Filsafat
Islam mempunyai kedudukan yang sangat
tinggi dalam kehidupan dan pemikiran manusia. Seiring dengan berkembangannya
ilmu pengetahuan dan filsafat lahirlah para tokoh dalam disiplin ilmu
pengetahuan serta kelompok-kelompok tertentu untuk memajukan ilmu pengetahuan
dan filsafat dalam dunia Islam.
Ikhwan
Al-Safa merupakan sekelompok pemikir Islam yang menyumbangkan pemikirannya
dalam kehidupan manusia. Gerakan ini merahasiakan kelompok mereka lantaran
tidak se-ideologi dengan pemerintah yang pada saat itu beraliran Sunni. Demi
menjaga kerahasiaan dan kesucian gerakan kelompok ini, mereka merekrut
anggotanya dengan sangat selektif. Ikhwan Al-Safa berusaha menghidupkan kembali
semangat berfikir umat islam yang selama ini telah dihalangi oleh para
penguasa, sehingga terbebas dari dekadensi moral.
B. Sejarah Lahirnya Ikhwan Al-Safa
Secara etimologi Ikhwan Al-Safa terdiri
dari dua suku kata yaitu ikhwan dan Safa. Ikhwan mengandung ari persaudaraan,
sedangkan Safa artinya suci atau bersih. Jika kita gubungkan dua suku kata
tersebut maknanya persaudaraan yang suci.[1]
Secara
terminologi, Ikhwan Al-Safa adalah nama sekelompok pemikir muslim rahasia
berasal dari sekte Syi’ah Ismailiyah yang lahir ditengah-tengah Sunni sekitar
abad ke-3 H/10 M di Bashrah.[2]
Kelompok
Ikhwan Al-Safa merupakan gerakan bawah tanah yang mempertahankan semangat
berfilsafat khususnya dan pemikiran rasional umumnya di kalangan pengikutnya.
Kerahasiaan kelompok ini, juga menamakan diri mereka khulan al-wafa’, ahl
al-adl dan abna’ al-hamd. Kelompok Ikhwan Al-safa ini baru diketahui
setelah berkuasanya Dinasti Buwaihi, yang berpaham Syiah di Baghdad tahun 983
M.[3]
Tokoh yang terkenal dari kelompok Ikhwan
Al-Safa sebagai pelopornya diantaranya; Abu Sulaiman Muhammad bin Mu’syi
al-Basti yang dikenal dengan sebutan al-maqdisi, Abu al-Hasan Ali ibnu
Harun al-Zanjani, Abu Muhammad al-Mihranjani, al-Aufi, Zaid ibn Raf’ah...[4]
Lahirnya
Ikhwan Al-Safa disebabkan oleh kondisi Islam pada saat itu. Sejak pembatalan
teologi Mu’tazilah sebagai mazhab negara oleh Al-Mutawakkil, kaum rasional dicopot
dari jabatannya dan diusir dari Baghdad, penguasa melarang mengajarkan kesusastraan
ilmu dan filsafat, sehingga tumbuh suburnya cara berfikir tradisional dan meredupnya
keberanian berfikir rasional. Pada saat itulah Ikhwan Al-Safa lahir untuk
menyelamatkan masyarakat dan mendekatkan diri mereka ke jalan kebahagiaan yang
diridhoi Allah SWT.
Sebagai
suatu gerakan yang ingin mengembalikan masyarakat untuk berfikir secara
rasional, Ikhwan Al-Safa menganggap semua mazhab itu sama karena semuanya
berakhir kepada pengabdian kepada Allah SWT. Namun demikian Ikhwan Al-Safa
menganggap agama Islam adalah agama yang sempurna dari segala agama.[5]
Ikhwan
Al-Safa mempunyai cabang-cabang dan anggota yang tersebar diberbagai tempat,
namun jumlah mereka hanya sedikit. Sedikitnya anggota yang diterima disebabkan
oleh beberapa faktor diantaranya adalah:
a. Gerakan mereka yang
bercorak rahasia
b. Penerimaan anggota
yang sangat selektif, baik mengenai pengetahuan, kemampuan maupun akhlaknya.[6]
Untuk
pembinaan dan peningkatan posisi anggota Ikhwan Al-Safa, kelompok ini
mengirimkan orang-orangnya ke kota tertentu untuk membentuk cabang-cabang dan
mengajak siapa saja yang berminat pada keilmuan dan kebenaran. Adapun anggota
kelompok ini dibagi menjadi empat tingkatan yaitu:
a. Ikhwan al-Abrar
al-Ruhama, yakni kelompok
yang beusia 15-30 tahun yang memiliki
jiwa yang suci dan pikiran yang kuat. Mereka berstatus murid, oleh karena itu
dituntut untuk tunduk dan patuh secara sempurna kepada guru
b. Ikhwan al-Akhyar
wa al-Fudhala, yakni
kelompok yang beusia 30-40 tahun. Pada tingkat ini mereka sudah mampu
memelihara persaudaraan, pemurah, kasih sayang dan berkorban demi persaudaraan
(Tingkat guru-guru)
c. Ikhwan al-Fudhala
al-Kiram, yaitu kelompok
yang berusia 40-50 tahun. Dalam kenegaraan kedudukan mereka sama dengan sultan
atu hakim. Mereka sudah mengetahui aturan ketuhanan sebagai tingkatan para
nabi.
d. Al-Kamal, yakni yang berusia 50 tahun ke ata. Mereka
disebut dengan tingkat al-Muqarrabin min Allah karena mereka sudah mampu
memahami hakikat sesuatu sehingga mereka sudsh berada di atas alam relitas,
syariat dan wahyu sebagaimana malaikat al-Muqarribun.[7]
Karya
monumental Ikhwan Al-Shafa adalah ensiklopedia Rasail
Ikhwan Al-Shafa. Rasail ini terdiri 51 risalah (Epistle)
yang dilengkapi dengan ikhtisar di bagian akhirnya. Diduga kuat, ikhtisar ini
digarap oleh Al-Majriti (w.1008). Konon, Al-Majriti pula yang pertama-tama
membawa ajaran Ikhwan Al-Shafa di daratan Spanyol. Ensiklopedi
ini secara garis besar, dapat dibagi menjadi empat kelompok:
Kelompok
pertama, berisi empat
belas risalah ”matematis” tentang angka. Oleh kalangan Ikhwan Al-Shafa, angka dianggap alat penting untuk mengkaji filsafat ”sebab ilmu
angka akar semua sains, saripati kebijaksanaan, sumber kognisi, dan unsur
pembentuk makna. Risalah dalam kelompok ini memuat bagian (1) pendahuluan,
disusul dengan (2) geometri, (3) astronomi, (4) musik, (5) geografi, (6)
”proporsi-proporsi harmonik”, (7 dan 8) tentang seni-seni teoritis dan praktis,
dan (9) etika.
Kelompok
kedua, terdiri atas tujuh
belas risalah yang membahas ”persoalan fisik-materil”. Secara kasar, semua
risalah tersebut berkaitan dengan karya-karya fisika Aristoteles. Sedikit
tambahan ihwal psikologi, epistemologi, dan linguistik yang tidak terdapat
dalam korpus Aristotelian, juga masuk dalam kelompok ini.
Kelompok
ketiga, terdiri atas
sepuluh risalah ”psikologis-rasional” yang membahas prinsip-prinsip
intelektual, intelek itu sendiri, hal-hal kawruhan (intelligibles),
hakikat cinta erotik (’isyq), hari kebangkitan, dan sebagainya.
Kelompok
keempat, terdiri atas
empat belas risalah yang membahas cara mengenal Tuhan, akidah dan pandangan
hidup Ikhwan al-Shafa, sifat hukum Ilahi, kenabian, tindakan-tindakan makhluk
halus, jin dan malaikat, rezim politik, dan terakhir hakikat teluh, azimat, dan
aji-aji.[8]
Dari isi
ensiklopedi tersebut kita dapat menafsirkan bahwa Ikhwan Al-Shafa mencoba melakukan penjelasan-penjelasan yang terkait dengan agama
dan ilmu pengetahuan (filsafat dan sains). Sedangkan karya yang erat
hubungannya dengan Rasail adalah al-Risalat al-Jami’ah (Risalah
Komprehensif) yang merupakan sebuah summarium (Ikhtisar, Ringkasan) dan summa
dari karya aslinya. Selanjutnya, Jami’ah pun diikhtisarkan dalam Risalat
al-Jami’ah al-Jami’ah au al-Zubdah min Rasail Ikhwan al-Shafa (Kondensasi
dari Risalah Komprehensip atau Krim dari Rasail Ikhwan al-Shafa), yang
juga dinamai al-Risalat al-Jami’ah. [9]
C. Pemikiran
Ikhwan al-Shafa
1. Filsafat Ketuhanan
Dalam membahas masalah ketuhanan, Ikhwan Al-Safa
melandasi pemikrannya pada angka-angka atau bilangan. Menurut mereka ilmu
bilangan adalah “lidah” yang mempercakapkan tauhid, al-tanzih, dan meniadakan sifat dan
tasbih serta dapat menolak atas orang
yang mengingkari keesaan Allah. Dengan kata lain, pengetahuan tentang angka
membawa pada pengakuan tentang keesaan Allah karena apabila angka satu rusak,
maka rusaklah semuanya.
Selanjutnya mereka katakan, angka satu
sebelum angka dua, dan dalam angka dua terkandung pengertian kesatuan. Dengan
istilah lain, angka satu adalah angka yang pertama dan angka itu lebih dahulu
dari angka dua dan lainnya. Oleh katena itu, keutamaan terletak pada yang
dahulu, yakni angka satu. Sementara angka dua dan lainnya terjadi kemudian.
Oleh karena itu, terbuktilah bahwa Yang maha Esa (Allah) lebih dahulu dari yang
lainnya seperti dahulunya angka satu dari angka lain.[10]
Tentang adanya Allah, menurut Ikwan
Al-Safa merupakan hal yang sangat mudah dan nyata. Hal ini desebabkan manusia
dengan fitrahnya dapat mengenal Allah dan seluruh yang ada ini akan membawa
manusia pada kesimpulan pasti tentang adanya Allah yang menciptakan segala yang
ada. Hal ini bisa didapatkan dengan sendirinya tanpa adanya belajar.[11]
2. Penciptaan
Allah SWT adalah pencipta. Dengan
kemampuan sendiri Allah SWT sendiri menciptakan akal pertama atau akal aktif
atau secara emanasi. Kemudian Allah menciptakan materi pertama (al hayula
al-ula). Dengan demikian kalau Allah qadim, lengkap dan sempurna, mak
akal pertama ini juga demikian halnya. Pada akal pertama lengkap segala potensi
yang akan muncul pada wujud berikutnya. Sementara jiwa tercipta secara emanasi
dengan perantaraan akal, maka jiwa qadim dan lengkap, tetapi tidak
sempurna. Demikian halnya materi pertama karena terciptanya secara emanasi
dengan perantaraan jiwa, maka materi pertama adalah qadim tidak lengkap
dan tidak sempurna.
Ikhwan Al-Safa berpendapat bahwasanya alam
semesta adalah emanasi Tuhan melalui akal dengan rangkaian proses sebagai
berikut:
a.
Akal aktif (al-aql al-fa’al)
b.
Jiwa universal (an-nafs al-kuliyah)
c.
Materi pertama (al-hayula al-ula)
d.
Potensi jiwa universal (at-tabi’ah al-fa’ilah)
e.
Materi absolute (al-hayula as-tsani)
f.
Alam falak (‘alam al-falak)
g.
Unsur-unsur alam yang lebih rendah (‘anasir
al-‘alam as-sufla)
h.
Objek-objek gabungan dari mineral, tumbuh-tumbuhan
dan hewan.
Sementara manusia termasuk dalam
kelompok hewan, tetapi hewan yang berbicara dan berpikir.
Mengetahui tentang penciptaan alam
oleh Allah SWT merupakan pengetahuan yang penting menurut Ikhwan Al-Safa,
karena mendorong manusia untuk berpikir. Memikirkan bagaimana, kenapa dan
mengapa alam ini diciptakan.
Proses penciptaan secara emanasi
menurut mereka terbagi menjadi dua. Pertama, pencipta sekaligus (daf’atan
wāhidatan) yang mereka sebut dengan alam rohani, yakni akal aktif, jiwa
universal dan materi pertama. Kedua, pencipta secara gradual (tadrîj)
yang mereka sebut sebagai alam jasmani, yakni materi absolut atau materi kedua
dan seterusnya.
Tentang alam semesta menurut Ikhwan
Al-Safa bukan qadim, tetapi baharu. Karena alam semesta ini diciptakan
Allah dengan cara emanasi gradual, mempunyai awal dan akan berakhir pada masa
tertentu.[12]
3. An-Nafs
Jiwa manusia bersumber dari jiwa
universal. Dalam perkembangannya jiwa manusia banyak dipengaruhi materi
yang mengitarinya. Agar tidak kecewa dalam perkembangannya, maka jiwa dibantu
oleh akal yang merupakan daya bagi jiwa untuk berkembang.
Pengetahuan diperoleh melalui proses barpikir. Anak-anak
pada mulanya seperti kertas putih yang bersih dan belum ada coretan. Lembaran
putih tersebut akan tertulis dengan adanya tanggapan panca indra yang
menyalurkan ke otak bagian depan yang memiliki daya imajinasi (al-quat
al-mutahkayyilat). Dari sini meningkat ke daya berpikir (al-quat al-mufakkirat)
yang terletak pada otak bagian tengah. Pada tingkat ini manusia sanggup
membedakan antara benar dan salah, antara baik dan buruk. Setelah itu,
disalurkan ke daya ingatan (al-quat al-hāfizhat) yang terdapat pada otak
bagian belakang. Pada tingkat ini seseorang telah sanggup menyimpan hal-hal
yang abstrak yang diterima leh daya berpikir. Tingkatan terakhit adalah daya
berbicara (al-quat al-nātiqat), yaitu kemampuan mengungkapkan pikiran
dan ingatan itu melalui tutur kata yang bermakna kepada pendengar atau
menuangkanya lewat bahasa tulis kepada pembaca.
Manusia selain mempunyai indra zahir
juga memiliki indra batin, yang berfungsi mengolah hal-hal yang ditangkap oleh
indra zahir sehingga melahirkan konsep-konsep.
Dalam tubuh
manusia, jiwa memiliki tiga fakultas:
a.
Jiwa tumbuhan
Jiwa ini dimiliki oleh semua makhluk hidup:
tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia. Jiwa ini terbagi dalam tiga daya: makan,
tumbuh, dan terproduksi.
b.
Jiwa hewan
Jiwa ini hanya dimiliki oleh hewan dan manusia. Ia
terbagi menjadi dua daya: penggerak dan sensasi (persepsi dan emosi).
c.
Jiwa manusia
Jiwa ini hanya dimiliki manusia. Jiwa yang
menyebabkan manusia berpikir dan berbicara.
Ketiga fakultas di atas bersama
dengan daya-dayanya bekerja sama dan
menyatu dalam diri manusia. Di sinilah letak kelebihan manusia dari makhluk
ciptaan Allah yang lain.
Sementara itu, tentang kebangkitan
di akhirat, Ikwan Al-Safa sama pendapatnya dengan filosof muslim pendahulunya,
yakni kebangkitan berbentuk rohani. Surga dan neraka dipahami dalam makna
hakikat. Surga adalah kesenangan dan neraka adalah penderitaan.[13]
D. Kesimpulan
Ikhwan Al-Safa merupakan suatu kelompok
yang merahasiakan gerakan pemikirannya, dikarenakan tidak sepemahamannya dengan
pemerintah pada waktu itu. Gerakan ini ingin mengembalikan masyarakat untuk
berfikir secara rasional. Untuk memperluas gerakannya, kelompok Ikhwan Al-Safa
mengajak orang lain yang berminat pada keilmuan dan kebenaran dengan tetap
menjaga kerahasiaannya. Ikhwan Al-Safa sangat selektif memilih anggota, tidak
semua orang bisa masuk menjadi kelompok ini.
Ikhwan Al-Safa menganggap semua mazhab itu
sama karena semuanya berakhir kepada pengabdian kepada sang khaliq yaitu Tuhan.
Dalam filsafat ketuhanan Ikhwan Al-Safa dipengaruhi oleh pythagoras dan plotinus
sehingga dalam memahaminya mengumpamakan dengan angka-angka. Tuhan lebih dahulu
dari segala sesuatu.
Mengetahui tentang penciptaan alam akan
mendorong manusia untuk berfikir. Memikirkan bagaimana, kenapa dan mengapa alam
ini diciptakan. Karena alam semesta ini mempunyai awal dan akan berakhir pada
masa tertentu.
Jiwa manusia mempunyai potensi berfikir (haiwan
an-nātiq) yang dapat menangkap pengetahuan yang menjadi esensi dari
kehidupan. Karena manusia diberikan tiga hal yang membuat manusia menjadi
manusia yang sempurna diantaranya jiwa tumbuhan, hewan dan manusia. Apabila
dapat digunakan dengan sebaiknya, dan mendatangkan kebaikan maka manusia itu
adalah manusia yang sempurna dan memperoleh kebahagian.
DAFTAR PUSTAKA
A. Farrukh dalam M.M. Syarif, Omar, (editor),
Aliran-Aliran Filsafat Islam, (Bandung: Mizan,
2002)
Departemen
Agama RI, Ensiklopedi Islam, ( Jakarta: Departemen Agama RI, 1992/1993)
Fakhry,
Majid, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, (terj.) oleh Zaimul Am, (Bandung: Mizan, 2002)
Nasution,
Harun, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Djambatan, 1992)
Zar, Sirajuddin,
Filsafat dan filsafatnya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009)
[1] . Departemen Agama RI, Ensiklopedi
Islam, ( Jakarta: Departemen Agama RI, 1992/1993), h. 437
[2] . Sirajuddin Zar, Filsafat Islam
Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007, h. 139
[3] . Ibid
[4] . Harun Nasution, Ensiklopedi Islam,
(Jakarta: Djambatan, 1992), h. 413
[6] . Harun Nasution, Op.Cit., h. 413
[7] . Sirojuddin Zar, Op.Cit., h. 141
[8] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat
Islam: Sebuah Peta Kronologis, (terj.) oleh Zaimul Am, (Bandung: Mizan,
2002), hal. 64.
[10] . Sirajuddin Zar, Filsafat dan
filsafatnya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.146-147
[11] . Ibid
[12] . lihat, Sirajuddin Zar, Op.Cit. h. 149-150
[13] . Ibid, h. 152-153
Tidak ada komentar:
Posting Komentar