KATA PENGANTAR ......................................................................... iii
DAFTAR ISI ....................................................................................... vii
TRANSLITERASI ............................................................................. x
SINGKATAN-SINGKATAN ............................................................. xi
DAFTAR TABEL ............................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................. 1
A.
Latar Belakang Masalah................................................................................... 1
B.
Pembatasan dan
Perumusan Masalah .............................................................. 28
C.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian ..................................................................... 29
D.
Kerangka Teoritis dan Konsepsional ............................................................... 31
E.
Metodologi Penelitian ..................................................................................... 39
F.
Sistimatika Pembahasan .................................................................................. 43
BAB II HUKUM ISLAM DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA 45
A.
Pancasila Mengandung Nilai-Nilai yang Islami ............................................... 45
B.
Aspek-Aspek Hukum Islam dalam UUD 1945 dan GBHN ........................... 68
C.
Eksistensi Ketuhanan Yang Maha Esa dan Aspek-Aspek Hukum
Islam dalam Perundang-Undangan di Indonesia ..................................................................................................... 87
BAB III ANALISIS HUKUM KEWARISAN MENURUT KOMPILASI
HUKUM ISLAM DI INDONESIA 103
A.
Lahirnya Kompilasi Hukum Islam di Indonesia............................................... 103
B.
Redaksi Pasal-Pasal ......................................................................................... 115
C.
Materi Pasal-Pasal ............................................................................................ 124
D.
Ahli Waris dan Bagiannya ............................................................................... 151
E.
Wasiat Wajibah ................................................................................................ 182
BAB IV AHLI
WARIS PENGGANTI DALAM HUKUM KEWARISAN DAN ANALISIS PASAL 185 KOMPILASI HUKUM
ISLAM DI INDONESIA............................................. 190
A. Ahli Waris Pengganti Menurut BW dan Hukum Adat.................................... 190
B. Munculnya Masalah Ahli Waris Pengganti dalam Hukum Kewarisan Islam .. 198
C. Wasiat Wajibah sebagai Alernatif Penyelesaian Bagi Ahli Waris yang Tidak
Menerima Bagian .......................................................................................................................... 212
D. Analisis Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia ............................... 236
BAB V PELAKSANAN AHLI WARIS PENGGANTI................................................. 255
A.
Lokasi Penelitian ............................................................................................. 255
B.
Data yang Diperoleh ........................................................................................ 257
C.
Kelompok Ahli Waris Pengganti ..................................................................... 262
D.
Bagian Ahli Waris Pengganti .......................................................................... 270
E.
Cara Memberikan Bagian kepada Ahli Waris Pengganti ................................ 307
F.
Ahli Waris Pengganti Garis Lurus dan Menyamping ...................................... 311
G.
Tahun Kematian Pewaris dan Berlakunya Kompilasi Hukum
Islam ............... 325
H.
Analisis Perbandingan Ahli Waris Pengganti Menurut KHI
dengan Wasiat Wajibah 333
BAB VI PENUTUP.............................................................................................................. 344
A. Kesimpulan....................................................................................................... 344
B. Saran-Saran ...................................................................................................... 346
Dalil-Dalil ................................................................................................................................ 351
Daftar Pustaka ......................................................................................................................... 354
Lampiran-lampiran
:
I. Piagam Jakarta ...................................................................................................... 366
II. Instruksi Presiden RI No. 12/1968 ....................................................................... 367
III. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 .................................................................................. 369
IV. Butir-Butir Pengamalan Pancasila ........................................................................ 370
V. Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 2 Tahun 1994 ....................................... 374
VI. Konsep Penyempurnaan Pasal 185 KHI .............................................................. 375
VII. Buku II KHI tentang Hukum Kewarisan ............................................................ 385
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Salah satu keberhasilan umat Islam untuk membumikan hukum
Islam menjadi hukum positif di Indonesia, adalah telah tersusunnya Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia (KHI). KHI merupakan materi hukum Islam yang terdiri
dari tiga buku, yaitu yaitu
buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan dan buku III
tentang Perwakafan. KHI telah diberlakukan dengan Instruksi Presiden No. 1
Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 dan Keputusan Menteri Agama No. 154 tahun 1991
tanggal 22 Juli 1991.
Kalau kita perhatikan pasal-pasal KHI, khususnya
yangberkaitan dengan hukum kewarisan, banyak yang menarik untuk dikaji. Masalah
yang menarik untuk dikaji itu, baik
yangberkaitan dengan isi materi pasal, maupun konsistensi antara satu
pasal dengan pasal yang lainnya. Pasal-pasal yang menarik untuk dikaji itu
antara lain pasal 174 dan hubungannnya dengan pasal 192 dan 193, pasal 53
kaitannya dengan batas minimal kandungan yang ada hubungannya dengan hak pewarisan,
pasal 185 dan hubungannya dengan
pasal 173, pasal 192 dan 193 serta pasal-pasal lainnya.
Seperti para ahli waris yang tidak dijelaskan
secara rinci, contohnya masalah kakek, nenek, paman dan bibi tidak dijelaskan
secara rinci. Serta kedudukan ayah dan saudara perempuan ibu yang sehari-hari
dikenal dengan bibi. Kemudian permasalahan warisan dan wasiat, yaitu mengenai
permasalahan penghalang mendapat warisan maupun wasiat. Dan juga mengenai kawin
hamil yang menyangkut permasalahan anak yang lahir tentang kewarisannya.
Seterusnya mengenai ahli waris pengganti yang dimaksud dalam KHI tersebut juga
tidak dijelaskan secara rinci mengenai bagaimana cara memberikan kepadanya,
apakah ia mendapatkan bagian sebagai ahli waris pengganti atau ia mendapatkan
bagian sebagai ahli waris dalam kedudukan asalnya, dan masih banyak lagi masalah
yang menyangkut ahli waris pengganti ini yang harus dijelaskan secara rinci.
B.
Pembatasan dan
Perumusan Masalah
1.
Pembatasan masalah
a.
Kajian secara umum terhadap teks naskah hukum
kewarisan sebagaiman terdapat dalam buku II KHI, baik yang berhubungan dengan
materi pasal, maupun hubungan kesesuaian (konsistensi) antar pasal-pasalnya.
b.
Kajian secara khusus tentang ahli waris pengganti
sebagaimana diatur dalam pasal 185 KHI, serta pelaksanannya di Pengadilan
Agama, sejak KHI diberlakukan sampai dengan tahun 1997.
2.
Perumusan masalah
Khusus pada ketentuan pasal 185, di dalamnya masih
memungkinkan timbulnya berbagai penafsiran dalam pemahamannya. Selanjutnay
menarik untuk dikaji bagaimana pelaksanaan ahli waris pengganti tersebut di
Pengadilan Agama.
Oleh karena itu, perumusan masalah pokok dalam
penelitian ini adalah; apakah Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI) telah mampu menampilkan substansi
dan redaksi pasal hukum kewarisan Islam sebagai hukum positif di Indonesia
sebagaimana tujuan pembentukan KHI tersebut. Dari perumusan masalah pokok ini
dapat diajukan pertanyaan sebagai berikut:
a.
Sejauh mana pengaturan materi pengaturan hukum
Islam menurut KHI sebagai hukum positif di Indonesia, kalau dihubungkan denngan
tujuan pembentuka KHI tesebut bagi kestuan pemahaman menuju kesatuan dan
terciptanya kepastian hukum.
b.
Sejauh mana pengaturan ketentuan ahli waris
pengganti dalam pasal 185 KHI dan bagaimana pelaksanaannya di Pengadilan Agama.
C.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.
Tujuan penelitian
a.
Untuk mengetahui sejauh mana pengaturan hukum kewarisan
Islam menurut KHI sebagai hukum positif di Indonesia, kalau dihubunngakan
dengan tujuan pembentukan KHI tersebut, bagi ketentuan pemehaman dan kesatuan
hukum menuju terciptanya kepastian hukkum.
b.
Untuk mengetahui sejauh mana ketentuan ahli waris
pengganti, sebagai mana diatur oleh pasal 185 KHI dan bagaimana pelaksanaannya
di Pengadilan Agama.
2.
Kegunaan penelitian
a.
Dapat memberikan gambaran secara teoritis dan empiris
bagi penelitian selanjutnya, khususnya dengan makna yang dimaksud oleh
pasal-pasal hukkum kewarisan dalam KHI dan pelaksanaannya di Pengadilan Agama.
b.
Sebagai bahan pertimbangan bagi penyempurnaan KHI,
sehingga terwujud kejelasan, kesatuan dan kepastian hukum, khususnya yang
berkaitan dengan hukum kewarisan islam yang akan diterapkan di Pengadilan
Agama.
c.
Sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak yang
berkepentingan, terutama dalam mentransformasikan hukum Islam ke dalam hukum
nasional.
D.
Kerangka Teoritis dan Konsepsional
Karena ini kajian normatif, maka bahan utama yang akan
diteliti adalah data pustaka mengenai Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI),
khususnya buku II tentang kewarisan. Data pustaka yang akan dikaji berupa
naskah teks KHI, dan produk Pengadilan Agama mengenai pelaksanaan hukum
kewarisan menurut KHI, sepanjang mengenai pelaksanaan ahli waris pengganti
sebagaimana diatur oleh pasal 185.
Untuk melaksanakan penelitian di atas, menurut penulis
kerangka teoritis yang sesuai dengan kajian tersebut adalah pendangan tentang
tujuan pembentukan KHI itu sendiri, sebagaimana dijelaskan oleh Tim Penyusun
KHI Departemen Agma RI menurut Tim Penyusun KHI, bahwa selama pembinaan teknisi
yustisian Peradilan Agama oleh Mahkamah Agung (sebelum terbenuknye KHI, pen.),
terasa adanya beberapa kelemahan, antara lain soal hukum yang diterapkan di
lingkungan Peradilan Agama yang cendrung simpang siur disebabkan oleh perbedaan
pendapat ulama dalam hampir di setiap persoalan. Untuk mengatasi hal ini
diperlukan adanya satu hukum yang menghimpun semua hukkum terapan yang berlaku
bagi lingkungan Peradilan Agama, yang dapat dijadikan pedoman bagi para hakim
dalam melaksanakan tugasnya, sehingga terjamin adanya kesatuan dan kepastian
hukum bagi umat Islam Indonesia.
Istilah yang akan penulis jelaskan dalam kerangka
konsepsional pada penelitian ini, terutama mengenai maksud pengertian hukum
Islam, Hukum Positif, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI), hukum kewarisan
dan ahli waris pengganti atau penggantian ahliwaris.
E.
Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Penelitian ini
adalah penelitian hukum normatif, yang merupakan penelitian kepustakaan.
Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan bantuan materi bahan pustaka
yang vterdapat di perpustakaan. Studi pustaka yang dilakukan dalam penelitian
ini adalah studi pustaka tentang hukum kewarisan dalam KHI yang dilanjutkan
dengan uji empirik dari telaah teoritik, khususnya mengenai ahli waris
pengganti. Seiring denga itu di dalam penelitian ini digunakan metode analisis
isi (content analysis) dengan cara menafsirkan teks perundang-undangan
dan isi produk Pengadilan Agama.
2. Jenis Data
Jenis data yang
dikumpulkan dalam penelitian inidisesuaikan dengan pertanyaan yang telah
diajukan pada perumusan masalah dan tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena
itu data yang dikumpulkan meliputi: (1)
ketentuan hukum kewarisan dalam buku II KHI, khususnya mengenai pengaturan ahli
waris pengganti sebagaimana yang diatur oleh pasal 185, (2) ketrentuan hukum
kewarisan menurut pendapat para ulama fiqh mawaris dan (3) pelakasanaan
ketentuan ahli waris pengganti di Pengadilan Agama, sejalk KHI diberlakukan
sampai dengan tahun 1997.
3. Sumber Data
Sesuai dengan
jenis dan metode penelitian hukum normatif, maka data yang digunakan sifatnya
data sekunder. Data dealam penelitian ini bersumber dari; (1) teks KHI
khususnya buku II tentang hukum kewarisan, (2) berbagai pendapat para ulama
tentang hukum kewarisan sebagaimana terdapat dalam fiqh mawaris, (3)
pendapat ahli hukum (positif) tentang hukum kewarisan, (4) produk Penngadilan
Agama khususnya tentang ahli waris pengganti.
4. Teknik Pengumpulan
Data
Teknik pengumpulan
data yang digunakan adalah studi kepustakaan dan studi dokumentasi. Dengan
teknik ini peneliti menelaah teks perundang-undangan yang adea hubungannya
dengan masalah kewarisan, serta produk Pengadilah Agma tentang ahli waris
pengganti, dengan melalui langkah-langkah sebagai berikut; (1) menginventari
pasal-pasal KHI dan buku-buku yang berkaitan dengan hukum kewaerisan, khususnya
mengenai ahli waris pengganti, (2) mengumpulkan Produk Pengadilan Agama tentang
ahli waris pengganti dan (3) mendiskripsikan pasal-pasal KHI, pendapat para ulama
san ahli hukum positif serta produk Pengadilan Agma tentang ahli waris
pengganti.
5. Analisis Data
Setelah data
terkumpul, langkah berikutnya adalah menganalisis data tersebut dengan
menggunakan metode descriptive analysis dan correlative analysis.
Dalam analisis ini dilakukan dengan melalui tahap kategorisasi dan klasifikasi,
serta pencarian hubungan antar data yang secara spesifik ada hubungan antar
variabel. Pada tahap pertama, dilakukan seleksi data tentang hukum kewarisan
khususnya mengenai ahli waris pengganti, kemudian diklasifikasikan kepada tiga
kategori, yaitu makna substantif dari pasal-pasal KHI, pendapat para ulama dan
para ahli hukum positif serta produk Pengadilan Agama. Ketiga jenis data ini
diperoleh melalui pemahaman teks atau naskah. Pada tahap kedua, dicari korelasi
antara pasal-pasal KHI dan pendapat para ulama dan para ahli hukum positif,
yang kemudian dikaitkan dengan pelaksanaan pasal-pasal tersebut di Pengadilan
Agama. Adapaun data yang di analisis dalam penelitian ini adalah data kualitatif,
sedang data kuantitatif hanya digunakan untuk memperkuat data kualitatif.. jadi
dalam penelitian ini data kuantitatif hanya sebagai peleengkap analisis, bukan
sebagai sumber utama analisis.
6. Teknik Penulisan
Teknik penulisan
disertasi ini berpedoman kepada buku “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan
Disertasi IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta” dan buku “panduan Program
Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta”. Tranliterasi Arab-Latin
menggunakan pedoman sebagimana termuat dalam buku panduan di atas.
F.
Sistimatika Pembahasan
Sistimatika pembahasan dalam penelitian ini, akan
disusun sebagai berikut:
Bab pertama berisi pendahulian yang memuat latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan
penelitian dan sistimatika pembahasan.
Bab kedua berisi hukum Islam dalam
perundang-undangan di Indonesia, yang memuat uraian tentang pancasila
mengandung nilai-nilai yang Islami, aspek-aspek hukum Islam dalam UUD 1945,
dalam GBHN dan dalam perundang-undangan di Indonesia.
Bab ketiga berisi analisis hukum kewarisan dalam
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI), yang memuat uraian lahirnya KHI,
analisis redaksi pasal-pasal, materi pasal-pasal, kelompok ahli waris dan
bagian-bagiannya, serta uraian tentang wasiat wajibah.
Bab keempat berisi analisis ahli waris pengganti,
yang memuat ahli waris pengganti menurut BW dan hukum adat, munculnya masalah
ahli waris pengganti dalam hukum kewarisan Islam, wasiat wajibah sebagai
alternatif penyelesaian bagi ahli waris yang terhalang menerima warisan dan
analisis pasal 185 KHI.
Bab kelima berisi penjelasan ahli waaris pengganti
di Pengadilan Agama, yang memuat uraian lokasi penelitian, data yang diperoleh,
kelompok ahliwaris pengganti dan bagiannya, cara memberikan bagian kepada ahli
waris pengganti, ahliwaris pengganti dalam garis lurus dan menyamping dan tahun
penyelesaian kewarisan yang memuat ahli waris pengganti dihubungkan dengan
tahun meninggalnya pewaris dan tahun berlakuknya Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Bab keenam merupakan bab penutup yang berisikan
kesimpulan dan saran.
BAB II
HUKUM ISLAM DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
A.
Pancasila Mengandung Nilai-Nilai yang Islami
1. Rumusan Pancasila
Ir. Soekarno dalam pidatonya mengemukakan tentang pancasila
sebagai dasar negara, yaitu sebagai berikut:
“saudara-saudara!
“Dasar Negara” telah saya usulkan Lima bilangannya. Inikan Panca Darma? Bukan!.
Nama Panca Darama tidak tepat di sini. Darma berarti kewajiban, sedang kita
membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun
Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai panca indra. Apa
lagi yang lima bilangannya? (seorang yang hadir: pandawa lima). Pandawapun lima
orangnya. Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat,
kesejahteraan dan ketuhanan, lima pula bilangannya.
Nama bukan
panca darma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli
bahasa, namanya adalah Pancasila. Sila artinya asas atau dasar, dan di atas
kelima dasar itulah kita mendirikan bangsa Indonesia, kekal dan abadi.”
Dari uraian di atas nampak bahwa Ir. Soekarno menyebut
pancasila sebagai dasar negara. Rumusan pancasila tersebut kemudian tertuang
dalam Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945.
Sebenarnya rumusan pancasila yang berlaku sekarang ini,
adalah rumusan pancasila sebagaimana terdapat dalam piagam jakarta yang dibuat
pada tanggal 22 Juni 1945, yaitu rumusan pancasila sebelum dihilangkan tujuh
kata pada tanggal 18 Agustus 1945. Atau dengan kata lain secara substansial
rumusan pancasila yang berlaku sekarang ini adalah rumusan sebagaimana terdapat
dalam redaksi alinea keempat pembukaan UUD 1945 yang diberlakukan kembali
dengan dekrit presiden 5 juli 1945, ditambah dengan tujuh kata yang hilangkan
tanggal 18 agustus 1945.
2. Pancasila sebagai
Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa
Dalam kedudukannya sebagai dasar negara dan pandangan
hidup bangsa, maka pancasila tidak dapat diubah . hukum di Indonesia tidak
membenarkan perubahan Pancasila, karena pancasila sebagai sumber dari segala
sumber hukum di Indonesia. Merubah pancasila, berarti mengubah dasar atau asas
negara. Kalau dasar, asas atau fundamen dari negara tersebut diubah, maka
dengan sendirinya negara yang diproklamasikan hasil perjuangan para
pahlawan-pahlawan kita 53 tahun yang lalu akan berubah atau tidak ada. Hal ini
tentunya tidak diingini oleh bangsa Indonesia, karena kalua terjadi, berarti
mengkhianati pejuan dan para pahlawan kita terdahulu.
3. P4 dan Butir-Butir
Pengamalan Pancasila
a.
Pedoma Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
Setelah mengalami proses pengajuan pertimbangan dari
presiden kepada MPR dan setelah mengalami pembahasan di MPR, maka pada tangggal
22 Maret 1978 kelurlah Tap MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P4). P4 disebut juga Ekaprasetia Pancakarsa,
artinya tekad yang tunggal untuk melaksanakan lima kehendak. Dalam hal ini
maksudnya tekad yang tunggal, janji yang luhur kepada diri sendiri untuk
menghayati dan mengamalkan kelima sila dari pancasila. Dengan kelusrnya P4
tersebut, bangsa indonesia tidak hanya memiliki kesepakatan nasional mengenai
pancasila, akan tetapi bangsa indonesia juga memiliki kesepakatan nasional
pedoman untuk menghayati dan mengamalkannya.
b.
Butir-Butir Pengamalan Pancasila
Bangsa indonesi melalui ketetapan MPR No. II/MPR/1978,
telah membuat kesepakatan tentang pedoman bagaimanacara mengamalkan pandangan
hhidupnya yaitu pancasila. Pengamalan pancasila sebagaimana dikehendaki oleh
Tap MPR tesebut, kemudian oleh Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila (BP7) melalui Tim yang dibentuknya, dirinci kepada 45
butir-butir pengamalan sila-sila dari pancasila tersebut. Walaupun tentu
butir-butir pelaksanaan dan pengamalan pancasila itu, sebenarnya tidak hanya
terbatas kepada 45 butir tersebut.
4. Pancasila sebagai
Sumber Hukum tidak bertentangan dengan Hukum Islam
Pancasila dalam kedudukannya, sejak lahirnya secara
formal sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945, sebgai tercantum
dalam pembukaan UUD 1945, tidak bisa dipisahkan dari peran serta umat Islam di
dalamnya. Rumusan pancasila yang tercantum di dalam piagam jakarta disusun oleh
sembilan orang, delapan orang beragama Islam dan satu orang non Islam.
5. Sila-Sila Pancasila
Sejalan dengan Islam
Rumusan pancasila dalam penelitian ini adalah pancasila
sebagaimana tecantum dalam alinia keempat pembukaan UUD 1945 yang dijiwai oleh
piagam jakarta (sebagaimana disebutkan dalam dekrit presiden 5 juli 1959) yang
ditegaskan dalam inpres no 12 tahun 1968. Kelima sila dalam pancasila tersebut,
demikian juga butir-butir pengamalannya yang dirumuskan dalam pedoman
penghayatan dan pengamalan pancasila (P4), kalau dinilai dari hukum Islam,
sebenarnya memang mengandung dan mempunyai nilai-nilai Islam di dalamnya.
B.
Aspek-Aspek Hukum Islam dalam UUD 1945 dan GBHN
1. Prinsip-Prinsip
Kenegaraan dan Hak Asasi dalam UUD 1945
a.
Pokok-Pokok Pikiran
Pokok-pokok pikiran pembukaan UUD 1945, disebutkan dalam
penjelasan umum UUD tesebut. Ada empat pokok pikiran, yang secara singkat dapat
dikemukakan (1) Persatuan, (2) Keadilan Sosial, (3) Kedaulatan Rakyat, (4)
Ketuhanan Yang Maha Esa.
b.
Sistim Pemerintahan
Sistim pemerintahan negara republik Indonesia ditegaskan
oleh UUD 1945 sebagai berikut:
1) Indonesia adalah
negara yangberdasar atas hukum (rechstaat), tidak berdasar atas
kekuasaan belaka (machstaat)
2) Pemerintah
berdasar atas sistem kostitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutisme
(kekuasaan yang tidak tebatas)
3) Kekuasaan negara
yang tertinggi berada di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sebagai penjelmaan
seluruh rakyat Indonesia.
4) Presiden adalah
penyelenggara pemerintah negara yaang tertinggi di bawah MPR, ia tunduk dan
bertanggunng jawab kepada MPR.
5) Presiden tidak
bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
6) Menteri negara
ialah pembantu presiden, ia tidak bertangung jawab kepada DPR, namun ia
bertanggung jawab kepada Presiden.
7) Kekuasan kepala
negara tidak terbatas. Ia bukan diktator.
c. Hak asasi manusia
dalam UUD 1945
Dalam batang tubuh UUD 1945 hak asasi manusia dapat
dilihat antara lain: pasal 27 tentang persamaan dalam hukum dan penghidupan
kemanusiaan, pasal 28 tentang kebebasan dalam berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pikiran, pasal 29 tentang kemerdekaan untuk memeluk agama, pasal
31 tentang hak untuk mendapatkan pengajaran, pasal 32 tentang perlindungan yang
bersifat kultural, pasal 33 tentang hak-hak ekonomi dan pasal 34 tentang
kesejahteraan sosial.
2. Prinsip-Prinsip
dalam UUD 1945 tidak bertentangan dengan hukum Islam
a.
Taat kepada Allah, Rasulullah dan Ulil Amri, ditegaskan dalam
surat al-Nisa: 59
b.
Prinsip musyawarah, ditegaskan dalam surat al Syura: 38
dan surat Ali Imran: 159
c.
Menegakkan keadilan, ditegaskan dalam surat al Maidah: 8,
al-Nahl: 90 dan al-Mutahanah: 8
d.
Ditegakkannnya Hak Asasi manusia
1)
Persamaan derajat, hak dan kewajiban dihadapan hukum
antara sesama manusia, dengan memberikan kelebihan derajat kepada yang taqwa
kepada Allah SWT, ditegaskan dalam surat al-Isra’: 70 dan al-Hujurat: 13.
2)
Kebebasan dan tidak ada paksaan dalam memeluk agama,
sebagaimana ditegaskan dalam surat al-Baqarah: 256, Yunus: 99, al-Syura’: 15
dan al-Kafirun: 6.
3)
Hak mendapatkan kehidupan yang layak, ditegaskan dalam
surat al-Harsy: 7, al-Dzariyat: 19 dan al-Hadid: 7.
3. Konsep Pembangunan
Nasional dalam GBHN sejalan dengan Hukum Islam
a.
Konsep pembangunan dalam GBHN
1)
Pembangunan Nasional Indonesia
a)
Pengertian GBHN
b)
Hakikat dan tujuan pembangunan nasional
c)
Asas-asas pembangunan nasional
d)
Modal dasar pembangunan nasional
2)
Pembangunan bidang agama
a)
Pembangunan bidang agama dalam jangka panjang kedua
b)
Pembangunan dalam bidang agama dalam limatahun keenam
b.
Prinsip-prinsip hukum Islam dalam pembangunan
C. Eksistensi
Ketuhanan Yang Maha Esa dan Aspek-Aspek Hukum Islam dalam Perundang-Undangan di
Indonesia
1.
Eksistensi Ketuhanan Yang Maha Esa dalam
perundang-undangan
a.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959
b.
Perasayaratan Presiden, wakil Presiden dan Anggota
MPR
c.
Undang-Undang No. 14 tahun 1970
d.
Persyaratan menjadi hakim
e.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960
f.
Instruksi Presiden No. 13 Tahun 1980
g.
Undang-Undang No. 2 Tahun 1989
h.
Semua Tap MPR dan Undang-Undang didahului dengan
kata-kata “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA”
i.
Pengakuan takwa kwpada Tuhan Yang Maha Esa dalam
sumpah KORPRI dan ABRI
2.
Nilai-Nilai religious dan aspek-aspek hukum Islam
dalam UU No. 1 Tahun 1974
a.
Nilai-Nilai religious dalam UU No. 1 Tahun 1974
b.
Materi UU No. 1 Tahun 1974 yang berasal dari hukum
Islam
3.
UU No. 7 Tahun 1989 merupakan realisasi
berlakuknya hukum Islam di Indonesia
4.
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia merupakan hukum
materil di Pengadilan Agama
BAB III
ANALISIS HUKUM KEWARISAN MENURUT KOMPILASI
HUKUM ISLAM DI INDONESIA
A.
Lahirnya Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI)
Eksistensi hukum Islam dalam perundang-undangan di
Indonesia, nampat terlihat antara lain UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
jo PP No. 9 Tahun 1975, PP No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan, UU No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama. Namun implementasi Hukum Islam tersebut bagi
masing-masing yang berkepentingan kadang-kadang menimbulkan pemahaman yang
berbeda. Umpama hukum Islam yang diterapkan di Pengadilan Agama yang cendrung
simpang siur disebabkan oleh perbedaan pendapat Ulama dalam hampir disetiap
persoalan. Disamping itu kadang-kadangmasih banyak kerancuan dalam memahami
fiqh yang dipandang sebagai hukum yang harus diberlakukan, bukan sebagai pendapat
(doktrin, fatwa) ulama yang dijadikan pertimbangan dalam menetapakn hukum.
Pada saat itulah diperlukan adanya keseragaman
pemahaman dan kejelasan tentang hukum Islam yang harus dijadikan pegangan,
terutama oleh para hakim di Penngadilan Agama. Keinginan untuk menyeragamkan
hukum Islam itu, menimbulkan gagasan sampai terwujudnya Kmpilasi Hukum Islam di
Indonesia (KHI). Oleh karena untuk dapat berlakunya hukum Islam di Indonesia,
harus ada antara lain hukum yang jelas
dan dapat dilaksanakan baik oleh aparat penegak hukum maupun oleh
masyarakat. Keinginan untuk menyeragamkan hukum Islam dalam bentuk kompilasi,
didorong juga oleh suatu kenyataan, bahwa sebelum terbentuknya KHI tersebut
hukum Islam yang berlaku itu tidak tertulis dan berserak-serak di berbagai
kitabyang sering berbeda tentang hal yang sama antara satu dengan yang lainnya.
B.
Redaksi Pasal-Pasal
1.
Keseragaman Istilah
a.
Istilah hilangnya nyawa orang
Kata atau istilah yang dipergunakan dalam naskah resmi, seperti
undang-undang, keputusan menteri, inpres, dan lain-lain, seyogyanya
mempergunakan istilah yang konsisten. Dalam KHI ditemukan istilah untuk
hilangnya nyawa orang dua bentuk, yaitu “meninggal” dan “meninggal dunia”.
Seyoyanya dipakai satu istilah saja supaya konsisten.
b.
Istilah harta bersama
Dalam KHI harta bersama disebut dengan “gono gini”. Sementara dalam
perundang-undangan sebelumnya memakai istilah “harta bersama”. Sebaiknya KHI
juga menggunakan istilah “harta bersama” sepaya seragam dengan peraturan
sebelumnya.
2.
Pengertian Ahli Waris
3.
Pengertian harta warisan dan pengeluaran untuk
wasiat
4.
Pengertian wasiat
C. Materi Pasal-Pasal
1. Pengertian beragama
Islam
2. Kewajiban baitul mal
3. Cara membuat wasiat
4. Batalnya wasiat
a. Batalnya wasiat
bagi seseorang
1) Ketentuan pasal
197 ayat (1)
2) Ketentuan pasal
197 ayat (2)
b. Batalnya wasiat
bagi lembaga
5. Wasiat bagi pembuat
wasiat dan saksi-saksi
6. Penyusutan atau
kerusakan benda wasiat
7. Halangan menjadi ahli
waris
8. Anak luar kawin
D. Ahli Waris dan Bagiannya
1. Pengelompokkan
ahli waris dan bagiannya
2. Kedudukan saudara
dan bagiannya
a. ‘Asabat ma’a
al ghair (ma’a ghairihi)
b. Berkumpulnya
saudara kandung dengan saudara seibu dan saudara seayah
3. Besarnya bagian
ayah
E. Wasiat Wajibah
BAB
IV
AHLI WARIS PENGGANTI DALAM HUKUM KEWARISAN
DAN ANALISIS PASAL 185 KOMPILASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA
A.
Ahli Waris Pengganti
Menurut BW dan Hukum Adat
1.
Ahli Waris Pengganti
Menurut BW
Menurut kitab
undang-undang hukum perdata/Burgerlijk Wetboek (BW), ada dua cara
pewarisan, yaitu (1) pewarisan karena menurut undang-undang (wettelijk
erfrecht), atau disebut juga dengan pewarisan tanpa wasiat (ab intestaat
erfrecht), (2) pewarisan karena wasiat (testamenteir erfrecht). Ahli
waris menurut undang-undang (wettelijk erfgenaam) adalah ahli waris yang
ditunjuk atau ditentukan oleh undang-undang itu sendiri, sedangkan ahli waris
karena wasiat (testamenteir erfgenaam) adalah ahli waris berdasarkan
penunjukkan wasiat pewaris. Jadi kalau yang menjadi dasar pewarisan tanpa
wasiat adalah undang-undang, maka pewarisan karena wasiat adalah testament
(wasiat).
2.
Ahli Waris Pengganti
Menurut Hukum Adat
Menurut hukkum waris
adat, untuk menentukan siapa yang akan jadi ahli waris dari seseoranng,
ditentukan dua macam garis pokok, yaitu garis pokok keutamaan dan garis pokok
penggantian. Garis pokok keutamaan adalah garis hukum yang menentukan urutan
keutamaan, golongan yan lebih diutamakan dari yang lain. Garis keutamaan ini
adalah mereka yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris. Kelompok keutamaan
pertama; keturunan pewaris, kelompok keutamaan kedua; orang tua pewaris, kelompok
keutamaan ketiga; saudara pewaris dan keturunannya, kelompok keutamaan keempat;
kakek dan nenek pewaris dan seterusnya. Sedang garis pokok penggantian adalah
garis hukum yang bertujuan untuk menentukan siapa saja dalam kelompok keutamaan
tertentu yang tampil menjadi ahli waris.
B. Munculnya Masalah Ahli Waris Pengganti dalam Hukum Kewarisan Islam
1. Pengelompokkan ahli waris
a. Dzawi al furudl (mereka yang mendapat bagian yang telah ditentukan)
b. ‘Ashabat (mereka yang mendapat bagian yang belum ditentukan)
c. Dzawi al arham (mereka yang mempunyai hubungan nasab denga
pewaris, yang tidak termasuk dzawi al furudl dan tidak termasuk kepada‘ashabat)
2. Prioritas penerimaan warisan
Prioritas penerimaan warisan
bagi ahli waris dalam tiga kelompok tersebut, pertama harta diberikan kepada
dzawi al furudl, kalau tidak ada dzawi al furudl, maka pembagian
beralih ke ‘ashabat, kalau ‘ashabat
juga tidak ada, maka yangmenjadi ahli waris adalah dzawi al arham.
Dalam masing-masing kelompok
ditentukan pula prioritas penerimaanny. Seseorang yang mempunyai prioritas
penerimaan bisa menghalangi atau menutup (hajib) terhadap ahli waris
lain, sehingga penerimaan orang bisa menjadi lebih kecil atau bahkan tidak
mendapatkan warisan (mahjub).
3. Kedudukan cucu dan munculnya masalah ahli waris pengganti
Cucu dalam kewarisan islam
mempunyai kedudukan yang tidak sama, mereka dapat dibedakan menjadi empat
macam;
a.
Anak laki-laki dari anak
laki-laki (ibn al ibn) dan seterusnya kebawah melaluui garis laki-laki
b.
Anak perempuan dari anak
laki-laki (bint al ibn) dan seterusnya kebawah melaluui garis laki-laki
c.
Anak laki-laki dari anak
perempuan (ibn al bint) dan seterusnya kebawah melaluui garis perempuan
d.
Anak perempuan dari anak
perempuan (bint al bint) dan seterusnya kebawah melaluui garis perempuan
C. Wasiat Wajibah sebagai Alernatif Penyelesaian Bagi Ahli Waris yang Tidak Menerima
Bagian
1. Kajian
kedudukan cucu dalam pertemuan ilmiah
a. Seminar hukum nasional yang diselenggarakan dari tanggal 12 s.d 16 Maret
1963
b. Seminar hukum waris bagi umat Islam yang diselenggarakan dari tanggal 22
s.d 26 Mei 1978
c. Diskusi tim pengkajian hukum Islam BPHN tentang kewarisan tanggal 20
Desember 1981
d. Simposium hukum kewarisan Islam dalam hukum pembaharuan perdata nasional
yang diselenggarakan dari tanggal 21 s.d 23 Desember 1981
e. Seminar hukum waris pada tanggal 5 s.d 8 April 1982
f. Sinopsis hukum waris nasional pada tanggal 10-12 Februari 1983
2. Ketentuan wasiat wajibah dan cara memberikan bagian kepada cucu yang
terhalang melalui wasiat wajibah
Sehubungan dengan kedudukan
cucu yang terhalang untuk menerima bagian warisan, para ulama memberikan
alternatif penyelesaian untuk memberikan bagian bagi cucu tersebut. Mereka
mengajukan alternatif penyelesaian itu dengan cara wasiat wajibah, sebagaimana
terdapat dalam undang-undang wasiat di Mesir. Hal tersebut sebagaimana
dikemukakan oleh Hasbi Ashshiddieqy, Wahab Arif, Toha Yahaya Omar dan Mahmud
Yunus.
3. Wasiat wajibah belum menuntaskan penyelesaian ahli waris yang terhalang
Pemberian bagian kepada cucu yang
terhalang menurut wasiat wajibah, bukan sebagai pengganti dari orang tuanya
yang meningggal dunia terlebih dahulu. Namun ketentuan itu merupakan wasiat
yang harus dilaksanakan sekalipun tidak diikrarkan. Bagian yang dapat diberikan
maksimal sepertiga, dan bagi keturunan anak perempuan dibatasi hanya pada
lapisan pertama (al thabaqat al ula).
Melihat uraian di atas,
nampaknya penyelesaian melalui wasiat wajibah untuk memberikan bagian kepada
keturunan yang terhalanng oleh saudara orang tuanya, yang telah meninggal
terlebih dahulu belum tuntas pengaturannya.
D. Analisis Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Dari ketentuan pasal 185 KHI
tesebut, paling tidak dapat dipahami hal-hal sebagai berikut
1)
Apabila ada ahli waris yang
meningggal terlebih dahilu sebelum pewaris meninggal, maka kedudukan ahli waris
tesebut dapat digantikan oleh anaknya.
2)
Hubungan ahli waris dengan
pewaris tidak disebutkan secara eksplisit, bahwa ahli waris adalah anak pewaris
dan anak ahli waris adalah cucu pewaris
3)
Isi pasal tersebut tisak
bersifat imperatif. Hal ini bisa dilihat dari kata “dapat” dalam pasal
tersebut
4)
Ketentuan pasal 185 ayat (1)
dibatasi oleh pasal 173, yaitu yang dinyatakan terhalang menjadi ahli waris
5)
Bagian yang akan diterima oleh
ahli waris pengganti tidak boleh melibihi dari bagian yang diterima oleh ahli
waris yang sederajat dengan yang diganti (orang tuan yang mengganti)
Sehubungan denga pemahaman di
atas, nampaknya dalam pasal tersebut, banyak masalah yang menarik untuk dikaji.
Masalah itu terutama dalam hubungannya dengan ketentuan hukum kewarisan Islam menurut
pendapat para ulama dan hubungannya dengan pasal-pasal dalam KHI itu sendiri.
Masalah yangmenarik untuk dikaji itu adalah antara lain:
1)
Hubungan dengan kelompok dzawi
al furudl
2)
Hubungan dengan kelompok ‘ashabat
3)
Penerimaan dzawi al arham yang
lebih besar dari dzawi al furudl
4)
Apakah ahli waris pengganti
menghalangi ahli waris lain
5)
Apakah pemberian yang diberikan
pewaris kepada ahli waris penggnati diperhitungkan atau tidak
6)
Hubungan pasal 185 dengan pasal
173 dan pasal 171
BAB
V
PELAKSANAN AHLI WARIS PENGGANTI
A. Lokasi Penelitian
1)
Pengadilan Agama Jakarta Selsatan
2)
Pengadilan Agama Jakarta Utara
3)
Pengadilan Agama Jakarta Timur
4)
Pengadilan Agama Jakarta Barat
5)
Pengadilan Agama Jakarta Pusat
6)
Pengadilan Agama Bekasi
7)
Pengadilan Agama Tanggerang
8)
Pengadilan Agama Serang
9)
Pengadilan Agama Pandeglang
10) Pengadilan Agama
Rangkasbitung
B. Data yang Diperoleh
Selain data kepustakaan, data lapangan yang akan dikaji
dalam penelitian ini, bersumber dari prodik Pengadilan Agama berkaitan dengan
enyelesaian kewarisan yang memuat kasus ahli waris pengganti. Penelitian
dilakukan dengan pengajian produk Pengadilan Agama tersebut sejak diberlakukan
KHI (diambil dari tahun 1992) sampai tahun 1997.
Selanjutnya dari data yang penulis dapatkan akan dikahi
sejauh mana pelaksanaan ahli waris pengganti sebgagaiman disebutkan dalam pasal
185 KHI kajian akan difokuskan pada masalah sebagai berikut:
1) Pengelompokkan
ahli waris pengganti dihubungkan dengan jenis kelompok dzawi al arham,
kelompok ahli waris yang terkena hijab hirman dan kelompok ahli waris ‘ashabat.
2) Tentang besarnya
bagian yang diberikan kepada ahli waris pengganti dibangdingkan dengan besarnya
bagian yang diterima oleh ahli waris yang sederajat denga yang diganti.
3) Pelaksanaa ahli
waris pengganti oleh keturunan anak pewaris (cucu dst) dan oleh keturunan
saudara pewaris serta keturunan ahli waris lainnya.
4) Tahun kematian pewaris
dihubungkan dengan mulai berlakuknya KHI
C. Kelompok Ahli
Waris Pengganti
Dari lokasi penelitian, kelompok ahli waris yang menerima
bagian sebagai ahliwaris pengganti, bisa dibedakan kepada kelompok dzawi al
araham sebanyak 42,04% (37 AP), kelompok yang terkenma hijab hirman sebanyak
39,77% (35 AP) dan kelompok ‘ashabat sebanyak 18.19% (16 AP).
Dari data di atas nampak ebanyak 18,19% ada yang
menempatkan cucu atau keturunan dari ahli waris yang meninggal terlebih dahulu
sebelum pewaris, sebagai ahli waris pengganti, padahal sebenarnya mereka (cucu
tersebut) kedudukannya buakan sebagai ahli waris pengganti. Mereka menerima
bagian karena kedudukan mereka yang menjadi ahli waris. Dalam kasus tersebut
mereka sebagai kelompok ‘ashabat yang tidak terkena hijab hirman.
D. Bagian Ahli Waris
Pengganti
Hasil temuan di lokasi penelitian menunjukkan bahwa
pemberian bagain kepada ahli warispengganti tersebut tidak seragam. Data di
lokasi penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 47 kasus (72,30%) dari 65 kasus
memberi bagian kepada ahliwaris pengganti tidak melebihai bagian yang diterima
olah ahli waris yang sederajat yang digantikan. Selanjutnya 16 kasus (24,60%)
dari 65 kasus, besarnya bagian kepada ahli waris pengganti, melebihi besarnya
bagian ahhliwaris sederajat dengan ahli waris yang digantikan. Hal tersebut
terjadi karena besarnya bagian yang diberkan kepada ahli waris pengganti, utuh
sebesar bagian yang seharusnya diberikan kepada ahli waris yang digantikan
tersebut, tanpa memperhatikan bagian yang diterima oleh ahli waris yang
sederajat dengan yang digantikan.
Ketidak seragaman pemberian bagian kepada ahli waris
penggganti ini, tentu tidak akan terjadi apabila ada kesatuan pemahaman
terhadapa pasal 185 KHI tersebut. Keadaan ini menunjukkan belum ada kesatuan
dalam pelaksanaan KHI (paling tidak di lokasi penelitian), khususnya dalam
memahami dan melaksanakan makna yang dikehendaki olah pasal 185 KHI tersebut.
Tentu hal ini merupakan sesuatu yangtidak kita inginkan, kalau dihubungakn
denga tujuan pembentukan KHI yang menghendaki adanya kesatuan hukum, menuju
terciptanya kepastian hukum, dalam bidang hukum kewarisan bagi orang Islam.
E. Cara Memberikan
Bagian kepada Ahli Waris Pengganti
Diskusi hakim dalam lingkungan Pengadilan Agama Jakarta
Pusat tahun1995, mengungkapkan bahwa salah satu kendala pelaksanaan ahli waris
pengganti adalah masalah cara memberikan bagian kepada ahli waris pengganti
tersebut. Walaupundalam makalah pada diskusi tersebut tidak jelas bagaimana
kendalanya. Hanya dalam makalah itu disebutkan alternatif cara memberikan
bagian kepada ahli waris pengganti itu, antara lain dengan cara bagian ahli
waris yang meninggal terlebih dahulu, dikurangi dahulu sehingga menjadi sama
dengan bagian yang paling kecil dari bagian ahli waris yang sederajat dengan
yang digantikan. Apabila bagian ahli waris yang diganti lebih besar dari bagian
ahli waris yang sederajat, maka sisanya dikembalikan (raad) kepada
seluruh ahli waris yang ada sesuai perbandingan.
F.
Ahli Waris Pengganti Garis Lurus dan Menyamping
Secara eksplisit, pasal 185 KHI tidak menyebutkan tentang
hubungan ahli waris pengganti dengan pewaris. Apakah hubungan pewaris dengan
ahli waris pengganti merupakan hubungan kakek dengan cucu, apabila pewaris itu
adalah orang tua dari ahli waris, atau hubungan paman dengan keponakan, apabila
pewaris itu saudara dari ahliwaris. Redaksi pasal 185 bersifat tebuka, artinya
ahli waris pengganti bisa siapa saja yang merupakan anak dari ahli waris yang
meningggallebih dahulu dari pewaris.
Data di lokasi penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan
ahli waris pengganti itu terjadi dalam garis lurus kebawah yaitu cucu
(keturunan anak) dan dalam garis yang menyamping (keturunan saudara). Dalam
penelitian , terlihat bahwa pelaksanaan ahli waris pengganti dalam garis lurus
kebawah ada 52 AP (80,00%) dana dalam pelaksanaan dalam garis menyamping ada 12
AP (18,46%). Di samping tiu ada satu ahli waris pengganti dari keturunan (cucu)
saudara perempuan ibu (ibn ibn al khalah).
G. Tahun Kematian
Pewaris dan Berlakunya Kompilasi Hukum Islam
Mahkamah Agung melalui putusannya No. 221K/AG/1993
tanggal 2 Juni 1994, tidak membenarkan pemberlakuan KHI bagi kasus yang terjadi
sebelum berlakunya KHI tersebut. Dari data yang didapatkan, bahwa cukup besar
perhatian masyarakat terhadap ketentuan ahli waris pengganti tersebut. Sebab
ternyata keluarnya ketentuan pasal 185 KHI tersebut, banyak peristiwa kematian
sebelum berlakunya KHI tersebut yang memuat ahli waris pengganti (35 kasus,
53,85%), para ahli waris membawa kasus tersebut ke pangadilan utnuk mendapatkan
penyelesaian. Dari 35 kasus di lokasi penelitian yang diselesaikan tersebut, 30
kasus diantaranya diselesaikan di Pengadilan Agama, berdasarkan hukum kewarisan
Islammelalui akta pembagian waris tanpa sengketa. Ini berarti mereka menerima
dengan baik ketentuan pembagian harta warisan yang memuat ahli waris pengganti
sebagaimana diatur dalam pasal 185 KHI.
H. Analisis
Perbandingan Ahli Waris Pengganti Menurut KHI dengan Wasiat Wajibah
Bahwa pengaturan ahli waris pengganti menurut pasal 185
KHI, lebih dapat diterima dibandingkan dengan ketentuan dalam wasiat wajibah.
Karena penentuan dalam KHI merupakan proses pemberian kepada ahli waris, tidak
mengkaitkan dengan wasiat. Dalam praktek penyelesaian menurut KHI, bisa terjadi
ada wasiat sampai sepertiga harta peninggalan, sementara ahli waris penggantu
pun mendapat bagiannya, suatu keadaan yang tidak mungkin terjadi dalam
pelaksanaan wasiat wajibah.
Selanjutnya penerima wasiat wajibah terbatas, yakni hanya
cucu lapisan pertama dari anak perempuan dan keturunan dari anak laki-laki.
Sedangkan ahli waris pengganti menurut pasal 185 KHI tidak dibatasi, tapi
bersifat terbuka, yaitu anak (keturunan) dari ahli waris yang telah lebih
dahulu meninggal dunia sebelum pewaris. Karena sifat terbuka ini, menjadikan
KHI bersifat fleksibel dalam menentukan ahli waris pengganti tersebut. Walaupun
berlakunya pasal 185 tersebut, dibatasi oleh ketentuan lain yang berlaku secara
umum dalam ketentuan waris. Umpamanya tidak setiap anak ahli waris yang
meniggal dunia terlebih dahulu bisa menggantikan ahlli waris tersebut. Anak
dari istri (anak tiri pewaris) tidak mungkin menggantikan kedudukan istri
tersebut, sekalipun istri itu adalah ahli waris yang lebih dulu meninggal dari
pada pewaris dan dia punya anak. Karena dia (anak tiri) tidak mempunyai
hubungan sebab kewarisan.
BAB
VI
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI) sebagai
mana tertuang dalam Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 jo Keputusan Menteri
Agama No. 154 Tahun 1991, merupakan karya besar bangsa Indonesia. Keberhasilan
penyusunan KHI, merupakan bagian dari upaya bangsa Indonesia untuk menjadikan
hukum Islam sebagai hukum positif di Indonesia, dalam rangka kesatuan dan
kepastian hhukum umat Islam Indonesia.
2.
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI) terdiri
dari tiga buku, yaitu buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum
Kewarisan dan buku III tentang Perwakafan. Hukum kewarisan adalah hukum
perpindahan hak pemilihan harta peninggalan pewaris, menentukan siapa-sipaa
yang berhak menjadi ahli waris, berapa bagian masing-masing ahli waris tersebut
dan bagaimana prioritas penerimaannya.
Berdasarkan kajian yang telah dilakukan oleh penulis, ternyata bahwa dalam
hukum kewarisan Islam sebagaimana tertuang dalam buku II KHI tersebut, masih
nampak pasal-pasal yang harus disempurnakan, baik redaksi maupun substansinya.
Hukum kewarian dalam buku II KHI belum mengatur secara lengkap dan jelas
tentang rincian pengelompokkan ahli waris, berapa bagian mereka masing-masing
serta bagaimana prioritas penerimaan bagiannya. Sehingganya oleh karena hukum
kewarisan dalam buku II KHI tersebut belum bisa menampilkan hukum kewarisan
sebagaimana dikehendaki oleh KHI itu sendiri. Kekurangsempurnaan tersebut pada
bagian-bagian tertentu menimbulkan ketidak jelasan di dalamnya. Karena ketidak
jelasan ini, maka dalam pelaksanaannya bisa menimbulkan ketidaksamaan persepsi
dan perbedaan pemahaman, yang mengakibatkan tidak adanya kesatuan dan kepastian
hukum dalam lapangan hukum kewarisan Islam, sebagaimana yang menjadi tujuan
Kompilasi Hukum Islam di indonesia.
3.
Ketentuan ahli waris pengganti sebagaimana diatur
oleh pasal 185 Kompilasi Ukum Islam di Indonesia (KHI), merupakan hasil
kesepakatan para ulama (ijtihad jama’iy) dalam bidanng hukkum kewarisan.
Munculnya pasal tersebut pada dasarnya telah disambut baik oleh para pencari
keadilan. Namun substansi dan ungkapan pasal 185 itu masih mengandung ketidak
jelasan, yang memungkinkan timbulnya kerancuan pemahaman terhadap maksud isi
pasal tersebut.
4.
Karena terjadinya kerancuan pemahaman terhadap
materi ketentuan ahli waris pengganti sebagaiman diatur oleh pasal 185
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI), maka terjadi kerancuan penafsiran
dalam pelaksanaannya. Berdasarkan temuan data di lokasi penelitian, hal trsebut
pada kasus tertentu, menyebabkan timbulnya disparitas dalam produk hukum yang
keluar dari Pengadilan Agama.
B.
