Kamis, 18 Februari 2016

ASAL- USUL ARTI TASAWUF,MAQAAMAT DAN AL-AHWAL

I. Pendahuluan
          Berbicara  mengenai asal- usul kata tasawuf,  masih terdapat perbedaan pandangan yang sangat beragam dikalangan ahli. Tidak hanya dikalangan ahli bahasa, ulama salaf dan para ahli sufi sendiri pun berbeda pendapat dalam mendefenisikan tasawuf. Perbedaan pendapat dikalangan ahli sufi, antara lain  disebabkan oleh karena berbedanya pengalaman kerohanian melalui penghayatan hidup terbuai dalam  kesufian.
 Dasar- dasar tasawuf sebenarnya sudah ada sejak datangnya ajaran Islam yang dibawa oleh rasulullah SAW, berdasarkan Al-qur`anul karim. Hal ini tergambar dari kehidupan pribadi rasul yang merupakan implementasi dari ajaran tasawuf yang harus diteladani oleh umat manusia, namun perkembangan nya sebagai suatu ajaran  baru pada abad ke dua Hijriyah.
Namun apabila dilihat dari sisi tasawuf sebagai ajaran dalam Islam melalui pengamatan langsung atau tidak, pada intinya tasawuf atau sufisme dalam bahasa Eropa adalah ajaran tentang jalan untuk sampai kepada Allah Azza Wajalla melalui latihan hati yang dikenal dengan mengasah zuqh dengan implikasinya hidup dalam kezuhudan terhadap segala bentuk kemegahan duniawi. Karena hidup dalam kesufian adalah hidup yang didasari dengan keikhlasan dalam mendekatkan diri kepada Allah sedekat- dekatnya , sehingga tidak ada lagi sesuatu yang menjadi halangan untuk menerima segala bentuk kehidupan yang sudah diyakini berdasarkan keredhaan Ilahi.
Sehingga di dalam tasawuf dimulai dengan penyucian jiwa yang dikenal dengan konsep tazkiyah al- nafs yang melalui tiga tahapan, yakni pembersihan jiwa dari sifat- sifat jelek yang disebut  takhalli dan proses kedua adalah mengisi jiwa dengan amal shaleh, yang disebut tahalli dan ketiga  berusaha mendekatkan diri sepenuhnya kepada Allah dengan mencintai-Nya dengan cinta yang mendalam  yang disebut dengan tajalli, sehingga menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya. Dalam makalah ini penulis membahas seputar  asal usul arti tasawuf , perkembangan tasawuf, maqamat dan ahwal.
                
           ASAL- USUL ARTI TASAWUF,MAQAAMAT DAN AL-AHWAL

II.  Pembahasan
A.  Pengertian dan Asal- usul arti Tasawuf
     
Menurut etimologi tasawuf berasal dari kata         صف، صوف           yang berarti barisan dalam shalat. Karena seorang sufi adalah orang yang kuat imannya, bersih jiwanya, selalu shalat pada shaf terdepan. Juga berarti bulu domba  yang dijadikan pakaian yakni dikarenakan  kebiasaan orang- orang shaleh sering memakai pakaian sederhana dari bulu dan kulit domba sebagai lambang kesederhanaan.[1]
          Menurut  Harun Nasution,[2] Tasawuf berasal dari kata              صو في , secara etimologi  menurutnya kata sufi antara lain berdasarkan:
  1. Ahlu al- Suffah yakni orang – orang yang ikut hijrah bersama Nabi dari Mekah ke Madinah. Disebabkan kehilangan harta, dia hidup dalam kemiskinan sehingga mereka tinggal di samping Masjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai pelana sebagai bantal. Dalam bahasa arab pelana disebut dengan suffah. Karena mereka memilki sifat- sifat yang teguh pendirian, taqwa, wara` dan zuhud serta tekun dalam beribadah mereka disebut dengan suffah.
  2. Sufi berasal dari kata             صا في   dan          صفي     yang berarti suci. Karena seorang yang sufi adalah orang yang telah mensucikan dirinya melalui latihan berat yang cukup lama.
  3. Sufi berasal dari kata sophos bahasa Yunani yang artinya hikmat. Karena masyarakat Yunani adalah orang- orang yang cenderung terhadap ilmu pengetahuan yang disebut dengan hikmah. Hanya saja menurut Harun Nasution huruf s pada kata sophos jika ditransliterasikan ke dalam bahasa Arab menjadi                          س bukan    ص            sebagaimana yang terdapat dalam kata philosophia.
 Berdasarkan beberapa asal kata tasawuf * di atas, pada hakikatnya pengertian tasawuf adalah sebuah bentuk kehidupan yang didasari oleh kesederhanaan hidup atau zuhud terhadap dunia, dengan memiliki akhlak yang terpuji serta memiliki jiwa yang suci dan bersih dari hal- hal yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sebagai lawan dari bentuk kehidupan sufi adalah orang – orang yang hidup dengan segala kemewahan dan hawa nafsu tanpa memperhatikan sikap dan tabi`at yang baik sebagai seorang manusia yang mempunyai keteguhan hati dalam mengimani dan mengamalkan ajaran Islam dalam menuju kedekatan dan keredhaan Allah.
Selanjutnya Tasawuf atau sufisme sebagaimana halnya dengan mistisisme di luar Islam, bertujuan untuk memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan sehingga disadari pengalaman seorang sufi  bahwa seseorang telah berada di hadhirat Tuhan . Intinya tasawuf atau sufisme ialah sebuah kesadaran yang sebenarnya bahwa adanya komunikasi dan dialog antara roh ketuhanan manusia atau Nasut dengan roh kemanusiaan Tuhan atau Lahut dengan jalan dengan berkontemplasi penuh yang di dalam tasawuf disebut dengan ittihad yakni bersatu dengan Tuhan.
               Pendapat lain tentang asal usul kata tasawuf adalah :
1.      Berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata theosophi yang berarti Tuhan dan sophos yang berarti Hikmat. Jadi theosophia dan sophos adalah hikmat ketuhanan. Hal ini disebabkan  oleh karena ajaran tasawuf banyak membicarakan masalah ketuhanan.
  1. Kemudian kata tasawuf merujuk pada kata shafwah yang berarti sesuatu yang terpilih. Ini dikatakan karena orang- orang sufi biasanya memandang diri mereka adalah sebagai orang pilihan atau orang terbaik.
  2. Tasawuf berasal dari kata shaufanah yang berarti sejenis buah- buahan kecil berbulu yang banyak tumbuh di gurun pasir Arab Saudi. Pengambilan kata ini dikarenakan melihat kehidupan orang- orang sufi yang banyak memakai
       pakaian yang berbulu dan mereka hidup dalam kesengsaraan fisik, tetapi
       bahagia dengan kesuburan batin.[3]
                   Pendapat di atas agaknya juga berpedoman dengan memperhatikan kepada kondisi kehidupan para sufi yang dihubungkan dengan sesuatu yang memiliki kolerasi dengan pengertian tasawuf itu sendiri. Secara bahasa memang sangat beragam pendapat para ahli dalam memberikan pengertian tasawuf menurut asal kata dari tasawuf , kemudian mereka hubungkan dengan eksistensi para sufi dalam mengamalkan ajaran tasawuf dalam kehidupan  kesehariannya.
                   Agar lebih jelasnya defenisi tasawuf, disini akan penulis sebutkan beberapa defenisi menurut sejumlah tokoh sufi yang terkenal pada abad ke tiga Hijriyah:[4]
  1. Abu Sa`id al-Kharraz (w. tahun 227H), ketika ditanya tentang siapa yang disebut ahli tasawuf, ia menjawab bahwa mereka adalah orang- orang yang dijernihkan hati sanubarinya oleh Allah dan telah dipenuhi dengan cahaya,mereka tenang bersama dengan Allah dan tidak pernah hatinya berpaling dari Allah sehingga dia selalu berzikir mengingat Allah dalam hidupnya.
  2. Al- Junaid al- Bagdadi ( w. tahun 297 H) mengatakan bahwa tasawuf adalah Allah mematikan kelalaian mu dan menghidupkan dirimu denganNya.
  3. Ja`far al- Khalidi (w. tahun 348 H) berkata, tasawuf itu adalah memusatkan segenap jiwa dan raga dalam beribadah dan keluar dari kemanusiaan serta memandang kepada Al- Haqq secara menyeluruh.
  4. Abu Bakar Muhammad al-Kattani mengatakan tasawuf menurutnya adalah kejernihan dan penyaksian.
  5. Asy- Syibli mengatakan tasawuf adalah :
بدؤه معرفة الله ونهايته توحيده                                                                                    
Artinya: Permulaannya adalah ma`rifah kepada Allah dan diakhiri dengan pengesaanNya.
Melihat pada defenisi tasawuf yang dikemukakan oleh al- Kattani, merupakan sebuah ungkapan yang sangat simpel sekali tentang pengertian tasawuf, yang mencakup dua segi yang membentuk satu kesatuan dan keduanya saling menunjang dalam mendefenisikan tasawuf. Jika dilihat salah satunya adalah merupakan cara atau jalan dalam tasawuf, sedangkan yang satunya adalah tujuan yang akan dicapai dalam hidup seorang sufi.
Apabila dilihat berbagai perbedaan para ahli sufi dalam mendefenisikan tasawuf, memang berbeda dalam menjelaskan tentang cara yang dilalui untuk menjadi seorang sufi. Begitu juga dalam masalah asal kata tasawuf, namun menurut sejarah orang yang pertama kali menggunakan kata tasawuf adalah seorang zahid yang bernama Abu Hasyim al- Kufi dari Irak ( w. tahun 150 H). Tetapi dalam merumuskan tujuan dari tasawuf itu sendiri hanya terdapat perbedaan dari segi bahasa yang digunakan berdasarkan pengalaman yang didapati melalui cara atau maqam yang dilalui dengan  latihan  untuk sampai kepada Allah SWT.
 Dalam pencarian akar kata tasawuf sebagai upaya awal untuk mendefenisikan tasawuf, memang merupakan hal yang sulit untuk menarik sebuah kesimpulan yang tepat. Kesulitan itu terdapat pada esensi tasawuf sebagai pengalaman rohaniah yang hampir tidak mungkin dijelaskan secara tepat melalui bahasa lisan. Masing- masing sufi mempunyai penghayatan yang berbeda sehingga mereka juga berbeda dalam mengungkapkannya, maka muncullah defenisi tasawuf sebanyak orang yang mencoba mentranspormasikan pengalaman rohaniahnya.
Di sisi lain juga dipengaruhi oleh sejarah dan perkembangan tasawuf melalui segmen dan kultur yang bervariasi. Dalam setiap fase menampilkan sebagian dari unsur- unsur yang tidak utuh, maka upaya untuk menggabungkan berbagai unsur defenisi dalam tasawuf itulah yang akhirnya melahirkan satu disiplin ilmu yang disebut tasawuf. Yakni satu ilmu yang lahir dari pengalaman spiritual yang mengacu pada kehidupan moralitas yang bersumber dari nilai- nilai Islam.[5]
Seorang tokoh sufi terkenal abad ke tiga Hijriyah Abu Yazid al- Bustami (w.260 H) secara lebih luas mengatakan bahwa pengertian tasawuf mencakup tiga aspek:[6]
1). Melepaskan diri dari perangai yang tercela
2). Menghiasi diri dengan akhlak yang mulia
3). Mendekatkan diri kepada Tuhan
            Berangkat dari penjelasan berbagai pendapat tentang defenisi tasawuf di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian tasawuf itu sangat sulit untuk diambil kesimpulan. Dari berbagai defenisi tentang tasawuf menurut Ibrahim Basuni seorang tokoh sufi modern pengertian tasawuf dapat dibagi kepada tiga kategori, yaitu al- bidayat, al- mujahadat dan al- madzaqot.[7]
             Al-bidayat adalah bahwa prinsip awal tumbuhnya tasawuf adalah sebagai wujud dari kesadaran spiritual manusia tentang dirinya sebagai makhluk Tuhan. Kesadaran itu mendorong manusia atau para sufi untuk memusatkan perhatiannya untuk beribadah kepada Khaliqnya yang diiringi dengan kehidupan zuhud atau asketisme, untuk pembinaan moral. Dengan aspek ini tasawuf diartikan sebagai upaya untuk memahami hakikat Allah dengan melupakan segala yang berkaitan dengan kesenangan hidup duniawi yang dalam ajaran tasawuf disebut al-Hubb atau cinta Ilahi.
Defenisi tasawuf yang dikategorikan kepada al- mujahadat adalah seperangkat amaliah dan latihan keras dengan satu tujuan yakni berjumpa dengan Allah. Dalam hal ini tasawuf  diartikan dengan berusaha  sungguh- sungguh untuk berada sedekat mungkin dengan Allah. Kemudian al- madzaqot diartikan sebagai pengalaman yang dirasakan oleh seorang sufi di hadirat Allah, apakah dia melihat Tuhan atau merasakan kehadiran Tuhan dalam hatinya dan atau mereka merasa bersatu dengan Tuhan yang difahami sebagai ma`rifatul Haqq yang merupakan ilmu terbukanya hijab bagi seorang sufi.[8]
Kemudian tasawuf sebagai sebuah ilmu pengetahuan adalah ilmu yang mempelajari tentang cara atau jalan yang dilalui oleh para sufi untuk bisa berada sedekat mungkin dengan Tuhan, bahkan bisa bersatu dengan Tuhan dalam berbagai bentuk sesuai dengan maqam yang mereka lalui.


B. Perkembangan Tasawuf
Dalam dunia Islam, tasawuf dikenal secara luas adalah semenjak penghujung abad ke dua Hijriyah. Dimana bermula dari para zahid  yang mengelompok di serambi Masjid Madinah .Dalam perjalanan hidup berkelompok lebih mengkhususkan diri untuk beribadah dan mengembangkan kehidupan rohaniah dengan mengabaikan kehidupan duniawi, yang ditandai dengan sebutan zahid atau kesalehan asketis yang merupakan awal pertumbuhan tasawuf yang akhirnya berkembang pesat.
Kemudian sampai abad ke tiga Hijriyah sedah beralih dari kehidupan zuhud  ke arah sufisme yang sudah mulai membicarakan persoalan apa itu jiwa yang suci, apa itu moral dan bagaimana pembinaannya. Sebagai reaksi dari perbincangan ini muncullah berbagai teori tentang jenjang*  yang harus ditempuh oleh seorang sufi.
Adapun teori asal timbulnya aliran yang  dikenal dengan sufisme ini antara lain menurut Harun Nasution merupakan pengaruh dari kehidupan  para Rahib Kristen yang mengasingkan diri di padang pasir Arabia. Kemudian juga dari pengaruh Filsafat Pyithagoras dan emanasi Plotinus bahwa untuk memperoleh kehidupan yang senang di alam samawi manusia harus mampu membersihkan roh dengan jalan meninggalkan hidup materi yaitu zuhud. Selain itu juga dipengaruhi oleh ajaran Budha karena adanya kemiripan ajaran sufisme  Fana` dengan ajaran nirwana dengan meninggalkan dunia memasuki hidup kontemplasi, dan juga dari ajaran Hinduisme yang mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan untuk bersatu dengan Atman dan Brahman. [9]
Namun kebenaran pendapat ini sangat sulit dibuktikan , sebab walau bagaimanapun juga tanpa persentuhan dengan dunia non muslim, di dalam ajaran Al- Qur`an sudah ada ayat- ayat yang mengatakan bahwa manusia itu dekat dengan Allah sebagaimana dalam surat 2 ayat 186  :


وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّيقَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي
 وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
              “َJika hambaKu bertanya tentang diriKU maka Aku dekat dan mengabulkan seruan
  yang memanggil Aku jika Aku dipanggil, penuhilah perintahKu dan berimanlah
  kepadaKu agar mereka memperoleh kebenaran” (al-Baqarah : 186).
 Begitu juga dengan hadits Nabi yang menggambarkan kedekatan hubungan antara manusia dengan Tuhan bahwa:
من عرف نفسه فقد عرف ربه                                                                                                                      ”Orang yang mengetahui dirinya , itulah orang yang mengetahui Tuhannya"
Dan banyak lagi ayat- ayat al-Qur`an yang mengisyaratkan tentang kedekatan manusia dengan Allah. Dengan kata lain menurut penulis tanpa ada pengaruh ajaran agama dan pemikiran lain selain Islam, ajaran tasawuf dengan sendirinya tetap akan muncul dalam Islam.
Tasawuf atau sufisme sebagai suatu ajaran dalam Islam mengalami perkembangan yang pesat yang memberikan gambaran  dan motivasi munculnya  gerakan di kalangan muslim pada umumnya dari kalangan hartawan dan pembesar negeri terhadap kehidupan glamor dan sikap hidup sekular dari para penguasa Istana waktu itu , menjadi tidak lagi mendapat respon dan simpatik dari masyarakat muslim.  Sehingga tampillah seorang tokoh populer aliran ini  Hasan al- Bashri (w.110 H) yang memiliki pengaruh besar dalam sejarah spritual Islam melalui doktrin yang terkenal adalah  al- zuhud , kemudian Rabi`ah al-Adawiyah (w.185 H) dengan ajaran  al- hubb atau  mahabbah serta Ma`ruf al- Kharki (w. 200 H) .[10]
Kemudian pada abad yang sama muncul pula DzuNun al- Mishri (w.245 H) dengan konsep spiritual menuju Tuhan al- maqomat yang sejalan dengan konsep al- hal . Setelah berkembangnya doktrin al- hal ini, perkembangan tasawuf telah sampai pada tingkat kejelasan dalam tujuan maupun ajaran dengan kesalehan asketis. Sehingga untuk menjadi seorang sufi sudah dirasakan sangat berat bagaikan kelahiran kembali seorang manusia yang harus melepaskan kehidupan materi yang menyenangkan untuk kembali ke alam rohaniyah, pengabdian dan kecintaan serta kesatuan dengan alam malakut. Sampai abad ke  tiga Hijriyah muncul lagi seorang sufi terkenal Abu yazid al- Busthomi (w.260 H) yang melangkah lebih maju dengan doktrin al-ittihad melalui al- fana.[11] Setelah ini tasawuf semakin   pesat   hingga terjadi pergeseran tujuan tasawuf  ke tingkat yang lebih tinggi .
 Maka tasawuf mulai dimasuki oleh unsur- unsur di luar Islam melalui akulturasi. Sehingga terjadi ketegangan antara kaum sufi  ortodoks  yang berasal dari kalangan teolog dan fuqaha dengan kelompok sufi yang berfaham ittihad di pihak lain.* Akibat terjadinya perbenturan pemikiran tentang doktrin tasawuf waktu itu, pemikiran dalam tasawuf terbagi kepada dua kelompok besar, maka pada penghujung abad ke tiga Hijriyah tampilah tokoh kompromis antara sufisme  dengan ortodoksi dalam Islam , yang bernama al- Kharraj (w.277 H) bersama al Junaid ( w.297) untuk menjembatani antara mistik dengan syari`at Islam. Sehingga lahir lagi doktrin al- Baqa sebagai perimbangan dari doktrin al- Fana. .[12]
Hasil pemaduan antara mistik dengan syari`at sebagai suatu lembaga mendapat sambutan luas dari kalangan masyarakat muslim waktu itu, sehingga tampilnya  para penulis tasawuf seperti al- Sarraj, dengan karangannya al- Luma, dan al- Kalabazi dengan kitab al- Ta`ruf li Mazhab ahl al- Tasawuf dan al-Qusyairi dengan al- Risalahnya. Kemudian setelah ini muncul jenis tasawuf yang berbeda yakni tasawuf yang merupakan perpaduan antara sufisme dan filsafat dengan konsep ma`rifat sejati dari tokoh yang bernama Ibn Masarrah (w.381 H) yang menggabungkan antara sufisme dengan teori emanasi Neo-Platonisme. Faham tasawuf ini akhirnya dikikis habis oleh al-Ghazali (w.503 H) pada abad ke lima Hijriyah karena dianggap hasil rekayasa dan tidak Islami, seperti ucapan- ucapan estatik dari seorang yang arif dalam kondisi sakr atau terkesima. Namun setelah sadar mereka mengaku pula bahwa kesatuan dengan Tuhan  itu bukanlah hakiki, tetapi hanya sebagai sebuah kesatuan simbolistik .

C. Maqaamat dan Ahwal
Orang- orang sufi mempunyai jalan rohani yang merupakan tempat atau jalan yang ditempuh untuk menuju Allah Azza wa Jalla. Mereka mengandalkan Al- Qur`an dan Hadits Nabi yang telah nyata hasilnya dirasakan oleh orang- orang sufi. Jalan yang ditempuh oleh sufi ini disebut dengan al- maqaamat wal Ahwal yang artinya kedudukan dan keadaan. Masing- masing sufi memiliki jalan yang berbeda utuk sampai kepada Allah sesuai dengan faham tasawuf yang mereka pelajari, secara bertingkat untuk sampai pada Allah SWT.
Maqaamat atau maqam adalah jalan panjang yang ditempuh oleh seorang sufi yang berisikan stasion- stasion yang harus dilalui untuk sampai pada Tuhan. Sedangkan ahwal atau hal adalah  keadaan atau rasa yang hadir dalam diri sufi yang merupakan anugrah  dan rahmat yang diberikan Allah yang bersifat sementara datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya mendekati Tuhan.[13]
Adapun maqam yang memiliki stasion- stasion  yang harus dilalui tidak sama menurut ahli sufi. Seperti yang akan dijelaskan pada uraian ini.

1.Zuhud
Zuhud adalah meninggalkan dunia dengan segala kemewahannya dan hidup kematerian. Zuhud merupakan stasion terpenting yang harus dilalui oleh seseorang sebelum menjadi seorang sufi. Aliran ini mulai muncul sebagai reaksi umat Islam terhadap kehidupan khalifah yang larut dalam kemewahan keserakahan akan kekuasaan dan ketidak sucian, maka orang- orang tidak simpatik dengan kehidupan itu dan ingin mempertahankan hidup sederhana menjauhkan diri dari dunia kemewahan. Aliran ini pertama berkembang di Kuffah dan Basrah Irak, dengan para zahid yang terkenal di sini adalah Hasan al- Basri (w.110 H ) dan Rabi`ah al- Adawiyah (w.185 H).[14]
Hasan al- Basri dikenal dengan kemashurannya dengan zuhud yang berlandaskan kepada Khauf yaitu takut untuk berbuat maksiat dan raja` demi mengharap rahmat Allah.. Dia pernah mengatakan ”jauhilah dunia ini, karena ia sebenarnya serupa dengan ular, licin pada perasaan tangan, tetapi racunnya mematikan”. Kemudian dilanjutkan oleh malik bin Dinar (w.171 H) yang hidup dalam kezuhudan sehingga dirumahnya tidak ada apa- apa kecuali hanya Al-Qur`an.[15]
Kemudian  stasion- stasion lain yang kedudukannya dibawah zuhud adalah[16]:
a.Taubat (taubat yang sebenar- benarnya dan senantiasa melakukan kontemplasi dengan Allah)
b.Wara` (meninggalkan hal-hal yang subhat)
c.Kefakiran (tidak mau meminta lebih dari apa yang ada padanya)
d.Sabar (sabar dalam melaksanakan peritah Allah,meninggalkan larangan dan menerima cobaan, )
eTawakkal ( menyerah kepada qada` dan keputusan Allah)
f.Kerelaaan (Tidak meminta syurga  dari Allah dan tidak meminta supaya dijauhkan dari neraka).
2.al-Mahabbah
Mahabbah yang dimaksud disini adalah cinta kepada Tuhan. Menurut Harun Nasution pengertian mahabbah adalah:[17]
a.       Memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepadanya.
b.      Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi yaitu Tuhan
c.       Mengosongkan hati dari segalanya kecuali dari diri yang dikasihi yaitu Tuhan.
      Menurut al- Sarraj mahabbah mempunyai tiga tingkatan:
a.       Cinta biasa, yakni selalu ingat kepada Tuhan dengan sering berzikir dan memuji-Nya  dengan menyebut nama Allah dan berdialog dengan-Nya.
b.      Cinta orang yang siddiq, yakni orang yang kenal dengan Tuhan, pada kebesaran, kekuasaan dan pada Ilmu-Nya serta lain- lain. Yaitu cinta yang dapat menyingkap tabir yang memisahkan manusia dengan Tuhan sehingga dapat melihat rahasia- rahasia yang ada pada Tuhan yang membuat seseorang selalu rindu pada Tuhan.
c.       Cinta orang `arif, yakni cinta yang timbul karena telah tahu betul dengan Tuhan, sehingga yang timbul adalah rasa diri yang dicintai dan akhirnya sifat- sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang dicintai.
Sufi yang terkenal dalam mahabbah ini adalah Rabia`h al- Adawiyah (713- 801) yang berasal dari Basrah. Allah Azza wa Jalla menggambarkan jalan untuk kecintaan-Nya. Sebagai langkah awal adalah menjalankan segala kewajiban kepada Allah, karena kecintaan Allah mustahil akan didapat jika tidak berupaya mendekatkan diri kepada-Nya. Termasuk kecintaan kepada Allah Ta`ala dengan mengikuti Rasulullah dalam petunjuknya, kezuhudan serta akhlaknya serta meneladani dalam segala hal. Antara cinta hamba dengan kecintaan Allah diikat dengan amal dan akibat dari kecintaan-Nya juga dengan amal.[18] Sehingga bagi Rabi`ah Adawiyah Tuhan adalah zat yang dicintai dan meluaplah dari hatinya rasa cinta yang mendalam kepada Tuhan yang lahir dalam ucapannya ” Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut kepada neraka dan bukan pula karena ingin masuk syurga, tetapi aku mengabdi karena cinta kepada-Nya. Dia menolak untuk tawaran menikah karena dia adalah milik Tuhan yang dicintainya.
3.al- Ma`rifah
Di dalam konsep tasawuf ma`rifah diartikan dengan pengenalan yang langsung tentang Tuhan, yang diperoleh dengan hati sanubari sebagai hikmah langsung dari ilmu hakikat. Dengan demikian ma`rifat lebih mengacu pada tingkatan kondisi mental, sedangkan hakikat mengarah pada kualitas pengetahuan atau pengamalan. Melalui latihan yang berat, jiwa seseorang bisa menyatu dengan zat yang diketahuinya itu yakni Allah Azza wa Jalla.[19]
Ma`rifah juga berarti mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari seseorang dapat melihat Tuhan. Sehingga orang sufi mengatakan:
a.               kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia itu terbuka, maka kepalanya akan tertutup dan saat itu yang terlihat hanyalah Allah.
b.              Ma`rifah adalah cermin, kalau orang yang arif melihat cermin, yang dilihatnya adalah Allah, begitu juga disaat tidur dan bangun yang dilihatnya hanya Allah.
c.               Sekiranya ma`rifah mengambil bentuk materi, maka semua orang yang melihatnya akan mati karena tak tahan melihat kecantikan serta keindahannya... dan semua cahaya akan menjadi gelap di samping cahaya  yang gilang gemilang.
Zunnun al- Misri (w. 860M) yang digelari dengan bapak ma`rifah mengatakan bahwa ada tiga macam pengetahuan tentang Tuhan:[20]
a.       Pengetahuan awam, yakni pengetahuan tentang Tuhan satu dengan perantaraan ucapan syahadat.
b.      Pengetahuan ulama, yakni pengetahuan tentang Tuhan satu menurut logika akal.
c.       Pengetahuan sufi, yakni pengetahuan tentang  Tuhan satu dengan perantaraan hati sanubari. Maka pengetahuan yang pertama dan ke dua disebut dengan ilmu, sedangkan pengetahuan yang ke tiga disebut dengan pengetahuan yang hakiki tentang Tuhan yang disebut dengan ma`rifah.
                   Imam al- Ghazali pernah mengatakan bahwa  dalam ma`rifah kepada  Allah dengan menjadikan-Nya sebagai teman dalam hidup dan mati. Ketahuilah  bahwa sahabat yang tidak pernah meninggalkanmu dalam rumah dan perjalannmu dalam tidur dan terjagamu, dalam kehidupan dan  kematianmu adalah Tuhanmu, Maulanamu sebab dia adalah temanmu. Akhirnya memang Allah selalu ingat dalam setiap waktu yang dilalui. Jika sesorang telah mampu menghadirkan Allah dalam setiap waktunya, pertanda ia sudah mengetahui Tuhannya dengan pengetahuan  hati sanubarinya, sehingga Allah berfirman Aku adalah teman duduk bagi orang yang mengingat-KU.[21]

      4.al- Fana dan al- Baqa
Sebelum seorang sufi dapat bersatu dengan Tuhan, ia harus mampu menghancurkan dirinya. Sebab selama dia belum mampu menghancurkan dirinya  dia akan selalu sadar, selagi masih sadar seorang sufi tidak dapat bersatu dengan Tuhannya. Inilah yang disebut fana dalam tasawuf. Kemudian fana selalu diiringi dengan Baqa yakni tetap terus hidup. Kalau seorang sufi telah mencapai fana`an al- Nafs, yakni menghancurkan wujud jasmaninya, maka yang tinggal hanya wujud rohaninya, maka ketika itu barulah ia dapat bersatu dengan Tuhannya. Abu Yazid al- Bustami* (w. 874 M) sebagai sufi pertama dalam fana` dan baqa` mengatakan”
اعرفه بي حتى فنيت ثم عرفته به فحييت                                                                   
Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur, kemudian aku tahu
               padaNya, maka akupun hidup.”[22]
                       
Selanjutnya Abu Yazid bahwa sebenarnya manusia seesensi dengan Allah, bisa bersatu denganNya apabila manusia mampu meleburkan eksistensinya sebagai suatu pribadi (fana` an nafs) yakni hilangnya kesadaran kemanusiaannya dan menyatu ke dalam hadhirat Allah. Artinya bukan jasad tubuhnya yang menyatu dengan zat Allah.
                     
     5.al- Ittihad
Pengertian al- Ittihad adalah dimana seorang sufi sudah merasakan dirinya bersatu dengan Allah, suatu tingkatan karena yang mencintai dengan yang dicintai sudah menjadi satu. Sebagaimana dikatakan oleh A.R. Al- Badawi yang dilihat dalam Ittihad hanya satu wujud, walaupun sebenarnya ada dua wujud yang berpisah satu sama lain, sebab yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad bisa terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai dan yang dicintai. Dalam ittihad identitas telah hilang, telah menjadi satu, karena itu kesadaran sudah hilang karena fana` maka ia berbicara  sufi berbicara dengan nama Tuhan.[23]
Berdasarkan pengalaman Abu Yazid dalam ittihad dapat difahami bahwa ittihad bisa dicapai setelah seorang sufi mencapai tingkatan fana` sehingga identitas diri telah tidak dirasakan lagi, dalam ketidak sadaran jasmani, rohani telah bersatu dengan Tuhan. Sehingga sufi berbicara atas nama Tuhan, dengan kata lain Tuhan berbicara melalui lidah Abu Yazid. Hal ini kelihatan dari pengalaman Abu Yazid dengan ucapannya:
قال : يا ابا يزيد انهم كلهم خلقي غيرك. فقلت : فانا انت وانت انا وانا انت   
            Tuhan berkata : ”Semua mereka kecuali engkau, adalah makhlukKu, akupun
             berkata:” aku adalah engkau, engkau adalah aku, dan aku adalah engkau”         
           
                        Paham ittihad ini timbul sebagai konsekwensi lanjut dari pendapat Bayazid bahwa jiwa manusia adalah pancaran Nur Ilahi, aku nya manusia itu adalah pancaran dari yang maha esa sebagaimana pancaran sinar matahari di bumi. Maka barang siapa yang mampu membebaskan diri dari alam lahiriah atau kesadaran insan, maka dia akan menemukan jalan untuk kembali bersatu dengan sumber asalnya, bersatu padu dengan Yang Tunggal yaitu Allah. Inilah yang disebut ittihad.[24] 

      6. al- Hulul
Faham al- Hulul ditimbulkan oleh Husain Ibn Mansur al- Hallaj (l. Persia 858M- w.922) ia meninggal karena dihukum mati dan setelah itu jasadnya dibakar dan abunya dibuang ke sungai Tigris karena ia dituduh oleh penguasa saat itu.*  Karena al- hallaj diwaktu mencapai hulul mengatakan  انا الحق
             ”Akulah Yang maha Benar”.[25]
           
      Menurut keterangan Abu Nasr al- Tusi dalam kitab al- Luma` ialah faham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat- sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu berhasil dilenyapkan.[26]
Dari ajaran al- hulul yang dikembangkan al- hallaj dapat disimpulkan bahwa  di dalam diri manusia terdapat sifat Ketuhanan, dan di dalam diri Tuhan terdapat sifat kemanusiaan . Persatuan antara Tuhan dan Manusia bisa terjadi dalam bentuk hulul, setelah manusia mampu menghilangkan sifat- sifat kemanusiaannya melalui fana`. Setelah fana` yang tinggal dalam diri manusia hanyalah sifat Ketuhanan, disanalah Tuhan bisa mengambil tempat di dalam diri manusia. Dan ketika itu roh Tuhan dan roh manusia dapat bersatu di dalam tubuh manusia. Dengan demikian ketika al- hallaj mengatakan ”Akulah Yang maha Benar” bukan roh al- hallaj yang mengatakan itu, tetapi roh Tuhan yang mengambil tempat di dalam diri al-hallaj. Perbedaannya antara Ittihad Abu Yazid dengan al- Hulul nya al- Hallaj adalah dalam ittihad diri Busthami hancur, yang dilihat hanya satu wujud yaitu Tuhan, sedangkan dalam hulul al- hallaj wujud dirinya tidak hancur, yang dilihat ada dua wujud tetapi bersatu dalam satu tubuh seperti Allah memerintahkan malaikat dan Iblis sujud kepada Adam, karena Allah telah mengambil tempat dalam tubuh nabi Adam.

7.Wahdat al- Wujud
Wahdat al- wujud berarti kesatuan wujud yang merupakan kelanjutan dari faham hulul yang dikemukakan oleh Muhy al- Din Ibn Arabi (L. 1165M.w.1194M). faham wihdatul wujud ini menurutnya pengakuannya dia terima dari Nabi Muhammad melalui satu mimpi pada tahun 626 H.di Damaskus. Dalam wahdatul wujud, nasut yang ada dalam hulul dirobahnya menjadi khalq ( makhluk) dan lahut menjadi haq (Tuhan). Makhuk dan haq merupakan dua aspek bagi tiap sesuatu. Khalq adalah aspek luar dan haq aspek sebelah dalam.[27]
Dalam faham ini setiap sesuatu yang ada memiliki dua aspek yakni aspek kemakhlukan dan aspek ketuhanan. Aspek yang terpenting adalah aspek haq yang merupakan batin jauhar atau substansi dan esensi setiap yang berwujud. Sedangkan aspek khalq adalah aspek yang datang kemudian.
Renungan zauq tasawuf yang didasarkan pada renungan filsafat ini timbul sebagai kelanjutan dari konsep penciptaan makhluk. Menurut Ibnu `Arabi alam ini diciptakan Allah dari `ain wujudnya. Sehingga jika Allah ingin melihat dirinya maka Allah cukup dengan melihat alam ini yang pada hakikatnya tidak ada perbedaan antara keduanya artinya alam yang nampak berbeda- beda ini pada dasarnya adalah satu seperti seseorang yang ingin melihat dirinya lewat cermin. Betapa banyaknya bayangan yang ada, namun orangnya tetap satu karena bayangan itu tidak mempunyai substansi.[28]
Dalam pandangan Ibn `Arabi, tidak ada perbedaan antara wujud yang satu dengan alam yang beraneka ragam . Hal iu hanya dapat dipandang oleh orang yang `arif yang bisa melihat dengan mata hatinya, sehingga orang `arif itu berucap”
سبحا ن من خلق الا شياء وهو عينها. اذا شهد نه شهدنا نفو سنا. واذا شهدنا نفوسه                         
Maha suci Allah yang menciptakan segala sesuatu dari dzatNya, sehingga apabila kami melihat Nya berarti kami melihat diri kami, dan apabila kami melihat diri kami maka kami juga melihat diriNya.”
     
      Berdasarkan pengertian di atas, dapat difahami bahwa faham wahdatu al-wujud yang dicetuskan oleh Ibn al- `Arabi dalam tasawufnya merupakan tasawuf falsafi, karena sudah merupakan hasil fikir dari seorang sufi dan tidak hanya semata- mata berasal dari hati atau sir saja untuk bisa memahami persatuan wujud Tuhan dengan wujud alam ini. Artinya alam ini merupakan cermin  bagi Tuhan untuk melihat dirinya. Walaupun alam ini terdiri dari bentuk materi yang beragam, namun sebenarnya wujudnya adalah satu yakni wujud Tuhan. Wujud makhluk ini tergantung pada wujud Tuhan yang bersifat wajib. Adapun wujud yang lain hanyalah wujud yang tidak sebenarnya atau wujud bayangan.[29]
            Dengan demikian dalam hal ini Ibn al- `Arabi mengatakan bahwa wujud hakiki hanyalah wujud Allah, sedangkan wujud makhluk hanyalah bayang- bayang dari yang punya bayangan atau Allah, atau gambaran dalam kaca dari yang mengaca. Maka makhluk adalah bayangan sedangkan al-haq adalah yang maha Suci dan makhluk adalah tiruan.  Yang dimaksud dengan Tajallinya  Allah pada alam adalah sebagai  bukti wujud Tuhan secara transenden pada semua makhluk, dariNya segalanya berasal dan kapadaNya  pula semua akan kembali.
                 
IV. Penutup
       A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah penulis paparkan sebelumnya dapat diambil kesimpulan bahwa di antara perbedaan  asal- usul arti kata tasawuf disebabkan adanya akulturasi dengan dunia luar Islam, sebenarnya sulit untuk dibuktikan . Sebab dalam ajaran al- Qur`an  dan hadits sendiri sudah ada isyarat  yang megajarkan tentang keharusan manusia untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah, sekalipun dalam memahami isyarat tersebut berbeda pemahaman di kalangan sufi. Akan tetapi semuanya menuju kepada kedekatan hamba dengan Allah.
Berdasarkan  defenisi yang dikemukakan oleh tokoh- tokoh sufi tentang pengertian tasawuf dapat disimpulkan bahwa tasawuf adalah jalan yang ditempuh oleh seorang muslim untuk sampai kepada Allah dalam berbagai bentuk dengan cara melatih diri  yakni mengasah hati dan pikiran  berdasarkan al- Qur`an dan hadits yang dikenal dengan sir dan zugh secara bertahap dengan maqam yang difahami dan diyakini untuk sampai kepada Allah. Artinya tasawuf adalah suatu usaha yang dapat dilakukan seorang muslim dengan melatih dan mengasah hati dan pikiran secara rohaniyah. Sehingga terjadilah perbedaan pengalaman yang dirasakan oleh seorang sufi dalam mencapai hadirat Allah.
Demikianlah makalah ini penulis susun  sebagai bahan diskusi dalam mata kuliah Sejarah Pemikiran Dalam Islam.
      B. Saran- saran
      Dalam penulisan makalah ini penulis sangat merasakan  ketidak sempurnaan terutama dalam   menela`ah referensi  yang cukup terbatas .Kepada pembaca  yang budiman penulis harapkan untuk dapat menggali lebih mendalam  tentang tasawuf dan masukan demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis aturkan terima kasih.





[1] Ahmad Warson Munawwir, Kamus al- Munawwir Arab- Indonesia Terlengkap, ( Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku Ilmiah Keagamaan  Ponpes Al- Munawwir, 1984), hal.860
[2]Lihat  Harun Nasution, Falsafat dan Mitisisme dalam Islam, ( Jakarta: Bulan Bintang 1973), hal.56-57
* Menurut koleksi Ibrahim Basuni, ia telah mengumpulkan sekitar 40 arti tasawuf sampai ia menulis bukunya Nas- ah al-Tasawuf al Islam tahun 1969
[3] Abdurrahman Abdul Khaliq, Ihsan Ilahi Zhahir, Pemikiran Sufisme di bawah Bayang- bayang Fatamorgana, ( Jakarta: Amzah, 2001), hal 12-13
[4] Abdul Halim Mahmud, Tasawuf di Dunia Islam , Judul asli  At-Tashawwuf  fi al- Islam, terj. Abdulllah Zakiy al-Kaaf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), hal. 26
[5] A. Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo- Sufisme, (Jakarta: PT. raja Grafindo Persada, 2002), hal. 33
[6] Abu Syu`ud, Islamologi Sejarah Ajaran dan Perananna dalam Peradaban Umat Manusia,  ( Jakarta: PT.Rineka Cipta, 2003), hal. 103
[7] A. Rivay Siregar, Opcit., hal . 34
[8] Ibid., hal.35
* Jenjang yang harus ditempuh ini disebut dengan maqaamat dalam tasawuf serta ciri- ciri yang dimiliki sufi pada tingkat tertentu yang disebut al- Hal.
[9] Harun Nasution, Opcit., hal.58-59
[10] A. Rivay Siregar, Opcit., hal.38
[11] Ibid., hal 41
* Pada waktu itu Tujuan tasawuf tidak hanya sebatas  mencintai dan dekat dengan Tuhan, tetapi sudah meningkat menjadi penyatuan diri dengan Tuhan melalui mi`raj spiritual ke alam Ilahiyat sehingga menimbulkan konflik antara sufi dengan teolog dan Fuqaha dengan saling menganggap sesat.
[12] Ibid., hal.42
[13] Harun Nasution, Fisafat dan Mistisisme, Opcit., hal 62- 63
[14] Ibid., hal. 65
[15] Abu Su`ud, Opcit., hal.188
[16] Harun Nasution, Opcit., hal 67-69.
[17] Ibid., hal. 70-71
[18] Abdul Halim Mahmud, Opcit., hal. 94
[19] A.Rivay Siregar, Opcit., hal.112
[20] Harun Nasution, Opcit., hal. 76
[21] Imam al- Ghazali, Bidayatul Hidayah, diterjemahkan oleh Tim Mumtaz, (Jakarta: Himmah), hal. 235
*Nama kecilnya Thaifur, lahir di Bistonm kawasan Persia tahun 200H. Tentang penulisan namanya ada Busthami, Bisthomi, Busthomi dan Basthomi, bahkan ditulis Bayazid saja
[22] Harun Nasution Opcit., hal.81
[23] Ibid., hal.82
[24] A.Rivay Siregar, Opcit., hal 153
*Ada pendapat yang mengatakan bahwa al- Hallaj dihukum mati bukan karena ajarannya, tetapi karena dia adalah anggota pemberontak Karamihtah
[25] Harun Nasution, Opct., hal.87
[26] Ibid. ,hal. 88
[27] Ibid., hal. 92
[28] A. Rivay Siregar, Opcit., hal 183
[29] Harun Nasution , Opcit., hal. 95

Tidak ada komentar:

Posting Komentar