Senin, 15 Februari 2016

QADHA DINASTI ABBASIYAH DAN DINASTI UMMAYAH MASA TAQLID DAN FAKTOR-FAKTOR PENYEBABNYA

PENDAHULUAN
Peradilan (Al-Qadha) adalah merupakan suatu lembaga yang telah dikenal sejak dari zaman purba sampai dengan masa sekarang ini dan dia adalah merupakan sebuah kebutuhan yang tak dapat ditawar-tawar keberadaannya sebab lembaga peradilan adalah merupakan salah satu prasyarat tegaknya pemerintahan dalam rangka menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara para warga negara. Peradilan dalam istilah modern dikenal dengan istilah Yudikatif yang keberadaannya setara dengan eksekutif dan legislatif..
Peradilan adalah merupakan tugas suci yang diakui oleh seluruh bangsa, baik mereka yang tergolong bangsa-bangsa yang masih terbelakang maupun bangsa-bangsa yang tergolong sudah maju. Di dalam peradilan itu terkandung menyuruh perbuatan maâruf dan mencegah perbuatan munkar, menyampaikan hak kepada yang berhak menerimanya dan menghalangi orang yang zhalim daripada berbuat aniaya, serta mewujudkan perbaikan umum. Dengan peradilanlah dilindungi jiwa, harta dan kehormatan. Apabila sebuah bangsa atau negara tidak mempunyai peradilan, maka bangsa atau negara itu termasuk dalam kategori bangsa yang kacau balau sebab hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Betapapun baiknya sebuah peraturan perundang-undangan pada sebuah negara, apabila lembaga peradilannya tidak ada, maka peraturan perundang-undangan yang sangat baik itu tidak akan berarti apa-apa, sebab tidak ada yang menjalankan dan mengawasi pelaksanaannya.
Oleh karena itulah maka sejarah peradaban dunia yang pernah kita kenal, memperlihatkan kepada kita tentang peraturan perundang-undangan dan lembaga peradilannya seperti undang-undanga Hammurabi dari Timur, Pemerintahan Assiria yang datang sesudahnya, Pemerintahan Israil dan Pemerintahan Arab sebelum datangnya Islam, Pemerintahan Islam sendiri dan Pemerintahan modern sekarang ini. Kesemua pemerintahan itu mempunyai lembaga peradilan masing-masing sesuai dengan tingkatan pemikiran dan dinamika ummat manusia pada masa itu.

QADHA DINASTI ABBASIYAH DAN DINASTI UMMAYAH
MASA TAQLID DAN FAKTOR-FAKTOR PENYEBABNYA

I.                   DAULAH BANI UMAYYAH
A.    Kelahiran Daulah Umayyah
Mu’awiyah dinobatkan sebagai khlaifah di ilya’ (Yarussalem) pada 40 H/660M, dengan penobatannya itu, ibu kota Provinsi Suriah, Damaskus berubah menjadi ibukota kerajaan Islam. Meskipun telah resmi dinobatkan sebagai khalifah. Mu’wiyah memiliki kekuasaan yang terbatas kerena beberapa wilayah Islam tidak mengakui kekhalifahannya. Selama proses arbitrase berlangsung ‘A,r ibn ‘Ash, tangan kanan Mu’awiyah, telah merebut Mesir dari tangan pendukung Ali. Meskipun demikian, para pendukung di wilayah Irak mengangkat al-Hasan, putra tertua Ali sebagai penerus Ali yang sah, sedangkan penduduk di Mekkah dan Madinah tidak memilki loyalitas yang kokoh kepadapenguasa dari keturunan Sufyan, karena mereka baru mengakui kenabian Muahmmad pada saat penaklukan Mekah. Selain itu, pengakakuan keislaman mereka lebih merupakan upaya menyelamatkan kehormatan, didasari keyakinan yang jujur.[1]
Dinasti Umayyah mulai terbentuk sejak terjadinya peristiwa tahkim pada masa Perang Siffin. Perang yang dimaksudkan untuk menuntut balas atas kematia khalifah Utsman bin Affan itu, semula akan dimenangkan oelh pihak Ali, tetapi melihat galagat kekalahan itu, Mua’awiyah segera mengajukan usul kepada pihak Ali untuk kembali kepada hukum Allah.
Dalam peristiwa tahkim ini, Ali telah terperdaya oleh taktik dan siasat Mu’wiyah yang pada akhirnya ia mengalami kekalahan secara pilitis. Sementara itu, Mu’awiyah mendapat kesempatan untuk mengangkat dirinya sebagai khalifah sekaligus raja.
