Berbicara mengenai asal- usul
kata tasawuf, masih terdapat perbedaan
pandangan yang sangat beragam dikalangan ahli. Tidak hanya dikalangan ahli
bahasa, ulama salaf dan para ahli sufi sendiri pun berbeda pendapat dalam
mendefenisikan tasawuf. Perbedaan pendapat dikalangan ahli sufi, antara
lain disebabkan oleh karena berbedanya
pengalaman kerohanian melalui penghayatan hidup terbuai dalam kesufian.
Dasar- dasar tasawuf sebenarnya sudah ada
sejak datangnya ajaran Islam yang dibawa oleh rasulullah SAW, berdasarkan
Al-qur`anul karim. Hal ini tergambar dari kehidupan pribadi rasul yang
merupakan implementasi dari ajaran tasawuf yang harus diteladani oleh umat
manusia, namun perkembangan nya sebagai suatu ajaran baru pada abad ke dua Hijriyah.
Namun apabila dilihat dari
sisi tasawuf sebagai ajaran dalam Islam melalui pengamatan langsung atau tidak,
pada intinya tasawuf atau sufisme dalam bahasa Eropa adalah ajaran tentang
jalan untuk sampai kepada Allah Azza Wajalla melalui latihan hati yang dikenal
dengan mengasah zuqh dengan implikasinya hidup dalam kezuhudan terhadap segala
bentuk kemegahan duniawi. Karena hidup dalam kesufian adalah hidup yang
didasari dengan keikhlasan dalam mendekatkan diri kepada Allah sedekat-
dekatnya , sehingga tidak ada lagi sesuatu yang menjadi halangan untuk menerima
segala bentuk kehidupan yang sudah diyakini berdasarkan keredhaan Ilahi.
Sehingga di dalam tasawuf
dimulai dengan penyucian jiwa yang dikenal dengan konsep tazkiyah al- nafs yang
melalui tiga tahapan, yakni pembersihan jiwa dari sifat- sifat jelek yang
disebut takhalli dan proses kedua adalah
mengisi jiwa dengan amal shaleh, yang disebut tahalli dan ketiga berusaha mendekatkan diri sepenuhnya kepada
Allah dengan mencintai-Nya dengan cinta yang mendalam yang disebut dengan tajalli, sehingga
menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya. Dalam makalah ini penulis membahas
seputar asal usul arti tasawuf ,
perkembangan tasawuf, maqamat dan ahwal.
ASAL- USUL ARTI TASAWUF,MAQAAMAT DAN
AL-AHWAL
II. Pembahasan
A. Pengertian dan Asal- usul arti
Tasawuf
Menurut
etimologi tasawuf berasal dari kata
صف، صوف yang berarti barisan dalam shalat. Karena seorang sufi adalah orang yang
kuat imannya, bersih jiwanya, selalu shalat pada shaf terdepan. Juga berarti
bulu domba yang dijadikan pakaian yakni
dikarenakan kebiasaan orang- orang
shaleh sering memakai pakaian sederhana dari bulu dan kulit domba sebagai
lambang kesederhanaan.[1]
Menurut Harun Nasution,[2]
Tasawuf berasal dari kata صو في ,
secara etimologi menurutnya kata sufi
antara lain berdasarkan:
- Ahlu al-
Suffah yakni orang – orang yang ikut hijrah bersama Nabi dari Mekah ke
Madinah. Disebabkan kehilangan harta, dia hidup dalam kemiskinan sehingga
mereka tinggal di samping Masjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan
memakai pelana sebagai bantal. Dalam bahasa arab pelana disebut dengan
suffah. Karena mereka memilki sifat- sifat yang teguh pendirian, taqwa,
wara` dan zuhud serta tekun dalam beribadah mereka disebut dengan suffah.
- Sufi berasal
dari kata صا في dan صفي
yang berarti suci. Karena seorang yang sufi adalah orang yang telah
mensucikan dirinya melalui latihan berat yang cukup lama.
- Sufi berasal
dari kata sophos bahasa Yunani yang artinya hikmat. Karena masyarakat
Yunani adalah orang- orang yang cenderung terhadap ilmu pengetahuan yang
disebut dengan hikmah. Hanya saja menurut Harun Nasution huruf s pada kata
sophos jika ditransliterasikan ke dalam bahasa Arab menjadi س bukan ص sebagaimana yang terdapat
dalam kata philosophia.
Berdasarkan beberapa asal kata tasawuf * di
atas, pada hakikatnya pengertian tasawuf adalah sebuah bentuk kehidupan yang
didasari oleh kesederhanaan hidup atau zuhud terhadap dunia, dengan memiliki
akhlak yang terpuji serta memiliki jiwa yang suci dan bersih dari hal- hal yang
bertentangan dengan ajaran Islam. Sebagai lawan dari bentuk kehidupan sufi
adalah orang – orang yang hidup dengan segala kemewahan dan hawa nafsu tanpa
memperhatikan sikap dan tabi`at yang baik sebagai seorang manusia yang mempunyai
keteguhan hati dalam mengimani dan mengamalkan ajaran Islam dalam menuju
kedekatan dan keredhaan Allah.
Selanjutnya Tasawuf atau sufisme
sebagaimana halnya dengan mistisisme di luar Islam, bertujuan untuk memperoleh
hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan sehingga disadari pengalaman
seorang sufi bahwa seseorang telah
berada di hadhirat Tuhan . Intinya tasawuf atau sufisme ialah sebuah kesadaran
yang sebenarnya bahwa adanya komunikasi dan dialog antara roh ketuhanan manusia
atau Nasut dengan roh kemanusiaan Tuhan atau Lahut dengan jalan dengan
berkontemplasi penuh yang di dalam tasawuf disebut dengan ittihad yakni bersatu
dengan Tuhan.
Pendapat lain tentang asal usul kata tasawuf adalah :
1. Berasal dari bahasa Yunani
yaitu dari kata theosophi yang berarti Tuhan dan sophos yang berarti Hikmat.
Jadi theosophia dan sophos adalah hikmat ketuhanan. Hal ini disebabkan oleh karena ajaran tasawuf banyak
membicarakan masalah ketuhanan.
- Kemudian kata
tasawuf merujuk pada kata shafwah yang berarti sesuatu yang terpilih. Ini
dikatakan karena orang- orang sufi biasanya memandang diri mereka adalah
sebagai orang pilihan atau orang terbaik.
- Tasawuf
berasal dari kata shaufanah yang berarti sejenis buah- buahan kecil
berbulu yang banyak tumbuh di gurun pasir Arab Saudi. Pengambilan
kata ini dikarenakan melihat kehidupan orang- orang sufi yang banyak
memakai
pakaian yang berbulu dan mereka hidup
dalam kesengsaraan fisik, tetapi
Pendapat di atas
agaknya juga berpedoman dengan memperhatikan kepada kondisi kehidupan para sufi
yang dihubungkan dengan sesuatu yang memiliki kolerasi dengan pengertian
tasawuf itu sendiri. Secara bahasa memang sangat beragam pendapat para ahli
dalam memberikan pengertian tasawuf menurut asal kata dari tasawuf , kemudian
mereka hubungkan dengan eksistensi para sufi dalam mengamalkan ajaran tasawuf
dalam kehidupan kesehariannya.
Agar lebih jelasnya defenisi
tasawuf, disini akan penulis sebutkan beberapa defenisi menurut sejumlah tokoh
sufi yang terkenal pada abad ke tiga Hijriyah:[4]
- Abu Sa`id al-Kharraz (w. tahun 227H), ketika
ditanya tentang siapa yang disebut ahli tasawuf, ia menjawab bahwa mereka
adalah orang- orang yang dijernihkan hati sanubarinya oleh Allah dan telah
dipenuhi dengan cahaya,mereka tenang bersama dengan Allah dan tidak pernah
hatinya berpaling dari Allah sehingga dia selalu berzikir mengingat Allah
dalam hidupnya.
- Al- Junaid al- Bagdadi ( w. tahun 297 H)
mengatakan bahwa tasawuf adalah Allah mematikan kelalaian mu dan
menghidupkan dirimu denganNya.
- Ja`far al- Khalidi (w. tahun 348 H) berkata,
tasawuf itu adalah memusatkan segenap jiwa dan raga dalam beribadah dan
keluar dari kemanusiaan serta memandang kepada Al- Haqq secara menyeluruh.
- Abu Bakar Muhammad al-Kattani mengatakan tasawuf
menurutnya adalah kejernihan dan penyaksian.
- Asy- Syibli mengatakan tasawuf adalah :
بدؤه معرفة
الله ونهايته توحيده
Artinya: Permulaannya adalah ma`rifah kepada Allah
dan diakhiri dengan pengesaanNya.
Melihat
pada defenisi tasawuf yang dikemukakan oleh al- Kattani, merupakan sebuah
ungkapan yang sangat simpel sekali tentang pengertian tasawuf, yang mencakup
dua segi yang membentuk satu kesatuan dan keduanya saling menunjang dalam
mendefenisikan tasawuf. Jika dilihat salah satunya adalah merupakan cara atau
jalan dalam tasawuf, sedangkan yang satunya adalah tujuan yang akan dicapai
dalam hidup seorang sufi.
Apabila
dilihat berbagai perbedaan para ahli sufi dalam mendefenisikan tasawuf, memang
berbeda dalam menjelaskan tentang cara yang dilalui untuk menjadi seorang sufi.
Begitu juga dalam masalah asal kata tasawuf, namun menurut sejarah orang yang
pertama kali menggunakan kata tasawuf adalah seorang zahid yang bernama Abu
Hasyim al- Kufi dari Irak ( w. tahun 150 H). Tetapi dalam merumuskan tujuan
dari tasawuf itu sendiri hanya terdapat perbedaan dari segi bahasa yang
digunakan berdasarkan pengalaman yang didapati melalui cara atau maqam yang
dilalui dengan latihan untuk sampai kepada Allah SWT.
Dalam pencarian akar kata tasawuf sebagai
upaya awal untuk mendefenisikan tasawuf, memang merupakan hal yang sulit untuk
menarik sebuah kesimpulan yang tepat. Kesulitan itu terdapat pada esensi
tasawuf sebagai pengalaman rohaniah yang hampir tidak mungkin dijelaskan secara
tepat melalui bahasa lisan. Masing- masing sufi mempunyai penghayatan yang
berbeda sehingga mereka juga berbeda dalam mengungkapkannya, maka muncullah
defenisi tasawuf sebanyak orang yang mencoba mentranspormasikan pengalaman
rohaniahnya.
Di sisi
lain juga dipengaruhi oleh sejarah dan perkembangan tasawuf melalui segmen dan
kultur yang bervariasi. Dalam setiap fase menampilkan sebagian dari unsur-
unsur yang tidak utuh, maka upaya untuk menggabungkan berbagai unsur defenisi
dalam tasawuf itulah yang akhirnya melahirkan satu disiplin ilmu yang disebut
tasawuf. Yakni satu ilmu yang lahir dari pengalaman spiritual yang mengacu pada
kehidupan moralitas yang bersumber dari nilai- nilai Islam.[5]
Seorang
tokoh sufi terkenal abad ke tiga Hijriyah Abu Yazid al- Bustami (w.260 H)
secara lebih luas mengatakan bahwa pengertian tasawuf mencakup tiga aspek:[6]
1).
Melepaskan diri dari perangai yang tercela
2).
Menghiasi diri dengan akhlak yang mulia
3).
Mendekatkan diri kepada Tuhan
Berangkat dari penjelasan berbagai pendapat tentang
defenisi tasawuf di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian tasawuf itu sangat
sulit untuk diambil kesimpulan. Dari berbagai defenisi tentang tasawuf menurut
Ibrahim Basuni seorang tokoh sufi modern pengertian tasawuf dapat dibagi kepada
tiga kategori, yaitu al- bidayat, al- mujahadat dan al- madzaqot.[7]
Al-bidayat adalah
bahwa prinsip awal tumbuhnya tasawuf adalah sebagai wujud dari kesadaran
spiritual manusia tentang dirinya sebagai makhluk Tuhan. Kesadaran itu
mendorong manusia atau para sufi untuk memusatkan perhatiannya untuk beribadah
kepada Khaliqnya yang diiringi dengan kehidupan zuhud atau asketisme, untuk
pembinaan moral. Dengan aspek ini tasawuf diartikan sebagai upaya untuk
memahami hakikat Allah dengan melupakan segala yang berkaitan dengan kesenangan
hidup duniawi yang dalam ajaran tasawuf disebut al-Hubb atau cinta Ilahi.
Defenisi
tasawuf yang dikategorikan kepada al- mujahadat adalah seperangkat amaliah dan
latihan keras dengan satu tujuan yakni berjumpa dengan Allah. Dalam hal ini
tasawuf diartikan dengan berusaha sungguh- sungguh untuk berada sedekat mungkin
dengan Allah. Kemudian al- madzaqot diartikan sebagai pengalaman yang dirasakan
oleh seorang sufi di hadirat Allah, apakah dia melihat Tuhan atau merasakan
kehadiran Tuhan dalam hatinya dan atau mereka merasa bersatu dengan Tuhan yang
difahami sebagai ma`rifatul Haqq yang merupakan ilmu terbukanya hijab bagi
seorang sufi.[8]
Kemudian
tasawuf sebagai sebuah ilmu pengetahuan adalah ilmu yang mempelajari tentang
cara atau jalan yang dilalui oleh para sufi untuk bisa berada sedekat mungkin
dengan Tuhan, bahkan bisa bersatu dengan Tuhan dalam berbagai bentuk sesuai
dengan maqam yang mereka lalui.
B. Perkembangan
Tasawuf
Dalam
dunia Islam, tasawuf dikenal secara luas adalah semenjak penghujung abad ke dua
Hijriyah. Dimana bermula dari para zahid
yang mengelompok di serambi Masjid Madinah .Dalam perjalanan hidup
berkelompok lebih mengkhususkan diri untuk beribadah dan mengembangkan kehidupan
rohaniah dengan mengabaikan kehidupan duniawi, yang ditandai dengan sebutan
zahid atau kesalehan asketis yang merupakan awal pertumbuhan tasawuf yang
akhirnya berkembang pesat.
Kemudian
sampai abad ke tiga Hijriyah sedah beralih dari kehidupan zuhud ke arah sufisme yang sudah mulai membicarakan
persoalan apa itu jiwa yang suci, apa itu moral dan bagaimana pembinaannya.
Sebagai reaksi dari perbincangan ini muncullah berbagai teori tentang
jenjang* yang harus ditempuh oleh
seorang sufi.
Adapun
teori asal timbulnya aliran yang dikenal
dengan sufisme ini antara lain menurut Harun Nasution merupakan pengaruh dari
kehidupan para Rahib Kristen yang
mengasingkan diri di padang pasir Arabia. Kemudian juga dari pengaruh Filsafat
Pyithagoras dan emanasi Plotinus bahwa untuk memperoleh kehidupan yang senang
di alam samawi manusia harus mampu membersihkan roh dengan jalan meninggalkan
hidup materi yaitu zuhud. Selain itu juga dipengaruhi oleh ajaran Budha karena
adanya kemiripan ajaran sufisme Fana`
dengan ajaran nirwana dengan meninggalkan dunia memasuki hidup kontemplasi, dan
juga dari ajaran Hinduisme yang mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan
mendekati Tuhan untuk bersatu dengan Atman dan Brahman. [9]
Namun
kebenaran pendapat ini sangat sulit dibuktikan , sebab walau bagaimanapun juga
tanpa persentuhan dengan dunia non muslim, di dalam ajaran Al- Qur`an sudah ada
ayat- ayat yang mengatakan bahwa manusia itu dekat dengan Allah sebagaimana
dalam surat 2 ayat 186 :
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّيقَرِيبٌ أُجِيبُ
دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي
وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
“َJika hambaKu
bertanya tentang diriKU maka Aku dekat dan mengabulkan seruan
yang memanggil Aku jika Aku dipanggil,
penuhilah perintahKu dan berimanlah
kepadaKu
agar mereka memperoleh kebenaran” (al-Baqarah : 186).
Begitu juga dengan hadits Nabi yang
menggambarkan kedekatan hubungan antara manusia dengan Tuhan bahwa:
من عرف نفسه فقد عرف ربه
”Orang yang
mengetahui dirinya , itulah orang yang mengetahui Tuhannya"
Dan banyak lagi ayat- ayat
al-Qur`an yang mengisyaratkan tentang kedekatan manusia dengan Allah. Dengan
kata lain menurut penulis tanpa ada pengaruh ajaran agama dan pemikiran lain
selain Islam, ajaran tasawuf dengan sendirinya tetap akan muncul dalam Islam.
