Senin, 15 Februari 2016

PEWARIS, AHLI WARIS DAN HARTA WARIS

Untuk  pewarisan diperlukan adanya unsur-unsur sebagai berikut :
      1.      adanya orang yang meninggal dunia (muwaris)
      2.      adanya orang yang masih hidup (waris)
      3.      adanya benda yang ditinggalkan (maurus)[1]

   A.    PENGERTIAN PEWARIS, AHLI WARIS DAN HARTA WARIS
      1.      Pengertian Pewaris
Pewaris adalah seseorang  yang telah  meniggal dunia dan meningalkan sesuatu  yang dapat beralih kepada  keluarganya yang masih hidup[2].

2.      Pengertian Ahli Waris
Ahli waris adalah  orang  yang berhak menerima harta peninggalan (mewarisi) orang yang meninggal, baik karena hubungan keluarga, prnikahan, maupun karena memerdekakan hamba sahaya (wala’).[3]

3.      Pengertian Harta Waris
Harta warisan yang yang dalam istilah faraid dinamakan tirkah (peninggalan) yaitu sesuatu yang  ditinggalkan oleh orang yang meninggal, baik berupa uang atau materi lainnya yang dibenarkan oleh  syariat Islam untuk diwariskan kepada ahli warisnnya[4].

B.     SYARAT PEWARIS, AHLI WARIS DAN HARTA WARIS
Syarat secara umum agar pewarisan dapat terjadi adalah, meninggalnya muwaris, hidupnya ahliwaris ketika muwaris meninggal dan tidak adanya penghalang untuk saling  mewarisi[5].

1.      Syarat Pewaris
Syarat yang harus terpenuhi berkenaan dengan pewaris ini adalah “telah jelas matinya”. Hal ini memenuhi prinsip kewarisan akibat kematian, yang berarti bahwa harta pewaris beralih kepada ahli warisnya setelah kematiannya[6].
Kematian seseorang yang mewarisi, menurut ulama kematiannya itu dibedakan menjadi tiga[7] :
a.       Mati hakiki (sejati), yaitu hilangnya nyawa seseorang, baik kematian itu disaksikan dengan pengujian, seperti tatkala seseorang disaksikan meninggal, atau dengan pendeteksian dan pembuktian, yakni kesaksian dua orang yang adil atas kematian seseorang.
b.      Mati hukmi, adalah suatu kematian yang disebabkan oleh keputusan hakim, seperti seorang hakim memvonis kematian si mafqud orang yang tidak diketahui kabar beritanya, tidak dikenal domisilinya, dan tidak diketahui pula hidup atau matinya. Status orang ini, jika teelah melewati bataswaktu yang ditentukan untuk pencariannya, si mafqud, karena didasarkan atas sangkaan yang kuat, bisa dikategorikan sebagai orang yang telah mati.
c.       Mati taqdiriy adalah suatu kematian yang semata-mata berdasarkan dugaan yang sangat kuat.



2.      Syarat Ahli Waris
a.       Ahli waris itu telah atau masih hidup pada waktu meninggalnya pewaris[8]. Ahli waris yang hidup, baik secara hakiki maupun hukmiy, setelah kematian si mayit, sekalipun hanya sebentar, memiliki hak atas harta waris[9].
b.      Tidak ada hal-hal yang menghalanginya secara hukum untuk menerima warisan.
c.       Tidak terhijab atau tertutup secara penuh oleh ahli waris secara dekat[10].

3.      Syarat Harta Waris
Harta yang ditinggalkan tersebut  harus murni dari hak orang lain di dalamnya. Diantara usaha dalam memurnian hak orang lain itu ialah dengan mengeluarkan wasiat dan membayarkan hutang pemilik harta. Hukum yang mengenai pembayaran hutang dan wasiat itu dapat dikembangkan kepada hal dan kejadian lainsejauh didalamnya terdapat hak-hak orang lain yang harus dimurnikan dari harta peninggalan orang yang meninggal, diantaranya adalah ongkos penyelenggaraan jenazah sampai dikuburkan, termasuk biaya pengobatan diwaktu sakit yang membawa kepada kematian[11].
  
BAB III
PENUTUP

  1. KESIMPULAN
    1. Pewaris adalah seseorang  yang telah  meniggal dunia dan meningalkan sesuatu  yang dapat beralih kepada  keluarganya yang masih hidup. Dan syarat dari pewaris ini adalah dia telah meninggal.
    2. Ahli waris adalah orang yang berhak menerima harta yang di tinggalkan oleh pewaris. Dan mempunyai syarat, bahwa mereka hidup pada saat sepewaris meninggal, kemudian tidak terhalang secara hukum untuk mendapatkan harta warisan.
    3. Harta warisan adalah sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meinggal. Dan syaratnya harta warisan tersebut adalah murni kepunyaan si pewaris.


  1. SARAN
Banyak hal yang mungkin akan terjadi didalam pembagian harta warisan ini, karena ini adalah menyangkut harta. Orang bisa saja berbuat apa saja demi mendapatkan harta. Maka dari itu, kita sebagai umat Islam, kita dituntut untuk mengetahui dan memahami permasalahan yang menyangkut dengan kewarisan serata ilmu kewarisan tersebut. Agar perintah Allah yang satu ini dapat dijalankan secara benar, dan juga pewaris menjadi tenang meninggalkan hartanya kepada ahl warisnya, sehingga ia dapat tenang di dalam kubur.




[1] Suparman Usman, Ikhtisar Hukum Waris, Darul Ulum, Bandung, 1993, hal. 59
[2] Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Kencana, Jakarta, 2004, hal.204
[3] Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2006, hal. 44
[4] Ibid,
[5] A. Rahman Ritonga, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam Jilid I, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997, hal. 309
[6] Amir Syarifuddin, Op. cit, hal. 206
[7] Komite Fakultas Syari’ah Unifersitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris Terlengkap, Senayan Abadi Publishing, Jakarta Selatan, 2004, hal. 29-30
[8] Amir Syarifuddin, Op. cit, hal. 211
[9] Komite Fakultas Syari’ah Unifersitas Al-Azhar Mesir, Op. cit, hal. 30
[10] Amir Syarifuddin, Log. cit
[11] Ibit, hal. 208

Tidak ada komentar:

Posting Komentar