Senin, 15 Februari 2016

Tasyrî’ PadaMasa al-A`immah al-Mujtahidîn; Imam Abu Hanifah dan Imam Malik bin Anas

A.    Pendahuluan
Konsep ajaran Islam senantiasa relevan dengan perkembangan zaman merupakan sebuah konsensus yang tidak akan bisa terbantahkan sampai kapanpun dan oleh siapapun. Sebab Islam merupakan ajaran yang diturunkan untuk menjadi rahmat bagi alam semesta.Hal inilah yang menjadikan agama Islam menjadi agama yang istimewa dari agama samâwy lainnya.
Sepeninggal Rasulullah Saw, tidak ada lagi wahyu dari langit yang merupakan titah Allah Swt untuk dijadikan sebagai panduan hidup bagi manusia. Namun, bukan berarti terhentinya wahyu tersebut ajaran Islam tidak sempurna.Sebab sejarah telah membuktikan bahwa para generasi terbaik pada masa awal-awal perkembangan Islam telah melahirkan berbagai metode kreatif dalam menjawab tantangan zaman.
Munculnya metode kreatif tersebut tidak semata dari hasil ekplorasi akal yang liar ataupun plagiasi dari metode pengembangan hukum yang dirintis oleh peradaban umat sebelum Islam.Akan tetapi, semuanya terkontrol dengan aturan-aturan yang telah digariskan al-Qur’an dan Sunnah dalam menginterpretasikan berbagai dalil hukum agar menyentuh ke berbagai lini kehidupan. Sehingga dengan demikian kehadiran Islam tidak dibatasi waktu, akan tetapi berlaku sampai ke akhir waktu.
Pada abad kedua dan ketiga Hijriyah, lahirlah tokoh besar yang menjadi icon dalam gerakan pengembangan hukum Islam. Sebab usaha yang dilakukan oleh tokoh tersebut tidak sekedar memberikan jawaban hukum pada permasalahan yang baru, akan tetapi mereka juga berupaya untuk merumuskan kaedah dasar dalam penetapan hukum. Sehingga kaedah ini menjadi panduan dalam melahirkan hukum.
Atas usaha ini, para tokoh tersebut digelari dengan a’immah al-mujtahidîn.Yaitu tokoh pioner dalam merintis dan menggembangkan metode ijtihâd.Konsep pemikiran mereka yang kemudian mengkristal dalam bentuk mazhab menjadi haluan utama bagi para mujtâhid selanjutnya dalam mengembangkan hukum Islam sehingga konsep kerelevanan Islam benar-benar terbukti.
Imam Abu Hanifah dan Imam Malik bin Anas merupakan dua nama yang fenomenal karena telah dinobatkan sebagai imâm al-mujtahidîn tersebut. Hal ini dibuktikan dengan pokok pemikiran mereka yang diaminkan oleh banyak pakar hukum Islam setelah mereka berdua.Dan dari masa ke masa, masterpiece pemikiran mereka terus berkembang dan bahkan hingga zaman sekarang.
Maka untuk mengenal lebih dekat profil imam tersebut dan pokok dasar pemikiran mereka dalam belantara fikih, penulis akan memaparkan secara ringkas tentang mereka.
B.     Pembahasan
1.   Imam Abu Hanifah (80-150 H)
a.      Biografi Imam Abu Hanifah
Nama lengkapnya adalah al-Nu’mân bin Tsâbit al-Zutha bin Mâh al-Farisiy al-Kufiy Maula (budak) Taimullâh bin Tsa’labah.[1]Namun dalam referensi yang berbeda dikatakan bahwa nama lengkapnya adalah al-Nu`mân bin Tsâbit bin al-Marzubân keturunan dari Persia Merdeka.[2]Ia lahir pada tahun 80 H di Kuffah dan meninggal pada tahun 150 H di Baghdad dan dimakamkan di sana.[3]Kelahiran Imam Abu Hanifah tepat pada masa pemerintahan Khalifah Abd al-Malik bin Marwan,[4] yaitu salah seorang khalifah dari pemerintahan Dinasti Umayyah yang berpusat di Damaskus.
Ada perbedaan dalam nama kakeknya, namun yang pasti adalah bahwa kakeknya masuk Islam pada masa pemerintahan Umar Khattab Ra[5] ketika bala tentaranya berhasil menaklukkan kawasan Khurasan, Persia dan beberapa kawasan lain di wilayah Irak. Kakeknya merupakan seorang yang kaya raya dan terpandang di kaumnya. Pada awalnya ia berdomisili di Kabul yaitu sebuah kawasan yang menjadi ibu kota Afghanistan sekarang. Namun, setelah keislamannya ia meninggalkan kawasan tersebut dan hijrah ke pusat pemerintahan Islam di Kufah.[6]Di Kufah ia bertemu dengan Imam Ali bin Abi Thalib Ra. dan menjalin hubungan dekat dengannya. Begitu juga dengan anaknya Tsâbit—ayahImam Abu Hanifah—yang juga menjalin hubungan dekat dengan Imam Ali bin Abi Thalib karena mereka masih se zaman.
Banyak riwayat yang menyebutkan bahwa ketika Tsâbit bertemu dengan Ali bin Abi Thalib Ra, Ali kemudian berdoa agar Allah memberkati keturunannya. Seiring dengan perjalanan sejarah hal itu terbukti, bahwa dari keturunan Tsâbit laihirlah seorang ulama besar yang digelari dengan Imam Abu Hanifah.Namanya tersohor sebagai seorang ulama yang sangat mumpuni dalam permasalahan fikih di kawasan Irak dan bahkan di sebagian besar kawasan Islam.[7]
Imam Abu Hanifah merupakan Tâbi’ al-Tâbi’în yang hidup sezaman dengan empat orang sahabat Rasulullah Saw, yaitu Anas di Bashrah, Abdullah bin Abi Aufa di Kuffah, Sahal bin Sa’ad al-Sa’idy di Madinah dan Abu Thufail Amir bin Watsilah di Mekkah. Akan tetapi ia tidak bertemu dengan salah seorang dari mereka, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Khalkan. Akan tetapi para sahabatnya menyatakan bahwa ia bertemu dengan beberapa orang sahabat Nabi, seperti Abdullah bin al-Harts bin Juz`iy, Anas bin Malik dan lain-lain. Syaikh Sulaiman Rashd menyebutkan dalam Târîkh al-Azhâr bahwa ia sempat bertemu dengan 21 orang sahabat Nabi dan meriwayatkan hadis dari sembilan orang dari mereka.[8]
b.      Kondisi Dunia Islam dan sikap Abu Hanifah terhadap pemerintahan
Abu Hanifah lahir pada masa Daulah Bani Umayyah, yaitu masa Abdul Malik bin Marwan. Ketika ia masih kecil, yang berkuasa di Irak adalah al-Hajâj al-Tsaqafy. Ia menyaksikan bagaimana al-Hajâj memimpin dengan kekerasan. Pada masa muda Imam Abu Hanifah, tampuk kekuasaan dipegang oleh Umar bin Abdul Aziz. Setelah merasakan masa kejayaan pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, ia juga merasakan kemunduran daulah Umawiyah dan hingga akhirnya daulah Abbasiyah naik ke pentas sejarah kekhalifahan Islam. Pada masa pemerintahan Khalifah al-Manshur yang merupakan salah seorang khalifah Dinasti Abbasiyah, tepatnya pada tahun 150 H Imam Abu Hanifah menghembuskan nafas terakhirnya.[9]
            Abu Hanifah merupakan seorang ulama yang wara’.Sikap wara’ nya ini terlihat dari penolakannya ketika Amir Yazid bin Umar bin Hubairah—wali khalifah Marwan bin Muhammad di Irak pada masa pemerintahan Umawiyah—memintanya untuk menjadi qâdhi(hakim) di Kuffah. Dengan penolakannya ini ia mendapatkan siksaan yang pedih karena dianggap menentang pemerintahan. Siksaan ini juga ia alami pada masa pemerintahan Abbasiyah ketika Khalifah Abu Ja’far al-Manshur memintanya sebagai qâdhi dan iapun kembali menolak permintaan tersebut.
