Kamis, 18 Februari 2016

contoh Metode Penelitian Hukum, Disertasi


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .........................................................................        iii
DAFTAR ISI .......................................................................................       vii
TRANSLITERASI .............................................................................         x
SINGKATAN-SINGKATAN .............................................................        xi
DAFTAR TABEL ...............................................................................       xii




BAB I      PENDAHULUAN.................................................................................................         1
A.       Latar Belakang Masalah...................................................................................         1
B.       Pembatasan dan Perumusan Masalah ..............................................................       28
C.       Tujuan dan Kegunaan Penelitian .....................................................................       29
D.       Kerangka Teoritis dan Konsepsional ...............................................................       31
E.        Metodologi Penelitian .....................................................................................       39
F.        Sistimatika Pembahasan ..................................................................................       43

BAB II    HUKUM ISLAM DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA       45           
A.       Pancasila Mengandung Nilai-Nilai yang Islami ...............................................       45
B.       Aspek-Aspek Hukum Islam dalam UUD 1945 dan GBHN ...........................       68
C.       Eksistensi Ketuhanan Yang Maha Esa dan Aspek-Aspek Hukum Islam dalam Perundang-Undangan di Indonesia .....................................................................................................       87

BAB III   ANALISIS HUKUM KEWARISAN MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA                                                                                                                                       103
A.       Lahirnya Kompilasi Hukum Islam di Indonesia...............................................     103
B.       Redaksi Pasal-Pasal .........................................................................................     115
C.       Materi Pasal-Pasal ............................................................................................     124
D.       Ahli Waris dan Bagiannya ...............................................................................     151
E.        Wasiat Wajibah ................................................................................................     182

BAB IV   AHLI WARIS PENGGANTI DALAM HUKUM KEWARISAN DAN ANALISIS PASAL 185 KOMPILASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA.............................................     190
A.       Ahli Waris Pengganti Menurut BW dan Hukum Adat....................................     190
B.       Munculnya Masalah Ahli Waris Pengganti dalam Hukum Kewarisan Islam ..     198
C.       Wasiat Wajibah sebagai Alernatif Penyelesaian Bagi Ahli Waris yang Tidak Menerima Bagian      .......................................................................................................................... 212
D.       Analisis Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia ...............................     236

BAB V    PELAKSANAN AHLI WARIS PENGGANTI.................................................     255
A.       Lokasi Penelitian .............................................................................................     255
B.       Data yang Diperoleh ........................................................................................     257
C.       Kelompok Ahli Waris Pengganti .....................................................................     262
D.       Bagian Ahli Waris Pengganti ..........................................................................     270
E.        Cara Memberikan Bagian kepada Ahli Waris Pengganti ................................     307
F.        Ahli Waris Pengganti Garis Lurus dan Menyamping ......................................     311
G.       Tahun Kematian Pewaris dan Berlakunya Kompilasi Hukum Islam ...............     325
H.       Analisis Perbandingan Ahli Waris Pengganti Menurut KHI dengan Wasiat Wajibah                       333

BAB VI   PENUTUP..............................................................................................................     344
A.       Kesimpulan.......................................................................................................     344
B.       Saran-Saran ......................................................................................................     346
Dalil-Dalil ................................................................................................................................     351
Daftar Pustaka .........................................................................................................................     354
Lampiran-lampiran :
                            I.     Piagam Jakarta ......................................................................................................     366
                         II.     Instruksi Presiden RI No. 12/1968 .......................................................................     367
                      III.     Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ..................................................................................     369
                      IV.     Butir-Butir Pengamalan Pancasila ........................................................................     370
                         V.     Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 2 Tahun 1994 .......................................     374
                      VI.     Konsep Penyempurnaan Pasal 185 KHI ..............................................................     375
                   VII.     Buku II KHI tentang Hukum Kewarisan ............................................................     385



















BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Salah satu keberhasilan umat Islam untuk membumikan hukum Islam menjadi hukum positif di Indonesia, adalah telah tersusunnya Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI). KHI merupakan materi hukum Islam yang terdiri dari tiga buku, yaitu yaitu buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan dan buku III tentang Perwakafan. KHI telah diberlakukan dengan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 dan Keputusan Menteri Agama No. 154 tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991.
Kalau kita perhatikan pasal-pasal KHI, khususnya yangberkaitan dengan hukum kewarisan, banyak yang menarik untuk dikaji. Masalah yang menarik untuk dikaji itu, baik  yangberkaitan dengan isi materi pasal, maupun konsistensi antara satu pasal dengan pasal yang lainnya. Pasal-pasal yang menarik untuk dikaji itu antara lain pasal 174 dan hubungannnya dengan pasal 192 dan 193, pasal 53 kaitannya dengan batas minimal kandungan yang ada hubungannya dengan hak pewarisan, pasal 185 dan hubungannya dengan pasal 173, pasal 192 dan 193 serta pasal-pasal lainnya.
Seperti para ahli waris yang tidak dijelaskan secara rinci, contohnya masalah kakek, nenek, paman dan bibi tidak dijelaskan secara rinci. Serta kedudukan ayah dan saudara perempuan ibu yang sehari-hari dikenal dengan bibi. Kemudian permasalahan warisan dan wasiat, yaitu mengenai permasalahan penghalang mendapat warisan maupun wasiat. Dan juga mengenai kawin hamil yang menyangkut permasalahan anak yang lahir tentang kewarisannya. Seterusnya mengenai ahli waris pengganti yang dimaksud dalam KHI tersebut juga tidak dijelaskan secara rinci mengenai bagaimana cara memberikan kepadanya, apakah ia mendapatkan bagian sebagai ahli waris pengganti atau ia mendapatkan bagian sebagai ahli waris dalam kedudukan asalnya, dan masih banyak lagi masalah yang menyangkut ahli waris pengganti ini yang harus dijelaskan secara rinci.

B.       Pembatasan dan Perumusan Masalah
1.    Pembatasan masalah
a.    Kajian secara umum terhadap teks naskah hukum kewarisan sebagaiman terdapat dalam buku II KHI, baik yang berhubungan dengan materi pasal, maupun hubungan kesesuaian (konsistensi) antar pasal-pasalnya.
b.    Kajian secara khusus tentang ahli waris pengganti sebagaimana diatur dalam pasal 185 KHI, serta pelaksanannya di Pengadilan Agama, sejak KHI diberlakukan sampai dengan tahun 1997.
2.    Perumusan masalah
Khusus pada ketentuan pasal 185, di dalamnya masih memungkinkan timbulnya berbagai penafsiran dalam pemahamannya. Selanjutnay menarik untuk dikaji bagaimana pelaksanaan ahli waris pengganti tersebut di Pengadilan Agama.
Oleh karena itu, perumusan masalah pokok dalam penelitian ini adalah; apakah Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI) telah mampu menampilkan substansi dan redaksi pasal hukum kewarisan Islam sebagai hukum positif di Indonesia sebagaimana tujuan pembentukan KHI tersebut. Dari perumusan masalah pokok ini dapat diajukan pertanyaan sebagai berikut:
a.    Sejauh mana pengaturan materi pengaturan hukum Islam menurut KHI sebagai hukum positif di Indonesia, kalau dihubungkan denngan tujuan pembentuka KHI tesebut bagi kestuan pemahaman menuju kesatuan dan terciptanya kepastian hukum.
b.    Sejauh mana pengaturan ketentuan ahli waris pengganti dalam pasal 185 KHI dan bagaimana pelaksanaannya di Pengadilan Agama.

C.       Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.    Tujuan penelitian
a.    Untuk mengetahui sejauh mana pengaturan hukum kewarisan Islam menurut KHI sebagai hukum positif di Indonesia, kalau dihubunngakan dengan tujuan pembentukan KHI tersebut, bagi ketentuan pemehaman dan kesatuan hukum menuju terciptanya kepastian hukkum.
b.    Untuk mengetahui sejauh mana ketentuan ahli waris pengganti, sebagai mana diatur oleh pasal 185 KHI dan bagaimana pelaksanaannya di Pengadilan Agama.
2.    Kegunaan penelitian
a.    Dapat memberikan gambaran secara teoritis dan empiris bagi penelitian selanjutnya, khususnya dengan makna yang dimaksud oleh pasal-pasal hukkum kewarisan dalam KHI dan pelaksanaannya di Pengadilan Agama.
b.    Sebagai bahan pertimbangan bagi penyempurnaan KHI, sehingga terwujud kejelasan, kesatuan dan kepastian hukum, khususnya yang berkaitan dengan hukum kewarisan islam yang akan diterapkan di Pengadilan Agama.
c.    Sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan, terutama dalam mentransformasikan hukum Islam ke dalam hukum nasional.

D.      Kerangka Teoritis dan Konsepsional
Karena ini kajian normatif, maka bahan utama yang akan diteliti adalah data pustaka mengenai Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI), khususnya buku II tentang kewarisan. Data pustaka yang akan dikaji berupa naskah teks KHI, dan produk Pengadilan Agama mengenai pelaksanaan hukum kewarisan menurut KHI, sepanjang mengenai pelaksanaan ahli waris pengganti sebagaimana diatur oleh pasal 185.
Untuk melaksanakan penelitian di atas, menurut penulis kerangka teoritis yang sesuai dengan kajian tersebut adalah pendangan tentang tujuan pembentukan KHI itu sendiri, sebagaimana dijelaskan oleh Tim Penyusun KHI Departemen Agma RI menurut Tim Penyusun KHI, bahwa selama pembinaan teknisi yustisian Peradilan Agama oleh Mahkamah Agung (sebelum terbenuknye KHI, pen.), terasa adanya beberapa kelemahan, antara lain soal hukum yang diterapkan di lingkungan Peradilan Agama yang cendrung simpang siur disebabkan oleh perbedaan pendapat ulama dalam hampir di setiap persoalan. Untuk mengatasi hal ini diperlukan adanya satu hukum yang menghimpun semua hukkum terapan yang berlaku bagi lingkungan Peradilan Agama, yang dapat dijadikan pedoman bagi para hakim dalam melaksanakan tugasnya, sehingga terjamin adanya kesatuan dan kepastian hukum bagi umat Islam Indonesia.
Istilah yang akan penulis jelaskan dalam kerangka konsepsional pada penelitian ini, terutama mengenai maksud pengertian hukum Islam, Hukum Positif, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI), hukum kewarisan dan ahli waris pengganti atau penggantian ahliwaris.

E.       Metodologi Penelitian
1.    Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yang merupakan penelitian kepustakaan. Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan bantuan materi bahan pustaka yang vterdapat di perpustakaan. Studi pustaka yang dilakukan dalam penelitian ini adalah studi pustaka tentang hukum kewarisan dalam KHI yang dilanjutkan dengan uji empirik dari telaah teoritik, khususnya mengenai ahli waris pengganti. Seiring denga itu di dalam penelitian ini digunakan metode analisis isi (content analysis) dengan cara menafsirkan teks perundang-undangan dan isi produk Pengadilan Agama.

2.    Jenis Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian inidisesuaikan dengan pertanyaan yang telah diajukan pada perumusan masalah dan tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu data yang dikumpulkan meliputi:  (1) ketentuan hukum kewarisan dalam buku II KHI, khususnya mengenai pengaturan ahli waris pengganti sebagaimana yang diatur oleh pasal 185, (2) ketrentuan hukum kewarisan menurut pendapat para ulama fiqh mawaris dan (3) pelakasanaan ketentuan ahli waris pengganti di Pengadilan Agama, sejalk KHI diberlakukan sampai dengan tahun 1997.

3.    Sumber Data
Sesuai dengan jenis dan metode penelitian hukum normatif, maka data yang digunakan sifatnya data sekunder. Data dealam penelitian ini bersumber dari; (1) teks KHI khususnya buku II tentang hukum kewarisan, (2) berbagai pendapat para ulama tentang hukum kewarisan sebagaimana terdapat dalam fiqh mawaris, (3) pendapat ahli hukum (positif) tentang hukum kewarisan, (4) produk Penngadilan Agama khususnya tentang ahli waris pengganti.



4.    Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan dan studi dokumentasi. Dengan teknik ini peneliti menelaah teks perundang-undangan yang adea hubungannya dengan masalah kewarisan, serta produk Pengadilah Agma tentang ahli waris pengganti, dengan melalui langkah-langkah sebagai berikut; (1) menginventari pasal-pasal KHI dan buku-buku yang berkaitan dengan hukum kewaerisan, khususnya mengenai ahli waris pengganti, (2) mengumpulkan Produk Pengadilan Agama tentang ahli waris pengganti dan (3) mendiskripsikan pasal-pasal KHI, pendapat para ulama san ahli hukum positif serta produk Pengadilan Agma tentang ahli waris pengganti.

5.    Analisis Data
Setelah data terkumpul, langkah berikutnya adalah menganalisis data tersebut dengan menggunakan metode descriptive analysis dan correlative analysis. Dalam analisis ini dilakukan dengan melalui tahap kategorisasi dan klasifikasi, serta pencarian hubungan antar data yang secara spesifik ada hubungan antar variabel. Pada tahap pertama, dilakukan seleksi data tentang hukum kewarisan khususnya mengenai ahli waris pengganti, kemudian diklasifikasikan kepada tiga kategori, yaitu makna substantif dari pasal-pasal KHI, pendapat para ulama dan para ahli hukum positif serta produk Pengadilan Agama. Ketiga jenis data ini diperoleh melalui pemahaman teks atau naskah. Pada tahap kedua, dicari korelasi antara pasal-pasal KHI dan pendapat para ulama dan para ahli hukum positif, yang kemudian dikaitkan dengan pelaksanaan pasal-pasal tersebut di Pengadilan Agama. Adapaun data yang di analisis dalam penelitian ini adalah data kualitatif, sedang data kuantitatif hanya digunakan untuk memperkuat data kualitatif.. jadi dalam penelitian ini data kuantitatif hanya sebagai peleengkap analisis, bukan sebagai sumber utama analisis.

6.    Teknik Penulisan
Teknik penulisan disertasi ini berpedoman kepada buku “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta” dan buku “panduan Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta”. Tranliterasi Arab-Latin menggunakan pedoman sebagimana termuat dalam buku panduan di atas.

F.        Sistimatika Pembahasan
Sistimatika pembahasan dalam penelitian ini, akan disusun sebagai berikut:
Bab pertama berisi pendahulian yang memuat latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian dan sistimatika pembahasan.
Bab kedua berisi hukum Islam dalam perundang-undangan di Indonesia, yang memuat uraian tentang pancasila mengandung nilai-nilai yang Islami, aspek-aspek hukum Islam dalam UUD 1945, dalam GBHN dan dalam perundang-undangan di Indonesia.
Bab ketiga berisi analisis hukum kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI), yang memuat uraian lahirnya KHI, analisis redaksi pasal-pasal, materi pasal-pasal, kelompok ahli waris dan bagian-bagiannya, serta uraian tentang wasiat wajibah.
Bab keempat berisi analisis ahli waris pengganti, yang memuat ahli waris pengganti menurut BW dan hukum adat, munculnya masalah ahli waris pengganti dalam hukum kewarisan Islam, wasiat wajibah sebagai alternatif penyelesaian bagi ahli waris yang terhalang menerima warisan dan analisis pasal 185 KHI.
Bab kelima berisi penjelasan ahli waaris pengganti di Pengadilan Agama, yang memuat uraian lokasi penelitian, data yang diperoleh, kelompok ahliwaris pengganti dan bagiannya, cara memberikan bagian kepada ahli waris pengganti, ahliwaris pengganti dalam garis lurus dan menyamping dan tahun penyelesaian kewarisan yang memuat ahli waris pengganti dihubungkan dengan tahun meninggalnya pewaris dan tahun berlakuknya Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Bab keenam merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dan saran.


BAB II
HUKUM ISLAM DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
A.      Pancasila Mengandung Nilai-Nilai yang Islami
1.    Rumusan Pancasila
Ir. Soekarno dalam pidatonya mengemukakan tentang pancasila sebagai dasar negara, yaitu sebagai berikut:
“saudara-saudara! “Dasar Negara” telah saya usulkan Lima bilangannya. Inikan Panca Darma? Bukan!. Nama Panca Darama tidak tepat di sini. Darma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai panca indra. Apa lagi yang lima bilangannya? (seorang yang hadir: pandawa lima). Pandawapun lima orangnya. Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan, lima pula bilangannya.
Nama bukan panca darma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa, namanya adalah Pancasila. Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan bangsa Indonesia, kekal dan abadi.”
Dari uraian di atas nampak bahwa Ir. Soekarno menyebut pancasila sebagai dasar negara. Rumusan pancasila tersebut kemudian tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945.
Sebenarnya rumusan pancasila yang berlaku sekarang ini, adalah rumusan pancasila sebagaimana terdapat dalam piagam jakarta yang dibuat pada tanggal 22 Juni 1945, yaitu rumusan pancasila sebelum dihilangkan tujuh kata pada tanggal 18 Agustus 1945. Atau dengan kata lain secara substansial rumusan pancasila yang berlaku sekarang ini adalah rumusan sebagaimana terdapat dalam redaksi alinea keempat pembukaan UUD 1945 yang diberlakukan kembali dengan dekrit presiden 5 juli 1945, ditambah dengan tujuh kata yang hilangkan tanggal 18 agustus 1945.

2.    Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa
Dalam kedudukannya sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa, maka pancasila tidak dapat diubah . hukum di Indonesia tidak membenarkan perubahan Pancasila, karena pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Merubah pancasila, berarti mengubah dasar atau asas negara. Kalau dasar, asas atau fundamen dari negara tersebut diubah, maka dengan sendirinya negara yang diproklamasikan hasil perjuangan para pahlawan-pahlawan kita 53 tahun yang lalu akan berubah atau tidak ada. Hal ini tentunya tidak diingini oleh bangsa Indonesia, karena kalua terjadi, berarti mengkhianati pejuan dan para pahlawan kita terdahulu.

3.    P4 dan Butir-Butir Pengamalan Pancasila
a.    Pedoma Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
Setelah mengalami proses pengajuan pertimbangan dari presiden kepada MPR dan setelah mengalami pembahasan di MPR, maka pada tangggal 22 Maret 1978 kelurlah Tap MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). P4 disebut juga Ekaprasetia Pancakarsa, artinya tekad yang tunggal untuk melaksanakan lima kehendak. Dalam hal ini maksudnya tekad yang tunggal, janji yang luhur kepada diri sendiri untuk menghayati dan mengamalkan kelima sila dari pancasila. Dengan kelusrnya P4 tersebut, bangsa indonesia tidak hanya memiliki kesepakatan nasional mengenai pancasila, akan tetapi bangsa indonesia juga memiliki kesepakatan nasional pedoman untuk menghayati dan mengamalkannya.
b.    Butir-Butir Pengamalan Pancasila
Bangsa indonesi melalui ketetapan MPR No. II/MPR/1978, telah membuat kesepakatan tentang pedoman bagaimanacara mengamalkan pandangan hhidupnya yaitu pancasila. Pengamalan pancasila sebagaimana dikehendaki oleh Tap MPR tesebut, kemudian oleh Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) melalui Tim yang dibentuknya, dirinci kepada 45 butir-butir pengamalan sila-sila dari pancasila tersebut. Walaupun tentu butir-butir pelaksanaan dan pengamalan pancasila itu, sebenarnya tidak hanya terbatas kepada 45 butir tersebut.

4.    Pancasila sebagai Sumber Hukum tidak bertentangan dengan Hukum Islam
Pancasila dalam kedudukannya, sejak lahirnya secara formal sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945, sebgai tercantum dalam pembukaan UUD 1945, tidak bisa dipisahkan dari peran serta umat Islam di dalamnya. Rumusan pancasila yang tercantum di dalam piagam jakarta disusun oleh sembilan orang, delapan orang beragama Islam dan satu orang non Islam.

5.    Sila-Sila Pancasila Sejalan dengan Islam
Rumusan pancasila dalam penelitian ini adalah pancasila sebagaimana tecantum dalam alinia keempat pembukaan UUD 1945 yang dijiwai oleh piagam jakarta (sebagaimana disebutkan dalam dekrit presiden 5 juli 1959) yang ditegaskan dalam inpres no 12 tahun 1968. Kelima sila dalam pancasila tersebut, demikian juga butir-butir pengamalannya yang dirumuskan dalam pedoman penghayatan dan pengamalan pancasila (P4), kalau dinilai dari hukum Islam, sebenarnya memang mengandung dan mempunyai nilai-nilai Islam di dalamnya.

B.       Aspek-Aspek Hukum Islam dalam UUD 1945 dan GBHN
1.    Prinsip-Prinsip Kenegaraan dan Hak Asasi dalam UUD 1945
a.    Pokok-Pokok Pikiran
Pokok-pokok pikiran pembukaan UUD 1945, disebutkan dalam penjelasan umum UUD tesebut. Ada empat pokok pikiran, yang secara singkat dapat dikemukakan (1) Persatuan, (2) Keadilan Sosial, (3) Kedaulatan Rakyat, (4) Ketuhanan Yang Maha Esa.

b.    Sistim Pemerintahan
Sistim pemerintahan negara republik Indonesia ditegaskan oleh UUD 1945 sebagai berikut:
1)      Indonesia adalah negara yangberdasar atas hukum (rechstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machstaat)
2)      Pemerintah berdasar atas sistem kostitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak tebatas)
3)      Kekuasaan negara yang tertinggi berada di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia.
4)      Presiden adalah penyelenggara pemerintah negara yaang tertinggi di bawah MPR, ia tunduk dan bertanggunng jawab kepada MPR.
5)      Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
6)      Menteri negara ialah pembantu presiden, ia tidak bertangung jawab kepada DPR, namun ia bertanggung jawab kepada Presiden.
7)      Kekuasan kepala negara tidak terbatas. Ia bukan diktator.
c.    Hak asasi manusia dalam UUD 1945
Dalam batang tubuh UUD 1945 hak asasi manusia dapat dilihat antara lain: pasal 27 tentang persamaan dalam hukum dan penghidupan kemanusiaan, pasal 28 tentang kebebasan dalam berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran, pasal 29 tentang kemerdekaan untuk memeluk agama, pasal 31 tentang hak untuk mendapatkan pengajaran, pasal 32 tentang perlindungan yang bersifat kultural, pasal 33 tentang hak-hak ekonomi dan pasal 34 tentang kesejahteraan sosial.

2.    Prinsip-Prinsip dalam UUD 1945 tidak bertentangan dengan hukum Islam
a.    Taat kepada Allah, Rasulullah dan Ulil Amri, ditegaskan dalam surat al-Nisa: 59
b.    Prinsip musyawarah, ditegaskan dalam surat al Syura: 38 dan surat Ali Imran: 159
c.    Menegakkan keadilan, ditegaskan dalam surat al Maidah: 8, al-Nahl: 90 dan al-Mutahanah: 8
d.   Ditegakkannnya Hak Asasi manusia
1)      Persamaan derajat, hak dan kewajiban dihadapan hukum antara sesama manusia, dengan memberikan kelebihan derajat kepada yang taqwa kepada Allah SWT, ditegaskan dalam surat al-Isra’: 70 dan al-Hujurat: 13.
2)      Kebebasan dan tidak ada paksaan dalam memeluk agama, sebagaimana ditegaskan dalam surat al-Baqarah: 256, Yunus: 99, al-Syura’: 15 dan al-Kafirun: 6.
3)      Hak mendapatkan kehidupan yang layak, ditegaskan dalam surat al-Harsy: 7, al-Dzariyat: 19 dan al-Hadid: 7.

3.    Konsep Pembangunan Nasional dalam GBHN sejalan dengan Hukum Islam
a.    Konsep pembangunan dalam GBHN
1)      Pembangunan Nasional Indonesia
a)      Pengertian GBHN
b)      Hakikat dan tujuan pembangunan nasional
c)      Asas-asas pembangunan nasional
d)     Modal dasar pembangunan nasional
2)      Pembangunan bidang agama
a)      Pembangunan bidang agama dalam jangka panjang kedua
b)      Pembangunan dalam bidang agama dalam limatahun keenam
b.    Prinsip-prinsip hukum Islam dalam pembangunan

C.       Eksistensi Ketuhanan Yang Maha Esa dan Aspek-Aspek Hukum Islam dalam Perundang-Undangan di Indonesia
1.    Eksistensi Ketuhanan Yang Maha Esa dalam perundang-undangan
a.    Dekrit Presiden 5 Juli 1959
b.    Perasayaratan Presiden, wakil Presiden dan Anggota MPR
c.    Undang-Undang No. 14 tahun 1970
d.   Persyaratan menjadi hakim
e.    Undang-Undang No. 5 Tahun 1960
f.     Instruksi Presiden No. 13 Tahun 1980
g.    Undang-Undang No. 2 Tahun 1989
h.    Semua Tap MPR dan Undang-Undang didahului dengan kata-kata “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA”
i.      Pengakuan takwa kwpada Tuhan Yang Maha Esa dalam sumpah KORPRI dan ABRI

2.    Nilai-Nilai religious dan aspek-aspek hukum Islam dalam UU No. 1 Tahun 1974
a.    Nilai-Nilai religious dalam UU No. 1 Tahun 1974
b.    Materi UU No. 1 Tahun 1974 yang berasal dari hukum Islam
3.    UU No. 7 Tahun 1989 merupakan realisasi berlakuknya hukum Islam di Indonesia
4.    Kompilasi Hukum Islam di Indonesia merupakan hukum materil di Pengadilan Agama

BAB III
ANALISIS HUKUM KEWARISAN MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA
A.      Lahirnya Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI)
Eksistensi hukum Islam dalam perundang-undangan di Indonesia, nampat terlihat antara lain UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo PP No. 9 Tahun 1975, PP No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan, UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Namun implementasi Hukum Islam tersebut bagi masing-masing yang berkepentingan kadang-kadang menimbulkan pemahaman yang berbeda. Umpama hukum Islam yang diterapkan di Pengadilan Agama yang cendrung simpang siur disebabkan oleh perbedaan pendapat Ulama dalam hampir disetiap persoalan. Disamping itu kadang-kadangmasih banyak kerancuan dalam memahami fiqh yang dipandang sebagai hukum yang harus diberlakukan, bukan sebagai pendapat (doktrin, fatwa) ulama yang dijadikan pertimbangan dalam menetapakn hukum.
Pada saat itulah diperlukan adanya keseragaman pemahaman dan kejelasan tentang hukum Islam yang harus dijadikan pegangan, terutama oleh para hakim di Penngadilan Agama. Keinginan untuk menyeragamkan hukum Islam itu, menimbulkan gagasan sampai terwujudnya Kmpilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI). Oleh karena untuk dapat berlakunya hukum Islam di Indonesia, harus ada antara lain hukum yang jelas  dan dapat dilaksanakan baik oleh aparat penegak hukum maupun oleh masyarakat. Keinginan untuk menyeragamkan hukum Islam dalam bentuk kompilasi, didorong juga oleh suatu kenyataan, bahwa sebelum terbentuknya KHI tersebut hukum Islam yang berlaku itu tidak tertulis dan berserak-serak di berbagai kitabyang sering berbeda tentang hal yang sama antara satu dengan yang lainnya.

B.       Redaksi Pasal-Pasal
1.    Keseragaman Istilah
a.    Istilah hilangnya nyawa orang
Kata atau istilah yang dipergunakan dalam naskah resmi, seperti undang-undang, keputusan menteri, inpres, dan lain-lain, seyogyanya mempergunakan istilah yang konsisten. Dalam KHI ditemukan istilah untuk hilangnya nyawa orang dua bentuk, yaitu “meninggal” dan “meninggal dunia”. Seyoyanya dipakai satu istilah saja supaya konsisten.
b.    Istilah harta bersama
Dalam KHI harta bersama disebut dengan “gono gini”. Sementara dalam perundang-undangan sebelumnya memakai istilah “harta bersama”. Sebaiknya KHI juga menggunakan istilah “harta bersama” sepaya seragam dengan peraturan sebelumnya.