Saran-Saran
Sehubunngan dengan beberapa
kesimpulan di atas, penulis mengajukan saran, bahwa dalam menampilkan hukum
yang jelas menuju kessatuan pemahaman dan kesatuan hukum bagi terciptanya
kesatuan hukum, sebagaimana yang menjadi tujuan pembentukan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI),
maka dalam usia pelaksanaannya yang sudah melibihi lima tahun, sudah waktunya
kita untuk meninjau kembali untuk mengakji ulang materi buku II KHI tersebut
bagi penyempurnaannya. Beberapa perbaika yang diajukan oleh penulis sebagai
bahan pertimbangan dalam upaya peneympurnaan buku II KHI tersebut antara lain:
1.
Penyeragaman beberapa istilah dan penyempurnaan
beberapa pasal antara lain: pasal 171 c tentang pengertian ahli waris, pasal
171 e tentang pengertian harta warisan, pasal 171 f tentang pengertian wasiat,
pasal 172 tentang penngertian beragama Islam bagi pewaris, pasal 191 tentang
kewajiban baitul mal, pasal 195, 205, 206 tentang cara membuat wasiat, pasal
208 tentang wasiat bagi pembuat wasiat dan saksi-saksi, pasal 200, tentang
penyusutan atau kerusakan benda wasiat, pasal 173 jo 197 tentang halangan menjadi
ahliwaris, pasal 186 tentang anak di luar kawin dan hubungannya dengan batas
minimal dan maksimal kandungan.
2.
Penegasan pengelompokkan dan rincian ahli waris
serta prioritas penerimaan bagiannya meliputi:
a.
Pengelompokkan dan rincian ahli waris dalam pasal
174 disempurnakan, sehubungan denngan ketentuan dalam pasal 192 dan 193
mengakui keberadaan kelompok dzawi al furudl dan ‘ashabat.
b.
Penegasan keberadaan kelompok dzawi al arham, kaitan dengan
pengakuan kelompok tersebut sebagai mana tersirat dalam pasal 174. Pasal ini
mengisyaratkan pengakuan adanya pengakuan kelompok dzawi al arham. Hal
ini bisa kita tangkap umpama dari ungkapan tentang disebutnya secara mutlak dan
tidak dirinci istilah “kakek (jadd), nenek (jaddat) dan paman (‘amm).
Demikian pula dalam pasal itu tidak disebutkan sudara perempuan ayah dan
saudara perempuan ibu, yang dalam istilah sehari-hari biasa disebut “bibi”
(‘ammah/khalah).
c.
Penegasan kejelasan tentang pengertian anak (walad)
waktu mereka bersama saudara (ikhwat aw akhwat), sebagai mana disebutkan
dalam al Quran S. Al Nisa: 176, yang berpengaruh kepada istilah dan keberadaan
kelompok ‘ashabat ma’a al ghair.
d.
Penyempurnaan bagian ayah sebagaimana diatur oleh
pasal 177 dan 178.
e.
Penentuan sikap yang jelas pada kasus-kasus tertentu, seperti yang
ditunjukkan oleh pasal 178 dalam masalah al gharawain.
3.
Wasiat wajibah sebagaimana diatur oleh pasal 209,
perlu dipperluas bagi ahli waris yang mempunyai pertalian hubungan nasab dengan
pewaris dan tidak mendapat bagian warisan, seperti kelompok dzawil al arham
yang tidak terjangkau pengaturannya oleh pasal 185. Hal ini sejalan dengan ide
awal pemikiran para ulama pada waktu munculnya pemikiran tentyang wasiat
wajibah tersebut.
4.
Berkaitan dengan penyempurnaan ketentuan ahli
waris pegganti sebagaimana diatur oleh pasal 185 KHI, hal-hal yang perlu
menjadi bahan pertimbangan antara lain sebagai berikut:
a.
Bagi ahli waris yang termasuk kepada kelompok dzawi
al furudl atau kelompok ‘ashabat yang tidak tertutup dengan hijab
hirman, tetap diberikan bagiannya, mereka tidak dikelompokkan kepada ahli
waris pengganti.
b.
Bagian yang akan diterima oleh ahli waris
pengganti tidak melebihi bagia ahli waris yang sederajat dengan yang diganti
dan tidak melebihi pula bagian ahli waris yang lain yang sudah ditentukan
bagiannya, apabila tidak ada ahi waris yangsederajat dengan yang diganti.
c.
Pemberian bagian kepada ahli waris pengganti tidak
menyebabkan terjadinya hijab nuqshan dan hijab hirman bagi ahli waris lain.
d.
Wasiat atau pemberian pewaris pada masa hidupnya
kepada ahli waris pengganti, hanya akan diperhitungkan dengan bagiannya sebagai
ahli waris pengganti, apabila para ahli waris lain menghendakinya.
e.
Untuk memberikan kepastian yang mengikat, sesuai
dengan perkembangan historis lahirnya pasal 185 KHI, dalam rangka memberikan
bagian kepada ahli waris yang tidak menerima bagian warisan karena terhalang
oleh saudara orang tuanya, maka kata “dapat” dalam pasal 185 ayat (1) harus
dihilangkan.
f.
Penyempurnaan pasal 185 KHI yang diusulkan oleh
penulis sebagaimana diuraikan di atas lihat dalam lampiran VI.
KOMENTAR TERHADAP DISERTASI
1.
Dalam pendahuluan, penulis terlalu jauh dalam
memulai pembahasannya, sebaiknya penulis tidak menyinggung masalah piagam
jakarta dan UUD 1945, langsung saja memuali dari sedikit gambaran tentang
sejarah KHI dan selanjutnya mengambarkan permasalahan yang akan diangkatkan.
2.
Dalam memaparkan isi dari bab II sampai bab V,
penulis cendrung memakai bahasa yang kurang sederhana,seperti dalam menjelaskan
sesuatu penulis tidak langsung ke inti sehingga dapat mengakibatkan banyaknya
pengulangan kata.
3.
Dalam penelitiannya, penulis cukup banyak
mengemukakan variabel, menggunakan banyak teori untuk mengupas permasalahannya.
Sehingga penelitian yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.
Hal ini terbukti dari kerangka teoritis dan konsepsional yang digunakan
penulis.
4.
Mengenai batasan, tujuan dan kesimpulan dalam
penelitian ini, penulis tidak melenceng dari rumusan permasalahannya.
5.
Yang menarik dari disertasi ini adalah mengenai
saran-saran yang diberikan oleh penulis. Dalam sarannya penulus menegaskan,
meluruskan dan menjelaskan bagaimana seharusnya dari materi peraturan mengenai
ahli waris pengganti ini. Dalam hal ini penulis juga mengajukan penyempurnaan
terhadap pasal 185 KHI ini.
6.
Dalam latar belakang masalah, penulis juga
mengambarkan tentang hal-hal lain yang menarik untuk diteliti, bisa disebut ini
sebuah identifikasi masalah, diantaranya adalah mengenai masalah kakek, nenek,
paman dan bibi. Secara sederhana masalahnya adalah tidak dijelaskannya kakek,
nenek, paman dan bibi itu dari pihak siapa. Kemudian permasalahan kedudukan
saudara perempuan ayah dan saudara perempuan ibu juga tidak dijelaskan, hal in
yang lebih dikenal dengan “bibi”, “bibi” ini tidak dijelaskan apakah ‘ammah
atau khalah. Dan juga masalah penghalang menerima wasiat, yaitu
berdasarkan pasal 197 KHI ayat (1) yaitu “mencoba membunuh” dan “dipersalahkan
menfitnah” menjadi penghalang untuk menerima wasiat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar