A.
Pendahuluan
Setelah
Khilafah Abbasiyah di Baghdad runtuh akibat serangan Tartar Mongol. Kekuatan
politik Islam mengalami kemunduran secara drastis. Wilayah kekuasaannya
tercabing-cabik dalam beberapa kerajaan kecil yang satu sama lain bahkan saling
memerangi. Beberapa peninggalan budaya dan peradaban Islam banyak yang hancur
akibat serangan bangsa Mongol itu. Hal ini disebabkan Baghdad adalah sebagai
pusat kebudayaan dan peradaban Islam yang sangat kaya dengan khazanah ilmu
pengetahuan ikut lenyap dibumi hanguskan oleh pasukan Hulagu Khan. Timur Leng
menghancurkan pusat-usat kekuasaan Islam yang lain. Dunia Islam dibawah
kekuasaan mereka mengalami kehancuran, yang pada gilirannya membuat umat Islam
mengalami kemunduran dan umat Islam mengalami penderitaan yang tiada taranya
pda saat itu.
Keadaan politik
umat Islam secara keseluruhan baru mengalami kemajuan kembali setelah muncul
dan berkembangnya tiga kerajaan besar. Usmani di Turki, Mughal di India dan
Syafawi di Persia. Kerajaan Usmani di samping yang pertama berdiri, juga yang
terbesar dan paling lama bertahan dibanding dua kerajaan lainnya.[1]
Persinggungan Islam
dengan Turki melalui sejarah yang panjang, terhitung sejak abad pertama
Hijriyah hingga suku-suku Turki menjadi penganut dan pembela Islam. Pengaruh
Turki dlaam dunia Islam semakin terasa pada masa pemerintahan al-Mu’tasim,
kholifah terakhir dinasti abbasiah. Sejak masa itu bangsa Turki dari berbagai
suku senantiasa terlibat dalam jatuh bangunya berbagai dinasti di daerah mana
mereka bertempat tinggal dan mengabdi.[2]
B.
Asal Usul Turki Usmani
Kerajaan Turki
Usmani didirikan oleh suku bangsa pengembara yang beral dari wilayah Asia
tengah yang termasuk suku Kayi, ketika bangsa Mongol menyerang dunia Islam,
pemimpin suku Kayi, Sulaiman Syah, mengajak anggota sukuya untuk menghindari
serbuan bangsa Mongol tersebut dan lari ke arah barat. Bangsa Mongol itu mulai menyerang dan menaklukan wilayah
Islam yang berada dibawah kekuasaan dinasti Khawarazm Syah tahun 12419-1220.
Sulaiman syah meminta perlindungan kepada Jalal ad-Din memberi jalan agar
sulaiman pergi ke Barat ke arah Asia Kecil dan disanalah mereka menetap.
Sulaiman ingin pindah lagi ke wilayah Syam setelah ancaman mongol reda. Dalam
usahanya indah ke negeri syam itu, pemimpin orang-orang Turki tersebut mendapat
kecelakaan hanyut disungai Euprat yang tiba-tiba pasang karena banjir besar,
tahun 1228.[3]
Mereka akhirnya
terbagi menjadi dua kelompok yang pertama ingin ke negeri asal dan yang kedua
meneruskan perantauannya ke wilayah Asia Kecil. Kelompok kedua itu berjumlah
sekitar 400 keluarga dipimpin oleh Erthogrol anak Sulaiman Syah. Mereka
akhirnya menghambakan diri kepada Sultan ‘Ala ad-Din II dari Turki Saljuk Rum
yang pemerintahannya berpusat di Konya, Anatolia, Asia Kecil. Pada waktu itu
bangsa Saljuk yang serumpun dan seagama dengan orang-orang Turki Imigran
melihat bahaya bangsa Romawi yang mempunyai kekuasaan di kemaharajaan Romawi
Timur (Bizantium). Dengan adanya pasukan baru dari saudara sebangsanya itu
pasukan Saljuk menang atas Romawi. Sultan gembira dengan kemenangan tersebut
dan memberi hadiah kepada Erthogrol wilayah yang berbatasan dengan Bizantium,
dengan senang hati Erthogrol membangun pendidikan dan berusaha memperluas
wilayahnya dengan merebut dan merongrong wilayah Bizantium. Mereka menjadikan
Sogud sebagah pusat kekuasaannya. Dinasti Saljuk Rum sendiri sedang surut pada
saat itu. Dinasti tersebut telah
berkuasa di Anatolia bagian tengah kurang lebih dua ratus tahun lamanya. Sejak
tahun 1077 hingga tahun 1300.
Erthogrol
memunyai seorang putra yang bernama Usman yang diperkirakan lahir tahun 1258.
Nama Usman itulah yang diambil sebagai nama untuk kerjaan Turki Usmani.
Erthogrol meninggal tahun 1280.[4] Sepeninggal Erthogrol, atas persetujuan Sultan Alaudin, kedudukan
Erthogrol digantikan oleh putranya yang bernama Usman yang memerintah Turki
Usmani antara tahun 1281-1224 M.
Serangan Mongol terhadap Bagdad termasuk
Saljuk yang terjadi pada tahun 1300 yang
menyebabkan dinasti ini terpecah-pecah menjadi sejumlah kerajaan kecil. Dalam
kondisi kehancuran Saljuk inilah Usman mengklaim kemerdekaan secara penuh atas
wilayah yang didudukinya. Sekaligus memproklamisikan berdirinya kerjaan Turki
Usmani. Kekuatan militer Usman menajdi
benteng pertahanan Sultan dinasti-dinasti kecil dari ancaman bahaya serangan
Mongol. Dengan demikian, secara tidak langsung mereka mengakui Usman sebagai
penguasa tertinggi dengan gelar “Padiansyah Ali Usman”[5]
C.
Imperium Usmani yang mendunia
Raja-raja Turki
Usmani bergelar Sultan dan Khlifah sekaligus. Sultan menguasai kekuasaan
duniawi dan Khalifah berkuasa dibidang agama atau spiritual/ukhrawi. Mereka
mendapatkan kekuasaan secara turun temurun. Tetapi tidak harus putra pertama
yang menjadi pengganti Sultan terdahulu. Adakalanya putra kedua atau ketiga dan
selanjutnya menggantikan Sultan. Dan
perkembangan selanjutnya pergantian kekuasaan itu juga diserahkan kepada
saudara Sultan bukan kepada anaknya. Dengan system pergantian kekuasaan yang
sedemikian itu sering timbul perebutan kekuasaan, yang tidak jarang menjadi ajang
pertempuran antara satu pengeran dengan yang lainnya, yang mengakibatkan
lemahnya kekuasaan Usmaniyyah. Sejak masa Usman hingga Sulaiman yang Agung
dapat dikatakan bahwa para sultannya terdiri dari orang-orang yang kuat, dapat
mengembangkan kerajaannya hingga ke Eropa dan Afrika. Dimasa Sulaiman yang
bergelar al-Qanuni itulah Turki Usmani mencapai puncak kejaannya. Setelah masa
itu para sultannya dalam keadaan lemah, ditambah lagi dengan banyakknya
serangan balik dari negeri-negeri Eropa yang sudah mereasa kuat. Akhirnya para
penguasa Usmani tidak dapat lagi mempertahankan kerajaannya yang luas itu san
hilanglah kekuasaannya tahun 1924 ketika Mustafa Kemal Attaturk menghapuskan
Khilafah untuk selama-lamanya dari bumi Turki dan bergantilah negeri itu menjadi
Republik hinga kini. Dalam sekian lama kekuasaannya itu sekitar 625 tahun
berkuasa tidak kurang dari tiga puluh delapan sultan, yang sejarah kekuasaan
mereka bisa dibagi menjadi lima periode sebagai berikut:[6]
a.
Periode
Pertama (1299-1402)
Periode ini dimulai dari berdirinya kerajaan, ekspansi pertama
sampai kehancuran sementara oleh serangan Timur. Sultan-sultannya adalah seagai
berikut:
1.
Usman
I 1299-1326
2.
Orkhan
(putera Usman I) 1326-1359
3.
Murad
I (putera Orkhan) 1359-1389
4.
Bayazid
I Yildirim (putera Murad I) 1389-1402
Sebagaimana telah disebutkan di atas, Usman mendapatkan
kekuasaannya setelah meninggalnya Sultan Saljuk Rum, ‘Ala ad-Din II.
Kerajaannya diperkuat dengan menambah wilayah-wilayah yang ditaklukkannya dari
Bizantium. Untuk negeri-negeri yang belum ditaklukkan di Asia Kecil, Usman
mengirim surat kepada mereka untuk memilih dari tiga pilihan, yakni tunduk dan
memeluk agama Islam, membayar jizyah, atau diperangi. Banyak diantara mereka
yang tunduk dan memeluk agama Islam, sebagian yang lain mau membayar jizyah,
tetapi ada pula yang menetang dan bersekutu dengan tentara Tartar untuk
melawannya. Sultan Usman bersama dengan anaknya, Orkhan menyerang wilayah barat
Bisantium hingga ke Selat Bosporus. Bursa dijadikan ibu kota kerajaan Usman
setelah sebelumnya pemerintahan Usmani itu berpusat di Qurah Hisyar atau
Iskisyihar.
Sultan Murad naik tahta tahun 1359. Di samping meluaskan wilayah ke
Eropa, Sultan yang baru itu juga menaklukkan wilayah di Asia Kecil sampai di
Ankara. Negeri-negeri bekas wilayah Saljuq ditundukkan. Adrianopel di daratan
Eropa ditaklukkan pula. Kota itu dijadikan ibu kota Usmani dan diganti dengan
Edirne karena letaknya yang strategis. Melihat kesuksesan yang dilakukan oleh
Usmani itu, maka raja-raja Kristen Eropa memohon kepada Paus di Roma untuk
mengumpulkan pasukan guna menahan laju pasukan Usmani. Tetapi pasukan sekutu
dari Eropa itu dapat dikalahkan oleh Murad dengan serangan di malam gelap yang
tidak terduga sebelumnya.
Serangan yang menetukan terjadi di Kossovo tahun 1389. Pasukan
Slavia dan Servia (Serbia) dapat dipukul mundur dan dihancurkan oleh pasukan
Murad. Ia melihat-lihat pasukannya yang baru menang di antara serakan pasukan
lawan yang terbunuh. Tiba-tiba seorang tentara yang berpura-pura mati bangkit
dan menikam Sultan sehingga menyebabkan kematiannya seketika itu juga. Si Penikam itu akhirnya
meti juga terbunuh di tangan pasukan Muslim. Hal itu tejadi pada 1389, dan ia
digantikan oleh putranya, Bayazid.
Sultan Bayazid naik tahta tahun 1389, dan mendapat gelar Yaldirin
atau Yaldrum, yang berarti kilat, karena terkenal dengan serangan-serangannya
yang cepat terhadap lawan-lawannya. Ia menaklukkan wilayah-wilayah yang belum
ditundukkan oleh para pendahulunya. Di masanya terjadi perang besar antara
pasukan Usmani dengan tentara sekutu Eropa yang dimenangkan oleh pasukan
Usmani. Pertempuran itu terjadi pada tahun 1396.
Ketika sedang memusatkan perhatiannya untuk menghadapi musuh di
Eropa, ia ditantang oleh musuh sesame Islam yang datang dari Timur, yakni Timur
Lank, seorang raja keturunan bangsa Mongol yang telah memeluk agama Islam yang
berpusat di Samarkand. Ia mendapatkan dukungan dari negeri-negeri Asia Kecil
yang tidak mau tunduk kepada Bayazid. Perang yang menentukan terjadi di Ankara.
Bayazid bersama anaknya, Musa, dan Erthogrol dikalahkan dan ditawan olah Timur
Lank. Akhirnya, Bayazid mati dalam tawanan Timur tahun 1402.
b.
Periode
Kedua
Periode ini ditandai dengan proses restorasi kerajaan dan cepatnya
pertumbuhan sampai ekspansinya terbesar. Sultan-sultannya adalah:
5.
Muhammad
I (putera Bayazid I)
6.
Murad
II (putera Muhammad I)
7.
Muahmmad
II al-Fatih (putera Murad II)
8.
Bayazid
II ( putera Muhammad II)
9.
Salim
I (putera Buayazid II)
10.
Sulaiman
I al-Qanuni (putera Salim I)
Sultan Muhammad naik tahta dengan susah payah setelah mengalahkan
saudara-saudaranya sepeninggal ayahnya, Bayazid. Ia baru diakui oleh seluruh
wilayah Usmani setelah berjuang kurang lebih sepuluh tahun. Ia membuat perjanjian
damai dengan raja-raja Eropa dan menaklukkan wilayah-wilayah yang menentangnya
satu demi satu . akhirnya wilayah Usmani dapat disatukan kemabali. Integrasi
wilayah ini tanpaknya mengejutkan Eropa karena mereka sama sekali tidak menduga
bahwa Usmani akan bangkit kembali karena sudah berantakan akibat serangan Timur
Lank. Sultan meninggal tahun 1421 dan diganti oleh putranya, Murad II.
Sultan Murad naik tahta ketika masih berumur muda sehingga tidak
dihiraukan oleh raja-raja Eropa. Banyak tantangan yang ia hadapi. Yang paling
penting adalah bersatunya pasukan Eropa di bawah komando negeri Hongaria dengan
Huynade sebagai pemimpinnya. Serangan-serangan terhadap dunia Islam membuahkan
kemenangan, yang memaksa Murad II untuk berdamai dengan mereka. Perdamaian
dengan sumpah di bawah kitab suci masing-masing agama –al-Qur’an dan Injil-
dikhianati oleh pihak Kristen. Mereka bernafsu menyerang kembali Usmani tanpa
manghiraukan perjanjian yang telah dibuat belum lama berselang. Sultan Murad
yang semula mengundurkan diri dari panggung politik bangkit kembali guna
menghadapi pengkhianatan itu. Akhirnya dengan semangat yang tinggi dan serangan
yang dahsyat pasukan Huynade dapat dilumpuhkan dan ia lari ke Eropa. Sultan
Murad II meninggal setelah itu, pada tahun 1451, dan diganti oleh putranya,
Muhammad II.
Ia naik tahta pada tahun 1451 dengan mewarisi kerajaan yang luas.
Ia terkenal dengan nama al-fatih, sang penakluk dan pembuka, karena pada
masanya Konstantinopel sebagai ibu kota Bizantium berabad-abad lamanya dapat
ditundukkan. Hal ini terjadi pada tahun 1453. Pasukan Usmani memblokade kota
berbenteng kuat itu dari segala penjuru, yang akhirnya kota itu dapat
ditaklukkan. Gereja Aya Sophia yang terkenal itu diubah menjadi masjid, dan
kebebasan beragama dijamin. Iabu kota Usmani dipindahkan ke kota itu dari
Edirne. Sultan Muhammad II meninggal tahun 1481 dan diganti oleh putranya,
Bayazid II.
Berbeda dengan ayahnya, Bayazid II lebih mementingkan kehidupan
tasawuf dari pada perang di mendan laga. Kelemahannya dibidang pemerintahan
yang cenderung berdamai dengan musuh mengakibatkan Sultan tidak begitu ditaati
oleh rakyatnya, termasuk putera-puteranya. Bahkan terjadi perselisihan yang
panjang antara ayah dan putera-puteranya mengenai banyak hal, dan yang paling
penting adalah masalah putra mahkota. Akhirnya, Sultan Bayazid II mengundurkan
diri dari panggung pemerintahan Usmani tahun 1512, dan diganti oleh putranya
Salim I.
Sultan Salim I memiliki kemampuan memerintah dan memimpuin
peperangan. Maka pada masa pemerintahannya wilayah Usmani bertambah luas hingga
menembus Afrika Utara. Syria dapat di tahklukkan, dan Mesir yang diperintah
oleh kaum mamalik ditundukkan pada tahun 1517. Gelar Khilafah yang disandang
oleh al-Mutawakkil ‘Ala Allah, salah seorang keturunan Bani Abbas yang selamat
dari serangan bangsa Mongol 1235 dan yang pada saat ini berada di bawah
proteksi Mamluk, diambil alih oleh Sultan. Dengan demikian, sejak masa Sultan
Salim ini para sultan Usmani juga menyandang gelar Khalifah. Sultan meninggal
tahun 1520 dan diganti oleh anaknya, Sulaiman I
Pada masa sultan sulaiman I
ini terjadilah zaman keemasan bagi kerajaan Turki Usmani. Wilayahnya mencapai
kawasan yang luas, meliputi daratan Eropa hingga Austria; Mesir dan Afrika
Utara hingga ke Al-Jazair dan Asia hingga ke Persia, serta melingkupi lautan
Hindia, Laut Arabia, Laut Merah, Laut Tengah, dan Laut Hitam. Ia membuat dan
memberlakukan undang-undang di negerinya yang menyebabkannya digelari dengan
al-Qanuni, pembuat undang-undang. Orang Barat menyebutnya dengan Sulaiman Yang
Agung, The Magnificent. Ia wafat pada tahun 1566, dan digantikan oleh
puteranya, Salim II. Dimasa anaknya inilah mulai tampak kemunduran kerajaan
Usmani sedikit demi sedikit.
c.
Periode
Ketiga
Periode ini ditandai dengan kemampuan Usmani untuk mempertahankan
wilayahnya, sampai lepasnya Hungaria. Namun, kemunduran segera terjadi.
Dalam masa kemunduran Turki Usmani setelah sulaiman, terdapat
beberapa sultan yang berkuasa berturut-turut sebagai berikut:
11.
Salim
II (putera Sulaiman I) 1566-1573
12.
Murad
III (putera SalimII) 1573- 1596
13.
Muhammad
III (putera Murad III) 1596-1603
14.
Ahmad
I (putera Muhammad III) 1603-1617
15.
Mustafa
I (putera Muhammad III) 1617-1618
16.
Usman
II (putera Ahmad I) 1618-1622
17.
Mustafa
I ( yang kedua kalinya) 1622-1623
18.
Murad
IV (putera Ahmad I) 1623-1640
19.
Ibrahim
I (putera Ahmad I) 1640-1648
20.
Muhammad
IV (putera Ibrahim I) 1648-1687)
21.
Sulaiman
III (putera Ibrahim I) 1687-1691
22.
Ahmad
II (putera Ibrahim I) 1691-1695
23.
Mustafa
II (putera Muhammad IV) 1695-1703
d.
Periode
Keempat (1699-1839)
Periode ini ditandai dengan secara beransur-ansur surutnya kekuatan
kerajaan dan pecahnya wilayah di tangan para penguasa wilayah. Sultan-sultannya
adalah sebagai berikut:
24.
Ahmad
III (putera Muhammad IV) 1703-1730
25.
Mahmud
I (putera Mustafa II) 1730-1754
26.
Usman
III (putera Mustafa II) 1754-1757
27.
Mustafa
III (putera Ahmad III) 1757-1774
28.
Abdul
Hamid I (putera Ahmad III) 1774-1788
29.
Salim
III ( putera Mustafa III) 1789-1807
30.
Mustafa
IV (putera Abd al-Hamid I) 1807-1808
31.
Mahmud
II (putera Abd al-Hamid I) 1808-1839
e.
Periode
Kelima (1839-1922)
Periode ini ditandai dengan kebangkitan cultural dan administratif
dari negara di bawah pengaruh ide-ide Barat. Sultan-sultannya adalah sebagai
berikut :
32.
Abdul
Majid I (putera Mahmud II) 1839-1861
33.
Abdul
Aziz (putera Mahmud II) 1861-1876)
34.
Murad
V (putera Abd al-Majid I) 1876-1876)
35.
Abdul
Hamid II (putera Abd al-Majid I) 1876-1909
36.
Muhammad
V (putera Abd al-Majid I) 1909-1918
37.
Muhammad
VI (putera Abd al-Majid I) 1918-1922
38.
Abdul
Majid II (1922-1924), hanya bergelar Khalifah, tanpa Sultan, yang akhirnya di
turunkan pula dari jabatan khalifah. Turki Usmani dihapus oleh Kemal Attaturk,
dan Turki menjadi negara nasional Republik Turki.
Ketika Murad I, pengganti Orkhan, berkuasa (761/1359 M-789
H/1389M), selain memantapkan keamaan dalam negeri. Ia melakukan perluasan
daerah ke benua Eropa. Ia dapat menaklukkan Adrianovel yang kemudian dijadikan
sebagai ibukota kerajaan yang baru. Macedonia, Sopia. Salonia dan seluruh wilayah
utara Yuman. Merasa cemas terhadap kemajuan ekspansi kerajaan ini ke Eropa,
Paus mengobarkan semangat perang. Sejumlah besar pasukan sekutu Eropa disiapkan
untuk memukul mundur pasukan Turki Usmani. Pasukan ini dipimpin oleh Sigisman,
Raja Hongaria Timur. Sultan Bayazid I (1369-1403M ), pengganti Murad I, dapat menghancurkan
pasukan sekutu Kristen tersebut, Perisawa ini merupakan catatan sejarah yang
amat gemilang bagi umat Islam.
Ekpansi kerajaan Usmani sempat terhenti beberapa lama.
Ketika ekspansi diarahkan ke Konstantinopel, tentara Mongol yang dipimpin Timur
Lenk melakukan serangan ke Asia Kecil. Pertempuran hebat terjadi di Ankara
tahun 1402 M. Tentara Usmani mengalami kekalahan, Bayazid bersama putranya Musa
tertawan dan wafat dalam tawanan tahun 1403 M.
Setelah Timur
Lenk meninggal dunia tahun 1405 M, Kekaisaran Mongol dipecah dan dibagi-bagi
kepada putera-puteranya yang satu sama lain berselisih. Kondisi ini dimanfaatkan
oleh penguasa Turki Usmani untuk melepaskan diri dari kekuasaan Mongol. Namur,
pada saat seperti itu juga terjadi perselisihan putera-putera Hayazid. Setelah sepuluh
tahun perebutan kekuasaan terjadi, akhimya Muhammad berhasil mengalahkan
saudara- saudaranya. Usaha Muhammad yang pertama kali adalah mengadakan
perbaikan-perbaikan dan meletakkan dasar-dasar keamanan dalam negeri. Usahanya
itu diteruskan oleh Murad II, sehingga Turki Usmani mencapai puncak kemajuannya
pada masa Muhammad II atau biasa disebut Muhammad al-fatih (1451-1484 M).
Sultan Muhammad
al-Fatih dapat mengalahkan Byzantium dan menaklukan Konstantinopel tahun 1553
M. Dengan terbukanya Konstantinopel
sebagai benteng pertahanan terkuat kerajaan Bizantium, lebih memudahkan arus
ekspansi Turki Usmani ke benua Eropa. Akan
tetapi ketika Sultan Salim I naik tahta, ia mengalihkan perhatian ke arah timur
dengan Menaklukan Persia, Syiria dan Dinasti Mamalik di Mesir. Usaha Sultan
Salim I ini dikembangkan oleh Sultan Sulaiman al-Qanuni pada tahun 1520 - 1566
M. Ia tidak mengarahkan ekspansinya kesalah satu arah Timur atau Barat tetapi
seluruh wilayah yang berada di Turki Usmani merupakan objek yang menggoda
hatinya Sulaiman berhasil menundukkan, Belgrado. Pulau Rodhes, Tunisia,
Budapest, dan Yaman, Dengan demikian, luas wilayah Turki Usmani pada masa
Sulaiman al- Qanuni mencakup Asia kecil, Armenia. Iraq, Syiria hijaz, dan Yaman
di Asia, Mesir, Libiya, Tunisia dan al Jazair di Afrika, Bulgaria, Yunani,
Yugoslavia, Albania. Hongaria. dan Rumania di Eropa[7]
39.
Keadikuasaan Negara Turki Usmani
a.
Dalam
Bidang Politik dan Pernerintahan
Setelah Khilafah
Abbasiyah di Baghdad runtuh akibat serangan tentara Mongol, kekuatan politik Islam
mengalami kemunduran secara drastis. Keadaan politik umat Islam secara
keseluruhan baru mengalami kemajuan kembali setelah muncul dan berkembang
kerajaan Turki Usmani. Keadaan ini dapat dilihat dari kurun waktu terpanjang
dalam sejarah Islam bahkan ia satu dari negara Islam yang terbesar dan negara Islam
yang paling tahan dari segala tantangan zaman. Tidak kurang dari 38 Sultan yang
memerintah semenjak Sultan Usmani. Sudah merupakan hukum alam bahwa sebuah
negara yang tumbuh dan berkembang, serta dapat bertahan dari hambatan dan
tantangan akhirnya akan mencapai kesuksesan yang gemilang. Kesuksesan ini tentu
saja tidak dapat berdiri sendiri, artinya kesuksesan yang diperoleh suatu negara itu tidak terlepas dari seorang
penguasa dan sistem pemerintahan yang dijalaninya.
Pada awal Usman
I memproklamirkan kemerdekan wilayahnya dengan nama Kesultanan Usmani yang
diambil dari namanya sendiri Usman. Atas
pernyataannya itu maka para pembesar saljuk besera seluruh kaum muslimin
membai’atnya dan menyatakan tunduk dan patuh serta memohon perlindungan
kepadanya dari kekejaman Mongol. Selanjutnya sajarahpun mengabadikam dan
mencatat bahwa sejak, Turki Utsmani tampil digelanggang politik internasional
tidak ada lagi pasukan tentara Islam yang mengangkat senjata melawan umat Islam.[8]
Pada mulanya
raja-raja Turki usmani bergelar Sultan. Sejak Sultan Salim I dapat menaklukkan
Kerajaan Mamaluk di Mesir pada tahun 1517 M dan berhasil membawa atribut
khalifah ke Turki, maka sejak itu Sultan Salim memakai gelar Sultan dan
Khlaifah sekaligus begutu juga dengan raja-raja setelahnya. Mereka mendapatkan
kekuasaan secara turun-temurun. Akan tetapi tidak harus putra pertama yang
menggantikan sultan terdahulu. Dalam perkembangan selanjutnya pergantian
kekuasaan itu juga diserahkan kepada saudara sultan bukan kepada anaknya.[9]
Dalam
menjalankan pemerintahan dibidang tamporal (duniawi) sultan dibantu oleh Shad
al-‘Adham, sedangkan dibidang spritual (keagamaan) Sultan dibantu oleh Syaikh
al-Islam.[10]
b.
Bidang
Militer
Kerajaan Turki
Usmani berdiri berkat ketangguhan militernya. Pada masa sultan Orkhan, ia
membubarkan organisasi ketentaraan yang lama dan membentuk pasukan Janissari, Inkisyariyyah (pasukan baru) yang
telahhdibina di bidang kemiliteran sejak kecil dan mereka diarahkan serta
dibimbing agar masuk Islam. Mereka diasramakan dalam lingkungan dan suasana
Islam. Pasukan inilah yang kemudian menjadi mesin perang yang sangat handal dan
tangguh dalam perluasan wilayah Turki Usmani. Di samping tentara yang bersifat
tetap, Turki usmani juga memiliki tentara feudal yang dikirim kepada tentara
pusat. [11]
Selain angkatan
darat yang tengguh, kerajaan ini juga melakukan pembenahan terhadp angkatan
laut, sehingga pada masa sultan Muhammad II dapat menyerbu dan menaklukkan
Konstantinopel. Dengan kemenangan ini Kerajaan Turki Usmani dapat menjadi
negara adikuasa Islam, yang akhirnya dapat mencapai puncak kejayaanya pada masa
Sultan Suaiman I di awal abad ke 16 M.
Sultan Sulaiman
I dalam melakukan Ekspansi tidak menuju kea rah satu saja, tetapi juga
mengarahkan tentaranya ke benua Eropa, Asia dan Afrika. Kekuatan perang Turki
Usmani menjadi lebih kuat lagi pada waktu mereka menguasai teknologi
persenjataan modern serti senjata api, meriam dan sejenisnya.[12]
c.
Bidang
Keagamaan
Agama dalam tradisi masyarakat Turki mempunyai peranan besar
dalam lapangan sosial dan politik. Masyarakat digolong-golongkan berdasarkan agama
dan kerajaan sendiri sangat terikat dengan Syariat sehingga fatwa ulama menjadi
hukum yang berlaku. Karena itu ulama mempunyai tempat tersendiri dan berperan
besar dalam negara dan masyarakat. Mufti, sebagai pejabat urusan agama
tertinggi, berwenang memberi fatwa resmi terhadap problema keagamaan yang
dihadapi masyarakat, tanpa legimitasi Mufti, keputusan hukum negara bisa tidak
berjalan[13]
Pada masa Turki
Utsmani tarekat juga mengalami kemajuan. Tarekat yang paling berkembang ialah
Tarekat Bektasyi dan tarekat Maulawi. Kedua Tarekat ini banyak yang dianut oleh
kalangan sipil dan meliter.
d.
Biding
Ekonomi
Perekonomian penduduk
yang mapan merupakan syarat utama bagi kelansungan hidupKerajaan Turki
Usmani. Akan tetapi kemajuan perekonomian tidak bisa dipisahkan dari kemajuan
di bidang politik dan militer. Ekspansi yang dilakukan Turki Usmani
mendatangkan pemasukan negara berupa ekonomi, dan sebaliknya ekonomi yang kuat
mendukung majunya gerakan ekspansi dan pembinaan kekuatan militer.
Kerajaan Turki
Usmani merupakan negara yang sangat luas sekali, dengan luasnya wilayah ini
telah membantu pemasukan perekonomian Kerajaan Turki Usmani baik itu harta
rampasan perang, pembayaran pajak tanah, dan juga dari hasil garapan tanah.
Disamping
pemasukan keuangan diatas, perekonomian Turki Usmani menjadi lebih mantap lagi
dengan dikuasinya pusat-pusat atau jalur-jalur perdagangan Internasional,
diantaranya; Iran, Arab, Mesir, Samudera Hindia, Bursa, Anatolia, dan yanglebih
penting lagi adalah dijadikannya Istanbul menjadi ibukotanya.[14] Turki Usmani juga menguasai jalur-jalur perdagangan internasional, seperti pelabuhan sepanjang
laut Tengah, Afrika Utara, pelabiah laut Hitam yang lansung berhungan dengan
daratan Asia dan Eropa.[15]
40.
Kemunduran dan Kejatuhan Kerajaan Turki Usmani
1.
Proses
Kemunduran
Sebagaimana kerajaan-kerajaan yang pernah tumbuh dan berkembang di
dunia Islam, tidak terlepas dari proses pertumbuhan, perkembangan, mencapai
puncak kejayaan, lalu akhirnya mangalami kemunduran dan kemudian disusul dengan
kehancuran. Demikian juga dengan kerajaan Turki Usmani yang diproklamirkan oleh
Usman I, menjadi negara adikuasa pada masa Sultan Muhammad II (al-Fatih), dan
mencapai puncak kejayaannya dimasa Sultan Sualiman al-Qanuni. Kemudian Kerajaan
Turki Usmani mengalami kemunduran dan pada akhirnya membawa kehancuran.
Kejatuahan Kerajaan Turki merupakan proses sejarah panjang dan
tidak terjadi secara tiba-tiba. Dalam sejarahnya selama lima abad (akhir abad
ke tiga belas hingga awal abad kesembilan belas) Kerajaan Turki Usmani
mengalami pasang surut. Disatu sisi sebuah system politik yang diwarisi dari
pendahulunya, Turki Saljuk, yaitu menjadikan Kerajaan adalah milik keluarga
kerajaan dan menjadikan sultan sebagai sentral kekuatan politik, membuat
kerajaan ini begitu rentan terhadap factor-faktor kejatuhan sebuah dinasti. Seorang
Sultan yang lemah saja sudah dapat membuka jalan bagi proses kejatuhan
kerajaan. Meskipun demikian seorang Sultan yang kuat, pada masa pemerintahannya
juga mampu memperlambat kehancuran suatu dinasti.
Sejarawan sepakat mengatakan
awal kemunduran bermula sejak wafatnya Sultan Salim II (1566).[16]
Sesudah Sultan Sulaiman Yang Agung Kerajaan Turki Usmani tidak lagi mempunyai
sultan-sultan yang dapat diunggulkan. Sejak pemerintahannya, kekuasaan Turki
Usmani sudah mulai diungguli oleh kekuatan Eropa secara perlahan-lahan.
Kerajaan Turki Usmani mulai mengalami fase kemunduran pada abad XVII.[17]
Pada akhir abad XVII Kerajaan Turki Usmani secara “bertubi-tubi “
menderita kekalahan dari pasukan Jerman, Polandia dan Rusia. Akibat dari
kekalahan-kelahan yang dialami ini memaksa Kerajaan Turki Usmani untuk mengadakan
perjanjian atau damai dengan negara-negara
Eropa. Perjanjian ini terjadi pada tahun 1699 yang dinamakan dengan
perdamaian Karlowith. Peristiwa ini sungguh sangat menyakitkan hati orang-orang
Turki Usmani karena dalam isi perdamaian itu, Turki Usmani harus rela melepaskan
Translavia (wilayah Austria), Saladonia dan Karawatai serta Ukraina. Azov
sendiri dapat diduduki oleh Kaisar Rusia di bawah pimpinan Peter Yang Agung
pada tahun 1696 M.[18]
Kerajaan Turki Usmani
kembali harus kehilangan beberapa wilayahnya dan merelakan campur tangan
kekuatan luar ke dalam wilayah yurisdiksinya. Berbagai kekalahan yang menimpa
kerajaan Turki Usmani dalam operasi militer sebagai upaya merebut kembali
wilayah yang hilang akibat perjanjian karlowith, memaksa Nevseherli Damat
Ibrahim Pasya, penasehat Sultan Ahmad III, untuk mengakhiri peperangan pada
tanggal 26 Agustus 1717. Perjanjian Passarowitz ditandatangani pada tanggal 21
Juli 1718. Pada perjanjian itu Turki
harus melepaskan Belgrade dan Senendria, wilayah utara Timok dan Una kepada
imperium Habsburg, Sava dan Drina ke tangan Austria, dan Habsburg diperbolehkan
membela kepentingan katolik di wilayah yurisdiksi Sultan.[19]
Perang antara kerajaan Turki Usmani dengan Rusia berakhir pada
tahun 1777 M. dengan ditandai perjanjian Kinarca. Perjanjian ini oleh Muhammad Farid
digambarkan sebagai berikut : “yang penting dari perjanjian kinarca adalah
Kerajaan Turki Usmani harus menyerahkan benteng-bentengnya yang berada di laut
Hitam diantaranya adalah benterng Azov”.[20]
Dengan demikian, berhasillah Rusia memenuhi hasratnya untuk
menjadikan perairan laut hitam sebagai pangkalan militernya. Kemudian dari isi
perjanjian tersebut juga dinyatakan bahwa armada laut Rusia mendapat izin dari
pemerintah Turki Usmani untuk melintasi selat yang menghubungkan Laut Hitam
dengan Laut Putih (Laut Tengah). Kemudian Kirman memerdekakan diri dari Turki
Usmani, Rusia diizinkan membangun gereja di Asitnah dan menjadi pelindung
orang-orang Kristen Orthodox yang berdomisili di wilayah Turki Usmani. Para Jemaat
Kristen yang akan menunaikan ibadah Haji ke Palestina harus dibebaskan dari
membayar pajak. Di samping itu, Turki Usmani harus memperhatikan kesejahteraan
para pendeta dan umat Kristen. Pemerintah Turki Usmani harus membayar ganti
rugi peperangan kepada Rusia yang tidak sedikit jumlahnya secara beransur-ansur
selama tiga tahun.[21]
Meskipun telah ada perjanjian
damai, ternyata Rusia tetap menaklukkan dan merebut negeri-negeri yang
semula dikuasai dan ditinggalkan oleh oleh oran-orang Turki, Tartar dan muslim
lainnya. Inilah yang menyebabkan timbulnya kembali peperangan antara Rusia
dengan Turki Usmani pada tahun 1792 M. akan tetapi Turki Usmani tetap mengalami
kekalahan, dengan ini terpaksalah ia mengakui pendudukan Rusia atas Kerajaan
Tartar.[22]
Dalam upaya menjaga kelansungannya, Turki Usmani semakin bertambah
ketergantungannya terhadap keseimbangan kekuatan bangsa-bangsa Eropa. Hingga
tahun 1878 Ingris dan Rusia saling berebut pengaruh, meskipun keduanya menghindari
keterlibatan lansung dalam kerajaan Turki Usmani dan perseteruannya. Meskipun
demikian , antara tahun 1878 hingga 1914 sebagian besar wilayah di semenanjung
Balkan menjadi wilayah merdeka dari kekuasaan Turki, dan Inggris, Rusia dan
Austria-Hungaria mengusai beberapa bekas wilayah kekuasaan Turki tersebut.
Kondisi ini semakin sulit dan rumit, dimana setelah kerajaan Turki
Usmani bergabung dengan Jerman dalam Perang Dunia I pada tahun 1914.
Keterlibatan Turki Usmani dalam Perang Dunia I dan bergabung dengan Jerman,
bukan tanpa alasan. Alasan itu antara lain pengaruh Jerman di Kerajaan Turki
Usmani melebihi pengaruh Eropa lainnya. Disamping itu Turki Usmani berharab
dengan bergabung bersama Jerman, Turki Usmani dapat mengambil kembali
wilayah-wilayahnya yang dicaplok oleh Rusia. Akan tetapi ini hanya berakibat
fatal untuk Turki Usmani. Wilayah Turki Usmani semakin lama semakin kecil
karena diperebutkan oleh orang-orang
Eropa.[23]
Dalam Perang Dunia I Turki Usmani mengalami kekalahan, maka
diadakan perjanjian Serves yang membuat Turki Usmani harus kehilangan
wilayahnya. Dengan demikian, maka melalui perjanjian Serves ini, pada garis
besarnya tercapailah segala ambisi negara-negara Eropa yang selama ini
tersimpan dalam dada, terutama sekali Yunani karena dari hasil ini, ia berhasil
memperoleh sebagian besar wilayah yang dikuasai oleh Turki.[24]
Demikianlah proses kemunduran yang terjadi pada kerajaan Turki Usmani.
2.
Faktor-Faktor
Kejatuah Turki Usmani
a.
Faktor
Internal
1).
Kelemahan Para Sultan dan Sistem Birokrasi
Pada masa KerajaanTurki Usmani, yaitu pada masa pemerintahan Sultan
Sulaiman I (1520-1566), tanda-tanda keruntuhan juga sudah mulai tampak ke
permukaan. Pandangan tersebut lebih disebabkan oleh ketergantungan dinasti ini
kepada kesinambungan kekuatan politik seorang sultan. Para sultan terdahulu
telah begitu terlatih untuk menjadi seorang penguasa dan meniti puncak
kekuasaan dengan terlebih dahulu menunjukkan kemampuannya dalam mengendalikan persoalan pemerintahan
dengan pengalaman yang mereka peroleh pada saat terlibat aktif dalam
administrasi local dan ekspedisi militer. Mereka memperoleh kekuasaan dengan
meyakinkan para pengikutnya dengan memasukkan kelas budak ke dalam struktur
pemerintahan dan memberi mereka posisi yang berhadapan dengan para aristocrat
Turki. Dengan memberikan ini sebagai kelas penguasa (rulling class) maka ada anggapan
bahwa kejatuah Turki Usmani adalah akibat masuknya kelas budak ini ke dalam
system birokrasi kerajaan.[25]
Setelah Sultan Sulaiman I, Kerajaan Turki Usmani diperintah oleh
sultan-sultan yang lemah, baik dalam kepribadian, jiwa atau watak kepemimpinan
serta tidak sesuai dengan tuntutan pada masa itu. Mereka juga kurang terlibat lansung
dalam administrasi negara, dan juga dalam peperangan melawan musuh, mereka
banyak larut dalam kehidupan istana.[26]
Akibat lemahnya para sultan maka menimbulkan
pemberontakan-pemberontakan dalam negeri sediri, seperti di Suriah di bawah
pimpinan Kurdi Jambulat, di Lebanon di bawah pimpinan Drize Amir Fakhruddin.
Tentara Turki Usmani (Jenissari) juga memberontak, ini berakibat jelek sekali
bagi kerajaan Turki Usmani.[27]
2).
Kemunduran dalam bidang ekonomi
Kemampuan Turki Usmani untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri mulai
melemah Setelah kerajaan Turki Usmani berada dalam keadaan mundur dan lemah. Pajak-pajak dari negara bawahan sudah
sangat jauh berkurang. Hal ini karena banyak wilayah tersebut yang melepaskan
diri dari kekuasaan pusat.
Pada saat yang sama bangsa Eropa telah mengembangkan struktur
kekuatan ekonomi dan keuangan bagi kepentingan mereka sendiri. Serta ditemukannya
benua Amerika, telah menggeser jalur perdagangan ke Samudera Atlantik dan ke
laut terbuka di sekeliling Afrika
Selatan dan Asia Selata. Laut Tengah dan Timur Tengah, sekalipun dalam beberapa
hal masih berpengaruh namun sudah kehilangan kedudukan ekonomi. Kerajaan Turki
Usmani sebagai kekuatan Laut Tengah dan Timur Tengah, akhirnya mulai menurun
dari kedudukan yang tinggi.[28]
3).
Wilayah yang Luas dan Ledakan Penduduk
Wilayah Kerajaan Turki Usmani ketika berada pada puncak kejayaannya
meliputi Asia Kecil, Armenia, Irak, Suria, Hijaz, serta Yaman di Asia, Mesir,
Libia, Tunisia, serta AlJazair di Afrika dan Bulgaria, Yunani, Yugoslavia,
Albania, Hongaria, dan Rumania di Eropa.[29]
Wilayah yang sangat luas itu dihuni oleh penduduk yang beraneka ragam baik dari
segi agama, ras maupun adat istiadat. Untuk mengatur wilayah yang besar ini,
pada posisi yang lemah sangatlah sulit sekali.
Penduduk Kerajaan Turki Usmani pada abad ke eman belas bertambah
dua kali lipat dari sebelumnya. Problem kependudukan pada saat itu lebih banyak
disebabkan oleh tingkat pertambahan penduduk yang sedemikian tinggi dan ditam
bah menurunnya angka kematian akibat masa damai dan aman. Untuk mengatur
penduduk yang beraneka ragam dan tersebar
luas di tiga benua diperlukan suatu organisasi pemerintahan yang baik dan
teratur. Tanpa didukung oleh administrasi yang baik Kerajaan Turki Usmani hanya
akan menanggung beban yang sangat berat
akibatnya. Perbedaan ras, bangsa dan
agama juga memicu mengantarkan pemberontakan dan peperangan yang akhirnya
menjadi kemunduran bagi Kerajaan Turki Usmani.[30]
4).
Budaya Korupsi Para Sultan
Korupsi, menipulasi dan kolusi merupakan suatu pekerjaan yang lumrah
dan sering mereka lakukan. Oleh karena itu terjadilah jual beli jabatan di
lingkungan pemerintahan Turki Usmani. Untuk dapat menduduki Kursi Shadru al-A’zam seorang
calon, harus memberikan sekian banyak hadiah sebagai sogokan kepada sultan dan
para keluarganya.[31]
Demikian juga Gubernur sebagai kepala pemerintahan di propinsi.
Seorang calon gubernur tidak akan dipilih dan diangkat sebelun ia memberikan
sogokan yang banyak kepada Shadrul al-A’zam.
Oleh kerena pengangkatan seorang calon pejabat bukan berdasarkan
keahlian dan keterampilannya, maka tidak mengherankan seorang gubernur hanya
berfikir bagaimana ia dapat mengembalikan dan memperoleh kekayaan
sebanyak-banyaknya dan masalah rakyat bukan menjadi persoalan yang mereka utamakan.[32]
5) Pengaruh Para Isteri-isteri Sultan
Setelah pemerintahan Sultan Muhammad II, istana Kerajaan Turki
Usmani selalu terjadi kecemburuan, intrik dan percekcokan karena pengaruh
isteri-isteri sultan berkebangsaan Eropa. Melalui mereka raja-raja Eropa dapat
mengirim mata-mata masuk ke istana kerajaan. Dengan demikian tidak jarang
isteri-isteri sultan tersebut yang memberikan informasi penting kepada musuh.
Oleh karena itu banyak rencana yang dilakukan oleh kerajaan selalu mengalami
kegagalan karena sudah diketahui oleh musuh terlebih dahulu. Tentu saja mereka
sudah mempersiapkan taktik dan strategi untuk mengantisipasi rencana yang
dilakukan oleh Kerajaan Turki Usmani.[33]
6).
Keterbelakangan dalam Industri Perang
Pada masa Turki Usmani kemerosotan kaum muslimin tidak hanya
terbatas pada bidang pengetahuan saja, melainkan dalam segala bidang termasuk
dalam bidang industry perang, padalah keunggulan Turki Usmani pada bidang itu
pada masa sebelumnya telah diakui oleh seluruh dunia. Tidak berkembangnya
industry sangat berpegaruh terhadap kerajaan Turki Usmani yang sangat
mengandalkan militer sebagai tulang punggu kerajaan.
Sementara bangsa Eropa berhasil menciptakan senjata baru,
melancarkan modernisasi angkatan perangnya serta memantapkan organisasinya,
sehingga pasukannya mampu melancarkan pukulan terhadap kerajaan Turki Usmani
pada tahun 1774 M.[34]
7).
Munculnya Gerakan Nasionalisme
Dari sekian banyak factor yang menyebabkan kemunduran bagi Kerajaan
Turki Usmani adalah tumbuhnya paham nasionalis bangsa-bangsa yang berada di
bawah kuasa Turki Usmani. Berbagai suku bangsa yang hidup dibawah pemerintahan
Turki Usmani mulai terusik nasionalismenya.
Bangsa Armenia dan Yunani yang beragama Kristen berpaling ke Barat,
mohon bantuan bagi kemerdekaan bangsa dan tanah airnya. Bangsa Kurdi
dipengunungan dan bangsa Arab di padang pasir dan di lembah-lembah, mereka juga
sama bangkit hendak melepaskan diri dari kekuasaan kerajaan Turki Usmani.[35]
Paham nasionalis yang muncul di wilayah-wilayah Kerajan Turki
Usmani tidak terlepas dari persentuhan umat Islam dengan orang-orang Barat.[36]
Dengan adanya paham nasionalis ini menimbulkan kesadaran rakyat akibat dari
tekanan pemerintah, bahkan mereka sebenarnya bukanlah orang-orang Turki, maka untuk itu mereka berusaha untuk bisa
melepaskan diri dari kerajaan Turki
Usmani.
b.
Faktor
Eksternal
Kebangkitan
Eropa
Ketika kemunduran Kerajaan Turki Usmani pada periode pertengan dari
sejarah Islam, negara-negara Eropa Barat sedang mengalami kemajuan pesat. Hal
ini berbeda dengan masa Klasik Islam. Ketika Islam berada dalam kejayaan, eropa
masih berada dalam kebodohan dan keterbelakangan seperti halnya negara
terbelakang sekarang dan miskin dewasa ini di Asia dan Afrika.
Kemajuan Eropa sebenarnya bersumber dari khazanah ilmu pengetahuan
dan metode berfikir rasional orang-orang islam. Sebagaimana deketahui, bahwa
saluran tempat ilmu pengetahuan dan peradaban Eropa bersumber di Spanyol,
dimana pada masa kejayaannya banyak pelajar-pelajar Eropa datang untuk menuntut
ilmu pengetahuan di unuversitas-universitas di sana. Setelah mereka menamatkan
sekolah, mereka kembali ke Eropa dan mendirikan universitas sebagaimana yang
ada di dunia Islam. Dalam perkembangan selanjutnya mereka inilah yang
melahirkan renaissance dan reformasi di Eropa.[37]
Abad ke 16 dan 17 M. merupakan abad yang penting dalam sejarah.
Pada masa itu Eropa bangkit dengan segala kekuatan untuk mengejar
keterbelakangannya pada zaman klasik. Orang-orang Eropa bangkit menyelidiki
rahasia alam semesta, menaklukkan lautan dan menjajahi benua yang sebelumnya
masih diliputi oleh kegelapan. Mereka membuat penemuan baru dalam segala
lapangan ilmu dan seni serta dalam segala kehidupan..[38]
Dengan demikian factor-faktor diatas sejak abad XVI telah menjadi
penyebab lemahnya Imperium Turki Usmani, satu demi satu wilayahnya lepas dan
akhirnya Turki Usmani runtuh
41.
Pembaharuan Turki Usmani
Pada permulaan abad ke XVII, Turki Usmani mulai memperdebatkan cara
terbaik bagi program restorasi integritas politik dan efektivitas kukuatan
militer yang dimiki kerajaan. Para pembaharu pada awalnya berlandaskan kepada
aturan yang digariskan Sultan Sulaiman yang menentang kemungkinan pengaruh
kekuatan Kristen Eropa atas kaum Muslimin. Para modernis menganggap perlunya
kekhilafahan Turki untuk mengadobsi metode yang dimiliki bangsa Eropa dalam
pendidikan kemiliteran, organisasi dan administrasi untuk menciptakan suatu
perubahan di bidang pendidikan, ekonomi dan social yang mendukung terbentuknya
negara modern. Pada abad ke delapan belas dan terutama pada abad kesembilan
belas, kelompok modernis muncul dengan terang-terangan, dan akhirnya menjadi
pemenang.[39]
Sultan Salim III (1789-1807) memperkenalkan program pembaharuan
yang pertama, dikenal dengan nama Nizam-i Jedid. Rencana pembaharuan itu
meliputi pembentukan korp militer baru, perluasan system perpajakan dan
pelatihan untuk mendidik para kaderbagi rezim baru. Rencana yang dikemukakan
oleh Sultan Salim tidak mendapatkan dukungan dari para ulama dan kelompok
militer Janissari, yang akhirnya ia menjadi korban rencana pembaharuan
tersebut. Ia kemudian digulingkan pada tahun 1807. Meskipun demikian program pembaharuan
tersebut dilakasanakan pada periode Sultan Mahmud II.
1.
Sultan
Mahmud II (1808-1839)
Ketika ia naik tahta dan menjadi sultan di kerajaan Turki, Mahmud
II memusatkan perhatiannya pada berbagai perubahan internal. Perubahan internal
itu dipusatkan pada rekonstruksi kekuatan angkatan bersenjata sehingga menjadi
kekuatan yang tangguh dalam menghadapi berbagai tantangan. Selain itu perbaikan
tersebut dimaksudkan untuk mengkonsolidasi seluruh potensi local. Pada tahun
1826, ia merombak Janissari menjadi kekuatan militer model Eropa. Kebijakan ini
akhirnya diprotes oleh Janissari yang telah berdiri pada abad keempat belas
oleh Sultan Orkhan.[40]
Sentralisasi kekuatan yang menjadi program utama Sultan Mahmud II
secara beransur-ansur dilaksanakan. Sistem militer lama lenyap secara total
pada tahun 1831 bersamaan dengan dihapusnya system feodal, timar.
Kekuatan militer baru menjadi semakin loyal terhadap sultan dan menjadi alat
proses sentralisasi politik dan menjadi pendorong proses modernisasi. Selanjutnya
yang dilakukannya adalah tetap menjalin hubungan damai dengan kekuatan asing di
Eropa.
Selain itu administrasi pusat juga dibenahi. System kementrian
medel Eropa di perkenalkan dan seluruh menteri bertanggung jawab kepada seorang
perdana menteri. Selain itu untuk membantu dalam meletakkan dasar strategi
perencanaan jangka panjang ia mendirikan sebuah lembaga legislative dan dikenal
dengan meclis-i Ahkam-i Adliye pada 1838. Begitu juga dibuka lembaga
penerjemahan pada tahun 1833. Kedutaan Besar kerajaan Turki di berbagai negara
asing dibuka kembali.[41]
Kekuatan militer dan system administrasi yang telah diperbaharui
tersebut pada gilirannya menjadi ujung tombak bagi perluasan kekuasaan Sultan
terhadap beberapa penguasa wilayah taklukan yang hendak memerdekakan diri, dan
memperkokoh kekuatan politik kerajaan.
2.
Tanzimat
Tanzimat atau dalam bahasa Turki dikenal dengan Tanzimat-i
Khairiye adalah gerakan pembaharu di Turki yang dikenalkan kedalam system
birokrasi dan pemerintahan Turki Usmani semenjak pemerintahan Abd al-Majid
(1839-1861), putra sultan Mahmud II, dan Sultan Abd al-Aziz (1861-1876).
Pembaharuan tersebut dimulai dengan diumumkannya deklarasi Gulkhane, Katti-i
Syerif Gulkhane, pada tanggal 3 November 1839. Tanzimat ini ditindak
lanjuti oleh Khatt-i Humayun yang diumumkan pada tanggal 18 Pebruari
1856.[42]
Deklarasi Gulkhane yang dimaksudkan untuk melakukan reorganisasi
secara structural dan konprehensif atas rezim lama. Deklarasi tersebut
mempunyai dua tujuan yang bersamaan; pertama, untuk memenuhi keinginan
kekuatan-kekuatan bangsa Eropa, yang secara serius telah melakukan intervensi
dalam beberapa urusan dalam negeri Turki sebagai pemecahan krisis Yunani.
Kedua, untuk menumbuhkan rasa percaya diri pemerintahan dalam negeri.
Periode tanzimat diwanai dengan sentralisasi kekuasaan negara dan
pengenalan norma-norma modern Eropa. Untuk mengenalkan norma-norma modern Eropa
itu, kaidah-kaidah hukum Eropa diperkenalkan dengan intensif, beberapa
mahasiswa dikirim untuk belajar ke Eropa, dan bahkan para pejabat militer
dididik di sana atau di Turki di bawah bimbingan instruktur Eropa.[43]
3.
Usmani
Muda
Kelompok intelektuan yang dikenal dengan Usmani Muda, Young
Ottomans, merupakan sebuah komunitas yang telah mengadakan pertemuan di Paris
dan London antara tahun 1867-1871 yang telah mengenyam berbagai pelatihan
birokrasi dan menguasai ide-ide Barat. Pandagan politik mereka banyak
dipengaruhi oleh faham sekular dan revolusioner terhadap ajaran Islam
tradisional. Di antara tokoh Usmani Muda adalah Namik Kemal dan Midhat Pasya.[44]
Bersama Midhat Pasya dan Ziya Pasya, Namik Kemal menyiapkan
perundang-undangan dan proses liberalisasi. Untuk mewujudkan peradaban Islam
yang benar dengan ide pan Islam yang kuat, ia mengajak untuk kembali kepada
ajaran Islam salaf dan menolak ajaran Islam lama yang tidak memuaskannya. Ia
juga yang pertama mengenalkan kepada bangsa Turki konsep tanah air, wathan, konsep
negara, milet, dan konsep kebebasan, hurriyet. Ketiga konsep
tersebut menjadi jargon para pendukun Turki Muda.
4.
Turki
Muda
Diantara tokoh Turki Muda adalah Murad Bey (1853-1912), Ahmad Reza
(1859-1931) dan Pangeran Sabahuddin (1877-1948). Murad Bey, dalam pandangannya,
sebab kemunduran Turki Usmani bukanlah disebabkan ajaran Islam yang
diadopsinya, bukan juga rakyatnya, akan tetapi yang menjadi penyebab kemunduran
Turki Usmani adalah absolutisme kekuasaan sultan. Untuk itu, kekuatan sultan
harus dibatasi, dan selanjutnya ia mengatakan bahwa seharusnya Turki mengadopsi
system kenstitusional Barat ya, karena system tersebut tidak bertentangan
dengan ajaran Islam. Untuk mengadakan konsolidasi politik di wilayah Kekuasaan
Turki, ia menyodorkan faham Pan-Islam yang akan mengikat wilayah kekuasaan
Turki dalam satu kesatuan agama, Islam.
Ahmad Reza berpendapat bahwa penyebab kesengsaraan rakyat bukan
saja disebab oleh rendahnya teknologi. Tetapi lebih banyak oleh lemahnya system
birokrasi yang ada. Dalam perjalanan intelektualnya ia berkesimpulan bahwa
diantara cara untuk menjaga keruntuhan Turki Usmani adalah dengan meningkatkan
pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Dalam pandangan Sabahuddin, ia mengiginkan proses desentralisasi
kekuasaan dan campur tangan kekuatan asing untuk membantu proses reformasi di
Turki. Dan ia berpandangan bahwa keperluan mendesak saat itu bagi masyarakat
Turki bukanlah sebuah reformasi politik melainkan sebuah revolusi social.
Sebagaimana Ahmad Reza, ia berpendapat bahwa jalan yang ditempuh untuk
melakukan revolusi social tersebut adalah pendidikan.
5.
Mustafa
Kemal Ataturk
Tokoh utama gerakan nasionelisme Turki adalah Mustafa Kemal, tetapi
ia bukan satu-satunya pemikir yang melahirkan idiologi nasionalisme Turki.
Mustafa Kemal sendiri medapatkan inspirasi dari para tokoh Usmani Muda dan
Turki Muda yang merupakan produk dari kebijakan reorganisasi yang dicanangkan
oleh sultan Mahmud II. Di antara pemikir Turki yang meletakkan dasar semagat
nasionalisme adalah Yusuf Akcura (1876-1933) dan Zia Gokalp (1875-1924).
Mustafa Kemal Pasya, yang kemudian dikenal dengan Kemal Ataturk, di
Anatolia, ia bekerja giat untuk mewujudkan cita-citanya, yaitu mewujudkan
negara Turki yang modern. Di kota tersebut ia berkiprah di Association for
the Defence of the Right of Eastern Anatolia, sebuah gerakan untuk
mempertahankan hak-hak masyarakat Anatolia Timur dan didirikan di Erzurum 3
Maret 1919. Asosiasi ini kemudian hari meluas menjadi asosiasi pembebasan
masyarakat Anatolia dan Rumella dan Mustafa Kemal menjadi ketuanya.
Dengan ditandatanganinya perjanjian Lausanne tanggal 24 Juli 1923,
maka secara internasional Pakta Nasional Turki diakui. Berdasarkan kesepakatan
Grand Nasional Assembly, disebutkan bahwa yang menjadi penguasa adalah mereka
yang menjadi perwakilan rakyat.
Pada tanggal 6 Desember 1922, Mustafa Kemal mendirikan Partai
Rakyat dan mengundang seluruh kalangan terpelajar untuk berkomunikasi lansung
dengannya. Pada tanggal 16 April 1923 Grand Nasional Assembly membubarkan diri
dan mempersiapkan pengadaan pemilu. Anggota Assembly baru hasil pemilu memiliki
anggota 286 dan pada taggal 11 Agustus 1923 memilih Mustafa Kemal sebagai
presiden dan Fethi sebagai perdana mentri. Dengan ini negara baru Turki berdiri
tidak atas dasar dinasti, kerajaan, maupun agama melainkan atas dasar nation
(bangsa) dengan ibukota ditengah-tengah negara Turki, yakni Ankara.
Pada tanggal 3 Maret 1924, Grand Naional Assembly, secara resmi
menghapus lembaga Kesultanan dan Khilafah. Tidak lama kemudian kebijaksanaan
hari libur nasional dirubah dari hari jum’at ke hari Minggu, dan keluar
peraturan keharusan memakai busana Barat.[45]
42.
Penutup
1. Kesimpulan
Bangsa Turki Usmani mempunyai peran yang sangat penting
dalam perkembangan kebudayaan Islam dan menyebarkan Islam keseluruh penjuru
dunia. Dengan kekuatan dan ketangguhan militernya serta kemapanan ekonominya
dan peran para Sultan atau Khalifah kuat telah membawa Islam kembali menjadi
adikuasa dunia setelah diporak porandakan oleh pasukan Mongol. Pada masa
kekhilafahan Turki Usmani inilah sabda Rasul telah terbukti, bahwa akan
ditaklukkannya kota Konstantinopel dimana amir dan pasukannya merupakan pasukan
terbaik, yaitu pada masa sultan Muhammad al-Fatih tepatnya pada tahun 1453.
Namun dalam perkembangan selanjutnya setelah sultan
Sulaiman al-Qanuni mengalami kemunduran karena rusaknya pemahaman keislaman
serta buruknya penerapan syariat islam ditambah dengan Turki Usmani dipimpin
oleh para sultan yang lemah. Disamping itu bangsa-bangsa Eropa mengalami
kemajuan dalam segala aspek dan terus berupaya untuk menghancurkan kekhilafahan
Turki Usmani baik dengan kekuatan militer maupun dengan menanakan pemikiran dan
ide-ide Barat ke dalam dunia Islam. Dan akhirnya dengan ide nasionalisme mereka
berhasil menghancurkan dan menghapus kesultanan atau kekhilafan Turki Usmani
dan merubah Turki menjadi Negara Republik Turki.
2. Saran
Tak ada gading yang tak retak dan tak ada manusia yang
luput dari kesalahn. Sungguh makalah ini tidak terlepas dari kekuragan, maka
masukan dan kritikan dari pembaca akan menyampurnakan makalah ini. Atas
masukannya Jazakallahu khairan katsira
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Akbar
S., Citra Muslim, ( Jakarta: Erlangga, 1992)
Ali, Mukti, Islam
dan Sekularisme di Turki Modern, (Jakarta: Djambatan, 1994)
Ensiklopedi
Islam, (Jakarta: Ikhtiar Van Hoeve, 1994)
Firdaus, Negara
Adikuasa Islam, (Padang, IAIN Imam Bonjol Press, 2000)
Hasan , Hasan
Ibrahim, Sejarah Kebudayaan Islam, ( Yogyakarta: Kota Kembang, 1989)
Lapidus, Ira
M., Sejarah Sosial Umat Islam.(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999)
Mughani, Syafik
A., Sejarah Kebudayaan Islam di Kawasan Turki, (Jakarta, Logos Wacr
Ilmu, 1997)
Mughni, Syafiq
A., Sejarah Kebudayaan Islam di Turki, (Jakarta: Logos, 1997)
Nasution,
Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, ( Jakarta: UI-Press, 1985)
Salabi ,Ahmad, Imperium
Turki Usmani, (Jakarta: Kalam Mulia, 1988)
Thohir, Ajid, Perkembangan
Peradaban dikawasn Dunia Islam, (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2004)
Yatim, Badri, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002)
[1] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 129
[2] Ensiklopedi
Islam, (Jakarta: Ikhtiar Van Hoeve, 1994)
[3] Syafik A.
Mughani, Sejarah Kebudayaan Islam di Kawasan Turki, (Jakarta, Logos Wacr
Ilmu, 1997), h. 51
[4] Ibid., h.
52
[5] Ajid Thohir, Perkembangan
Peradaban dikawasn Dunia Islam, (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2004), h.
182-183
[6]Syafiq
A. Mughni, Op.cit, h. 54-67
[7] Ibid.,
h. 132
[8] Firdaus, Negara
Adikuasa Islam, (Padang, IAIN Imam Bonjol Press, 2000), h. 18
[9]Ibid,
h. 19
[10]Ibid,
h. 20
[11]
Ahmad Salabi, Imperium
Turki Usmani, (Jakarta: Kalam Mulia, 1988), h. 40-41
[12]Ahmad
Syalabi, loc.cit
[13] Badri Yatim, op.cit.,
h. 136
[14]Ahmad Salabi, Imperium
Turki Usmani, (Jakarta: Kalam Mulia, 1988), h. 39
[15]Firdaus,
op.cit, h. 25
[16] Firdaus, Negara
Adikuasa Islam, (Padang : IAIN IB Press, 2000) h. 36
[17]Harun Nasution,
Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, ( Jakarta: UI-Press, 1985), h. 87
[18]Hasan Ibrahim
Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, ( Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), h.
340
[19]Syafiq A.
Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Turki, (Jakarta: Logos, 1997), h.
114
[20] Ahmad Salabi, Imperium
Turki Usmani, (Jakarta: Kalam Mulia, 1988), h. 68
[21]Firdaus ,
op.cit, h.39.
[22]Ibid, h. 40
[23]Firdaus ,
log.cit
[24] Ahmad Salabi,
op.cit, h. 79
[25] Syafiq A.
Mughni, op.cit, h. 93
[26]Akbar S. Ahmad,
Citra Muslim, ( Jakarta: Erlangga, 1992),h. 73
[27]Harun Nasution,
op.cit, h. 53
[28]Firdaus,
op.cit, h. 44
[29]Harun Nasution,
op.cit, h. 84
[30] Syafiq A.
Mughni, op.cit, h. 103
[31]Ahmad Syalabi,
op.cit, h.51
[32]Ibid, h. 36
[33]Firdaus,
op.cit, h. 47 . lihat juga Mukti Ali, Islam dan Sekularisme di Turki Modern,
(Jakarta: Djambatan, 1994), h. 30-31
[34]Ibid, h. 48
[35]Ahmad Syalabi,
op.cit. h. 55
[36]Firdauf, loc.cit
[37]Harun Nasution,
op.cit, 104-105
[38]Firdaus,
op.cit, h. 50
[39] Syafiq A.
Mughni, op.cit, h. 121
[40]Ibid, h. 123
[41]Ibid, h. 124
[42]Ibid, h. 126
[43]Ibid, h.129
[44]Ibid, h. 132
[45]Ibid, 148-149
Tidak ada komentar:
Posting Komentar