghazali. Al-mankhul min Ta’liq al-Ushul. Tahqiq: Muhammad
Hasan Hitu. (tp.tt) h.466-467
[23]
Al-Hafizh, op.cit, h.297
[24] Amir. 292.
[25] Amir h,297
Tidak ada komentar:
Posting Komentar