2.    Pengertian Ahli Waris
3.    Pengertian harta warisan dan pengeluaran untuk wasiat
4.    Pengertian wasiat

C.       Materi Pasal-Pasal
1.    Pengertian beragama Islam
2.    Kewajiban baitul mal
3.    Cara membuat wasiat
4.    Batalnya wasiat
a.    Batalnya wasiat bagi seseorang
1)      Ketentuan pasal 197 ayat (1)
2)      Ketentuan pasal 197 ayat (2)
b.    Batalnya wasiat bagi lembaga
5.    Wasiat bagi pembuat wasiat dan saksi-saksi
6.    Penyusutan atau kerusakan benda wasiat
7.    Halangan menjadi ahli waris
8.    Anak luar kawin
D.      Ahli Waris dan Bagiannya
1.    Pengelompokkan ahli waris dan bagiannya
2.    Kedudukan saudara dan bagiannya
a.    ‘Asabat ma’a al ghair (ma’a ghairihi)
b.    Berkumpulnya saudara kandung dengan saudara seibu dan saudara seayah
3.    Besarnya bagian ayah
E.       Wasiat Wajibah

BAB IV
AHLI WARIS PENGGANTI DALAM HUKUM KEWARISAN DAN ANALISIS PASAL 185 KOMPILASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA
A.      Ahli Waris Pengganti Menurut BW dan Hukum Adat
1.    Ahli Waris Pengganti Menurut BW
Menurut kitab undang-undang hukum perdata/Burgerlijk Wetboek (BW), ada dua cara pewarisan, yaitu (1) pewarisan karena menurut undang-undang (wettelijk erfrecht), atau disebut juga dengan pewarisan tanpa wasiat (ab intestaat erfrecht), (2) pewarisan karena wasiat (testamenteir erfrecht). Ahli waris menurut undang-undang (wettelijk erfgenaam) adalah ahli waris yang ditunjuk atau ditentukan oleh undang-undang itu sendiri, sedangkan ahli waris karena wasiat (testamenteir erfgenaam) adalah ahli waris berdasarkan penunjukkan wasiat pewaris. Jadi kalau yang menjadi dasar pewarisan tanpa wasiat adalah undang-undang, maka pewarisan karena wasiat adalah testament (wasiat).

2.    Ahli Waris Pengganti Menurut Hukum Adat
Menurut hukkum waris adat, untuk menentukan siapa yang akan jadi ahli waris dari seseoranng, ditentukan dua macam garis pokok, yaitu garis pokok keutamaan dan garis pokok penggantian. Garis pokok keutamaan adalah garis hukum yang menentukan urutan keutamaan, golongan yan lebih diutamakan dari yang lain. Garis keutamaan ini adalah mereka yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris. Kelompok keutamaan pertama; keturunan pewaris, kelompok keutamaan kedua; orang tua pewaris, kelompok keutamaan ketiga; saudara pewaris dan keturunannya, kelompok keutamaan keempat; kakek dan nenek pewaris dan seterusnya. Sedang garis pokok penggantian adalah garis hukum yang bertujuan untuk menentukan siapa saja dalam kelompok keutamaan tertentu yang tampil menjadi ahli waris.

B.       Munculnya Masalah Ahli Waris Pengganti dalam Hukum Kewarisan Islam
1.    Pengelompokkan ahli waris
a.    Dzawi al furudl (mereka yang mendapat bagian yang telah ditentukan)
b.    ‘Ashabat (mereka yang mendapat bagian yang belum ditentukan)
c.    Dzawi al arham (mereka yang mempunyai hubungan nasab denga pewaris, yang tidak termasuk dzawi al furudl dan tidak termasuk kepada‘ashabat)
2.    Prioritas penerimaan warisan
Prioritas penerimaan warisan bagi ahli waris dalam tiga kelompok tersebut, pertama harta diberikan kepada dzawi al furudl, kalau tidak ada dzawi al furudl, maka pembagian beralih ke  ‘ashabat, kalau ‘ashabat juga tidak ada, maka yangmenjadi ahli waris adalah dzawi al arham.
Dalam masing-masing kelompok ditentukan pula prioritas penerimaanny. Seseorang yang mempunyai prioritas penerimaan bisa menghalangi atau menutup (hajib) terhadap ahli waris lain, sehingga penerimaan orang bisa menjadi lebih kecil atau bahkan tidak mendapatkan warisan (mahjub).
3.    Kedudukan cucu dan munculnya masalah ahli waris pengganti
Cucu dalam kewarisan islam mempunyai kedudukan yang tidak sama, mereka dapat dibedakan menjadi empat macam;
a.    Anak laki-laki dari anak laki-laki (ibn al ibn) dan seterusnya kebawah melaluui garis laki-laki
b.    Anak perempuan dari anak laki-laki (bint al ibn) dan seterusnya kebawah melaluui garis laki-laki
c.    Anak laki-laki dari anak perempuan (ibn al bint) dan seterusnya kebawah melaluui garis perempuan
d.   Anak perempuan dari anak perempuan (bint al bint) dan seterusnya kebawah melaluui garis perempuan

C.       Wasiat Wajibah sebagai Alernatif Penyelesaian Bagi Ahli Waris yang Tidak Menerima Bagian
1.    Kajian kedudukan cucu dalam pertemuan ilmiah
a.    Seminar hukum nasional yang diselenggarakan dari tanggal 12 s.d 16 Maret 1963
b.    Seminar hukum waris bagi umat Islam yang diselenggarakan dari tanggal 22 s.d 26 Mei 1978
c.    Diskusi tim pengkajian hukum Islam BPHN tentang kewarisan tanggal 20 Desember 1981
d.   Simposium hukum kewarisan Islam dalam hukum pembaharuan perdata nasional yang diselenggarakan dari tanggal 21 s.d 23 Desember 1981
e.    Seminar hukum waris pada tanggal 5 s.d 8 April 1982
f.     Sinopsis hukum waris nasional pada tanggal 10-12 Februari 1983

2.    Ketentuan wasiat wajibah dan cara memberikan bagian kepada cucu yang terhalang melalui wasiat wajibah
Sehubungan dengan kedudukan cucu yang terhalang untuk menerima bagian warisan, para ulama memberikan alternatif penyelesaian untuk memberikan bagian bagi cucu tersebut. Mereka mengajukan alternatif penyelesaian itu dengan cara wasiat wajibah, sebagaimana terdapat dalam undang-undang wasiat di Mesir. Hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Hasbi Ashshiddieqy, Wahab Arif, Toha Yahaya Omar dan Mahmud Yunus.

3.    Wasiat wajibah belum menuntaskan penyelesaian ahli waris yang terhalang
Pemberian bagian kepada cucu yang terhalang menurut wasiat wajibah, bukan sebagai pengganti dari orang tuanya yang meningggal dunia terlebih dahulu. Namun ketentuan itu merupakan wasiat yang harus dilaksanakan sekalipun tidak diikrarkan. Bagian yang dapat diberikan maksimal sepertiga, dan bagi keturunan anak perempuan dibatasi hanya pada lapisan pertama (al thabaqat al ula).
Melihat uraian di atas, nampaknya penyelesaian melalui wasiat wajibah untuk memberikan bagian kepada keturunan yang terhalanng oleh saudara orang tuanya, yang telah meninggal terlebih dahulu belum tuntas pengaturannya.

D.      Analisis Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Dari ketentuan pasal 185 KHI tesebut, paling tidak dapat dipahami hal-hal sebagai berikut
1)      Apabila ada ahli waris yang meningggal terlebih dahilu sebelum pewaris meninggal, maka kedudukan ahli waris tesebut dapat digantikan oleh anaknya.
2)      Hubungan ahli waris dengan pewaris tidak disebutkan secara eksplisit, bahwa ahli waris adalah anak pewaris dan anak ahli waris adalah cucu pewaris
3)      Isi pasal tersebut tisak bersifat imperatif. Hal ini bisa dilihat dari kata “dapat” dalam pasal tersebut
4)      Ketentuan pasal 185 ayat (1) dibatasi oleh pasal 173, yaitu yang dinyatakan terhalang menjadi ahli waris
5)      Bagian yang akan diterima oleh ahli waris pengganti tidak boleh melibihi dari bagian yang diterima oleh ahli waris yang sederajat dengan yang diganti (orang tuan yang mengganti)
Sehubungan denga pemahaman di atas, nampaknya dalam pasal tersebut, banyak masalah yang menarik untuk dikaji. Masalah itu terutama dalam hubungannya dengan ketentuan hukum kewarisan Islam menurut pendapat para ulama dan hubungannya dengan pasal-pasal dalam KHI itu sendiri. Masalah yangmenarik untuk dikaji itu adalah antara lain:
1)      Hubungan dengan kelompok dzawi al furudl
2)      Hubungan dengan kelompok ‘ashabat
3)      Penerimaan dzawi al arham yang lebih besar dari dzawi al furudl
4)      Apakah ahli waris pengganti menghalangi ahli waris lain
5)      Apakah pemberian yang diberikan pewaris kepada ahli waris penggnati diperhitungkan atau tidak
6)      Hubungan pasal 185 dengan pasal 173 dan pasal 171

BAB V
PELAKSANAN AHLI WARIS PENGGANTI
A.      Lokasi Penelitian
1)      Pengadilan Agama Jakarta Selsatan
2)      Pengadilan Agama Jakarta Utara
3)      Pengadilan Agama Jakarta Timur
4)      Pengadilan Agama Jakarta Barat
5)      Pengadilan Agama Jakarta Pusat
6)      Pengadilan Agama Bekasi
7)      Pengadilan Agama Tanggerang
8)      Pengadilan Agama Serang
9)      Pengadilan Agama Pandeglang
10)  Pengadilan Agama Rangkasbitung

B.       Data yang Diperoleh
Selain data kepustakaan, data lapangan yang akan dikaji dalam penelitian ini, bersumber dari prodik Pengadilan Agama berkaitan dengan enyelesaian kewarisan yang memuat kasus ahli waris pengganti. Penelitian dilakukan dengan pengajian produk Pengadilan Agama tersebut sejak diberlakukan KHI (diambil dari tahun 1992) sampai tahun 1997.
Selanjutnya dari data yang penulis dapatkan akan dikahi sejauh mana pelaksanaan ahli waris pengganti sebgagaiman disebutkan dalam pasal 185 KHI kajian akan difokuskan pada masalah sebagai berikut:
1)   Pengelompokkan ahli waris pengganti dihubungkan dengan jenis kelompok dzawi al arham, kelompok ahli waris yang terkena hijab hirman dan kelompok ahli waris ‘ashabat.
2)   Tentang besarnya bagian yang diberikan kepada ahli waris pengganti dibangdingkan dengan besarnya bagian yang diterima oleh ahli waris yang sederajat denga yang diganti.
3)   Pelaksanaa ahli waris pengganti oleh keturunan anak pewaris (cucu dst) dan oleh keturunan saudara pewaris serta keturunan ahli waris lainnya.
4)   Tahun kematian pewaris dihubungkan dengan mulai berlakuknya KHI

C.       Kelompok Ahli Waris Pengganti
Dari lokasi penelitian, kelompok ahli waris yang menerima bagian sebagai ahliwaris pengganti, bisa dibedakan kepada kelompok dzawi al araham sebanyak 42,04% (37 AP), kelompok yang terkenma hijab hirman sebanyak 39,77% (35 AP) dan kelompok ‘ashabat sebanyak 18.19% (16 AP).
Dari data di atas nampak ebanyak 18,19% ada yang menempatkan cucu atau keturunan dari ahli waris yang meninggal terlebih dahulu sebelum pewaris, sebagai ahli waris pengganti, padahal sebenarnya mereka (cucu tersebut) kedudukannya buakan sebagai ahli waris pengganti. Mereka menerima bagian karena kedudukan mereka yang menjadi ahli waris. Dalam kasus tersebut mereka sebagai kelompok ‘ashabat yang tidak terkena hijab hirman.

D.      Bagian Ahli Waris Pengganti
Hasil temuan di lokasi penelitian menunjukkan bahwa pemberian bagain kepada ahli warispengganti tersebut tidak seragam. Data di lokasi penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 47 kasus (72,30%) dari 65 kasus memberi bagian kepada ahliwaris pengganti tidak melebihai bagian yang diterima olah ahli waris yang sederajat yang digantikan. Selanjutnya 16 kasus (24,60%) dari 65 kasus, besarnya bagian kepada ahli waris pengganti, melebihi besarnya bagian ahhliwaris sederajat dengan ahli waris yang digantikan. Hal tersebut terjadi karena besarnya bagian yang diberkan kepada ahli waris pengganti, utuh sebesar bagian yang seharusnya diberikan kepada ahli waris yang digantikan tersebut, tanpa memperhatikan bagian yang diterima oleh ahli waris yang sederajat dengan yang digantikan.
Ketidak seragaman pemberian bagian kepada ahli waris penggganti ini, tentu tidak akan terjadi apabila ada kesatuan pemahaman terhadapa pasal 185 KHI tersebut. Keadaan ini menunjukkan belum ada kesatuan dalam pelaksanaan KHI (paling tidak di lokasi penelitian), khususnya dalam memahami dan melaksanakan makna yang dikehendaki olah pasal 185 KHI tersebut. Tentu hal ini merupakan sesuatu yangtidak kita inginkan, kalau dihubungakn denga tujuan pembentukan KHI yang menghendaki adanya kesatuan hukum, menuju terciptanya kepastian hukum, dalam bidang hukum kewarisan bagi orang Islam.

E.       Cara Memberikan Bagian kepada Ahli Waris Pengganti
Diskusi hakim dalam lingkungan Pengadilan Agama Jakarta Pusat tahun1995, mengungkapkan bahwa salah satu kendala pelaksanaan ahli waris pengganti adalah masalah cara memberikan bagian kepada ahli waris pengganti tersebut. Walaupundalam makalah pada diskusi tersebut tidak jelas bagaimana kendalanya. Hanya dalam makalah itu disebutkan alternatif cara memberikan bagian kepada ahli waris pengganti itu, antara lain dengan cara bagian ahli waris yang meninggal terlebih dahulu, dikurangi dahulu sehingga menjadi sama dengan bagian yang paling kecil dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang digantikan. Apabila bagian ahli waris yang diganti lebih besar dari bagian ahli waris yang sederajat, maka sisanya dikembalikan (raad) kepada seluruh ahli waris yang ada sesuai perbandingan.

F.        Ahli Waris Pengganti Garis Lurus dan Menyamping
Secara eksplisit, pasal 185 KHI tidak menyebutkan tentang hubungan ahli waris pengganti dengan pewaris. Apakah hubungan pewaris dengan ahli waris pengganti merupakan hubungan kakek dengan cucu, apabila pewaris itu adalah orang tua dari ahli waris, atau hubungan paman dengan keponakan, apabila pewaris itu saudara dari ahliwaris. Redaksi pasal 185 bersifat tebuka, artinya ahli waris pengganti bisa siapa saja yang merupakan anak dari ahli waris yang meningggallebih dahulu dari pewaris.
Data di lokasi penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan ahli waris pengganti itu terjadi dalam garis lurus kebawah yaitu cucu (keturunan anak) dan dalam garis yang menyamping (keturunan saudara). Dalam penelitian , terlihat bahwa pelaksanaan ahli waris pengganti dalam garis lurus kebawah ada 52 AP (80,00%) dana dalam pelaksanaan dalam garis menyamping ada 12 AP (18,46%). Di samping tiu ada satu ahli waris pengganti dari keturunan (cucu) saudara perempuan ibu (ibn ibn al khalah).

G.      Tahun Kematian Pewaris dan Berlakunya Kompilasi Hukum Islam
Mahkamah Agung melalui putusannya No. 221K/AG/1993 tanggal 2 Juni 1994, tidak membenarkan pemberlakuan KHI bagi kasus yang terjadi sebelum berlakunya KHI tersebut. Dari data yang didapatkan, bahwa cukup besar perhatian masyarakat terhadap ketentuan ahli waris pengganti tersebut. Sebab ternyata keluarnya ketentuan pasal 185 KHI tersebut, banyak peristiwa kematian sebelum berlakunya KHI tersebut yang memuat ahli waris pengganti (35 kasus, 53,85%), para ahli waris membawa kasus tersebut ke pangadilan utnuk mendapatkan penyelesaian. Dari 35 kasus di lokasi penelitian yang diselesaikan tersebut, 30 kasus diantaranya diselesaikan di Pengadilan Agama, berdasarkan hukum kewarisan Islammelalui akta pembagian waris tanpa sengketa. Ini berarti mereka menerima dengan baik ketentuan pembagian harta warisan yang memuat ahli waris pengganti sebagaimana diatur dalam pasal 185 KHI.

H.      Analisis Perbandingan Ahli Waris Pengganti Menurut KHI dengan Wasiat Wajibah
Bahwa pengaturan ahli waris pengganti menurut pasal 185 KHI, lebih dapat diterima dibandingkan dengan ketentuan dalam wasiat wajibah. Karena penentuan dalam KHI merupakan proses pemberian kepada ahli waris, tidak mengkaitkan dengan wasiat. Dalam praktek penyelesaian menurut KHI, bisa terjadi ada wasiat sampai sepertiga harta peninggalan, sementara ahli waris penggantu pun mendapat bagiannya, suatu keadaan yang tidak mungkin terjadi dalam pelaksanaan wasiat wajibah.
Selanjutnya penerima wasiat wajibah terbatas, yakni hanya cucu lapisan pertama dari anak perempuan dan keturunan dari anak laki-laki. Sedangkan ahli waris pengganti menurut pasal 185 KHI tidak dibatasi, tapi bersifat terbuka, yaitu anak (keturunan) dari ahli waris yang telah lebih dahulu meninggal dunia sebelum pewaris. Karena sifat terbuka ini, menjadikan KHI bersifat fleksibel dalam menentukan ahli waris pengganti tersebut. Walaupun berlakunya pasal 185 tersebut, dibatasi oleh ketentuan lain yang berlaku secara umum dalam ketentuan waris. Umpamanya tidak setiap anak ahli waris yang meniggal dunia terlebih dahulu bisa menggantikan ahlli waris tersebut. Anak dari istri (anak tiri pewaris) tidak mungkin menggantikan kedudukan istri tersebut, sekalipun istri itu adalah ahli waris yang lebih dulu meninggal dari pada pewaris dan dia punya anak. Karena dia (anak tiri) tidak mempunyai hubungan sebab kewarisan.

BAB VI
PENUTUP
A.      Kesimpulan
1.    Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI) sebagai mana tertuang dalam Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 jo Keputusan Menteri Agama No. 154 Tahun 1991, merupakan karya besar bangsa Indonesia. Keberhasilan penyusunan KHI, merupakan bagian dari upaya bangsa Indonesia untuk menjadikan hukum Islam sebagai hukum positif di Indonesia, dalam rangka kesatuan dan kepastian hhukum umat Islam Indonesia.
2.    Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI) terdiri dari tiga buku, yaitu buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan dan buku III tentang Perwakafan. Hukum kewarisan adalah hukum perpindahan hak pemilihan harta peninggalan pewaris, menentukan siapa-sipaa yang berhak menjadi ahli waris, berapa bagian masing-masing ahli waris tersebut dan bagaimana prioritas penerimaannya.
Berdasarkan kajian yang telah dilakukan oleh penulis, ternyata bahwa dalam hukum kewarisan Islam sebagaimana tertuang dalam buku II KHI tersebut, masih nampak pasal-pasal yang harus disempurnakan, baik redaksi maupun substansinya. Hukum kewarian dalam buku II KHI belum mengatur secara lengkap dan jelas tentang rincian pengelompokkan ahli waris, berapa bagian mereka masing-masing serta bagaimana prioritas penerimaan bagiannya. Sehingganya oleh karena hukum kewarisan dalam buku II KHI tersebut belum bisa menampilkan hukum kewarisan sebagaimana dikehendaki oleh KHI itu sendiri. Kekurangsempurnaan tersebut pada bagian-bagian tertentu menimbulkan ketidak jelasan di dalamnya. Karena ketidak jelasan ini, maka dalam pelaksanaannya bisa menimbulkan ketidaksamaan persepsi dan perbedaan pemahaman, yang mengakibatkan tidak adanya kesatuan dan kepastian hukum dalam lapangan hukum kewarisan Islam, sebagaimana yang menjadi tujuan Kompilasi Hukum Islam di indonesia.
3.    Ketentuan ahli waris pengganti sebagaimana diatur oleh pasal 185 Kompilasi Ukum Islam di Indonesia (KHI), merupakan hasil kesepakatan para ulama (ijtihad jama’iy) dalam bidanng hukkum kewarisan. Munculnya pasal tersebut pada dasarnya telah disambut baik oleh para pencari keadilan. Namun substansi dan ungkapan pasal 185 itu masih mengandung ketidak jelasan, yang memungkinkan timbulnya kerancuan pemahaman terhadap maksud isi pasal tersebut.
4.    Karena terjadinya kerancuan pemahaman terhadap materi ketentuan ahli waris pengganti sebagaiman diatur oleh pasal 185 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI), maka terjadi kerancuan penafsiran dalam pelaksanaannya. Berdasarkan temuan data di lokasi penelitian, hal trsebut pada kasus tertentu, menyebabkan timbulnya disparitas dalam produk hukum yang keluar dari Pengadilan Agama.

B.       Saran-Saran
Sehubunngan dengan beberapa kesimpulan di atas, penulis mengajukan saran, bahwa dalam menampilkan hukum yang jelas menuju kessatuan pemahaman dan kesatuan hukum bagi terciptanya kesatuan hukum, sebagaimana yang menjadi tujuan pembentukan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI), maka dalam usia pelaksanaannya yang sudah melibihi lima tahun, sudah waktunya kita untuk meninjau kembali untuk mengakji ulang materi buku II KHI tersebut bagi penyempurnaannya. Beberapa perbaika yang diajukan oleh penulis sebagai bahan pertimbangan dalam upaya peneympurnaan buku II KHI tersebut antara lain:
1.    Penyeragaman beberapa istilah dan penyempurnaan beberapa pasal antara lain: pasal 171 c tentang pengertian ahli waris, pasal 171 e tentang pengertian harta warisan, pasal 171 f tentang pengertian wasiat, pasal 172 tentang penngertian beragama Islam bagi pewaris, pasal 191 tentang kewajiban baitul mal, pasal 195, 205, 206 tentang cara membuat wasiat, pasal 208 tentang wasiat bagi pembuat wasiat dan saksi-saksi, pasal 200, tentang penyusutan atau kerusakan benda wasiat, pasal 173 jo 197 tentang halangan menjadi ahliwaris, pasal 186 tentang anak di luar kawin dan hubungannya dengan batas minimal dan maksimal kandungan.
2.    Penegasan pengelompokkan dan rincian ahli waris serta prioritas penerimaan bagiannya meliputi:
a.    Pengelompokkan dan rincian ahli waris dalam pasal 174 disempurnakan, sehubungan denngan ketentuan dalam pasal 192 dan 193 mengakui keberadaan kelompok dzawi al furudl dan ‘ashabat.
b.    Penegasan keberadaan kelompok  dzawi al arham, kaitan dengan pengakuan kelompok tersebut sebagai mana tersirat dalam pasal 174. Pasal ini mengisyaratkan pengakuan adanya pengakuan kelompok dzawi al arham. Hal ini bisa kita tangkap umpama dari ungkapan tentang disebutnya secara mutlak dan tidak dirinci istilah “kakek (jadd), nenek (jaddat) dan paman (‘amm). Demikian pula dalam pasal itu tidak disebutkan sudara perempuan ayah dan saudara perempuan ibu, yang dalam istilah sehari-hari biasa disebut “bibi” (‘ammah/khalah).
c.    Penegasan kejelasan tentang pengertian anak (walad) waktu mereka bersama saudara (ikhwat aw akhwat), sebagai mana disebutkan dalam al Quran S. Al Nisa: 176, yang berpengaruh kepada istilah dan keberadaan kelompok ‘ashabat ma’a al ghair.
d.   Penyempurnaan bagian ayah sebagaimana diatur oleh pasal 177 dan 178.
e.    Penentuan sikap yang  jelas pada kasus-kasus tertentu, seperti yang ditunjukkan oleh pasal 178 dalam masalah al gharawain.
3.    Wasiat wajibah sebagaimana diatur oleh pasal 209, perlu dipperluas bagi ahli waris yang mempunyai pertalian hubungan nasab dengan pewaris dan tidak mendapat bagian warisan, seperti kelompok dzawil al arham yang tidak terjangkau pengaturannya oleh pasal 185. Hal ini sejalan dengan ide awal pemikiran para ulama pada waktu munculnya pemikiran tentyang wasiat wajibah tersebut.
4.    Berkaitan dengan penyempurnaan ketentuan ahli waris pegganti sebagaimana diatur oleh pasal 185 KHI, hal-hal yang perlu menjadi bahan pertimbangan antara lain sebagai berikut:
a.    Bagi ahli waris yang termasuk kepada kelompok dzawi al furudl atau kelompok ‘ashabat yang tidak tertutup dengan hijab hirman, tetap diberikan bagiannya, mereka tidak dikelompokkan kepada ahli waris pengganti.
b.    Bagian yang akan diterima oleh ahli waris pengganti tidak melebihi bagia ahli waris yang sederajat dengan yang diganti dan tidak melebihi pula bagian ahli waris yang lain yang sudah ditentukan bagiannya, apabila tidak ada ahi waris yangsederajat dengan yang diganti.
c.    Pemberian bagian kepada ahli waris pengganti tidak menyebabkan terjadinya hijab nuqshan dan hijab hirman bagi ahli waris lain.
d.   Wasiat atau pemberian pewaris pada masa hidupnya kepada ahli waris pengganti, hanya akan diperhitungkan dengan bagiannya sebagai ahli waris pengganti, apabila para ahli waris lain menghendakinya.
e.    Untuk memberikan kepastian yang mengikat, sesuai dengan perkembangan historis lahirnya pasal 185 KHI, dalam rangka memberikan bagian kepada ahli waris yang tidak menerima bagian warisan karena terhalang oleh saudara orang tuanya, maka kata “dapat” dalam pasal 185 ayat (1) harus dihilangkan.
f.     Penyempurnaan pasal 185 KHI yang diusulkan oleh penulis sebagaimana diuraikan di atas lihat dalam lampiran VI.


KOMENTAR TERHADAP DISERTASI
1.      Dalam pendahuluan, penulis terlalu jauh dalam memulai pembahasannya, sebaiknya penulis tidak menyinggung masalah piagam jakarta dan UUD 1945, langsung saja memuali dari sedikit gambaran tentang sejarah KHI dan selanjutnya mengambarkan permasalahan yang akan diangkatkan.
2.      Dalam memaparkan isi dari bab II sampai bab V, penulis cendrung memakai bahasa yang kurang sederhana,seperti dalam menjelaskan sesuatu penulis tidak langsung ke inti sehingga dapat mengakibatkan banyaknya pengulangan kata.
3.      Dalam penelitiannya, penulis cukup banyak mengemukakan variabel, menggunakan banyak teori untuk mengupas permasalahannya. Sehingga penelitian yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Hal ini terbukti dari kerangka teoritis dan konsepsional yang digunakan penulis.
4.      Mengenai batasan, tujuan dan kesimpulan dalam penelitian ini, penulis tidak melenceng dari rumusan permasalahannya.
5.      Yang menarik dari disertasi ini adalah mengenai saran-saran yang diberikan oleh penulis. Dalam sarannya penulus menegaskan, meluruskan dan menjelaskan bagaimana seharusnya dari materi peraturan mengenai ahli waris pengganti ini. Dalam hal ini penulis juga mengajukan penyempurnaan terhadap pasal 185 KHI ini.

6.      Dalam latar belakang masalah, penulis juga mengambarkan tentang hal-hal lain yang menarik untuk diteliti, bisa disebut ini sebuah identifikasi masalah, diantaranya adalah mengenai masalah kakek, nenek, paman dan bibi. Secara sederhana masalahnya adalah tidak dijelaskannya kakek, nenek, paman dan bibi itu dari pihak siapa. Kemudian permasalahan kedudukan saudara perempuan ayah dan saudara perempuan ibu juga tidak dijelaskan, hal in yang lebih dikenal dengan “bibi”, “bibi” ini tidak dijelaskan apakah ‘ammah atau khalah. Dan juga masalah penghalang menerima wasiat, yaitu berdasarkan pasal 197 KHI ayat (1) yaitu “mencoba membunuh” dan “dipersalahkan menfitnah” menjadi penghalang untuk menerima wasiat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar