Peradilan
(Al-Qadha) adalah merupakan suatu lembaga yang telah dikenal sejak dari zaman
purba sampai dengan masa sekarang ini dan dia adalah merupakan sebuah kebutuhan
yang tak dapat ditawar-tawar keberadaannya sebab lembaga peradilan adalah
merupakan salah satu prasyarat tegaknya pemerintahan dalam rangka menyelesaikan
sengketa yang terjadi di antara para warga negara. Peradilan dalam istilah
modern dikenal dengan istilah Yudikatif yang keberadaannya setara dengan
eksekutif dan legislatif..
Peradilan
adalah merupakan tugas suci yang diakui oleh seluruh bangsa, baik mereka yang
tergolong bangsa-bangsa yang masih terbelakang maupun bangsa-bangsa yang
tergolong sudah maju. Di dalam peradilan itu terkandung menyuruh perbuatan
maâruf dan mencegah perbuatan munkar, menyampaikan hak kepada yang berhak
menerimanya dan menghalangi orang yang zhalim daripada berbuat aniaya, serta
mewujudkan perbaikan umum. Dengan peradilanlah dilindungi jiwa, harta dan
kehormatan. Apabila sebuah bangsa atau negara tidak mempunyai peradilan, maka
bangsa atau negara itu termasuk dalam kategori bangsa yang kacau balau sebab
hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Betapapun baiknya sebuah peraturan
perundang-undangan pada sebuah negara, apabila lembaga peradilannya tidak ada,
maka peraturan perundang-undangan yang sangat baik itu tidak akan berarti
apa-apa, sebab tidak ada yang menjalankan dan mengawasi pelaksanaannya.
Oleh
karena itulah maka sejarah peradaban dunia yang pernah kita kenal,
memperlihatkan kepada kita tentang peraturan perundang-undangan dan lembaga
peradilannya seperti undang-undanga Hammurabi dari Timur, Pemerintahan Assiria
yang datang sesudahnya, Pemerintahan Israil dan Pemerintahan Arab sebelum
datangnya Islam, Pemerintahan Islam sendiri dan Pemerintahan modern sekarang
ini. Kesemua pemerintahan itu mempunyai lembaga peradilan masing-masing sesuai
dengan tingkatan pemikiran dan dinamika ummat manusia pada masa itu.
QADHA DINASTI
ABBASIYAH DAN DINASTI UMMAYAH
MASA TAQLID DAN
FAKTOR-FAKTOR PENYEBABNYA
I.
DAULAH BANI UMAYYAH
A. Kelahiran Daulah Umayyah
Mu’awiyah dinobatkan sebagai
khlaifah di ilya’ (Yarussalem) pada 40 H/660M, dengan penobatannya itu, ibu
kota Provinsi Suriah, Damaskus berubah menjadi ibukota kerajaan Islam. Meskipun
telah resmi dinobatkan sebagai khalifah. Mu’wiyah memiliki kekuasaan yang
terbatas kerena beberapa wilayah Islam tidak mengakui kekhalifahannya. Selama
proses arbitrase berlangsung ‘A,r ibn ‘Ash, tangan kanan Mu’awiyah, telah
merebut Mesir dari tangan pendukung Ali. Meskipun demikian, para pendukung di
wilayah Irak mengangkat al-Hasan, putra tertua Ali sebagai penerus Ali yang
sah, sedangkan penduduk di Mekkah dan Madinah tidak memilki loyalitas yang
kokoh kepadapenguasa dari keturunan Sufyan, karena mereka baru mengakui
kenabian Muahmmad pada saat penaklukan Mekah. Selain itu, pengakakuan keislaman
mereka lebih merupakan upaya menyelamatkan kehormatan, didasari keyakinan yang
jujur.[1]
Dinasti Umayyah mulai terbentuk
sejak terjadinya peristiwa tahkim pada masa Perang Siffin. Perang yang
dimaksudkan untuk menuntut balas atas kematia khalifah Utsman bin Affan itu,
semula akan dimenangkan oelh pihak Ali, tetapi melihat galagat kekalahan itu,
Mua’awiyah segera mengajukan usul kepada pihak Ali untuk kembali kepada hukum
Allah.
Dalam peristiwa tahkim ini, Ali
telah terperdaya oleh taktik dan siasat Mu’wiyah yang pada akhirnya ia
mengalami kekalahan secara pilitis. Sementara itu, Mu’awiyah mendapat
kesempatan untuk mengangkat dirinya sebagai khalifah sekaligus raja.
Jalaluddin al-Sayuti menjelaskan
bahwa dengan jatuhya khalifah Ali dari kursi kekhalifahan, mulailah Dinasti
Umayyah menancapkan kekuasaannya yang diprakarsai oleh tokoh utamanya yaitu
Mu’awiyah bin abi Sofyan. Mu’awiyah tampil sebagai penguasa pertama yang telah
mengubah system pemerintahan Islam, dari system pemerintahan yang bersifat
demokrasi kepada system pemerintahan monarki absolut.[2]
Dinasti Umayyas berkuasa selama 89
tahun, yakni 661 M/ 41H sampai dengan 750M/ 132 H selama kurang waktu tersebut
terdapat 14 orang khalifah yang pernah memerintah.
Menurut M.A Shaban semua khalifah
Dinasti Umayyah tidak ada yang diangkat melalui Mejelis Syuro, melainkan
menggunakan system waris sebagaimana layaknya sebuah kerajaan. Oleh
karena itu, menurut Abu A’la Maududi mereka tak patas mendapat sebutan khalifah
sebagaimana layaknya Khulafa Rasyidin. Mereka telah melakukan perubahan
suksesi dan system musyawarah yang melibatkan umat secara terbuka, terutama
dalam hal-hal kebijakan secara umum, seperti yang biasa dilakukan oleh Khulafa
Rasyidi dulu[3].
B. Pembentukan Tata Politik Islam-Arab
Sejarah pembentukan tata politik Islam pada masa Bani Umayyah, lebih
menonjolkan gaya politik Arabnya. Menurut Ali Husni Al-Kharbuthily, Mu;awiyah
sebagai pendiri pertama dinasti Umayyah adalah orang yang sangat cerdik dan
ahli di bidang siayasah. Oleh karena itu pada awal berdirinya dynasty ini
membagi wilayah kekuasaan menjadi lima front kekuasaan politik, yaitu:
1. Front Jazirah Arab yang meliputi Hijaz, Yaman, Makkah dan
Madinah,
2. Front Mesir yang mencakup seluruh wilayah Mesir,
3. Front Irak yang mencakup wilayah-wilayah Teluk Persia, Aman,
Bahrain, Sijistan, Kirman, Khurasan sampai ke Punjab India.
4. Front Asia Kecil yang mencakup wilayah Armenia dan Azerbaijan,
dan
5. Front Afrika yang mencakup wilayah Barbar, Andalusia dan
Negara-negara disekitar laut tengah.
Dengan bermacam-macam cara dan strategi, bahkan dengan menggunakan
kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak
akhirnya Mu’awiyah berhasil menduduki jabatan khalifah pada tahun 661 M.
setelah lebih kurang memerintah selama 19 tahun, ia wafat pada tahun 680 M. Ia
dipandang sebagai pendiri Dinasti Umayyah dan telah banyak melakukan
kebijaksanaan-kebijaksanaan baru dalam politik, pemerintahan da lain-lain.
Selama pemerintahan, Mu’awiyah tidak mendapat kritikan oelh pemuka dan
tokoh umat Islam, kecuali setelah ia mangkat anaktnya Yazid menjadi Putra
Mahkota. Bahkan sebelum peristiwa tersebut, suasana secara umum berjalan dengan
stabil dan baik, sehingga dengan demikian ia dapat melakukan pemerintahan dan
penyiaran Islam. Kebijakan politik yang dilakukan pada masa ini seperti:[4]
C.
Kemajuan-Kemajuan
yang Dicapai :
- Bani Umayyah berhasil memperluas daerah kekuasaan
Islam ke berbagai penjuru dunia, seperti Spanyol, Afrika Utara, Suria,
Palestina, Semenanjung Arabia, Irak, sebagian kecil Asia, Persia,
Afghanistan, Pakistan, Rukhmenia, Uzbekistan dan Kirgis.
- Islam memberikan pengaruh bagi kehidupan masyarakat
luas. Sikap fanatik Arab sangat efektif dalam membangun bangsa Arab yang
besar sekaligus menjadi kaum muslimin atau bangsa Islam. Setelah pada
saat itu bangsa Arab merupakan prototipikal dari bangsa Islam sendiri.
- Telah berkembang ilmu pengetahuan secara tersendiri
dengan masing- masing tokoh spesialisnya. Antara lain, dalam Ilmu Qiro’at
(7 qiro’at) yang terkenal yaitu Ibnu Katsir (120H), Ashim (127H), dan
Ibnu Amr (118H).5 Ilmu Tafsir tokohnya ialah Ibnu Abbas (68H) dan
muridnya Mujahid yangpertama kali menghimpun tafsir dalam sebuah suhuf,
Ilmu Hadits dikumpulkan oleh Ibnu Syihab Az-Zuhri atas perintah Umar bin
Abdul Aziz, tokohnya ialah Hasan Al-Basri (110H), Sa’id bin Musayyad,
Rabi’ah Ar-Ra’iy guru dari Imam Malik, Ibnu Abi Malikah, Sya’bi Abu Amir
bin Syurahbil. Kemudian Ilmu Kimia dan Kedokteran, Ilmu Sejarah, Ilmu
Nahwu, dan sebagainya.
- Perkembangan dalam hal administrasi ketatanegaraan,
seperti adanya Lembaga Peradilan (Qadha), Kitabat, Hajib, Barid dan
sebagainya.
D. Kedudukan Amir al-Mu’minin
Pada masa Dinasti Bani Umayyah,
Amiryl Mu’minin bertugas sebagai khalifah dalam bidag temporar (politik),
sedangkan urusan keagamaan diurus oleh para ulama. Hal ini berbeda dengan
Amirul Mu’minin pada masa Khualfa Rasyidin yangmana khalifah disamping kepala
politik juga kepala agama. Pada masa Umayah ini khalifah diangkat secara turun
temurun dari keluarga Umayah.
E. Peradilan
Ciri Khas Peradilan Islam Di Masa Bani Umayah
Pada zaman Dinasti Umayah, al-qadha
dikenal dengan al-Nizham al-Qadhaaiy
(organisasi kehakiman), dimana kekuasaan pengadilan telah dipisahkan dari
kekuasaan politik. ada dua ciri khas peradilan pada masa Bani Umayah, yaitu:[5]
a. Hakim memutuskan
perkara menurut hasil Ijtihadnya sendiri, dalam hal-hal
yang tidak ada nash atau Ijma, Ketika itu mazhab belum
lahir dan belum menjadi pengikat bagi putusan-putusan hakim. Para
hakim pada masa itu berpedoman kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
b. Lembaga peradilan pada masa itu belum
dipengaruhi oleh penguasa. Hakim-hakim pada masa itu mempunyai hak otonom yang
sempurna, tidak dipengaruhi oleh keinginan-keinginan penguasa. Putusan-putusan
mereka tidak saja berlaku atas rakyat biasa, bahkan juga berlaku atas
penguasa-penguasa sendiri. Dari sudut yang lain, Khalifah selalu mengawasi
gerak-gerik hakim dan mencatat yang menyeleweng dari garis-garis yang sudah
ditentukan
Pada zaman Bani Umayah ini, pengangkatan qadhi-qadhi yang bertugas di ibukota pemerintahan adalah Khalifah,
sementara qadhi yang bertugas di
daerah diserahkan pengangkatannya kepada kepala daerah. Sedangkan wewenang
seorang hakim hanyalah memutuskan hukum suatu perkara, namun yang melaksanakan
hasil putusan tersebut adalah Khalifah atau orang yang diperintahkan untuk
melaksanakannya. Contoh: Hakim memutuskan hukuan
terdakwa adalah qishash, sementara
yang menjalankan hukum qishash
tersebut adalah Khalifah sendiri.[6]
Hukuman yang biasanya diputuskan dalam pengadilan pada masa ini adalah
dalam bentuk denda, skorsing, penjara, pemotongan anggota tubuh dan dalam
beberapa kasus khusus seperti bid’ah dan murtad hukuman mati menjadi hukuman
final.
Para hakim pada masa Umayah
ini adalah manusia pilihan, yang bertaqwa melaksanakan hukum dengan adil,
sementara khalifah menagwasi gerak-gerik dan tingkah laku mereka, sehingga
kalau ada yang menyeleweng terus dipecat. Hal ini pernah diungkapkan oleh
Khalifah Umar bin Abdul Aziz “apabila seorang hakim memiliki lima sifat, maka
sempurnalah dia, yaitu: mengetahui kejadian terdahulu, tidak mata duitan, tidak
menaruh dendam, berteladan kepada Imam yang adil dan berteman dengan ahli ilmu
dan ahli fikih”.[7]
Dalam pengadilan kategori ini dalam melakukan sidangnya
langsung dibawah pimpinan Khalifah. Sebagaimana Khalifah Abdul Malik bin Marwan
yang pernah menjadi ketua mahkamah
mazhalim dalam menjalankan tugasnya sebagai ketua mahkamah mazhalim saat itu Khalifah Abdul Malik bin Marwan dibantu
oleh orang pejabat penting lainnya, yaitu:
1. Pembela, kelompok
ini dipilih dari orang-orang yang mampu mengalahkan pihak terdakwah yang
menggunakan kekerasan atau melarikan diri dari pengejaran pengadilan.
2. Hakim, hakim yang
berprofesi sebagai penasihat bagi kepala mahkamah
al-mazhalim, sehingga dengan berbagai cara, apa yang menjadi hak pihak yang
teraniaya dapat dikembalikan. Kepada seluruh yang
hadir dapat dijelaskan tentang kasus yang terjadi dengan sesungguhnya.
3.
Ahli fikih, sebagai tempat para hakim mahkamah al-mazhalim mengembalikan perkara syariah
yang sulit menentukan hukumnya
Ada beberapa
catatan pada peradilan di masa Umayah yang menggambarkan perlunya ahli fikih,
yaitu: pertama, setiap kota memiliki
kemampuan untuk berijtihad dalam mengistimbatkan hukum, mereka inilah yang
dijadikan qadhi untuk menyelesaikan
perkara yang masuk. Mereka ahli ijtihad dan bukan
taqlid. Kedua, Qadha dan fatwa dipandang sederajad. Fatwa dalam
periode ini sama dengan qadha; yaitu
fatwa qadhi dipandang putusan. Fatwa
yang dikeluarkan qadhi menjadi hukum.
Ketiga, putusan seorang qadhi tidak bisa dibatalkan oleh
keputusan qadhi yang lain. Karena
ijtihad tidak bisa membatalkan ijtihad.
4.
Sekretaris, bertugas
mencatat perkara yang diperselisihkan dan mencatat ketetapan apa yang menjadi
hak dan kewajiban pihak-pihak yang berselisih.
5.
Saksi, bertugas
memberian keasaksian terhadap ketetapan hukum yang disampaikan oleh hakim yang
tidak bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Para Tokoh Qadhi dan Tugasnya
1. Al-Qadhi Asisabi
Nama
lengkapnya adalah Amir bin surah bin asy-sya’bi. Beliau merupakan seorang ulam
tabi’in terkenal, lahir tahun 17 H. beliau adalah seorang hakim di kufah
menggantikan Suraih. Beliau banyak menerima hadis dari Abu HUrairah, Ibn Abbas,
isyah dan Ibnu umar. Dia juga adalah ahli fikih termasuk guru tertua Imam abu
Hanifah.
2. Al-Qadhi ijas
Nama
lengkapnya adalah Abu Wailah Ijas bin MUawiyah bin Qurrah, merupakan qadhi dari
khalifah bani umaiyah yang paling adil, cerdas, dan paling tepat firasatnya.
Beliau hidup di masa pemerintahan khalifah Umar bin abdul aziz.
3. Salim bin Ataz
Seorang hakim
di daerah Mesir yang terkenal piawai dalam menyelesaikan perkara-perkara dan
dialah permulaan hakim yang mencatat keputusannya. Dan menyusun yurisprudensi
pada masa pemerintahan muawiyah.
Adapun instansi
dan tugas kehakiman di masa bani umaiyah dapat dikategorikan menjadi tiga macam
yaitu :
a.
Al Qadha merupakan tugas qadhi dalam menyelesaikan perkara-perkar ayang berhubungan
dengan agama. Di samping itu badan ini juga mengatur institusi wakaf, harta
anak yatim dan orang yang cacat mental.
b.
Al Hisbah merupakan tugas al muhtasib (kepala hisbah) dalam menyelesaikan
perkar-perkara umum dan soal-saoal pidana yang memerlukan tindakan cepat. Pada
masa Rasulullah saw, peradilan hisbah ini sudah ada.
c.
Al Nadhyar fi al-Mazhalim merupakan mahkamah tinggi atau mahkamah banding dari
mahkamah di bawahnya( al qadha dan al hisbah). Lembaga ini juga dapat mengadili
para hakim dan pembesar yang berbuat salah.
II.
DAULAH BANI
ABBASIYAH
A. Pendirian Bani Abbasiyah
Ketika semakin tua, Bani Umayyah dipimpin oleh para pemimpin lemah yang
tidak mampu melawan segala bentuk kelemahan system. Bahhkan Marwan bin
Muhammad, Khalifah terakhir Ban Uamyyah diberi julukan “Marwan Al-Hammar”
(Marwan Pengembala keledei).
Kemudian Bani Umayyah digantikan oleh Bani Abbasiyah yang pada awal
kekuasaannya dipimpin oleh para khalifah yang kuat, seperti Abu Ja’far
Al-Manshur, Harun Ar-Rasyid, dan Al-Makmum. Negara tersebut bertahan selama
beberapa abad. Pada masa daulah ini, peradaban Islam mengalami kegemilangan.[8]
B. Kemajuan Masa Bani Abbasiyah
Masa ini adalah masa keemasan atau masa kejayaan umat
Islam sebagai pusat dunia dalam berbagai aspek peardaban. Kemajuan itu hamper
mencakup semua aspek kehidupan.
1. Administratif pemerintahan dengan biro-bironya
Dalam menjalankan sistem pemerintahannya Dinasty
Abbasiyah memilki kantor pengawasan (dewan Az-zimani) yang pertamakali
diperkenalka oleh Al-Mahdi, dewan korespondensi atau kantor arsip (dewan
at-tawqi) yang menangani surat resmi, dokumen politik serta instruksi dan
ketetapan khalifah, dewan penyelidik keluhan, departemen kepolisan dan pos.
dewan penyelidik keluhan (dewan an-nazhar fi al-mazhalini) adalah
sejenis pengadilan tinggi tingkat banding, atau pengadilan tinggi untuk
menangani kasus-kasus yang ditangani secara keliru pada departemen
administratif dan politik.
Cikal bakal dewan ini dapat dilacak pada masa Dinasty
Umayyah, karena Al-Mawardi meriwayatkan bahwa Abd AlMalik adalah khalifah
pertama yang menyediakan satu hari khusus untuk mendengan secara langsung
permohonan dan keluhan rakyatnya. Umar II meneruskan praktik tersebut. Praktik
ini kemudian diperkenalka oleh al-Mahdi ke dalam pemerintahan Dinasty
Abbasiyah.
2. Sistem organisasi militer
Sistem organisasi militer terorganisasi dengan baik,
berdisiplin tinggi, serta mendapat pelatihan dan pengajaran secara teratur.
3. Administrasi wilayah pemerintahan
Pada masa pemerintahan Abbasiyah periode I,
kebijakan-kebijakan politik yang dikembangkan antara lain:
a. Memindahkan ibu kota Negara dari Damaskus ke Baghdad
b. Memusnahkan keturunan Bani Umayyah
c. Merangkul orang-orang Persia, dalam rangka politik memperkuat
diri, Abbasiyah member peluang dan kesempatan yang besar kepada kaum mawali,
d. Manumpas pemberontakan-pemberontakan
e. Menghapus politik kasta.
4. Pertanian, peradagangan dan industri
5. Islamisasi pemerintahan
6. Kajian dalam bidang kedokteran, astronomi, matematika, geografi,
filsafat Islam, teologi, hukum (fikih) da etika Islam, sastra, seni dan
penerjemahan.
7. Pendidikan kesenian, arsitektur, meliputi pendidikan dasar (kuttab),
menengah, dan perguruan tinggi, perpustakaan dan tokok buku, media tulis, seni
rupa, arsitektur dan seni musik. [9]
C. Peradilan
Peradilan
Di Masa Bani Abbasiyah
Ciri khas peradilan Islam di masa Bani
Abbasiyah. Jika
pada masa Khulafa’ al-rasyidin dan Umayah Khalifah memegang kekuasaan
yudikatif dan eksekutif, maka pada masa ini khalifah tidak lagi terlibat dalam
urusan peradilan. Setiap perkara yang masuk ke pengadilan para hakim yang
ditunjuk oleh khalifahlah yang akan mengusut perkara tersebut. Hal ini
mengingat bahwa pada saat itu khalifah Abbasiyah sedang giat-giatnya memikirkan
persoaan politik baik dalam negri maupun luar negri.
Putusan-putusan para qadhi pada
masa ini dipengaruhi mazhab-mazhab yang telah muncul pada saat itu. Seorang qadhi
di Irak memutuskan perkara yang berpedoman pada mazhab Syafi’i, di syam dan
Maghribi hakim memutuskan perkara berdasarkan pada mazhab Maliki dan di Mesir hakim memutuskan perkara berpedoman pada mazhab Syafi’i.
Awal mula Qadhi al-Qudha’
(Mahkamah Agung). Pada saat kendali pemerintahan
dipegang oleh Dinasti Abbasiyah , kemajuan peradaban telah semakin meluas.
Agama islam telah berkembang ke berbagai daerah, para fuqaha’ telah berpencar ke berbagai negeri serta bermacam-macam
kasus dan hal ihwal umat Islam telah banyak pula yang terjadi dan berkembang.
Karena itu maka terjadiah perbedaan pendapat diantara ahli-ahli fiqh, sehingga
muncullah istilahaat fiqhiyyah (istilah-istilah
fiqh) yang melahirkan ulama-ulama fiqh dan mazhabnya
Fokus perhatian
ulama fikih dan mazhab pada masa ini adalah masalah kehakiman (peradilan).
Diantaranya adalah
1. Hukum membentuk lembaga peradilan dan mengangkat qadhi.
2. Hukum mewilayahi peradilan (hak menjabat jabatan qadhi).
3. Hukum berusaha supaya dijadikan qadhi dan mengendalikan kehakiman
4. Menentukan keahlian para qadhi
5. Menetapkan sifat-sifat qadhi.
6. Pekerjaan-pekerjaan qadhi
(keweajiban-kewajiban qadhi) dalam
persidangan
7. Pengangan qadhi
dalam menetapkan hukum
8.
Masalah
yang berkaitan dengan kehakiman dan qadhi
(hakim).
Untuk
menjadi hakim atau qadhi dalam Islam,
ada beberapa syarat yang harus dimiliki
1.
Memiliki sifat-sifat seperti yang digambarkan oleh Ali
bin Abi Thalib, yakni: tidak mempersempit perkataan, tidak memeperluas
perselisihan, tidak larut dalam permasalahan, tidak berat kembali kepada
kebenaran jika mengetahuinya, tidak mengarahkan dirinya kepada ketamakan, tidak
menganggap cukup dengan pemahaman yang minimal dengan mengabaikan yang optimal,
paling tegar sifatnya, paling bagus hujjahnya, paling sedikit kebosanannya
dalam mengoreksi, paling sabar dalam memaparkan perkara, paling tegas ketika
menjelaskan keputusan, bukan orangmudah tertarik sanjungan dan tiadak condong
kepada permusuhan. Selanjutnya amat cermat dalam mengambil keputusan, senang
menginfakkan hartana dijalan Allah SWT sehingga terhindar dari penyakit butuh
pemberian manusia
- Memiliki sifat tegar, bersih, iffah
(menghindari syubhat), santun, dan mengetahui peradilan dan tradisi
yang telah berlaku sebelumnya.
Sementara itu dalam pandangan fikih Islam secara umum,
hakim mesti memeiliki sifat-sifat: pertama,
harus orang dewasa; kedua, seorang
yang berakat; ketiga, muslim; keempat, adil yaitu benar sikapnya,
jelas amanatnya, menjaga diri dari hal-hal yng haram, dan amandari ridha ketika
marah; kelima,mengetahui hukum-hukum
syariah, baik dasar-dasar syariah maupun cabang-cabangnya; keenam, sehat pendengaran, penglihatan dan ucapan. Pada
masa pemerintahan Abbasiyah, qadhi
diangkat oleh Khalifah dari kalangan ulama yang memiliki sifat-sifat
sebagaimana digambarkan di atas dengan gelar qadhi al-qudha’. Orang yang pertama menjabat dan mendapat sebutan
ini adalah Abu Yusuf, seorang murid yang
juga sahabat dari Imam Abu Hanifah.
Secara umum kewenangan badan-badan peradilan yang berada
dibawah naungan Mahkamah Agung sebagai kekuasaan yudikatif adalah
a.
Al-Qadha
Al-Qadha’ adalah lembaga yang berfungsi
member penerangan dan pembinaan hukum, menyelesaikan perkara sengketa,
perselisihan dan maslah wakaf. Lembaga ini telah dirintis sejak zaman
Rasulallah Saw., dan disempurnakan pada msa sesudahnya, terutama Dinasti Umayah
dan Abbasiyah. Pada masa Dinasti Abbasiyah setiap perkara diselesaikan dengan
berpedoman pada mazhab masing-masing yang dianut oleh masyarakat.
b.
Al-Hisbah
Al-Hisbah
adalah salah satu badan pelaksana kekusasaan kehakiman dalam Islam yang
bertugas untuk menegakkan kebaikan dan mencegah kezaliman. Pejabat yang Hisbah
disebut muhtasib. Tugasnya menangani kasus kriminal yang penyelesaiannya
perlu segera, mengawasi hukum, menhatur ketertiban umum, mencegah terjadinya
pelanggaran hak tetangga serta menghukum orang yang mempermainkan hukum syara
c.
Al-Mazhalim
Al-Mazhalim
adalah salah satu komponen peradilan yang berdiri sendiri dan merupakan
peradilan untuk mengurusi penyelesaian erkara perselisihan yang terjadi antara
rakyat dan negara. Selain itu ia juaga menangani menangani kasus-kasus
penganiayaan yang dilakukan oeh pejabat tinggi, bangsawan, hartawan, atau
keluarga sultan terhadap rakyat biasa. Secara operasional qadhi al-mazhalim
bertugas menyelesaikan masalah yang tidak dapat diputuskan oleh diwan
al-qadha’ dan diwan al-muhtasib, serta meninjau kembali putusan yang
dibuat oleh kedua hakim tersebut atau menyelesaikan perkara banding.
- Al-Mahkamah Al-‘Askariyah
Selain tiga peradilan diatas, pada masa
pemerintahan Bani Abbasiyah juga dibentuk mahkamah/peradilan militer (al-Mahkamah
al-Askariyah) dengan hakimnya adalah qadhi al-‘askar atau qadhi
al-jund. Posisi ini sudah ada sejak zaman sultan Shalahuddin Yusuf bin
Ayub. Tugasnya adalah menghadiri sidang-sidang di Dar al-Adl, terutama
ketika persidangan tersebut menyangkut anggota militer atau tentara.
Organisasi Kehakiman
Perubahan
lain yang terjadi pada masa Daulah Abbasiyah adalah para hakim tidak lagi
berijtihad dalam memutuskan perkara, tetapi mereka berpedoman pada kitab-kitab
mazhab yang empat atau mazhab lainnya. Dengan demikian, syarat hakim harus
mujtahid sudah ditiadakan. Kemudian oragnisasi kehakiman juga mengalami
perubahan, antara lain telah diadakan jabatan penuntut umum (kejaksaan)
disamping telah dibentuk instansi diwan qadhi al-qudhah, sebagai
berikut:
a) Diwan Qadhi
al-Qudhah (fungsi dan
tugasnya mirip dengan Departemen Kehakiman) yang dipimpin oleh qadhi
al-qudha’ (ketua Mahkamah Agung). Semua badan-badan pengadilan dan
badan-badan lain yang ada hubungannya dengan kehakiman berada dibawah diwan qadhi
al-qudhah
b) Qudhah al-Aqaali
(hakim provinsi
yang menegetuai Pengadilan Tinggi).
c) Qudhah
al-Amsaar (hakim kota
yang mengetuai Pengadilan Negeri; al-Qadhau atau al-Hisbah).
d) Al-sulthah
al-Qadhaiyah, yaitu
jabatan kejaksaan di ibukota negara dipimpin oleh al-Mudda’il Ummy
(Jaksa Agung), dan tiap-tiap kota oleh Naib Ummy (jaksa).
e)
Luasnya wewenang hakim
Perbedaan masa Abbasiyah dengan masa sebelumnya adalah ketika masa Khulafa’
al-Rashidin dan masa Ummayah mereka memegang kekuasaan Yudikatif dan
ekskutif, maka pada masa ini khalifah tidak lagi terlibat dalam urusan
peradilan. Dalam artian khalifah tidak lagi mengurus dan memeriksa
perkara-perkara yang diajukan oleh umat Islam ke pengadilan. Setiap perkara
yang masuk ke pengadilan, maka para hakim yang ditunjuk oleh khalifah-lah yang
akan mengusut perkara tersebut. Hal ini bisa dimengerti mengingat bahwa pada
saat itu khalifah Abbasiyah sedang giat-giatnya memikirkan persoalan politik,
baik dalam negeri maupun luar negeri, sehingga tidak memiliki kesempatan lagi
untuk membina peradilan secara langsung. Sehingga yang terjadi adalah khalifah
tidak lagi memiliki kemampuan ijtihad dan keahlian dalam hukum Islam
sebagaimana keahlian yang dimiliki oleh Khulafa’ al-Rashidin yang
disamping sebagai seorang khalifah juga seorang ahli hukum.
Pada pada awalnya dinasti Abbasiyah berusaha mengendalikan setiap putusan
yang dijatuhkan oleh peradilan, akan tetapi pada masa-masa berikutnya karena
berbagai faktor campur tangan itu akhirnya ditinggalkan. Khalifah akhirnya
hanya membuat regulasi yang sifatnya umum dan formalitas belaka, seperti
pengangkatan hakim-hakim daerah yang setiap hakim itu pada akhirnya memiliki
otorita dan independenitas yang tinggi. Kalau dalam masa-masa yang telah lalu,
batas wewenang hakim begitu luasnya, maka dalam masa ini bertambah lagi. Dalam
masa ini, hakim-hakim itu di samping memperhatikan urusan-urusan perdata,
bahkan juga menyelesaikan urusan wakaf, dan menunjukkan pengampu (kurator)
untuk anak-anak di bawah umur. Bahkan kadang-kadang para hakim ini diserahkan
juga urusan-urusan kepolisian, penganiayaan (mazalim) yang dilakukan
oleh penguasa, qishas, hisbah, pemalsuan mata uang dan bait al-mal (kas
negara). Salah seorang hakim yang terkemuka pada saat itu adalah Yahya ibn
Aktsam ash-Shafi yang diangkat oleh al-Makmun.[10]
Dalam hal ini Ibnu Khaldun mengatakan bahwa, kedudukan peradilan selain
untuk menyelesaikan perkara-perkara sengketa, bertugas juga memelihara hak-hak
umum, memperhatikan keadaan anak-anak di bawah umur, orang yang tak cakap bertindak
secara hukum, seperti anak yatim, orang gila, orang failit, dan lain-lain,
serta mengurus harta-harta warisan, wakaf, menjadi wali bagi wanita-wanita yang
tidak memiliki wali dan memperhatikan kemaslahatan-kemaslahatan lalu lintas,
pembangunan dan memeriksa keadaan-keadaan saksi agar dapat diketahui mana saksi
yang adil dan yang tidak.
D. Kemunduran Dinasti Abbasiyah
Faktor-faktor penyebab kemunduran
1. Faktor Intern
a. Kemewahan hidup dikalangan penguasa
b. Perebutan kekuasaan antara keluarga Bani Abbasiyah
c. Konflik keagamaan
Sejak terjadinya konflik antara Muawiyah dari khalifah
Ali dan berakhir dengan lahirnya tiga kelompok umat, pengikut Muawiyah, Syi’ah
dan Khawarij, ketiga kelompok ini senantiasa berebut pengaruh.
2. Faktor eksteren
a. Banyaknya pemberontakan
Banyaknya daerah yang tidak dikuasai oleh khalifah,
akibat kebijakan yang lebih menetukan pada pembinaan peradaban dan kebudayaan
Islam, secara real, daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaan gubernur-gubernur
yang bersangkutan. Akibatnya banyak yang melepaskan diri dari genggaman
penguasa Bani Abbas.
b. Dominasi bangsa Turki
Sejak abad kesembila, kekuatan militer Abbasiyah mulai
mengalami kemunduran. Sebagai gantinya, para penguasa Abbasiyah memperkejakan
orag-orang professional dibidang kemiliteran khususnya tentara Turki, kemudian
mengangkatnya menjadi panglima-panglima. Pengangkatan inilah dalam perkembangan
selanjutnya mengancam kekuasaan Khalifah. Tentara Turki berhasil merebut
kekuasaan tersebut. Walaupun khalifah dipegang oleh Bani Abbas, di tanga
mereka, khalifah bagaikan boneka yang tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan
merekalah yang memili dan menjatuhkan khalifah yang sesuai dengan politik
mereka.
c. Dominasi bangsa Persia
Masa kekuasaan Bangsa Persi (Banu Buyah) berjalan
lebih dari 150 tahun. Pada masa ini, kekuasaan pusat di Baghdad dilucuti dan
berbagai daerah muncul Negara-negara baru yang berkuasadan membuat kemajuan dan
perkembangan baru.
Pada awal pemerintahan Bani Abbasiyah, keturunan
Persia bekerja sama dalam mengelola pemerintahan dan Dinasti Abbasiyah
mengalami kemajuan yang cukup pesat dalam segala bidang. Pada periode kedua,
pada saat kekhalifahan Bani Abbasiyah sedang mengadakan pergantian khalifah,
yaitu dari KHalifah Muttaqi (khalifah ke-22) kepada khalifah Muthie’ (khalifah
ke-23) tahun 334
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dinasti Umayyas
berkuasa selama 89 tahun, yakni 661 M/ 41H sampai dengan 750M/ 132 H selama
kurang waktu tersebut terdapat 14 orang khalifah yang pernah memerintah.
Peradilan pada masa ini terbagi atas instansi dan tugas kehakiman dapat dikategorikan menjadi tiga macam yaitu :
·
Al Qadha merupakan tugas qadhi dalam menyelesaikan perkara-perkar ayang berhubungan
dengan agama.
·
Al Hisbah merupakan tugas al muhtasib (kepala hisbah) dalam menyelesaikan
perkar-perkara umum dan soal-saoal pidana yang memerlukan tindakan cepat.
·
Al Nadhyar fi al-Mazhalim merupakan mahkamah tinggi atau mahkamah banding dari
mahkamah di bawahnya( al qadha dan al hisbah).
Sedangkan pada masa Bani Abbasiyah
peradilan dibagia atas empat, yaitu:
ü Al-Qadha’.
ü Al-Hisbah
ü Al-Mazhalim
ü Al-Mahkamah Al-‘Askariyah
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qardhawi Yusuf, Distorsi Sejarah Islam, Jakarta, Pustaka
Al-Kautsar, 2005
Harun Maidir, Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, Padang, IAIN
Press, 2001
Hasbi ash Shiddieqy
Teungku Muhammad, Peradilan dan Hukum
Acara Islam, Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra, 1997
K. Hitti
Philip, History of The Arab, Jakarta, Serambi Ilmu Semesta, 2010
Koto
Alaidin, Sejarah Peradilan Islam, Jakarta:
PT. Grafindo, 2011
Supriyadi Dedi,
Sejarah Peradaban Islam, Badung, Pustaka Setia, 2008
Thohir Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam,
Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004
[1]
Philip K. Hitti, History of The Arab, (Jakarta, Serambi Ilmu Semesta,
2010), h. 236-236
[2]
Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta, PT
Raja Grafindo Persada, 2004), h. 34
[3]
Ibid, h. 35
[4]
Maidir Harun, Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, (Padang, IAIN Press,
2001), h. 81
[5] Teungku Muhammad Hasbi ash
Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara
Islam, (Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra, 1997), h, 20
[6] Alaidin
koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: PT. Grafindo, 2011), h. 83-84.
[7] Ibid,
h. 98-99
[8]
Yusuf Al-Qardhawi, Distorsi Sejarah Islam, (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar,
2005 ), h. 104
[9]
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Badung, Pustaka Setia, 2008),
h. 129-128
[10] Op
cit, Alaidin kot, h. 115
Tidak ada komentar:
Posting Komentar