Senin, 15 Februari 2016

IKHWAN AL-SHAFA

A.  Pendahuluan
      Filsafat Islam  mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam kehidupan dan pemikiran manusia. Seiring dengan berkembangannya ilmu pengetahuan dan filsafat lahirlah para tokoh dalam disiplin ilmu pengetahuan serta kelompok-kelompok tertentu untuk memajukan ilmu pengetahuan dan filsafat dalam dunia Islam.
      Ikhwan Al-Safa merupakan sekelompok pemikir Islam yang menyumbangkan pemikirannya dalam kehidupan manusia. Gerakan ini merahasiakan kelompok mereka lantaran tidak se-ideologi dengan pemerintah yang pada saat itu beraliran Sunni. Demi menjaga kerahasiaan dan kesucian gerakan kelompok ini, mereka merekrut anggotanya dengan sangat selektif. Ikhwan Al-Safa berusaha menghidupkan kembali semangat berfikir umat islam yang selama ini telah dihalangi oleh para penguasa, sehingga terbebas dari dekadensi moral.
      
     
B.  Sejarah Lahirnya Ikhwan Al-Safa

            Secara etimologi Ikhwan Al-Safa terdiri dari dua suku kata yaitu ikhwan dan Safa. Ikhwan mengandung ari persaudaraan, sedangkan Safa artinya suci atau bersih. Jika kita gubungkan dua suku kata tersebut maknanya persaudaraan yang suci.[1]
            Secara terminologi, Ikhwan Al-Safa adalah nama sekelompok pemikir muslim rahasia berasal dari sekte Syi’ah Ismailiyah yang lahir ditengah-tengah Sunni sekitar abad ke-3 H/10 M di Bashrah.[2]
            Kelompok Ikhwan Al-Safa merupakan gerakan bawah tanah yang mempertahankan semangat berfilsafat khususnya dan pemikiran rasional umumnya di kalangan pengikutnya. Kerahasiaan kelompok ini, juga menamakan diri mereka khulan al-wafa’, ahl al-adl dan abna’ al-hamd. Kelompok Ikhwan Al-safa ini baru diketahui setelah berkuasanya Dinasti Buwaihi, yang berpaham Syiah di Baghdad tahun 983 M.[3]
      Tokoh yang terkenal dari kelompok Ikhwan Al-Safa sebagai pelopornya diantaranya; Abu Sulaiman Muhammad bin Mu’syi al-Basti yang dikenal dengan sebutan al-maqdisi, Abu al-Hasan Ali ibnu Harun al-Zanjani, Abu Muhammad al-Mihranjani, al-Aufi, Zaid ibn Raf’ah...[4]
            Lahirnya Ikhwan Al-Safa disebabkan oleh kondisi Islam pada saat itu. Sejak pembatalan teologi Mu’tazilah sebagai mazhab negara oleh Al-Mutawakkil, kaum rasional dicopot dari jabatannya dan diusir dari Baghdad, penguasa melarang mengajarkan kesusastraan ilmu dan filsafat, sehingga tumbuh suburnya cara berfikir tradisional dan meredupnya keberanian berfikir rasional. Pada saat itulah Ikhwan Al-Safa lahir untuk menyelamatkan masyarakat dan mendekatkan diri mereka ke jalan kebahagiaan yang diridhoi Allah SWT.
            Sebagai suatu gerakan yang ingin mengembalikan masyarakat untuk berfikir secara rasional, Ikhwan Al-Safa menganggap semua mazhab itu sama karena semuanya berakhir kepada pengabdian kepada Allah SWT. Namun demikian Ikhwan Al-Safa menganggap agama Islam adalah agama yang sempurna dari segala agama.[5]
            Ikhwan Al-Safa mempunyai cabang-cabang dan anggota yang tersebar diberbagai tempat, namun jumlah mereka hanya sedikit. Sedikitnya anggota yang diterima disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah:
a.       Gerakan mereka yang bercorak rahasia
b.      Penerimaan anggota yang sangat selektif, baik mengenai pengetahuan, kemampuan maupun akhlaknya.[6]
Untuk pembinaan dan peningkatan posisi anggota Ikhwan Al-Safa, kelompok ini mengirimkan orang-orangnya ke kota tertentu untuk membentuk cabang-cabang dan mengajak siapa saja yang berminat pada keilmuan dan kebenaran. Adapun anggota kelompok ini dibagi menjadi empat tingkatan yaitu:
a.       Ikhwan al-Abrar al-Ruhama, yakni kelompok yang beusia 15-30 tahun yang memiliki jiwa yang suci dan pikiran yang kuat. Mereka berstatus murid, oleh karena itu dituntut untuk tunduk dan patuh secara sempurna kepada guru
b.      Ikhwan al-Akhyar wa al-Fudhala, yakni kelompok yang beusia 30-40 tahun. Pada tingkat ini mereka sudah mampu memelihara persaudaraan, pemurah, kasih sayang dan berkorban demi persaudaraan (Tingkat guru-guru)
c.       Ikhwan al-Fudhala al-Kiram, yaitu kelompok yang berusia 40-50 tahun. Dalam kenegaraan kedudukan mereka sama dengan sultan atu hakim. Mereka sudah mengetahui aturan ketuhanan sebagai tingkatan para nabi.
d.      Al-Kamal, yakni yang berusia 50 tahun ke ata. Mereka disebut dengan tingkat al-Muqarrabin min Allah karena mereka sudah mampu memahami hakikat sesuatu sehingga mereka sudsh berada di atas alam relitas, syariat dan wahyu sebagaimana malaikat al-Muqarribun.[7]

Karya monumental Ikhwan Al-Shafa adalah ensiklopedia Rasail Ikhwan Al-Shafa. Rasail ini terdiri 51 risalah (Epistle) yang dilengkapi dengan ikhtisar di bagian akhirnya. Diduga kuat, ikhtisar ini digarap oleh Al-Majriti (w.1008). Konon, Al-Majriti pula yang pertama-tama membawa ajaran Ikhwan Al-Shafa di daratan Spanyol. Ensiklopedi ini secara garis besar, dapat dibagi menjadi empat kelompok:
Kelompok pertama, berisi empat belas risalah ”matematis” tentang angka. Oleh kalangan Ikhwan Al-Shafa, angka dianggap alat penting untuk mengkaji filsafat ”sebab ilmu angka akar semua sains, saripati kebijaksanaan, sumber kognisi, dan unsur pembentuk makna. Risalah dalam kelompok ini memuat bagian (1) pendahuluan, disusul dengan (2) geometri, (3) astronomi, (4) musik, (5) geografi, (6) ”proporsi-proporsi harmonik”, (7 dan 8) tentang seni-seni teoritis dan praktis, dan (9) etika.
Kelompok kedua, terdiri atas tujuh belas risalah yang membahas ”persoalan fisik-materil”. Secara kasar, semua risalah tersebut berkaitan dengan karya-karya fisika Aristoteles. Sedikit tambahan ihwal psikologi, epistemologi, dan linguistik yang tidak terdapat dalam korpus Aristotelian, juga masuk dalam kelompok ini.
Kelompok ketiga, terdiri atas sepuluh risalah ”psikologis-rasional” yang membahas prinsip-prinsip intelektual, intelek itu sendiri, hal-hal kawruhan (intelligibles), hakikat cinta erotik (’isyq), hari kebangkitan, dan sebagainya.
Kelompok keempat, terdiri atas empat belas risalah yang membahas cara mengenal Tuhan, akidah dan pandangan hidup Ikhwan al-Shafa, sifat hukum Ilahi, kenabian, tindakan-tindakan makhluk halus, jin dan malaikat, rezim politik, dan terakhir hakikat teluh, azimat, dan aji-aji.[8]
Dari isi ensiklopedi tersebut kita dapat menafsirkan bahwa Ikhwan Al-Shafa mencoba melakukan penjelasan-penjelasan yang terkait dengan agama dan ilmu pengetahuan (filsafat dan sains). Sedangkan karya yang erat hubungannya dengan Rasail adalah al-Risalat al-Jami’ah (Risalah Komprehensif) yang merupakan sebuah summarium (Ikhtisar, Ringkasan) dan summa dari karya aslinya. Selanjutnya, Jami’ah pun diikhtisarkan dalam Risalat al-Jami’ah al-Jami’ah au al-Zubdah min Rasail Ikhwan al-Shafa (Kondensasi dari Risalah Komprehensip atau Krim dari Rasail Ikhwan al-Shafa), yang juga dinamai al-Risalat al-Jami’ah. [9]


C.  Pemikiran Ikhwan al-Shafa

1.      Filsafat Ketuhanan
      Dalam membahas masalah ketuhanan, Ikhwan Al-Safa melandasi pemikrannya pada angka-angka atau bilangan. Menurut mereka ilmu bilangan adalah “lidah” yang mempercakapkan tauhid,  al-tanzih, dan meniadakan sifat dan tasbih serta  dapat menolak atas orang yang mengingkari keesaan Allah. Dengan kata lain, pengetahuan tentang angka membawa pada pengakuan tentang keesaan Allah karena apabila angka satu rusak, maka rusaklah semuanya.
      Selanjutnya mereka katakan, angka satu sebelum angka dua, dan dalam angka dua terkandung pengertian kesatuan. Dengan istilah lain, angka satu adalah angka yang pertama dan angka itu lebih dahulu dari angka dua dan lainnya. Oleh katena itu, keutamaan terletak pada yang dahulu, yakni angka satu. Sementara angka dua dan lainnya terjadi kemudian. Oleh karena itu, terbuktilah bahwa Yang maha Esa (Allah) lebih dahulu dari yang lainnya seperti dahulunya angka satu dari angka lain.[10]
      Tentang adanya Allah, menurut Ikwan Al-Safa merupakan hal yang sangat mudah dan nyata. Hal ini desebabkan manusia dengan fitrahnya dapat mengenal Allah dan seluruh yang ada ini akan membawa manusia pada kesimpulan pasti tentang adanya Allah yang menciptakan segala yang ada. Hal ini bisa didapatkan dengan sendirinya tanpa adanya belajar.[11]

2.      Penciptaan
      Allah SWT adalah pencipta. Dengan kemampuan sendiri Allah SWT sendiri menciptakan akal pertama atau akal aktif atau secara emanasi. Kemudian Allah menciptakan materi pertama (al hayula al-ula). Dengan demikian kalau Allah qadim, lengkap dan sempurna, mak akal pertama ini juga demikian halnya. Pada akal pertama lengkap segala potensi yang akan muncul pada wujud berikutnya. Sementara jiwa tercipta secara emanasi dengan perantaraan akal, maka jiwa qadim dan lengkap, tetapi tidak sempurna. Demikian halnya materi pertama karena terciptanya secara emanasi dengan perantaraan jiwa, maka materi pertama adalah qadim tidak lengkap dan tidak sempurna.
      Ikhwan Al-Safa berpendapat bahwasanya alam semesta adalah emanasi Tuhan melalui akal dengan rangkaian proses sebagai berikut:
a.       Akal aktif (al-aql al-fa’al)
b.      Jiwa universal (an-nafs al-kuliyah)
c.       Materi pertama (al-hayula al-ula)
d.      Potensi jiwa universal (at-tabi’ah al-fa’ilah)
e.       Materi absolute (al-hayula as-tsani)
f.       Alam falak (‘alam al-falak)
g.      Unsur-unsur alam yang lebih rendah (‘anasir al-‘alam as-sufla)
h.      Objek-objek gabungan dari mineral, tumbuh-tumbuhan dan hewan.

            Sementara manusia termasuk dalam kelompok hewan, tetapi hewan yang berbicara dan berpikir.
            Mengetahui tentang penciptaan alam oleh Allah SWT merupakan pengetahuan yang penting menurut Ikhwan Al-Safa, karena mendorong manusia untuk berpikir. Memikirkan bagaimana, kenapa dan mengapa alam ini diciptakan.
            Proses penciptaan secara emanasi menurut mereka terbagi menjadi dua. Pertama, pencipta sekaligus (daf’atan wāhidatan) yang mereka sebut dengan alam rohani, yakni akal aktif, jiwa universal dan materi pertama. Kedua, pencipta secara gradual (tadrîj) yang mereka sebut sebagai alam jasmani, yakni materi absolut atau materi kedua dan seterusnya.
            Tentang alam semesta menurut Ikhwan Al-Safa bukan qadim, tetapi baharu. Karena alam semesta ini diciptakan Allah dengan cara emanasi gradual, mempunyai awal dan akan berakhir pada masa tertentu.[12]


3.      An-Nafs  
            Jiwa manusia bersumber dari jiwa universal. Dalam perkembangannya jiwa manusia banyak dipengaruhi materi yang mengitarinya. Agar tidak kecewa dalam perkembangannya, maka jiwa dibantu oleh akal yang merupakan daya bagi jiwa untuk berkembang.
            Pengetahuan  diperoleh melalui proses barpikir. Anak-anak pada mulanya seperti kertas putih yang bersih dan belum ada coretan. Lembaran putih tersebut akan tertulis dengan adanya tanggapan panca indra yang menyalurkan ke otak bagian depan yang memiliki daya imajinasi (al-quat al-mutahkayyilat). Dari sini meningkat ke daya berpikir (al-quat al-mufakkirat) yang terletak pada otak bagian tengah. Pada tingkat ini manusia sanggup membedakan antara benar dan salah, antara baik dan buruk. Setelah itu, disalurkan ke daya ingatan (al-quat al-hāfizhat) yang terdapat pada otak bagian belakang. Pada tingkat ini seseorang telah sanggup menyimpan hal-hal yang abstrak yang diterima leh daya berpikir. Tingkatan terakhit adalah daya berbicara (al-quat al-nātiqat), yaitu kemampuan mengungkapkan pikiran dan ingatan itu melalui tutur kata yang bermakna kepada pendengar atau menuangkanya lewat bahasa tulis kepada pembaca.
            Manusia selain mempunyai indra zahir juga memiliki indra batin, yang berfungsi mengolah hal-hal yang ditangkap oleh indra zahir sehingga melahirkan konsep-konsep.
Dalam tubuh manusia, jiwa memiliki tiga fakultas:
a.       Jiwa tumbuhan
Jiwa ini dimiliki oleh semua makhluk hidup: tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia. Jiwa ini terbagi dalam tiga daya: makan, tumbuh, dan terproduksi.
b.      Jiwa hewan
Jiwa ini hanya dimiliki oleh hewan dan manusia. Ia terbagi menjadi dua daya: penggerak dan sensasi (persepsi dan emosi).
c.       Jiwa manusia
Jiwa ini hanya dimiliki manusia. Jiwa yang menyebabkan manusia berpikir dan berbicara.
            Ketiga fakultas di atas bersama dengan daya-dayanya bekerja sama  dan menyatu dalam diri manusia. Di sinilah letak kelebihan manusia dari makhluk ciptaan Allah yang lain.
            Sementara itu, tentang kebangkitan di akhirat, Ikwan Al-Safa sama pendapatnya dengan filosof muslim pendahulunya, yakni kebangkitan berbentuk rohani. Surga dan neraka dipahami dalam makna hakikat. Surga adalah kesenangan dan neraka adalah penderitaan.[13]


D.  Kesimpulan
       Ikhwan Al-Safa merupakan suatu kelompok yang merahasiakan gerakan pemikirannya, dikarenakan tidak sepemahamannya dengan pemerintah pada waktu itu. Gerakan ini ingin mengembalikan masyarakat untuk berfikir secara rasional. Untuk memperluas gerakannya, kelompok Ikhwan Al-Safa mengajak orang lain yang berminat pada keilmuan dan kebenaran dengan tetap menjaga kerahasiaannya. Ikhwan Al-Safa sangat selektif memilih anggota, tidak semua orang bisa masuk menjadi kelompok ini.
Ikhwan Al-Safa menganggap semua mazhab itu sama karena semuanya berakhir kepada pengabdian kepada sang khaliq yaitu Tuhan. Dalam filsafat ketuhanan Ikhwan Al-Safa dipengaruhi oleh pythagoras dan plotinus sehingga dalam memahaminya mengumpamakan dengan angka-angka. Tuhan lebih dahulu dari segala sesuatu.
Mengetahui tentang penciptaan alam akan mendorong manusia untuk berfikir. Memikirkan bagaimana, kenapa dan mengapa alam ini diciptakan. Karena alam semesta ini mempunyai awal dan akan berakhir pada masa tertentu.
Jiwa manusia mempunyai potensi berfikir (haiwan an-nātiq) yang dapat menangkap pengetahuan yang menjadi esensi dari kehidupan. Karena manusia diberikan tiga hal yang membuat manusia menjadi manusia yang sempurna diantaranya jiwa tumbuhan, hewan dan manusia. Apabila dapat digunakan dengan sebaiknya, dan mendatangkan kebaikan maka manusia itu adalah manusia yang sempurna dan memperoleh kebahagian.

DAFTAR PUSTAKA

A. Farrukh dalam M.M. Syarif, Omar, (editor), Aliran-Aliran Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2002)
Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam, ( Jakarta: Departemen Agama RI, 1992/1993)
Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, (terj.) oleh Zaimul Am, (Bandung: Mizan, 2002)
Nasution, Harun, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Djambatan, 1992)
Zar, Sirajuddin, Filsafat dan filsafatnya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009)




[1] . Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam, ( Jakarta: Departemen Agama RI, 1992/1993), h. 437
[2] . Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007, h. 139
[3] . Ibid
[4] . Harun Nasution, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 413

[6] . Harun Nasution, Op.Cit., h. 413
[7] . Sirojuddin Zar, Op.Cit., h. 141
[8] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, (terj.) oleh Zaimul Am, (Bandung: Mizan, 2002), hal. 64.
[9] . Omar A. Farrukh dalam M.M. Syarif (editor), Aliran-Aliran Filsafat Islam, hal. 182
[10] . Sirajuddin Zar, Filsafat dan filsafatnya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.146-147
[11] . Ibid
[12] . lihat, Sirajuddin Zar,  Op.Cit. h. 149-150
[13] . Ibid, h. 152-153

Tidak ada komentar:

Posting Komentar