Tasawuf
atau sufisme sebagai suatu ajaran dalam Islam mengalami perkembangan yang pesat
yang memberikan gambaran dan motivasi
munculnya gerakan di kalangan muslim
pada umumnya dari kalangan hartawan dan pembesar negeri terhadap kehidupan
glamor dan sikap hidup sekular dari para penguasa Istana waktu itu , menjadi
tidak lagi mendapat respon dan simpatik dari masyarakat muslim. Sehingga tampillah seorang tokoh populer
aliran ini Hasan al- Bashri (w.110 H)
yang memiliki pengaruh besar dalam sejarah spritual Islam melalui doktrin yang
terkenal adalah al- zuhud , kemudian
Rabi`ah al-Adawiyah (w.185 H) dengan ajaran
al- hubb atau mahabbah serta
Ma`ruf al- Kharki (w. 200 H) .[10]
Kemudian
pada abad yang sama muncul pula DzuNun al- Mishri (w.245 H) dengan konsep
spiritual menuju Tuhan al- maqomat yang sejalan dengan konsep al- hal . Setelah
berkembangnya doktrin al- hal ini, perkembangan tasawuf telah sampai pada
tingkat kejelasan dalam tujuan maupun ajaran dengan kesalehan asketis. Sehingga
untuk menjadi seorang sufi sudah dirasakan sangat berat bagaikan kelahiran
kembali seorang manusia yang harus melepaskan kehidupan materi yang
menyenangkan untuk kembali ke alam rohaniyah, pengabdian dan kecintaan serta
kesatuan dengan alam malakut. Sampai abad ke
tiga Hijriyah muncul lagi seorang sufi terkenal Abu yazid al- Busthomi
(w.260 H) yang melangkah lebih maju dengan doktrin al-ittihad melalui al- fana.[11] Setelah ini
tasawuf semakin pesat hingga terjadi pergeseran tujuan
tasawuf ke tingkat yang lebih tinggi .
Maka tasawuf mulai dimasuki oleh unsur- unsur
di luar Islam melalui akulturasi. Sehingga terjadi ketegangan antara kaum
sufi ortodoks yang berasal dari kalangan teolog dan fuqaha
dengan kelompok sufi yang berfaham ittihad di pihak lain.* Akibat terjadinya
perbenturan pemikiran tentang doktrin tasawuf waktu itu, pemikiran dalam
tasawuf terbagi kepada dua kelompok besar, maka pada penghujung abad ke tiga
Hijriyah tampilah tokoh kompromis antara sufisme dengan ortodoksi dalam Islam , yang bernama
al- Kharraj (w.277 H) bersama al Junaid ( w.297) untuk menjembatani antara
mistik dengan syari`at Islam. Sehingga lahir lagi doktrin al- Baqa sebagai
perimbangan dari doktrin al- Fana. .[12]
Hasil
pemaduan antara mistik dengan syari`at sebagai suatu lembaga mendapat sambutan
luas dari kalangan masyarakat muslim waktu itu, sehingga tampilnya para penulis tasawuf seperti al- Sarraj,
dengan karangannya al- Luma, dan al- Kalabazi dengan kitab al- Ta`ruf li Mazhab
ahl al- Tasawuf dan al-Qusyairi dengan al- Risalahnya. Kemudian setelah ini
muncul jenis tasawuf yang berbeda yakni tasawuf yang merupakan perpaduan antara
sufisme dan filsafat dengan konsep ma`rifat sejati dari tokoh yang bernama Ibn
Masarrah (w.381 H) yang menggabungkan antara sufisme dengan teori emanasi
Neo-Platonisme. Faham tasawuf ini akhirnya dikikis habis oleh al-Ghazali (w.503
H) pada abad ke lima Hijriyah karena dianggap hasil rekayasa dan tidak Islami,
seperti ucapan- ucapan estatik dari seorang yang arif dalam kondisi sakr atau
terkesima. Namun setelah sadar mereka mengaku pula bahwa kesatuan dengan
Tuhan itu bukanlah hakiki, tetapi hanya
sebagai sebuah kesatuan simbolistik .
C. Maqaamat dan
Ahwal
Orang-
orang sufi mempunyai jalan rohani yang merupakan tempat atau jalan yang
ditempuh untuk menuju Allah Azza wa Jalla. Mereka mengandalkan Al- Qur`an dan
Hadits Nabi yang telah nyata hasilnya dirasakan oleh orang- orang sufi. Jalan
yang ditempuh oleh sufi ini disebut dengan al- maqaamat wal Ahwal yang artinya
kedudukan dan keadaan. Masing- masing sufi memiliki jalan yang berbeda utuk
sampai kepada Allah sesuai dengan faham tasawuf yang mereka pelajari, secara
bertingkat untuk sampai pada Allah SWT.
Maqaamat
atau maqam adalah jalan panjang yang ditempuh oleh seorang sufi yang berisikan
stasion- stasion yang harus dilalui untuk sampai pada Tuhan. Sedangkan ahwal
atau hal adalah keadaan atau rasa yang
hadir dalam diri sufi yang merupakan anugrah
dan rahmat yang diberikan Allah yang bersifat sementara datang dan pergi
bagi seorang sufi dalam perjalanannya mendekati Tuhan.[13]
Adapun
maqam yang memiliki stasion- stasion
yang harus dilalui tidak sama menurut ahli sufi. Seperti yang akan
dijelaskan pada uraian ini.
1.Zuhud
Zuhud adalah meninggalkan dunia dengan segala kemewahannya dan hidup
kematerian. Zuhud merupakan stasion terpenting yang harus dilalui oleh
seseorang sebelum menjadi seorang sufi. Aliran ini mulai muncul sebagai reaksi
umat Islam terhadap kehidupan khalifah yang larut dalam kemewahan keserakahan
akan kekuasaan dan ketidak sucian, maka orang- orang tidak simpatik dengan
kehidupan itu dan ingin mempertahankan hidup sederhana menjauhkan diri dari
dunia kemewahan. Aliran ini pertama berkembang di Kuffah dan Basrah Irak,
dengan para zahid yang terkenal di sini adalah Hasan al- Basri (w.110 H ) dan
Rabi`ah al- Adawiyah (w.185 H).[14]
Hasan al- Basri dikenal dengan kemashurannya dengan zuhud yang
berlandaskan kepada Khauf yaitu takut untuk berbuat maksiat dan raja` demi
mengharap rahmat Allah.. Dia pernah mengatakan ”jauhilah dunia ini, karena ia
sebenarnya serupa dengan ular, licin pada perasaan tangan, tetapi racunnya
mematikan”. Kemudian dilanjutkan oleh malik bin Dinar (w.171 H) yang hidup
dalam kezuhudan sehingga dirumahnya tidak ada apa- apa kecuali hanya Al-Qur`an.[15]
Kemudian stasion- stasion lain yang kedudukannya
dibawah zuhud adalah[16]:
a.Taubat
(taubat yang sebenar- benarnya dan senantiasa melakukan kontemplasi dengan
Allah)
b.Wara`
(meninggalkan hal-hal yang subhat)
c.Kefakiran
(tidak mau meminta lebih dari apa yang ada padanya)
d.Sabar
(sabar dalam melaksanakan peritah Allah,meninggalkan larangan dan menerima
cobaan, )
eTawakkal
( menyerah kepada qada` dan keputusan Allah)
f.Kerelaaan
(Tidak meminta syurga dari Allah dan
tidak meminta supaya dijauhkan dari neraka).
2.al-Mahabbah
Mahabbah
yang dimaksud disini adalah cinta kepada Tuhan. Menurut Harun Nasution
pengertian mahabbah adalah:[17]
a.
Memeluk kepatuhan kepada
Tuhan dan membenci sikap melawan kepadanya.
b.
Menyerahkan seluruh diri
kepada yang dikasihi yaitu Tuhan
c.
Mengosongkan hati dari
segalanya kecuali dari diri yang dikasihi yaitu Tuhan.
Menurut al- Sarraj mahabbah mempunyai tiga
tingkatan:
a.
Cinta biasa, yakni selalu
ingat kepada Tuhan dengan sering berzikir dan memuji-Nya dengan menyebut nama Allah dan berdialog
dengan-Nya.
b.
Cinta orang yang siddiq,
yakni orang yang kenal dengan Tuhan, pada kebesaran, kekuasaan dan pada Ilmu-Nya
serta lain- lain. Yaitu cinta yang dapat menyingkap tabir yang memisahkan
manusia dengan Tuhan sehingga dapat melihat rahasia- rahasia yang ada pada
Tuhan yang membuat seseorang selalu rindu pada Tuhan.
c.
Cinta orang `arif, yakni
cinta yang timbul karena telah tahu betul dengan Tuhan, sehingga yang timbul
adalah rasa diri yang dicintai dan akhirnya sifat- sifat yang dicintai masuk ke
dalam diri yang dicintai.
Sufi yang terkenal dalam mahabbah ini adalah Rabia`h al- Adawiyah (713-
801) yang berasal dari Basrah. Allah Azza wa Jalla menggambarkan jalan untuk
kecintaan-Nya. Sebagai langkah awal adalah menjalankan segala kewajiban kepada
Allah, karena kecintaan Allah mustahil akan didapat jika tidak berupaya
mendekatkan diri kepada-Nya. Termasuk kecintaan kepada Allah Ta`ala dengan
mengikuti Rasulullah dalam petunjuknya, kezuhudan serta akhlaknya serta
meneladani dalam segala hal. Antara cinta hamba dengan kecintaan Allah diikat
dengan amal dan akibat dari kecintaan-Nya juga dengan amal.[18]
Sehingga bagi Rabi`ah Adawiyah Tuhan adalah zat yang dicintai dan meluaplah
dari hatinya rasa cinta yang mendalam kepada Tuhan yang lahir dalam ucapannya ”
Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut kepada neraka dan bukan pula
karena ingin masuk syurga, tetapi aku mengabdi karena cinta kepada-Nya. Dia
menolak untuk tawaran menikah karena dia adalah milik Tuhan yang dicintainya.
3.al-
Ma`rifah
Di dalam konsep tasawuf ma`rifah diartikan dengan pengenalan yang
langsung tentang Tuhan, yang diperoleh dengan hati sanubari sebagai hikmah
langsung dari ilmu hakikat. Dengan demikian ma`rifat lebih mengacu pada
tingkatan kondisi mental, sedangkan hakikat mengarah pada kualitas pengetahuan
atau pengamalan. Melalui latihan yang berat, jiwa seseorang bisa menyatu dengan
zat yang diketahuinya itu yakni Allah Azza wa Jalla.[19]
Ma`rifah juga berarti mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati
sanubari seseorang dapat melihat Tuhan. Sehingga orang sufi mengatakan:
a.
kalau mata yang terdapat
dalam hati sanubari manusia itu terbuka, maka kepalanya akan tertutup dan saat
itu yang terlihat hanyalah Allah.
b.
Ma`rifah adalah cermin,
kalau orang yang arif melihat cermin, yang dilihatnya adalah Allah, begitu juga
disaat tidur dan bangun yang dilihatnya hanya Allah.
c.
Sekiranya ma`rifah
mengambil bentuk materi, maka semua orang yang melihatnya akan mati karena tak
tahan melihat kecantikan serta keindahannya... dan semua cahaya akan menjadi
gelap di samping cahaya yang gilang
gemilang.
Zunnun al- Misri (w. 860M) yang digelari dengan bapak ma`rifah
mengatakan bahwa ada tiga macam pengetahuan tentang Tuhan:[20]
a.
Pengetahuan awam, yakni
pengetahuan tentang Tuhan satu dengan perantaraan ucapan syahadat.
b.
Pengetahuan ulama, yakni
pengetahuan tentang Tuhan satu menurut logika akal.
c.
Pengetahuan sufi, yakni
pengetahuan tentang Tuhan satu dengan
perantaraan hati sanubari. Maka pengetahuan yang pertama dan ke dua disebut
dengan ilmu, sedangkan pengetahuan yang ke tiga disebut dengan pengetahuan yang
hakiki tentang Tuhan yang disebut dengan ma`rifah.
Imam al- Ghazali pernah mengatakan bahwa dalam ma`rifah kepada Allah dengan menjadikan-Nya sebagai teman
dalam hidup dan mati. Ketahuilah bahwa
sahabat yang tidak pernah meninggalkanmu dalam rumah dan perjalannmu dalam
tidur dan terjagamu, dalam kehidupan dan
kematianmu adalah Tuhanmu, Maulanamu sebab dia adalah temanmu. Akhirnya
memang Allah selalu ingat dalam setiap waktu yang dilalui. Jika sesorang telah
mampu menghadirkan Allah dalam setiap waktunya, pertanda ia sudah mengetahui
Tuhannya dengan pengetahuan hati
sanubarinya, sehingga Allah berfirman Aku adalah teman duduk bagi orang yang
mengingat-KU.[21]
4.al- Fana dan al- Baqa
Sebelum seorang sufi dapat bersatu dengan Tuhan, ia harus mampu
menghancurkan dirinya. Sebab selama dia belum mampu menghancurkan dirinya dia akan selalu sadar, selagi masih sadar
seorang sufi tidak dapat bersatu dengan Tuhannya. Inilah yang disebut fana
dalam tasawuf. Kemudian fana selalu diiringi dengan Baqa yakni tetap terus
hidup. Kalau seorang sufi telah mencapai fana`an al- Nafs, yakni menghancurkan
wujud jasmaninya, maka yang tinggal hanya wujud rohaninya, maka ketika itu
barulah ia dapat bersatu dengan Tuhannya. Abu Yazid al- Bustami* (w. 874 M)
sebagai sufi pertama dalam fana` dan baqa` mengatakan”
اعرفه بي حتى فنيت ثم عرفته به فحييت
“Aku tahu
pada Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur, kemudian aku tahu
padaNya,
maka akupun hidup.”[22]
Selanjutnya Abu Yazid bahwa
sebenarnya manusia seesensi dengan Allah, bisa bersatu denganNya apabila
manusia mampu meleburkan eksistensinya sebagai suatu pribadi (fana` an nafs)
yakni hilangnya kesadaran kemanusiaannya dan menyatu ke dalam hadhirat Allah.
Artinya bukan jasad tubuhnya yang menyatu dengan zat Allah.
5.al- Ittihad
Pengertian al- Ittihad adalah dimana seorang sufi sudah merasakan
dirinya bersatu dengan Allah, suatu tingkatan karena yang mencintai dengan yang
dicintai sudah menjadi satu. Sebagaimana dikatakan oleh A.R. Al- Badawi yang
dilihat dalam Ittihad hanya satu wujud, walaupun sebenarnya ada dua wujud yang
berpisah satu sama lain, sebab yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud,
maka dalam ittihad bisa terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai dan
yang dicintai. Dalam ittihad identitas telah hilang, telah menjadi satu, karena
itu kesadaran sudah hilang karena fana` maka ia berbicara sufi berbicara dengan nama Tuhan.[23]
Berdasarkan pengalaman Abu Yazid dalam ittihad dapat difahami bahwa
ittihad bisa dicapai setelah seorang sufi mencapai tingkatan fana` sehingga
identitas diri telah tidak dirasakan lagi, dalam ketidak sadaran jasmani,
rohani telah bersatu dengan Tuhan. Sehingga sufi berbicara atas nama Tuhan,
dengan kata lain Tuhan berbicara melalui lidah Abu Yazid. Hal ini kelihatan
dari pengalaman Abu Yazid dengan ucapannya:
قال : يا ابا يزيد انهم كلهم خلقي غيرك. فقلت : فانا انت وانت انا وانا
انت
Tuhan
berkata : ”Semua mereka kecuali engkau, adalah makhlukKu, akupun
berkata:” aku adalah engkau, engkau adalah
aku, dan aku adalah engkau”
Paham ittihad ini timbul sebagai konsekwensi lanjut
dari pendapat Bayazid bahwa jiwa manusia adalah pancaran Nur Ilahi, aku nya
manusia itu adalah pancaran dari yang maha esa sebagaimana pancaran sinar
matahari di bumi. Maka barang siapa yang mampu membebaskan diri dari alam
lahiriah atau kesadaran insan, maka dia akan menemukan jalan untuk kembali
bersatu dengan sumber asalnya, bersatu padu dengan Yang Tunggal yaitu Allah.
Inilah yang disebut ittihad.[24]
6. al- Hulul
Faham al- Hulul ditimbulkan oleh Husain Ibn Mansur al- Hallaj (l. Persia
858M- w.922) ia meninggal karena dihukum mati dan setelah itu jasadnya dibakar
dan abunya dibuang ke sungai Tigris karena ia dituduh oleh penguasa saat
itu.* Karena al- hallaj diwaktu mencapai
hulul mengatakan انا
الحق
”Akulah Yang maha Benar”.[25]
Menurut
keterangan Abu Nasr al- Tusi dalam kitab al- Luma` ialah faham yang mengatakan
bahwa Tuhan memilih tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya,
setelah sifat- sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu berhasil dilenyapkan.[26]
Dari ajaran al- hulul yang
dikembangkan al- hallaj dapat disimpulkan bahwa
di dalam diri manusia terdapat sifat Ketuhanan, dan di dalam diri Tuhan
terdapat sifat kemanusiaan
. Persatuan antara Tuhan dan
Manusia bisa terjadi dalam bentuk hulul, setelah manusia mampu menghilangkan
sifat- sifat kemanusiaannya melalui fana`. Setelah fana` yang tinggal dalam diri
manusia hanyalah sifat Ketuhanan, disanalah Tuhan bisa mengambil tempat di
dalam diri manusia. Dan ketika itu roh Tuhan dan roh manusia dapat bersatu di
dalam tubuh manusia. Dengan demikian ketika al- hallaj mengatakan ”Akulah Yang
maha Benar” bukan roh al- hallaj yang mengatakan itu, tetapi roh Tuhan yang
mengambil tempat di dalam diri al-hallaj. Perbedaannya antara Ittihad Abu Yazid
dengan al- Hulul nya al- Hallaj adalah dalam ittihad diri Busthami hancur, yang
dilihat hanya satu wujud yaitu Tuhan, sedangkan dalam hulul al- hallaj wujud
dirinya tidak hancur, yang dilihat ada dua wujud tetapi bersatu dalam satu
tubuh seperti Allah memerintahkan malaikat dan Iblis sujud kepada Adam, karena
Allah telah mengambil tempat dalam tubuh nabi Adam.
7.Wahdat al- Wujud
Wahdat al- wujud berarti
kesatuan wujud yang merupakan kelanjutan dari faham hulul yang dikemukakan oleh
Muhy al- Din Ibn Arabi (L. 1165M.w.1194M). faham wihdatul wujud ini menurutnya
pengakuannya dia terima dari Nabi Muhammad melalui satu mimpi pada tahun 626
H.di Damaskus. Dalam wahdatul wujud, nasut yang ada dalam hulul dirobahnya
menjadi khalq ( makhluk) dan lahut menjadi haq (Tuhan). Makhuk dan haq
merupakan dua aspek bagi tiap sesuatu. Khalq adalah aspek luar dan haq aspek
sebelah dalam.[27]
Dalam faham ini setiap
sesuatu yang ada memiliki dua aspek yakni aspek kemakhlukan dan aspek
ketuhanan. Aspek yang terpenting adalah aspek haq yang merupakan batin jauhar
atau substansi dan esensi setiap yang berwujud. Sedangkan aspek khalq adalah
aspek yang datang kemudian.
Renungan zauq tasawuf yang
didasarkan pada renungan filsafat ini timbul sebagai kelanjutan dari konsep
penciptaan makhluk. Menurut Ibnu `Arabi alam ini diciptakan Allah dari `ain
wujudnya. Sehingga jika Allah ingin melihat dirinya maka Allah cukup dengan
melihat alam ini yang pada hakikatnya tidak ada perbedaan antara keduanya
artinya alam yang nampak berbeda- beda ini pada dasarnya adalah satu seperti
seseorang yang ingin melihat dirinya lewat cermin. Betapa banyaknya bayangan
yang ada, namun orangnya tetap satu karena bayangan itu tidak mempunyai
substansi.[28]
Dalam pandangan Ibn `Arabi,
tidak ada perbedaan antara wujud yang satu dengan alam yang beraneka ragam .
Hal iu hanya dapat dipandang oleh orang yang `arif yang bisa melihat dengan
mata hatinya, sehingga orang `arif itu berucap”
سبحا ن من خلق الا شياء وهو عينها.
اذا شهد نه شهدنا نفو سنا. واذا شهدنا نفوسه
” Maha
suci Allah yang menciptakan segala sesuatu dari dzatNya, sehingga apabila kami
melihat Nya berarti kami melihat diri kami, dan apabila kami melihat diri kami
maka kami juga melihat diriNya.”
Berdasarkan
pengertian di atas, dapat difahami bahwa faham wahdatu al-wujud yang dicetuskan
oleh Ibn al- `Arabi dalam tasawufnya merupakan tasawuf falsafi, karena sudah
merupakan hasil fikir dari seorang sufi dan tidak hanya semata- mata berasal
dari hati atau sir saja untuk bisa memahami persatuan wujud Tuhan dengan wujud
alam ini. Artinya alam ini merupakan cermin
bagi Tuhan untuk melihat dirinya. Walaupun alam ini terdiri dari bentuk
materi yang beragam, namun sebenarnya wujudnya adalah satu yakni wujud Tuhan.
Wujud makhluk ini tergantung pada wujud Tuhan yang bersifat wajib. Adapun wujud
yang lain hanyalah wujud yang tidak sebenarnya atau wujud bayangan.[29]
Dengan
demikian dalam hal ini Ibn al- `Arabi mengatakan bahwa wujud hakiki hanyalah
wujud Allah, sedangkan wujud makhluk hanyalah bayang- bayang dari yang punya
bayangan atau Allah, atau gambaran dalam kaca dari yang mengaca. Maka makhluk
adalah bayangan sedangkan al-haq adalah yang maha Suci dan makhluk adalah
tiruan. Yang dimaksud dengan
Tajallinya Allah pada alam adalah
sebagai bukti wujud Tuhan secara
transenden pada semua makhluk, dariNya segalanya berasal dan kapadaNya pula semua akan kembali.
IV. Penutup
A. Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan yang telah penulis paparkan sebelumnya dapat diambil kesimpulan
bahwa di antara perbedaan asal- usul
arti kata tasawuf disebabkan adanya akulturasi dengan dunia luar Islam,
sebenarnya sulit untuk dibuktikan . Sebab dalam ajaran al- Qur`an dan hadits sendiri sudah ada isyarat yang megajarkan tentang keharusan manusia
untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah, sekalipun dalam memahami
isyarat tersebut berbeda pemahaman di kalangan sufi. Akan tetapi semuanya
menuju kepada kedekatan hamba dengan Allah.
Berdasarkan defenisi yang dikemukakan oleh tokoh- tokoh
sufi tentang pengertian tasawuf dapat disimpulkan bahwa tasawuf adalah jalan
yang ditempuh oleh seorang muslim untuk sampai kepada Allah dalam berbagai
bentuk dengan cara melatih diri yakni
mengasah hati dan pikiran berdasarkan
al- Qur`an dan hadits yang dikenal dengan sir dan zugh secara bertahap dengan
maqam yang difahami dan diyakini untuk sampai kepada Allah. Artinya tasawuf
adalah suatu usaha yang dapat dilakukan seorang muslim dengan melatih dan
mengasah hati dan pikiran secara rohaniyah. Sehingga terjadilah perbedaan
pengalaman yang dirasakan oleh seorang sufi dalam mencapai hadirat Allah.
Demikianlah
makalah ini penulis susun sebagai bahan
diskusi dalam mata kuliah Sejarah Pemikiran Dalam Islam.
B. Saran- saran
Dalam
penulisan makalah ini penulis sangat merasakan
ketidak sempurnaan terutama dalam
menela`ah referensi yang cukup
terbatas .Kepada pembaca yang budiman
penulis harapkan untuk dapat menggali lebih mendalam tentang tasawuf dan masukan demi kesempurnaan
makalah ini. Akhirnya penulis aturkan terima kasih.
[1]
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al- Munawwir Arab- Indonesia Terlengkap, (
Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku Ilmiah Keagamaan Ponpes Al- Munawwir, 1984), hal.860
[2]Lihat Harun Nasution, Falsafat dan Mitisisme dalam
Islam, ( Jakarta: Bulan Bintang 1973), hal.56-57
* Menurut koleksi Ibrahim Basuni, ia telah
mengumpulkan sekitar 40 arti tasawuf sampai ia menulis bukunya Nas- ah
al-Tasawuf al Islam tahun 1969
[3] Abdurrahman Abdul Khaliq, Ihsan Ilahi
Zhahir, Pemikiran Sufisme di bawah Bayang- bayang Fatamorgana, ( Jakarta:
Amzah, 2001), hal 12-13
[4] Abdul Halim Mahmud, Tasawuf di Dunia
Islam , Judul asli At-Tashawwuf fi al- Islam, terj. Abdulllah Zakiy
al-Kaaf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), hal. 26
[5] A. Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme
Klasik ke Neo- Sufisme, (Jakarta: PT. raja Grafindo Persada, 2002), hal. 33
[6] Abu Syu`ud, Islamologi Sejarah Ajaran
dan Perananna dalam Peradaban Umat Manusia,
( Jakarta: PT.Rineka Cipta, 2003), hal. 103
[7] A.
Rivay Siregar, Opcit., hal . 34
[8] Ibid.,
hal.35
* Jenjang yang harus ditempuh
ini disebut dengan maqaamat dalam tasawuf serta ciri- ciri yang dimiliki sufi
pada tingkat tertentu yang disebut al- Hal.
[9] Harun
Nasution, Opcit., hal.58-59
[10] A.
Rivay Siregar, Opcit., hal.38
[11] Ibid.,
hal 41
* Pada waktu itu Tujuan tasawuf tidak hanya
sebatas mencintai dan dekat dengan
Tuhan, tetapi sudah meningkat menjadi penyatuan diri dengan Tuhan melalui
mi`raj spiritual ke alam Ilahiyat sehingga menimbulkan konflik antara sufi
dengan teolog dan Fuqaha dengan saling menganggap sesat.
[13] Harun Nasution, Fisafat dan Mistisisme,
Opcit., hal 62- 63
[14] Ibid.,
hal. 65
[15]
Abu Su`ud, Opcit., hal.188
[16]
Harun Nasution, Opcit., hal 67-69.
[17] Ibid.,
hal. 70-71
[18]
Abdul Halim Mahmud, Opcit., hal. 94
[19]
A.Rivay Siregar, Opcit., hal.112
[20]
Harun Nasution, Opcit., hal. 76
[21]
Imam al- Ghazali, Bidayatul Hidayah, diterjemahkan oleh Tim Mumtaz, (Jakarta : Himmah), hal. 235
*Nama kecilnya Thaifur,
lahir di Bistonm kawasan Persia
tahun 200H. Tentang penulisan namanya ada Busthami, Bisthomi, Busthomi dan
Basthomi, bahkan ditulis Bayazid saja
[22]
Harun Nasution Opcit., hal.81
[23] Ibid.,
hal.82
[24]
A.Rivay Siregar, Opcit., hal 153
*Ada pendapat yang mengatakan bahwa al- Hallaj
dihukum mati bukan karena ajarannya, tetapi karena dia adalah anggota
pemberontak Karamihtah
[25]
Harun Nasution, Opct., hal.87
[26] Ibid.
,hal. 88
[27] Ibid.,
hal. 92
[28]
A. Rivay Siregar, Opcit., hal 183
[29]
Harun Nasution , Opcit., hal. 95
Tidak ada komentar:
Posting Komentar