A. PENDAHULUAN
Sebagian umat muslim belum sepenuhnya menyadari arti penting
sebuah negeri Spanyol bagi Islam,
begitu juga sebaliknya, Islam bagi negeri Spanyol. Islam Andalusia
pernah bergema dalam sejarah Islam bahkan dunia. Bolehlah sekiranya kita
melihat ke belakang sejarah berakarnya Islam di Andalusia yang saat itu dalam perpecahan politik,
kemunduran ekonomi dan krisis kepercayaan.[1] Abad pertengahan, ketika tentara Islam pimpinan
Thariq Ibn Ziyad mendarat di Gibraltar, berhasil menancapkan pengaruh Islam di Spanyol baik sebagai gerakan
agama maupun politik. Setelah
masa gubernur-gubernur, muncul dinasti Umaiyyah di Andalusia. Sumber lain
menyebutkan, Spanyol tunduk di bawah kekuasaan dinasti bani Abbasiyah di
Baghdad setelah keruntuhan Umayyah di Damaskus.[2]
Mengalami
kemunduran sewaktu dihapusnya jabatan khalifah yang berakibat terpecahnya Andalusia
dalam banyak negara-negara kecil atau al-Muluk al-Tawaif, tercatat
kerajaan Ibadiyah di Seville yang terbesar di antaranya, juga sempat ada usaha
penaklukkan kembali wilayah Islam oleh kelompok kristen (Reconquesta). Selanjutnya
Dinasti Murabbithun di bawah kendali Yusuf bin Tasyfin dari belahan Afrika dan
Dinasti Muwahhidun yang didirikan Ibnu Tumart –bergantian menguasai Andalusia– kedua
dinasti ini berawal dari gerakan keagamaan yang bertujuan memberantas berbagai
penyelewengan agama. Terakhir Dinasti Bani Ahmar di Granada,
ketika sebagian besar wilayah Spanyol terlepas dari kekuasaan Islam.[3]
Empat gambaran peradaban Islam di
Andalusia di atas menjadi batasan permasalahan pada pembahasan yang dikupas
dalam bentuk makalah dan disajikan dalam diskusi ini. Kritik terlebih saran diharapkan
guna perbaikannya serta kiranya dapat
bermanfaat guna memahami arti penting Spanyol (Andalusia) bagi Islam dan
sebaliknya Islam bagi Spanyol, amien.
B. LATAR BELAKANG PEMERINTAHAN ISLAM ANDALUSIA PASCA BANI
UMAYYAH II
Islam sebagai gerakan politik memiliki kemampuan luar biasa, sehingga
menguasai Spanyol walaupun menghadapi rintangan dari penguasa Spanyol sebelumnya yang notabene penganut Kristen.
Dari tahun 716 M sampai 756 M, kurang lebih 20 orang Gubernur silih berganti memerintah Spanyol.
Mulai dari Abdul Aziz ibn
Musa ibn Nusair hingga yang terakhir Yusuf ibn Abdul Rahman al-Fihri
dari Qays. Ini menandakan stabilitas politik Islam belum sempurna, gangguan internal maupun eksternal masih sering terjadi.
Gangguan internal berupa perselisihan
antara elit penguasa, akibat perbedaan etnis, yakni Barbar Afrika Utara dan
Arab. Dalam etnis Arab saja terdapat dua golongan yang terus bersaing, yaitu
suku Qays (Arab Utara) dan Arab Yaman (Arab Selatan). Ini diperparah lagi
dengan perbedaan pandangan Khalifah Damaskus dengan Gubernurnya di Kairawan
(Afrika Utara) tentang siapa yang paling berhak atas Spanyol, tentunya berakibat
perang saudara. Adapun gangguan eksternal datang dari sisa-sisa musuh Islam
yang tinggal di pegunungan, yang tidak tunduk pada Islam. Menunggu kesempatan
ketika kekuatan Islam sewaktu-waktu melemah, mereka juga didukung kekaisaran Perancis.[4]
Kedatangan Abdul Rahman al-Dakhil seorang keturunan bani
Umaiyah merebut kekuasaan di Spanyol, bermulalah dinasti Umaiyah yang
independen, meskipun masih ada kekhalifahan Abbasiyah Baghdad. Pada periode
pertama yaitu masa keamiran, Spanyol berada di bawah kuasa seorang yang
bergelar Amir,[5]
ada tujuh amir yang pernah berkuasa antara 138 H/756 M hingga 300 H/912 M, pada
masa ini umat Islam mulai mengalami kemajuan di bidang politik dan peradaban.[6]
Periode kedua berganti kepada masa kekhalifahan
(912-1013M) –suasana pemerintahan Abbasiyah di Baghdad dalam kemelut– dimulai
dari pemerintahan Abdul
Rahman III al-Nashir hingga munculnya raja-raja kelompok, yang dikenal dengan
sebutan Muluk al-Thawaif. Pada
periode ini Spanyol diperintah oleh seorang yang bergelar khalifah.[7]
Di antara khalifah yang terkenal adalah Abdul Rahman al-Nasir, Hakam II, dan Hisyam
II. Pada masa kekhalifahan ini umat Islam Spanyol mencapai puncak kemajuan dan
kejayaan, hingga menyaingi daulah Abbasiyah di Baghdad.[8]
Walaupun masih ada khalifah yang
memerintah sampai tahun 1013, namun kekuasaannya sudah lemah, hingga tidak
diragukan lagi pada saat itulah khilafah bani Umaiyah di Spanyol mengalami
kehancuran. Sesaat kemudian Dewan Menteri yang berkuasa di Cordova menghapuskan
jabatan khalifah. Selanjutnya, seperti yang pernah terjadi dalam pemerintahan
Abbasiyah negara Islam Spanyol dilanda sejumlah kerusuhan konflik internal yang
sangat rumit. Sebuah pemerintahan imperial di pusat digantikan oleh sejumlah
rezim propinsial yang lebih kecil. Wajah politik Islam Andalusia ketika itu
terpecah ke dalam banyak negara-negara
kecil.[9] Dari sinilah dimulainya masa peradaban
Islam Andalusia pasca Umayyah II.
Untuk mendapatkan pemahaman tentang pembacaan
peradaban Islam di Spanyol pada
masa itu maka perlu pembahasan mendalam mengenai beberapa periode atau
dinasti-dinasti dengan corak pemerintahan Islam pada masa itu.
1.
Periode Muluk
Al-Thawaif Tahun 1013-1086 M
Pada priode ini diperkirakan berjalan antara 1013-1086 M, saat itu
Andalusia terpecah menjadi lebih dari 30 negara kecil di bawah
pemerintahan raja-raja golongan atau Al-Muluk al-Tawaif. Yang terbesar
di antara kerajaan tersebut adalah Ibadiyah di Seville, juga terdapat di Toledo yaitu Bani Zinun Badazoz, Bani
Zawiyun dari bangsa Barbar di Granada, Bani Hud di Andalusia Timur dan
sebagainya. Namun pada masa ini Islam Spanyol berada dalam masa pertikaian
intern. Untuk
mempertahankan kekuasannya, tidak
jarang kerajaan-kerajaan kecil meminta bantuan kepada orang Kristen di bagian Utara untuk menyerang
dinasti Islam lainnya. Meskipun sistem politik Islam mengalami kekacauan,
namun kehidupan intelektual mengalami perkembagan yang positif. Pada periode
ini masing-masing istana mendorong para sarjana dan sasterawan untuk
mengembangkan ilmunya, mereka mendapatkan perlindungan dari satu istana ke
istana lainnya.[10]
Selain itu hukum Islam dan sebuah
identitas Islam-Arab tetap diterima secara universal, dan ada keterwakilan
aspirasi warga muslim melaui para ulama. Masyarakat Islam juga tetap dipersatukan
oleh perdagangan regional dan internasional yang tengah berkembang pesat.
Seperti hubungan dagang Andalusia dengan Maroko, Tunisia, Mesir, Iran, Arabia,
dan India bahkan China. Akan tetapi, pada sisi yang lain tingkat perpecahan
politik yang sedemikian menghangat sangat mengancam keberadaan peradaban Islam
di Spanyol.[11]
Melihat kelemahan dan kekacauan yang
menimpa Islam di sana, selama beberapa abad masyarakat Kristen telah bersiaga
mengambil inisiatif untuk melakukan penaklukan kembali terhadap Spanyol, inilah
yang disebut dengan Reconquesta (penaklukan kembali wilayah Spanyol dari
kekuasaan Islam).[12] Berangsur-angsur
satu-persatu wilayah Islam dapat ditaklukkan, dimotori oleh Paus Gregory VII yang
menjadikan kegiatan Reconquesta ini sebagai kewajiban bagi umat Kristen
juga sebagai sebuah ambisi teritorial raja-raja Spanyol. Sehingga pada
pertengahan kedua abad dua belas gerakan ini telah melembaga yang akhirnya dapat mengambil kembali
beberapa wilayah-wilayah Islam.[13]
2.
Dinasti
Murabbithun Tahun 1086-1149 M
Pada saat Kristen mengalami
kemajuan, kekuatan Islam mengimbanginya, adalah sebuah delegasi ulama Islam
Andalusia mengundang Al-Murabbithun dari belahan Afrika untuk terlibat membela
ummat Islam Spanyol. Munculnya Dinasti ini berawal dari suatu gerakan keagamaan
yang bertujuan memberantas berbagai penyelewengan ajaran agama, dan berusaha
menyebarkan ajaran agama yang benar. Namun dalam
perkembangannya, gerakan ini tidak hanya memfokuskan diri dalam bidang
keagamaan, melainkan juga
memasuki wilayah militer dan politik kekuasaan.[14]
Nama Al-Murabithun berkaitan dengan nama
tempat asal mereka, yaitu Ribat, dari Lemtuna, salah satu suku Sanhaja,
Barbar. Suku ini merupakan sempalan dari suku Arab Bani Himyar yang bermigrasi
ke wilayah Afrika Utara bersamaan dengan kedatangan Uqbah bin Nafi’, gubernur
Bani Umayyah saat itu.
Mereka juga disebut al-Mulassimun (orang-orang bercadar). Pada abad ke-11 pemimpin Sanhaja, Yahya
bin Ibrahim al-Jaddali pergi ke Makkah. Sekembalinya dari Arabia, ketika berada
di Naflis, ia bertemu dan mengundang Abdullah bin Yasin –seorang ‘alim terkenal
Maroko– untuk membina keagamaan kaumnya kemudian
dibantu oleh Yahya bin Umar dan saudaranya Abu Bakar bin Umar. Kemudian Abdullah
bin Yasin mengajak beberapa orang pengikutnya pergi ke sebuah pulau di Sinegal
dan mendirikan kelompok ini dan menjadi sebuah komunitas yang cukup dominan.[15]
Kemudian Abdullah
bin Yasin memerintahkan kepada seluruh pengikutnya untuk menyebarkan ajarannya
ke luar daerah dan memberantas berbagai penyimpangan ajaran agama kepada individu,
juga kepada para penguasa yang dzalim. Mereka mulai memasuki wilayah politik militer dan
kekuasaan dengan mengangkat Yahya bin Umar sebagai panglima milter serta melakukan
ekspansi ke wilayah Wadi Dar’ah (Sahara Afrika). Mereka mendapatkan perlawanan
dari penguasa Sijilmash, Mas’ud bin Wanuddin al-Magrawi melakukan perlawanan
sengit, meskipun akhirnya kalah dan ibu kota Wadi Dar’ah direbut oleh kelompok
Murabithun pada tahun 1055 M.[16]
Setelah Yahya bin
Umar meninggal tahun 1056 M dan Abdullah bin Yasin tahun 1059 M, tampuk kekuasaan
diambil alih oleh Abu Bakar dan kemenakannya Yusuf bin Tasyfin. Keduanya
berpisah ketika terjadi konflik di antara suku-suku yang ditinggalkannya, Abu
Bakar kembali ke Sahara untuk mengembalikan keamanan dan ketertiban, sementara
Yusuf bin Tasyfin melanjutkan usaha penaklukkannya ke wilayah Utara dan
berhasil dengan baik. Setelah menyelesaikan sengketa di daerahnya, Abu Bakar kembali
ke Utara sampai di wilayah Maghribi bergabung dengan Yusuf. Lalu Abu Bakar pergi
meninggalkan Maghribi dan kembali lagi ke Sahara dan meninggal di Sudan tahun
1078 M. Yusuf bin Tasyfin menjadi penguasa tunggal, ia mulai melakukan gerakan
pembangunan, dimulai dengan membangun kota Maroko, lalu melajutkan usaha
ekspansinya ke wilayah-wilayah lain. [17]
Di bawah kendali
Yusuf bin Tasyfin, Murabbithun menguasai sebagian besar Afrika Utara, terbentang
dari Pantai Utara Afrika hingga Sinegal setelah berhasil merebut kota Fez,
Tangier hingga Al-Jazair. Usaha selanjutnya adalah memperluas
wilayah kekuasaan ke Andalusia
yang tengah mengalami krisis kepemimpinan. Umat Islam di
Andalusia dalam perpecahan di bawah kerajaan-kerajaan kecil (mulukut thawaif) diperparah dengan adanya penguasa Kristen
seperti Alfonso VI yang memerintah di Leon dan Castille, yang memungut upeti dari pemimpin-pemimpin lokal di wilayah
Islam seperti
Toledo.[18]
Jatuhnya Toledo ke tangan Alfonso VI tahun
1085 M,
mamaksa
Al-Mu’tamid bin Ibbad, raja Seville, meminta bantuan kepada Yusuf bin Tasyfin. Setelah bermusyawarah dengan pembesar
istana dan ulama, ia mengirimkan
bantuan ke Andalusia tahun 1086 M. Di
Zallaka dekat Bedajoz, Yusuf dan pasukannya berhasil mengalahkan pasukan
Castille dan
membunuh Alfonso VI. Kemenangan
ini merupakan langkah awal baginya
untuk menjadi penguasa di Andalusia,
ia
menggunakan gelar Amirul Muslimin wa Nashir al-Din, karena masih mengakui keberadaan Dinasti
Ababsiyah di Bagdad.[19]
Yusuf kembali ke
Afrika Utara setelah mendengar berita kematian anaknya, dengan hanya menempatkan
300 bala tentara saja untuk mempertahankan wilayah Andalusia, dampaknya,
tentara Kristen kembali mengancam kekuasaan Al-Mu’tamid di Andalusia. Untuk
kedua kalinya, Yusuf dan pasukannya kembali ke Andalusia untuk menaklukkan Aledo dan menguasai
Castille. Dengan bantuan
para ulama di Granada dan Malaga termasuk Imam Al-Ghazali untuk mengeluarkan
fatwa berisi tentang ketidakcakapan para penguasa muslim, ia mulai menguasai
Andalusia. Mulai dari Granada, Cordova, Seville ditaklukkannya dan para
pemimpin Islam dipaksa untuk menyerahkan kekuasaan termasuk menangkap Al-Mu’tamid
untuk diasingkan ke Afrika Utara hingga meninggal.[20]
Dari selatan
kemudian Yusuf bin Tasyfin menaklukkan wilayah Utara Andalusia, Bajoz, Valencia
terakhir Saragossa tahun 1110 M. Rentetan kemenangan Yusuf tersebut menunjukkan
bahwa bala tentaranya lebih kuat dibanding tentara Kristen, Ia juga mendapat
dukungan kuat dari masyarakat muslim Andalusia. Tetapi
kegemilangan Yusuf tidak berlangsung lama, sebab tahun 1106 M, ia meninggal
dunia.[21] Dengan kekuasaan yang terbentang mulai dari Afrika Utara
hingga Andalusia dan daerah lain, putera sekaligus pewarisnya Ali bin Yusuf bin
Tasyfin tidak mampu mewarisi kepemimpinannya. Meskipun banyak ditemukan
kemajuan, terutama dalam bidang arsitektur bangunan megah Murabbithun pada masa
kepemimpinannya.
Sepeninggal Yusuf bin Tasyfin, kekuasaan
Murabithun hanya bertahan kurang lebih setengah abad. Pada fase ini Ali bin Yusuf tidak banyak
melakukan konsolidasi kekuatan dan kekuasaan, sehingga mengalami masa-masa
kemunduran.
Ali
tidak secakap ayahnya sehingga
para
ulama lebih berperan dalam
masalah kepemimpinan dan kenegaraan, mereka
mengeluarkan kebijakan yang sangat diskriminatif, khususnya terhadap kelompok
Yahudi dan Kristen. Bagi kelompok masyarakat non-muslim yang tidak mampu membayar pajak untuk melaksanakan praktek keagamaannya,
diminta meninggalkan tempat tinggal mereka. Kebijakan tidak populer ini menjadi
salah satu faktor penyebab perlawanan masyarakat non-muslim Andalusia. Kondisi
ini diperparah dengan adanya kecenderungan para fuqaha yang suka menumpuk harta
kekayaan dan mengkafirkan orang lain. Mereka seringkali terlibat perdebatan di
sekitar furu’iyah dalam masalah fiqih, sehingga dengan mudah menjatuhkan vonis mengkafirkan pihak lain.[22]
Sehingga satu-persatu wilayah Dinasti
Murabithun jatuh ke pihak lawan.
Sekitar tahun 1118-1125
M, Alfonso VII,
raja Aragon berekspansi sampai
ke Selatan Andalusia. Ketika Ali bin Yusuf meninggal dunia
pada tahun 1143 M, kekuasaannya diwariskan kepada puteranya, Tasyfin bin Ali. Seperti ayahnya, ia juga tidak mampu mengendalikan
pemerintahan, membuat
Dinasti Murabithun menjadi sasaran empuk para penguasa Kristen, hingga kelompok Al-Muwahhidun datang dan menguasai ibu
kota Maroko pada tahun 1146 M dan membunuh Ishaq bin Ali pemimpin terakhir Murabithun.[23]
-
Yahya ibn
Ibrahim
-
Yahya ibn Umar
-
Abu Bakar bin Umar al-Lamtuni (1056-1073 M)
-
Yusuf bin Tasyfin (1061-1106 M)
-
Ali bin Yusuf (1106-1142
M)
-
Tasyfin bin Ali (1142-1146
M)
-
Ibrahim bin Tasyfin (1146 M)
-
Ishak bin Ali (1146-1147 M)
Dengan jatuhnya
Maroko ke tangan Muwahhidun dan terbunuhnya Gubernur Andalusia Yahya ibn
Ghaniyah tahun 1148 M, secara otomatis wilayah kekuasaan Murabithun di
Andalusia menjadi wilayah kekuasaan Dinasti Muwahhidun. Demikian
perjalanan sejarah Dinasti Murabbithun
yang sempat berjaya
di Andalusia.
3.
Dinasti Muwahhidun Tahun 1149-1223 M
Al-Muwahhidun sempat
tumbuh dan berkembang di Afrika Utara menguasai wilayah yang terbentang dari
pulau-pulau di Samudera Atlantik hingga ke perbatasan Mesir dan Andalusia
(Spanyol) di Eropa. Sama halnya dengan Murabbithun, berdirinya Dinasti
Muwahhidun bertujuan memurnikan ajaran Islam, dalam hal ini yang telah dikotori
orang-orang Murabbithun pada fase akhir kekuasaannya. Dinasti ini mampu meraih
kejayaan karena memiliki pemimpin yang kuat serta cinta ilmu pengetahuan. Kehadiran
dinasti ini telah membuka mata dunia Barat untuk mengejar ketertinggalannya
dari umat Islam.
Muwahhidun adalah nama sebuah dinasti yang didirikan oleh Ibnu Tumart
pada tahun 1121 M. Ibnu
Tumart dilahirkan di Sus, Maroko, berasal dari suku Masmudah, salah satu suku
yang terkenal dengan keberaniannya
layaknya bangsa Barbar, kaya dan tersebar di seluruh Maroko. Samsul Munir dalam bukunya Sejarah Peradaban Islam
menyatakan bahwa dinasti ini berdiri sejak tahun 1114 M, pernah mengalami masa
kejayaan di kawasan Afrika Utara dan Spanyol selama lebih dari satu abad yaitu
sejak tahun 515-667 H/1121-1269 M. Adapun arti Al-Muwahhidun secara etimologis
adalah penganut paham tauhid, sedangkan secara terminologis adalah sebutan yang
di pakai bagi para pengikut Ibnu Tumart yang menekankan pada ajaran tauhid
serta menentang kekafiran dan paham antromorfistik (tajassum) serta
menyerukan umat untuk beramar ma'ruf nahi munkar.[25]
Ada beberapa hal yang
melatarbelakangi terbentuknya dinasti Muwahhidun, antara lain: adanya protes
terhadap mazhab Malikiyah yang kaku, konservatif dan legalistik yang berkembang
di Afrika Utara berkat dakwah dinasti Murabbithun.; Adanya respon terhadap
kehidupan sosial yang mengalami kerusakan sejak masa akhir dinasti Murabbithun.;
Prinsip tauhid yang memerangi faham tajassum yang mengganggap Tuhan
mempunyai bentuk (antropomorfisme) karena hal ini bertentangan dengan Al-Qur'an.[26]
Pendirinya adalah
Al-Mahdi Ibn Tumart yang merupakan orang Barbar yang berlaku zuhud serta
menerima kesetiaan dari suku Masmudah dan beribukota di Maroko yang didirikan
oleh dinasti Murabbitun. Ia adalah ulama besar yang pernah
berguru di berbagai pusat ilmu pengetahuan di Spanyol (penganut faham ad-Dahiri)
dan Baghdad. Menurut Watt dalam bukunya A History of Islamic Spain,[27] bahwa
Ibnu Tumart juga belajar langsung
kepada Al-Ghazali yang beraliran Asy’ariah yang mengganggap bahwa
menegakkan kebenaran dan memberantas kemungkaran harus dilakukan dengan tegas, tentu
saja tidak hal ini disenangi sebagian besar masyarakat terutama kalangan ulama
dan penguasa. Sehingga ia dan pengikutnya mendapatkan perlawanan, bahkan pada
tahun 1117 M, ia sempat terusir dari daerah kekuasaannya, Bijaya. Namun,
di sisi lain ia mendapat dukungan dari berbagai suku Barbar, seperti suku
Haragah, Hantanah, Jadmiwah, serta Janfisah.[28]
Setelah terusir dari Bijaya, dia pergi
ke Maroko dan
bertemu dengan Abdul Mu'min ibn Ali al-Qufi yang akhirnya menjadi
muridnya. Namun, karena di tempat tersebut dakwahnya kurang berhasil, akhirnya
dia pergi ke Tilimsan (Tinmal/Tanmaal). Di kota inilah dia memperoleh
kepercayaan penuh dari orang-orang terkemuka, terutama dari suku bangsanya
sehingga pada tahun 1121 M, Ibnu Tumart bertekad untuk mendirikan pemerintahan
sendiri. Ia berhasil
menghimpun sebagian besar dari kelompok suku Barbar kemudian menjadikan
sahabat-sahabat dan murid-muridnya sebagai ketua kelompok masing-masing,
Kelompok inilah yang dinamai Al-Muwahhidun. Samsul Munir berpendapat bahwa pada
tahun 514 H/1120 M, ia menobatkan diri sebagai Al-Mahdi dan dibaiat oleh para
pengikutnya. Ia menamakan wilayah kekuasaan dan sekitarnya sebagai Daulah Al-Muwahhidun.[29]
Setelah merasa kuat, dengan doktrin mengenai
amar ma'ruf nahi mungkar, Ibn Tumart mengadakan serangan ke Ibukota Al-Murabbithun
di Maroko.
Hal ini terjadi pada tahun 524 H/1129 M dengan jumlah pasukan sebanyak 40.000
orang, dibawah komando Abu Muhammad al-Basyir al-Tansyarisi. Tetapi serangan
ini gagal dan banyak prajurit mereka yang terbunuh termasuk komandan perangnya,
peristiwa ini di kenal dengan peperangan Buhairah. Selang beberapa waktu
setelah penyerangan itu, Ibn Tumart jatuh sakit.[30]
Pada tahun 1130 M, Ibn Tumart menemui
ajalnya, sehingga melalui kesepakatan Dewan Menteri, dinobatkanlah Abdul Mu’min menjadi khalifah pengganti al-Mahdi
dengan sebutan Amiru al-Mu’minin. Ia dipilih tidak dengan adanya
hubungan kerabat dengan Ibn Tumart, namun karena dianggap orang yang paling
dekat dan mempunyai pengetahuan luas, pintar, dan pemberani. Setelah dinobatkan
sebagai khalifah langkah awal kerjanya adalah mengakhiri sejarah Dinasti Murabithun dan menundukkan
kabilah-kabilah yang ada di Maroko. Sejak saat inilah disebutkan bahwa gerakan dakwah
itu beralih menjadi kekuatan politik. Ia melakukan
penaklukkan terhadap daerah-daerah kekuasaan Murabbithun, maka terciptalah kemajuan pada
dinasti ini.
Ketangguhan Abdul Mu’min sebagai pengganti al-Mahdi, telah membuka jalan mulus
bagi penguasa berikutnya untuk mengembangkan kekuasaan Muwahhidun di Afrika
Utara dan
Spanyol.[31]
Pada masa kepemimpinannya, Abdul Mu’min telah
melakukan penaklukkan untuk memperluas kekuasaan Muwahhidun. Tahun 1131 M hingga 1160 M, ia berhasil
mengusai Nadla, Dir'ah, Taigan, Fazar, dan Gamayah. Mengalahkan pasukan Al-Murabbithun di wilayah Tlemsan seperti Fez, Couto, Tangier, Aljazair,
Tunisia, Tripoli dan Agmath. Selanjutnya
ke daerah-daerah Andalusia seperti Almeria dan menjadikan
Gilbaltar sebagai pusat pemerintahannya. Wilayah
kaum Muwahhidun membentang dari Tripoli hingga semenajung samudra atlantik sebelah
barat, ini merupakan prestasi gemilang yang belum pernah tercapai oleh dinasti
atau kerajaan manapun di Afrika Utara. Setelah memperoleh kemenangan berturut-turut,
ia kembali ke Maroko guna memperkuat pangkalan militernya di daerah Rabbat, demi merencanakan penyerangan
besar-besaran ke Spanyol. Namun, sebelum rencana itu terwujud ia meninggal
dunia pada tahun 1163 M.[32]
Abu Ya'kub Yusuf melanjutkan
kebijaksanaan mendiang ayahnya untuk menguasai beberapa kota di Spanyol. Ia menguasai Seville dan Toledo pada
tahun 1172 M, namun Abu Ya’kub
Yusuf meninggal dalam peperangan
di Santarem dekat Lisabon tahun
1184 M, mereka
dihadang oleh tentara Kristen. Selanjutnya tampuk pemerintahan dipegang oleh
puteranya, Abu Yusuf Yakub al-Manshur. Lain halnya dengan para pendahulunya, masalah yang dihadapi
oleh Al-Manshur sedikit
berbeda, yaitu menumpas para pemberontak di Andalusia. Tetapi ia dapat mengatasinya dengan menguasai kota
Bijaya (Bogie) juga mematahkan
kekuatan Alfonso VIII di Alarcos.
Abu Yusuf Yakub al-Manshur wafat tahun 1199 M dan di gantikan oleh Muhammad ibn al-Nashir (1199-1214 M). Mulailah pada
masa ini,
daulah Al-Muwahhidun tampak melemah, sementara Kristen Andalusia semakin menampakkan
kekuatannya. Dunia Barat (Kristen) bangkit dengan kekuatan baru membuat
Muwahhidun lenyap dari Andalusia kecuali Islam di Granada yang pada saat itu di
kuasai oleh Bani Ahmar.[33]
-
Muhammad ibn Tumart (1114/1130 M)
-
Abdul Mu’min (1130-1163 M)
-
Abu Yaqub Yusuf I (1163-1184 M)
-
Abu Yusuf Yaqub al-Manshur
(1184-1199 M)
-
Muhammad al-Nashir (1199-1214 M)
-
Abu Ya'qub Yusuf II al-Muntanshir (1214-1224 M)
-
Abdul Wahid I al-Makhlu’ (1124 M)
-
Abu Muhammad Abdullah al-Adil (1124-1227 M)
-
Yahya al-Mu'tashim
(1227-1229 M )
-
Abul A’la Idris al-Ma’mun (1229-1232
M)
-
Abu Muhammad Abdul Wahid II al-Rasyid (1232-1242 M)
-
Abul Hasan Ali al-Said al-Mu'tadhid (1242-1248 M )
-
Abu Hafs
Umar al-Murtadla (1248-1266 M)
-
Abul Ula al-Watsiq
(1266-1269 M )
Seperti diuraikan di atas, kemunduran dan kehancuran dinasti Muwahhidun terjadi
sejak khilafah dipegang oleh Muhamad al-Nashir, karena ia tidak memiliki
kemampuan untuk menyusun strategi militer guna menghadapi kekuatan tentara
Kristen. Pada
tahun 1212 M,
raja Alfonso VIII dan pasukan sekutunya dari Leon, Castille, Navarre dan
Aragon, melakukan serangan ke markas Muwahhidun di Las Navas de Tolosa
(al-‘Uqd). Dalam pertempuran ini, pasukan
Muwahhidun mengalami kekalahan. Ia menyerahkan kekuasaan pada anaknya yang
masih belia Abu Ya’kub Yusuf II dengan gelar al-Mustanshir lalu ia
meninggalkan Andalusia untuk kembali ke Fez dan. Karena usianya yang masih muda,
ia tidak mampu menjalankan pemerintahan, hingga berakibat perpecahan, terutama
setelah kematiannya pada tahun 1224 M dan tidak meninggalkan keturunan yang
dapat melanjutkan kepemimpinan Al-Muwahhidun.[35]
Melihat kenyataan ini, akhirnya beberapa
kelompok Muwahhidun meneruskan pemerintahannya masing-masing di daerah
tertentu. Keadaan ini dimanfaatkan oleh kekuatan
Kristen untuk menyingkirkan para penguasa Dinasti Muwahhidun dari Andalusia.
Usaha ini berhasil dengan terusirnya sebagian besar pemimpinnya dari Andalusia pada tahun 1236-1238 M, kecuali daerah Granada yang dikuasai dinasti Bani Ahmar. Kehancuran Muwahhidun
di Andalusia diikuti oleh Muwahhidun di Afrika Utara dengan jatuhnya Tripoli yang sejak lama telah dikuasai oleh Shalahuddin
al-Ayyubi (1172 M) serta Maroko
yang direbut oleh Bani Marin tahun 1269
M menjadi akhir kekuasaan
Dinasti Muwahhidun.[36]
Demikian perjalanan sejarah Dinasti
Muwahhidun yang sempat berjaya
di Andalusia. Tetapi, karena banyak
persoalan yang dihadapi, akhirnya kekuasaan Dinasti Muwahhidun melemah dan
kemudian hancur akibat serangan dari berbagai pihak, baik di Andalausia maupun
di Afrika Utara.
4.
Dinasti Bani Ahmar di Granada Tahun 1232-1492 M
Pada masa ini,
Islam Andalusia hanya berkuasa di daerah Granada, di bawah pemerintahan Bani
Ahmar (1232-1492 M). Peradaban Islam kembali memgalami kemajuan, akan tetapi
secara politik dinasti ini hanya menguasai daerah yang kecil di tengah kepungan
Kristen.[37]
Granada terletak di sebelah selatan kota Madrid, ibu kota Spanyol sekarang. Iklimnya
sangat bagus, karena itulah dinamakan Granada. Dalam bahasa Romawi Granada berarti bagus dan indah. Dari
sebelah selatan, berbatasan dengan Laut Tengah dan sungai Shaniel. Tingginya
lebih kurang 669 meter
di atas permukaan laut. Di sinilah letak rahasia keindahannya. Ketika kaum
Muslimin memasuki Granada, sewaktu penaklukan Andalusia (Spanyol), kota ini
telah selesai dibangun di atas puing sebuah kota kecil yang bernama Albery. Di
kemudian hari Granada menjadi ibu kota negara Dinasti Bani Ahmar. Sebagai pusat pemerintahannya Dinasti Bani
Ahmar mendirikan Istana Al-Hambra.[38]
Kerajaan ini
didirikan oleh Sultan Muhammad bin al-Ahmar dari Bani Nasr yang masih
keturunan Said bin Ubaidah, seorang sahabat Rasulullah Saw. dari suku Kharaz di
Madinah. Daulah Bani Ahmar bermula dari kerajaan kecil, namun
dengan cepat menjadi kerajaan kuat dan megah,
hingga berkuasa selama sekitar 2,5 abad. Selain kesalehan dan kecerdasan
para pemimpinnya, kejayaan Daulah Bani Ahmar ditunjang oleh keadaan alam
wilayah Granada yang termasuk bukit atau pegunungan yang indah, disinilah terletak istana megah Al-Hamra.[39] Dengan
kondisi geografis demikian, daerah kerajaan ini sulit dimasuki dan ditaklukkan oleh musuh.
Setelah pemerintahan Dinasti Muwahhidun
meninggalkan Andalusia, pasukan Kristen semakin leluasa memasuki dan menduduki wilayah-wilayah
kekuasaan Islam. Satu-persatu
daerah kekuasaan Islam jatuh ke tangan raja-raja Kristen. Pada tahun 636 H, Raja Ferdinand III dari Castille dan Raja Jayme I dari Aragon menduduki kota
Valencia, Cordova, dan
kota Mursia. Kemudian pada tahun 646 H kota Seville juga ditaklukkan. Dengan
demikian, akhirnya raja-raja Islam terkepung di Granada, daerah yang terletak
di antara pegunungan Nevada dan pantai Laut Tengah. Daerah ini merupakan
wilayah kekuasaan Bani Ahmar yang berkuasa sejak tahun 1232 M hingga 1492 M.[40]
Granada menjadi pusat riset dan
pengembangan peradaban muslim yang menjadi rujukan ilmuan dan satrawan muslim
maupun non muslim di Barat. Di antara raja Bani Ahmar yang termasyhur adalah
Muhammad V (755 H).
Selama masa pemerintahannya,
Granada mengalami kemajuan yang cukup pesat dalam berbagai bidang, terutama
arsitektur bangunan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam.[41]
Seperti
telah disinggung pada bagian terdahulu, bahwa Granada merupakan benteng
terakhir pertahanan umat Islam di Andalusia. Karena itu, tak heran kalau
pemerintahan Bani Ahmar selalu mendapat ancaman dan teror dari para penguasa
Kristen. Ancaman itu semakin menjadi-jadi
ketika terjadi persekutuan antara penguasa Aragon dengan Castille melalui
perkawinan raja Ferdinand dengan Issabella. Kekuatan
itu semakin menyudutkan kekuatan Bani Ahmar dan mengancam keberadaan umat Islam
di Granada.[42]
Meskipun begitu, beberapa kali serangan yang dilancarkan oleh Ferdinand dan
Issabella, dapat dipatahkan oleh kekuatan Bani Ahmar di bawah pimpinan Abu al-Hasan.
Ia menolak
membayar upeti kepada pemerintahan Castille, seperti yang dilakukan pada
wilayah lainnya. Hal itu ditandai dengan diusirnya utusan Ferdinand yang datang
untuk menagih upeti.[43] Lebih dari itu, Abu al-Hasan
melakukan penyerangan dan berhasil menduduki kota Zahra. Untuk membalas itu, Ferdinand menlancarkan serangan
mendadak terhadap istana Al-Hamra
dan berhasil merebutnya. Dalam penyerangan itu, banyak wanita dan anak-anak
kecil yang berlindung di masjid dibantai oleh pasukan Ferdinand, kejatuhan Al-Hamra ini pertanda kejatuhan
pemerintahan Bani Ahmar.
Situasi pemerintahan pusat di Granada
semakin kritis dengan terjadinya beberapa kali perselisihan dan perebutan
kekuasaan, antara Abu al-Hasan dengan anaknya, Abdullah. Serangan pasukan Kristen yang
berusaha memanfaatkan situasi kritis ini, dapat dipatahkan oleh Abu Abdullah al-Zaghlul, saudara Abu al-Hasan.
Al-Zaghlul menggantikan Abu al-Hasan sebagai penguasa Granada, dan
berusaha mengajak Abdullah bergabung untuk mengatasi kekuatan Kristen. Namun
tawaran itu ditolak Abdullah. Dalam situasi kritis seperti itu, pasukan Kristen
melakukan serangan dan berhasil menguasai kota Alora, Kars-Bonela, Ronda,
Malaga, Loxa dan beberapa kota penting lainnya. Dengan jatuhnya beberapa tempat
itu ke dalam kekuasaan Ferdinand, maka daerah kekuasaan Al-Zaghlul terus mengecil dan memudahkan
Ferdinand melakukan penaklukkan. Serangan Ferdinand terus dilancarkan kepada
sisa-sisa kekuatan Al-Zaghlul, hingga akhirnya Al-Zaghlul dikalahkan dan melarikan diri ke
Afrika. Dengan demikian, satu-satunya kekuatan muslim di Granada hanya kekuatan
yang dimiliki Abdullah ibn Abu
al-Hasan.[44]
Penguasa terakhir ini juga mendapat
serangan bertubi-tubi, hingga akhirnya raja terakhir Bani Ahmar itu dan jenderal perangnya dapat dikalahkan. Tidak seperti Musa Jenderal perang Abdullah yang mati
terbunuh di medan perang, Abdullah dipaksa untuk menyatakan
sumpah setia kepada Ferdinand, dan bersedia melepaskan harta kekayaan umat
Islam, dengan syarat umat Islam diberi hak hidup dan kebebasan beragama.
Peralihan kekuasaan ini terjadi pada tanggal 2 Januari 1492 M. Namun selanjutnya Abdullah bersama keluarganya pindah
ke Maroko dan tinggal di Fez. Dengan demikian, “Salib telah menyingkirkan bulan
sabit”.[45]
C. KEMAJUAN PERADABAN
ISLAM ANDALUSIA PASCA BANI UMAYYAH II
Dalam masa kekuasaan Islam pasca Umayyah II di Andalusia,
umat Islam telah mencapai kejayaannya. Banyak prestasi yang mereka peroleh,
bahkan pengaruhnya membawa Eropa dan dunia pada kemajuan yang lebih kompleks.
1.
Kemajuan
intelektual
a.
Filsafat dan Sejarah
Ilmu
filsafat dapat berkembang pada masa Islam di Spanyol. Pada waktu itu Spanyol
merupakan salah
jalur transmisi ilmu pengetahuan Islam ke
Barat. Filsafat
telah dipelajari dan dikembangkan oleh
umat Islam di Spanyol. Di Spanyol terkenal
para filosof seperti Abu Bakar Muhammad ibn al-Sayigh yang lebih dikenal dengan
nama Ibn Bajjah (w. 1138 M) di Fez, karyanya yang terkenal adalah Tadbir
al-Mutawahhid. Layaknya Al-Farabi dan Ibnu Sina di Timur, ia juga
mengemukakan masalah etis dan eskatologis.[46] Abu
Bakar ibn Thufail (w. 1185 M) karyanya yang terkenal adalah Hay
bin Yaqzhan. Di samping filosof Ibn
Thufail
juga seorang astronomi, kedokteran dan sebagainya.[47]
Filosof yang tidak kalah
tenar lainnya adalah Ibn Rusyd dari Cordova (w. 1198 M), karyanya yang sangat monumental adalah Tahafud
al-Tahafud, karya ini sebagai tangkisan terhadap
kitab filsafat Al-Ghazali, Tahafud
al-Falasifah. Ia juga dikenal
sebagai pengikut Aristoteles terbesar dan juga ahli di bidang fiqih dengan karyanya,
Bidayatul Mujtahid.[48]
b.
Sains
Sains
yang berekembang di Spanyol antara lain adalah ilmu kedokteran, matematika,
astronomi, kimia dan lain-lain. Abbas Ibn Farnas yang mashur dibidang kimia dan
astronomi,
orang pertama yang menemukan
pembuatan kaca dari batu. Ibrahim Ibn Yahya al-Naqash terkenal dalam ilmu
astronomi,
ia dapat menentukan kapan terjadinya
gerhana matahari dan menentukan berapa lamanya. Ia juga berhasil menemukan teropong bintang modern yang dapat menentukan
jarak antara tata surya dan bintang-bintang. Ahmad ibn Ibas dari Cordova adalah ahli dalam
bidang obat-obatan. Ummu al-Hasan binti Abi Ja’far dan Al-Hafids adalah dua orang yang ahli di
bidang kedokteran dari kalangan wanita. Selain itu juga kota Isybiliyah dekat Seville didirikan sebagai
tandingan kota Cordova Spanyol, disini Muncul ibn Zuhr (Avenzoar), seorang
dokter terkemuka (w. 1162 M).[49]
Ibnu Bathutah
(1304-1377 M), tokoh terkenal dalam bidang sejarah di Granada, berasal dari
Tangier, berhasil melakukan perjalanan panjang mengelilingi dunia dan mencatat
semua temuan lapangan ke dalam catatan perjalanannya yang sangat penting,
dikenal dengan sebutan Al-Muhadzdzab Rihlah Ibnu Bathuthah. Ibnu
al-Khatib (1317-1374 M), juga dalam bidang sejarah dengan karya monumental
tentang sejarah Granada. Ibnu Khaldun, tokoh lain yang mesikpun berasal dari
Tunisia, tetapi bertempat tinggal di Andalusia. Selain sebagai seorang
sejawaran, ia juga dikenal sebagai sosiolog muslim pertama dan perumus filsafat
sejarah.[50]
Kamal al-Din
Abu al-Hasan Muhammad al-Farisi lahir di Tabriz, Persia (sekarang Iran) pada
tahun 1267 dan wafat pada 1319 M. Al-Farisi terkenal dengan
kontribusinya tentang optik. Al-Farisi membedah dan merevisi teori pembiasan
cahaya yang telah ditulis oleh Al-Haitham. Hasil revisi itu ia tulis dalam
kitab Tanqih al-Manazir (Revisi tentang Optik). Bahkan Al-Farisi mampu
menggabungkan teori Al-Haitham ini dengan teori pelangi dari Ibnu Sina. Al-Farisi
mampu menjelaskan fenomena alam ini dengan menggunakan matematika.
c.
Pemahaman keagamaan dan Fiqih
Pada masa jaya,
khususnya untuk dinasti Murabbithun dan Muwahidun, dilakukan pemurnian ajaran
Islam dari perilaku syirik, khurafat dan bid’ah.[51]
Sedangkan Mazhab fiqhiyah
yang berkembang saat itu di Spanyol adalah mazhab Malikiyah, mazhab ini dijadikan
sebagai mazhab resmi negara, walaupun masih ada mazhab yang lain seperti Syafi’iyah.
Mazhab Malikiyah ini diperkenalkan oleh Ziyad ibn Abdul Rahman dan dikembangkan
selanjutnya oleh Ibn Yahya yang menjadi qadli pada masa Hisyam ibn Abdul
Rahman. Di samping itu ahli fiqh yang terkenal pada masa itu seperti Abu Bakar
ibn al-Quthiyah, Munzir ibn Sa’id al-Baluthi, Ibn Rusyd dan Ibn Hazm. Selain
fuqaha yang bermazhab Malikiyah di Spanyol ada juga ahli-ahli fiqh yang
bermazhab Syafi’iyah seperti Usman ibn Abi Said al-Kinani, Ahmad ibn Abdul Wahab
bin Yunus dan sebagainya.[52]
d.
Musik dan kesenian
Dalam
bidang ini tokohnya yang terkenal adalah Al-Hasan
ibn Nafi yang dijuluki Zaryab. Zaryab sering
tampil dalam perjamuan makan dan acara-acara pertemuan besar di Spanyol. Ia
juga bisa menggubah lagu. Muncul juga penyair sufi seperti Ibn ‘Abdun
dan Ibn Zaidun (keduanya wafat tahun 1134 M), dan Ibn Quzman (w. 1087-1160 M).[53]
e.
Bahasa dan sastra
Pada masa itu bahasa Arab dijadikan bahasa resmi di Andalusia,
sehingga bermunculanlah ahli-ahli di bidang bahasa seperti Ibn Sayidin, Ibn
Malik, Ibn Khuruf ibn al-Hajj, Abu Ali al-Isybili, Abu al-Hasan dan yang
lainnya. Di samping banyaknya ahli di bidang bahasa, banyak juga yang ahli di
bidang sastra, salah satu yang terkenal adalah Ibn Abdu Rabbih dengan
karyanya Al-‘iqd al-Farid, kemudian
Ibn Bassam dengan karyanya Al-Dzakhirah fi Mahasin ahlu al-Jazirah dan Al-Fath
ibn Khaqan dengan karyanya kitab Al-Qala’id dan yang lainnya.[54]
2.
Kemegahan
arsitektur
Pembangunan istana Al-Hamra dan masjid Al-Hamra
yang sangat terkenal, dilakukan
secara bertahap, antara tahun 1238 M dan 1358 M. Istana ini dilengkapi taman
bunga yang indah, ada juga Hausyus Sibb (Taman Singa) yang dikelilingi oleh 128
tiang yang terbuat dari marmer. Di dalamnya terdapat berbagai ruangan yang
indah, yaitu ruangan Al-Hukmi (Baitul Hukmi), yakni ruangan pengadilan
yang dibangun oleh Sultan Yusuf I (1334-1354 M); ruangan Bani Siraj (Baitul
Bani Siraj) yang dipenuhi dengan hiasan-hiasan kaligrafi Arab. Ada
pula Ruangan Bersiram (Hausy ar-Raihan), yang terdapat pula al-birkah atau
kolam pada posisi tengah yang lantainya terbuat dari marmer putih. Di sebelah
utara ruangan ini ada sebuah masjid yakni Masjid Al-Mulk. Selain itu, istana
merah ini dikelilingi oleh benteng dengan plesteran yang kemerah-merahan. Yang
lebih unik lagi pada bagian luar dan dalam istana ini ditopang oleh pilar-pilar
panjang sebagai penyangga sekaligus
penghias
istana Al-Hambra.[55] Peninggalan-peninggalan peradaban Islam
Spanyol juga tidak sedikit diantaranya pembangunan dam-dam, kanal-kanal,
saluran sekunder air, jembatan, waduk, irigasi, kincir air, masjid Cordova, masjid
Seville, kota al-Zahra, istana Ja’fariyah di Saragossa, istana al-Makmun,
istana al-Ghazal, menara Girilda, dan tembok Toledo.[56]
D. FAKTOR KEMUNDURAN
DAN KEHANCURAN ISLAM ANDALUSIA
Adapun beberapa faktor yang menjadikan kekuasaan Islam
Andalusia pasca Umayyah II mengalami kemunduran dan kehancuran antara lain:[57]
a.
Komplik
berkepanjangan dengan Kristen
Tidak
dilakukannya islamisasi secara sempurna dan hanya puas dengan mendapatkan upeti
dari kerajaan Kristen yang ditaklukkan serta membiarkan mereka mempertahankan
hukum adat mereka, ditambah kehadiran Islam juga telah memperkuat rasa kebangsaan
orang-orang Kristen Spanyol, mengakibatkan kehidupan negara Islam Andalusia
tidak pernah berhenti dari pertentangan, ini seiring dengan menguatnya kelompok
dan raja-raja Kristen Andalusia.
b.
Tidak adanya
ideologi pemersatu
Sebagaimana
politik yang dijalankan Umayyah di Damaskus, orang-orang Arab selalu mendiskriminasikan
orang-orang pribumi. Mereka masih memberi istilah ‘ibad dan muwalladun
yang sangat merendahkan para mu’allaf etnis non-Arab. Akibatnya
kelompok-kelompok ini sering menggerogoti dan merusak perdamaian, ini bermakna
tidak adanya ideologi persatuan antara Arab Islam dengan non-Arab.
c.
Kesulitan
ekonomi
Rendahnya moral
para penguasa dan melupakan tujuan awal pendirian negara yang ingin menghapus
kebiasaan penyimpangan ajaran agama, dengan kehidupan mewah yang dijalani para
penguasa yang umumnya berasal dari tantara Barbar, sehingga tidak memberikan
perhatian lebih kepada rakyat dan tidak memperhatikan wilayah kekuasannya,
mengakibatkan timbulnya kesulitan ekonomi yang amat memberatkan masyarakat dan
amat mempengaruhi kondisi politik dan militer.
d.
Tidak jelasnya
sistem peralihan kekuasaan
Ketidakcakapan
generasai penerus setelah pemimpin yang berhasil seperti Yusuf bin Tasyfin
dalam menjalankan roda pemerintahan Murabbithun menimbulkan konflik internal
dan eksternal yang menyebabkan wilayah kekuasaannya mengalami disintegrasi dan
ditaklukkan oleh tentara Kristen. Ini diperparah lagi dengan perebutan
kekuasaan di antara ahli waris seperti yang terjadi pada Bani Ahmar di Granada
yang notabene sisa kekuasaan Islam di Andalusia.
e.
Keterpencilan
Islam Spanyol
bagaikan terpencil dari dunia Islam lainnya, berjuang sendiri tanpa mendapat
bantuan kecuali dari Afrika Utara.
E. UMAT ISLAM DI BAWAH
PEMERINTAHAN KRISTEN ANDALUSIA
Penaklukkan Kristen
terhadap Granada tahun 1492 M menandai awal berakhirnya peradaban Islam Andalusia,
meskipun masih terdapat perjanjian jaminan kebebasan beragama muslim dan pemilikan
kekayaan mereka, tetapi kenyataan hak-hak tersebut tidak diperdulikan. Tahun
1501 M perundangan Spanyol mengeluarkan aturan yang memaksa umat Islam untuk menentukan
pilihan jika ingin menetap di Andalusia. Pilihan itu adalah bersedia dibaptis memeluk
Kristen atau keluar dari Andalusia.[58]
Sebagian mereka bersedia pindah agama, daripada meninggalkan tanahnya, selainnya
tetap pada pendirian keyakinan mereka, meskipun harus merasakan penderitaan akibat
siksaan yang kejam dan pengusiran, banyak dari mereka pindah ke Maroko, Mesir,
dan Turki. Namun ada yang secara rahasia tetap memeluk Islam, mencoba
mendamaikan antara sikap batin kepada Islam dengan sikap lahir Kristianitas.[59]
Pasukan Ferdinand
tidak hanya melakukan pengusiran dan pembataian terhadap umat Islam, juga
membakar hangus sejumlah besar manuskrip Arab. Jatuhnya pusat-pusat kekuasaan
muslim di Andalusia, menandai lenyapnya pusat peradaban Islam di Barat. Sejak
saat itu, tidak ada lagi aktifitas keilmuan dan peradaban yang dilakukan,
kecuali penancapan kekuasan Kristen yang semakin kuat dan perasaan dendam
Kristen (reconquiesta) terhadap umat Islam di seluruh dunia dengan
melakukan berbagai ekspansi dan penjajahan, demi mengeruk keuntungan dan
kekayaan dari negeri-negeri Timur yang mayoritas muslim.
Akibatnya sejumlah
teks Arab abad ke-15 berusaha memasukkan tradisi Kristen kepada keyakinan
muslim, misalnya, dengan menegaskan bahwa Yesus sebagai Tuhan tidak lain
hanyalah sebuah ketokohan dalam perkataan atau bahwasanya misa dilaksanakan
dengan menggunakan air bukan dengan anggur. Pada 1556 M, pakaian Arab dan
muslim dilarang beredar di Granada, dan pada 1566 M, Philip II mengeluarkan
keputusan bahwasanya bahasa Arab tidak boleh lagi dipergunakan. Akibatnya disana
muncul literatur Aljamiado yang tersusun dari bahasa Romawi tetapi dengan
menggunakan huruf-huruf Arab dan penerjemahan teks-teks Arab. Akhirnya, pada
tahun 1609 Philip III mengusir umat Islam dari Spanyol, sebagian besar dari mereka
mengungsi ke Afrika Utara.[60]
Demikianlah
pengalaman umat muslim dalam pemerintahan Kristen memperlihatkan betapa di
dalam masyarakat yang multi etnik dan multi agama, konsep-konsep Islam dan
Timur Tengah tentang otonomi komunitas agama mampu berperan dalam
mengakomodasikan warga muslim ke dalam masyarakat Kristen sebagaimana mereka
telah mengakomodasikan umat Kristen ke dalam sebuah masyarakat muslim. Meskipun
demikian, belakangan kebutuhan pihak Kristen akan homogenitas agama mengantarkan
pada asimilasi secara paksa atau dengan cara pengusiran warga Yahudi dan
muslim.[61]
F. PENUTUP
Peradaban Islam di Andalusia pasca Umayyah II dimulai
sesaat setelah kejatuhan Dinasti Bani Umayyah II, muncullah periode kepemimpina
lokal yang lebih dikenal dengan sebutan muluk al-thawaif, dilanjutkan
dengan Dinasti Al-Murabbithun dan Al-Muwahhidun dari Afrika Utara, serta
diakhiri dengan masa Dinasti Bani Ahmar yang sekaligus juga sebagai pertanda
akhir dari sejarah peradaban Islam di Andalusia atau Spanyol, masa ini
terhitung mulai tahun 1013 M hingga 1492 M.
Periode Muluk al-Thawaif adalah masa umat Islam
terpecah menjadi beberapa negara atau daerah kecil di bawah pemerintahan
raja-raja golongan. Dinasti-dinasti kecil ini terkadang tidak segan-segan
meminta bantuan kepada kekuatan Kristen di bagian utara Andalusia untuk
menyerang atau mengalahkan dinasti Islam lainnya demi untuk mempertahankan
kekuasaannya. Masa ini dimulai tahun 1013 M, sesaat setelah keruntuhan Dinasti
Bani Umayyah II yang ditandai dengan penghapusan jabatan khalifah oleh dewan
menteri di Cordova, dan berakhir pada tahun 1086 M. Meskipun kehidupan politik
yang tidak stabil, namun kehidupan intelektual terus berkembang di berbagai
istana-istana.
Selanjutnya masa Dinasti Murabithun merupakan salah satu
dinasti Islam yang berkuasa di Maroko, Nama Al-Murabithun berkaitan dengan nama
tempat asal mereka, Ribat, awalnya adalah sebuah gerakan keagamaan guna
memurnikan ajaran agama yang berubah menjadi gerakan politik. Tahun 1086 M,
dibawah kepemimpinan Yusuf ibn Tasyfin, dinasti ini memasuki Andalusia dan
memulai sejarah kekuasaannya yang gemilang, bidang politik dan militer,
arsitektur bangunan, ilmu pengetahuan dan filsafat dan sosial kemasyarakatan
hingga tahun 1061 M. Sepeninggal Yusuf, Murabbithun mengalami kemunduran hingga
pemimpin terakhirnya, Ishaq ibn Ali terbunuh tahun 1147 M dan Maroko direbut
oleh kekuatan baru (Dinasti Al-Muwahhidun), kemudian tahun 1148 gubernur terakhir
di Andalusia juga terbunuh pertanda akhir sejarah Dinasti Murabbithun di
Andalusia.
Setelah berhasil mengalahkan Dinasti Murabbithun,
Al-Muwahhidun yang didirikan oleh Muhammad ibn Tummart menguasai Maroko yang
berlanjut pada penaklukkan Andalusia. Sama halnya dengan Murabbithun, berdirinya Dinasti Muwahhidun pada awalnya bertujuan
memurnikan ajaran Islam, dalam hal ini yang telah dikotori orang-orang
Murabbithun. Dinasti ini memulai kejayaannya ketika dipimpin oleh Abdul
Mu’min bin ‘Ali tahun 1163 M, Maroko dapat dikuasai dan memasuki Andalusia
tahun 1149 M untuk menumpas sisa-sisa kekuasaan Murabbithun. Pada masa kejayaannya
ini berbagai kemajuan dapat dicapai seperti ilmu pengetahuan, sosial
kemasyarakatan, politik dan militer dan peninggalan arsitektur. Tahun 1212 M, Muwahhidun mengalami kekalahan dari Alfonso pertanda awal
kemundurannya. Hingga Abu Ya’kub Yusuf II yang masih belia, tidak mampu
menjalankan pemerintahan, mengakibatkan perpecahan, terutama setelah
kematiannya tahun 1224 M dan tidak meninggalkan keturunan yang dapat melanjutkan
kepemimpinan Al-Muwahhidun. Akhirnya beberapa kelompok menjalankan pemerintahan
di masing-masing daerah yang kemudian ditumpas oleh kekuatan Kristen dan
berhasil diusir dari Andalusia sejak tahun 1236-1238 M, kecuali daerah Granada
yang dikuasai Dinasti Bani Ahmar.
Kekuasaan terakhir
Islam terdapat di Granada oleh Dinasti Bani Ahmar 1232-1492 M, pada masa ini, peradaban
Islam kembali memgalami kemajuan, misalnya ilmu pengetahuan dan arsitektur
bagunan megah. Akan tetapi secara politik dinasti ini hanya menguasai daerah
yang kecil di tengah kepungan Kristen. Ancaman itu semakin besar ketika terjadi persekutuan antara
penguasa Aragon dengan Castille
yang semakin
menyudutkan kekuatan Bani Ahmar.
Setelah kepemimpinan Abu al-Hasan, berganti dengan Abu Abdullah al-Zaghlul, hingga
yang terakhir Abdullah ibn Abu al-Hasan mendapat serangan bertubi-tubi dari
Kristen, hingga akhirnya dapat dikalahkan. Abdullah dipaksa untuk
menyatakan sumpah setia kepada Ferdinand, dengan syarat umat Islam diberi hak
hidup dan kebebasan beragama. Berakhirlah
masa kekuasaan Dinasti Bani Ahmar yang sekaligus kekuasaan Islam di Andalusia,
meskipun masih ditemukan kelompok-kelompok kecil, hingga Akhirnya, Philip III
dengan alat perundangannya mengusir umat Islam dari Spanyol tahun 1609 M.
Semoga umat muslim dapat menyadari arti penting sebuah negeri Andalusia bagi
Islam dan sebaliknya,
Islam bagi negeri Andalusia. Begitu juga negeri-negeri yang masih istiqamah
menegakkan agama Islam (keselamatan) ini. Allah A’lam bi
al-Shawab.
DAFTAR PUSTAKA
Amin,
Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam,
(Jakarta: Amzah, 2009)
Bosworth,
G.E., Dinasti-Dinasti Islam, (Bandung : PT Mizan. 1993)
Faqih,
Aunur Rahim & Munthoha, Pemikiran & Peradaban Islam, (Yogyakarta:
UII Press, 1998)
Hakim, Moh. Nur, Sejarah dan Peradaban Islam, (Malang :UMM Pres, 2004)
Harun, Maidir dan Firdaus, Sejarah
Peradaban Islam, (Padang: IAIN IB Press, 2002)
Hitti,
Philip. K, History of the Islamic People, (London: Rotledge & Kegan
Paul, 1980)
Kamal,
Zainun, Ibn Taimiyah Versus para Filosof Polemik Logika, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2006)
Lapidus,
Ira. M, Sejarah Sosial Umat Islam, jilid 1, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1999)
Lewis,
Bernard, Bangsa Arab Dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya)
Mufrodi,
Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 2007)
Nasution,
Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1973)
_____________,
Teologi Islam: Aliran-aliran sejarah analisa perbandingan, (Jakarta: UI
Press, 1986)
Syalabi,
Ahmad, Maushu’ah Tarikh al-Islami, jilid IV (Kairo: Maktabah al-Nahdhah
al-Misriyah, 1978)
Thohir,
Ajib, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-akar
Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004)
Watt,
W. Montgomery, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990)
Wijdan
SZ, Aden dkk, Pemikiran & Peradaban Islam, (Yogyakarta: Safiria
Insania Press, 2007)
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1993)
[2] Ahmad
Syalabi, Maushu’ah Tarikh al-Islami, jilid IV (Kairo: Maktabah
al-Nahdhah al-Misriyah, 1978), h. 34-35. Lihat juga Philip K. Hitti, History
of the Islamic People, (London: Rotledge & Kegan Paul, 1980), h. 83
[5]
Amir adalah gelar untuk seorang panglima perang atau gubernur karena masih ada
kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad sebagai pusat pemerintahan Islam, tetapi
mereka tidak tunduk. Lihat, Badri Yatim, Sejarah... , h. 94-95
[6] Badri
Yatim, Sejarah..., h. 96. Lihat juga, Aunur Rahim Faqih & Munthoha, Pemikiran
& Peradaban Islam, (Yogyakarta: UII Press, 1998), h. 72-74
[7] Penggunaan
gelar khalifah bermula dari berita tentang suasana pemerintahan Abbasiyah di
Baghdad sedang berada dalam kemelut karena kematian khalifah Al-Muktadir oleh
pengawalnya sendiri. Lihat. Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah..., h. 112
[8] Aden Wijdan
SZ dkk, Pemikiran & Peradaban Islam, (Yogyakarta: Safiria Insania
Press, 2007), h. 42
[9] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah..., h.115-116. Lihat
juga, Badri Yatim, Sejarah..., h. 97. W. Montgomery Watt, Kejayaan
Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1990), h. 217-218. Ira
M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, jilid 1, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1999), h. 588. Aden Wijdan SZ. dkk, Pemikiran..., h. 43
[10]
Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah..., h. 113. Lihat juga, Badri
Yatim, Sejarah..., h. 97-98
[11] Ira
M. Lapidus, Sejarah..., h. 590
[12]
Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah..., h. 112
[17]
Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos,
2007), h. 112-113
[22]
Badri Yatim, Sejarah..., h. 98
[28] Harun
Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran sejarah analisa perbandingan,
(Jakarta: UI Press, 1986) h. 76
[31]
Ibid.
[32] Samsul Munir Amin, Sejarah..., h. 271. Lihat juga
Moh. Nur Hakim, Sejarah dan Peradaban Islam, (Malang :UMM Pres, 2004), hal. 86
[34]
Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah..., h. 129-130
[36] Ajib Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia
Islam: Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 105
[37] Badri Yatim, Sejarah..., h. 99
[40] Badri Yatim, Sejarah..., h. 99-100
[42] Aunur Rahim Faqih & Munthoha, Pemikiran..., h. 80
[43] Ibid.
[44] Aunur Rahim Faqih & Munthoha, Pemikiran..., h. 80
[46] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah..., h.
123-12. Badri Yatim, Sejarah..., h. 99-101. Lihat juga Harun Nasution, Falsafat
dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 26-40.
[47]
Bernard Lewis, Bangsa Arab Dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya), h. 171
[50] Badri Yatim,
Sejarah..., h. 102. Lihat Juga Zainun Kamal, Ibn Taimiyah Versus para
Filosof Polemik Logika, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 146
Tidak ada komentar:
Posting Komentar