Kamis, 18 Februari 2016

PERADABAN ISLAM MASA KERAJAAN SAFAWI DI PERSIA

I.       Pendahuluan
Dalam kurun waktu 1500-1800 M, ada tiga kerajaan besar Islam yang muncul kepermukaan, yaitu: kerajaan Utsmani di Turki, kerajaan Safawi di Persia dan kerajaan Mughal di India. Ketiga kerajaan besar ini mempunyai kejayaan masing-masing, terutama dalam bidang literatur dan arsitek. Mesjid-mesjid dan gedung-gedung indah yang didirikan pada zaman ini masih dapat dilihat di Istambul, Tibriz dan Isfahan serta kota-kota lain di Iran dan Delhi.
Ketika kerajaan Turki Utsmani sudah mencapai puncak kemajuannya, kerajaan Safawi di Persia baru berdiri. Dalam perkembangannya, kerajaan Safawi sering bentrok dengan kerajaan Turki Utsmani. Dan kerajaan ini menyatakan Syi’ah sebagai Mazhab Negara yang berbeda dengan dua kerajaan lainnya ( Utsmani dan Mughol). Karena itu, kerajaan ini dapat dianggap sebagai peletak pertama dasar terbentuknya negara Iran dewasa ini[1].
Ada dua aspek menarik dari pengkajian sejarah kerajaan Safawi, yaitu: pertama, lahirnya kerajaan Safawi adalah kebangkitan kembali kejayaan Islam yang sebelumnya pernah mengalami masa kecemerlangan. Kedua, Dinasti Safawi telah memberikan kepada Iran semacam “Negara Nasional” dengan identitas baru yaitu aliran Syi’ah yang menurut G.H. Jansen merupakan landasan bagi perkembangan nasionalisme Iran modern[2].
Untuk lebih jelasnya permasalahan ini, penulis akan mecoba membahas beberapa pokok pembahasan penting yang berkaitan dengan masalah ini, yang meliputi beberapa hal berikut yang dimulai dengan asal usul kerajaan Safawi, kemudian kemajuan peradaban Islam pada masa ini serta kemunduran dan kehancuran kerajaan Safawi.

II.    Pembahasan
A.    Asal Usul Kerajaan Shafawi
Terdapat kontroversi mengenai etimologi kerajaan Safawi. Menurut Sayyid Amir Ali, kata Safawi berasal dari kata Shafi,  yaitu suatu gelar bagi nenek moyang raja-raja Safawi, Shafi al-Din Ishaq al-Ardabily (1252-1334 M) yang merupakan pemimpin dan pendiri tarekat Safawiyah. Adapun alasan Amir Ali adalah bahwa para musafir, pedagang dan penulis Eropa selalu menyebut raja-raja Safawi dengan gelar “Shafi Agung”. Sedangkan menurut P.M. Holt, Safawi berasal dari kata Shafi , yaitu bagian dari nama Shafi al-Din Ishaq al-Ardabily sendiri. Walaupun ia tak memberikan alasan, namun secara bahasa, pendapat kedua inilah yang banyak dipegang oleh sejarawan [3].
Kerajaan Shafawi secara resmi berdiri di Persia pada tahun 1501 M\907 H, yaitu ketika Syah Ismail I dengan pasukan Qizilbash menyerang  dan mengalahkan A.K. Koyunlu (domba putih) di Sharur, dekat Nekhecivan yang merupakan ibu kota A.K. Koyunlu. Ismail berhasil merebut dan mendudukinya. Di kota inilah Ismail memproklamasikan dirinya sebagai raja yang pertama Dinasti Shafawi[4].
Shafi al-Din Ishaq al-Ardabily lahir pada tahun 1252 M\650 H, enam tahun sebelum Hulagu Khan menghancurkan kota Bagdad dan mengakhiri Dinasti Abbasiyah. Ia lahir di kota Ardabil , sebuah kota yang paling Timur di Azerbeijan[5]. Sejak kecil ia gemar melakukan amal-amal yang berkenaan dengan keagamaan dan mencintai kehidupan sufi. Sejak umur 25 tahun ia berguru kepada seorang sufi bernama Zahid Taj al-Din. Selama dua puluh lima tahun menuntut ilmu tarekat dengan gurunya yang kemudian dijadikan sebagai mertuanya. Setelah Syaikh Zahid meniggal pada tahun 1301 M, dia menjadi pemimpin tarekat Safawiyah yang berpusat di Ardabil, yang akhirnya dia lebih dikenal sebagai seorang sufi yang besar dan keramat.
Adapun mengenai asal usul keturunan Shafi al-Din al-Ardabily masih merupakan problematika kontroversial atau suatu yang tidak jelas. Menurut sumber yang diperoleh bahwa Shafi al-Din al-Ardabily berasal dari keturunan orang kaya dan memilih sufi sebagai jalan hidupnya, ia merupakan keturunan imam Syi’ah yang keenam yaitu Musa al-Kazhim. Oleh karena itu, ia termasuk keturunan Rasulullah Saw dari garis puterinya Fatimah. Dan menurut pendapat lain, seperti P.M Holt, Husin Muknis dan Zaini Dahlan mengatakan bahwa Shafi al-Din ishaq al-Ardabily adalah seorang keturunan asli Iran dari Kurdistan yang berbahasa Azari, yaitu bahasa Turki yang dipakai orang Azarbeijan. Bahkan Ia dianggap bukan penganut aliran Syi’ah, tetapi  seorang Sunni bermazhab Syafi’i, baru pengganti setelahnya Khawaja Ali sebagai pemimpin tarekat Safawi yang merupakan seorang penganut Syi’ah moderat[6]. Walaupun berbeda pendapat dalam hal ini, namun perbedaan aliran yang terjadi pada pemimpin Safawi seperti Khawaja Ali menurut PM. Holt dan sejarawan lainnya bukanlah merupakan sesuatu yang luar biasa[7].
Gerakan tasawuf Safawiyah ini pada mulanya adalah bertujuan untuk memerangi orang-orang ingkar, kemudian memerangi golongan yang mereka sebut ”ahli-ahli bid’ah”. Dan tarekat yang dipimpim oleh Shafi al-Din ini semakin penting terutama setelah ia mengubah bentuk tarekat dari pengajian tasawuf murni yang bersifat lokal memjadi gerakan keagamaan yang sangat besar berpengaruh di Persia, Anatolia dan Suria. Di negeri-negeri di luar Ardabil, Shafi al-Din menempatkan seorang wakil yang memimpin murid-muridnya, dan wakil itu bergelar khalifah[8].
Sejak Shafi al-Din mulai memimpin ribath dan mendirikan tarekat Safawiyah pada tahun 1301 M sampai kepada Syah Ismail I memproklamasikan berdirinya kerajaan Safawi pada tahun 1501 M, telah banyak pengalaman keluarga Safawi dalam perjuangan mereka menegakkan cita-cita selama dua abad itu. Paling tidak, ada dua tahap atau dua fase gerakan perjuangan yang mereka lalui[9], yaitu:
Pada fase pertama, pada tahun 1307-1447 M, gerakan Safawi merupakan gerakan murni keagamaan dengan tarekat Safawiyah sebagai sasarannya serta mempunyai pengikut yang besar sekali yang tidak hanya di Persia tetapi juga di Syiria dan Anatolia. Pada fase pertama ini, gerakan Safawiyah tidak mencampuri masalah politik, sehingga ia berjalan dengan lancar dan damai baik pada masa Ikhwan maupun pada masa penjarahan Timur Lenk. Dalam konstelasi politik yang paling suram itu, dapat dimengerti mengapa kehidupan tarekat Safawi dapat tumbuh dan mendapat simpatisan rakyat banyak. Umat umumnya hidup dalam suasana apatis dan pasrah melihat anarki politik yang berkecamuk, hanya dengan kehiduan agama lewat sufisme mereka mendapatkan kekuatan mental dalam menghadapi kehidupan dan lewat persaudaraan tarekat mereka merasa aman serta dapat menjalin persaudaraan sesama muslim[10].
Menurut P.M. Holt, selama fase pertama ini, gerakan Safawi mempunyai dua warna. Pertama, bernuansa Sunni, yaitu pada masa pemerintahan Shafi al-Din Ishaq dan anaknya Shadruddin Musa. Kedua, berubah menjadi Syi’ah pada masa pemerintahan Khawaja Ali anak Shadruddin. Perubahan tersebut tampaknya wajar saja terjadi karena disamping alasan yang sudah disebutkan, juga ada kemungkinan bertambahnya pengikut Safawiyyah dari kalangan Syi’ah, sehingga kepemimpinanya berusaha menyesuaikan diri dengan aliran mayoritas pendukungnya[11].
Pada fase kedua, pada tahun 1447-1460 M, gerakan Safawi memasuki masa perjuangan dan menjadi gerakan politik di bawah kepemimpinan Juned[12], dalam hal ini gerakan Safawi dari gerakan keagamaan memasuki kegiatan politik. Perluasan kegiatan ini menimbulkan komplik antara Juned dengan penguasa Kara Koyunlu (domba hitam) yang merupakan salah satu bangsa Turki yang berkuasa di wilayah itu. Dalam komplik tersebut Juned kalah dan mengasingkan diri ke suatu tempat. Di tempat baru ini ia mendapat perlindungan dari penguasa Diyar Bakr, Ak-Koyunlu (domba putih) yang juga merupakan salah satu suku bangsa Turki. Ia tinggal di istana Uzun Hasan  yang ketika itu menguasai sebagian besar wilayah Persia[13].
Selama dalam pengasingan, Juned tidak tinggal diam, ia malah dapat menghimpun kekuatan untuk kemudian beraliansi politik dengan raja Ak Koyunlu untuk bersama-sama menghadapi Kara Koyunlu, kemudian aliansi politik ini semakin bertambah kuat dengan adanya pernikahan Juned dengan saudara perempuan Uzun Hasan. Aliansi politik yang diperkuat dengan kekerabatan ini diperkuat lagi oleh adanya perkawinan antara Haidar putra Juned dengan putri Uzun Hasan sendiri[14].
Perubahan Safawi dari gerakan keagamaan kepada gerakan politik cukup menarik, karena sebagai tarekat sufi yang lebih bersifat ukhrawi kemudian menjadi duniawi (profan). Adapun faktor utama yang menyebabkan terjadinya perubahan tersebut adalah ada pada ajaran tarekat itu sendiri, yaitu hubungan antara pemimpin tarekat dengan pengikut-pengikutnya. Pemimpin tarekat yang disebut mursyid mempunyai wakil (khalifah) di daerah-daerah tertentu tempat pengikutnya-pengikutnya berada. Anggota tarekat harus tundak secara mutlak kepada mursyid dan khalifah. Oleh karena itu, ikatan antara pemimpin dengan pengikutnya sangat kuat, sehingga ada semacam hierarki spiritual. Dalam tarekat Safawi, pemimpin tarekat yang meninggal dunia selalu digantikan oleh anaknya seperti dalam kepemimpinan dinasti, ini menjadi dasar yang mendorong perubahan tersebut. Jika sang pemimpin seperti Juned memiliki ambisi politik, para pengikutnya dapat disulap menjadi tentara yang fanatik dan mendukung ambisi politik kepemimpinannya[15].
Pada tahun 1459 M Juned mencoba merebut Sircassia, tetapi pasukan yang dipimpinnya dihadang oleh tentara Sirwan. Tentaranya yang belum begitu kuat menghadapi pasukan Sirwan, sehingga pasukannya mengalami kekalahan dan dia sendiri tewas dalam pertempuran tersebut.
Ketika Juned terbunuh dalam pertempuran tersebut, anaknya yang masih kecil bernama Haidar berada dalam asuhan Uzun hasan. Dengan demikian gerakan Safawi baru dapat diserahkan kepada Haidar secara resmi pada tahun 1470 M. Hubungan Haidar dengan Uzun hasan semakin diperkuat setelah Haidar mengawini putri Uzun Hasan. Dengan perkawinan ini lahirlah Ali, Ibrahim dan Ismail. Selama dalam kepemimpinannya, Haidar belum begitu banyak mewujudkan cita-cita gerakan Safawi. Meskipun demikian, namun ia sempat memberikan atribut kepada pendukung-pendukungnya berupa surban merah yang berumbai dua belas, sehingga mereka dikenal dengan sebutan kepala merah atau Qizilbas. Umbai dua belas menunjukkan Syiah Imamiyah dua belas yang menjadi anutannya. Atribut ini sangat besar pengaruhnya dalam menanamkan fanatisme, militansi serta pertumbuhan dan perkembangan kerajaan Safawi dibelakang hari[16].
Setelah Ak Koyunlu menumbangkan Kara Koyunlu pada tahun 1467 M, aliansi Safawi dengan gerakan Ak Koyunlu menjadi guncang. Ak Koyunlu menganggap gerakan Safawi sebagai gerakan politik yang bisa membahayakan kelestarian kekuasaanya di Persia. Maka Ali bin Haidar yang menggantikan kekuasaan ayahnya sebagai pemimpin Safawi ketika itu ditangkap oleh Ya’kub raja Ak Koyunlu dan diasingkan ke Fars bersama ibu dan saudaranya yaitu Ibrahim dn Ismail selama empat setengah tahun (1489-1493 M). Keadaan ini mendorong pengikut-pengikut Safawi yang tersebar luas di Persia, Armenia, Anatolia dan Syiria untuk memperkuat kekuatan sendiri, akan tetapi karena kepentingan politik Ak Koyunlu, mereka dibebaskan oleh Rustam yang merupakan putra mahkota Ak Koyunlu dengan janji membantunya dalam menghadapi lawannya yaitu memperebutkan tahta kerajaan dengan sepupunya. Setelah janjinya dipenuhi, maka Ali kembali ke Ardabil, dan tidak lama kemudian Rustam memusuhinya kembali serta menyeranginya sehingga ali terbunuh dalam serangan ini. Sebelum meninggal, Ali sempat mengangkat adik bungsunya Ismail bin Haidar yang waktu itu berusia tujuh tahun untuk menjadi pemimpin Safawi.
Ismail yang masih remaja berusaha untuk memanfaatkan kedudukannya sebagai mursyid Safawiyah dan pemimpin gerakan Safawi untuk mengonsolidasikan kekuatan politiknya. Secara sembunyi-sembunyi ia menjalin hubungan erat dengan para pengikutnya yang tersebar luas dimana-mana. Dalam waktu lebih kurang lima tahun, ia sudah berhasil menyatukan kekuatan politik yang sangat besar dan mulai melakukan perhitungan terhadap musuh-musuh Safawi selama ini, seperti penguasa Ak koyunlu dan penguasa Sirwan. Pada tahun 1501 M, pecahlah pertempuran yang dahsyat antara gerakan Safawi dengan penguasa Ak Koyunlu di Sharur, dekat Nekhachiwan dengan kemenangan dipihak Safawi. Pada tahun itu juga, Ismail dengan penuh semangat dan kemenangan memasuki kota Tabriz  sambil memproklamasikan berdirinya kerajaan Safawi dan memproklamirkan dirinya sebagai raja Safawi yang pertama dengan menjadikan Syi’ah Itsna ‘Asy’ariyah sebagai ideologi negara.

B.     Masa Kemajuan Kerajaan Safawi
Syah Ismail I berkuasa lebih kurang 23 tahun, mulai dari tahun 1501 M sampai 1524 M. selama sepuluh tahun pertama Syah Ismail telah berhasil memperluas wilayah kerajaan Safawi mencakup seluruh daerah Persia sebelah timur Fortile Crescent. Keberhasilan ini tidak lain hanya atas keberaniannya untuk melawan musuh.
 Tahun 1502 M, Syah Ismail telah berhasil menaklukkan daerah Sirwan, Azarbeijan dan Iraq. Tahun 1503 M, ia berhasil menghancurkan sisa-sisa tentara AK Koyunlu di Hamdan. Tahun 1504 M, ia berhasil menundukkan daerah Kasfia dan Mazandaran dan Churgan. Selanjutnya ia dapat mengalahkan Diyarbakr pada tahun 1505 M. Demikian juga kota Bagdad jatuh ketangannya pada tahun 1508 M, dan pada tahun 1510 M, ia berhasil menguasai wilayah Khurasan. Keinginan Ismail tidak hanya disitu saja, tetapi ia mempunyai ambisi lebih jauh yaitu ingin menghancurkan pasukan Turki Usmani yang pada saat itu berada dibawah pimpinan Salim I, akan tetapi Syah Ismail tidak berhasil, ia menemui kegagalan besar pada tahun 1514 M di Chalderan[17].
Mungkin karena kesuksesan besar yang diraihnya, para pengikutnya terutama Qizilbas menganggapnya sebagai seorang raja yang mempunyai unsur keilahian, bahkan ia sendiri pun menganggap dirinya sebagai manifestasi Tuhan. Akan tetapi perlahan-lahan mitos keilahian Syah Ismail itu goyah ketika ia mengalami kekalahan besar dalam pertempuran di Chalderan melawan pasukan Turki Usmani. Beberapa daerahnya termasuk Tabris, Kurdistan, Diyar Bakr dan Bagdad jatuh ketangan Turki Usmani, disamping itu Azerbeijan juga sering diserbu pasukan Turki Usmani[18]. Adapun kekalahan ini disebabkan oleh keunggulan senjata Turki Usmani dalam menyerang pasukan Safawi.
Kekalahan yang dialami oleh syah Ismail ini membuat dia kecewa, sedih dan akhirnya mengurung diri dan tenggelam dalam miuman yang memabukkan dan berburu. Kemudian mitos keilahiannya sudah tidak ada lagi serta hubungannya dengan Qizilbash menjadi renggang. Adapun pemerintahan kerajaan Safawi diserahkannya kepada tokoh Qizilbas dari suku Turkman dan kalangan tinggi Persia semenjak berakhirnya perang dengan dengan Turki Usmani, dan ia tidak lagi membawa tentaranya kemedan pertempuran sampai ia meniggal[19].
Setelah Syah Ismail meninggal dunia pada tahun 1524 M, pemimpin kerajaan Safawi berikutnya dipangku oleh Tahmasp I (1524 M – 1576 M), Ismail II (1576 M – 1577 M) dan Muhammad Khudabanda (1577 M – 1587 M). Selama masa ketiga raja ini, permusuhan dengan kerajaan Turki Usmani masih berlanjut yang tak ada hentinya mulai dari masa Ismail I, sehingga menyebabkan kerajaan Safawi menjadi lemah. Disamping karena sering terjadinya peperangan melawan kerajaan Turki Usmani yang lebih kuat dari pada pasukan Safawi, juga karena seringnya pertentangan antara kelompok-kelompok dalam negri.
Kondisi yang memprihatinkan ini baru bisa diatasi setelah naik tahtanya Syah Abbas (1588 – 1628 M) sebagai raja kerajaan Safawi yang ketika itu berusia 17 tahun. Ia telah mengantarkan kerajaan Safawi kepada puncak kejayaan setelah beberapa tahun sebelumnya mengalami kemunduran setelah wafatnya Syah Ismail. Pada tahun 1606 M, ia berhasil mengalahkan sepenuhnya orang Uzbek dan Ottoman. Keberhasilan yang ia raih tidak hanya terbatas pada bidang politik dan militer saja, akan tetapi kedamaian dan keamanan juga tercipta di daerah pedalaman, dan begitu juga dengan kesenian dan perindustrian, seperti halnya produksi permadani dan sutra yang berkembang pesat[20], dan begitu juga dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta pembangunan fisik dan seni[21]. Para duta besar dan pedagang berdatangan ke istana Syah Abbas. Ia mengayomi salah seorang seniman Persia Genius. Maka kebesaran Syah Abbas ini dapat disetarakan dengan dua orang penting sezamannya yaitu Raja Akbar di India dan Ratu Elizabeth di Inggris[22].
Adapun usaha-usaha yang dilakukan Syah Abbas untuk memulihkan kembali dinasti Safawi adalah[23]:
1.      Menghilangkan dominasi pasukan Qizilbas terhadap kerajaan Safawi dengan membentuk pasukan baru yang diberi nama Ghulam dan mengadakan perdamaian dengan kerajaan Turki Usmani. Dalam perjanjian tersebut Syah Abbas mengalah dengan menyerahkan Azerbeijan, Georgia dan sebagian daerah Kurdistan kepada Turki Usmani.
2.      Syah Abbas kemudian mewujudkan keamanan dalam negri, sehingga memungkinkan untuk mencapai kemajuan disegala bidang dan pertahanan di dalam negri semakin kuat.
3.      Syah Abbas memakai politik luar negri yang terbuka, sehingga terjadinya hubungan diplomatik dengan Eropa dan dilakukan kerjasama-kerjasama dan kontrak dibidang perdagangan serta dibidang budaya.
Disamping usaha-usaha diatas, juga ada beberapa faktor yang menunjang keberhasilan Syah Abbas dan kemajuan pada masanya. Faktor-faktor yang mendukung terwujudnya kemajuan tersebut antara lain yaitu kepribadiannya yang hebat dan brilian, ia seorang negarawan, pecinta ilmu, politikus yang dapat memadukan antara kepanglimaannya dengan administrator sehingga mampu mengatasi korupsi di dalam kalangan pejabat. Disamping itu juga disebabkan oleh faktor georafis wilayah kerajaan Safawi masa Ismail telah mencakup daerah subur untuk daerah pertanian dan perdagangan. Faktor geografis ini sangat mendukung untuk kemajuan perekonomian dan lainnya. Selain faktor tersebut, juga Syah Abbas berwibawa dan mendapat partisipasi rakyat dalam membangun[24].

C.    Kemajuan Peradaban Islam Pada Masa Kerajaan Safawi
1.      Bidang Politik dan Pemerintahan
Kemajuan dalam bidang ini adalah terwujudnya integritas wilayah Negara yang luas yang dikawal oleh suatu angkatan bersenjata yang tangguh dan diatur oleh suatu pemerintahan yang kuat serta mampu memainkan peranan dalam percaturan politik internasional.
Sebagaimana lazimnya kekuatan politik suatu negara ditentukan oleh kekuatan angkatan bersenjata. Syah Abbas juga telah melakukan langkah poltiknya yang pertama dengan membangun angkatan bersenjata kerajaan Safawi yang kuat, besar dan modern. Tentara Qizilbas yang pernah menjadi tulang punggung kerajaan Safawi pada masa awal pemerintahan sudah tidak bisa diharapkan lagi. Untuk itu Syah Abbas membangun sebuah angkatan bersenjata baru, yang mana satuan militer ini direkrutnya dari bekas tawanan perang bekas orang-orang Kristen di Georgia dan Circhasia yang sudah mulai dibawa ke Persia sejak Syah Tahmasp, dan mereka ini diberi gelar Ghulam yang dibina dengan pendidikan militer yang militan dan dipersenjatai secara modern, kemudian Syah Abbas mengangkat Allahwardi Khan[25] sebagai pimpinan anggota militer tersebut[26].
Dengan membangun Ghulam, Syah Abbas mendapat dukungan dari dua orang Inggris, yaitu Sir Antoni Sherli dan saudaranya  Sir Rodet Sherli. Mereka yang mengajari tentara Safawi untuk membuat meriam sebagai perlengkapan tentara yang modern. Melalui bantuan mereka berdua, Syah Abbas memiliki tentara yang dapat diandalkan yang memiliki kekuatan yang tanguh. Sehingga dengan adanya angkatan bersenjata ini, Syah Abbas mampu merebut kembali wilayah-wilayah kekuasaannya yang hilang. Hal ini terbukti dengan direbutnya kembali Heart pada tahun 1598 M, dan dapat melanjutkan kembali serangan-serangan sehingga dapat merebut Marw dan Balk. Pada tahun 1602 M disaat Turki Usmani berada di bawah pimpinan Sultan Muhammad III, pasukan Syah Abbas berhasil menguasai Tabriz, Sirwan dan Bagdad. Sementara kota-kota Nakhchivan, Erivan Ganja dan Tiflis dapat dikuasai tahun 1605 – 1606 M. Selanjutnya pada tahun 1622 Abbas berhasil merebut kepulauan Harmuz serta merubah pelabuhan Gumrun menjadi pelabuhan Bandar Abbas. Dengan dikuasainya daerah-daerah tersebut kerajaan Safawi menjadi luas dan akhirnya menjadi negara adikuasa[27].

2.   Bidang Ekonomi dan Perdagangan
Dengan tercapainya situasi politik yang baik pada masa pemerintahan Abbas, maka pertumbuhan dan kemajuan dalam bidang ekonomi mendapat tempat yang baik pula, khususnya dalam bidang perdagangan. Karena bertambah ramainya perdagangan internasional di lautan.
Pada masa Syah Abbas, kerajaan Safawi dapat menguasai Harmuz dan pelabuhan Gumrun diubah menjadi BandarAbbas. Dengan demikian, kerajaan Safawi telah memegang kunci perdagangan internasional di lautan, khususnya di teluk Persia yang ramai dikunjungi bangsa asing. Bandar Abbas merupakan salah satu jalur perdagangan laut antara timur dan barat yang menjadi rebutan oleh Belanda, Inggris dan Prancis, dan sekarang telah menjadi milik kerajaan Safawi.
Kerajaan Safawi juga menjalin hubungan perdagangan dengan Rusia disekitar laut Kaspia. Selain itu arus perdagangan di darat dari sentral Asia, tetap melalui kota-kota yang dikuasai kerajaan Safawi, seperti Heart, Marw, Nisyafur, Tabriz, Bagdad dan lain-lain. Banyak sekali kapal-kapal asing berdatangan ke Persia pada masa tersebut untuk mencari hasil industri logam, tekstil dan karpet. Jalur perdagangan ini menjadi objek perdagangan rempah-rempah di Nusantara. Dengan majunya ekonomi ini, mendukung keadikuasaan kerajaan Safawi.

3.   Bidang Fisik Tata Kota dan Seni
Adapun pembangunan fisik yang terkenal pada masa kerajaan Safawi adalah pembangunan kota Isfahan, yang dijadikan ibu kota kerajaan Safawi pada masa Syah Abbas. Sedangkan ibu kota sebelumnya adalah Tabriz, pada masa Ismail jatuh ketangan Usmani dan pada masa Tahmasp dipindahkan ke Qazwan, lalu pada masa Syah Abbas dipindahkan ke Isfahan. Pembangunan besar-besaran dilakukan Syah Abbas terhadap kota ini. Di kota ini terdapat 162 buah mesjid, 48 perguruan tinggi, 1082 losmen yang luas untuk penginapan tamu-tamu khalifah dan 237 unit pemandian umum.
Diantara mesjid yang paling terkenal ialah Mesjid Syah Abbas yang dibangun pada tahun 1611 M. kemudian Mesjid Luthfullah yang dibangun pada tahun 1603 M. Menurut Carl Brockelman, Abbas juga membangun sebuah istana megah  di ibu kota tersebut yang diberi nama Chihil Sutun atau istana empat puluh tiang[28].
Di bidang seni, kemajuan yang dicapainya adalah seni arsitektur pada bangunan mesjid yang indah di Isfahan. Selain itu juga dijumpai hasil industri seperti keramik-keramik yang indah dan karpet dengan berbagai corak motifnya.

4.   Bidang Ilmu Pengetahuan dan Filsafat
Pada masa kerajaan Safawi, filsafat dan sains bangkit kembali di dunia Islam, khususnya dikalangan orang-orang Persia yang berminat tinggi pada perkembangan kebudayaan. Perkembangan baru ini erat kaitannya dengan aliran Syi’ah yang ditetapkan kerajaan Safawi sebagai agama resmi negara.
Dalam Syi’ah dua belas  ada dua golongan yakni akhbari dan ushuli, mereka berbeda dalam memahami ajaran agama. Yang pertama cendrung berpegang teguh kepada hasil ijtihad para mujtahid Syi’ah yang sudah mapan, sedangkan yang kedua mengambil langsung dari sumber ajaran Islam  yaitu al-Qur’an dan Hadis tanpa terikat kepada para mujtahid. Pertemuan kedua kelompok inilah yang berperan pada terwujudnya perkembangan baru dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan dalam dunia Islam yang kemudian melahirkan beberapa filusuf dan ilmuwan.
Menurut Hodsgon, ada dua aliran filsafat pada masa Safawi tersebut. Pertama, aliran filsafat “perifatetik” sebagaimana yang dikemukakan oleh Aristoteles dan Al-Farabi. Kedua, filsafat isyraqi yang dibawah oleh Suhrawardi pada abad XII. Kedua aliran ini banyak dikembangkan di Perguruan Tingggi Isfahan dan Syiraz. Di bidang filsafat ini muncul beberapa nama filusuf diantaranya Mir Damad alias Muhammad Baqir Damad (w. 1631 M) yang dianggap sebagai guru ketiga filsafat setelah Aristoteles dan Al-Farabi, karena melalui dialah orang Persia bisa mengetahui filsafat Aristoteles dan dan al-Farabi. Ia mempunyai banyak karya tulis dalam berbagai bidang, seperti fiqih, teologi dan filsafat yang tertulis dalam dua bahasa, yaitu Arab dan Persia. Diantara karyanya yang terkenal adalah Qabasat dan Taqdisat yang merupakan dua bukunya di bidang filsafat[29].
Toko filsafat lainnya adalah Mulla Shadra atau Shadr al-Din al-Syirazi, yang menurut Amir Ali, ia adalah seorang dialetikus yang paling cakap di zamannya[30] dan Sayyid Husen Nasr memilih Asfar al-Arba’ah sebagai salah satu karya Mulla Shadra yang terbesar diantara beratus-ratus karyanya. Buku tersebut oleh Nasr disamakan dengan as-Syifa-nya Ibnu Sina dan Futuhat Makkiyah-nya Ibnu Arabi. Mulla Shadra dianggap memiliki kemampuan untuk mengambil jalan tengah antara filsafat esoteric Ibnu Arabi, sehingga karyanya dipandang monumental sebagai tingkat perjalanan agnostic yang sistematis dengan baju logika[31].
Kemudian juga disusul oleh Syaikh Baha al-Din Amily yang merupakan seorang ulama terbesar di ibu kota Isfahan, seorang theolog, ahli fiqhi, penyair, filosof, dan seorang yang ahli dalam matematika. Karyanya yang terkenal adalah Khulasah fi al-Hisab, pada tahun 1843 buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman. Toko ilmuwan lainnya adalah al-Din Ibnu Ali Ahmad Jaba’i yang merupakan seorang tokoh pendidikan Syi’ah.
Dari data-data tersebut jelaslah bahwa kerajaan Safawi telah berhasil membangkitkan kembali kejayaan Islam yang telah lama tenggelam. Sehingga dalam sejarah Islam bangsa Persia dikenal sebagai bangsa yang memiliki peradaban yang tinggi dan berjasa mengembangkan ilmu pengetahuan.

D.    Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Safawi 
Setelah syah Abbas meninggal pada tahun 1629 M, kerajaan safawi mengalami kemunduran. Ini disebabkan karena pemerintahan dikendalikan oleh para harem istana yang berasal dari Georgia, meskipun pada saat itu yang memerintah tiga orang Syah, yaitu Syah Safi Mirza (1629-1624 M), Syah Abbas II (1642-1667 M) dan Syah Sulaiman (1667-1694 M) secara bergantian. Ketiga Syah tersebut menunjukkan kepribadian yang lemah, kecuali syah Abbas II yang dapat menahan laju kemerosotan kerajaan Safawi. Sementara pada masa Syah Husein, Tahmasp II dan Syah Abbas III, kerajaan Safawi memperlihatkan kemunduran dan akhirnya membawa kepada kehancuran. Pada masa Syah Husein, karena kelemahannya, pemerintahan banyak diserahkan kepada para ulama Syi’ah yang sangat fanatik, sehingga ulama tersebut melakukan kekejaman terhadap rakyat yang beraliran Sunni serta pembunuhan terhadap ulama-ulama Sunni[32]. Inilah pemberontakan yang membawa kepada kehancuran kerajaan Safawi pada tahun 1722 M. Sementara itu  datang pula penyerangan dari Mir Mahmud setelah kerajaan Safawi tegak berdiri lebih dari dua abad.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran dan kehancuran kerajaan Safawi adalah:
1. Faktor Intern
a.       Timbulnya komplik perselisihan yang berkepanjangan antara kerajaan Safawi dengan kerajaan Usmani. Kehadiran kerajaan Safawi yang beraliran Syi’ah merupakan ancaman terhadap kekuasaan Usmani, meskipun perdamaian terjadi pada masa Syah Abbas. Akan tetapi Syah Abbas tetap berkeinginan melanjutkan perjuangannya untuk mengalahkan kerajaan Usmani. Hal ini terbukti, setelah perjanjian tersebut,  perdamaian tidak pernah terwujud.
b.      Kerusakan moral yang melanda sebagian penguasa kerjaan Safawi disebabkan oleh minuman yang memabukkan seperti Syah Sulaiman dan Syah Husein, hal ini mengakibatkan kemunduran kerajaan Safawi.
c.       Pasukan Ghulam yang telah dibentuk oleh Syah Abbas I tidak memiliki semangat perang lagi. Hal ini disebabkan pasukan Ghulam tidak disiapkan secara terlatih dan tidak dibekali secara mantap dengan pendidikan rohani.
d.      Timbulnya komplik interen dalam perebutan kekuasaan dikalangan keluarga istana. Sebagai suatu dinasti biasanya pergantian Syah diturunkan kepada anak atau saudaranya, akan tetapi pada kerajaan Safawi banyak Syah membinasakan keluarganya termasuk anaknya sendiri karena dikhawatirkan akan merebut kekuasaannya, seperti yang terjadi pada diri Abbas I, kemudian golongan Ghulam, Qizilbash, Harem, dan Ulama Syi’ah pada saat tertentu mereka ikut menentukan roda pemerintahan dibawah Syah yang lemah.
2. Faktor Ekstern
Dalam keadaan lemah demikian, kerajaan Safawi mendapat serangan dari Raja Afgan Mir Mahmud yang berlainan paham dengan Syah-Syah Safawi yakni penganut paham Sunni. Mir Mahmud dapat menguasai Isfahan pada tahun 1722 M. Keinginan ini sudah lama direncanakan oleh bangsa Afgan yang mulai bangkit dibawah pimpinan Mir Vays.
Pada tahun 1709 M mereka melakukan pemberontakan terhadap Safawi di Kandahar, kemudian mereka berhasil menghancurkan Isfahan. Pada tahun 1715 M, Mir Mahmud bin Mir Vays menggantikan ayahnya menjadi pimpinan Afgan. Untuk menjinakkan Amir Afgan, Syah Husein mengangkatnya sebagai gubernur di Kandahar dengan gelar Husein Quli Khan, artinya budak Husein, dengan nama tersebut Amir menjadi panas, sehingga ia bertekad untuk menyerang Isfahan.
Pada tahun 1721 M, Mir Mahmud mulai melakukan penyerangan ke Isfahan, dan selama peperangan Isfahan tersebut rakyat dan penduduk mengalami penderitan. Pada tahun 1722 M, Syah Husein menyatakan menyerah kepada Mir Mahmud. Dengan demikian, ia menerima mahkota kerajaan Safawi. Hal ini ditegaskan C.E Boswoth bahwa pada tahun 1722 M, putra Mir Vays yang bernama Mir Mahmud menyerbu Persia, dan selama beberapa tahun sampai naiknya Nadir Syah, orang-orang Afgan ini menduduki wilayah Persia. Berbagai Keluarga Safawi naik ketampuk kekuasaan sebagai boneka dari Nadir Syah. Kemudian secara resmi kekuasaan kaerajaan ini baru benar-benar berakhir pada tahun 1732 M[33].

III.    Penutup
A.    Kesimpulan
Kerajaan Safawi berasal dari sebuah tarekat yang berdiri di Ardabil, tarekat tersebut bernama Safawi. Dan kerajaan ini berada dipuncak kajayaannya pada masa kekuasaan Abbas I. Banyak kemajuan yang yang dicapai karerajaan Safawi antara lain dalam bidang politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan bidang pembangunan fisik dan seni. Akan tetapi setelah Abbas meninggal kerajaan Safawi mengalami kemunduran, di sebabkan karena raja yang memerintah sangat lemah, sering terjadinya konflik intern dalm perebutan kekuasaan di kalangan keluarga istana, disamping itu juga disebabkan oleh faktor ekstern dengan adanya serangan dari Mir Mahmud. Hanya dalam satu abad atau lebih kurang setelah ditinggalkan Syah Abbas, kerajaan Safawi hancur dan berakhir.
B.     Saran
Demikianlah yang bisa penulis paparkan sekilas penjelasan tentang peradaban Islam masa kerajaan Safawi di Persia, semoga semakin menambah wawasan keilmuan kita terhadap sejarah peradaban Islam yang sangat urgen sekali untuk kita pelajari dan dalami demi menanamkan timbulnya rasa-rasa kecintaan kita terhadap agama yang hanif ini, serta agar kita bisa mengambil hikmah-hikmah dari sejarah perjuangan atau hidup orang-orang dahulu, dengan mengambil hikmah yang positif dan meninggalkan yang negatifnya.
Sebagai manusia biasa, penulis menyadari dalam makalah ini masih terdapat kekurangan-kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu sangat diharapkan kritikan serta saran dari pembaca demi perbaikan makalah ini untuk masa yang akan datang. Wallâhu Musta’ân wa huwa‘A’lam bi as Shawâb.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Nata, Abuddin. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Fakultas Tarbiyah UIN Syarif Hidaatullah. 2010
Harun, Maidir dan Firdaus. Sejarah Peradaban Islam. Padang: IAIN IB. 2001
Firdaus dan Desmaniar. Negara Adikuasa Islam Fase Kedua Abad XIV – XX Masehi. Padang: IAIN IB. 2000
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT. Raja Garafindo Persada. 1993
M. Ira dan Lapidus. Sejarah Sosial Umat Islam Bagian Ketiga. Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada. 1999
Thohir, Ajid. Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam. Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada. 2004
Ahmed, Akbar S. Citra Muslim Tinjauan Sejarah Dan Sosiologi. Jakarta: Erlangga. 1990
Wilber, Donald N. Iran Mâdhîhâ wa Hâdhiruhâ. Kairo: Dar al Kitab Al Mishry. 1985




[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2008), h. 138
[2] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam, ( Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2004), cet. 1, h. 166
[3] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam,(Padang: IAIN IB Press, 2001), h. 164
[4] Donald N. Wilber, Iran Mâdhîhâ  wa Hâdhiruhâ, ( Cairo: Dar Kitab ak-Mishry, 1985), cet. 3, h. 82
[5] Firdaus dan Desmaniar, Negara Adikuasa Islami Fase Kedua Abad XIV – XX Masehi, (padang: IAIN IB Press, 2000), h. 51
[6] Ibid, h. 52
[7] Ajid Thohir, Op.Cit, h. 168
[8] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, ( Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2010), cet. 1, h.144
[9]  Maidir Harun dan firdaus, Op.Cit, h. 167
[10]  Ajid Thohir, Op.Cit, h. 170
[11] Ibid
[12] Maidir Harun dan firdaus, Op.Cit, h. 167
[13] Abuddin Nata, Op.Cit, h. 145
[14] Ajid Thohir, Op.Cit, h. 171
[15] Ibid
[16] Ibid
[17] Maidir Harun dan firdaus, Op.Cit, h. 170
[18] Ajid Thohir, Op.Cit, h. 174
[19] Maidir Harun dan firdaus, Op.Cit, h. 170
[20] Akbar  S. Ahmed, Citra Muslim Tinjauan Sejarah dan Sosiologi, ( Jakarta: Erlangga, 1992),  h. 76
[21] Maidir Harun dan firdaus, Op.Cit, h. 173
[22] Akbar S. Ahmed, Op.Cit, h. 77
[23] Maidir Harun dan firdaus, Op.Cit, h. 171 - 172
[24] Ibid
[25] Dia merupakan salah seorang dari anggota Gulam tersebut yang tergabung dalam angkatan bersenjata militer Syah Abbas
[26] Ajid Thohir, Op.Cit, h. 175
[27] Maidir Harun dan firdaus, Op.Cit, h. 174
[28] Ibid, h. 178
[29] Ibid, h. 176
[30] Ajid Thohir, Op.Cit, h. 177
[31] Ibid, h. 178
[32]Maidir Harun dan firdaus, Op.Cit, h. 179
[33] Ibid, h. 182

Tidak ada komentar:

Posting Komentar