Kamis, 18 Februari 2016

PERADABAN ISLAM ANDALUSIA PASCA BANI UMAYYAH II

A.      PENDAHULUAN
Sebagian umat muslim belum sepenuhnya menyadari arti penting sebuah negeri Spanyol bagi Islam, begitu juga sebaliknya, Islam bagi negeri Spanyol. Islam Andalusia pernah bergema dalam sejarah Islam bahkan dunia. Bolehlah sekiranya kita melihat ke belakang sejarah berakarnya Islam di Andalusia yang saat itu dalam perpecahan politik, kemunduran ekonomi dan krisis kepercayaan.[1] Abad pertengahan, ketika tentara Islam pimpinan Thariq Ibn Ziyad mendarat di Gibraltar, berhasil menancapkan pengaruh Islam di Spanyol baik sebagai gerakan agama maupun politik. Setelah masa gubernur-gubernur, muncul dinasti Umaiyyah di Andalusia. Sumber lain menyebutkan, Spanyol tunduk di bawah kekuasaan dinasti bani Abbasiyah di Baghdad setelah keruntuhan Umayyah di Damaskus.[2]
Mengalami kemunduran sewaktu dihapusnya jabatan khalifah yang berakibat terpecahnya Andalusia dalam banyak negara-negara kecil atau al-Muluk al-Tawaif, tercatat kerajaan Ibadiyah di Seville yang terbesar di antaranya, juga sempat ada usaha penaklukkan kembali wilayah Islam oleh kelompok kristen (Reconquesta). Selanjutnya Dinasti Murabbithun di bawah kendali Yusuf bin Tasyfin dari belahan Afrika dan Dinasti Muwahhidun yang didirikan Ibnu Tumart –bergantian menguasai Andalusia– kedua dinasti ini berawal dari gerakan keagamaan yang bertujuan memberantas berbagai penyelewengan agama. Terakhir Dinasti Bani Ahmar di Granada, ketika sebagian besar wilayah Spanyol terlepas dari kekuasaan Islam.[3]
Empat gambaran peradaban Islam di Andalusia di atas menjadi batasan permasalahan pada pembahasan yang dikupas dalam bentuk makalah dan disajikan dalam diskusi ini. Kritik terlebih saran diharapkan guna perbaikannya serta kiranya dapat bermanfaat guna memahami arti penting Spanyol (Andalusia) bagi Islam dan sebaliknya Islam bagi Spanyol, amien.
B.       LATAR BELAKANG PEMERINTAHAN ISLAM ANDALUSIA PASCA BANI UMAYYAH II
Islam sebagai gerakan politik memiliki kemampuan luar biasa, sehingga menguasai Spanyol walaupun menghadapi rintangan dari penguasa Spanyol sebelumnya yang notabene penganut Kristen. Dari tahun 716 M sampai 756 M, kurang lebih 20 orang Gubernur silih berganti memerintah Spanyol. Mulai dari Abdul Aziz ibn Musa ibn Nusair hingga yang terakhir Yusuf ibn Abdul Rahman al-Fihri dari Qays. Ini menandakan stabilitas politik Islam belum sempurna, gangguan internal maupun eksternal masih sering terjadi.
Gangguan internal berupa perselisihan antara elit penguasa, akibat perbedaan etnis, yakni Barbar Afrika Utara dan Arab. Dalam etnis Arab saja terdapat dua golongan yang terus bersaing, yaitu suku Qays (Arab Utara) dan Arab Yaman (Arab Selatan). Ini diperparah lagi dengan perbedaan pandangan Khalifah Damaskus dengan Gubernurnya di Kairawan (Afrika Utara) tentang siapa yang paling berhak atas Spanyol, tentunya berakibat perang saudara. Adapun gangguan eksternal datang dari sisa-sisa musuh Islam yang tinggal di pegunungan, yang tidak tunduk pada Islam. Menunggu kesempatan ketika kekuatan Islam sewaktu-waktu melemah, mereka juga didukung kekaisaran Perancis.[4]
Kedatangan Abdul Rahman al-Dakhil seorang keturunan bani Umaiyah merebut kekuasaan di Spanyol, bermulalah dinasti Umaiyah yang independen, meskipun masih ada kekhalifahan Abbasiyah Baghdad. Pada periode pertama yaitu masa keamiran, Spanyol berada di bawah kuasa seorang yang bergelar Amir,[5] ada tujuh amir yang pernah berkuasa antara 138 H/756 M hingga 300 H/912 M, pada masa ini umat Islam mulai mengalami kemajuan di bidang politik dan peradaban.[6]
Periode kedua berganti kepada masa kekhalifahan (912-1013M) –suasana pemerintahan Abbasiyah di Baghdad dalam kemelut– dimulai dari pemerintahan Abdul Rahman III al-Nashir hingga munculnya raja-raja kelompok, yang dikenal dengan sebutan  Muluk al-Thawaif. Pada periode ini Spanyol diperintah oleh seorang yang bergelar khalifah.[7] Di antara khalifah yang terkenal adalah Abdul Rahman al-Nasir, Hakam II, dan Hisyam II. Pada masa kekhalifahan ini umat Islam Spanyol mencapai puncak kemajuan dan kejayaan, hingga menyaingi daulah Abbasiyah di Baghdad.[8]
Walaupun masih ada khalifah yang memerintah sampai tahun 1013, namun kekuasaannya sudah lemah, hingga tidak diragukan lagi pada saat itulah khilafah bani Umaiyah di Spanyol mengalami kehancuran. Sesaat kemudian Dewan Menteri yang berkuasa di Cordova menghapuskan jabatan khalifah. Selanjutnya, seperti yang pernah terjadi dalam pemerintahan Abbasiyah negara Islam Spanyol dilanda sejumlah kerusuhan konflik internal yang sangat rumit. Sebuah pemerintahan imperial di pusat digantikan oleh sejumlah rezim propinsial yang lebih kecil. Wajah politik Islam Andalusia ketika itu terpecah ke dalam banyak negara-negara kecil.[9] Dari sinilah dimulainya masa peradaban Islam Andalusia pasca Umayyah II.
Untuk mendapatkan pemahaman tentang pembacaan peradaban Islam di Spanyol pada masa itu maka perlu pembahasan mendalam mengenai beberapa periode atau dinasti-dinasti dengan corak pemerintahan Islam pada masa itu.

1.         Periode Muluk Al-Thawaif Tahun 1013-1086 M
Pada priode ini diperkirakan berjalan antara 1013-1086 M, saat itu Andalusia terpecah menjadi lebih dari 30 negara kecil di bawah pemerintahan raja-raja golongan atau Al-Muluk al-Tawaif. Yang terbesar di antara kerajaan tersebut adalah Ibadiyah di Seville, juga terdapat di Toledo yaitu Bani Zinun Badazoz, Bani Zawiyun dari bangsa Barbar di Granada, Bani Hud di Andalusia Timur dan sebagainya. Namun pada masa ini Islam Spanyol berada dalam masa pertikaian intern. Untuk mempertahankan kekuasannya, tidak jarang kerajaan-kerajaan kecil meminta bantuan kepada orang Kristen di bagian Utara untuk menyerang dinasti Islam lainnya. Meskipun  sistem politik Islam mengalami kekacauan, namun kehidupan intelektual mengalami perkembagan yang positif. Pada periode ini masing-masing istana mendorong para sarjana dan sasterawan untuk mengembangkan ilmunya, mereka mendapatkan perlindungan dari satu istana ke istana lainnya.[10]
Selain itu hukum Islam dan sebuah identitas Islam-Arab tetap diterima secara universal, dan ada keterwakilan aspirasi warga muslim melaui para ulama. Masyarakat Islam juga tetap dipersatukan oleh perdagangan regional dan internasional yang tengah berkembang pesat. Seperti hubungan dagang Andalusia dengan Maroko, Tunisia, Mesir, Iran, Arabia, dan India bahkan China. Akan tetapi, pada sisi yang lain tingkat perpecahan politik yang sedemikian menghangat sangat mengancam keberadaan peradaban Islam di Spanyol.[11]
Melihat kelemahan dan kekacauan yang menimpa Islam di sana, selama beberapa abad masyarakat Kristen telah bersiaga mengambil inisiatif untuk melakukan penaklukan kembali terhadap Spanyol, inilah yang disebut dengan Reconquesta (penaklukan kembali wilayah Spanyol dari kekuasaan Islam).[12] Berangsur-angsur satu-persatu wilayah Islam dapat ditaklukkan, dimotori oleh Paus Gregory VII yang menjadikan kegiatan Reconquesta ini sebagai kewajiban bagi umat Kristen juga sebagai sebuah ambisi teritorial raja-raja Spanyol. Sehingga pada pertengahan kedua abad dua belas gerakan ini telah melembaga yang akhirnya dapat mengambil kembali beberapa wilayah-wilayah Islam.[13]

2.         Dinasti Murabbithun Tahun 1086-1149 M
Pada saat Kristen mengalami kemajuan, kekuatan Islam mengimbanginya, adalah sebuah delegasi ulama Islam Andalusia mengundang Al-Murabbithun dari belahan Afrika untuk terlibat membela ummat Islam Spanyol. Munculnya Dinasti ini berawal dari suatu gerakan keagamaan yang bertujuan memberantas berbagai penyelewengan ajaran agama, dan berusaha menyebarkan ajaran agama yang benar. Namun dalam perkembangannya, gerakan ini tidak hanya memfokuskan diri dalam bidang keagamaan, melainkan juga memasuki wilayah militer dan politik kekuasaan.[14]
Nama Al-Murabithun berkaitan dengan nama tempat asal mereka, yaitu Ribat, dari Lemtuna, salah satu suku Sanhaja, Barbar. Suku ini merupakan sempalan dari suku Arab Bani Himyar yang bermigrasi ke wilayah Afrika Utara bersamaan dengan kedatangan Uqbah bin Nafi’, gubernur Bani Umayyah saat itu. Mereka juga disebut al-Mulassimun (orang-orang bercadar). Pada abad ke-11 pemimpin Sanhaja, Yahya bin Ibrahim al-Jaddali pergi ke Makkah. Sekembalinya dari Arabia, ketika berada di Naflis, ia bertemu dan mengundang Abdullah bin Yasin –seorang ‘alim terkenal Maroko– untuk  membina keagamaan kaumnya kemudian dibantu oleh Yahya bin Umar dan saudaranya Abu Bakar bin Umar. Kemudian Abdullah bin Yasin mengajak beberapa orang pengikutnya pergi ke sebuah pulau di Sinegal dan mendirikan kelompok ini dan menjadi sebuah komunitas yang cukup dominan.[15]
Kemudian Abdullah bin Yasin memerintahkan kepada seluruh pengikutnya untuk menyebarkan ajarannya ke luar daerah dan memberantas berbagai penyimpangan ajaran agama kepada individu, juga kepada para penguasa yang dzalim. Mereka mulai memasuki wilayah politik militer dan kekuasaan dengan mengangkat Yahya bin Umar sebagai panglima milter serta melakukan ekspansi ke wilayah Wadi Dar’ah (Sahara Afrika). Mereka mendapatkan perlawanan dari penguasa Sijilmash, Mas’ud bin Wanuddin al-Magrawi melakukan perlawanan sengit, meskipun akhirnya kalah dan ibu kota Wadi Dar’ah direbut oleh kelompok Murabithun pada tahun 1055 M.[16]
Setelah Yahya bin Umar meninggal tahun 1056 M dan Abdullah bin Yasin tahun 1059 M, tampuk kekuasaan diambil alih oleh Abu Bakar dan kemenakannya Yusuf bin Tasyfin. Keduanya berpisah ketika terjadi konflik di antara suku-suku yang ditinggalkannya, Abu Bakar kembali ke Sahara untuk mengembalikan keamanan dan ketertiban, sementara Yusuf bin Tasyfin melanjutkan usaha penaklukkannya ke wilayah Utara dan berhasil dengan baik. Setelah menyelesaikan sengketa di daerahnya, Abu Bakar kembali ke Utara sampai di wilayah Maghribi bergabung dengan Yusuf. Lalu Abu Bakar pergi meninggalkan Maghribi dan kembali lagi ke Sahara dan meninggal di Sudan tahun 1078 M. Yusuf bin Tasyfin menjadi penguasa tunggal, ia mulai melakukan gerakan pembangunan, dimulai dengan membangun kota Maroko, lalu melajutkan usaha ekspansinya ke wilayah-wilayah lain. [17]
Di bawah kendali Yusuf bin Tasyfin, Murabbithun menguasai sebagian besar Afrika Utara, terbentang dari Pantai Utara Afrika hingga Sinegal setelah berhasil merebut kota Fez, Tangier hingga Al-Jazair. Usaha selanjutnya adalah memperluas wilayah kekuasaan ke Andalusia yang tengah mengalami krisis kepemimpinan. Umat Islam di Andalusia dalam perpecahan di bawah kerajaan-kerajaan kecil (mulukut thawaif) diperparah dengan adanya penguasa Kristen seperti Alfonso VI yang memerintah di Leon dan Castille, yang memungut upeti dari pemimpin-pemimpin lokal di wilayah Islam seperti Toledo.[18]
Jatuhnya Toledo ke tangan Alfonso VI tahun 1085 M, mamaksa Al-Mu’tamid bin Ibbad, raja Seville, meminta bantuan kepada Yusuf bin Tasyfin. Setelah bermusyawarah dengan pembesar istana dan ulama, ia mengirimkan bantuan ke Andalusia tahun 1086 M. Di Zallaka dekat Bedajoz, Yusuf dan pasukannya berhasil mengalahkan pasukan Castille dan membunuh Alfonso VI. Kemenangan ini merupakan langkah awal baginya untuk menjadi penguasa di Andalusia, ia menggunakan gelar Amirul Muslimin wa Nashir al-Din, karena masih mengakui keberadaan Dinasti Ababsiyah di Bagdad.[19]
Yusuf kembali ke Afrika Utara setelah mendengar berita kematian anaknya, dengan hanya menempatkan 300 bala tentara saja untuk mempertahankan wilayah Andalusia, dampaknya, tentara Kristen kembali mengancam kekuasaan Al-Mu’tamid di Andalusia. Untuk kedua kalinya, Yusuf dan pasukannya kembali ke Andalusia untuk menaklukkan Aledo dan menguasai Castille. Dengan bantuan para ulama di Granada dan Malaga termasuk Imam Al-Ghazali untuk mengeluarkan fatwa berisi tentang ketidakcakapan para penguasa muslim, ia mulai menguasai Andalusia. Mulai dari Granada, Cordova, Seville ditaklukkannya dan para pemimpin Islam dipaksa untuk menyerahkan kekuasaan termasuk menangkap Al-Mu’tamid untuk diasingkan ke Afrika Utara hingga meninggal.[20]
Dari selatan kemudian Yusuf bin Tasyfin menaklukkan wilayah Utara Andalusia, Bajoz, Valencia terakhir Saragossa tahun 1110 M. Rentetan kemenangan Yusuf tersebut menunjukkan bahwa bala tentaranya lebih kuat dibanding tentara Kristen, Ia juga mendapat dukungan kuat dari masyarakat muslim Andalusia. Tetapi kegemilangan Yusuf tidak berlangsung lama, sebab tahun 1106 M, ia meninggal dunia.[21] Dengan kekuasaan yang terbentang mulai dari Afrika Utara hingga Andalusia dan daerah lain, putera sekaligus pewarisnya Ali bin Yusuf bin Tasyfin tidak mampu mewarisi kepemimpinannya. Meskipun banyak ditemukan kemajuan, terutama dalam bidang arsitektur bangunan megah Murabbithun pada masa kepemimpinannya.
Sepeninggal Yusuf bin Tasyfin, kekuasaan Murabithun hanya bertahan kurang lebih setengah abad. Pada fase ini Ali bin Yusuf tidak banyak melakukan konsolidasi kekuatan dan kekuasaan, sehingga mengalami masa-masa kemunduran. Ali tidak secakap ayahnya sehingga para ulama lebih berperan dalam masalah kepemimpinan dan kenegaraan, mereka mengeluarkan kebijakan yang sangat diskriminatif, khususnya terhadap kelompok Yahudi dan Kristen. Bagi kelompok masyarakat non-muslim yang tidak mampu membayar pajak untuk melaksanakan praktek keagamaannya, diminta meninggalkan tempat tinggal mereka. Kebijakan tidak populer ini menjadi salah satu faktor penyebab perlawanan masyarakat non-muslim Andalusia. Kondisi ini diperparah dengan adanya kecenderungan para fuqaha yang suka menumpuk harta kekayaan dan mengkafirkan orang lain. Mereka seringkali terlibat perdebatan di sekitar furu’iyah dalam masalah fiqih, sehingga dengan mudah menjatuhkan vonis mengkafirkan pihak lain.[22]
Sehingga satu-persatu wilayah Dinasti Murabithun jatuh ke pihak lawan. Sekitar tahun 1118-1125 M, Alfonso VII, raja Aragon berekspansi sampai ke Selatan Andalusia. Ketika Ali bin Yusuf meninggal dunia pada tahun 1143 M, kekuasaannya diwariskan kepada puteranya, Tasyfin bin Ali. Seperti ayahnya, ia juga tidak mampu mengendalikan pemerintahan, membuat Dinasti Murabithun menjadi sasaran empuk para penguasa Kristen, hingga kelompok Al-Muwahhidun datang dan menguasai ibu kota Maroko pada tahun 1146 M dan membunuh Ishaq bin Ali pemimpin terakhir Murabithun.[23]
Beberapa orang pimpinan dan amir yang memegang kekuasan pada masa Dinasti Al-Murabithun yaitu :[24]
-            Yahya ibn Ibrahim
-            Yahya ibn Umar
-            Abu Bakar bin Umar al-Lamtuni (1056-1073 M)
-            Yusuf bin Tasyfin (1061-1106 M)
-            Ali bin Yusuf (1106-1142 M)
-            Tasyfin bin Ali (1142-1146 M)
-            Ibrahim bin Tasyfin (1146 M)
-            Ishak bin Ali (1146-1147 M)
Dengan jatuhnya Maroko ke tangan Muwahhidun dan terbunuhnya Gubernur Andalusia Yahya ibn Ghaniyah tahun 1148 M, secara otomatis wilayah kekuasaan Murabithun di Andalusia menjadi wilayah kekuasaan Dinasti Muwahhidun. Demikian perjalanan sejarah Dinasti Murabbithun yang sempat berjaya di Andalusia.

3.         Dinasti Muwahhidun Tahun 1149-1223 M
Al-Muwahhidun sempat tumbuh dan berkembang di Afrika Utara menguasai wilayah yang terbentang dari pulau-pulau di Samudera Atlantik hingga ke perbatasan Mesir dan Andalusia (Spanyol) di Eropa. Sama halnya dengan Murabbithun, berdirinya Dinasti Muwahhidun bertujuan memurnikan ajaran Islam, dalam hal ini yang telah dikotori orang-orang Murabbithun pada fase akhir kekuasaannya. Dinasti ini mampu meraih kejayaan karena memiliki pemimpin yang kuat serta cinta ilmu pengetahuan. Kehadiran dinasti ini telah membuka mata dunia Barat untuk mengejar ketertinggalannya dari umat Islam.
Muwahhidun adalah nama sebuah dinasti yang didirikan oleh Ibnu Tumart pada tahun 1121 M. Ibnu Tumart dilahirkan di Sus, Maroko, berasal dari suku Masmudah, salah satu suku yang terkenal dengan keberaniannya layaknya bangsa Barbar, kaya dan tersebar di seluruh Maroko. Samsul Munir dalam bukunya Sejarah Peradaban Islam menyatakan bahwa dinasti ini berdiri sejak tahun 1114 M, pernah mengalami masa kejayaan di kawasan Afrika Utara dan Spanyol selama lebih dari satu abad yaitu sejak tahun 515-667 H/1121-1269 M. Adapun arti Al-Muwahhidun secara etimologis adalah penganut paham tauhid, sedangkan secara terminologis adalah sebutan yang di pakai bagi para pengikut Ibnu Tumart yang menekankan pada ajaran tauhid serta menentang kekafiran dan paham antromorfistik (tajassum) serta menyerukan umat untuk beramar ma'ruf nahi munkar.[25]
Ada beberapa hal yang melatarbelakangi terbentuknya dinasti Muwahhidun, antara lain: adanya protes terhadap mazhab Malikiyah yang kaku, konservatif dan legalistik yang berkembang di Afrika Utara berkat dakwah dinasti Murabbithun.; Adanya respon terhadap kehidupan sosial yang mengalami kerusakan sejak masa akhir dinasti Murabbithun.; Prinsip tauhid yang memerangi faham tajassum yang mengganggap Tuhan mempunyai bentuk (antropomorfisme) karena hal ini bertentangan dengan Al-Qur'an.[26]
Pendirinya adalah Al-Mahdi Ibn Tumart yang merupakan orang Barbar yang berlaku zuhud serta menerima kesetiaan dari suku Masmudah dan beribukota di Maroko yang didirikan oleh dinasti Murabbitun. Ia adalah ulama besar yang pernah berguru di berbagai pusat ilmu pengetahuan di Spanyol (penganut faham ad-Dahiri) dan Baghdad. Menurut Watt dalam bukunya A History of Islamic Spain,[27] bahwa Ibnu Tumart juga belajar langsung kepada Al-Ghazali yang beraliran Asy’ariah yang mengganggap bahwa menegakkan kebenaran dan memberantas kemungkaran harus dilakukan dengan tegas, tentu saja tidak hal ini disenangi sebagian besar masyarakat terutama kalangan ulama dan penguasa. Sehingga ia dan pengikutnya mendapatkan perlawanan, bahkan pada tahun 1117 M, ia sempat terusir dari daerah kekuasaannya, Bijaya. Namun, di sisi lain ia mendapat dukungan dari berbagai suku Barbar, seperti suku Haragah, Hantanah, Jadmiwah, serta Janfisah.[28]
Setelah terusir dari Bijaya, dia pergi ke Maroko dan bertemu dengan Abdul Mu'min ibn Ali al-Qufi yang akhirnya menjadi muridnya. Namun, karena di tempat tersebut dakwahnya kurang berhasil, akhirnya dia pergi ke Tilimsan (Tinmal/Tanmaal). Di kota inilah dia memperoleh kepercayaan penuh dari orang-orang terkemuka, terutama dari suku bangsanya sehingga pada tahun 1121 M, Ibnu Tumart bertekad untuk mendirikan pemerintahan sendiri. Ia berhasil menghimpun sebagian besar dari kelompok suku Barbar kemudian menjadikan sahabat-sahabat dan murid-muridnya sebagai ketua kelompok masing-masing, Kelompok inilah yang dinamai Al-Muwahhidun. Samsul Munir berpendapat bahwa pada tahun 514 H/1120 M, ia menobatkan diri sebagai Al-Mahdi dan dibaiat oleh para pengikutnya. Ia menamakan wilayah kekuasaan dan sekitarnya sebagai Daulah Al-Muwahhidun.[29]
Setelah merasa kuat, dengan doktrin mengenai amar ma'ruf nahi mungkar, Ibn Tumart mengadakan serangan ke Ibukota Al-Murabbithun di Maroko. Hal ini terjadi pada tahun 524 H/1129 M dengan jumlah pasukan sebanyak 40.000 orang, dibawah komando Abu Muhammad al-Basyir al-Tansyarisi. Tetapi serangan ini gagal dan banyak prajurit mereka yang terbunuh termasuk komandan perangnya, peristiwa ini di kenal dengan peperangan Buhairah. Selang beberapa waktu setelah penyerangan itu, Ibn Tumart jatuh sakit.[30]
Pada tahun 1130 M, Ibn Tumart menemui ajalnya, sehingga melalui kesepakatan Dewan Menteri, dinobatkanlah Abdul Mu’min menjadi khalifah pengganti al-Mahdi dengan sebutan Amiru al-Mu’minin. Ia dipilih tidak dengan adanya hubungan kerabat dengan Ibn Tumart, namun karena dianggap orang yang paling dekat dan mempunyai pengetahuan luas, pintar, dan pemberani. Setelah dinobatkan sebagai khalifah langkah awal kerjanya adalah mengakhiri sejarah Dinasti Murabithun dan menundukkan kabilah-kabilah yang ada di Maroko. Sejak saat inilah disebutkan bahwa gerakan dakwah itu beralih menjadi kekuatan politik. Ia melakukan penaklukkan terhadap daerah-daerah kekuasaan Murabbithun, maka terciptalah kemajuan pada dinasti ini. Ketangguhan Abdul Mu’min sebagai pengganti al-Mahdi, telah membuka jalan mulus bagi penguasa berikutnya untuk mengembangkan kekuasaan Muwahhidun di Afrika Utara dan Spanyol.[31]
Pada masa kepemimpinannya, Abdul Mu’min telah melakukan penaklukkan untuk memperluas kekuasaan Muwahhidun. Tahun 1131 M hingga 1160 M, ia berhasil mengusai Nadla, Dir'ah, Taigan, Fazar, dan Gamayah. Mengalahkan pasukan Al-Murabbithun di wilayah Tlemsan seperti Fez, Couto, Tangier, Aljazair, Tunisia, Tripoli dan Agmath. Selanjutnya ke daerah-daerah Andalusia seperti Almeria dan menjadikan Gilbaltar sebagai pusat pemerintahannya. Wilayah kaum Muwahhidun membentang dari Tripoli hingga semenajung samudra atlantik sebelah barat, ini merupakan prestasi gemilang yang belum pernah tercapai oleh dinasti atau kerajaan manapun di Afrika Utara. Setelah memperoleh kemenangan berturut-turut, ia kembali ke Maroko guna memperkuat pangkalan militernya di daerah Rabbat, demi merencanakan penyerangan besar-besaran ke Spanyol. Namun, sebelum rencana itu terwujud ia meninggal dunia pada tahun 1163 M.[32]
Abu Ya'kub Yusuf melanjutkan kebijaksanaan mendiang ayahnya untuk menguasai beberapa kota di Spanyol. Ia menguasai Seville dan Toledo pada tahun 1172 M, namun Abu Yakub Yusuf meninggal dalam peperangan di Santarem dekat Lisabon tahun 1184 M, mereka dihadang oleh tentara Kristen. Selanjutnya tampuk pemerintahan dipegang oleh puteranya, Abu Yusuf Yakub al-Manshur. Lain halnya dengan para pendahulunya, masalah yang dihadapi oleh Al-Manshur sedikit berbeda, yaitu menumpas para pemberontak di Andalusia. Tetapi ia dapat mengatasinya dengan menguasai kota Bijaya (Bogie) juga mematahkan kekuatan Alfonso VIII di Alarcos.
Abu Yusuf Yakub al-Manshur  wafat tahun 1199 M dan di gantikan oleh Muhammad ibn al-Nashir (1199-1214 M). Mulailah pada masa ini, daulah Al-Muwahhidun tampak melemah, sementara Kristen Andalusia semakin menampakkan kekuatannya. Dunia Barat (Kristen) bangkit dengan kekuatan baru membuat Muwahhidun lenyap dari Andalusia kecuali Islam di Granada yang pada saat itu di kuasai oleh Bani Ahmar.[33]
Diantara para pemimpin atau amir Dinasti Muwahhidun ini yang pernah berkuasa sebagai berikut :[34]
-            Muhammad ibn Tumart (1114/1130 M)
-            Abdul Mu’min (1130-1163 M)
-            Abu Yaqub Yusuf I (1163-1184 M)
-            Abu Yusuf Yaqub al-Manshur (1184-1199 M)
-            Muhammad al-Nashir (1199-1214 M)
-            Abu Ya'qub Yusuf II al-Muntanshir (1214-1224 M)
-            Abdul Wahid I al-Makhlu (1124 M)
-            Abu Muhammad Abdullah al-Adil (1124-1227 M)
-            Yahya al-Mu'tashim (1227-1229 M )
-            Abul Ala Idris al-Ma’mun (1229-1232 M)
-            Abu Muhammad Abdul Wahid II al-Rasyid (1232-1242 M)
-            Abul Hasan Ali al-Said al-Mu'tadhid (1242-1248 M )
-            Abu Hafs Umar al-Murtadla (1248-1266 M)
-            Abul Ula al-Watsiq (1266-1269 M )
Seperti diuraikan di atas, kemunduran dan kehancuran dinasti Muwahhidun terjadi sejak khilafah dipegang oleh Muhamad al-Nashir, karena ia tidak memiliki kemampuan untuk menyusun strategi militer guna menghadapi kekuatan tentara Kristen. Pada tahun 1212 M, raja Alfonso VIII dan pasukan sekutunya dari Leon, Castille, Navarre dan Aragon, melakukan serangan ke markas Muwahhidun di Las Navas de Tolosa (al-‘Uqd). Dalam pertempuran ini, pasukan Muwahhidun mengalami kekalahan. Ia menyerahkan kekuasaan pada anaknya yang masih belia Abu Ya’kub Yusuf II dengan gelar al-Mustanshir lalu ia meninggalkan Andalusia untuk kembali ke Fez dan. Karena usianya yang masih muda, ia tidak mampu menjalankan pemerintahan, hingga berakibat perpecahan, terutama setelah kematiannya pada tahun 1224 M dan tidak meninggalkan keturunan yang dapat melanjutkan kepemimpinan Al-Muwahhidun.[35]
Melihat kenyataan ini, akhirnya beberapa kelompok Muwahhidun meneruskan pemerintahannya masing-masing di daerah tertentu. Keadaan ini dimanfaatkan oleh kekuatan Kristen untuk menyingkirkan para penguasa Dinasti Muwahhidun dari Andalusia. Usaha ini berhasil dengan terusirnya sebagian besar pemimpinnya dari Andalusia pada tahun 1236-1238 M, kecuali daerah Granada yang dikuasai dinasti Bani Ahmar. Kehancuran Muwahhidun di Andalusia diikuti oleh Muwahhidun di Afrika Utara dengan jatuhnya Tripoli yang sejak lama telah dikuasai oleh Shalahuddin al-Ayyubi (1172 M) serta Maroko yang direbut oleh Bani Marin tahun 1269 M menjadi akhir kekuasaan Dinasti Muwahhidun.[36]
Demikian perjalanan sejarah Dinasti Muwahhidun yang sempat berjaya di Andalusia. Tetapi, karena banyak persoalan yang dihadapi, akhirnya kekuasaan Dinasti Muwahhidun melemah dan kemudian hancur akibat serangan dari berbagai pihak, baik di Andalausia maupun di Afrika Utara.

4.         Dinasti Bani Ahmar di Granada Tahun 1232-1492 M
Pada masa ini, Islam Andalusia hanya berkuasa di daerah Granada, di bawah pemerintahan Bani Ahmar (1232-1492 M). Peradaban Islam kembali memgalami kemajuan, akan tetapi secara politik dinasti ini hanya menguasai daerah yang kecil di tengah kepungan Kristen.[37] Granada terletak di sebelah selatan kota Madrid, ibu kota Spanyol sekarang. Iklimnya sangat bagus, karena itulah dinamakan Granada. Dalam bahasa Romawi Granada berarti bagus dan indah. Dari sebelah selatan, berbatasan dengan Laut Tengah dan sungai Shaniel. Tingginya lebih kurang 669 meter di atas permukaan laut. Di sinilah letak rahasia keindahannya. Ketika kaum Muslimin memasuki Granada, sewaktu penaklukan Andalusia (Spanyol), kota ini telah selesai dibangun di atas puing sebuah kota kecil yang bernama Albery. Di kemudian hari Granada menjadi ibu kota negara Dinasti Bani Ahmar. Sebagai pusat pemerintahannya Dinasti Bani Ahmar mendirikan Istana Al-Hambra.[38]
Kerajaan ini didirikan oleh Sultan Muhammad bin al-Ahmar dari Bani Nasr yang masih keturunan Said bin Ubaidah, seorang sahabat Rasulullah Saw. dari suku Kharaz di Madinah. Daulah Bani Ahmar bermula dari kerajaan kecil, namun dengan cepat menjadi kerajaan kuat dan megah, hingga berkuasa selama sekitar 2,5 abad. Selain kesalehan dan kecerdasan para pemimpinnya, kejayaan Daulah Bani Ahmar ditunjang oleh keadaan alam wilayah Granada yang termasuk bukit atau pegunungan yang indah, disinilah terletak istana megah Al-Hamra.[39] Dengan kondisi geografis demikian, daerah kerajaan ini sulit dimasuki dan ditaklukkan oleh musuh.
Setelah pemerintahan Dinasti Muwahhidun meninggalkan Andalusia, pasukan Kristen semakin leluasa memasuki dan menduduki wilayah-wilayah kekuasaan Islam. Satu-persatu daerah kekuasaan Islam jatuh ke tangan raja-raja Kristen. Pada tahun 636 H, Raja Ferdinand III dari Castille dan Raja Jayme I dari Aragon menduduki kota Valencia, Cordova, dan kota Mursia. Kemudian pada tahun 646 H kota Seville juga ditaklukkan. Dengan demikian, akhirnya raja-raja Islam terkepung di Granada, daerah yang terletak di antara pegunungan Nevada dan pantai Laut Tengah. Daerah ini merupakan wilayah kekuasaan Bani Ahmar yang berkuasa sejak tahun 1232 M hingga 1492 M.[40]
Granada menjadi pusat riset dan pengembangan peradaban muslim yang menjadi rujukan ilmuan dan satrawan muslim maupun non muslim di Barat. Di antara raja Bani Ahmar yang termasyhur adalah Muhammad V (755 H). Selama masa pemerintahannya, Granada mengalami kemajuan yang cukup pesat dalam berbagai bidang, terutama arsitektur bangunan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam.[41]
Seperti telah disinggung pada bagian terdahulu, bahwa Granada merupakan benteng terakhir pertahanan umat Islam di Andalusia. Karena itu, tak heran kalau pemerintahan Bani Ahmar selalu mendapat ancaman dan teror dari para penguasa Kristen. Ancaman itu semakin menjadi-jadi ketika terjadi persekutuan antara penguasa Aragon dengan Castille melalui perkawinan raja Ferdinand dengan Issabella. Kekuatan itu semakin menyudutkan kekuatan Bani Ahmar dan mengancam keberadaan umat Islam di Granada.[42] Meskipun begitu, beberapa kali serangan yang dilancarkan oleh Ferdinand dan Issabella, dapat dipatahkan oleh kekuatan Bani Ahmar di bawah pimpinan Abu al-Hasan.
Ia menolak membayar upeti kepada pemerintahan Castille, seperti yang dilakukan pada wilayah lainnya. Hal itu ditandai dengan diusirnya utusan Ferdinand yang datang untuk menagih upeti.[43] Lebih dari itu, Abu al-Hasan melakukan penyerangan dan berhasil menduduki kota Zahra. Untuk membalas itu, Ferdinand menlancarkan serangan mendadak terhadap istana Al-Hamra dan berhasil merebutnya. Dalam penyerangan itu, banyak wanita dan anak-anak kecil yang berlindung di masjid dibantai oleh pasukan Ferdinand, kejatuhan Al-Hamra ini pertanda kejatuhan pemerintahan Bani Ahmar.
Situasi pemerintahan pusat di Granada semakin kritis dengan terjadinya beberapa kali perselisihan dan perebutan kekuasaan, antara Abu al-Hasan dengan anaknya, Abdullah. Serangan pasukan Kristen yang berusaha memanfaatkan situasi kritis ini, dapat dipatahkan oleh Abu Abdullah al-Zaghlul, saudara Abu al-Hasan. Al-Zaghlul menggantikan Abu al-Hasan sebagai penguasa Granada, dan berusaha mengajak Abdullah bergabung untuk mengatasi kekuatan Kristen. Namun tawaran itu ditolak Abdullah. Dalam situasi kritis seperti itu, pasukan Kristen melakukan serangan dan berhasil menguasai kota Alora, Kars-Bonela, Ronda, Malaga, Loxa dan beberapa kota penting lainnya. Dengan jatuhnya beberapa tempat itu ke dalam kekuasaan Ferdinand, maka daerah kekuasaan Al-Zaghlul terus mengecil dan memudahkan Ferdinand melakukan penaklukkan. Serangan Ferdinand terus dilancarkan kepada sisa-sisa kekuatan Al-Zaghlul, hingga akhirnya Al-Zaghlul dikalahkan dan melarikan diri ke Afrika. Dengan demikian, satu-satunya kekuatan muslim di Granada hanya kekuatan yang dimiliki Abdullah ibn Abu al-Hasan.[44]
Penguasa terakhir ini juga mendapat serangan bertubi-tubi, hingga akhirnya raja terakhir Bani Ahmar itu dan jenderal perangnya dapat dikalahkan. Tidak seperti Musa Jenderal perang Abdullah yang mati terbunuh di medan perang, Abdullah dipaksa untuk menyatakan sumpah setia kepada Ferdinand, dan bersedia melepaskan harta kekayaan umat Islam, dengan syarat umat Islam diberi hak hidup dan kebebasan beragama. Peralihan kekuasaan ini terjadi pada tanggal 2 Januari 1492 M. Namun selanjutnya Abdullah bersama keluarganya pindah ke Maroko dan tinggal di Fez. Dengan demikian, “Salib telah menyingkirkan bulan sabit”.[45]

C.      KEMAJUAN PERADABAN ISLAM ANDALUSIA PASCA BANI UMAYYAH  II
Dalam masa kekuasaan Islam pasca Umayyah II di Andalusia, umat Islam telah mencapai kejayaannya. Banyak prestasi yang mereka peroleh, bahkan pengaruhnya membawa Eropa dan dunia pada kemajuan yang lebih kompleks.
1.         Kemajuan intelektual
a.         Filsafat dan Sejarah
Ilmu filsafat dapat berkembang pada masa Islam di Spanyol. Pada waktu itu Spanyol merupakan salah jalur transmisi ilmu pengetahuan Islam ke Barat. Filsafat telah dipelajari dan dikembangkan oleh umat Islam di Spanyol. Di Spanyol terkenal para filosof seperti Abu Bakar Muhammad ibn al-Sayigh yang lebih dikenal dengan nama Ibn Bajjah (w. 1138 M) di Fez, karyanya yang terkenal adalah Tadbir al-Mutawahhid. Layaknya Al-Farabi dan Ibnu Sina di Timur, ia juga mengemukakan masalah etis dan eskatologis.[46] Abu Bakar ibn Thufail (w. 1185 M) karyanya yang terkenal adalah Hay bin Yaqzhan. Di samping filosof Ibn Thufail juga seorang astronomi, kedokteran dan sebagainya.[47] Filosof yang tidak kalah tenar lainnya adalah Ibn Rusyd dari Cordova (w. 1198 M), karyanya yang sangat monumental adalah Tahafud al-Tahafud, karya ini sebagai tangkisan terhadap kitab filsafat Al-Ghazali, Tahafud al-Falasifah. Ia juga dikenal sebagai pengikut Aristoteles terbesar dan juga ahli di bidang fiqih dengan karyanya, Bidayatul Mujtahid.[48]
b.        Sains
Sains yang berekembang di Spanyol antara lain adalah ilmu kedokteran, matematika, astronomi, kimia dan lain-lain. Abbas Ibn Farnas yang mashur dibidang kimia dan astronomi, orang pertama yang menemukan pembuatan kaca dari batu. Ibrahim Ibn Yahya al-Naqash terkenal dalam ilmu astronomi, ia dapat menentukan kapan terjadinya gerhana matahari dan menentukan berapa lamanya. Ia juga berhasil menemukan teropong bintang modern yang dapat menentukan jarak antara tata surya dan bintang-bintang. Ahmad ibn Ibas dari Cordova adalah ahli dalam bidang obat-obatan. Ummu al-Hasan binti Abi Ja’far dan Al-Hafids adalah dua orang yang ahli di bidang kedokteran dari kalangan wanita. Selain itu juga kota Isybiliyah dekat Seville didirikan sebagai tandingan kota Cordova Spanyol, disini Muncul ibn Zuhr (Avenzoar), seorang dokter terkemuka (w. 1162 M).[49]
Ibnu Bathutah (1304-1377 M), tokoh terkenal dalam bidang sejarah di Granada, berasal dari Tangier, berhasil melakukan perjalanan panjang mengelilingi dunia dan mencatat semua temuan lapangan ke dalam catatan perjalanannya yang sangat penting, dikenal dengan sebutan Al-Muhadzdzab Rihlah Ibnu Bathuthah. Ibnu al-Khatib (1317-1374 M), juga dalam bidang sejarah dengan karya monumental tentang sejarah Granada. Ibnu Khaldun, tokoh lain yang mesikpun berasal dari Tunisia, tetapi bertempat tinggal di Andalusia. Selain sebagai seorang sejawaran, ia juga dikenal sebagai sosiolog muslim pertama dan perumus filsafat sejarah.[50]
Kamal al-Din Abu al-Hasan Muhammad al-Farisi lahir di Tabriz, Persia (sekarang Iran) pada tahun 1267 dan wafat pada  1319 M.  Al-Farisi terkenal dengan kontribusinya tentang optik. Al-Farisi membedah dan merevisi teori pembiasan cahaya yang telah ditulis oleh Al-Haitham. Hasil revisi itu ia tulis dalam kitab Tanqih al-Manazir (Revisi tentang Optik). Bahkan Al-Farisi mampu menggabungkan teori Al-Haitham ini dengan teori pelangi dari Ibnu Sina. Al-Farisi mampu menjelaskan fenomena alam ini dengan menggunakan matematika.
c.         Pemahaman keagamaan dan Fiqih
Pada masa jaya, khususnya untuk dinasti Murabbithun dan Muwahidun, dilakukan pemurnian ajaran Islam dari perilaku syirik, khurafat dan bid’ah.[51] Sedangkan Mazhab fiqhiyah yang berkembang saat itu di Spanyol adalah mazhab Malikiyah, mazhab ini dijadikan sebagai mazhab resmi negara, walaupun masih ada mazhab yang lain seperti Syafi’iyah. Mazhab Malikiyah ini diperkenalkan oleh Ziyad ibn Abdul Rahman dan dikembangkan selanjutnya oleh Ibn Yahya yang menjadi qadli pada masa Hisyam ibn Abdul Rahman. Di samping itu ahli fiqh yang terkenal pada masa itu seperti Abu Bakar ibn al-Quthiyah, Munzir ibn Sa’id al-Baluthi, Ibn Rusyd dan Ibn Hazm. Selain fuqaha yang bermazhab Malikiyah di Spanyol ada juga ahli-ahli fiqh yang bermazhab Syafi’iyah seperti Usman ibn Abi Said al-Kinani, Ahmad ibn Abdul Wahab bin Yunus dan sebagainya.[52]
d.        Musik dan kesenian
Dalam bidang ini tokohnya yang terkenal adalah Al-Hasan ibn Nafi yang dijuluki Zaryab. Zaryab sering tampil dalam perjamuan makan dan acara-acara pertemuan besar di Spanyol. Ia juga bisa menggubah lagu. Muncul juga penyair sufi seperti Ibn ‘Abdun dan Ibn Zaidun (keduanya wafat tahun 1134 M), dan Ibn Quzman (w. 1087-1160 M).[53]
e.         Bahasa dan sastra
Pada masa itu bahasa Arab dijadikan bahasa resmi di Andalusia, sehingga bermunculanlah ahli-ahli di bidang bahasa seperti Ibn Sayidin, Ibn Malik, Ibn Khuruf ibn al-Hajj, Abu Ali al-Isybili, Abu al-Hasan dan yang lainnya. Di samping banyaknya ahli di bidang bahasa, banyak juga yang ahli di bidang sastra, salah satu yang terkenal adalah Ibn Abdu Rabbih dengan karyanya  Al-‘iqd al-Farid, kemudian Ibn Bassam dengan karyanya Al-Dzakhirah fi Mahasin ahlu al-Jazirah dan Al-Fath ibn Khaqan dengan karyanya kitab Al-Qala’id dan yang lainnya.[54]
2.         Kemegahan arsitektur
Pembangunan istana Al-Hamra dan masjid Al-Hamra yang sangat terkenal, dilakukan secara bertahap, antara tahun 1238 M dan 1358 M. Istana ini dilengkapi taman bunga yang indah, ada juga Hausyus Sibb (Taman Singa) yang dikelilingi oleh 128 tiang yang terbuat dari marmer. Di dalamnya terdapat berbagai ruangan yang indah, yaitu ruangan Al-Hukmi (Baitul Hukmi), yakni ruangan pengadilan yang dibangun oleh Sultan Yusuf I (1334-1354 M); ruangan Bani Siraj (Baitul Bani Siraj) yang dipenuhi dengan hiasan-hiasan kaligrafi Arab. Ada pula Ruangan Bersiram (Hausy ar-Raihan), yang terdapat pula al-birkah atau kolam pada posisi tengah yang lantainya terbuat dari marmer putih. Di sebelah utara ruangan ini ada sebuah masjid yakni Masjid Al-Mulk. Selain itu, istana merah ini dikelilingi oleh benteng dengan plesteran yang kemerah-merahan. Yang lebih unik lagi pada bagian luar dan dalam istana ini ditopang oleh pilar-pilar panjang sebagai penyangga sekaligus penghias istana Al-Hambra.[55] Peninggalan-peninggalan peradaban Islam Spanyol juga tidak sedikit diantaranya pembangunan dam-dam, kanal-kanal, saluran sekunder air, jembatan, waduk, irigasi, kincir air, masjid Cordova, masjid Seville, kota al-Zahra, istana Ja’fariyah di Saragossa, istana al-Makmun, istana al-Ghazal, menara Girilda, dan tembok Toledo.[56]

D.      FAKTOR KEMUNDURAN DAN KEHANCURAN ISLAM ANDALUSIA
Adapun beberapa faktor yang menjadikan kekuasaan Islam Andalusia pasca Umayyah II mengalami kemunduran dan kehancuran antara lain:[57]
a.         Komplik berkepanjangan dengan Kristen
Tidak dilakukannya islamisasi secara sempurna dan hanya puas dengan mendapatkan upeti dari kerajaan Kristen yang ditaklukkan serta membiarkan mereka mempertahankan hukum adat mereka, ditambah kehadiran Islam juga telah memperkuat rasa kebangsaan orang-orang Kristen Spanyol, mengakibatkan kehidupan negara Islam Andalusia tidak pernah berhenti dari pertentangan, ini seiring dengan menguatnya kelompok dan raja-raja Kristen Andalusia.
b.        Tidak adanya ideologi pemersatu
Sebagaimana politik yang dijalankan Umayyah di Damaskus, orang-orang Arab selalu mendiskriminasikan orang-orang pribumi. Mereka masih memberi istilah ‘ibad dan muwalladun yang sangat merendahkan para mu’allaf etnis non-Arab. Akibatnya kelompok-kelompok ini sering menggerogoti dan merusak perdamaian, ini bermakna tidak adanya ideologi persatuan antara Arab Islam dengan non-Arab.
c.         Kesulitan ekonomi
Rendahnya moral para penguasa dan melupakan tujuan awal pendirian negara yang ingin menghapus kebiasaan penyimpangan ajaran agama, dengan kehidupan mewah yang dijalani para penguasa yang umumnya berasal dari tantara Barbar, sehingga tidak memberikan perhatian lebih kepada rakyat dan tidak memperhatikan wilayah kekuasannya, mengakibatkan timbulnya kesulitan ekonomi yang amat memberatkan masyarakat dan amat mempengaruhi kondisi politik dan militer.
d.        Tidak jelasnya sistem peralihan kekuasaan
Ketidakcakapan generasai penerus setelah pemimpin yang berhasil seperti Yusuf bin Tasyfin dalam menjalankan roda pemerintahan Murabbithun menimbulkan konflik internal dan eksternal yang menyebabkan wilayah kekuasaannya mengalami disintegrasi dan ditaklukkan oleh tentara Kristen. Ini diperparah lagi dengan perebutan kekuasaan di antara ahli waris seperti yang terjadi pada Bani Ahmar di Granada yang notabene sisa kekuasaan Islam di Andalusia.
e.         Keterpencilan
Islam Spanyol bagaikan terpencil dari dunia Islam lainnya, berjuang sendiri tanpa mendapat bantuan kecuali dari Afrika Utara.

E.       UMAT ISLAM DI BAWAH PEMERINTAHAN KRISTEN ANDALUSIA
Penaklukkan Kristen terhadap Granada tahun 1492 M menandai awal berakhirnya peradaban Islam Andalusia, meskipun masih terdapat perjanjian jaminan kebebasan beragama muslim dan pemilikan kekayaan mereka, tetapi kenyataan hak-hak tersebut tidak diperdulikan. Tahun 1501 M perundangan Spanyol mengeluarkan aturan yang memaksa umat Islam untuk menentukan pilihan jika ingin menetap di Andalusia. Pilihan itu adalah bersedia dibaptis memeluk Kristen atau keluar dari Andalusia.[58] Sebagian mereka bersedia pindah agama, daripada meninggalkan tanahnya, selainnya tetap pada pendirian keyakinan mereka, meskipun harus merasakan penderitaan akibat siksaan yang kejam dan pengusiran, banyak dari mereka pindah ke Maroko, Mesir, dan Turki. Namun ada yang secara rahasia tetap memeluk Islam, mencoba mendamaikan antara sikap batin kepada Islam dengan sikap lahir Kristianitas.[59]
Pasukan Ferdinand tidak hanya melakukan pengusiran dan pembataian terhadap umat Islam, juga membakar hangus sejumlah besar manuskrip Arab. Jatuhnya pusat-pusat kekuasaan muslim di Andalusia, menandai lenyapnya pusat peradaban Islam di Barat. Sejak saat itu, tidak ada lagi aktifitas keilmuan dan peradaban yang dilakukan, kecuali penancapan kekuasan Kristen yang semakin kuat dan perasaan dendam Kristen (reconquiesta) terhadap umat Islam di seluruh dunia dengan melakukan berbagai ekspansi dan penjajahan, demi mengeruk keuntungan dan kekayaan dari negeri-negeri Timur yang mayoritas muslim.
Akibatnya sejumlah teks Arab abad ke-15 berusaha memasukkan tradisi Kristen kepada keyakinan muslim, misalnya, dengan menegaskan bahwa Yesus sebagai Tuhan tidak lain hanyalah sebuah ketokohan dalam perkataan atau bahwasanya misa dilaksanakan dengan menggunakan air bukan dengan anggur. Pada 1556 M, pakaian Arab dan muslim dilarang beredar di Granada, dan pada 1566 M, Philip II mengeluarkan keputusan bahwasanya bahasa Arab tidak boleh lagi dipergunakan. Akibatnya disana muncul literatur Aljamiado yang tersusun dari bahasa Romawi tetapi dengan menggunakan huruf-huruf Arab dan penerjemahan teks-teks Arab. Akhirnya, pada tahun 1609 Philip III mengusir umat Islam dari Spanyol, sebagian besar dari mereka mengungsi ke Afrika Utara.[60]
Demikianlah pengalaman umat muslim dalam pemerintahan Kristen memperlihatkan betapa di dalam masyarakat yang multi etnik dan multi agama, konsep-konsep Islam dan Timur Tengah tentang otonomi komunitas agama mampu berperan dalam mengakomodasikan warga muslim ke dalam masyarakat Kristen sebagaimana mereka telah mengakomodasikan umat Kristen ke dalam sebuah masyarakat muslim. Meskipun demikian, belakangan kebutuhan pihak Kristen akan homogenitas agama mengantarkan pada asimilasi secara paksa atau dengan cara pengusiran warga Yahudi dan muslim.[61]

F.       PENUTUP
Peradaban Islam di Andalusia pasca Umayyah II dimulai sesaat setelah kejatuhan Dinasti Bani Umayyah II, muncullah periode kepemimpina lokal yang lebih dikenal dengan sebutan muluk al-thawaif, dilanjutkan dengan Dinasti Al-Murabbithun dan Al-Muwahhidun dari Afrika Utara, serta diakhiri dengan masa Dinasti Bani Ahmar yang sekaligus juga sebagai pertanda akhir dari sejarah peradaban Islam di Andalusia atau Spanyol, masa ini terhitung mulai tahun 1013 M hingga 1492 M.
Periode Muluk al-Thawaif adalah masa umat Islam terpecah menjadi beberapa negara atau daerah kecil di bawah pemerintahan raja-raja golongan. Dinasti-dinasti kecil ini terkadang tidak segan-segan meminta bantuan kepada kekuatan Kristen di bagian utara Andalusia untuk menyerang atau mengalahkan dinasti Islam lainnya demi untuk mempertahankan kekuasaannya. Masa ini dimulai tahun 1013 M, sesaat setelah keruntuhan Dinasti Bani Umayyah II yang ditandai dengan penghapusan jabatan khalifah oleh dewan menteri di Cordova, dan berakhir pada tahun 1086 M. Meskipun kehidupan politik yang tidak stabil, namun kehidupan intelektual terus berkembang di berbagai istana-istana.
Selanjutnya masa Dinasti Murabithun merupakan salah satu dinasti Islam yang berkuasa di Maroko, Nama Al-Murabithun berkaitan dengan nama tempat asal mereka, Ribat, awalnya adalah sebuah gerakan keagamaan guna memurnikan ajaran agama yang berubah menjadi gerakan politik. Tahun 1086 M, dibawah kepemimpinan Yusuf ibn Tasyfin, dinasti ini memasuki Andalusia dan memulai sejarah kekuasaannya yang gemilang, bidang politik dan militer, arsitektur bangunan, ilmu pengetahuan dan filsafat dan sosial kemasyarakatan hingga tahun 1061 M. Sepeninggal Yusuf, Murabbithun mengalami kemunduran hingga pemimpin terakhirnya, Ishaq ibn Ali terbunuh tahun 1147 M dan Maroko direbut oleh kekuatan baru (Dinasti Al-Muwahhidun), kemudian tahun 1148 gubernur terakhir di Andalusia juga terbunuh pertanda akhir sejarah Dinasti Murabbithun di Andalusia.
Setelah berhasil mengalahkan Dinasti Murabbithun, Al-Muwahhidun yang didirikan oleh Muhammad ibn Tummart menguasai Maroko yang berlanjut pada penaklukkan Andalusia. Sama halnya dengan Murabbithun, berdirinya Dinasti Muwahhidun pada awalnya bertujuan memurnikan ajaran Islam, dalam hal ini yang telah dikotori orang-orang Murabbithun. Dinasti ini memulai kejayaannya ketika dipimpin oleh Abdul Mu’min bin ‘Ali tahun 1163 M, Maroko dapat dikuasai dan memasuki Andalusia tahun 1149 M untuk menumpas sisa-sisa kekuasaan Murabbithun. Pada masa kejayaannya ini berbagai kemajuan dapat dicapai seperti ilmu pengetahuan, sosial kemasyarakatan, politik dan militer dan peninggalan arsitektur. Tahun 1212 M, Muwahhidun mengalami kekalahan dari Alfonso pertanda awal kemundurannya. Hingga Abu Ya’kub Yusuf II yang masih belia, tidak mampu menjalankan pemerintahan, mengakibatkan perpecahan, terutama setelah kematiannya tahun 1224 M dan tidak meninggalkan keturunan yang dapat melanjutkan kepemimpinan Al-Muwahhidun. Akhirnya beberapa kelompok menjalankan pemerintahan di masing-masing daerah yang kemudian ditumpas oleh kekuatan Kristen dan berhasil diusir dari Andalusia sejak tahun 1236-1238 M, kecuali daerah Granada yang dikuasai Dinasti Bani Ahmar.
Kekuasaan terakhir Islam terdapat di Granada oleh Dinasti Bani Ahmar 1232-1492 M, pada masa ini, peradaban Islam kembali memgalami kemajuan, misalnya ilmu pengetahuan dan arsitektur bagunan megah. Akan tetapi secara politik dinasti ini hanya menguasai daerah yang kecil di tengah kepungan Kristen. Ancaman itu semakin besar ketika terjadi persekutuan antara penguasa Aragon dengan Castille yang semakin menyudutkan kekuatan Bani Ahmar. Setelah kepemimpinan Abu al-Hasan, berganti dengan Abu Abdullah al-Zaghlul, hingga yang terakhir Abdullah ibn Abu al-Hasan mendapat serangan bertubi-tubi dari Kristen, hingga akhirnya dapat dikalahkan. Abdullah dipaksa untuk menyatakan sumpah setia kepada Ferdinand, dengan syarat umat Islam diberi hak hidup dan kebebasan beragama. Berakhirlah masa kekuasaan Dinasti Bani Ahmar yang sekaligus kekuasaan Islam di Andalusia, meskipun masih ditemukan kelompok-kelompok kecil, hingga Akhirnya, Philip III dengan alat perundangannya mengusir umat Islam dari Spanyol tahun 1609 M.
Semoga umat muslim dapat menyadari arti penting sebuah negeri Andalusia bagi Islam dan sebaliknya, Islam bagi negeri Andalusia. Begitu juga negeri-negeri yang masih istiqamah menegakkan agama Islam (keselamatan) ini. Allah A’lam bi al-Shawab.


DAFTAR PUSTAKA

Amin, Samsul Munir, Sejarah  Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009)
Bosworth, G.E., Dinasti-Dinasti Islam, (Bandung : PT Mizan. 1993)
Faqih, Aunur Rahim & Munthoha, Pemikiran & Peradaban Islam, (Yogyakarta: UII Press, 1998)
Hakim, Moh. Nur, Sejarah dan Peradaban Islam, (Malang :UMM Pres, 2004)
Harun, Maidir dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam,  (Padang: IAIN IB Press, 2002)
Hitti, Philip. K, History of the Islamic People, (London: Rotledge & Kegan Paul, 1980)
Kamal, Zainun, Ibn Taimiyah Versus para Filosof Polemik Logika, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006)
Lapidus, Ira. M, Sejarah Sosial Umat Islam, jilid 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999)
Lewis, Bernard, Bangsa Arab Dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya)
Mufrodi, Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 2007)
Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973)
_____________, Teologi Islam: Aliran-aliran sejarah analisa perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986)
Syalabi, Ahmad, Maushu’ah Tarikh al-Islami, jilid IV (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyah, 1978)
Thohir, Ajib, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004)
Watt, W. Montgomery, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990)
Wijdan SZ, Aden dkk, Pemikiran & Peradaban Islam, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2007)
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993)




[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), h. 91
[2] Ahmad Syalabi, Maushu’ah Tarikh al-Islami, jilid IV (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyah, 1978), h. 34-35. Lihat juga Philip K. Hitti, History of the Islamic People, (London: Rotledge & Kegan Paul, 1980), h. 83
[3] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam,  (Padang: IAIN IB Press, 2002), h. 111-131
[4] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah..., h. 112.
[5] Amir adalah gelar untuk seorang panglima perang atau gubernur karena masih ada kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad sebagai pusat pemerintahan Islam, tetapi mereka tidak tunduk. Lihat, Badri Yatim, Sejarah... , h. 94-95
[6] Badri Yatim, Sejarah..., h. 96. Lihat juga, Aunur Rahim Faqih & Munthoha, Pemikiran & Peradaban Islam, (Yogyakarta: UII Press, 1998), h. 72-74
[7] Penggunaan gelar khalifah bermula dari berita tentang suasana pemerintahan Abbasiyah di Baghdad sedang berada dalam kemelut karena kematian khalifah Al-Muktadir oleh pengawalnya sendiri. Lihat. Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah..., h. 112
[8] Aden Wijdan SZ dkk, Pemikiran & Peradaban Islam, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2007), h. 42
[9] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah..., h.115-116. Lihat juga, Badri Yatim, Sejarah..., h. 97. W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), h. 217-218. Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, jilid 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h. 588. Aden Wijdan SZ. dkk, Pemikiran..., h. 43
[10] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah..., h. 113. Lihat juga, Badri Yatim, Sejarah..., h. 97-98
[11] Ira M. Lapidus, Sejarah..., h. 590
[12] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah..., h. 112
[13] Ira M. Lapidus, Sejarah..., h. 590
[14] Badri Yatim, Sejarah..., h. 98. Lihat juga Ira M. Lapidus, Sejarah..., h. 590
[15] G.E. Bosworth, Dinasti-Dinasti Islam, (Bandung : PT Mizan. 1993), h. 50
[16] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah..., h. 118
[17] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 2007), h. 112-113
[18] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah..., h. 119
[19] Ibid..., h. 120
[20] Ira M. Lapidus, Sejarah..., h. 590
[21] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah..., h. 125
[22] Badri Yatim, Sejarah..., h. 98
[23] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah..., h. 125
[24] Ibid..., h. 115
[25] Samsul Munir Amin, Sejarah  Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 270
[26] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah..., h. 130
[27] W. Montgomery Watt, Kejayaan..., h. 229
[28] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran sejarah analisa perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986) h. 76
[29] Samsul Munir Amin, Sejarah..., h. 272
[30] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah..., h. 132
[31] Ibid.
[32] Samsul Munir Amin, Sejarah..., h. 271. Lihat juga Moh. Nur Hakim, Sejarah dan Peradaban Islam, (Malang :UMM Pres, 2004), hal. 86
[33] Badri Yatim, Sejarah..., h. 99
[34] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah..., h. 129-130
[35] Aunur Rahim Faqih & Munthoha, Pemikiran..., h. 77
[36] Ajib Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 105 
[37] Badri Yatim, Sejarah..., h. 99
[38] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah..., h.140
[39] Ira M. Lapidus, Sejarah..., h. 594
[40] Badri Yatim, Sejarah..., h. 99-100
[41] Ibid..., h. 105
[42] Aunur Rahim Faqih & Munthoha, Pemikiran..., h. 80
[43] Ibid.
[44] Aunur Rahim Faqih & Munthoha, Pemikiran..., h. 80
[45] Ibid..., h. 81-82
[46] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah..., h. 123-12. Badri Yatim, Sejarah..., h. 99-101. Lihat juga Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 26-40.
[47] Bernard Lewis, Bangsa Arab Dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya), h. 171
[48] Badri Yatim, Sejarah..., h. 102. Lihat juga Philip K. Hitti, History..., h. 526-530
[49] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah..., h. 123
[50] Badri Yatim, Sejarah..., h. 102. Lihat Juga Zainun Kamal, Ibn Taimiyah Versus para Filosof Polemik Logika, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 146
[51] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah..., h. 123
[52] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah..., h. 137. Lihat juga Badri Yatim, Sejarah..., h. 103
[53] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah, h. 133-134. Lihat juga Badri Yatim, Sejarah..., h. 102-103
[54] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah..., h. 137. Lihat juga Badri Yatim, Sejarah..., h. 103
[55] Badri Yatim, Sejarah..., h. 105
[56] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah..., h. 138
[57] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah..., h. 125-129. Lihat juga Badri Yatim, Sejarah..., h. 107
[58] Ira M. Lapidus, Sejarah..., h. 598-599
[59] Ibid.
[60] Ira M. Lapidus, Sejarah..., h. 599
[61] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar