Dalam
kurun waktu 1500-1800 M, ada tiga kerajaan besar Islam yang muncul kepermukaan,
yaitu: kerajaan Utsmani di Turki, kerajaan Safawi di Persia dan kerajaan Mughal
di India. Ketiga kerajaan besar ini mempunyai kejayaan masing-masing, terutama
dalam bidang literatur dan arsitek. Mesjid-mesjid dan gedung-gedung indah yang
didirikan pada zaman ini masih dapat dilihat di Istambul, Tibriz dan Isfahan
serta kota-kota lain di Iran dan Delhi.
Ketika
kerajaan Turki Utsmani sudah mencapai puncak kemajuannya, kerajaan Safawi di
Persia baru berdiri. Dalam perkembangannya, kerajaan Safawi sering bentrok
dengan kerajaan Turki Utsmani. Dan kerajaan ini menyatakan Syi’ah sebagai Mazhab
Negara yang berbeda dengan dua kerajaan lainnya ( Utsmani dan Mughol). Karena
itu, kerajaan ini dapat dianggap sebagai peletak pertama dasar terbentuknya negara
Iran dewasa ini[1].
Ada
dua aspek menarik dari pengkajian sejarah kerajaan Safawi, yaitu: pertama,
lahirnya kerajaan Safawi adalah kebangkitan kembali kejayaan Islam yang
sebelumnya pernah mengalami masa kecemerlangan. Kedua, Dinasti Safawi
telah memberikan kepada Iran semacam “Negara Nasional” dengan identitas baru
yaitu aliran Syi’ah yang menurut G.H. Jansen merupakan landasan bagi
perkembangan nasionalisme Iran modern[2].
Untuk
lebih jelasnya permasalahan ini, penulis akan mecoba membahas beberapa pokok
pembahasan penting yang berkaitan dengan masalah ini, yang meliputi beberapa
hal berikut yang dimulai dengan asal usul kerajaan Safawi, kemudian kemajuan
peradaban Islam pada masa ini serta kemunduran dan kehancuran kerajaan Safawi.
II.
Pembahasan
A.
Asal Usul Kerajaan Shafawi
Terdapat
kontroversi mengenai etimologi kerajaan Safawi. Menurut Sayyid Amir Ali, kata Safawi
berasal dari kata Shafi, yaitu
suatu gelar bagi nenek moyang raja-raja Safawi, Shafi al-Din Ishaq al-Ardabily
(1252-1334 M) yang merupakan pemimpin dan pendiri tarekat Safawiyah. Adapun
alasan Amir Ali adalah bahwa para musafir, pedagang dan penulis Eropa
selalu menyebut raja-raja Safawi dengan gelar “Shafi Agung”. Sedangkan
menurut P.M. Holt, Safawi berasal dari kata Shafi , yaitu bagian dari
nama Shafi al-Din Ishaq al-Ardabily sendiri. Walaupun ia tak memberikan alasan,
namun secara bahasa, pendapat kedua inilah yang banyak dipegang oleh sejarawan [3].
Kerajaan
Shafawi secara resmi berdiri di Persia pada tahun 1501 M\907 H, yaitu ketika
Syah Ismail I dengan pasukan Qizilbash menyerang dan mengalahkan A.K. Koyunlu (domba putih) di
Sharur, dekat Nekhecivan yang merupakan ibu kota A.K. Koyunlu. Ismail berhasil
merebut dan mendudukinya. Di kota inilah Ismail memproklamasikan dirinya
sebagai raja yang pertama Dinasti Shafawi[4].
Shafi
al-Din Ishaq al-Ardabily lahir pada tahun 1252 M\650 H, enam tahun sebelum
Hulagu Khan menghancurkan kota Bagdad dan mengakhiri Dinasti Abbasiyah. Ia
lahir di kota Ardabil , sebuah kota yang paling Timur di Azerbeijan[5].
Sejak kecil ia gemar melakukan amal-amal yang berkenaan dengan keagamaan dan
mencintai kehidupan sufi. Sejak umur 25 tahun ia berguru kepada seorang sufi
bernama Zahid Taj al-Din. Selama dua puluh lima tahun menuntut ilmu tarekat
dengan gurunya yang kemudian dijadikan sebagai mertuanya. Setelah Syaikh Zahid
meniggal pada tahun 1301 M, dia menjadi pemimpin tarekat Safawiyah yang
berpusat di Ardabil, yang akhirnya dia lebih dikenal sebagai seorang sufi yang
besar dan keramat.
Adapun
mengenai asal usul keturunan Shafi al-Din al-Ardabily masih merupakan
problematika kontroversial atau suatu yang tidak jelas. Menurut sumber yang
diperoleh bahwa Shafi al-Din al-Ardabily berasal dari keturunan orang kaya dan
memilih sufi sebagai jalan hidupnya, ia merupakan keturunan imam Syi’ah yang
keenam yaitu Musa al-Kazhim. Oleh karena itu, ia termasuk keturunan Rasulullah
Saw dari garis puterinya Fatimah. Dan menurut pendapat lain, seperti P.M Holt,
Husin Muknis dan Zaini Dahlan mengatakan bahwa Shafi al-Din ishaq al-Ardabily
adalah seorang keturunan asli Iran dari Kurdistan yang berbahasa Azari, yaitu bahasa
Turki yang dipakai orang Azarbeijan. Bahkan Ia dianggap bukan penganut aliran
Syi’ah, tetapi seorang Sunni bermazhab
Syafi’i, baru pengganti setelahnya Khawaja Ali sebagai pemimpin tarekat Safawi
yang merupakan seorang penganut Syi’ah moderat[6]. Walaupun
berbeda pendapat dalam hal ini, namun perbedaan aliran yang terjadi pada
pemimpin Safawi seperti Khawaja Ali menurut PM. Holt dan sejarawan lainnya
bukanlah merupakan sesuatu yang luar biasa[7].
Gerakan
tasawuf Safawiyah ini pada mulanya adalah bertujuan untuk memerangi orang-orang
ingkar, kemudian memerangi golongan yang mereka sebut ”ahli-ahli bid’ah”. Dan
tarekat yang dipimpim oleh Shafi al-Din ini semakin penting terutama setelah ia
mengubah bentuk tarekat dari pengajian tasawuf murni yang bersifat lokal
memjadi gerakan keagamaan yang sangat besar berpengaruh di Persia, Anatolia dan
Suria. Di negeri-negeri di luar Ardabil, Shafi al-Din menempatkan seorang wakil
yang memimpin murid-muridnya, dan wakil itu bergelar khalifah[8].
Sejak
Shafi al-Din mulai memimpin ribath dan mendirikan tarekat Safawiyah pada
tahun 1301 M sampai kepada Syah Ismail I memproklamasikan berdirinya kerajaan Safawi
pada tahun 1501 M, telah banyak pengalaman keluarga Safawi dalam perjuangan
mereka menegakkan cita-cita selama dua abad itu. Paling tidak, ada dua tahap
atau dua fase gerakan perjuangan yang mereka lalui[9],
yaitu:
Pada
fase pertama, pada tahun 1307-1447 M, gerakan Safawi merupakan gerakan
murni keagamaan dengan tarekat Safawiyah sebagai sasarannya serta mempunyai
pengikut yang besar sekali yang tidak hanya di Persia tetapi juga di Syiria dan
Anatolia. Pada fase pertama ini, gerakan Safawiyah tidak mencampuri masalah
politik, sehingga ia berjalan dengan lancar dan damai baik pada masa Ikhwan
maupun pada masa penjarahan Timur Lenk. Dalam konstelasi politik yang paling
suram itu, dapat dimengerti mengapa kehidupan tarekat Safawi dapat tumbuh dan
mendapat simpatisan rakyat banyak. Umat umumnya hidup dalam suasana apatis dan
pasrah melihat anarki politik yang berkecamuk, hanya dengan kehiduan agama
lewat sufisme mereka mendapatkan kekuatan mental dalam menghadapi kehidupan dan
lewat persaudaraan tarekat mereka merasa aman serta dapat menjalin persaudaraan
sesama muslim[10].
Menurut
P.M. Holt, selama fase pertama ini, gerakan Safawi mempunyai dua warna. Pertama,
bernuansa Sunni, yaitu pada masa pemerintahan Shafi al-Din Ishaq dan anaknya
Shadruddin Musa. Kedua, berubah menjadi Syi’ah pada masa pemerintahan
Khawaja Ali anak Shadruddin. Perubahan tersebut tampaknya wajar saja terjadi
karena disamping alasan yang sudah disebutkan, juga ada kemungkinan
bertambahnya pengikut Safawiyyah dari kalangan Syi’ah, sehingga kepemimpinanya
berusaha menyesuaikan diri dengan aliran mayoritas pendukungnya[11].
Pada
fase kedua, pada tahun 1447-1460 M, gerakan Safawi memasuki masa
perjuangan dan menjadi gerakan politik di bawah kepemimpinan Juned[12], dalam
hal ini gerakan Safawi dari gerakan keagamaan memasuki kegiatan politik.
Perluasan kegiatan ini menimbulkan komplik antara Juned dengan penguasa Kara
Koyunlu (domba hitam) yang merupakan salah satu bangsa Turki yang berkuasa di
wilayah itu. Dalam komplik tersebut Juned kalah dan mengasingkan diri ke suatu
tempat. Di tempat baru ini ia mendapat perlindungan dari penguasa Diyar Bakr,
Ak-Koyunlu (domba putih) yang juga merupakan salah satu suku bangsa Turki. Ia
tinggal di istana Uzun Hasan yang ketika
itu menguasai sebagian besar wilayah Persia[13].
Selama
dalam pengasingan, Juned tidak tinggal diam, ia malah dapat menghimpun kekuatan
untuk kemudian beraliansi politik dengan raja Ak Koyunlu untuk bersama-sama
menghadapi Kara Koyunlu, kemudian aliansi politik ini semakin bertambah kuat
dengan adanya pernikahan Juned dengan saudara perempuan Uzun Hasan. Aliansi
politik yang diperkuat dengan kekerabatan ini diperkuat lagi oleh adanya
perkawinan antara Haidar putra Juned dengan putri Uzun Hasan sendiri[14].
Perubahan
Safawi dari gerakan keagamaan kepada gerakan politik cukup menarik, karena
sebagai tarekat sufi yang lebih bersifat ukhrawi kemudian menjadi
duniawi (profan). Adapun faktor utama yang menyebabkan terjadinya perubahan
tersebut adalah ada pada ajaran tarekat itu sendiri, yaitu hubungan antara
pemimpin tarekat dengan pengikut-pengikutnya. Pemimpin tarekat yang disebut mursyid
mempunyai wakil (khalifah) di daerah-daerah tertentu tempat
pengikutnya-pengikutnya berada. Anggota tarekat harus tundak secara mutlak
kepada mursyid dan khalifah. Oleh karena itu, ikatan antara pemimpin
dengan pengikutnya sangat kuat, sehingga ada semacam hierarki spiritual. Dalam
tarekat Safawi, pemimpin tarekat yang meninggal dunia selalu digantikan oleh
anaknya seperti dalam kepemimpinan dinasti, ini menjadi dasar yang mendorong
perubahan tersebut. Jika sang pemimpin seperti Juned memiliki ambisi politik,
para pengikutnya dapat disulap menjadi tentara yang fanatik dan mendukung
ambisi politik kepemimpinannya[15].
Pada
tahun 1459 M Juned mencoba merebut Sircassia, tetapi pasukan yang dipimpinnya
dihadang oleh tentara Sirwan. Tentaranya yang belum begitu kuat menghadapi
pasukan Sirwan, sehingga pasukannya mengalami kekalahan dan dia sendiri tewas
dalam pertempuran tersebut.
Ketika
Juned terbunuh dalam pertempuran tersebut, anaknya yang masih kecil bernama
Haidar berada dalam asuhan Uzun hasan. Dengan demikian gerakan Safawi baru
dapat diserahkan kepada Haidar secara resmi pada tahun 1470 M. Hubungan Haidar
dengan Uzun hasan semakin diperkuat setelah Haidar mengawini putri Uzun Hasan.
Dengan perkawinan ini lahirlah Ali, Ibrahim dan Ismail. Selama dalam
kepemimpinannya, Haidar belum begitu banyak mewujudkan cita-cita gerakan
Safawi. Meskipun demikian, namun ia sempat memberikan atribut kepada
pendukung-pendukungnya berupa surban merah yang berumbai dua belas, sehingga
mereka dikenal dengan sebutan kepala merah atau Qizilbas. Umbai dua belas
menunjukkan Syiah Imamiyah dua belas yang menjadi anutannya. Atribut ini sangat
besar pengaruhnya dalam menanamkan fanatisme, militansi serta pertumbuhan dan
perkembangan kerajaan Safawi dibelakang hari[16].
Setelah
Ak Koyunlu menumbangkan Kara Koyunlu pada tahun 1467 M, aliansi Safawi dengan
gerakan Ak Koyunlu menjadi guncang. Ak Koyunlu menganggap gerakan Safawi
sebagai gerakan politik yang bisa membahayakan kelestarian kekuasaanya di
Persia. Maka Ali bin Haidar yang menggantikan kekuasaan ayahnya sebagai
pemimpin Safawi ketika itu ditangkap oleh Ya’kub raja Ak Koyunlu dan diasingkan
ke Fars bersama ibu dan saudaranya yaitu Ibrahim dn Ismail selama empat
setengah tahun (1489-1493 M). Keadaan ini mendorong pengikut-pengikut Safawi
yang tersebar luas di Persia, Armenia, Anatolia dan Syiria untuk memperkuat
kekuatan sendiri, akan tetapi karena kepentingan politik Ak Koyunlu, mereka
dibebaskan oleh Rustam yang merupakan putra mahkota Ak Koyunlu dengan janji
membantunya dalam menghadapi lawannya yaitu memperebutkan tahta kerajaan dengan
sepupunya. Setelah janjinya dipenuhi, maka Ali kembali ke Ardabil, dan tidak
lama kemudian Rustam memusuhinya kembali serta menyeranginya sehingga ali
terbunuh dalam serangan ini. Sebelum meninggal, Ali sempat mengangkat adik
bungsunya Ismail bin Haidar yang waktu itu berusia tujuh tahun untuk menjadi
pemimpin Safawi.
Ismail
yang masih remaja berusaha untuk memanfaatkan kedudukannya sebagai mursyid
Safawiyah dan pemimpin gerakan Safawi untuk mengonsolidasikan kekuatan
politiknya. Secara sembunyi-sembunyi ia menjalin hubungan erat dengan para
pengikutnya yang tersebar luas dimana-mana. Dalam waktu lebih kurang lima
tahun, ia sudah berhasil menyatukan kekuatan politik yang sangat besar dan
mulai melakukan perhitungan terhadap musuh-musuh Safawi selama ini, seperti
penguasa Ak koyunlu dan penguasa Sirwan. Pada tahun 1501 M, pecahlah pertempuran
yang dahsyat antara gerakan Safawi dengan penguasa Ak Koyunlu di Sharur, dekat
Nekhachiwan dengan kemenangan dipihak Safawi. Pada tahun itu juga, Ismail
dengan penuh semangat dan kemenangan memasuki kota Tabriz sambil memproklamasikan berdirinya kerajaan
Safawi dan memproklamirkan dirinya sebagai raja Safawi yang pertama dengan menjadikan
Syi’ah Itsna ‘Asy’ariyah sebagai ideologi negara.
B.
Masa Kemajuan Kerajaan Safawi
Syah
Ismail I berkuasa lebih kurang 23 tahun, mulai dari tahun 1501 M sampai 1524 M.
selama sepuluh tahun pertama Syah Ismail telah berhasil memperluas wilayah
kerajaan Safawi mencakup seluruh daerah Persia sebelah timur Fortile Crescent.
