1.
adanya orang yang meninggal dunia
(muwaris)
2.
adanya orang yang masih hidup (waris)
3.
adanya benda yang ditinggalkan (maurus)[1]
A.
PENGERTIAN PEWARIS, AHLI
WARIS DAN HARTA WARIS
1.
Pengertian Pewaris
Pewaris adalah seseorang yang telah
meniggal dunia dan meningalkan sesuatu
yang dapat beralih kepada
keluarganya yang masih hidup[2].
2.
Pengertian Ahli Waris
Ahli waris adalah
orang yang berhak menerima harta
peninggalan (mewarisi) orang yang meninggal, baik karena hubungan keluarga,
prnikahan, maupun karena memerdekakan hamba sahaya (wala’).[3]
3.
Pengertian Harta Waris
Harta warisan yang yang dalam istilah faraid
dinamakan tirkah (peninggalan) yaitu sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal, baik
berupa uang atau materi lainnya yang dibenarkan oleh syariat Islam untuk diwariskan kepada ahli warisnnya[4].
B.
SYARAT PEWARIS, AHLI WARIS
DAN HARTA WARIS
Syarat secara umum agar pewarisan dapat terjadi
adalah, meninggalnya muwaris, hidupnya ahliwaris ketika muwaris meninggal dan
tidak adanya penghalang untuk saling
mewarisi[5].
1.
Syarat Pewaris
Syarat yang harus terpenuhi berkenaan dengan pewaris
ini adalah “telah jelas matinya”. Hal ini memenuhi prinsip kewarisan akibat
kematian, yang berarti bahwa harta pewaris beralih kepada ahli warisnya setelah
kematiannya[6].
Kematian seseorang yang mewarisi, menurut ulama
kematiannya itu dibedakan menjadi tiga[7] :
a.
Mati hakiki (sejati), yaitu
hilangnya nyawa seseorang, baik kematian itu disaksikan dengan pengujian,
seperti tatkala seseorang disaksikan meninggal, atau dengan pendeteksian dan
pembuktian, yakni kesaksian dua orang yang adil atas kematian seseorang.
b.
Mati hukmi, adalah suatu
kematian yang disebabkan oleh keputusan hakim, seperti seorang hakim memvonis
kematian si mafqud orang yang tidak diketahui kabar beritanya, tidak
dikenal domisilinya, dan tidak diketahui pula hidup atau matinya. Status orang
ini, jika teelah melewati bataswaktu yang ditentukan untuk pencariannya, si mafqud,
karena didasarkan atas sangkaan yang kuat, bisa dikategorikan sebagai orang
yang telah mati.
c.
Mati taqdiriy adalah suatu
kematian yang semata-mata berdasarkan dugaan yang sangat kuat.
2.
Syarat Ahli Waris
a.
Ahli waris itu telah atau masih
hidup pada waktu meninggalnya pewaris[8]. Ahli
waris yang hidup, baik secara hakiki maupun hukmiy, setelah
kematian si mayit, sekalipun hanya sebentar, memiliki hak atas harta waris[9].
b.
Tidak ada hal-hal yang
menghalanginya secara hukum untuk menerima warisan.
3.
Syarat Harta Waris
Harta yang ditinggalkan tersebut harus murni dari hak orang lain di dalamnya.
Diantara usaha dalam memurnian hak orang lain itu ialah dengan mengeluarkan
wasiat dan membayarkan hutang pemilik harta. Hukum yang mengenai pembayaran
hutang dan wasiat itu dapat dikembangkan kepada hal dan kejadian lainsejauh
didalamnya terdapat hak-hak orang lain yang harus dimurnikan dari harta
peninggalan orang yang meninggal, diantaranya adalah ongkos penyelenggaraan
jenazah sampai dikuburkan, termasuk biaya pengobatan diwaktu sakit yang membawa
kepada kematian[11].
BAB
III
PENUTUP
- KESIMPULAN
- Pewaris adalah seseorang yang telah meniggal dunia dan meningalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup. Dan syarat dari pewaris ini adalah dia telah meninggal.
- Ahli waris adalah orang yang berhak menerima harta yang di tinggalkan oleh pewaris. Dan mempunyai syarat, bahwa mereka hidup pada saat sepewaris meninggal, kemudian tidak terhalang secara hukum untuk mendapatkan harta warisan.
- Harta warisan adalah sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meinggal. Dan syaratnya harta warisan tersebut adalah murni kepunyaan si pewaris.
- SARAN
Banyak hal yang mungkin akan terjadi didalam pembagian
harta warisan ini, karena ini adalah menyangkut harta. Orang bisa saja berbuat
apa saja demi mendapatkan harta. Maka dari itu, kita sebagai umat Islam, kita dituntut
untuk mengetahui dan memahami permasalahan yang menyangkut dengan kewarisan
serata ilmu kewarisan tersebut. Agar perintah Allah yang satu ini dapat
dijalankan secara benar, dan juga pewaris menjadi tenang meninggalkan hartanya
kepada ahl warisnya, sehingga ia dapat tenang di dalam kubur.
[1] Suparman
Usman, Ikhtisar Hukum Waris, Darul Ulum, Bandung, 1993, hal. 59
[2]
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Kencana, Jakarta, 2004, hal.204
[3]
Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2006, hal.
44
[4] Ibid,
[5] A.
Rahman Ritonga, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam Jilid I, PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve, Jakarta, 1997, hal. 309
[6]
Amir Syarifuddin, Op. cit, hal. 206
[7]
Komite Fakultas Syari’ah Unifersitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris Terlengkap,
Senayan Abadi Publishing, Jakarta Selatan, 2004, hal. 29-30
[8]
Amir Syarifuddin, Op. cit, hal. 211
[9]
Komite Fakultas Syari’ah Unifersitas Al-Azhar Mesir, Op. cit, hal. 30
[10]
Amir Syarifuddin, Log. cit
[11] Ibit,
hal. 208
Tidak ada komentar:
Posting Komentar