Semua orang muslim sudah menyadari, tentang
pentingnya perikehidupan shahabat, yang dengan segala pengorbanan jiwa dan raga
mereka mendampingi Rasulullah SAW pada saat suka dan duka, saat lapar dan
kenyang, saat sulit dan lapang, saat perang dan damai, saat menetap dan
berpergian, dalam kehidupan individual dan sosial, dalam kehidupan keluarga dan
kemasyarakatan. Hampir
semua sisi kehidupan beliau bisa
direkam para shahabat, sehingga disamping sebagai pendamping beliau, mereka
juga penyambung lidah dan pengejawantah sisi-sisi kehidupan beliau.
Dalam konteks peradaban, Islam menampilkan peradaban
baru yang esensinya berbeda dengan peradaban sebelumnya. Peradaban yang
ditinggalkan Nabi misalnya, jelas sangat berbeda dengan peradaban Arab di zaman
Jahiliyyah. Dengan demikian, Islam telah melahirkan revolusi kebudayaan dan
perdaban. Misalnya, pembukuan al-Quran yang dinamakan Mushaf ‘Usmani pada zaman
Usman, yang telah digunakan sebagai pegangan bagi umat sampai saat sekarang
ini, sehingga segala perbedaan yang timbul dalam soal qira’at dan
lain-lain dapat dikendalikan.
Begitu juga dengan Khalifah Ali bin abi Thalib pada
masa pemerintahannya menunjukkan sebagai penasehat yang bijaksana, pahlawan
yang gagah berani, seorang sahabat sejati.
Makalah ini akan menjelaskan tentang latar belakang pengangkatan
Khalifah Usman ibn Affan, dan Ali bin Abi Thalib, serta peradaban islam dari
segi politik, pemerintahan, militer, juga sosial kemasyarakatan mereka.
B. Khalifah
Utsman ibn Affan
1.
Latar Belakang Pengangkatan Utsman ibn
Affan
Khalifah ketiga adalah Utsman bin Affan. Nama
lengkapnya ialah Utsman ibn Affan bin Abil Ash Umayyah dari suku Quraisy. Ia
memeluk Islam karena ajakan Abu Bakar, dan menjadi salah seorang sahabat dekat
Nabi SAW. Ia sangat kaya tetapi berlaku sederhana, dan sebagian harta
kekayaannya digunakan untuk kepentingan Islam. Ia mendapat julukan zun
nurain, artinya yang memiliki dua cahaya karena menikahi dua putrid Nabi
SAW secara berurutan setelah yang satu meninggal. Ia juga merasakan penderitaan
yang disebabkan oleh tekanan kaum Quraisy terhadap muslimin di Mekah, dan ikut hijrah ke Abesinia
beserta istrinya. Usman menyumbang 950 ekor unta dan 50 bagal serta 1.000
dirham dalam ekspedisi untuk melawan Bizantium di perbatasan Pelestina. Ia juga
membeli mata air orang-orang Romawi yang terkenal dengan harga 20.000 dirham
untuk selanjutnya diwakafkan bagi kepentingan umat Islam, dan pernah
meriwayatkan hadis kurang lebih 150 hadis. Seperti halnya Umar, Usman diangkat
menjadi khalifah
melalui proses pemilihan. Bedanya Umar dipilih atas penunjukan langsung
sedangkan Usman diangkat atas penunjukan tidak langsung, yaitu melewati badan
Syura yang dibentuk oleh Umar menjelang wafatnaya.
Khalifah Umar membentuk sebuah komisi
yang terdiri dari enam orang calon, dengan perintah memilih salah seorang dari
mereka untuk diangkat menjadi khalifah baru. Mereka ialah Usman bin Affan, Ali
bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqas, dan Abdullah
ditambahkan kepada komisi enam itu, tetapi ia hanya mempunyai hak pilih, dan
tidak berhak dipilih.
Melalui persaingan yang ketat dengan
Ali, sidang Syura akhirnya memberi mandat kekhalifahan kepada Usman bin Affan.
Masa pemerintahannya adalah yang terpanjang dari semua khalifah di zaman para khalifah
Rasyidah, yaitu 12 tahun, tetapi sejarah mencatat tidak seluruh masa
kekuasaanya menjadi saat yang baik dan sukses baginya. Para penulis sejarah
membagi zaman pemerintahan Usman menjadi dua periode, yaitu enam tahun pertama
merupakan masa kejayaan pemerintahannya dan tahun terakhir merupakan masa
pemerintahan yang buruk[1].
Dari wacana diatas dapat disimpulkan
bahwa latar belakang pengangkatan Khalifah Usman bin Affan berawal dari
pergantian masa kekhalifahan Umar bin Khattab setelah wafatnya, melalui proses
pemilihan tidak langsung, yaitu melewati badan Syura yang dibentuk oleh Umar
menjelang wafatnya.
2.
Peradaban Islam Pada masa Usman ibn Affan
a. Politik
dan Pemerintahan
Karya monumental Usman yang
dipersembahkan kepada umat Islam yaitu penyusunan kitab suci Alquran, bertujuan
untuk mengakhiri perbedaan-perbedaaan dalam bacaan Alquran, disebutkan pula
bahwa selama pengiriman ekspedisi militer ke Armenia dan Azerbaijan, perselisihan
tentang bacaan Alquran muncul di kalangan tentar muslim, di mana sebagiannya direkrut dari Suriah
dan sebagian lagi dari Irak[2].
Dengan hal ini mengisyaratkan bahwa
perluasan daerah pemerintahan Usaman semakin bertambah seiring dengan dikirimkannya
naskah Alquran ke berbagai wilayah kegubernuran sebagai pedoman yang benar
untuk masa selanjutnya.
Setelah melewati saat-saat yang
gemilang, pada paruh terakhir masa kekuasaannya, Khalifah Usman menghadapi
berbagai pemberontakan dan pembangkangan di dalam negeri yang dilakukan oleh
orang-orang yang kecewa terhadap tabiat khalifah dan beberapa kebijaksanaan
pemerintahannya. Akan tetapi, sebenarnya kekacauan itu sudah dimulai sejak pertama
tokoh ini terpilih menjadi khalifah, dengan tuduhan nepotisme[3].
3.
Militer ( perluasan wilayah, pembangunan kapal
dan armada laut)
Pada masa-masa awal pemerintahannya,
Usman melanjutkan sukses para pendahulunya, terutama dalam perluasan
wilayah kekuasaan Islam. Daerah-daerah
strategis yang sudah dikuasai Islam seperti Mesir dan Irak terus dilindungi dan
dikembangkan dengan melakukan serangkaian ekspedisi militer yang terencanakan
secara cermat dan simultan di semua front. Di Mesir pasukan muslim
diinstruksikan untuk memasuki Afrika Utara. Salah satu pertempuran penting di
sini ialah “ Zatis Sawari “ (Peperangan Tiang Kapal) yang terjadi dilaut Tengah
dekat kota Iskandariyah, antara tentara Romawi di bawah pimpinan Kaisar
Constantin dengan Laskar Muslim pimpinan Abdullah bin Abi Sarah. Dinamakan
perang kapal karena banyaknya kapal-kapal perang yang digunakan dalam
peperangan tersebut. Disebutkan terdapat 1.000 buah kapal, dan 200 buah kapal
milik kaum muslim sedangkan sisanya milik bangsa Romawi. Pasukan Islam berhasil
mengusir pasukan lawan. Pasukan Islam bergerak dari kota Basrah untuk
menaklukkan sisa wilayah kerajaan Sasan di Irak, dan dari kota Kufah, gelombang
kaum muslimin menyerbu beberapa provinsi di sekitar Laut Kaspia[4].
Dari sejumlah pertempuran yang telah dilakukan
Khalifah Usman bin Affan dalam perluasan wilayah kekuasaan Islam seperti Mesir,
Irak dan beberapa provinsi di sekitar Laut Kaspia, lahirlah sejumlah phenomena
militer yang kemudian melahirkan militer yang dinamis sejalan dengan
perkembangan masyarakat Islam. Dari sini telah terlihat konsep-konsep jihad yang
masih ditekuni oleh para Sahabat,peraturan pun dilakukan, strategi demi
strategi terus dikembangkan, hak-hak dan kewenangan pasukan kembali lagi
ditegaskan, begitu juga dengan susunan pasukan yang terus ditertibkan.
4.
Sosial Kemasyarakatan
Dalam hal ini Usman berkata : “Pada saat
pencapaianku menjadi khalifah, aku adalah pemilik kambing dan unta yang paling
banyak di Arab. Hari ini aku tidak ada
unta kecuali yang digunakan dalam ibadah haji. Tentang penyokong mereka, aku
memberikan kepada mereka apapun yang dapat aku berikan dari milikku pribadi.
Tentang harta kekayaan negara,
aku menganggapnya tidak halal, baik bagi diriku sendiri maupun orang lain. Aku tidak
mengambil apa pun dari kekayaan negara,
apa yang aku makan adalah hasil nafkahku sendiri.
Al-Hakim mengeluarkan hadis dari Abdurrahman bin
Samurah, dia berkata, Usman bin Affan menemui Nabi untuk menyerahkan seribu
dinar, ketika beliau sedang mempersiapkan pasukan perang yang sedang menghadapi
masa paceklik. Usman menyerahkan uang itu dirumah beliau. Sambil membolak-balikkan
uang itu, beliau bersabda, Usman tidak akan melarat karena apa yang
dikerjakannya setelah hari ini. Beliau mengucapkannya hingga beberapa kali.[5]
5.
Pembukuan Al-Quran
(Mush-haf Usmani)
a. Motif
Pengumpulan Al-Quran Pada Zaman Usman.
Pada masa Abu Bakar, tugas pengumpulan
Al-Quran telah selesai dengan baik dikerjakan oleh tim Zaid bin Sabit.
Kekuatiran bahwa Al-Quran akan lenyap dengan wafat atau syahidahnya para
sahabat yang hapal Al-Quran tidak ada lagi. Umat Islam merasa tentram terhadap
kitab sucinya dan terpelihara dengan baik.
Pada masa Umar bin Khattab, tugas
pengumpulan dan penyempurnaan Al-Quran itu tidak
dilanjutkan. Boleh jadi Khalifah menganggap masih banyak persoalan penting
lainnya yang harus diselasaikan. Fokus
perhatian khalifah waktu itu adalah bidang penyiaran agama Islam dengan
sendirinya mengurangi waktu dan enersi. Berturut-turut dalam waktu 10 tahun
seluruh semenanjung Arabia, Suriah, Irak, Parsi (Iran sekarang), Pelestina,
Mesir, Khurasan, dan lain-lain, sudah berada di bawah panji-panji Islam. Umar
wafat, sedangkan Al-Quran masih belum sempurna dibukukan, sekalipun tidak ada
kekuatiran ayat-ayat suci tersebut akan hilang karena tersimpan dengan rapih di
rumah Khalifah.
Pada masa Usman, wilayah kekuasaan khalifah semakin luas. Selain yang sudah
diselasaikan pada masa Umar, Usman melanjutkan tugas penyiaran agama Islam.
Daerah-daerah Afrika Utara, Asia Tengah, dan lain-lain dimasuki oleh para juru
dakwah Islam. Karena semakin luasnya daerah Islam dan semakin beraneka ragam
bangsa-bangsa non Arab yang memeluk agama Islam. Persoalan yang berhubungan
dengan kitab suci Al-Quran muncul kembali, menurut keadaan waktu itu.
Diceritakan oleh Bukhari dari sahabat
Huzaifah ibnu Yaman yang dapat dianggap sebagai motif yang mendorong khalifah Usman
mengumpulkan dan menyeragamkan penulisan Al-Quran. Abu Huzaifah kebetulan ikut
berperang bersama prajurit Islam lainnya pada pertempuran Armenia dan
Azerbaijan, dan kemenangan diperoleh umat Islam. Selesai pertempuran Abu Huzaifah menghadap
khalifah. Dia menceritakan pengalamannya sehubungan dengan Al-Quran. Dia
melaporkan bahwa dewasa ini mulai timbul gejala-gejala perbedaan pendapat
mengenai soal qira’at Al-Quran di kalangan
umat Islam.
Hal ini segera ini ditanggapi oleh khalifah. Ia mengirim
utusan kepada Hafsah binti Umar (istri Rasulullah SAW) untuk meminta mushaf
yang disimpan di rumahnya.
Hafsah memenuhi permintaan itu, dan berdasarkan mushaf yang asli dan otentik
itulah, Usman mulai bekerja. Zaid yang waktu itu masih hidup, ditunjuk oleh
Usman sebagai ketua tim pembukuan Al-Quran dengan anggota-anggotanay. Usman
menggariskan kerja tim Zaid ini sebagai tersebut dalam amanahnya :
إذا
اختلفتم اَنتمْ وَزَيْدُ بْنُ ثَابتْ فِي شيئ مِنَ القُرآن فالكتُبوه بِلِسانِ
قُرَيشٍ فإنه إَنما نُزلَ بِلِسانهمْ
Artinya :
Apabila kalian berbeda pendapat
denganZaid bin Sabit mengenai sesuatu yang menyangkut Al-Quran, hendaklah
kalian tulis ia dengan bahasa Quraisy, sebab sesungguhnya ia diturunkan dengan
bahasa mereka[6].
Dengan demikian, Usman menetapkan bahasa
Quraisy sebagai bahasa standar dalam soal penulisan, dan perbedaan. Dalam
penyusunan ini dimaksudkan untuk mengakhiri perbedaan-perebedaan serius dalam
bacaan Alquran.
b. Beberapa
Hal Tentang Mushaf Usman
Hasil usaha tim Zaid yang diserahkan
kepada khalifah
itu selanjutnya disebut mushaf Al Imam atau lebih dikenal sebutan “Mushaf
Usmani”
Ada lima persoalan tentang tuduhan orientalis terhadap penyusunan Mushaf
Usmani ini, yaitu :
i.
Perbedaan qiraat
yang mulai muncul di kalangan Islam waktu itu, merupakan motif utama yang
mendorong Usman melaksanakan tugas ini. Orientalis
Schwally atau Blachare berusaha menyoroti pekerjaan Usman ini
secara tidak wajar. Dia berpendapat bahwa yang mendorong usman menyalin
Al-Quran dan meminjamnya dari Hafsah
adalah factor kebangsawannya dan kedudukannya sebagai khalifah yang berasal
dari kalangan golongan elite mekkah, yang merasa sebagai keluarga yang baik
waktu itu. Sangat disayangkan sumber dari pandangan orintalis ini adalah sebuah
karya yang ditulis oleh Abu Daud yang menamakan tim Zaid ini dengan “komisi
empat” atau Komisi Dua (Zaid
dan Sa’id ibn ‘As), atau Komisi Sepuluh. Yang anehnya lagi, Blachere menetapkan
pekerjaan Zaid ini dimulai pada tahum 30 H, padahal menurut riwayat yang kuat
dimulai pada tahun 25 H. lagi pula Blachere memasukkan nama sahabat Ubay bin
Ka’ab dalam tim ini, sedangkan Ubay, ketika Usman mulai memerintah, sudah
meninggal dunia. Jelasnya kita tetap beranggapan bahwa maksud baik Usman dengan
pekerjaan yang mulai ini adalah sama dengan maksud Abu Bakar, bukan karena
motif politik, kebangsawanan, dan sebagainya.
ii.
Bahwa tim yang dibentuk Usman terdiri dari
empat orang. Zaid memaang berasal dari Madinah (Sahabat Ansor), sedangkan tiga orang lainnya sebagai anggota tim
berasal dari Mekah (Abdullah bin Zubeir, Sa’ad bin ‘As, Abdurrahman bin Haris).
Sekalipun Zaid bukan orang Mekah (Quraisy) melainkan sahabat Ansar, namun
ketelitian, kejujuran dan I’tikad baiknya terhadap pekerjaan yang sudah
bertahun-tahun dilakukannya tidak diragukan lagi. Apalagi Usman telah
menginstruksikan, kalau timbul perbedaan qira’at atau cara penulisan antara
ketiga tim itu dengan dengan ketuanya (Zaid), maka Al-Quran harus ditulis
dengan dialek dan ejaan bahasa Arab Quraisy. Tentu saja perintah khalifah itu
bertujuan memelihara kemurnian Al-Quran dalam segala aspeknya. Andaikata Usman
memang terpengaruh oleh sifat ekslusifismennya sebagai keturunan Quraisy
sebagaimana dituduhkan oleh orientalis Blachere, tentulah dia tidak akan
mengangkat Zaid sebagai tim ketua tim penulisan Al-Quran sebab Zaid bukan
keturunan Quraisy.
iii.
Tim yang empat orang ini bekerja menyalin
mushaf yang ada ditangan Hafsah. Mushaf inilah yang telah disusun pada zaman
Abu Bakar. Abu bakar menunjuk Zaid sebagai ketua tim penulisan Al-Quran yang
memang sudah menekuni bidang ini semenjak masa Rasulullah SAW. Jadi sedikitpun
tidak diragukan lagi kebenaran naskah yang disusun atas perintah Usman ini.
iv.
Al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab
Quraisy. Bahasa itulah yang paling tepat untuk penulisan Al-Quran menurut jalan
pikiran Usman. Itulah yang tepat dan benar. Oleh karena itu kalau terjadi
perbedaan pendapat antara Zaid sebagai ketua tim dengan tiga orang anggotanya
yang keturunan Quraisy, maka perbedaan
itu harus diakhiri dengan menulis Al-Quran menurut kaidah bahasa Quraisy.
v.
Usman memerintahkan menyalin mushaf Abu Bakar
(yang adapada Hafsah) sebanyak 5 kopi. Empat kopi dikirim kepada penguasa di
Mekah, Kufah, Basrah, dan Suriah, aslinya dipegang oleh Usman sendiri. Setelah
itu beliau memerintahkan kaum muslimin membakar semua catatan-catatan yang ada
selain mushaf dan beliau memerintahkan
agar Al-Quran dibaca menurut qira’at yang terdapat dalam materi mushaf Usmani
atau Mushaf Imam[7].
Dari keterangan
di atas jelaslah bahwa meskipun Usman telah berusaha mengumpulkan Alquran
dengan niat yang baik, namun masih ada juga tanggapan buruk dari mereka yang
mau mengacaukan kebenaran Islam. Kemudian khlalifah Usman ingin menegaskan
bahwa Mushaf Usman adalah salinan dari
mushaf yang asli secara sah, digunakan sebagai pegangan bagi umat dengan mushaf
yang sudah teratur dan sempurna, sehingga segala perbedaan yang timbul dalam soal qira’at dan lain-lain dapat
dikendalikan.
3. Akhir
Pemerintahan Usman : Tuduhan Nepotisme dan Terbunuhnya Usman.
Usman terpilih karena sebagai calon konservatif, ia
adalah orang yang baik dan soleh. Namun, dalam banyak hal kurang menguntungkan,
karena Usman terlalu terikat dengan kepentingan-kepentingan orang Mekah,
khususnya kaum Quraisy dari kalangan Bani Umayyah. Kemenangan Usman sekaligus adalah
suatu kesempatan yang baik bagi sanak saudaranya dari keluarga besar Bani
Umayah. Oleh karena itu, Usman berada dalam pengaruh dominisi seperti itu maka
satu persatu kedudukan tinggi kekhalifahan diduduki oleh anggot-anggota
keluarga itu.
Kelemahan dan nepotisme telah membawa khalifah kepuncak
kebencian rakyat, yang pada beberapa waktu kemudian menjadi pertikaian yang
mengerikan di kalangan umat Islam
Ketika Usman mengangkat Marwan bin
Hakam, sepupu khalifah yang dituduh sebagai orang yang mementingkan diri
sendiri dan intrik menjadi sekretaris utamanya, segera timbul mosi tidak
percaya dari rakyat. Begitu pula dengan penempatan Muawiyah, Walid bin Uqbah
dan Abdullah bin Sa’ad masing-masing sebagai gubernur Suriah, Irak dan Mesir,
sangat tidak disukai oleh umum. Ditambah lagi tuduhan-tuduhan keras bahwa
kerabat khalifah memperoleh harta pribadi dengan memngorbankan kekayaan umum
dan tanah negara.
Hakam ayah Marwan mendapatkan tanah Fadah, Marwan sendiri menyalahgunakan harta
baitul mal, Muawiyah mengambil alih tanah negara Suriah dan khalifah mengizinkan
Abdullah untuk mengambil seperlima dari harta rampasan perang Tripoli untuk
dirinya dan lain-lain.[8]
Dari berbagai kecaman tersebut, khalifah
telah berupaya untuk membela diri dan melakukan tindakan politis sebatas
kemampuan. Tentang pemborosan uang negara misalnya, Usman menepis keras
tuduhan keji itu. Benar jika dikatakan ia banyak membantu saudara-saudaranya
dari Bani Umayah, tetapi itu diambil dari kekayaan pribadinya. Sama sekali
bukan dari kas negara,
bahkan khalifah tidak mengambil gaji yang menjadi haknya. Pada saat menjadi khalifah
justru Usman jatuh miskin. Selain karena harta yang ia miliki digunakan untuk
membantu sanak
familinya, juga karena seluruh waktunya dihabiskan untuk mengurusi permasalahan
kaum muslimin, sehingga tidak ada lagi kesempatan untuk mengumpulkan harta
seperti di masa sebelum menjadi khalifah.[9]
Rasa tidak puas terhadap khalifah Usman
seamkin besar dan menyeluruh. Pemberontakan pun terjadi dan berhasil mengusir
gubernur yang diangkat khalifah, lalu mereka yang terdiri dari 600 orang Mesir itu
berarak-arakan menuju ke Madinah. Para pemberontak dari Basrah dan Kufah
bertemu dan menggabungkan diri dengan kelompok dari Mesir. Khalifah pun menuruti kemauan mereka dengan mengangkat Muhammad
bin abu Bakar sebagai gubernur di Mesir. Mereka puas dengan keputusan khalifah
tersebut dan pulang ke negeri mereka masing-masing. Akan tetapi di tengah jalan para pemberontak menemukan
surat yang dibawa oleh utusan khusus yang menerangkan bahwa para wakil itu
harus dibunuh setelah sampai di Mesir. Menurut mereka surat itu ditulis oleh
sekretaris khalifah yaitu Marwan bin Hakam, sehingga mereka meminta kepada khalifah
untuk menyerahkan Marwan bin Hakam. Tuntutan itu tidak dipenuhi oleh khalifah,
tetapi mereka
tidak menerimanya. Mereka mengepung rumah khalifah, dan membunuhnya ketika
Usman membaca Alquran pada tahun 35 H/17 Juni 656 M.[10]
Dengan demikian berakhirlah masa
pemerintahan khalifah Usman bin Affan,setelah itu kekhalifahan digantikan oleh
Ali bin Abi Thalib, menjadi khalifah yang keempat setelah Abu Bakar, Umar dan
Usman.
2. Khalifah Ali ibn Abi Thalib
a.
Latar Belakang Pengangkatan Ali ibn Abi Thalib
Khalifah keempat adalah Ali bin Abi
Thalib. Ali adalah keponakan dan menantu nabi. Ali adalah putra Abi Thalib bin
Abdul Muthalib. Selang beberapa hari pembunuhan Usman, stabilitas keamanan kota
Madinah menjadi rawan. Gafiqy bin Harb memegang keamanan ibu kota Islam itu
selama kira-kira lima hari sampai terpilihnya khalifah yang baru. Kemudian Ali
bin Abi Thalib tampil menggantikan Usman, menerima baiat dari sejumlah kaum
muslimin.
Kota Madinah saat itu sedang kosong,
para sahabat banyak yang berkunjung kewilayah-wilayah yang baru ditaklukkan.
Sehingga hanya beberapa sahabat yang masih berada di Madinah, antara lain
Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam. Sedangkan tidak semua sahabat
tersebut menyokong Ali, seperti Sa’ad bin Abi Waqqas dan Abdullah bin Umar.
Oleh karena itu, Ali pun menanyakan keberadaan mereka karena merekalah yang
berhak menentukan siapa yang akan menjadi khalifah lantaran keseniorannya dan
mengikuti perang Badar. Maka muncullah Thalhah, Zubair, dan Sa’ad membai’at Ali
yang kemudian diikuti oleh banyak
orang, baik dari kalangan Anshar maupun Muhajirin.[11]
Dengan demikian penyebab dari
pengangkatan Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah karena khalifah Usman
telah wafat akibat dari kasus pembunuhan, dan keamanan kota Madinah pun menjadi
rawan. Oleh karena itu diangkatlah Ali
untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada . selanjutnya sebagaimana
diketahui bahwa Ali bin Abi Thalib adalah kemenakan dan menantu Nabi. Untuk
selanjutnya partai Syiah selalu mengklaim bahwa mereka merupakan keturunan
langsung Nabi Muhammad. Oleh karenanya merekalah yang berhak atas semua kepemimpinan
Islam sampai akhir zaman.
b.
Peradaban Islam Masa Ali bin abi Thalib
1.
Politik dan Pemerintahan
Tugas pertama yang dilaukukan oleh khalifah
Ali ialah menghidupkan cita-cita abu Bakar dan Umar, menarik semua tanah dan
hibah yang telah dibagikan oleh Usman kepada kaum kerabatnya ke dalam
kepemilikan negara.
Ali juga segera menurunkan semua gubernur yang tidak disenangi rakyat. Usman
bin Hanif diangkat menjadi penguasa Basrah menggantikan Ibnu Amir,dan Qais bin
Sa’ad dikirim ke Mesir untuk menggantikan gubernur oleh Abdullah.
Ketika kekhalifahan dipegang oleh
khaliafh Ali, pusat pemerintahan tetap berpusat di Madinah. Namun keluarga
Usman telah memulai tradisi baru dalam sistem pemerintahan Islam, yaitu
mendirikan kekhalifahan Umayah sebagai tandingan, yang berpusat di Damaskus.
Ini adalah awal munculnya gejela ashobiyah atau pemerintahan dinasti. Di samping itu,
sebuah tradisi baru dalam proses suksesi telah dimulai pula, yaitu dengan makar
dan pembunuhan politik.[12]
Tampaknya kondisi politik dan pemerintahan
pada masa Ali banyak menimbulkan permasalahan-permasalahan baru, seperti proses
pergantian khalifah dengan cara makar dan pembunuhan politik. Sementara itu
para amir di daerah pendudukan telah memilih berdiri sendiri dan menegakkan
pemerintahan sendiri lepas dari kontrol pemerintahan pusat di Madinah maupun
Damaskus, sehingga timbul pulalah aliran-aliran
politik dalam Islam yaitu Syiah, Khawarij, Mu’tazilah dan sebagainya.
2.
Kelompok Oposisi / Peperangan dan Tahkim
Segera setelah Ali dibaiat di Mesjid
Madinah sebagai khalifah pada tahun 658 M, golongan Muawiyah yang dipimpin
Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb bin Umayah (602-680 M), melakukan makar, pertempuran besar segera
terjadi antara pendukung Ali melawan pendukung Muawiyah, di Siffin. Dalam
literature Islam peristiwa itu dikenal sebagai Fitnatul Qubra (bencana
besar), yang tidak lain adalah perang saudara besar. Kekuatan kedua pasukan
tersebut relatif sama, hingga tidak segera
terlihat tanda-tanda perang akan usai.
Pada suatu saat terlihat kekuatan golongan Umayah mulai melemah. Di saat itulah
pihak kelompok Umayah memainkan tipu muslihat licik. Tiba-tiba di tengah
berkecamuknya perang saudara itu seorang prajurit Umayah menaikkan mushaf
Al-Quran di ujung tombak yang diacungkan ke atas, sebagai tanda gencatan senjata. Menyaksikan isyarat itu khalifah Ali
memerintahkan untuk menghentikan pertempuran. Segera setelah itu dilakukan
perundingan yang dipandu oleh para penengah (arbitrase). Pihak Ali memilih Musa bin al-Asyari sebagai wakil
Ali, sementara Amr bin al-As murupakan tokoh pilihan Muawiyah. Ternyata
penengah pihak Muawiyah tidak jujur, dan berpihak pada Umayah.[13]
Sejak itu peperangan Siffin yang
diakhiri melalui tahkim tidak dapat menyelesaikan masalah, dan
mengakibatkan lahirnya golongan Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan
pendukung Ali, yang berjumlah kira-kira 12.000 orang.
3.
Sosial Kemasyarakatan
Ahmad mentakhrij hadis dari Abdullah bin
Ruzain, dia berkata,”aku pernah masuk ke rumah Ali para hari Idul Adha. Dia
menyuguhkan daging angsa kepadaku. Aku berkata,“ Semoga Allah melimpahkan
kebaikan kepadamu. Karena engkau bisa menyuguhkan makanan ini, berarti Allah
memang telah melimpahkan kebaikan kepadamu.”
Dia berkata, “Wahai Ibu Ruzain, aku
pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Tidak dibenarkan harta Allah bagi seseorang khalifah
kecuali sebanyak dua takaran saja, satu takaran yang dia makan bersama
keluarganya, dan satu takaran lagi yang harus dia berikan kepada orang-orang.”[14]
Tampaklah bahwa khalifah Ali bin Abi Thalib
selalu menginfakkan hartanya dan mengabaikan kepentingan diri sendiri, dan
lebih mengutamakan kebutuhan rakyatnya.
4. Paham Keagamaan
Sikap yang diambil oleh Ali a.s. dapat
dilihat dari ujian yang dihadapinya selama 25 tahun. Semua kepahitan dihadapinya
dengan penuh kesabaran dengan harapan ia dapat membantu terwujudnya persatuan
di kalangan umat Islam dan tidak adanya bentrokan negara muda yang telah
dirintis pendiriannya oleh Nabi Muhammad SAW. Itu semua dilakukan dengan
membiarkan haknya terambil untuk sementara. Ia menjadi konsultan bagi para khalifah
sekaligus penasehat mereka. Di samping itu, beliau tidak lupa untuk melakukan
hal-hal lain yang lebih penting seperti; mengumpulkan Al-Qur’an sekaligus
menafsirkannya. Beliau juga memberikan pencerahan kepada umat dengan
menjelaskan makna-makna Al-Quran dan hakikatnya. Semua itu dilakukan tanpa
meninggalkan upaya menyingkap konspirasi yang dilakukan oleh beberapa kelompok
dari kaum muslimin. Beliau juga sering meluruskan pemahaman-pemahaman yang
salah tentang Islam dan praktek-praktek yang mengatasnamakan Islam. Pada saat
yang sama beliau juga mengkader sejumlah sahabat yang masih beriman dan
meyakini rancangan Nabi tentang kepemimpinan Islam, dan berusaha agar ini dapat
menyebar dan tidak lupa mengingatkan untuk berkorban demi terwujudnya rancangan
Nabi.[15]
Mengenai masalah ini, bisa
diketahui tahu bahwa Ali bin Abi Thalib
a.s. adalah yang layak untuk menjadi khalifah sepeninggal Nabi. Hanya Ali bin
Abi Thalib satu-satunya yang mampu untuk memperbaharui apa yang telah rusak
selama ini. Sebuah kondisi yang sangat sulit dan kompleks sementara
keberpisahan mereka dari kebenaran telah semakin jauh.
c.
Akhir Pemerintahan Ali : Terbunuhnya Ali dan Pengangkatan Hasan ibn Ali.
Di saat tidak ada lagi penguasa resmi
yaitu ketika Ali dan Muawiyah menyerahkan diri pada pihak penengah. Dan Abu Musa pertama kali menurunkan Ali sebagai khalifah,
akan tetapi Amr bin Ash berlaku sebaliknya, tidak menurunkan Muawiyah tetapi
justru mengangkat Muawiyah sebagai khalifah resmi. Tak urung perang pun
berkobar lagi, sampai pada suatu waktu di tahun 661 M khalifah Ali tewas
terbunuh dengan pedang beracun. Pelakunya bernama Abdul Rahman bin Muljam, seorang pengikut fanatik kelompok Khawarij, yang menganggap Ali
bersikap lemah menghadapi lawan.
Segera setelah itu kelompok Syiah
membaiat Hasan, putra tertua Ali menjadi khalifah. Ternyata Hasan menolak
jabatan itu dengan maksud untuk mencegah berkecamuknya lagi perang saudara.
Untuk itu dia mengajukan sejumlah persyaratan.
Ada
lima butir persyaratan yang harus disetujui Muawiyah untuk menduduki jabatan
itu sebagai berikut.
3.
Muawiyah tidak
akan membenci bangsa Irak yang merupakan pendukung Ali
4.
Muawiyah akan
menjamin keamanan pengikut Ali dan memaafkan kesalahan mereka.
5.
Pajak negeri
Ahwaz di kawasan Persia diserahkan kepada pihak Ali.
6.
Pihak Umayah
harus member uang kompensasi kepada Husen, adik Hasan sebesar dua juta dirham.
7.
Hak Bani Hasyim
dalam penghasilan Negara lebih besar disbanding untuk Bani Syam.
Muawiyah
tidak keberatan atas persyaratan itu.[16]
Jadi, kasus terbunuhnya khalifah Ali ini
adalah faktor ketidakpuasan pengikutnya atas sikap Ali yang lemah menghadapi
lawan, dan kurang bijaksana dalam mengambil tindakan. Sedangkan Hasan putra sulung beliau lebih memilih mundur dalam
menjabat sebagai penguasa dengan maksud untuk menyurutkan konflik yang ada.
C.Penutup
1. Kesimpulan
Pada masa khalifah Usman dan Ali, banyak
kemajuan peradaban telah dicapai. Diantaranya adalah muncul gerakan pemikiran
dalam islam. Diantara gerakan pemikiran yang menonjol pada masa mereka adalah
sebagai berikut.
1. memberlakukan mushaf
standar pada masa Usman bin Affan
2. keseriusan mereka untuk mencari serta
mengajarkan ilmu dan memerangi kebodohan berislam para penduduk negeri. Mereka
mengajarkan Alquran dan As-Sunah kepada banyak penduduk negeri yang sudah
dibuka.
3. Islam pada masa awal tidak mengenal
pemisahan antara dakwah dan Negara, tidak dikenal orang yang berprofesi khusus
sebagai da’i. Namun pada masa khalifah Usman dan Ali telah memerankan diri sebagai
seorang penguasa, imam sholat, mengadili orang yang berselisih, da’i, dan juga panglima perang.
Daftar Pustaka
Amin, Samsul Munir. 2009. Sejarah Peradaban Islam.
Amzah. Jakarta
Al-Kandahlawy, Muhammad Yusuf. 2009. Sirah Sahabat.
Pustaka Al-Kautsar. Jakarta Timur.
Depertemen Agama. 1999. Al-Qur’an Karim.
Mahmudunnasir. 1994. Islam, Konsep dan Sejarahnya. Bandung
: Remaja Rosda Karya.
Abu Su’ud. 1994. Islamologi. Jakarta : Asdi
Mahastya
WWW. Paham Keagamaan Ali bin Abi Thalib. Youtube
Tidak ada komentar:
Posting Komentar