Jalaluddin al-Sayuti menjelaskan bahwa dengan jatuhya khalifah Ali dari kursi kekhalifahan, mulailah Dinasti Umayyah menancapkan kekuasaannya yang diprakarsai oleh tokoh utamanya yaitu Mu’awiyah bin abi Sofyan. Mu’awiyah tampil sebagai penguasa pertama yang telah mengubah system pemerintahan Islam, dari system pemerintahan yang bersifat demokrasi kepada system pemerintahan monarki absolut.[2]
Dinasti Umayyas berkuasa selama 89 tahun, yakni 661 M/ 41H sampai dengan 750M/ 132 H selama kurang waktu tersebut terdapat 14 orang khalifah yang pernah memerintah.
Menurut M.A Shaban semua khalifah Dinasti Umayyah tidak ada yang diangkat melalui Mejelis Syuro, melainkan menggunakan system waris sebagaimana layaknya sebuah kerajaan. Oleh karena itu, menurut Abu A’la Maududi mereka tak patas mendapat sebutan khalifah sebagaimana layaknya Khulafa Rasyidin. Mereka telah melakukan perubahan suksesi dan system musyawarah yang melibatkan umat secara terbuka, terutama dalam hal-hal kebijakan secara umum, seperti yang biasa dilakukan oleh Khulafa Rasyidi  dulu[3].
B.     Pembentukan Tata Politik Islam-Arab
Sejarah pembentukan tata politik Islam pada masa Bani Umayyah, lebih menonjolkan gaya politik Arabnya. Menurut Ali Husni Al-Kharbuthily, Mu;awiyah sebagai pendiri pertama dinasti Umayyah adalah orang yang sangat cerdik dan ahli di bidang siayasah. Oleh karena itu pada awal berdirinya dynasty ini membagi wilayah kekuasaan menjadi lima front kekuasaan politik, yaitu:
1.      Front Jazirah Arab yang meliputi Hijaz, Yaman, Makkah dan Madinah,
2.      Front Mesir yang mencakup seluruh wilayah Mesir,
3.      Front Irak yang mencakup wilayah-wilayah Teluk Persia, Aman, Bahrain, Sijistan, Kirman, Khurasan sampai ke Punjab India.
4.      Front Asia Kecil yang mencakup wilayah Armenia dan Azerbaijan, dan
5.      Front Afrika yang mencakup wilayah Barbar, Andalusia dan Negara-negara disekitar laut tengah.
Dengan bermacam-macam cara dan strategi, bahkan dengan menggunakan kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak akhirnya Mu’awiyah berhasil menduduki jabatan khalifah pada tahun 661 M. setelah lebih kurang memerintah selama 19 tahun, ia wafat pada tahun 680 M. Ia dipandang sebagai pendiri Dinasti Umayyah dan telah banyak melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan baru dalam politik, pemerintahan da lain-lain.
Selama pemerintahan, Mu’awiyah tidak mendapat kritikan oelh pemuka dan tokoh umat Islam, kecuali setelah ia mangkat anaktnya Yazid menjadi Putra Mahkota. Bahkan sebelum peristiwa tersebut, suasana secara umum berjalan dengan stabil dan baik, sehingga dengan demikian ia dapat melakukan pemerintahan dan penyiaran Islam. Kebijakan politik yang dilakukan pada masa ini seperti:[4]
C.     Kemajuan-Kemajuan yang Dicapai :
  1. Bani Umayyah berhasil memperluas daerah kekuasaan Islam ke berbagai penjuru dunia, seperti Spanyol, Afrika Utara, Suria, Palestina, Semenanjung Arabia, Irak, sebagian kecil Asia, Persia, Afghanistan, Pakistan, Rukhmenia, Uzbekistan dan Kirgis.
  2. Islam memberikan pengaruh bagi kehidupan masyarakat luas. Sikap fanatik Arab sangat efektif dalam membangun bangsa Arab yang besar sekaligus menjadi kaum muslimin atau bangsa Islam. Setelah pada saat itu bangsa Arab merupakan prototipikal dari bangsa Islam sendiri.
  3. Telah berkembang ilmu pengetahuan secara tersendiri dengan masing- masing tokoh spesialisnya. Antara lain, dalam Ilmu Qiro’at (7 qiro’at) yang terkenal yaitu Ibnu Katsir (120H), Ashim (127H), dan Ibnu Amr (118H).5 Ilmu Tafsir tokohnya ialah Ibnu Abbas (68H) dan muridnya Mujahid yangpertama kali menghimpun tafsir dalam sebuah suhuf, Ilmu Hadits dikumpulkan oleh Ibnu Syihab Az-Zuhri atas perintah Umar bin Abdul Aziz, tokohnya ialah Hasan Al-Basri (110H), Sa’id bin Musayyad, Rabi’ah Ar-Ra’iy guru dari Imam Malik, Ibnu Abi Malikah, Sya’bi Abu Amir bin Syurahbil. Kemudian Ilmu Kimia dan Kedokteran, Ilmu Sejarah, Ilmu Nahwu, dan sebagainya.
  4. Perkembangan dalam hal administrasi ketatanegaraan, seperti adanya Lembaga Peradilan (Qadha), Kitabat, Hajib, Barid dan sebagainya.
D.    Kedudukan Amir al-Mu’minin
Pada masa Dinasti Bani Umayyah, Amiryl Mu’minin bertugas sebagai khalifah dalam bidag temporar (politik), sedangkan urusan keagamaan diurus oleh para ulama. Hal ini berbeda dengan Amirul Mu’minin pada masa Khualfa Rasyidin yangmana khalifah disamping kepala politik juga kepala agama. Pada masa Umayah ini khalifah diangkat secara turun temurun dari keluarga Umayah.
E.     Peradilan
Ciri Khas Peradilan Islam Di Masa Bani Umayah
Pada zaman Dinasti Umayah, al-qadha dikenal dengan al-Nizham al-Qadhaaiy (organisasi kehakiman), dimana kekuasaan pengadilan telah dipisahkan dari kekuasaan politik. ada dua ciri khas peradilan pada masa Bani Umayah, yaitu:[5]
a.       Hakim memutuskan perkara menurut hasil Ijtihadnya sendiri, dalam hal-hal yang tidak ada nash atau Ijma, Ketika itu mazhab belum lahir dan belum menjadi pengikat bagi putusan-putusan hakim. Para hakim pada masa itu berpedoman kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
b.      Lembaga peradilan pada masa itu belum dipengaruhi oleh penguasa. Hakim-hakim pada masa itu mempunyai hak otonom yang sempurna, tidak dipengaruhi oleh keinginan-keinginan penguasa. Putusan-putusan mereka tidak saja berlaku atas rakyat biasa, bahkan juga berlaku atas penguasa-penguasa sendiri. Dari sudut yang lain, Khalifah selalu mengawasi gerak-gerik hakim dan mencatat yang menyeleweng dari garis-garis yang sudah ditentukan
Pada zaman Bani Umayah ini, pengangkatan qadhi-qadhi yang bertugas di ibukota pemerintahan adalah Khalifah, sementara qadhi yang bertugas di daerah diserahkan pengangkatannya kepada kepala daerah. Sedangkan wewenang seorang hakim hanyalah memutuskan hukum suatu perkara, namun yang melaksanakan hasil putusan tersebut adalah Khalifah atau orang yang diperintahkan untuk melaksanakannya. Contoh: Hakim memutuskan hukuan terdakwa adalah qishash, sementara yang menjalankan hukum qishash tersebut adalah Khalifah sendiri.[6]
Hukuman yang biasanya diputuskan dalam pengadilan pada masa ini adalah dalam bentuk denda, skorsing, penjara, pemotongan anggota tubuh dan dalam beberapa kasus khusus seperti bid’ah dan murtad hukuman mati menjadi hukuman final.

Para hakim pada masa Umayah ini adalah manusia pilihan, yang bertaqwa melaksanakan hukum dengan adil, sementara khalifah menagwasi gerak-gerik dan tingkah laku mereka, sehingga kalau ada yang menyeleweng terus dipecat. Hal ini pernah diungkapkan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz “apabila seorang hakim memiliki lima sifat, maka sempurnalah dia, yaitu: mengetahui kejadian terdahulu, tidak mata duitan, tidak menaruh dendam, berteladan kepada Imam yang adil dan berteman dengan ahli ilmu dan ahli fikih”.[7]
Dalam pengadilan kategori ini dalam melakukan sidangnya langsung dibawah pimpinan Khalifah. Sebagaimana Khalifah Abdul Malik bin Marwan yang pernah menjadi ketua mahkamah mazhalim dalam menjalankan tugasnya sebagai ketua mahkamah mazhalim saat itu Khalifah Abdul Malik bin Marwan dibantu oleh orang pejabat penting lainnya, yaitu:
1.      Pembela, kelompok ini dipilih dari orang-orang yang mampu mengalahkan pihak terdakwah yang menggunakan kekerasan atau melarikan diri dari pengejaran pengadilan.
2.      Hakim, hakim yang berprofesi sebagai penasihat bagi kepala mahkamah al-mazhalim, sehingga dengan berbagai cara, apa yang menjadi hak pihak yang teraniaya dapat dikembalikan. Kepada seluruh yang hadir dapat dijelaskan tentang kasus yang terjadi dengan sesungguhnya.
3.      Ahli fikih, sebagai tempat para hakim mahkamah al-mazhalim mengembalikan perkara syariah yang sulit menentukan hukumnya
Ada beberapa catatan pada peradilan di masa Umayah yang menggambarkan perlunya ahli fikih, yaitu: pertama, setiap kota memiliki kemampuan untuk berijtihad dalam mengistimbatkan hukum, mereka inilah yang dijadikan qadhi untuk menyelesaikan perkara yang masuk. Mereka ahli ijtihad dan bukan taqlid. Kedua, Qadha dan fatwa dipandang sederajad. Fatwa dalam periode ini sama dengan qadha; yaitu fatwa qadhi dipandang putusan. Fatwa yang dikeluarkan qadhi menjadi hukum. Ketiga, putusan seorang qadhi tidak bisa dibatalkan oleh keputusan qadhi yang lain. Karena ijtihad tidak bisa membatalkan ijtihad.
4.      Sekretaris, bertugas mencatat perkara yang diperselisihkan dan mencatat ketetapan apa yang menjadi hak dan kewajiban pihak-pihak yang berselisih.
5.      Saksi, bertugas memberian keasaksian terhadap ketetapan hukum yang disampaikan oleh hakim yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Para Tokoh Qadhi dan Tugasnya
1.      Al-Qadhi Asisabi
Nama lengkapnya adalah Amir bin surah bin asy-sya’bi. Beliau merupakan seorang ulam tabi’in terkenal, lahir tahun 17 H. beliau adalah seorang hakim di kufah menggantikan Suraih. Beliau banyak menerima hadis dari Abu HUrairah, Ibn Abbas, isyah dan Ibnu umar. Dia juga adalah ahli fikih termasuk guru tertua Imam abu Hanifah.
2.      Al-Qadhi ijas
Nama lengkapnya adalah Abu Wailah Ijas bin MUawiyah bin Qurrah, merupakan qadhi dari khalifah bani umaiyah yang paling adil, cerdas, dan paling tepat firasatnya. Beliau hidup di masa pemerintahan khalifah Umar bin abdul aziz.
3.      Salim bin Ataz
Seorang hakim di daerah Mesir yang terkenal piawai dalam menyelesaikan perkara-perkara dan dialah permulaan hakim yang mencatat keputusannya. Dan menyusun yurisprudensi pada masa pemerintahan muawiyah.
Adapun instansi dan tugas kehakiman di masa bani umaiyah dapat dikategorikan menjadi tiga macam yaitu :
a.        Al Qadha merupakan tugas qadhi dalam menyelesaikan perkara-perkar ayang berhubungan dengan agama. Di samping itu badan ini juga mengatur institusi wakaf, harta anak yatim dan orang yang cacat mental.
b.      Al Hisbah merupakan tugas al muhtasib (kepala hisbah) dalam menyelesaikan perkar-perkara umum dan soal-saoal pidana yang memerlukan tindakan cepat. Pada masa Rasulullah saw, peradilan hisbah ini sudah ada.
c.       Al Nadhyar fi al-Mazhalim merupakan mahkamah tinggi atau mahkamah banding dari mahkamah di bawahnya( al qadha dan al hisbah). Lembaga ini juga dapat mengadili para hakim dan pembesar yang berbuat salah. 

II.                DAULAH BANI ABBASIYAH
A.    Pendirian Bani Abbasiyah
Ketika semakin tua, Bani Umayyah dipimpin oleh para pemimpin lemah yang tidak mampu melawan segala bentuk kelemahan system. Bahhkan Marwan bin Muhammad, Khalifah terakhir Ban Uamyyah diberi julukan “Marwan Al-Hammar” (Marwan Pengembala keledei).
Kemudian Bani Umayyah digantikan oleh Bani Abbasiyah yang pada awal kekuasaannya dipimpin oleh para khalifah yang kuat, seperti Abu Ja’far Al-Manshur, Harun Ar-Rasyid, dan Al-Makmum. Negara tersebut bertahan selama beberapa abad. Pada masa daulah ini, peradaban Islam mengalami kegemilangan.[8]



B.     Kemajuan Masa Bani Abbasiyah
Masa ini adalah masa keemasan atau masa kejayaan umat Islam sebagai pusat dunia dalam berbagai aspek peardaban. Kemajuan itu hamper mencakup semua aspek kehidupan.
1.      Administratif pemerintahan dengan biro-bironya
Dalam menjalankan sistem pemerintahannya Dinasty Abbasiyah memilki kantor pengawasan (dewan Az-zimani) yang pertamakali diperkenalka oleh Al-Mahdi, dewan korespondensi atau kantor arsip (dewan at-tawqi) yang menangani surat resmi, dokumen politik serta instruksi dan ketetapan khalifah, dewan penyelidik keluhan, departemen kepolisan dan pos. dewan penyelidik keluhan (dewan an-nazhar fi al-mazhalini) adalah sejenis pengadilan tinggi tingkat banding, atau pengadilan tinggi untuk menangani kasus-kasus yang ditangani secara keliru pada departemen administratif dan politik.
Cikal bakal dewan ini dapat dilacak pada masa Dinasty Umayyah, karena Al-Mawardi meriwayatkan bahwa Abd AlMalik adalah khalifah pertama yang menyediakan satu hari khusus untuk mendengan secara langsung permohonan dan keluhan rakyatnya. Umar II meneruskan praktik tersebut. Praktik ini kemudian diperkenalka oleh al-Mahdi ke dalam pemerintahan Dinasty Abbasiyah.
2.      Sistem organisasi militer
Sistem organisasi militer terorganisasi dengan baik, berdisiplin tinggi, serta mendapat pelatihan dan pengajaran secara teratur.
3.      Administrasi wilayah pemerintahan
Pada masa pemerintahan Abbasiyah periode I, kebijakan-kebijakan politik yang dikembangkan antara lain:
a.       Memindahkan ibu kota Negara dari Damaskus ke Baghdad
b.      Memusnahkan keturunan Bani Umayyah
c.       Merangkul orang-orang Persia, dalam rangka politik memperkuat diri, Abbasiyah member peluang dan kesempatan yang besar kepada kaum mawali,
d.      Manumpas pemberontakan-pemberontakan
e.       Menghapus politik kasta.
4.      Pertanian, peradagangan dan industri
5.      Islamisasi pemerintahan
6.      Kajian dalam bidang kedokteran, astronomi, matematika, geografi, filsafat Islam, teologi, hukum (fikih) da etika Islam, sastra, seni dan penerjemahan.
7.      Pendidikan kesenian, arsitektur, meliputi pendidikan dasar (kuttab), menengah, dan perguruan tinggi, perpustakaan dan tokok buku, media tulis, seni rupa, arsitektur dan seni musik. [9]
C.    Peradilan
Peradilan Di Masa Bani Abbasiyah
Ciri khas peradilan Islam di masa Bani Abbasiyah. Jika pada masa Khulafa’ al-rasyidin  dan Umayah Khalifah memegang kekuasaan yudikatif dan eksekutif, maka pada masa ini khalifah tidak lagi terlibat dalam urusan peradilan. Setiap perkara yang masuk ke pengadilan para hakim yang ditunjuk oleh khalifahlah yang akan mengusut perkara tersebut. Hal ini mengingat bahwa pada saat itu khalifah Abbasiyah sedang giat-giatnya memikirkan persoaan politik baik dalam negri maupun luar negri.
Putusan-putusan para qadhi pada masa ini dipengaruhi mazhab-mazhab yang telah muncul pada saat itu. Seorang qadhi di Irak memutuskan perkara yang berpedoman pada mazhab Syafi’i, di syam dan Maghribi hakim memutuskan perkara berdasarkan pada mazhab Maliki dan di Mesir hakim memutuskan perkara berpedoman pada mazhab Syafi’i.
 Awal mula Qadhi al-Qudha’ (Mahkamah Agung). Pada saat kendali pemerintahan dipegang oleh Dinasti Abbasiyah , kemajuan peradaban telah semakin meluas. Agama islam telah berkembang ke berbagai daerah, para fuqaha’ telah berpencar ke berbagai negeri serta bermacam-macam kasus dan hal ihwal umat Islam telah banyak pula yang terjadi dan berkembang. Karena itu maka terjadiah perbedaan pendapat diantara ahli-ahli fiqh, sehingga muncullah istilahaat fiqhiyyah (istilah-istilah fiqh) yang melahirkan ulama-ulama fiqh dan mazhabnya
Fokus perhatian ulama fikih dan mazhab pada masa ini adalah masalah kehakiman (peradilan). Diantaranya adalah
1.      Hukum membentuk lembaga peradilan dan mengangkat qadhi.
2.      Hukum mewilayahi peradilan (hak menjabat jabatan qadhi).
3.      Hukum berusaha supaya dijadikan qadhi dan mengendalikan kehakiman
4.        Menentukan keahlian para qadhi
5.      Menetapkan sifat-sifat qadhi.
6.      Pekerjaan-pekerjaan qadhi (keweajiban-kewajiban qadhi) dalam persidangan
7.      Pengangan qadhi dalam menetapkan hukum
8.      Masalah yang berkaitan dengan kehakiman dan qadhi (hakim).
Untuk menjadi hakim atau qadhi dalam Islam, ada beberapa syarat yang harus dimiliki
1.      Memiliki sifat-sifat seperti yang digambarkan oleh Ali bin Abi Thalib, yakni: tidak mempersempit perkataan, tidak memeperluas perselisihan, tidak larut dalam permasalahan, tidak berat kembali kepada kebenaran jika mengetahuinya, tidak mengarahkan dirinya kepada ketamakan, tidak menganggap cukup dengan pemahaman yang minimal dengan mengabaikan yang optimal, paling tegar sifatnya, paling bagus hujjahnya, paling sedikit kebosanannya dalam mengoreksi, paling sabar dalam memaparkan perkara, paling tegas ketika menjelaskan keputusan, bukan orangmudah tertarik sanjungan dan tiadak condong kepada permusuhan. Selanjutnya amat cermat dalam mengambil keputusan, senang menginfakkan hartana dijalan Allah SWT sehingga terhindar dari penyakit butuh pemberian manusia
  1. Memiliki sifat tegar, bersih, iffah (menghindari syubhat), santun, dan mengetahui peradilan dan tradisi yang telah berlaku sebelumnya.
Sementara itu dalam pandangan fikih Islam secara umum, hakim mesti memeiliki sifat-sifat: pertama, harus orang dewasa; kedua, seorang yang berakat; ketiga, muslim; keempat, adil yaitu benar sikapnya, jelas amanatnya, menjaga diri dari hal-hal yng haram, dan amandari ridha ketika marah; kelima,mengetahui hukum-hukum syariah, baik dasar-dasar syariah maupun cabang-cabangnya; keenam, sehat pendengaran, penglihatan dan ucapan. Pada masa pemerintahan Abbasiyah, qadhi diangkat oleh Khalifah dari kalangan ulama yang memiliki sifat-sifat sebagaimana digambarkan di atas dengan gelar qadhi al-qudha’. Orang yang pertama menjabat dan mendapat sebutan ini adalah Abu Yusuf, seorang murid yang  juga sahabat dari Imam Abu Hanifah.
Secara umum kewenangan badan-badan peradilan yang berada dibawah naungan Mahkamah Agung sebagai kekuasaan yudikatif adalah
a.       Al-Qadha
Al-Qadha’ adalah lembaga yang berfungsi member penerangan dan pembinaan hukum, menyelesaikan perkara sengketa, perselisihan dan maslah wakaf. Lembaga ini telah dirintis sejak zaman Rasulallah Saw., dan disempurnakan pada msa sesudahnya, terutama Dinasti Umayah dan Abbasiyah. Pada masa Dinasti Abbasiyah setiap perkara diselesaikan dengan berpedoman pada mazhab masing-masing yang dianut oleh masyarakat.
b.      Al-Hisbah
Al-Hisbah adalah salah satu badan pelaksana kekusasaan kehakiman dalam Islam yang bertugas untuk menegakkan kebaikan dan mencegah kezaliman. Pejabat yang Hisbah disebut muhtasib. Tugasnya menangani kasus kriminal yang penyelesaiannya perlu segera, mengawasi hukum, menhatur ketertiban umum, mencegah terjadinya pelanggaran hak tetangga serta menghukum orang yang mempermainkan hukum syara
c.       Al-Mazhalim
Al-Mazhalim adalah salah satu komponen peradilan yang berdiri sendiri dan merupakan peradilan untuk mengurusi penyelesaian erkara perselisihan yang terjadi antara rakyat dan negara. Selain itu ia juaga menangani menangani kasus-kasus penganiayaan yang dilakukan oeh pejabat tinggi, bangsawan, hartawan, atau keluarga sultan terhadap rakyat biasa. Secara operasional qadhi al-mazhalim bertugas menyelesaikan masalah yang tidak dapat diputuskan oleh diwan al-qadha’ dan diwan al-muhtasib, serta meninjau kembali putusan yang dibuat oleh kedua hakim tersebut atau menyelesaikan perkara banding.
  1. Al-Mahkamah Al-‘Askariyah
Selain tiga peradilan diatas, pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah juga dibentuk mahkamah/peradilan militer (al-Mahkamah al-Askariyah) dengan hakimnya adalah qadhi al-‘askar atau qadhi al-jund. Posisi ini sudah ada sejak zaman sultan Shalahuddin Yusuf bin Ayub. Tugasnya adalah menghadiri sidang-sidang di Dar al-Adl, terutama ketika persidangan tersebut menyangkut anggota militer atau tentara.
Organisasi Kehakiman
Perubahan lain yang terjadi pada masa Daulah Abbasiyah adalah para hakim tidak lagi berijtihad dalam memutuskan perkara, tetapi mereka berpedoman pada kitab-kitab mazhab yang empat atau mazhab lainnya. Dengan demikian, syarat hakim harus mujtahid sudah ditiadakan. Kemudian oragnisasi kehakiman juga mengalami perubahan, antara lain telah diadakan jabatan penuntut umum (kejaksaan) disamping telah dibentuk instansi diwan qadhi al-qudhah, sebagai berikut:
a)      Diwan Qadhi al-Qudhah (fungsi dan tugasnya mirip dengan Departemen Kehakiman) yang dipimpin oleh qadhi al-qudha’ (ketua Mahkamah Agung). Semua badan-badan pengadilan dan badan-badan lain yang ada hubungannya dengan kehakiman berada dibawah diwan qadhi al-qudhah
b)      Qudhah al-Aqaali (hakim provinsi yang menegetuai Pengadilan Tinggi).
c)      Qudhah al-Amsaar (hakim kota yang mengetuai Pengadilan Negeri; al-Qadhau atau al-Hisbah).
d)     Al-sulthah al-Qadhaiyah, yaitu jabatan kejaksaan di ibukota negara dipimpin oleh al-Mudda’il Ummy (Jaksa Agung), dan tiap-tiap kota oleh Naib Ummy (jaksa).
e)      Luasnya wewenang hakim
Perbedaan masa Abbasiyah dengan masa sebelumnya adalah ketika masa Khulafa’ al-Rashidin dan masa Ummayah mereka memegang kekuasaan Yudikatif dan ekskutif, maka pada masa ini khalifah tidak lagi terlibat dalam urusan peradilan. Dalam artian khalifah tidak lagi mengurus dan memeriksa perkara-perkara yang diajukan oleh umat Islam ke pengadilan. Setiap perkara yang masuk ke pengadilan, maka para hakim yang ditunjuk oleh khalifah-lah yang akan mengusut perkara tersebut. Hal ini bisa dimengerti mengingat bahwa pada saat itu khalifah Abbasiyah sedang giat-giatnya memikirkan persoalan politik, baik dalam negeri maupun luar negeri, sehingga tidak memiliki kesempatan lagi untuk membina peradilan secara langsung. Sehingga yang terjadi adalah khalifah tidak lagi memiliki kemampuan ijtihad dan keahlian dalam hukum Islam sebagaimana keahlian yang dimiliki oleh Khulafa’ al-Rashidin yang disamping sebagai seorang khalifah juga seorang ahli hukum.
Pada pada awalnya dinasti Abbasiyah berusaha mengendalikan setiap putusan yang dijatuhkan oleh peradilan, akan tetapi pada masa-masa berikutnya karena berbagai faktor campur tangan itu akhirnya ditinggalkan. Khalifah akhirnya hanya membuat regulasi yang sifatnya umum dan formalitas belaka, seperti pengangkatan hakim-hakim daerah yang setiap hakim itu pada akhirnya memiliki otorita dan independenitas yang tinggi. Kalau dalam masa-masa yang telah lalu, batas wewenang hakim begitu luasnya, maka dalam masa ini bertambah lagi. Dalam masa ini, hakim-hakim itu di samping memperhatikan urusan-urusan perdata, bahkan juga menyelesaikan urusan wakaf, dan menunjukkan pengampu (kurator) untuk anak-anak di bawah umur. Bahkan kadang-kadang para hakim ini diserahkan juga urusan-urusan kepolisian, penganiayaan (mazalim) yang dilakukan oleh penguasa, qishas, hisbah, pemalsuan mata uang dan bait al-mal (kas negara). Salah seorang hakim yang terkemuka pada saat itu adalah Yahya ibn Aktsam ash-Shafi yang diangkat oleh al-Makmun.[10]
Dalam hal ini Ibnu Khaldun mengatakan bahwa, kedudukan peradilan selain untuk menyelesaikan perkara-perkara sengketa, bertugas juga memelihara hak-hak umum, memperhatikan keadaan anak-anak di bawah umur, orang yang tak cakap bertindak secara hukum, seperti anak yatim, orang gila, orang failit, dan lain-lain, serta mengurus harta-harta warisan, wakaf, menjadi wali bagi wanita-wanita yang tidak memiliki wali dan memperhatikan kemaslahatan-kemaslahatan lalu lintas, pembangunan dan memeriksa keadaan-keadaan saksi agar dapat diketahui mana saksi yang adil dan yang tidak.

D.    Kemunduran Dinasti Abbasiyah
Faktor-faktor penyebab kemunduran
1.      Faktor Intern
a.       Kemewahan hidup dikalangan penguasa
b.      Perebutan kekuasaan antara keluarga Bani Abbasiyah
c.       Konflik keagamaan
Sejak terjadinya konflik antara Muawiyah dari khalifah Ali dan berakhir dengan lahirnya tiga kelompok umat, pengikut Muawiyah, Syi’ah dan Khawarij, ketiga kelompok ini senantiasa berebut pengaruh.
2.      Faktor eksteren
a.       Banyaknya pemberontakan
Banyaknya daerah yang tidak dikuasai oleh khalifah, akibat kebijakan yang lebih menetukan pada pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam, secara real, daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaan gubernur-gubernur yang bersangkutan. Akibatnya banyak yang melepaskan diri dari genggaman penguasa Bani Abbas. 
b.      Dominasi bangsa Turki
Sejak abad kesembila, kekuatan militer Abbasiyah mulai mengalami kemunduran. Sebagai gantinya, para penguasa Abbasiyah memperkejakan orag-orang professional dibidang kemiliteran khususnya tentara Turki, kemudian mengangkatnya menjadi panglima-panglima. Pengangkatan inilah dalam perkembangan selanjutnya mengancam kekuasaan Khalifah. Tentara Turki berhasil merebut kekuasaan tersebut. Walaupun khalifah dipegang oleh Bani Abbas, di tanga mereka, khalifah bagaikan boneka yang tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan merekalah yang memili dan menjatuhkan khalifah yang sesuai dengan politik mereka.
c.       Dominasi bangsa Persia
Masa kekuasaan Bangsa Persi (Banu Buyah) berjalan lebih dari 150 tahun. Pada masa ini, kekuasaan pusat di Baghdad dilucuti dan berbagai daerah muncul Negara-negara baru yang berkuasadan membuat kemajuan dan perkembangan baru.
Pada awal pemerintahan Bani Abbasiyah, keturunan Persia bekerja sama dalam mengelola pemerintahan dan Dinasti Abbasiyah mengalami kemajuan yang cukup pesat dalam segala bidang. Pada periode kedua, pada saat kekhalifahan Bani Abbasiyah sedang mengadakan pergantian khalifah, yaitu dari KHalifah Muttaqi (khalifah ke-22) kepada khalifah Muthie’ (khalifah ke-23) tahun 334







PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Dinasti Umayyas berkuasa selama 89 tahun, yakni 661 M/ 41H sampai dengan 750M/ 132 H selama kurang waktu tersebut terdapat 14 orang khalifah yang pernah memerintah. Peradilan pada masa ini terbagi atas instansi dan tugas kehakiman dapat dikategorikan menjadi tiga macam yaitu :
·          Al Qadha merupakan tugas qadhi dalam menyelesaikan perkara-perkar ayang berhubungan dengan agama.
·          Al Hisbah merupakan tugas al muhtasib (kepala hisbah) dalam menyelesaikan perkar-perkara umum dan soal-saoal pidana yang memerlukan tindakan cepat.
·          Al Nadhyar fi al-Mazhalim merupakan mahkamah tinggi atau mahkamah banding dari mahkamah di bawahnya( al qadha dan al hisbah).
Sedangkan pada masa Bani Abbasiyah peradilan dibagia atas empat, yaitu:
ü  Al-Qadha’.
ü  Al-Hisbah
ü  Al-Mazhalim
ü  Al-Mahkamah Al-‘Askariyah

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qardhawi Yusuf, Distorsi Sejarah Islam, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2005
Harun Maidir, Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, Padang, IAIN Press, 2001
Hasbi ash Shiddieqy Teungku Muhammad, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997
K. Hitti Philip, History of The Arab, Jakarta, Serambi Ilmu Semesta, 2010
Koto Alaidin, Sejarah Peradilan Islam, Jakarta: PT. Grafindo, 2011
Supriyadi Dedi, Sejarah Peradaban Islam, Badung, Pustaka Setia, 2008
Thohir Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004




[1] Philip K. Hitti, History of The Arab, (Jakarta, Serambi Ilmu Semesta, 2010), h. 236-236
[2] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 34
[3] Ibid, h. 35
[4] Maidir Harun, Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, (Padang, IAIN Press, 2001), h. 81
[5] Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), h, 20
[6] Alaidin koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: PT. Grafindo, 2011), h. 83-84.
[7] Ibid, h. 98-99
[8] Yusuf Al-Qardhawi, Distorsi Sejarah Islam, (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2005 ), h. 104
[9] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Badung, Pustaka Setia, 2008), h. 129-128
[10] Op cit, Alaidin kot, h. 115

Tidak ada komentar:

Posting Komentar