Keberhasilan ini tidak lain hanya atas keberaniannya untuk melawan musuh.
Tahun 1502 M, Syah Ismail telah berhasil
menaklukkan daerah Sirwan, Azarbeijan dan Iraq. Tahun 1503 M, ia berhasil menghancurkan
sisa-sisa tentara AK Koyunlu di Hamdan. Tahun 1504 M, ia berhasil menundukkan
daerah Kasfia dan Mazandaran dan Churgan. Selanjutnya ia dapat mengalahkan
Diyarbakr pada tahun 1505 M. Demikian juga kota Bagdad jatuh ketangannya pada
tahun 1508 M, dan pada tahun 1510 M, ia berhasil menguasai wilayah Khurasan.
Keinginan Ismail tidak hanya disitu saja, tetapi ia mempunyai ambisi lebih jauh
yaitu ingin menghancurkan pasukan Turki Usmani yang pada saat itu berada
dibawah pimpinan Salim I, akan tetapi Syah Ismail tidak berhasil, ia menemui
kegagalan besar pada tahun 1514 M di Chalderan[17].
Mungkin
karena kesuksesan besar yang diraihnya, para pengikutnya terutama Qizilbas
menganggapnya sebagai seorang raja yang mempunyai unsur keilahian, bahkan ia
sendiri pun menganggap dirinya sebagai manifestasi Tuhan. Akan tetapi
perlahan-lahan mitos keilahian Syah Ismail itu goyah ketika ia mengalami
kekalahan besar dalam pertempuran di Chalderan melawan pasukan Turki Usmani.
Beberapa daerahnya termasuk Tabris, Kurdistan, Diyar Bakr dan Bagdad jatuh
ketangan Turki Usmani, disamping itu Azerbeijan juga sering diserbu pasukan
Turki Usmani[18].
Adapun kekalahan ini disebabkan oleh keunggulan senjata Turki Usmani dalam
menyerang pasukan Safawi.
Kekalahan
yang dialami oleh syah Ismail ini membuat dia kecewa, sedih dan akhirnya
mengurung diri dan tenggelam dalam miuman yang memabukkan dan berburu. Kemudian
mitos keilahiannya sudah tidak ada lagi serta hubungannya dengan
Qizilbash menjadi renggang. Adapun pemerintahan kerajaan Safawi diserahkannya
kepada tokoh Qizilbas dari suku Turkman dan kalangan tinggi Persia semenjak berakhirnya
perang dengan dengan Turki Usmani, dan ia tidak lagi membawa tentaranya kemedan
pertempuran sampai ia meniggal[19].
Setelah
Syah Ismail meninggal dunia pada tahun 1524 M, pemimpin kerajaan Safawi
berikutnya dipangku oleh Tahmasp I (1524 M – 1576 M), Ismail II (1576 M – 1577
M) dan Muhammad Khudabanda (1577 M – 1587 M). Selama masa ketiga raja ini,
permusuhan dengan kerajaan Turki Usmani masih berlanjut yang tak ada hentinya
mulai dari masa Ismail I, sehingga menyebabkan kerajaan Safawi menjadi lemah.
Disamping karena sering terjadinya peperangan melawan kerajaan Turki Usmani
yang lebih kuat dari pada pasukan Safawi, juga karena seringnya pertentangan antara
kelompok-kelompok dalam negri.
Kondisi
yang memprihatinkan ini baru bisa diatasi setelah naik tahtanya Syah Abbas (1588
– 1628 M) sebagai raja kerajaan Safawi yang ketika itu berusia 17 tahun. Ia
telah mengantarkan kerajaan Safawi kepada puncak kejayaan setelah beberapa
tahun sebelumnya mengalami kemunduran setelah wafatnya Syah Ismail. Pada tahun
1606 M, ia berhasil mengalahkan sepenuhnya orang Uzbek dan Ottoman.
Keberhasilan yang ia raih tidak hanya terbatas pada bidang politik dan militer
saja, akan tetapi kedamaian dan keamanan juga tercipta di daerah pedalaman, dan
begitu juga dengan kesenian dan perindustrian, seperti halnya produksi
permadani dan sutra yang berkembang pesat[20],
dan begitu juga dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta pembangunan fisik
dan seni[21].
Para duta besar dan pedagang berdatangan ke istana Syah Abbas. Ia mengayomi
salah seorang seniman Persia Genius. Maka kebesaran Syah Abbas ini dapat
disetarakan dengan dua orang penting sezamannya yaitu Raja Akbar di India dan
Ratu Elizabeth di Inggris[22].
Adapun
usaha-usaha yang dilakukan Syah Abbas untuk memulihkan kembali dinasti Safawi
adalah[23]:
1.
Menghilangkan
dominasi pasukan Qizilbas terhadap kerajaan Safawi dengan membentuk pasukan
baru yang diberi nama Ghulam dan mengadakan perdamaian dengan kerajaan
Turki Usmani. Dalam perjanjian tersebut Syah Abbas mengalah dengan menyerahkan
Azerbeijan, Georgia dan sebagian daerah Kurdistan kepada Turki Usmani.
2.
Syah
Abbas kemudian mewujudkan keamanan dalam negri, sehingga memungkinkan untuk
mencapai kemajuan disegala bidang dan pertahanan di dalam negri semakin kuat.
3.
Syah
Abbas memakai politik luar negri yang terbuka, sehingga terjadinya hubungan
diplomatik dengan Eropa dan dilakukan kerjasama-kerjasama dan kontrak dibidang
perdagangan serta dibidang budaya.
Disamping
usaha-usaha diatas, juga ada beberapa faktor yang menunjang keberhasilan Syah
Abbas dan kemajuan pada masanya. Faktor-faktor yang mendukung terwujudnya
kemajuan tersebut antara lain yaitu kepribadiannya yang hebat dan brilian, ia
seorang negarawan, pecinta ilmu, politikus yang dapat memadukan antara
kepanglimaannya dengan administrator sehingga mampu mengatasi korupsi di dalam
kalangan pejabat. Disamping itu juga disebabkan oleh faktor georafis wilayah
kerajaan Safawi masa Ismail telah mencakup daerah subur untuk daerah pertanian
dan perdagangan. Faktor geografis ini sangat mendukung untuk kemajuan
perekonomian dan lainnya. Selain faktor tersebut, juga Syah Abbas berwibawa dan
mendapat partisipasi rakyat dalam membangun[24].
C.
Kemajuan Peradaban Islam Pada Masa Kerajaan Safawi
1.
Bidang Politik dan Pemerintahan
Kemajuan
dalam bidang ini adalah terwujudnya integritas wilayah Negara yang luas yang
dikawal oleh suatu angkatan bersenjata yang tangguh dan diatur oleh suatu
pemerintahan yang kuat serta mampu memainkan peranan dalam percaturan politik
internasional.
Sebagaimana
lazimnya kekuatan politik suatu negara ditentukan oleh kekuatan angkatan
bersenjata. Syah Abbas juga telah melakukan langkah poltiknya yang pertama
dengan membangun angkatan bersenjata kerajaan Safawi yang kuat, besar dan
modern. Tentara Qizilbas yang pernah menjadi tulang punggung kerajaan Safawi
pada masa awal pemerintahan sudah tidak bisa diharapkan lagi. Untuk itu Syah
Abbas membangun sebuah angkatan bersenjata baru, yang mana satuan militer ini
direkrutnya dari bekas tawanan perang bekas orang-orang Kristen di Georgia dan
Circhasia yang sudah mulai dibawa ke Persia sejak Syah Tahmasp, dan mereka ini
diberi gelar Ghulam yang dibina dengan pendidikan militer yang militan
dan dipersenjatai secara modern, kemudian Syah Abbas mengangkat Allahwardi Khan[25]
sebagai pimpinan anggota militer tersebut[26].
Dengan
membangun Ghulam, Syah Abbas mendapat dukungan dari dua orang Inggris,
yaitu Sir Antoni Sherli dan saudaranya
Sir Rodet Sherli. Mereka yang mengajari tentara Safawi untuk membuat
meriam sebagai perlengkapan tentara yang modern. Melalui bantuan mereka berdua,
Syah Abbas memiliki tentara yang dapat diandalkan yang memiliki kekuatan yang
tanguh. Sehingga dengan adanya angkatan bersenjata ini, Syah Abbas mampu
merebut kembali wilayah-wilayah kekuasaannya yang hilang. Hal ini terbukti
dengan direbutnya kembali Heart pada tahun 1598 M, dan dapat melanjutkan
kembali serangan-serangan sehingga dapat merebut Marw dan Balk. Pada tahun 1602
M disaat Turki Usmani berada di bawah pimpinan Sultan Muhammad III, pasukan Syah
Abbas berhasil menguasai Tabriz, Sirwan dan Bagdad. Sementara kota-kota
Nakhchivan, Erivan Ganja dan Tiflis dapat dikuasai tahun 1605 – 1606 M.
Selanjutnya pada tahun 1622 Abbas berhasil merebut kepulauan Harmuz serta
merubah pelabuhan Gumrun menjadi pelabuhan Bandar Abbas. Dengan dikuasainya
daerah-daerah tersebut kerajaan Safawi menjadi luas dan akhirnya menjadi negara
adikuasa[27].
2.
Bidang Ekonomi dan Perdagangan
Dengan tercapainya situasi politik yang baik pada masa pemerintahan
Abbas, maka pertumbuhan dan kemajuan dalam bidang ekonomi mendapat tempat yang
baik pula, khususnya dalam bidang perdagangan. Karena bertambah ramainya
perdagangan internasional di lautan.
Pada masa Syah Abbas, kerajaan Safawi dapat menguasai Harmuz dan
pelabuhan Gumrun diubah menjadi BandarAbbas. Dengan demikian, kerajaan Safawi
telah memegang kunci perdagangan internasional di lautan, khususnya di teluk
Persia yang ramai dikunjungi bangsa asing. Bandar Abbas merupakan salah satu
jalur perdagangan laut antara timur dan barat yang menjadi rebutan oleh
Belanda, Inggris dan Prancis, dan sekarang telah menjadi milik kerajaan Safawi.
Kerajaan Safawi juga menjalin hubungan perdagangan dengan Rusia
disekitar laut Kaspia. Selain itu arus perdagangan di darat dari sentral Asia,
tetap melalui kota-kota yang dikuasai kerajaan Safawi, seperti Heart, Marw,
Nisyafur, Tabriz, Bagdad dan lain-lain. Banyak sekali kapal-kapal asing
berdatangan ke Persia pada masa tersebut untuk mencari hasil industri logam,
tekstil dan karpet. Jalur perdagangan ini menjadi objek perdagangan
rempah-rempah di Nusantara. Dengan majunya ekonomi ini, mendukung keadikuasaan
kerajaan Safawi.
3.
Bidang Fisik Tata Kota dan Seni
Adapun pembangunan fisik yang terkenal pada masa kerajaan Safawi
adalah pembangunan kota Isfahan, yang dijadikan ibu kota kerajaan Safawi pada
masa Syah Abbas. Sedangkan ibu kota sebelumnya adalah Tabriz, pada masa Ismail
jatuh ketangan Usmani dan pada masa Tahmasp dipindahkan ke Qazwan, lalu pada
masa Syah Abbas dipindahkan ke Isfahan. Pembangunan besar-besaran dilakukan
Syah Abbas terhadap kota ini. Di kota ini terdapat 162 buah mesjid, 48
perguruan tinggi, 1082 losmen yang luas untuk penginapan tamu-tamu khalifah dan
237 unit pemandian umum.
Diantara mesjid yang paling terkenal ialah Mesjid Syah Abbas yang
dibangun pada tahun 1611 M. kemudian Mesjid Luthfullah yang dibangun pada tahun
1603 M. Menurut Carl Brockelman, Abbas juga membangun sebuah istana megah di ibu kota tersebut yang diberi nama Chihil
Sutun atau istana empat puluh tiang[28].
Di bidang seni, kemajuan yang dicapainya adalah seni arsitektur
pada bangunan mesjid yang indah di Isfahan. Selain itu juga dijumpai hasil
industri seperti keramik-keramik yang indah dan karpet dengan berbagai corak
motifnya.
4.
Bidang Ilmu Pengetahuan dan Filsafat
Pada masa kerajaan Safawi, filsafat dan sains bangkit kembali di
dunia Islam, khususnya dikalangan orang-orang Persia yang berminat tinggi pada
perkembangan kebudayaan. Perkembangan baru ini erat kaitannya dengan aliran
Syi’ah yang ditetapkan kerajaan Safawi sebagai agama resmi negara.
Dalam Syi’ah dua belas ada
dua golongan yakni akhbari dan ushuli, mereka berbeda dalam
memahami ajaran agama. Yang pertama cendrung berpegang teguh kepada hasil ijtihad
para mujtahid Syi’ah yang sudah mapan, sedangkan yang kedua mengambil
langsung dari sumber ajaran Islam yaitu
al-Qur’an dan Hadis tanpa terikat kepada para mujtahid. Pertemuan kedua
kelompok inilah yang berperan pada terwujudnya perkembangan baru dalam bidang
filsafat dan ilmu pengetahuan dalam dunia Islam yang kemudian melahirkan
beberapa filusuf dan ilmuwan.
Menurut Hodsgon, ada dua aliran filsafat pada masa Safawi tersebut.
Pertama, aliran filsafat “perifatetik” sebagaimana yang dikemukakan oleh
Aristoteles dan Al-Farabi. Kedua, filsafat isyraqi yang dibawah
oleh Suhrawardi pada abad XII. Kedua aliran ini banyak dikembangkan di
Perguruan Tingggi Isfahan dan Syiraz. Di bidang filsafat ini muncul beberapa
nama filusuf diantaranya Mir Damad alias Muhammad Baqir Damad (w. 1631 M) yang
dianggap sebagai guru ketiga filsafat setelah Aristoteles dan Al-Farabi, karena
melalui dialah orang Persia bisa mengetahui filsafat Aristoteles dan dan
al-Farabi. Ia mempunyai banyak karya tulis dalam berbagai bidang, seperti
fiqih, teologi dan filsafat yang tertulis dalam dua bahasa, yaitu Arab dan
Persia. Diantara karyanya yang terkenal adalah Qabasat dan Taqdisat
yang merupakan dua bukunya di bidang filsafat[29].
Toko filsafat lainnya adalah Mulla Shadra atau Shadr al-Din al-Syirazi,
yang menurut Amir Ali, ia adalah seorang dialetikus yang paling cakap di
zamannya[30]
dan Sayyid Husen Nasr memilih Asfar al-Arba’ah sebagai salah satu karya
Mulla Shadra yang terbesar diantara beratus-ratus karyanya. Buku tersebut oleh
Nasr disamakan dengan as-Syifa-nya Ibnu Sina dan Futuhat Makkiyah-nya
Ibnu Arabi. Mulla Shadra dianggap memiliki kemampuan untuk mengambil jalan
tengah antara filsafat esoteric Ibnu Arabi, sehingga karyanya dipandang monumental
sebagai tingkat perjalanan agnostic yang sistematis dengan baju logika[31].
Kemudian juga disusul oleh Syaikh Baha al-Din Amily yang merupakan seorang
ulama terbesar di ibu kota Isfahan, seorang theolog, ahli fiqhi, penyair,
filosof, dan seorang yang ahli dalam matematika. Karyanya yang terkenal adalah Khulasah
fi al-Hisab, pada tahun 1843 buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman.
Toko ilmuwan lainnya adalah al-Din Ibnu Ali Ahmad Jaba’i yang merupakan seorang
tokoh pendidikan Syi’ah.
Dari data-data tersebut jelaslah bahwa kerajaan Safawi telah
berhasil membangkitkan kembali kejayaan Islam yang telah lama tenggelam.
Sehingga dalam sejarah Islam bangsa Persia dikenal sebagai bangsa yang memiliki
peradaban yang tinggi dan berjasa mengembangkan ilmu pengetahuan.
D.
Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Safawi
Setelah syah Abbas meninggal pada tahun 1629 M, kerajaan safawi
mengalami kemunduran. Ini disebabkan karena pemerintahan dikendalikan oleh para
harem istana yang berasal dari Georgia, meskipun pada saat itu yang memerintah
tiga orang Syah, yaitu Syah Safi Mirza (1629-1624 M), Syah Abbas II (1642-1667
M) dan Syah Sulaiman (1667-1694 M) secara bergantian. Ketiga Syah tersebut menunjukkan
kepribadian yang lemah, kecuali syah Abbas II yang dapat menahan laju
kemerosotan kerajaan Safawi. Sementara pada masa Syah Husein, Tahmasp II dan
Syah Abbas III, kerajaan Safawi memperlihatkan kemunduran dan akhirnya membawa
kepada kehancuran. Pada masa Syah Husein, karena kelemahannya, pemerintahan
banyak diserahkan kepada para ulama Syi’ah yang sangat fanatik, sehingga ulama
tersebut melakukan kekejaman terhadap rakyat yang beraliran Sunni serta
pembunuhan terhadap ulama-ulama Sunni[32].
Inilah pemberontakan yang membawa kepada kehancuran kerajaan Safawi pada tahun
1722 M. Sementara itu datang pula
penyerangan dari Mir Mahmud setelah kerajaan Safawi tegak berdiri lebih dari
dua abad.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran dan kehancuran kerajaan
Safawi adalah:
1. Faktor Intern
a.
Timbulnya
komplik perselisihan yang berkepanjangan antara kerajaan Safawi dengan kerajaan
Usmani. Kehadiran kerajaan Safawi yang beraliran Syi’ah merupakan ancaman
terhadap kekuasaan Usmani, meskipun perdamaian terjadi pada masa Syah Abbas.
Akan tetapi Syah Abbas tetap berkeinginan melanjutkan perjuangannya untuk
mengalahkan kerajaan Usmani. Hal ini terbukti, setelah perjanjian tersebut, perdamaian tidak pernah terwujud.
b.
Kerusakan
moral yang melanda sebagian penguasa kerjaan Safawi disebabkan oleh minuman
yang memabukkan seperti Syah Sulaiman dan Syah Husein, hal ini mengakibatkan
kemunduran kerajaan Safawi.
c.
Pasukan
Ghulam yang telah dibentuk oleh Syah Abbas I tidak memiliki semangat
perang lagi. Hal ini disebabkan pasukan Ghulam tidak disiapkan secara
terlatih dan tidak dibekali secara mantap dengan pendidikan rohani.
d.
Timbulnya
komplik interen dalam perebutan kekuasaan dikalangan keluarga istana. Sebagai
suatu dinasti biasanya pergantian Syah diturunkan kepada anak atau saudaranya,
akan tetapi pada kerajaan Safawi banyak Syah membinasakan keluarganya termasuk
anaknya sendiri karena dikhawatirkan akan merebut kekuasaannya, seperti yang
terjadi pada diri Abbas I, kemudian golongan Ghulam, Qizilbash, Harem,
dan Ulama Syi’ah pada saat tertentu mereka ikut menentukan roda pemerintahan
dibawah Syah yang lemah.
2. Faktor Ekstern
Dalam keadaan lemah demikian, kerajaan Safawi mendapat serangan
dari Raja Afgan Mir Mahmud yang berlainan paham dengan Syah-Syah Safawi yakni
penganut paham Sunni. Mir Mahmud dapat menguasai Isfahan pada tahun 1722 M. Keinginan
ini sudah lama direncanakan oleh bangsa Afgan yang mulai bangkit dibawah
pimpinan Mir Vays.
Pada tahun 1709 M mereka melakukan pemberontakan terhadap Safawi di
Kandahar, kemudian mereka berhasil menghancurkan Isfahan. Pada tahun 1715 M,
Mir Mahmud bin Mir Vays menggantikan ayahnya menjadi pimpinan Afgan. Untuk
menjinakkan Amir Afgan, Syah Husein mengangkatnya sebagai gubernur di Kandahar
dengan gelar Husein Quli Khan, artinya budak Husein, dengan nama tersebut Amir
menjadi panas, sehingga ia bertekad untuk menyerang Isfahan.
Pada tahun 1721 M, Mir Mahmud mulai melakukan penyerangan ke
Isfahan, dan selama peperangan Isfahan tersebut rakyat dan penduduk mengalami
penderitan. Pada tahun 1722 M, Syah Husein menyatakan menyerah kepada Mir
Mahmud. Dengan demikian, ia menerima mahkota kerajaan Safawi. Hal ini
ditegaskan C.E Boswoth bahwa pada tahun 1722 M, putra Mir Vays yang bernama Mir
Mahmud menyerbu Persia, dan selama beberapa tahun sampai naiknya Nadir Syah,
orang-orang Afgan ini menduduki wilayah Persia. Berbagai Keluarga Safawi naik
ketampuk kekuasaan sebagai boneka dari Nadir Syah. Kemudian secara resmi
kekuasaan kaerajaan ini baru benar-benar berakhir pada tahun 1732 M[33].
III.
Penutup
A.
Kesimpulan
Kerajaan
Safawi berasal dari sebuah tarekat yang berdiri di Ardabil, tarekat tersebut bernama
Safawi. Dan kerajaan ini berada dipuncak kajayaannya pada masa kekuasaan Abbas
I. Banyak kemajuan yang yang dicapai karerajaan Safawi antara lain dalam bidang
politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan bidang pembangunan fisik dan seni. Akan
tetapi setelah Abbas meninggal kerajaan Safawi mengalami kemunduran, di
sebabkan karena raja yang memerintah sangat lemah, sering terjadinya konflik intern
dalm perebutan kekuasaan di kalangan keluarga istana, disamping itu juga
disebabkan oleh faktor ekstern dengan adanya serangan dari Mir Mahmud.
Hanya dalam satu abad atau lebih kurang setelah ditinggalkan Syah Abbas, kerajaan
Safawi hancur dan berakhir.
B.
Saran
Demikianlah yang bisa penulis paparkan sekilas penjelasan tentang
peradaban Islam masa kerajaan Safawi di Persia, semoga semakin menambah wawasan
keilmuan kita terhadap sejarah peradaban Islam yang sangat urgen sekali
untuk kita pelajari dan dalami demi menanamkan timbulnya rasa-rasa kecintaan
kita terhadap agama yang hanif ini, serta agar kita bisa mengambil
hikmah-hikmah dari sejarah perjuangan atau hidup orang-orang dahulu, dengan
mengambil hikmah yang positif dan meninggalkan yang negatifnya.
Sebagai manusia biasa, penulis menyadari dalam makalah ini masih
terdapat kekurangan-kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu sangat diharapkan kritikan serta saran dari pembaca demi perbaikan makalah ini
untuk masa yang akan datang. Wallâhu Musta’ân wa huwa‘A’lam bi as Shawâb.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Nata, Abuddin. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Fakultas
Tarbiyah UIN Syarif Hidaatullah. 2010
Harun, Maidir dan Firdaus. Sejarah Peradaban Islam. Padang:
IAIN IB. 2001
Firdaus dan Desmaniar. Negara Adikuasa Islam Fase Kedua Abad XIV
– XX Masehi. Padang: IAIN IB. 2000
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II.
Jakarta: PT. Raja Garafindo Persada. 1993
M. Ira dan Lapidus. Sejarah Sosial Umat Islam Bagian Ketiga.
Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada. 1999
Thohir, Ajid. Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam.
Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada. 2004
Ahmed, Akbar S. Citra Muslim Tinjauan Sejarah Dan Sosiologi.
Jakarta: Erlangga. 1990
Wilber, Donald N. Iran Mâdhîhâ wa Hâdhiruhâ. Kairo: Dar al
Kitab Al Mishry. 1985
[1] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: Raja Grapindo Persada,
2008), h. 138
[2] Ajid Thohir, Perkembangan
Peradaban Di Kawasan Dunia Islam, ( Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2004),
cet. 1, h. 166
[3]
Maidir Harun
dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam,(Padang: IAIN IB Press, 2001), h.
164
[4] Donald N.
Wilber, Iran Mâdhîhâ wa
Hâdhiruhâ, ( Cairo: Dar Kitab ak-Mishry, 1985), cet. 3, h. 82
[5] Firdaus dan
Desmaniar, Negara Adikuasa Islami Fase Kedua Abad XIV – XX Masehi,
(padang: IAIN IB Press, 2000), h. 51
[6] Ibid, h. 52
[7] Ajid Thohir,
Op.Cit, h. 168
[8]
Abuddin Nata, Sejarah
Pendidikan Islam, ( Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2010), cet. 1, h.144
[9] Maidir Harun dan firdaus, Op.Cit, h. 167
[10] Ajid Thohir, Op.Cit, h. 170
[11]
Ibid
[12]
Maidir Harun
dan firdaus, Op.Cit, h. 167
[13]
Abuddin Nata, Op.Cit,
h. 145
[14]
Ajid Thohir, Op.Cit,
h. 171
[15] Ibid
[16] Ibid
[17]
Maidir Harun
dan firdaus, Op.Cit, h. 170
[18]
Ajid Thohir, Op.Cit,
h. 174
[19]
Maidir Harun
dan firdaus, Op.Cit, h. 170
[20]
Akbar S. Ahmed, Citra Muslim Tinjauan Sejarah dan
Sosiologi, ( Jakarta: Erlangga, 1992), h. 76
[21]
Maidir Harun
dan firdaus, Op.Cit, h. 173
[22]
Akbar S. Ahmed,
Op.Cit, h. 77
[23]
Maidir Harun
dan firdaus, Op.Cit, h. 171 - 172
[24] Ibid
[25] Dia merupakan
salah seorang dari anggota Gulam tersebut yang tergabung dalam angkatan
bersenjata militer Syah Abbas
[26] Ajid Thohir, Op.Cit,
h. 175
[27]
Maidir Harun
dan firdaus, Op.Cit, h. 174
[28] Ibid, h. 178
[29] Ibid, h. 176
[30]
Ajid Thohir, Op.Cit,
h. 177
[31] Ibid, h. 178
[32]Maidir Harun
dan firdaus, Op.Cit, h. 179
[33] Ibid, h. 182
Tidak ada komentar:
Posting Komentar