Sejarah mencatat bahwa permintaan sebagai qâdhi tersebut diberikan kepadanya dalam rangka mengetahui sejauh mana loyalitasnya terhadap kekhalifahan yang berkuasa. Sebab Imam Abu Hanifah merupakan salah seorang ulama yang menolak jabatan apapun yang diberikan oleh pemerintah terhadapnya ketika ia tidak menyukai sistem pemerintahan tersebut.Ia menilai bahwa pemerintahan yang berkuasa ketika itu kebanyakan memperalat ulama dalam mencari simpati rakyat.[10]
c.       Intelektualitas Imam Abu Hanifah
1.      Perjuangan Imam Abu Hanifah dalam Menuntut Ilmu
Abu Hanifah tumbuh besar di Kuffah[11] dan menghabiskan sebagian besar umurnya di sana. Masa kecilnya ia gunakan untuk menghafal al-Qur’an hingga pada usia yang relatif kecil ia bisa menghafal ayat al-Qur’an secara sempurna. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa ia mempelajari qirâ`ah dari Imam al-‘Ashim yang merupakan salah satu imam qirâ`ah al- sab’ah. Setelah ia menghafal al-Qur’an ia mulai mempelajari sunnah-sunnah Nabi.[12]
Ia tumbuh dan berkembang di keluarga yang bergelut dalam bidang perdagangan kain sutra. Walaupun demikian ini tidak menutupnya untuk memiliki akal yang cemerlang. Ini dilatar belakangi juga oleh hubungan dekat antara kakek dan ayahnya dengan Imam Ali bin Abi Thalib Ra. serta keinginan keduanya untuk lebih mendalami Islam, maka kemudian Imam Abu Hanifah berhasil menunjukkan eksistensinya sebagai pemikir besar dalam pengembangan hukum Islam.[13]
Karena kecerdasan dan kecermelangan pikirannya, ketika beranjak dewasa ia sudah mampu ber-jadal(melakukan debat argumentative) dengan para penganut agama lain dan bahkan ia mampu mematahkan argumen mereka. Namun aktivitas ini masih sampingan, karena Imam Abu Hanifah lebih disibukkan dengan perdagangan.Karena kecerdasannya ini, al-Sya’biy menganjurkannya untuk menghabiskan umurnya dalam menuntut ilmu. Akhirnya ia mengikuti nasehat tersebut. Awal perjalanan keilmuannya, ia tertarik terhadap Ilmu Kalam hingga ia tumbuh sebagai seorang mutakallimûn (pakar ilmu kalam) dan pergi ke Bashrah dalam rangka meluruskan kekeliruan akidah Mu’tazilahdan Khawarij. Setelah mapan dalam penguasaan Ilmu Kalam, Imam Abu Hanifah menambah kompetensi keilmuannya dengan mendalami ilmu fikih.[14]
Dalam mempelajari fikih, ia berguru kepada para fuqahâ yang berasal dari berbagai golongan. Ia tidak hanya berguru pada fuqahâ yang membolehkan qiyâs dan penggunaan logika dalam agama dan fikih akan tetapi ia juga belajar terhadap Tâbi’in yang dominan berpegang pada atsâr dan Hadis Nabi. Sedangkan fiqh al-Qur’ânia pelajari dari muridIbnu Abbas yang merupakan sahabat yang paling menguasai berbagai permasalahan fiqh dalam al-Qur’an.
Untuk mewujudkan keinginannya ini, ia berhijrah ke Mekkah dan menetap di sana selama enam tahun dalam rangka berguru terhadap muridnya Ibnu Abbas. Empat corak fikih yang dipelajari oleh Imam Abu Hanifah, yaitu: fiqhUmar bin Khattab Ra. yang berlandaskan pada mashlahah, fiqhAli bin Abi Thalib Ra. yang berdiri di atas istinbâth dan hakikat dari pensyariatan hukum, fiqhAbdullah bin Mas’ud Ra. yang berdasarkan takhrîj dan ilmu fiqhal-Qur’anIbnu Abbas.[15]
Ke-fâqih-an Imam Abu Hanifah sangat dikenal sebagai ahl al-ra`yiy.Hal ini dilatari dengan metodenya yang dominan menggunakan rasional dalam penetapan hukum pada permasalahan-permasalahan yang baru.‘Iyadh mengatakan bahwa Abu Hanifah merupakan seorang yang memiliki penalaran yang bagus, kuat dalam menganalisa sesuatu dan dalam qiyas.
Ada anggapan bahwa Imam Abu Hanifah bukanlah seorang ulama yang mumpuni dalam Ilmu Hadis. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya nama Imam Abu Hanifah dalam karangan-karangan Hadis, bahkan ulama Hadis-pun tidak menerima riwayat darinya.Namun, anggapan ini tidak sepenuhnya benar, sebab al-Nasa`iy, Bukhariy dan Imam al-Turmudziy juga meriwayatkan Hadis dari Imam Abu Hanifah.Meskipun tidak tergolong kepada ulama yang banyak meriwayatkan Hadis, namun Imam Abu Hanifah juga banyak meriwayatkan Hadis dalam kitabnya al-fiqh al-Akbar.[16]
2.      Guru-guru Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah sering melakukan perjalanan dalam menuntut ilmu dengan mengunjungi berbagai kota. Di antara kota yang sering ia kunjungi adalah Baghdad, Bashrah dan Makkah. Oleh sebab itu ia memiliki guru yang banyak yang mengajarinya berbagai macam cabang ilmu. Ada pendapat yang mengatakan bahwa jumlah gurunya sampai 4000 orang, di antara mereka adalah para sahabat, tâbi`în dan sebagian besarnya adalah tâbi` al-tâbi`în.[17]
Dari sekian banyak gurunya, namun ada beberapa nama yang memberikan pengaruh dominan dalam keintelektualitasannya, yaitu:
1)      Himad bin Abi Sulaiman
Darinya iamempelajari fikih Ibrahim al-Nakh’iy dan fikih al-Sya’biy. Ia berguru kepada Hamad selama 18 tahun hingga Hamad wafat pada tahun 120 H.[18]
2)      Alqamah bin Qais al-Nakh’iy yang merupakan murid dari Abdullah bin Mas’ud
3)      Zaid bin Zainal Abidin
4)      Ja’far al-Shadiq
5)      Abdullah bin Hasan[19]
Ketika ia ditanya dari siapa ia mengambil fikih, ia menjawab: “Saya tumbuh di medannya ilmu dan fikih. Saya duduk bersama ahli ilmu dan selalu bersama dengan para fuqahâ”. Yang dimaksud dengan medan ilmu dan fikih adalah Kuffah. Sebab kota ini merupakan muara dari ilmunya Ali bin Abi ThalibRa, Abdullah bin Mas’ud Ra dan para sahabat ternama lainnya serta diikuti dengan para tâbi’în.[20]
3.      Murid-murid Imam Abu Hanifah
Setelah meninggalnya Hamad bin Abi Sulaiman pada tahun 120 H, para ulama beralih kepada muridnya yang paling terkenal yaitu Imam Abu Hanifah. Murid-murid yang menuntut ilmu kepada Imam Abu Hanifah bisa dibagi kepada dua golongan.Pertama, mereka yang menuntut ilmu kepadanya dengan cara tidak menetap, yaitu bersifat temporal. Kedua, murid-murid yang selalu bersamanya hingga ia wafat. Dan di antara mereka ada yang meninggalkannya untuk urusan tertentu seperti Zafir bin al-Huzail. Ia sangat mencintai mereka yang selalu bersamanya dalam menuntut ilmunya, bahkan tidak sedikit ia mengorbankan hartanya untuk menafkahi murid-muridnya berserta keluarga mereka. Mereka ini semuanya berjumlah 36 orang; 28 di antaranya sudah sampai ke derajat para qâdhi, enam orang di antaranya sudah boleh memberikan fatwa, dua orang yaitu Abu Yusuf dan Zafir berperan sebagai pelatih para qâdhi dan para mufti.[21]
Berdasarkan tingkatan mereka dalam ber-ijtihâd, murid-murid Abu Hanifahbisa dibagi kepada empat tingkatan:[22]
Tingkatan pertama: Mereka yang dinamakan dengan mujtahid fi al-madzhab al-Hanafy (mujtahid dalam madzhab Hanafiy). Mereka adalah:
1)      Abu Yusuf. Nama lengkapnya adalah Ya’qub bin Ibrahim bin Hubaib bin Khunais bin Sa’ad bin Habtah. Ia lahir di Kuffah tahun 113 H dan meninggal tahun 182 H. Ia mengarang kitab al-Kharâj yang merupakan kitab pertama dan yang monumental dalam madzhab Hanafy.[23]Khalifah al-Rasyid memberikan jabatan penting baginya sebagai qâdhi al-qudhâh (hakim agung) hingga ia wafat.
2)      Muhammad bin al-Hasan al-Syaibaniy. Lahir tahun 132 H dan wafat tahun 189 H. Ia berguru kepada Abu Hanifah dalam waktu yang relatif singkat. Sebab ketika Abu Hanifah meninggal ia masih kecil. Oleh karena itu ia menyempurnakan ilmunya dengan berguru pada Abu Yusuf. Selain itu ia juga berguru kepada Imam Malik selama tiga tahun dan kemudian meriwayatkan al-Muwaththâ` darinya. Ia merupakan sahabat Abu Hanifah yang paling produktif dalam menulis madzhab Hanafiy. Karangan-karangannya dianggap sebagai referensi utama dalam madzhab. Kitab Mabsûth yang terdiri dari 30 jilid karangan al-Sarkhasiymerupakan karangan yang menggabungkan semua karangan-karangan Muhammad Hasan al-Syaibaniy.
3)      Zafr al-Hudzail bin Qais. Lahir tahun 110 H dan meninggal tahun 175 H. ia merupakan sahabat Abu Hanifah yang paling tua dan yang paling banyak menggunakan qiyas. Oleh karena itu pengikut Hanafiyhanya memakai pendapatnya dalam beberapa permasalahan kecil saja.
4)      Al-Hasan bin Ziyad al-Lu`lu`iy. Wafat tahun 204 H. Ia berguru kepada Abu Hanifah dan setelah Imam wafat, ia berguru pada Abu Yusuf dan kemudian kepada Muhammad. Ia memiliki banyak karangan dalam madzhab Hanafiy.
Tingkatan kedua: Mereka yang merupakan mujtahid fi al-masâ`il(mujtahid dalam permasalahan-permasalahan khusus) yang tidak ada pendapat Imam atau pendapat para sahabat tingkatan pertama dalam permasalahan tersebut. Mereka adalah Muhammad bin Sam’ah (w. 223 H), Ahmad bin Umar atau yang dikenal dengan al-Khashaf (w. 261 H), Abu Ja’far al-Thahawiy (w. 321 H), Syamsu al-A`immah al-Sarkhasiy, pengarang kitab al-Mabsûth dan lain-lain.
Tingkatan ketiga: merekamujtahid fi al-tarjîh (mujtahid yang mengambil pendapat yang terkuat) dari pendapat-pendapat yang berbeda dalam madzhab Hanafiy. Mereka adalah Abu Hasan al-Qaduriy (w. 428 H), Al-Marghinaniy pengarang kitab al-Hidâyah (w. 593 H), al-Kamal al-Hamam, pengarang kitab SyarhFath al-Qâdir yang merupakan referensi utama dalam mazhab Hanafi dan lain-lain
Tingkatan keempat: Mereka yang termasuk golongan muqallid dalam mazhab tetapi bisa membedakan mana pendapat yang kuat dan mana riwayat yang jelas. Mereka adalah ashhâb al-Mutûn yang empat: al-Mausuliy, pengarang kitab al-Duar al-Mukhtâr (w. 683 H); Ibnu al-Sa’atiy, pengarang kitab majma’ al-Bahrain (w. 614 H); Al-Nisfiy, pengarang kitab al-Kanzu (w. 710 H).
4.      Karya Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah tidak lahir pada masa pen-tadwîn-an ilmu ke bentuk lembaran-lemabaran.Akan tetapi pada masa itu, ulama kebanyakan hanya fokus pada pengajaran yang bersifat penyampaian lisan dalam majelis-majelis ilmu.Oleh sebab itu, Imam Abu Hanifah tidak meninggalkan karya berupa litaratur hingga sekarang kecuali hanya berupa catatan-catatan kecil.
Di antara catatan-catatan kecil itu adalah  Fiqhu al-Akbar. Matan ini tidak kita temukan dalam penulisan kitab-kitab fikih akan tetapi dalam kitab yang berkaitan dengan akidah. Di samping itu ada beberapa tulisan singkatnya yang berjudul al-Âlim wa al-Muta`allim serta beberapa surat yang pernah ia kirim ke Utsman al-Batty.[24]
d.      Ushûl al-Madzhab Imâm Abu Hanifah[25]
Kokohnya konstruksi mazhab yang dibangun oleh Imam Abu Hanifah didukung oleh beberapa medode ijtihâdyang ia lahirkan dalam pengembangan hukum Islam. Sehingga, jika ada permasalahan yang tidak memiliki keterangan pasti dari nushûsh al-Qur’an dan Sunnah, maka metode tersebut bisa dijadikan sebagai pisau analisa dalam menyingkap hukum syar`i yang terkandung di balik perbuatan tersebut.
Oleh sebab itu, ada sebuah ungkapan yang terkenal dari Imam Abu Hanifah yang disebutkan dalam kitab al-Intiqâ`.Ungkapan tersebut menjadi acuan dalam mengenali ushûl (pokok) mazhabnya, yaitu:[26]

26
 
Maka dari sini dapat dipahami bahwa yang menjadi landasan ataupun pokok jitihâd dalam mazhab Abu Hanifah ada beberapa hal, dengan penjelasannya sebagai berikut:
1)            Al-Qur’an.
2)            Sunnah jika keshahihannya pasti dari Nabi. Abu Hanifah berpegangan pada keduanya sebagaimana perkataannya, “Saya mengambil dari kitab Allah, jika saya tidak menemukannya, maka dengan Sunnah Rasulullah Saw.”[27]
3)            Ijma’, baik ijma’al-sharîh, yaitu setiap mujtahidmenyatakan pendapat mereka secara jelas dalam sebuah permasalahan, maupun ijma’ al-sukûty, yaitu ketika beberapa orang mujtahid menyatakan pendapatnya dalam sebuah permasalahan dan tidak ada pertentangan dari mujtahid lainnya.
4)            Qaul al-Shahâby (perkataan sahabat) dalam hal yang tidak bisa logika ikut campur di dalamnya, seperti permasalahan ibadah dan hudûd. Sebab dalam hal ini qaul al-shahâby termasuk bagian dari Sunnah. Adapun permasalahan yang mungkin dimasuki oleh logika, maka ia akan memilih pendapat sahabat mana yang sesuai dengan ijtihadnya dan dengan syarat pendapat tersebut tidak bertentangan dengan qiyas. Sedangkan pendapat tâbi’în, maka Abu Hanifah tidak mengambilnya berdasarkan perkataannya, “Mereka rijâl(tokoh)dan kita juga rajul (tokoh).”
5)            Qiyâs. Qiyâs merupakan sumber yang paling penting yang dipegang oleh Abu Hanifah sesudah merujuk kepada al-Qur’an. Ini disebabkan karena ia sangat ketat dalam pengambilan Sunnah ditakutkan Sunnah tersebut tidak datang dari Rasulullah.
6)            Al-Istihsân. Ia merupakan perpalingan dari penerapan kaedah yang sudah baku yang berdasarkan dalil-dalil syari’at (qiyâs) disebabkan adanya dalil lain yang lebih spesifik.
7)            Al-‘Urf al-Shahîh(Adat yang benar) yang tidak bertentangan dengan salah satu pondasi agama. Abu Hanifah mendahulukan beramal dengan ‘urf ini daripada mengambil hukum yang ditetapkan melalui kaedah yang umum berlaku. Ini juga dinamakan dengan istihsân bi al-‘urf. Penggunaan ‘urf ini banyak berlaku dalam aimân (sumpah), lafal-lafal talak, akad-akad dan dalam penetapan syarat-syarat.
8)            Al-Hail al-Syar’iyah(Dalih yang dibolehkan oleh syariat)[28]. Kebanyakan dari para peneliti menisbahkan al-hail al-Syar’iyah kepada fikih Hanafy. Menurut ulama Hanafy al-hail digunakan terhadap al-makhârij min al-madhâyiq (jalan keluar dari kesulitan) dalam bentuk yang dibolehkan oleh syariat. Cara ini ditempuh ketika seseorang dihadapkan pada sebuah persoalan agama dan untuk bisa terlepas dari permasalahan tersebut ia harus menggunakan metode ini. Dalil yang dipakai oleh Hanafy dalam pembolehan al-hail ini adalah kisah Nabi Ayub As. ketika ia bersumpah untuk mencambuk isterinya 100 cambukan karena suatu sebab, kemudian Allah membolehkannya untuk mencari dalih agar bisa bebas dari sumpahnya. Ia adalah dengan mengambil seikat rumput yang berjumlah seratus dan kemudian mencambuknya dengan satu kali cambukan. Ini sebagaimana firman Allah dalam surat Shad ayat 44:
وَخُذْ بِيَدِكَ ضِغْثًا فاَضْرِبْ بِهِ وَلاَ تَحْنَثْ
Artinya: “Dan ambillah seikat (rumput) dengan tanganmu, lalu pukullah dengan itu dan janganlah engkau melanggar sumpah.”
               Contoh pemakaian al-hail ini dalam mazhab Hanafy adalah seorang laki-laki yang melihat isterinya di atas tangga. Ia lalu berkata pada isterinya, “Kamu saya talak tiga jika kamu naik atau kamu turun.” Abu Hanifah kemudian menyuruh sekelompok orang untuk mengangkat tangga tersebut dan wanita itu masih di atasnya, kemudian tangga itu dijatuhkan ke tanah dan kemudian wanita itu berdiri. Dengan ini maka talak tidak jatuh padanya.[29]
Dalam belantara fikih Islam, mazhab Hanafy sangat terkenal dalam memaparkan permasalahan yang begitu banyak.Abu Hanifah dan para sahabatnya menyalahi kaedah yang berlaku umum di kalangan ulama ketika itu yang mana mereka hanya menetapkan hukum sebuah permasalahan ketika permasalahan tersebut benar-benar terjadi.Berbeda dengan Abu Hanifah dan para sahabatnya, mereka banyak membahas permasalahan-permasalahan yang itu sifatnya masih dugaan atau yang lebih dikenal dengan fikih iftirâdhi.Dari permasalahan-permasalahan tersebut mereka berusaha mencari jawabannya.[30]
e.       Sikap Imam Abu Hanifah terhadap Sunnah
Abu Hanifah merupakan ulama yang sangat berhati-hati dalam menerima sebuah periwayatan Hadis. Oleh karena itu ia tidak menerima sebuah Hadis Rasulullah Saw kecuali jika Hadis tersebut diriwayatkan oleh banyak orang dan ini harus dipenuhi setiap tingkatannya (Mutawattir) atau ia baru menerima sebuah Hadis jika para fuqaha sepakat untuk beramal dengan Hadis tersebut (Hadis masyhur).[31]Inilah penyebab sempitnya ruang Hadis yang menjadi pegangan Abu Hanifah. Sebab ia hanya menerima Hadis mutawattir dan Hadis masyhur dan tidak menerima khabar ahad.Inilah juga yang menjadi isu sentral yang melahirkan celaan terhadapnya bahwa ia dituduh mengingkari dan tidak menghargai hadis Nabi.
Zafr, murid Imam Abu Hanifah menanggapi celaan yang dilontarkan oleh sebagian para ulama, “Janganlah kalian menoleh kepada perkataan orang-orang yang menentang.Imam Abu Hanifah dan para sahabat kita tidak akan menetapkan suatu perkara kecuali kembali kepada Kitab Allah, Sunnah, perkataan-perkataan (sahabat) yang benar dan setelah itu mereka baru menggunakan qiyas.”[32]
Di antara bukti bahwa Imam Abu Hanifah sangat berpegangan terhadap Hadis Nabi adalah Ibn Abdul Bar menyebutkan bahwa seseorang bertanya kepada Abu Hanifah, “Muhrim (orang yang sedang ber-ihram)tidak memiliki izâr (pakaian ihram bagian bawah), apakah ia boleh memakai celana?Abu Hanifah berkata, “Tidak, ia tetap harus memakai izâr!”Dikatakan padanya, “Ia tidak memiliki izâr” Abu Hanifah berkata, “Ia jual celana tersebut dan dengan uangnya ia membeli izâr.”Dikatakan lagi padanya, “Nabi Saw pernah mengatakan, “Orang yang ber-ihram boleh memakai celana ketika ia tidak memiliki izâr.”Abu Hanifah kemudian berkata, “Menurut saya Hadis ini tidak shahih berasal dari Rasulullah hingga saya berfatwa dengannya. Seseorang akan berpegangan terhadap apa yang didengarnya. Yang shahih yang sampai kepada kami adalah Hadis, “Janganlah laki-laki memakai celana.”Maka kami berpegangan terhadap apa yang kami dengar.”Dikatakan padanya, “Apakah kamu menentang Nabi?”Abu Hanifah menjawab, “Laknat Allah terhadap orang yang menentang Rasulullah Saw. Dengannya kita mulia dan dengannya kita selamat.”[33]
Imam al-Syafi’i dalam kitab al-Umm menyebutkan metode Abu Hanifah dan alasannya kenapa ia menolak sebagian Hadis shahih yang bertentangan dengan kandungan al-Qur’an. Abu Hanifah berkata, “Kamu wajib (menggambil) Hadis yang diketahui oleh banyak orang. Dan hendaklah meninggalkan yang syâdz dari Hadis. Ibnu Abi Karimah meriwayatkan dari Ja’far bahwa Rasulullah memanggil sekelompok Yahudi maka mereka bercerita dengan Nabi hingga mereka berdusta terhadap Isa As. Kemudian Nabi naik mimbar seraya berkata, “Sesungguhnya Hadis-Hadis akan disandarkan pada saya. Jika sampai kepada kalian (sesuatu) dari sayadan sesuai dengan al-Qur’an maka ia berasal dari saya. Jika itu bertentangan dengan al-Qur’an maka ia bukanlah dari saya.”[34]
Yusuf bin Asbath mengatakan bahwa Abu Hanifah tidak menerima sekitar 400 Hadis Rasulullah. Di antaranya adalah Hadis Rasulullah yang berbunyi, “Penunggang kuda mendapatkan dua bagian dan pejalan kaki mendapatkan satu bagian.” Alasan penolakan Imam Abu Hanifah adalah: “Saya tidak menjadikan bagian hewan lebih banyak dari bagian orang yang beriman. Begitupun ketika Nabi melakukan undian terhadap isteri-isteri beliau jika Nabi ingin berpergian.Abu Hanifah menyatakan bahwa undian merupakan sesuatu yang haram.[35]
f.       Perkembangan MazhabSepeninggal ImamAbu Hanifah
Perkembangan sejarah hukum Islam membuktikan bahwa Abu Hanifah yang merupakan ahli fikih Irak telah mampu meninggalkan peninggalan fikih yang begitu besar. Tersebarnya mazhab Hanafiyah ke seluruh penjuru dunia Islam tidak terlepas dari peran para sahabatnya. Di antara mereka yang paling berjasa dalam menyebarkan mazhab ini adalah Abu Yusuf yang merupakan hakim agung ketika itu dan Muhammad bin Hasan al-Syaibany.[36] Abu Yusuf dalam rangka menyebarkan mazhab Abu Hanifah, ia menghafal semua pendapat-pendapat Abu Hanifah dan kemudian dituangkannya dalam bentuk karyanya, yaitu:
1)      Al-Atsâr yang merupakan kumpulan dari periwayatan Abu Hanifah dan ditambah beberapa periwayatan dari Abu Yusuf sendiri.
2)      Al-Kharâj
3)      Ikhtilâf Abi Hanifah dan Ibn Abi Laila.[37]
Al-Khatib al-Baghdady memaparkan bahwa Abu Yusuf merupakan orang yang pertama menulis buku Ushûl al-Fiqhdalam mazhab Abu Hanifah dan ialah murid Abu Hanifah yang gigih menyebarkan ilmu Abu Hanifah ke penjuru dunia Islam.[38]
Selain Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan al-Syaibany juga berusaha menyebarkan mazhab Abu Hanifah dengan menulis karangan-karangan yang merupakan referensi utama dalam mazhab Hanafy. Di antara karangan tersebut adalah: al-Jâmi’ al-Kabîr, al-Jâmi’ al-Shaghîr, al-Siyar al-Kabîr, al-Siyar al-Shaghîr danal-Ziyâdât.[39]
Dengan sokongan yang diberikan kekhalifahan Abbasiyah dengan mengangkat Abu Yusuf sebagai qâdhi al-qudhâh (hakim agung) pemerintahan, maka mazhab Hanafy tersebar luas di wilayah Timur, Maroko sampai ke wilayah Sicilia, tersebar juga di Mesirpada awal pemerintahan Abbasiyah sebelum mazhab Maliky dan Syafi’y berkembang juga di Mesir. Sampai sekarang mazhab Hanafiyahmerupakan referensi utama dalam peradilan Mesir dan Sudan. Jika seorang qâdhi menemukan sebuah permasalahan yang tidak ada petunjuknya dalam peraturan perundang-undangan maka ia akan menetapkan hukum berdasarkan pendapat paling kuat dalam mazhab Hanafy. Mazhab Hanafy juga merupakan mazhab yang berkembang di India dan Turki di saat ini.[40]
2.   Imam Malik bin Anas (93 H-179 H)
a.      Biografi Imam Malik bin Anas
Nama lengkapnya adalah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir al-Ashbahy yang merupakan nisbah terhadap kafilahal-Ashbah yang bertempat di Yaman.[41]Ia merupakan keturunan Arab Asli. Salah seorang kakek buyutnya yang bernama Abu Amir berhijrah ke Madinah Munawwarah pada masa Nabi Muhammad Saw setelah terjadinya perang Badar dan ia menetap di sana. Ia termasuk sahabat Nabi dan mengikuti semua peperangan kecuali perang Badar. Sedangkan anaknya yang bernama Malik bergelar Abu Anas termasuk golongan tâbi’în.[42]
Ia dilahirkan di Dzy Marwah[43]pada tahun 93 H. Tahun kelahirannya tepat dengan tahun meninggalnya sabahat Rasulullah Saw, yaitu Anas bin Malik Ra. Pada masa ini, khalifah yang berkuasa adalah Sulaiman bin Abdul Malik dari dinasti Umawiyah.[44]Ada perbedaan pendapat dikalangan ulama dan sejarawan tentang tahun meninggalnya Imam Malik bin Anas, namun Qadhi Iyadh menguatkan bahwa Imam Malik bin Anas meninggal di Madinah pada bulan Rabi`u al-Awwal tahun 179 H.[45]
b.      Intelektualitas Imam Malik bin Anas
1.      Perjuangan Imam Malik bin Anas dalam Menuntut Ilmu
Imam Malik tumbuh di rumah yang dinaungi ilmu di kota yang dipayungi oleh Sunnah Nabi dan merupakan sentral fatwa para sahabat. Masa kecilnya ia habiskan untuk menghafal al-Qur’an dan kemudian menghafal Hadis-hadis Nabi. Waktu kecil itu pula ia mulai menuntut ilmu pada ulama-ulama Madinah.
Kakeknya yang bernama Malik juga merupakan seorang ulama yang tersohor di kalangan al-Tâbi`în. Ia langsung berguru kepada para sahabat Rasulullah Saw, di antaranya adalah Umar bin Khattab Ra, Utsman bin Affan Ra, Thalhah bin Ubaidillah Ra dan A’isyah Ra.[46] Begitu juga dengan bapaknya yang juga merupakan seorang penghafal Hadis Rasulullah Saw meskipun ia tidak tergolong kepada ulama yang banyak meriwayatkan hadis.[47]
Ketika ia berumur 17 tahun, ia sudah memberikan fatwa dan sudah menjadi seorang guru setelah mendapatkan ijâzah dari 60 orang ulama yang mengetahui ilmunya. Setelah itu para ulama dari penjuru dunia Islam mendatanginya dalam rangka belajar, terlebih lagi setelah ia mengarang buku al-Muwaththâ`
Ulama sepakat menyatakan bahwa Imam Malik merupakan Imam Hadis dan periwayatannya merupakan periwayatan yang kuat.Sebagian ulama berpendapat bahwa jalur sanad yang paling shahih adalah: pertama, jalur Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar. Kedua, jalur Malik dari al-Zuhry dari Salim dan dari Ibnu Umar. Ketiga, jalur Malik dari Abi al-Zinad dari al-A’raj dan dari Abu Hurairah.[48]
2.      Guru-guru Imam Malik bin Anas
Imam Malik bin Anas memiliki guru yang banyak, di antara guru-gurunya adalah:
1)      Abdurrahman bin Hurmuz yang merupakan gurunya ketika ia masih kecil.
2)      Ibn Syihab al-Zuhry yang merupakan guru Hadisnya.[49]
3)      Nafi’ Maula Ibnu Umar yang merupakan gurunya dalam meriwayatkan Hadis.
4)      Rabi’ah bin Abdurrahman yang merupakan guru fikihnya.
5)      Yahya bin Sa’id al-Anshary dari bani al-Najjar. Ia merupakan qâdhi di kota Madinah dan mempelajari fikih dari al-fuqahâ` al-sab’ah.
3.      Murid-murid Imam Malik bin Anas
Imam Malik bin Anas juga memiliki murid yang banyak yang datang ke Madinah dari berbagai penjuru. Bahkan merekalah kemudian yang menjadi duta dalam menyebarkan mazhab Malikiyah ke berbagai kawasan baik di Arab dan non Arab. Di antara mereka yang terkenal adalah Abdullah bin Wahab (w. 197 H) yang berkebangsaan Mesir, Abdurrahman Ibn al-Qasim pengarang kitab al-Mudawwanah (w. 191 H) yang juga berkebangsaan Mesir, Asad bin Furat dari Tunisia (w. 213) dan Sahnun bin Abdussalam dari Suria (w. 210 H).[50]
4.      Karya Imam Malik bin Anas
Imam Malik bin Anas memiliki sebuah karya yang sangat fenomenal. Bahkan karya tersebut masih menjadi rujukan bagi para ulama Islam hingga sekarang.Karya tersebut berjudul al-Muwaththâ` yang berisikan kumpulan Hadis-hadis Rasulullah Saw. Maka jika disebut nama Imam Malik bin Anas, maka secara otomatis akan terbayanglah al-Muwaththâ`. Dan jika disebut al-Muwaththâ` maka secara otomatis tebayanglah Imam Malik bin Anas yang merupakan penulisnya.
Imam Malik bin Anas menyelesaikan kepenulisan kitab al-Muwaththâ` pada tahun 159 H. Pada tahun ini, ia telah berumur 66 tahun. Ada riwayat yang mengatakan bahwa Imam Malik menghabiskan waktu sekitar 40 tahun untuk merampungkan kepenulisannya. Sehingga dapat dipahami bahwa ia telah memulai usaha ini semenjak ia masih muda.[51]
Suatu ketika Khalifah Abu Ja’far al-Manshur ingin menjadikan kitab ini sebagai rujukan umat Islam dalam beramal ketika itu. Akan tetapi Imam Malik bin Anas tidak setuju dengan hal itu. Sebab ia berpandangan bahwa para ulama telah berpencar ke berbagai wilayah Islam, dan mereka terkadang meriwayatkan Hadis yang tidak diriwayatkan oleh ahl al-Hijâz. Oleh karena itu ia meminta Khalifah memberikan kebebasan bagi umat Islam untuk mengamalkan apa yang mereka yakini.[52]
c.       Ushûl al-Madzhab Imam Malik bin Anas[53]
Imam Malik bin Anas mewariskan beberapa pemikiran besar yang kemudian menjadi pokok dalam konstruksi mazhabnya. Sebab, perkembangan hukum dengan mengiringi detak nadi zaman mesti sesuai dengan koridor hukum yang telah digariskan. Oleh sebab itu, Imam Malik bin Anas merumuskan beberapa ushûl (pokok-pokok fundamental) untuk ber-ijtihâd dalam kerangka mazhabnya. Adapun ushûlmazhab tersebut sebagai berikut:
1)      Al-Qur’an
Diriwayatkan bahwa Imam Malik berkata, “Siapa yang mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk maka ia adalah zindik dan wajib dibunuh.Oleh karena itu terjemahan al-Qur’an tidaklah dianggap sebagai al-Qur’an yang boleh dibaca ketika shalat.Akan tetapi ia adalah tafsir atau merupakan bentuk makna logis dari al-Qur’an.”Imam Malik mengambil al-Qur’an secara zâhir (makna tersurat) dan mafhûm-nya (makna tersiratnya).[54]
2)      Sunnah
Walaupun Imam Malik termasuk selektif dalam meriwayatkan Hadis, ia masih menerima Hadis mursal[55]selama sanadnya merupakan orang-orang yang tsiqqah (terpercaya).Ini dibuktikan banyaknya ditemui Hadis mursal dalam kitabya al-Muwaththâ`.
Ketika terjadi perbedaan antara khabar ahad dengan qiyas, maka riwayat termashsyur mengatakan bahwa Imam Malik lebih mendahulukan qiyas.[56]
3)      Ijmâ
4)      ‘Amal ahl-al-Madinah (amalan penduduk Madinah).
Imam Malik bin Anas berpendapat bahwa amalan penduduk Madinah pasti berdasarkan Hadis Nabi. Mereka lebih mendahulukan amalan penduduk Madinah daripada khabar ahad dengan dalih, “(Periwayatan) seribu dari seribu lebih baik daripada (periwayatan) satu dari yang satu”.Begutupun Imam Malik lebih mendahulukan amalan penduduk Madinah dari qiyas.
5)      Fatwa para sahabat (qaul al-Shahâby) yang menurut mereka merupakan Sunnah yang wajib diamalkan. Sebab para sahabat tidak akan mengamalkan sesuatu dan tidak pula berfatwa kecuali sesudah disahkan oleh Nabi.
6)      Al-Mashlahah al-Mursalah.
Mazhab Malikiyah sangat terkenal dengan pemakaian mashlahah al-mursalah ini. Ia adalah sesuatu yang tidak ada pelegitimasiannya dari syariat, baik dalil yang membatalkan maupun mengadakannya.Contohnya adalah pengumpulan al-Qur’an, me-qishâsh sekelompok orang karena membunuh satu orang dan jaminan terhadap aktivitas produksi. Semua permasalahan ini tidak ada nash syari’ yang menetapkannya dan tidak pula membatalkannya. Akan tetapi di dalamnya terdapat maslahat yang diakui oleh syariat Islam.
7)      Qiyas
Imam Malik beralih pada qiyas ketika ia tidak mendapatkan jawaban dari sebuah permasalahan dalam al-Qur’an, Sunnah, qaul al-Shahaby, Ijmak dan amalan penduduk Madinah. Pemakaian qiyas dalam ijtihad Imam Malik dapat dirujuk pada al-Muwaththâ`. Imam Malik ditanya tentang wanita haid yang ingin bersuci sedangkan ia tidak menemukan air. Ia kemudian berkata, “Hendaklah ia bertayammum. Karena kondisinya sama dengan seseorang yang dalam keadaan junub dan tidak menemukan air.”
Dalam hal ini Imam Malik menganalogikan wanita haid yang ingin bersuci dan tidak menemukan air terhadap orang yang dalam keadaan junub yang ditetapkan nash-nya dalam al-Qur’an yang artinya “… atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci).” (QS. Al-Nisâ`: 43)[57]
8)      Al-Istihsân
Istihsân lebih umum dari mashlahah al-mursalah dan ia juga dinamakan dengan al-istishhâb. Maknanya di sini adalah beramal dengan mashlahah yang tidak ada nash menyatakannya, apakah dalam permasalahan ini ada qiyas atau tidak. Dalam arti lain ia mendahulukan mashlahah daripada qiyas. Akan tetapi penggunaan Maliky terhadap istihsân tidak seluas pemakaian Hanafiy terhadapnya.
9)      Al-Dzarâ`I’
Maksudnya adalah segala sesuatu yang mengantarkan pada yang haram hukumnya haram dan segala sesuatu yang mengantarkan pada yang halal atau yang mengandung mashlahah maka ia merupakan sesuatu yang dituntut.      
d.      Sikap Imam Malik terhadap Sunnah
Imam Malik merupakan Imam Hadis. Dalam pengambilan sumber hukum ia berpegangan pada Sunnah Mutawattir dan Masyhûr. Ia juga berpegangan terhadap khabar ahad. Tetapi jika khabar ahad bertentangan dengan ‘amal ahl-al-Madinah (amalan penduduk Madinah) dan qiyas, maka Imam Malik mendahulukan amalan penduduk Madinah dan qiyas terhadap khabar ahad. Diriwayatkan bahwa Imam Malik menolak khabar ahad yang disandarkan pada ra’yu (pemikiran). Contohnya adalah ia menolak Hadis yang diriwayatkan Ibnu Umar:
البيعان بالخيار ما لم يتفرق
Maksud hadis ini adalah dua orang yang melakukan akad jual beli memiliki hak membatalkan jual beli selama mereka belum meninggalkan majlis jual beli. Imam Malik menolak Hadis ini dengan mengatakan, “Dalam hal ini tidak ada batasan yang pasti.”Ini mengindikasikan bahwa Imam Malik dalam menetapkan hukum tidak hanya berpegangan terhadap Hadis tapi ia juga mempertimbangkan ra`yu (analisa).[58]
e.       Perkembangan Mazhab Imam Malik bin Anas
Mazhab Malikiyah yang didirikan oleh Imam Malik bin Anas pertama kali berkembang di Madinah. Di kota inilah mazhab ini lahir dan berkembang hingga melintasi batas kawasan dan Negara. Dari Madinah, Mazhab Malikiyah terus meluas dan bahkan merambah beberapa kawasan yang ada di sekitarnya, seperti: Hijaz, Bashrah, Kawasan Utara Afrika, Cecilia, Andalusia, Magrib Jauh dan Sudan.[59]
Pengembangan Mazhab Malikiyah tidak lepas dari usaha murid-muridnya yang berdatangan ke Madinah dari berbagai penjuru. Di antaranya adalah Mesir, Maroko, Andalusia (Spanyol) dan ketika mereka kembali ke negeri mereka, mereka menyebarkan Mazhab Maliky di wilayah mereka. Dan bahkan di Andalusia, penyebaran Mazhab Malikiyah didukung oleh pemerintah yang berkuasa. Sehingga pengembangan Mazhab lebih mudah seolah tidak ada hambatan yang berarti.[60]
Hingga sekarang, Mazhab Malikiyah masih dijadikan patokan dalam permasalahan fikih. Sebab ide ataupun gagasan yang dilahirkan oleh Imam Malik senantiasa relevan dengan perkembangan zaman. Mazhab ini sekarang banyak berkembang di Negara Maroko, bagian utara, selatan dan tengah benua Afrika.[61]
C.       Penutup
Imam Abu Hanifah dan Imam Malik bin Anas merupakan dua orang mujtahid al-muthlaq. Konstruksi pemikiran yang mereka wariskan dalam mazhab mereka masih kokoh dan menjadi rujukan oleh para pemikir Islam setelahnya dalam pengembangan hukum Islam. Hingga sekarang mazhab yang mereka dirikan masih eksis dengan melahirkan berbagai literatur fiqih berdasarkan koridor jitihâd yang mereka gariskan.
Imam Abu Hanifah merupakan sosok yang terpandang dari keluarga yang kaya raya. Meskipun demikian tidak menjadikan ia terhalang untuk mendalami ilmu agama sehingga menjadi ulama yang tersohor. Ayahnya pernah dido`akan oleh Abi bin Abi Thalib Ra agar diberkahi keturunannya. Doa Ali bin Abi Thalib terkabul sehingga Allah menjadikan menjadikan anaknya ulama Besar.
Imam Abu Hanifah dikenal sebagai ulama yang banyak mengandalkan akal dalam penetapan hukum. Hal ini dilatari kawasan tempat domisilinya yang jauh dari sumber Hadis yaitu kota Madinah. Oleh sebab itu, ia sangat selektif menerima Hadis karena banyaknya usaha pemalsuan Hadis yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam.
Berbeda denga Imam Malik yang merupakan keturunan Arab asli. Ia dilahirkan di Madinah dan juga meninggal di sana. Terlahir di keluarga yang akrab dengan Hadis sehingga hal ini mempengaruhi intelektualitas keilmuannya. Di tambah lagi lingkungan Madinah ketika itu merupakan sumber utama peredaran Hadis Rasulullah Saw.
Kedekatan Imam Malik bin Anas dengan Hadis Rasulullah dibuktikan dengan kitabnya yang terkanal yaitu al-Muwaththâ’. Kitab ini masih menjadi rujukan hingga sekarang. Disamping itu Imam Malik bin Anas menggunakan consensus penduduk Madinah dan bahkan lebih mengutamakannya dari pada khabar Ahad.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Basya, Ahmad Taimur. 2001. al-Mazâhib al-Fiqhiyah al-Arba`ah. Cairo: Dâr al-Afâq al-Arabiyah.
Daqar, Abdul Ghany al-. 1998. Imâm Mâlik bin Anas; Imâmu Dâr al-Hijrah. Damaskus: Dâr al-Qalam.
Din, Abdul Adzim Syarif, al-. 1985. Târîkh al-Tasyrî’ al-Islâmy. T.tp.: Al-‘Araby.
Ghawijy, Wahbi Sulaiman. 1993.Abu Hanifata al-Nu`mân, Imâm al-A’immah al-Fuqahâ`. Damaskus: Dâr al-Qalam.
Hawwa, Ahmad Sa`id. 2002. Madkhal Ila Mazhab al-Imâm Abi Hanifata. Jeddah: Dâr al-Andalus al-Khadra`.
Isma`il, Sya`ban Muhammad. 1980.al-Madkhal Li al-Dirâsah al-Qur’ân wa al-Sunnah wa al-`Ulûm al-Syar`iyyah. Cairo: Dâr al-Anshâr.
Khalaf, Abdul Wahab. T.th.Khulashah Târîkh al-Tasyrî’ al-Islâmy.Kuwait: Dâr al-Qalam.
Namary, Al-Imam al-Hafizh Abu Umar Yusuf al-. tt. al-Intiqâ` fi Fadhâ`il al-Tsalâtsah al-A’immah al-Fuqahâ’ Mâlik, al-Syâfi`I wa Abu Hanifah. Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah.
Qaththan, Manna’al-. 1996. Târiîkh al-Tasyrî’ al-Islâmiy. Riyadh: Maktabah li al-Ma’ârif li al-Nasyr wa al-Tauzî’.
RI, Departemen Agama. 2006. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: CV Penerbit Diponegoro.
Sabbak, Fatimah al-Said Ali. 1417 H. al-Syari’ah wa al-Tasyrî’.T.tp: Rabitah al-‘Alam al’Islamy.
Sibty, Al-Qadhi Iyadh al-.tt. Tartîbu al-Madâriki wa Taqrîb al-Masâliki li Ma`rifat A`lâmi Masahibi Maliki. Ribath: Wizaratu al-Awqaf.
Tsa’alaby, Muhammad bin al-Hasan al-Hajwiy al-. 1340. al-Fikr al-Sâmiy. Al-Ribath: Idârah al-Ma’arif.
Wasil, Nasir Farid Muhammad. T.th. al-Madkhal al-Wasîth li Dirâsat al-Syari’ah al-Islâmiyah wa al-Figh wa al-Tasyrî’. Kairo: Maktabah al-Taufîqiyah.
Yusuf, Abut. Tt. al-Kharâj. Cairo: Dâr al-Ishlah.
Zahrah, Muhammad Abu. T.th. Muhâdharât fi Târîkh al-Madzâhib al-Fiqhiyyah. al-Raudhah: Mathba’ah al-Madany.
______. T.th. Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah. Port Sa’id: Dâr al-Fikr al-‘Araby.




[1] Muhammad bin al-Hasan al-Hajwiy al-Tsa’labiy, al-Fikr al-Sâmiy, vol. II, (Al-Ribâth: Idârah al-Ma’ârif, 1340) hal. 119
[2] Wahbi Sulaiman Ghawijy, Abu Hanifah al-Nu`mân, Imâm al-A’immah al-Fuqahâ`, (Damaskus: Dâr al-Qalam, 1993), hal. 47
[3] Fatimah al-Said Ali Sabbak, al-Syarî’ah wa al-Tasyrî’, (ttp: Râbitah al-‘Alam al’Islâmiy, 1417 H), hal. 107
[4] Wahbi Sulaiman Ghawijy, op. cit., hal. 47
[5] Ibid.,hal. 47
[6] Ibid.,hal. 47
[7] Muhammad Abu Zahrah, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah, vol. II, (Port Sa’id: Dâr al-Fikr al-‘Araby), hal.  130
[8] Muhammad bin al-Hasan al-Hajwiy al-Tsa’alabiy, op. cit., hal. 120
[9] Mannâ’al-Qaththan, Târîkh al-Tasyrî’ al-Islâmiy, (Riyadh: Maktabah li al-Ma’ârif li al-Nasyr wa al-Tauzî, 1996) hal. 320
[10] Abdul Adzim Syarif al-Din, Târîkh al-Tasyrî’ al-Islâmy, Cet. III, (ttp.: Al-‘Araby , 1985), hal. 186-187
[11] Kuffah merupakan salah satu kota yang terletak di Irak. Sebelum Islam datang dan sesudahnya, Irak merupakan pusat peradaban dan tempat tumbuh dan berkembangnya berbagai macam agama. Sebelum Islam datang, di sana sudah berdiri madrasah-madrasah yang mengajarkan falsafat Yunani dan hikmah Persia.
[12] Muhammad Abu Zahrah, op. cit., hal. 131
[13] Ibid.,hal. 131
[14] Ibid.,hal. 134-135
[15]Ibid.,hal. 136
[16] Muhammad bin al-Hasan al-Hajwiy al-Tsa’alabiy, op. cit., hal. 121
[17] Ahmad Sa`id Hawwa, Madkhal Ilâ Madzhab al-Imâm Abi Hanifah, (Jeddah: Dâr al-Andalus al-Khadra`, 2002), hal. 58
[18] Muhammad bin al-Hasan al-Hajwiy al-Tsa’alabiy, op. cit., hal. 137
[19] Fatimah al-Said Ali Sabbak, op.cit., hal. 108
[20] Muhammad Abu Zahrah, op. cit., hal. 135
[21]Ibid.,hal. 140-141
[22] Nasir Farid Muhammad Wasil, al-Madkhal al-Wasîth li Dirâsât al-Syarî’ah al-Islâmiyah wa al-Figh wa al-Tasyrî’, (Kairo: Maktabah al-Taufîqiyah, tt.), hal. 100-101
[23] Abu Yusuf, al-Kharâj, (ttp.: Dâr al-Ishlâh, tt.), hal. 14
[24] Ahmad Sa`id Hawwa,op. cit., hal. 77
[25] Nasir Farid Muhammad Wasil, op. cit., hal. 99-100
[26] Al-Imam al-Hafizh Abu Umar Yusuf al-Namary, al-Intiqâ` fi Fadhâ`il al-Tsalâtsah al-A’immah al-Fuqahâ’ Mâlik, al-Syâfi`I wa Abu Hanifah, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, tt.), hal. 143
[27] Fatimah al-Said Ali Sabbak, op. cit., hal, 110
[28]Manna’ al-Qaththan, op. cit., hal. 333
[29] Fatimah al-Said Ali Sabbak, op. cit., hal, 111
[30]Abdul ‘Adzim Syarif al-Din, op. cit., hal. 188
[31]Manna’ al-Qaththan,op. cit., hal. 331
[32] Manna’ al-Qaththan,op. cit., hal. 339
[33]Ibid.,hal. 339
[34] Ibid., hal. 331-332
[35] Ibid.,hal. 338
[36] Abdul Adzim Syarif al-Din, op. cit., hal. 188
[37] Manna’ al-Qaththan, op. cit., hal. 341
[38] Manna’ al-Qaththan, op. cit., hal. 341
[39] Ibid.
[40] Abdul ‘Adzim Syarif al-Din, op. cit., hal. 189
[41] Nasir Farid Muhammad Wasil, op. cit., hal. 102
[42] Manna’ al-Qaththan, op. cit., hal. 345
[43] Yaitu sebuah kawasan di Madinah yang terletak antra Taima` dengan Khaibar.
[44] Abdul Ghany al-Daqar, Imâm Mâik bin Anas; Imâm Dâr al-Hijrah, (Damaskus: Dâr al-Qalam, 1998), hal.21
[45] Al-Qadhi Iyadh al-Sibty, Tartîb al-Madâriki wa Taqrîb al-Masâlik li Ma`rifat A`lâmi Masahibi Mâliki, (Ribath: Wizârah al-Awqâf, tt.), Jilid ke-2, hal. 146
[46] Abdul Ghany al-Daqar, op cit., hal.29
[47] Ibid.,hal. 29
[48] Manna’ al-Qaththan, op. cit., hal. 347
[49] Ibid.,hal. 347
[50] Nasir Farid Muhammad Wasil, op. cit., hal. 103
[51]Abdul Ghany al-Daqar, op. cit., hal.105
[52] Nasir Farid Muhammad Wasil, op. cit., hal. 102
[53]Ibid.,hal. 102-103
[54] Manna’ al-Qaththan, op. cit., hal. 353
[55] Hadis mursal adalah periwayatan yang disandarkan oleh Tâbi`în kepada Rasulullah Saw berupa perkataan, perbuatan ataupun ketetapan.Lih. Sya`ban Muhammad Isma`il, al-Madkhal Li al-Dirâsah al-Qur’ân wa al-Sunnah wa al-`Ulûm al-Syar`iyah, (Cairo: Dâr al-Anshar, 1980), Jilid ke-2, hlm. 90
[56] Manna’al-Qaththan, op. cit., hal. 353
[57] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2006), hal. 67
[58] Muhammad Abu Zahrah, Muhâdharât fi Târîkh al-Madzâhib al-Fiqhiyyah, (al-Raudhah: Mathba’ah al-Madaniy, T.th.), hal.235
[59] Ahmad Taimur Basya, al-Mazâhib al-Fiqhiyah al-Arba`ah, (Cairo: Dar al-Afaq al-Arabiyah, 2001), hal. 64
[60] Abdul Wahab Khalaf, Khulashah Târîkh al-Tasyrî’ al-Islâmy, (Kuwait: Dâr al-Qalam, tt.), hal. 89
[61] Nasir Farid Muhammad Wasil, op. cit., hal. 103

Tidak ada komentar:

Posting Komentar