Kamis, 18 Februari 2016

Peradaban Islam Masa Khalifah Utsman ibn Affan dan Khalifah Ali ibn Abi Thalib (22-40 H/644-456)

A.  Pendahuluan
Semua orang muslim sudah menyadari, tentang pentingnya perikehidupan shahabat, yang dengan segala pengorbanan jiwa dan raga mereka mendampingi Rasulullah SAW pada saat suka dan duka, saat lapar dan kenyang, saat sulit dan lapang, saat perang dan damai, saat menetap dan berpergian, dalam kehidupan individual dan sosial, dalam kehidupan keluarga dan kemasyarakatan. Hampir semua sisi kehidupan beliau bisa direkam para shahabat, sehingga disamping sebagai pendamping beliau, mereka juga penyambung lidah dan pengejawantah sisi-sisi kehidupan beliau.
Dalam konteks peradaban, Islam menampilkan peradaban baru yang esensinya berbeda dengan peradaban sebelumnya. Peradaban yang ditinggalkan Nabi misalnya, jelas sangat berbeda dengan peradaban Arab di zaman Jahiliyyah. Dengan demikian, Islam telah melahirkan revolusi kebudayaan dan perdaban. Misalnya, pembukuan al-Quran yang dinamakan Mushaf ‘Usmani pada zaman Usman, yang telah digunakan sebagai pegangan bagi umat sampai saat sekarang ini, sehingga segala perbedaan yang timbul dalam soal qira’at dan lain-lain dapat dikendalikan.
Begitu juga dengan Khalifah Ali bin abi Thalib pada masa pemerintahannya menunjukkan sebagai penasehat yang bijaksana, pahlawan yang gagah berani, seorang sahabat sejati.
Makalah ini akan menjelaskan tentang latar belakang pengangkatan Khalifah Usman ibn Affan, dan Ali bin Abi Thalib, serta peradaban islam dari segi politik, pemerintahan, militer, juga sosial kemasyarakatan mereka.


B.   Khalifah Utsman ibn Affan
1.      Latar Belakang Pengangkatan Utsman ibn Affan
Khalifah ketiga adalah Utsman bin Affan. Nama lengkapnya ialah Utsman ibn Affan bin Abil Ash Umayyah dari suku Quraisy. Ia memeluk Islam karena ajakan Abu Bakar, dan menjadi salah seorang sahabat dekat Nabi SAW. Ia sangat kaya tetapi berlaku sederhana, dan sebagian harta kekayaannya digunakan untuk kepentingan Islam. Ia mendapat julukan zun nurain, artinya yang memiliki dua cahaya karena menikahi dua putrid Nabi SAW secara berurutan setelah yang satu meninggal. Ia juga merasakan penderitaan yang disebabkan oleh tekanan kaum Quraisy terhadap muslimin di Mekah, dan ikut hijrah ke Abesinia beserta istrinya. Usman menyumbang 950 ekor unta dan 50 bagal serta 1.000 dirham dalam ekspedisi untuk melawan Bizantium di perbatasan Pelestina. Ia juga membeli mata air orang-orang Romawi yang terkenal dengan harga 20.000 dirham untuk selanjutnya diwakafkan bagi kepentingan umat Islam, dan pernah meriwayatkan hadis kurang lebih 150 hadis. Seperti halnya Umar, Usman diangkat menjadi khalifah melalui proses pemilihan. Bedanya Umar dipilih atas penunjukan langsung sedangkan Usman diangkat atas penunjukan tidak langsung, yaitu melewati badan Syura yang dibentuk oleh Umar menjelang wafatnaya.
Khalifah Umar membentuk sebuah komisi yang terdiri dari enam orang calon, dengan perintah memilih salah seorang dari mereka untuk diangkat menjadi khalifah baru. Mereka ialah Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqas, dan Abdullah ditambahkan kepada komisi enam itu, tetapi ia hanya mempunyai hak pilih, dan tidak berhak dipilih.
Melalui persaingan yang ketat dengan Ali, sidang Syura akhirnya memberi mandat kekhalifahan kepada Usman bin Affan. Masa pemerintahannya adalah yang terpanjang dari semua khalifah di zaman para khalifah Rasyidah, yaitu 12 tahun, tetapi sejarah mencatat tidak seluruh masa kekuasaanya menjadi saat yang baik dan sukses baginya. Para penulis sejarah membagi zaman pemerintahan Usman menjadi dua periode, yaitu enam tahun pertama merupakan masa kejayaan pemerintahannya dan tahun terakhir merupakan masa pemerintahan yang buruk[1].
Dari wacana diatas dapat disimpulkan bahwa latar belakang pengangkatan Khalifah Usman bin Affan berawal dari pergantian masa kekhalifahan Umar bin Khattab setelah wafatnya, melalui proses pemilihan tidak langsung, yaitu melewati badan Syura yang dibentuk oleh Umar menjelang wafatnya.
2.       Peradaban Islam Pada  masa Usman ibn Affan
a.       Politik dan Pemerintahan
Karya monumental Usman yang dipersembahkan kepada umat Islam yaitu penyusunan kitab suci Alquran, bertujuan untuk mengakhiri perbedaan-perbedaaan dalam bacaan Alquran, disebutkan pula bahwa selama pengiriman ekspedisi militer ke Armenia dan Azerbaijan, perselisihan tentang bacaan Alquran muncul  di kalangan tentar muslim, di mana sebagiannya direkrut dari Suriah dan sebagian lagi dari Irak[2].
Dengan hal ini mengisyaratkan bahwa perluasan daerah pemerintahan Usaman semakin bertambah seiring dengan dikirimkannya naskah Alquran ke berbagai wilayah kegubernuran sebagai pedoman yang benar untuk masa selanjutnya.
Setelah melewati saat-saat yang gemilang, pada paruh terakhir masa kekuasaannya, Khalifah Usman menghadapi berbagai pemberontakan dan pembangkangan di dalam negeri yang dilakukan oleh orang-orang yang kecewa terhadap tabiat khalifah dan beberapa kebijaksanaan pemerintahannya. Akan tetapi, sebenarnya  kekacauan itu sudah dimulai sejak pertama tokoh ini terpilih menjadi khalifah, dengan tuduhan nepotisme[3].
3.       Militer ( perluasan wilayah, pembangunan kapal dan armada laut)
Pada masa-masa awal pemerintahannya, Usman melanjutkan sukses para pendahulunya, terutama dalam perluasan wilayah  kekuasaan Islam. Daerah-daerah strategis yang sudah dikuasai Islam seperti Mesir dan Irak terus dilindungi dan dikembangkan dengan melakukan serangkaian ekspedisi militer yang terencanakan secara cermat dan simultan di semua front. Di Mesir pasukan muslim diinstruksikan untuk memasuki Afrika Utara. Salah satu pertempuran penting di sini ialah “ Zatis Sawari “ (Peperangan Tiang Kapal) yang terjadi dilaut Tengah dekat kota Iskandariyah, antara tentara Romawi di bawah pimpinan Kaisar Constantin dengan Laskar Muslim pimpinan Abdullah bin Abi Sarah. Dinamakan perang kapal karena banyaknya kapal-kapal perang yang digunakan dalam peperangan tersebut. Disebutkan terdapat 1.000 buah kapal, dan 200 buah kapal milik kaum muslim sedangkan sisanya milik bangsa Romawi. Pasukan Islam berhasil mengusir pasukan lawan. Pasukan Islam bergerak dari kota Basrah untuk menaklukkan sisa wilayah kerajaan Sasan di Irak, dan dari kota Kufah, gelombang kaum muslimin menyerbu beberapa provinsi di sekitar Laut Kaspia[4].
Dari sejumlah pertempuran yang telah dilakukan Khalifah Usman bin Affan dalam perluasan wilayah kekuasaan Islam seperti Mesir, Irak dan beberapa provinsi di sekitar Laut Kaspia, lahirlah sejumlah phenomena militer yang kemudian melahirkan militer yang dinamis sejalan dengan perkembangan masyarakat Islam. Dari sini telah terlihat konsep-konsep jihad yang masih ditekuni oleh para Sahabat,peraturan pun dilakukan, strategi demi strategi terus dikembangkan, hak-hak dan kewenangan pasukan kembali lagi ditegaskan, begitu juga dengan susunan pasukan yang terus ditertibkan.
4.       Sosial Kemasyarakatan
Dalam hal ini Usman berkata : “Pada saat pencapaianku menjadi khalifah, aku adalah pemilik kambing dan unta yang paling banyak di Arab. Hari ini aku tidak ada unta kecuali yang digunakan dalam ibadah haji. Tentang penyokong mereka, aku memberikan kepada mereka apapun yang dapat aku berikan dari milikku pribadi. Tentang harta kekayaan negara, aku menganggapnya tidak halal, baik bagi diriku sendiri maupun orang lain. Aku tidak mengambil apa pun dari kekayaan negara, apa yang aku makan adalah hasil nafkahku sendiri.
Al-Hakim mengeluarkan hadis dari Abdurrahman bin Samurah, dia berkata, Usman bin Affan menemui Nabi untuk menyerahkan seribu dinar, ketika beliau sedang mempersiapkan pasukan perang yang sedang menghadapi masa paceklik. Usman menyerahkan uang itu dirumah beliau. Sambil membolak-balikkan uang itu, beliau bersabda, Usman tidak akan melarat karena apa yang dikerjakannya setelah hari ini. Beliau mengucapkannya hingga beberapa kali.[5]




5.      Pembukuan Al-Quran (Mush-haf Usmani)
a.       Motif Pengumpulan Al-Quran Pada Zaman Usman.
Pada masa Abu Bakar, tugas pengumpulan Al-Quran telah selesai dengan baik dikerjakan oleh tim Zaid bin Sabit. Kekuatiran bahwa Al-Quran akan lenyap dengan wafat atau syahidahnya para sahabat yang hapal Al-Quran tidak ada lagi. Umat Islam merasa tentram terhadap kitab sucinya dan terpelihara dengan baik.
Pada masa Umar bin Khattab, tugas pengumpulan dan penyempurnaan Al-Quran itu tidak dilanjutkan. Boleh jadi Khalifah menganggap masih banyak persoalan penting lainnya yang harus diselasaikan. Fokus perhatian khalifah waktu itu adalah bidang penyiaran agama Islam dengan sendirinya mengurangi waktu dan enersi. Berturut-turut dalam waktu 10 tahun seluruh semenanjung Arabia, Suriah, Irak, Parsi (Iran sekarang), Pelestina, Mesir, Khurasan, dan lain-lain, sudah berada di bawah panji-panji Islam. Umar wafat, sedangkan Al-Quran masih belum sempurna dibukukan, sekalipun tidak ada kekuatiran ayat-ayat suci tersebut akan hilang karena tersimpan dengan rapih di rumah Khalifah.
Pada masa Usman, wilayah kekuasaan khalifah semakin luas. Selain yang sudah diselasaikan pada masa Umar, Usman melanjutkan tugas penyiaran agama Islam. Daerah-daerah Afrika Utara, Asia Tengah, dan lain-lain dimasuki oleh para juru dakwah Islam. Karena semakin luasnya daerah Islam dan semakin beraneka ragam bangsa-bangsa non Arab yang memeluk agama Islam. Persoalan yang berhubungan dengan kitab suci Al-Quran muncul kembali, menurut keadaan waktu itu.
Diceritakan oleh Bukhari dari sahabat Huzaifah ibnu Yaman yang dapat dianggap sebagai motif yang mendorong khalifah Usman mengumpulkan dan menyeragamkan penulisan Al-Quran. Abu Huzaifah kebetulan ikut berperang bersama prajurit Islam lainnya pada pertempuran Armenia dan Azerbaijan, dan kemenangan diperoleh umat Islam. Selesai pertempuran Abu Huzaifah menghadap khalifah. Dia menceritakan pengalamannya sehubungan dengan Al-Quran. Dia melaporkan bahwa dewasa ini mulai timbul gejala-gejala perbedaan pendapat mengenai soal qira’at Al-Quran di kalangan umat Islam.
Hal ini segera ini ditanggapi oleh khalifah. Ia mengirim utusan kepada Hafsah binti Umar (istri Rasulullah SAW) untuk meminta mushaf yang disimpan di rumahnya. Hafsah memenuhi permintaan itu, dan berdasarkan mushaf yang asli dan otentik itulah, Usman mulai bekerja. Zaid yang waktu itu masih hidup, ditunjuk oleh Usman sebagai ketua tim pembukuan Al-Quran dengan anggota-anggotanay. Usman menggariskan kerja tim Zaid ini sebagai tersebut dalam amanahnya :
إذا اختلفتم اَنتمْ وَزَيْدُ بْنُ ثَابتْ فِي شيئ مِنَ القُرآن فالكتُبوه بِلِسانِ قُرَيشٍ فإنه إَنما نُزلَ بِلِسانهمْ   
Artinya :
Apabila kalian berbeda pendapat denganZaid bin Sabit mengenai sesuatu yang menyangkut Al-Quran, hendaklah kalian tulis ia dengan bahasa Quraisy, sebab sesungguhnya ia diturunkan dengan bahasa mereka[6].
Dengan demikian, Usman menetapkan bahasa Quraisy sebagai bahasa standar dalam soal penulisan, dan perbedaan. Dalam penyusunan ini dimaksudkan untuk mengakhiri perbedaan-perebedaan serius dalam bacaan Alquran.

b.      Beberapa Hal Tentang Mushaf Usman
Hasil usaha tim Zaid yang diserahkan kepada khalifah itu selanjutnya disebut mushaf Al Imam atau lebih dikenal sebutan “Mushaf Usmani”
Ada lima persoalan tentang tuduhan orientalis  terhadap penyusunan Mushaf Usmani ini, yaitu :
                    i.                        Perbedaan qiraat yang mulai muncul di kalangan Islam waktu itu, merupakan motif utama yang mendorong Usman melaksanakan tugas ini. Orientalis Schwally atau Blachare berusaha menyoroti pekerjaan Usman ini secara tidak wajar. Dia berpendapat bahwa yang mendorong usman menyalin Al-Quran dan  meminjamnya dari Hafsah adalah factor kebangsawannya dan kedudukannya sebagai khalifah yang berasal dari kalangan golongan elite mekkah, yang merasa sebagai keluarga yang baik waktu itu. Sangat disayangkan sumber dari pandangan orintalis ini adalah sebuah karya yang ditulis oleh Abu Daud yang menamakan tim Zaid ini dengan “komisi empat” atau Komisi Dua (Zaid dan Sa’id ibn ‘As), atau Komisi Sepuluh. Yang anehnya lagi, Blachere menetapkan pekerjaan Zaid ini dimulai pada tahum 30 H, padahal menurut riwayat yang kuat dimulai pada tahun 25 H. lagi pula Blachere memasukkan nama sahabat Ubay bin Ka’ab dalam tim ini, sedangkan Ubay, ketika Usman mulai memerintah, sudah meninggal dunia. Jelasnya kita tetap beranggapan bahwa maksud baik Usman dengan pekerjaan yang mulai ini adalah sama dengan maksud Abu Bakar, bukan karena motif politik, kebangsawanan, dan sebagainya.
                  ii.                         Bahwa tim yang dibentuk Usman terdiri dari empat orang. Zaid memaang berasal dari Madinah (Sahabat Ansor), sedangkan  tiga orang lainnya sebagai anggota tim berasal dari Mekah (Abdullah bin Zubeir, Sa’ad bin ‘As, Abdurrahman bin Haris). Sekalipun Zaid bukan orang Mekah (Quraisy) melainkan sahabat Ansar, namun ketelitian, kejujuran dan I’tikad baiknya terhadap pekerjaan yang sudah bertahun-tahun dilakukannya tidak diragukan lagi. Apalagi Usman telah menginstruksikan, kalau timbul perbedaan qira’at atau cara penulisan antara ketiga tim itu dengan dengan ketuanya (Zaid), maka Al-Quran harus ditulis dengan dialek dan ejaan bahasa Arab Quraisy. Tentu saja perintah khalifah itu bertujuan memelihara kemurnian Al-Quran dalam segala aspeknya. Andaikata Usman memang terpengaruh oleh sifat ekslusifismennya sebagai keturunan Quraisy sebagaimana dituduhkan oleh orientalis Blachere, tentulah dia tidak akan mengangkat Zaid sebagai tim ketua tim penulisan Al-Quran sebab Zaid bukan keturunan Quraisy.
                iii.                         Tim yang empat orang ini bekerja menyalin mushaf yang ada ditangan Hafsah. Mushaf inilah yang telah disusun pada zaman Abu Bakar. Abu bakar menunjuk Zaid sebagai ketua tim penulisan Al-Quran yang memang sudah menekuni bidang ini semenjak masa Rasulullah SAW. Jadi sedikitpun tidak diragukan lagi kebenaran naskah yang disusun atas perintah Usman ini.
                iv.                         Al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab Quraisy. Bahasa itulah yang paling tepat untuk penulisan Al-Quran menurut jalan pikiran Usman. Itulah yang tepat dan benar. Oleh karena itu kalau terjadi perbedaan pendapat antara Zaid sebagai ketua tim dengan tiga orang anggotanya yang keturunan Quraisy, maka perbedaan itu harus diakhiri dengan menulis Al-Quran menurut kaidah bahasa Quraisy.
                  v.                         Usman memerintahkan menyalin mushaf Abu Bakar (yang adapada Hafsah) sebanyak 5 kopi. Empat kopi dikirim kepada penguasa di Mekah, Kufah, Basrah, dan Suriah, aslinya dipegang oleh Usman sendiri. Setelah itu beliau memerintahkan kaum muslimin membakar semua catatan-catatan yang ada selain mushaf  dan beliau memerintahkan agar Al-Quran dibaca menurut qira’at yang terdapat dalam materi mushaf Usmani atau Mushaf Imam[7].
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa meskipun Usman telah berusaha mengumpulkan Alquran dengan niat yang baik, namun masih ada juga tanggapan buruk dari mereka yang mau mengacaukan kebenaran Islam. Kemudian khlalifah Usman ingin menegaskan bahwa  Mushaf Usman adalah salinan dari mushaf yang asli secara sah, digunakan sebagai pegangan bagi umat dengan mushaf yang sudah teratur dan sempurna, sehingga segala perbedaan yang timbul  dalam soal qira’at dan lain-lain dapat dikendalikan.
3.      Akhir Pemerintahan Usman : Tuduhan Nepotisme dan Terbunuhnya           Usman.
Usman terpilih karena sebagai calon konservatif, ia adalah orang yang baik dan soleh. Namun, dalam banyak hal kurang menguntungkan, karena Usman terlalu terikat dengan kepentingan-kepentingan orang Mekah, khususnya kaum Quraisy dari kalangan Bani Umayyah. Kemenangan Usman sekaligus adalah suatu kesempatan yang baik bagi sanak saudaranya dari keluarga besar Bani Umayah. Oleh karena itu, Usman berada dalam pengaruh dominisi seperti itu maka satu persatu kedudukan tinggi kekhalifahan diduduki oleh anggot-anggota keluarga itu.
Kelemahan dan nepotisme telah membawa khalifah kepuncak kebencian rakyat, yang pada beberapa waktu kemudian menjadi pertikaian yang mengerikan di kalangan umat Islam
Ketika Usman mengangkat Marwan bin Hakam, sepupu khalifah yang dituduh sebagai orang yang mementingkan diri sendiri dan intrik menjadi sekretaris utamanya, segera timbul mosi tidak percaya dari rakyat. Begitu pula dengan penempatan Muawiyah, Walid bin Uqbah dan Abdullah bin Sa’ad masing-masing sebagai gubernur Suriah, Irak dan Mesir, sangat tidak disukai oleh umum. Ditambah lagi tuduhan-tuduhan keras bahwa kerabat khalifah memperoleh harta pribadi dengan memngorbankan kekayaan umum dan tanah negara. Hakam ayah Marwan mendapatkan tanah Fadah, Marwan sendiri menyalahgunakan harta baitul mal, Muawiyah mengambil alih tanah negara Suriah dan khalifah mengizinkan Abdullah untuk mengambil seperlima dari harta rampasan perang Tripoli untuk dirinya dan lain-lain.[8]
Dari berbagai kecaman tersebut, khalifah telah berupaya untuk membela diri dan melakukan tindakan politis sebatas kemampuan. Tentang pemborosan uang  negara misalnya, Usman menepis keras tuduhan keji itu. Benar jika dikatakan ia banyak membantu saudara-saudaranya dari Bani Umayah, tetapi itu diambil dari kekayaan pribadinya. Sama sekali bukan dari kas negara, bahkan khalifah tidak mengambil gaji yang menjadi haknya. Pada saat menjadi khalifah justru Usman jatuh miskin. Selain karena harta yang ia miliki digunakan untuk membantu sanak familinya, juga karena seluruh waktunya dihabiskan untuk mengurusi permasalahan kaum muslimin, sehingga tidak ada lagi kesempatan untuk mengumpulkan harta seperti di masa sebelum menjadi khalifah.[9]
Rasa tidak puas terhadap khalifah Usman seamkin besar dan menyeluruh. Pemberontakan pun terjadi dan berhasil mengusir gubernur yang diangkat khalifah, lalu mereka yang terdiri dari 600 orang Mesir itu berarak-arakan menuju ke Madinah. Para pemberontak dari Basrah dan Kufah bertemu dan menggabungkan diri dengan kelompok dari Mesir. Khalifah pun menuruti kemauan mereka dengan mengangkat Muhammad bin abu Bakar sebagai gubernur di Mesir. Mereka puas dengan keputusan khalifah tersebut dan pulang ke negeri mereka masing-masing. Akan tetapi di tengah jalan para pemberontak menemukan surat yang dibawa oleh utusan khusus yang menerangkan bahwa para wakil itu harus dibunuh setelah sampai di Mesir. Menurut mereka surat itu ditulis oleh sekretaris khalifah yaitu Marwan bin Hakam, sehingga mereka meminta kepada khalifah untuk menyerahkan Marwan bin Hakam. Tuntutan itu tidak dipenuhi oleh khalifah, tetapi mereka tidak menerimanya. Mereka mengepung rumah khalifah, dan membunuhnya ketika Usman membaca Alquran pada tahun 35 H/17 Juni 656 M.[10]
Dengan demikian berakhirlah masa pemerintahan khalifah Usman bin Affan,setelah itu kekhalifahan digantikan oleh Ali bin Abi Thalib, menjadi khalifah yang keempat setelah Abu Bakar, Umar dan Usman.

 2. Khalifah Ali ibn Abi Thalib
a. Latar Belakang Pengangkatan Ali ibn Abi Thalib
Khalifah keempat adalah Ali bin Abi Thalib. Ali adalah keponakan dan menantu nabi. Ali adalah putra Abi Thalib bin Abdul Muthalib. Selang beberapa hari pembunuhan Usman, stabilitas keamanan kota Madinah menjadi rawan. Gafiqy bin Harb memegang keamanan ibu kota Islam itu selama kira-kira lima hari sampai terpilihnya khalifah yang baru. Kemudian Ali bin Abi Thalib tampil menggantikan Usman, menerima baiat dari sejumlah kaum muslimin.
Kota Madinah saat itu sedang kosong, para sahabat banyak yang berkunjung kewilayah-wilayah yang baru ditaklukkan. Sehingga hanya beberapa sahabat yang masih berada di Madinah, antara lain Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam. Sedangkan tidak semua sahabat tersebut menyokong Ali, seperti Sa’ad bin Abi Waqqas dan Abdullah bin Umar. Oleh karena itu, Ali pun menanyakan keberadaan mereka karena merekalah yang berhak menentukan siapa yang akan menjadi khalifah lantaran keseniorannya dan mengikuti perang Badar. Maka muncullah Thalhah, Zubair, dan Sa’ad membai’at Ali yang kemudian diikuti oleh banyak orang, baik dari kalangan Anshar maupun Muhajirin.[11]
Dengan demikian penyebab dari pengangkatan Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah karena khalifah Usman telah wafat akibat dari kasus pembunuhan, dan keamanan kota Madinah pun menjadi rawan. Oleh karena itu diangkatlah Ali untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada . selanjutnya sebagaimana diketahui bahwa Ali bin Abi Thalib adalah kemenakan dan menantu Nabi. Untuk selanjutnya partai Syiah selalu mengklaim bahwa mereka merupakan keturunan langsung Nabi Muhammad. Oleh karenanya merekalah yang berhak atas semua kepemimpinan Islam sampai akhir zaman.

b. Peradaban Islam Masa Ali bin abi Thalib
1. Politik dan Pemerintahan
Tugas pertama yang dilaukukan oleh khalifah Ali ialah menghidupkan cita-cita abu Bakar dan Umar, menarik semua tanah dan hibah yang telah dibagikan oleh Usman kepada kaum kerabatnya ke dalam kepemilikan negara. Ali juga segera menurunkan semua gubernur yang tidak disenangi rakyat. Usman bin Hanif diangkat menjadi penguasa Basrah menggantikan Ibnu Amir,dan Qais bin Sa’ad dikirim ke Mesir untuk menggantikan gubernur oleh Abdullah.
Ketika kekhalifahan dipegang oleh khaliafh Ali, pusat pemerintahan tetap berpusat di Madinah. Namun keluarga Usman telah memulai tradisi baru dalam sistem pemerintahan Islam, yaitu mendirikan kekhalifahan Umayah sebagai tandingan, yang berpusat di Damaskus. Ini adalah awal munculnya gejela ashobiyah  atau pemerintahan dinasti. Di samping itu, sebuah tradisi baru dalam proses suksesi telah dimulai pula, yaitu dengan makar dan pembunuhan politik.[12]
Tampaknya kondisi politik dan pemerintahan pada masa Ali banyak menimbulkan permasalahan-permasalahan baru, seperti proses pergantian khalifah dengan cara makar dan pembunuhan politik. Sementara itu para amir di daerah pendudukan telah memilih berdiri sendiri dan menegakkan pemerintahan sendiri lepas dari kontrol pemerintahan pusat di Madinah maupun Damaskus, sehingga timbul pulalah aliran-aliran politik dalam Islam yaitu Syiah, Khawarij, Mu’tazilah dan sebagainya.

2. Kelompok Oposisi / Peperangan dan Tahkim
Segera setelah Ali dibaiat di Mesjid Madinah sebagai khalifah pada tahun 658 M, golongan Muawiyah yang dipimpin Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb bin Umayah (602-680  M), melakukan makar, pertempuran besar segera terjadi antara pendukung Ali melawan pendukung Muawiyah, di Siffin. Dalam literature Islam peristiwa itu dikenal sebagai Fitnatul Qubra (bencana besar), yang tidak lain adalah perang saudara besar. Kekuatan kedua pasukan tersebut relatif sama, hingga tidak segera  terlihat tanda-tanda perang akan usai.
Pada suatu saat terlihat kekuatan  golongan Umayah mulai melemah. Di saat itulah pihak kelompok Umayah memainkan tipu muslihat licik. Tiba-tiba di tengah berkecamuknya perang saudara itu seorang prajurit Umayah menaikkan mushaf Al-Quran di ujung tombak yang diacungkan ke atas, sebagai tanda gencatan  senjata. Menyaksikan isyarat itu khalifah Ali memerintahkan untuk menghentikan pertempuran. Segera setelah itu dilakukan perundingan yang dipandu oleh para penengah (arbitrase). Pihak Ali memilih Musa bin al-Asyari sebagai wakil Ali, sementara Amr bin al-As murupakan tokoh pilihan Muawiyah. Ternyata penengah pihak Muawiyah tidak jujur, dan berpihak pada Umayah.[13]
Sejak itu peperangan Siffin yang diakhiri melalui tahkim tidak dapat menyelesaikan masalah, dan mengakibatkan lahirnya golongan Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan pendukung Ali, yang berjumlah kira-kira 12.000 orang.

3. Sosial Kemasyarakatan
Ahmad mentakhrij hadis dari Abdullah bin Ruzain, dia berkata,”aku pernah masuk ke rumah Ali para hari Idul Adha. Dia menyuguhkan daging angsa kepadaku. Aku berkata,“ Semoga Allah melimpahkan kebaikan kepadamu. Karena engkau bisa menyuguhkan makanan ini, berarti Allah memang telah melimpahkan kebaikan kepadamu.”
Dia berkata, “Wahai Ibu Ruzain, aku pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Tidak dibenarkan harta Allah bagi seseorang khalifah kecuali sebanyak dua takaran saja, satu takaran yang dia makan bersama keluarganya, dan satu takaran lagi yang harus dia berikan kepada orang-orang.”[14]
Tampaklah bahwa khalifah Ali bin Abi Thalib selalu menginfakkan hartanya dan mengabaikan kepentingan diri sendiri, dan lebih mengutamakan kebutuhan rakyatnya.



            4. Paham Keagamaan
Sikap yang diambil oleh Ali a.s. dapat dilihat dari ujian yang dihadapinya selama 25 tahun. Semua kepahitan dihadapinya dengan penuh kesabaran dengan harapan ia dapat membantu terwujudnya persatuan di kalangan umat Islam dan tidak adanya bentrokan negara muda yang telah dirintis pendiriannya oleh Nabi Muhammad SAW. Itu semua dilakukan dengan membiarkan haknya terambil untuk sementara. Ia menjadi konsultan bagi para khalifah sekaligus penasehat mereka. Di samping itu, beliau tidak lupa untuk melakukan hal-hal lain yang lebih penting seperti; mengumpulkan Al-Qur’an sekaligus menafsirkannya. Beliau juga memberikan pencerahan kepada umat dengan menjelaskan makna-makna Al-Quran dan hakikatnya. Semua itu dilakukan tanpa meninggalkan upaya menyingkap konspirasi yang dilakukan oleh beberapa kelompok dari kaum muslimin. Beliau juga sering meluruskan pemahaman-pemahaman yang salah tentang Islam dan praktek-praktek yang mengatasnamakan Islam. Pada saat yang sama beliau juga mengkader sejumlah sahabat yang masih beriman dan meyakini rancangan Nabi tentang kepemimpinan Islam, dan berusaha agar ini dapat menyebar dan tidak lupa mengingatkan untuk berkorban demi terwujudnya rancangan Nabi.[15]
Mengenai masalah ini, bisa diketahui  tahu bahwa Ali bin Abi Thalib a.s. adalah yang layak untuk menjadi khalifah sepeninggal Nabi. Hanya Ali bin Abi Thalib satu-satunya yang mampu untuk memperbaharui apa yang telah rusak selama ini. Sebuah kondisi yang sangat sulit dan kompleks sementara keberpisahan mereka dari kebenaran telah semakin jauh.

c. Akhir Pemerintahan Ali : Terbunuhnya Ali dan Pengangkatan Hasan ibn   Ali.
Di saat tidak ada lagi penguasa resmi yaitu ketika Ali dan Muawiyah menyerahkan diri pada pihak penengah. Dan  Abu Musa pertama kali menurunkan Ali sebagai khalifah, akan tetapi Amr bin Ash berlaku sebaliknya, tidak menurunkan Muawiyah tetapi justru mengangkat Muawiyah sebagai khalifah resmi. Tak urung perang pun berkobar lagi, sampai pada suatu waktu di tahun 661 M khalifah Ali tewas terbunuh dengan pedang beracun. Pelakunya bernama Abdul Rahman bin Muljam, seorang pengikut fanatik kelompok Khawarij, yang menganggap Ali bersikap lemah menghadapi lawan.
Segera setelah itu kelompok Syiah membaiat Hasan, putra tertua Ali menjadi khalifah. Ternyata Hasan menolak jabatan itu dengan maksud untuk mencegah berkecamuknya lagi perang saudara. Untuk itu dia mengajukan sejumlah persyaratan.
Ada lima butir persyaratan yang harus disetujui Muawiyah untuk menduduki jabatan itu sebagai berikut.
3.      Muawiyah tidak akan membenci bangsa Irak yang merupakan pendukung Ali
4.      Muawiyah akan menjamin keamanan pengikut Ali dan memaafkan kesalahan mereka.
5.      Pajak negeri Ahwaz di kawasan Persia diserahkan kepada pihak Ali.
6.      Pihak Umayah harus member uang kompensasi kepada Husen, adik Hasan sebesar dua juta dirham.
7.      Hak Bani Hasyim dalam penghasilan Negara lebih besar disbanding untuk Bani Syam.
Muawiyah tidak keberatan atas persyaratan itu.[16]
 Jadi, kasus terbunuhnya khalifah Ali ini adalah faktor ketidakpuasan pengikutnya atas sikap Ali yang lemah menghadapi lawan, dan kurang bijaksana dalam mengambil tindakan. Sedangkan Hasan putra sulung beliau lebih memilih mundur dalam menjabat sebagai penguasa dengan maksud untuk menyurutkan konflik yang ada.

            C.Penutup
            1. Kesimpulan
Pada masa khalifah Usman dan Ali, banyak kemajuan peradaban telah dicapai. Diantaranya adalah muncul gerakan pemikiran dalam islam. Diantara gerakan pemikiran yang menonjol pada masa mereka adalah sebagai berikut.
                        1. memberlakukan mushaf standar pada masa Usman bin Affan
2. keseriusan mereka untuk mencari serta mengajarkan ilmu dan memerangi kebodohan berislam para penduduk negeri. Mereka mengajarkan Alquran dan As-Sunah kepada banyak penduduk negeri yang sudah dibuka.
3. Islam pada masa awal tidak mengenal pemisahan antara dakwah dan Negara, tidak dikenal orang yang berprofesi khusus sebagai da’i. Namun pada masa khalifah Usman dan Ali telah memerankan diri sebagai seorang penguasa, imam sholat, mengadili orang yang berselisih, da’i, dan juga panglima perang.

Daftar Pustaka

Amin, Samsul Munir. 2009. Sejarah Peradaban Islam. Amzah. Jakarta
Al-Kandahlawy, Muhammad Yusuf. 2009. Sirah Sahabat. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta Timur.
Depertemen Agama. 1999. Al-Qur’an Karim.
Mahmudunnasir. 1994. Islam, Konsep dan Sejarahnya. Bandung : Remaja Rosda Karya.
Abu Su’ud. 1994. Islamologi. Jakarta : Asdi Mahastya
WWW. Paham Keagamaan Ali bin Abi Thalib. Youtube



 [1]. Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam,(Jakarta: Amzah)cet, 1, hal 104
 [2] . ibid, hal 105.
 [3]. Misalnya  memberikan pekerjaan dan pengangkatan pejabat dari kalangan anggota keluarganya.
 [4]. Ibid
 [5]. Muhammad Yusuf Al-Kandahlawy,Sirah Sahabat, (Pustaka Al-Kautsar :jakarta Timur)hal 223
[6]. Depag, Al-Quran Karim dan Tafsirnya, hal 78
 [7]. Depag,  op.cit, hal 80
 [8]. Mahmudunnasir, islam, Konsep dan Sejarahnya,hal 188-189
[9]. Samsul Munir Amin, op.cit, hal 107
 [10]. Ibid, hal 108
 [11]. Ibid, hal, 109
       [12]. Abu Su’ud, Islamologi, (Asdi Mahasatya; Jakarta) hal, 62
 [13]. Ibid, hal 63
 [14]. Muhamad Yusuf Al-Kandahlawy, op.cit, hal, 237
 [15].  www, Paham keagamaan Ali Bin Abi Thalib, Youtube.
      [16]. Abu Su’ud. op.cit, hal 63 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar