Konsep ajaran Islam senantiasa relevan dengan perkembangan zaman
merupakan sebuah konsensus yang tidak akan bisa terbantahkan sampai kapanpun
dan oleh siapapun. Sebab Islam merupakan ajaran yang diturunkan untuk menjadi
rahmat bagi alam semesta.Hal inilah yang menjadikan agama Islam menjadi agama
yang istimewa dari agama samâwy lainnya.
Sepeninggal Rasulullah Saw, tidak ada lagi wahyu dari langit yang
merupakan titah Allah Swt untuk dijadikan sebagai panduan hidup bagi manusia.
Namun, bukan berarti terhentinya wahyu tersebut ajaran Islam tidak
sempurna.Sebab sejarah telah membuktikan bahwa para generasi terbaik pada masa
awal-awal perkembangan Islam telah melahirkan berbagai metode kreatif dalam
menjawab tantangan zaman.
Munculnya metode kreatif tersebut tidak semata dari hasil ekplorasi
akal yang liar ataupun plagiasi dari metode pengembangan hukum yang dirintis
oleh peradaban umat sebelum Islam.Akan tetapi, semuanya terkontrol dengan
aturan-aturan yang telah digariskan al-Qur’an dan Sunnah dalam menginterpretasikan
berbagai dalil hukum agar menyentuh ke berbagai lini kehidupan. Sehingga dengan
demikian kehadiran Islam tidak dibatasi waktu, akan tetapi berlaku sampai ke
akhir waktu.
Pada abad kedua dan ketiga Hijriyah, lahirlah tokoh besar yang
menjadi icon dalam gerakan pengembangan hukum Islam. Sebab usaha yang
dilakukan oleh tokoh tersebut tidak sekedar memberikan jawaban hukum pada
permasalahan yang baru, akan tetapi mereka juga berupaya untuk merumuskan
kaedah dasar dalam penetapan hukum. Sehingga kaedah ini menjadi panduan dalam
melahirkan hukum.
Atas usaha ini, para tokoh tersebut digelari dengan a’immah
al-mujtahidîn.Yaitu tokoh pioner dalam merintis dan menggembangkan metode ijtihâd.Konsep
pemikiran mereka yang kemudian mengkristal dalam bentuk mazhab menjadi haluan
utama bagi para mujtâhid selanjutnya
dalam mengembangkan hukum Islam sehingga konsep kerelevanan Islam benar-benar
terbukti.
Imam Abu Hanifah dan Imam Malik bin Anas merupakan dua nama yang
fenomenal karena telah dinobatkan sebagai imâm al-mujtahidîn tersebut. Hal
ini dibuktikan dengan pokok pemikiran mereka yang diaminkan oleh banyak pakar
hukum Islam setelah mereka berdua.Dan dari masa ke masa, masterpiece pemikiran
mereka terus berkembang dan bahkan hingga zaman sekarang.
Maka untuk mengenal lebih dekat profil imam tersebut dan pokok
dasar pemikiran mereka dalam belantara fikih, penulis akan memaparkan secara
ringkas tentang mereka.
B.
Pembahasan
1.
Imam Abu Hanifah (80-150 H)
a.
Biografi Imam Abu Hanifah
Nama lengkapnya adalah al-Nu’mân bin Tsâbit
al-Zutha bin Mâh al-Farisiy
al-Kufiy Maula (budak) Taimullâh bin Tsa’labah.[1]Namun
dalam referensi yang berbeda dikatakan bahwa nama lengkapnya adalah al-Nu`mân bin Tsâbit
bin al-Marzubân keturunan
dari Persia Merdeka.[2]Ia
lahir pada tahun 80 H di Kuffah dan meninggal pada tahun 150 H di Baghdad dan dimakamkan
di sana.[3]Kelahiran
Imam Abu Hanifah tepat pada masa pemerintahan Khalifah Abd al-Malik bin Marwan,[4]
yaitu salah seorang khalifah dari pemerintahan Dinasti Umayyah yang berpusat di
Damaskus.
Ada perbedaan dalam nama kakeknya, namun yang pasti adalah bahwa
kakeknya masuk Islam pada masa pemerintahan Umar Khattab Ra[5]
ketika bala tentaranya berhasil menaklukkan kawasan Khurasan, Persia dan beberapa
kawasan lain di wilayah Irak. Kakeknya merupakan seorang yang kaya raya dan
terpandang di kaumnya. Pada awalnya ia berdomisili di Kabul yaitu sebuah
kawasan yang menjadi ibu kota Afghanistan sekarang. Namun, setelah keislamannya
ia meninggalkan kawasan tersebut dan hijrah ke pusat pemerintahan Islam di Kufah.[6]Di
Kufah ia bertemu dengan Imam Ali bin Abi Thalib Ra. dan menjalin hubungan dekat
dengannya. Begitu juga dengan anaknya Tsâbit—ayahImam Abu Hanifah—yang juga menjalin hubungan dekat dengan
Imam Ali bin Abi Thalib karena mereka masih se zaman.
Banyak riwayat yang menyebutkan bahwa ketika Tsâbit bertemu dengan Ali bin Abi Thalib Ra, Ali kemudian berdoa agar
Allah memberkati keturunannya. Seiring dengan perjalanan sejarah hal itu
terbukti, bahwa dari keturunan Tsâbit laihirlah seorang ulama besar yang digelari dengan Imam Abu
Hanifah.Namanya tersohor sebagai seorang ulama yang sangat mumpuni dalam
permasalahan fikih di kawasan Irak dan bahkan di sebagian besar kawasan Islam.[7]
Imam Abu Hanifah merupakan Tâbi’ al-Tâbi’în yang hidup sezaman dengan empat orang sahabat Rasulullah Saw, yaitu
Anas di Bashrah, Abdullah bin Abi Aufa di Kuffah, Sahal bin Sa’ad al-Sa’idy di
Madinah dan Abu Thufail Amir bin Watsilah di Mekkah. Akan tetapi ia tidak
bertemu dengan salah seorang dari mereka, sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Ibnu Khalkan. Akan tetapi para sahabatnya menyatakan bahwa ia bertemu dengan
beberapa orang sahabat Nabi, seperti Abdullah bin al-Harts bin Juz`iy, Anas bin
Malik dan lain-lain. Syaikh Sulaiman Rashd menyebutkan dalam Târîkh
al-Azhâr bahwa ia sempat bertemu dengan 21 orang sahabat Nabi dan
meriwayatkan hadis dari sembilan orang dari mereka.[8]
b.
Kondisi Dunia Islam dan sikap Abu Hanifah terhadap pemerintahan
Abu Hanifah lahir pada masa Daulah Bani Umayyah, yaitu masa Abdul
Malik bin Marwan. Ketika ia masih kecil, yang berkuasa di Irak adalah al-Hajâj al-Tsaqafy. Ia menyaksikan bagaimana al-Hajâj memimpin dengan kekerasan. Pada masa muda Imam Abu Hanifah, tampuk
kekuasaan dipegang oleh Umar bin Abdul Aziz. Setelah merasakan masa kejayaan
pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, ia juga merasakan kemunduran daulah
Umawiyah dan hingga akhirnya daulah Abbasiyah naik ke pentas sejarah
kekhalifahan Islam. Pada masa pemerintahan Khalifah al-Manshur yang merupakan
salah seorang khalifah Dinasti Abbasiyah, tepatnya pada tahun 150 H Imam Abu
Hanifah menghembuskan nafas terakhirnya.[9]
Abu Hanifah
merupakan seorang ulama yang wara’.Sikap wara’ nya ini terlihat
dari penolakannya ketika Amir Yazid bin Umar bin Hubairah—wali khalifah Marwan
bin Muhammad di Irak pada masa pemerintahan Umawiyah—memintanya untuk menjadi qâdhi(hakim) di
Kuffah. Dengan penolakannya ini ia mendapatkan siksaan yang pedih karena
dianggap menentang pemerintahan. Siksaan ini juga ia alami pada masa
pemerintahan Abbasiyah ketika Khalifah Abu Ja’far al-Manshur memintanya sebagai
qâdhi dan iapun kembali menolak permintaan tersebut.
Sejarah mencatat bahwa permintaan sebagai qâdhi tersebut
diberikan kepadanya dalam rangka mengetahui sejauh mana loyalitasnya terhadap
kekhalifahan yang berkuasa. Sebab Imam Abu Hanifah merupakan salah seorang
ulama yang menolak jabatan apapun yang diberikan oleh pemerintah terhadapnya
ketika ia tidak menyukai sistem pemerintahan tersebut.Ia menilai bahwa
pemerintahan yang berkuasa ketika itu kebanyakan memperalat ulama dalam mencari
simpati rakyat.[10]
c.
Intelektualitas Imam Abu Hanifah
1.
Perjuangan Imam Abu Hanifah dalam Menuntut Ilmu
Abu Hanifah tumbuh besar di Kuffah[11]
dan menghabiskan sebagian besar umurnya di sana. Masa kecilnya ia gunakan untuk
menghafal al-Qur’an hingga pada usia yang relatif kecil ia bisa menghafal ayat
al-Qur’an secara sempurna. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa ia mempelajari qirâ`ah dari Imam
al-‘Ashim yang merupakan salah satu imam qirâ`ah al- sab’ah. Setelah
ia menghafal al-Qur’an ia mulai mempelajari sunnah-sunnah Nabi.[12]
Ia tumbuh dan berkembang di keluarga yang bergelut dalam bidang
perdagangan kain sutra. Walaupun demikian ini tidak menutupnya untuk memiliki
akal yang cemerlang. Ini dilatar belakangi juga oleh hubungan dekat antara
kakek dan ayahnya dengan Imam Ali bin Abi Thalib Ra. serta keinginan keduanya
untuk lebih mendalami Islam, maka kemudian Imam Abu Hanifah berhasil
menunjukkan eksistensinya sebagai pemikir besar dalam pengembangan hukum Islam.[13]
Karena kecerdasan dan kecermelangan pikirannya, ketika beranjak
dewasa ia sudah mampu ber-jadal(melakukan debat argumentative)
dengan para penganut agama lain dan bahkan ia mampu mematahkan argumen mereka.
Namun aktivitas ini masih sampingan, karena Imam Abu Hanifah lebih disibukkan
dengan perdagangan.Karena kecerdasannya ini, al-Sya’biy menganjurkannya untuk
menghabiskan umurnya dalam menuntut ilmu. Akhirnya ia mengikuti nasehat
tersebut. Awal perjalanan keilmuannya, ia tertarik terhadap Ilmu Kalam hingga
ia tumbuh sebagai seorang mutakallimûn (pakar ilmu
kalam) dan pergi ke Bashrah dalam rangka meluruskan kekeliruan akidah Mu’tazilahdan
Khawarij. Setelah mapan dalam penguasaan Ilmu Kalam, Imam Abu Hanifah menambah
kompetensi keilmuannya dengan mendalami ilmu fikih.[14]
Dalam mempelajari fikih, ia berguru kepada para fuqahâ yang berasal dari berbagai golongan. Ia tidak hanya berguru pada fuqahâ yang membolehkan qiyâs dan penggunaan
logika dalam agama dan fikih akan tetapi ia juga belajar terhadap Tâbi’in yang dominan
berpegang pada atsâr dan Hadis Nabi.
Sedangkan fiqh al-Qur’ânia pelajari
dari muridIbnu Abbas yang merupakan sahabat yang paling menguasai berbagai
permasalahan fiqh dalam al-Qur’an.
Untuk mewujudkan keinginannya ini, ia berhijrah ke Mekkah dan
menetap di sana selama enam tahun dalam rangka berguru terhadap muridnya Ibnu
Abbas. Empat corak fikih yang dipelajari oleh Imam Abu Hanifah, yaitu: fiqhUmar
bin Khattab Ra. yang berlandaskan pada mashlahah, fiqhAli bin Abi Thalib
Ra. yang berdiri di atas istinbâth dan hakikat
dari pensyariatan hukum, fiqhAbdullah bin Mas’ud Ra. yang berdasarkan takhrîj dan ilmu fiqhal-Qur’anIbnu
Abbas.[15]
Ke-fâqih-an Imam Abu
Hanifah sangat dikenal sebagai ahl al-ra`yiy.Hal ini dilatari dengan
metodenya yang dominan menggunakan rasional dalam penetapan hukum pada
permasalahan-permasalahan yang baru.‘Iyadh mengatakan bahwa Abu Hanifah merupakan
seorang yang memiliki penalaran yang bagus, kuat dalam menganalisa sesuatu dan
dalam qiyas.
Ada anggapan bahwa Imam Abu Hanifah bukanlah seorang ulama yang
mumpuni dalam Ilmu Hadis. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya nama Imam Abu
Hanifah dalam karangan-karangan Hadis, bahkan ulama Hadis-pun tidak menerima
riwayat darinya.Namun, anggapan ini tidak sepenuhnya benar, sebab al-Nasa`iy,
Bukhariy dan Imam al-Turmudziy juga meriwayatkan Hadis dari Imam Abu Hanifah.Meskipun
tidak tergolong kepada ulama yang banyak meriwayatkan Hadis, namun Imam Abu
Hanifah juga banyak meriwayatkan Hadis dalam kitabnya al-fiqh al-Akbar.[16]
2.
Guru-guru Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah sering melakukan perjalanan dalam menuntut ilmu
dengan mengunjungi berbagai kota. Di antara kota yang sering ia kunjungi adalah
Baghdad, Bashrah dan Makkah. Oleh sebab itu ia memiliki guru yang banyak yang
mengajarinya berbagai macam cabang ilmu. Ada pendapat yang mengatakan bahwa
jumlah gurunya sampai 4000 orang, di antara mereka adalah para sahabat, tâbi`în dan sebagian besarnya adalah tâbi` al-tâbi`în.[17]
Dari sekian banyak gurunya, namun ada beberapa nama yang memberikan
pengaruh dominan dalam keintelektualitasannya, yaitu:
1)
Himad
bin Abi Sulaiman
Darinya iamempelajari fikih Ibrahim al-Nakh’iy dan fikih al-Sya’biy.
Ia berguru kepada Hamad selama 18 tahun hingga Hamad wafat pada tahun 120 H.[18]
2)
Alqamah
bin Qais al-Nakh’iy yang merupakan murid dari Abdullah bin Mas’ud
3)
Zaid
bin Zainal Abidin
4)
Ja’far
al-Shadiq
5)
Abdullah
bin Hasan[19]
Ketika ia ditanya dari siapa ia mengambil fikih, ia menjawab: “Saya
tumbuh di medannya ilmu dan fikih. Saya duduk bersama ahli ilmu dan selalu
bersama dengan para fuqahâ”. Yang dimaksud dengan medan ilmu dan fikih adalah Kuffah. Sebab
kota ini merupakan muara dari ilmunya Ali bin Abi ThalibRa, Abdullah bin Mas’ud
Ra dan para sahabat ternama lainnya serta diikuti dengan para tâbi’în.[20]
3.
Murid-murid Imam Abu Hanifah
Setelah meninggalnya Hamad bin Abi Sulaiman pada tahun 120 H, para
ulama beralih kepada muridnya yang paling terkenal yaitu Imam Abu Hanifah.
Murid-murid yang menuntut ilmu kepada Imam Abu Hanifah bisa dibagi kepada dua
golongan.Pertama, mereka yang menuntut ilmu kepadanya dengan cara tidak
menetap, yaitu bersifat temporal. Kedua, murid-murid yang selalu
bersamanya hingga ia wafat. Dan di antara mereka ada yang meninggalkannya untuk
urusan tertentu seperti Zafir bin al-Huzail. Ia sangat mencintai mereka yang
selalu bersamanya dalam menuntut ilmunya, bahkan tidak sedikit ia mengorbankan
hartanya untuk menafkahi murid-muridnya berserta keluarga mereka. Mereka ini
semuanya berjumlah 36 orang; 28 di antaranya sudah sampai ke derajat para qâdhi, enam orang di
antaranya sudah boleh memberikan fatwa, dua orang yaitu Abu Yusuf dan Zafir
berperan sebagai pelatih para qâdhi dan para mufti.[21]
Berdasarkan tingkatan mereka dalam ber-ijtihâd, murid-murid
Abu Hanifahbisa dibagi kepada empat tingkatan:[22]
Tingkatan pertama: Mereka
yang dinamakan dengan mujtahid fi al-madzhab al-Hanafy (mujtahid dalam
madzhab Hanafiy). Mereka adalah:
1) Abu Yusuf. Nama lengkapnya adalah Ya’qub bin Ibrahim bin Hubaib bin
Khunais bin Sa’ad bin Habtah. Ia lahir di Kuffah tahun 113 H dan meninggal
tahun 182 H. Ia mengarang kitab al-Kharâj yang merupakan
kitab pertama dan yang monumental dalam madzhab Hanafy.[23]Khalifah
al-Rasyid memberikan jabatan penting baginya sebagai qâdhi al-qudhâh (hakim agung)
hingga ia wafat.
2) Muhammad bin al-Hasan al-Syaibaniy. Lahir tahun 132 H dan wafat
tahun 189 H. Ia berguru kepada Abu Hanifah dalam waktu yang relatif singkat.
Sebab ketika Abu Hanifah meninggal ia masih kecil. Oleh karena itu ia
menyempurnakan ilmunya dengan berguru pada Abu Yusuf. Selain itu ia juga
berguru kepada Imam Malik selama tiga tahun dan kemudian meriwayatkan al-Muwaththâ` darinya. Ia
merupakan sahabat Abu Hanifah yang paling produktif dalam menulis madzhab
Hanafiy. Karangan-karangannya dianggap sebagai referensi utama dalam madzhab.
Kitab Mabsûth yang terdiri dari 30 jilid karangan al-Sarkhasiymerupakan karangan
yang menggabungkan semua karangan-karangan Muhammad Hasan al-Syaibaniy.
3) Zafr al-Hudzail bin Qais. Lahir tahun 110 H dan meninggal tahun 175
H. ia merupakan sahabat Abu Hanifah yang paling tua dan yang paling banyak menggunakan
qiyas. Oleh karena itu pengikut Hanafiyhanya memakai pendapatnya dalam beberapa
permasalahan kecil saja.
4) Al-Hasan bin Ziyad al-Lu`lu`iy. Wafat tahun 204 H. Ia berguru
kepada Abu Hanifah dan setelah Imam wafat, ia berguru pada Abu Yusuf dan kemudian
kepada Muhammad. Ia memiliki banyak karangan dalam madzhab Hanafiy.
Tingkatan kedua: Mereka
yang merupakan mujtahid fi al-masâ`il(mujtahid dalam
permasalahan-permasalahan khusus) yang tidak ada pendapat Imam atau pendapat
para sahabat tingkatan pertama dalam permasalahan tersebut. Mereka adalah
Muhammad bin Sam’ah (w. 223 H), Ahmad bin Umar atau yang dikenal dengan al-Khashaf
(w. 261 H), Abu Ja’far al-Thahawiy (w. 321 H), Syamsu al-A`immah
al-Sarkhasiy, pengarang kitab al-Mabsûth dan lain-lain.
Tingkatan ketiga: merekamujtahid
fi al-tarjîh (mujtahid yang mengambil pendapat yang terkuat) dari
pendapat-pendapat yang berbeda dalam madzhab Hanafiy. Mereka adalah Abu Hasan
al-Qaduriy (w. 428 H), Al-Marghinaniy pengarang kitab al-Hidâyah (w. 593 H),
al-Kamal al-Hamam, pengarang kitab SyarhFath al-Qâdir yang merupakan
referensi utama dalam mazhab Hanafi dan lain-lain
Tingkatan keempat: Mereka
yang termasuk golongan muqallid dalam mazhab tetapi bisa membedakan mana
pendapat yang kuat dan mana riwayat yang jelas. Mereka adalah ashhâb al-Mutûn yang empat:
al-Mausuliy, pengarang kitab al-Duar al-Mukhtâr (w. 683 H);
Ibnu al-Sa’atiy, pengarang kitab majma’ al-Bahrain (w. 614 H); Al-Nisfiy,
pengarang kitab al-Kanzu (w. 710 H).
4.
Karya Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah tidak lahir pada masa pen-tadwîn-an ilmu ke
bentuk lembaran-lemabaran.Akan tetapi pada masa itu, ulama kebanyakan hanya
fokus pada pengajaran yang bersifat penyampaian lisan dalam majelis-majelis
ilmu.Oleh sebab itu, Imam Abu Hanifah tidak meninggalkan karya berupa litaratur
hingga sekarang kecuali hanya berupa catatan-catatan kecil.
Di antara catatan-catatan kecil itu adalah Fiqhu al-Akbar. Matan ini tidak kita
temukan dalam penulisan kitab-kitab fikih akan tetapi dalam kitab yang
berkaitan dengan akidah. Di samping itu ada beberapa tulisan singkatnya yang
berjudul al-Âlim
wa al-Muta`allim serta beberapa
surat yang pernah ia kirim ke Utsman al-Batty.[24]
Kokohnya konstruksi mazhab yang dibangun oleh Imam Abu Hanifah
didukung oleh beberapa medode ijtihâdyang ia
lahirkan dalam pengembangan hukum Islam. Sehingga, jika ada permasalahan yang
tidak memiliki keterangan pasti dari nushûsh al-Qur’an dan
Sunnah, maka metode tersebut bisa dijadikan sebagai pisau analisa dalam
menyingkap hukum syar`i yang terkandung di balik perbuatan tersebut.
Oleh sebab itu, ada sebuah ungkapan yang terkenal dari Imam Abu
Hanifah yang disebutkan dalam kitab al-Intiqâ`.Ungkapan
tersebut menjadi acuan dalam mengenali ushûl (pokok)
mazhabnya, yaitu:[26]
|
Maka dari sini dapat dipahami bahwa
yang menjadi landasan ataupun pokok jitihâd dalam mazhab
Abu Hanifah ada beberapa hal, dengan penjelasannya sebagai berikut:
1)
Al-Qur’an.
2)
Sunnah
jika keshahihannya pasti dari Nabi. Abu Hanifah berpegangan pada keduanya
sebagaimana perkataannya, “Saya mengambil dari kitab Allah, jika saya tidak
menemukannya, maka dengan Sunnah Rasulullah Saw.”[27]
3)
Ijma’, baik ijma’al-sharîh, yaitu setiap mujtahidmenyatakan pendapat mereka secara jelas
dalam sebuah permasalahan, maupun ijma’ al-sukûty, yaitu ketika
beberapa orang mujtahid menyatakan pendapatnya dalam sebuah permasalahan dan
tidak ada pertentangan dari mujtahid lainnya.
4)
Qaul
al-Shahâby (perkataan sahabat) dalam hal yang tidak bisa logika ikut campur di
dalamnya, seperti permasalahan ibadah dan hudûd. Sebab dalam hal
ini qaul al-shahâby termasuk bagian
dari Sunnah. Adapun permasalahan yang mungkin dimasuki oleh logika, maka ia
akan memilih pendapat sahabat mana yang sesuai dengan ijtihadnya dan dengan
syarat pendapat tersebut tidak bertentangan dengan qiyas. Sedangkan pendapat tâbi’în, maka Abu Hanifah tidak mengambilnya berdasarkan perkataannya,
“Mereka rijâl(tokoh)dan kita juga rajul (tokoh).”
5)
Qiyâs. Qiyâs merupakan
sumber yang paling penting yang dipegang oleh Abu Hanifah sesudah merujuk
kepada al-Qur’an. Ini disebabkan karena ia sangat ketat dalam pengambilan
Sunnah ditakutkan Sunnah tersebut tidak datang dari Rasulullah.
6)
Al-Istihsân. Ia merupakan
perpalingan dari penerapan kaedah yang sudah baku yang berdasarkan dalil-dalil
syari’at (qiyâs) disebabkan adanya dalil lain yang lebih spesifik.
7)
Al-‘Urf
al-Shahîh(Adat yang
benar) yang tidak bertentangan dengan salah satu pondasi agama. Abu Hanifah
mendahulukan beramal dengan ‘urf ini daripada mengambil hukum yang
ditetapkan melalui kaedah yang umum berlaku. Ini juga dinamakan dengan istihsân bi al-‘urf. Penggunaan ‘urf
ini banyak berlaku dalam aimân (sumpah),
lafal-lafal talak, akad-akad dan dalam penetapan syarat-syarat.
8)
Al-Hail
al-Syar’iyah(Dalih yang
dibolehkan oleh syariat)[28].
Kebanyakan dari para peneliti menisbahkan al-hail al-Syar’iyah kepada
fikih Hanafy. Menurut ulama Hanafy al-hail digunakan terhadap al-makhârij min al-madhâyiq (jalan keluar
dari kesulitan) dalam bentuk yang dibolehkan oleh syariat. Cara ini ditempuh
ketika seseorang dihadapkan pada sebuah persoalan agama dan untuk bisa terlepas
dari permasalahan tersebut ia harus menggunakan metode ini. Dalil yang dipakai
oleh Hanafy dalam pembolehan al-hail ini adalah kisah Nabi Ayub As. ketika ia bersumpah untuk
mencambuk isterinya 100 cambukan karena suatu sebab, kemudian Allah
membolehkannya untuk mencari dalih agar bisa bebas dari sumpahnya. Ia adalah
dengan mengambil seikat rumput yang berjumlah seratus dan kemudian mencambuknya
dengan satu kali cambukan. Ini sebagaimana firman Allah dalam surat Shad ayat
44:
وَخُذْ
بِيَدِكَ ضِغْثًا فاَضْرِبْ بِهِ وَلاَ تَحْنَثْ
Artinya: “Dan ambillah seikat (rumput) dengan
tanganmu, lalu pukullah dengan itu dan janganlah engkau melanggar sumpah.”
Contoh
pemakaian al-hail ini dalam mazhab Hanafy adalah seorang
laki-laki yang melihat isterinya di atas tangga. Ia lalu berkata pada
isterinya, “Kamu saya talak tiga jika kamu naik atau kamu turun.” Abu Hanifah
kemudian menyuruh sekelompok orang untuk mengangkat tangga tersebut dan wanita
itu masih di atasnya, kemudian tangga itu dijatuhkan ke tanah dan kemudian
wanita itu berdiri. Dengan ini maka talak tidak jatuh padanya.[29]
Dalam belantara fikih Islam, mazhab Hanafy
sangat terkenal dalam memaparkan permasalahan yang begitu banyak.Abu Hanifah
dan para sahabatnya menyalahi kaedah yang berlaku umum di kalangan ulama ketika
itu yang mana mereka hanya menetapkan hukum sebuah permasalahan ketika permasalahan
tersebut benar-benar terjadi.Berbeda dengan Abu Hanifah dan para sahabatnya,
mereka banyak membahas permasalahan-permasalahan yang itu sifatnya masih dugaan
atau yang lebih dikenal dengan fikih iftirâdhi.Dari permasalahan-permasalahan tersebut mereka berusaha mencari
jawabannya.[30]
e. Sikap Imam Abu Hanifah terhadap Sunnah
Abu Hanifah merupakan ulama yang sangat berhati-hati dalam menerima sebuah periwayatan Hadis. Oleh
karena itu ia tidak menerima sebuah Hadis Rasulullah Saw kecuali jika Hadis
tersebut diriwayatkan oleh banyak orang dan ini harus dipenuhi setiap
tingkatannya (Mutawattir) atau ia baru menerima sebuah Hadis jika para
fuqaha sepakat untuk beramal dengan Hadis tersebut (Hadis masyhur).[31]Inilah
penyebab sempitnya ruang Hadis yang menjadi pegangan Abu Hanifah. Sebab ia
hanya menerima Hadis mutawattir dan Hadis masyhur dan tidak menerima khabar
ahad.Inilah juga yang menjadi isu sentral yang melahirkan celaan
terhadapnya bahwa ia dituduh mengingkari dan tidak menghargai hadis Nabi.
Zafr, murid Imam Abu Hanifah menanggapi celaan
yang dilontarkan oleh sebagian para ulama, “Janganlah kalian menoleh kepada
perkataan orang-orang yang menentang.Imam Abu Hanifah dan para sahabat kita
tidak akan menetapkan suatu perkara kecuali kembali kepada Kitab Allah, Sunnah,
perkataan-perkataan (sahabat) yang benar dan setelah itu mereka baru
menggunakan qiyas.”[32]
Di antara bukti bahwa Imam Abu Hanifah sangat
berpegangan terhadap Hadis Nabi adalah Ibn Abdul Bar menyebutkan bahwa
seseorang bertanya kepada Abu Hanifah, “Muhrim (orang yang sedang
ber-ihram)tidak memiliki izâr (pakaian ihram bagian bawah), apakah ia boleh memakai celana?Abu Hanifah
berkata, “Tidak, ia tetap harus memakai izâr!”Dikatakan padanya, “Ia tidak memiliki izâr” Abu Hanifah berkata, “Ia jual celana tersebut dan
dengan uangnya ia membeli izâr.”Dikatakan lagi padanya, “Nabi Saw pernah
mengatakan, “Orang yang ber-ihram boleh memakai celana ketika ia tidak
memiliki izâr.”Abu Hanifah kemudian berkata, “Menurut saya
Hadis ini tidak shahih berasal dari Rasulullah hingga saya berfatwa dengannya.
Seseorang akan berpegangan terhadap apa yang didengarnya. Yang shahih yang
sampai kepada kami adalah Hadis, “Janganlah laki-laki memakai celana.”Maka kami
berpegangan terhadap apa yang kami dengar.”Dikatakan padanya, “Apakah kamu
menentang Nabi?”Abu Hanifah menjawab, “Laknat Allah terhadap orang yang
menentang Rasulullah Saw. Dengannya kita mulia dan dengannya kita selamat.”[33]
Imam al-Syafi’i dalam kitab al-Umm menyebutkan
metode Abu Hanifah dan alasannya kenapa ia menolak sebagian Hadis shahih yang
bertentangan dengan kandungan al-Qur’an. Abu Hanifah berkata, “Kamu wajib (menggambil) Hadis yang diketahui oleh banyak orang. Dan hendaklah
meninggalkan yang syâdz dari Hadis. Ibnu Abi Karimah meriwayatkan dari Ja’far
bahwa Rasulullah memanggil sekelompok Yahudi maka mereka bercerita dengan Nabi
hingga mereka berdusta terhadap Isa As. Kemudian Nabi naik mimbar seraya
berkata, “Sesungguhnya Hadis-Hadis akan disandarkan pada saya. Jika sampai
kepada kalian (sesuatu) dari sayadan
sesuai dengan al-Qur’an maka ia berasal dari saya. Jika itu bertentangan dengan
al-Qur’an maka ia bukanlah dari saya.”[34]
Yusuf bin Asbath mengatakan bahwa Abu Hanifah tidak menerima
sekitar 400 Hadis Rasulullah. Di antaranya adalah Hadis Rasulullah yang
berbunyi, “Penunggang kuda mendapatkan dua bagian dan pejalan kaki
mendapatkan satu bagian.” Alasan penolakan Imam Abu Hanifah adalah: “Saya
tidak menjadikan bagian hewan lebih banyak dari bagian orang yang beriman. Begitupun
ketika Nabi melakukan undian terhadap isteri-isteri beliau jika Nabi ingin
berpergian.Abu Hanifah menyatakan bahwa undian merupakan sesuatu yang haram.[35]
f. Perkembangan MazhabSepeninggal
ImamAbu Hanifah
Perkembangan sejarah hukum Islam membuktikan
bahwa Abu Hanifah yang merupakan ahli fikih Irak telah mampu meninggalkan
peninggalan fikih yang begitu besar. Tersebarnya
mazhab Hanafiyah ke seluruh penjuru dunia Islam tidak terlepas dari peran para
sahabatnya. Di antara mereka yang paling berjasa dalam menyebarkan mazhab ini
adalah Abu Yusuf yang merupakan hakim agung ketika itu dan Muhammad bin Hasan
al-Syaibany.[36]
Abu Yusuf dalam rangka menyebarkan mazhab Abu Hanifah, ia menghafal semua
pendapat-pendapat Abu Hanifah dan kemudian dituangkannya dalam bentuk karyanya,
yaitu:
1)
Al-Atsâr yang merupakan
kumpulan dari periwayatan Abu Hanifah dan ditambah beberapa periwayatan dari
Abu Yusuf sendiri.
2)
Al-Kharâj
Al-Khatib al-Baghdady memaparkan bahwa Abu Yusuf merupakan orang
yang pertama menulis buku Ushûl al-Fiqhdalam mazhab
Abu Hanifah dan ialah murid Abu Hanifah yang gigih menyebarkan ilmu Abu Hanifah
ke penjuru dunia Islam.[38]
Selain Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan al-Syaibany juga berusaha
menyebarkan mazhab Abu Hanifah dengan menulis karangan-karangan yang merupakan
referensi utama dalam mazhab Hanafy. Di antara karangan tersebut adalah:
al-Jâmi’
al-Kabîr,
al-Jâmi’
al-Shaghîr,
al-Siyar al-Kabîr,
al-Siyar al-Shaghîr danal-Ziyâdât.[39]
Dengan sokongan yang diberikan kekhalifahan Abbasiyah dengan
mengangkat Abu Yusuf sebagai qâdhi al-qudhâh (hakim agung)
pemerintahan, maka mazhab Hanafy tersebar luas di wilayah Timur, Maroko sampai
ke wilayah Sicilia, tersebar juga di Mesirpada awal pemerintahan Abbasiyah
sebelum mazhab Maliky dan Syafi’y berkembang juga di Mesir. Sampai sekarang
mazhab Hanafiyahmerupakan referensi utama dalam peradilan Mesir dan Sudan. Jika
seorang qâdhi menemukan sebuah permasalahan yang tidak ada petunjuknya dalam
peraturan perundang-undangan maka ia akan menetapkan hukum berdasarkan pendapat
paling kuat dalam mazhab Hanafy. Mazhab Hanafy juga merupakan mazhab yang
berkembang di India dan Turki di saat ini.[40]
2.
Imam Malik bin Anas (93 H-179 H)
a.
Biografi Imam Malik bin Anas
Nama lengkapnya adalah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir
al-Ashbahy yang merupakan nisbah terhadap kafilahal-Ashbah yang bertempat di
Yaman.[41]Ia
merupakan keturunan Arab Asli. Salah seorang kakek buyutnya yang bernama Abu
Amir berhijrah ke Madinah Munawwarah pada masa Nabi Muhammad Saw setelah
terjadinya perang Badar dan ia menetap di sana. Ia termasuk sahabat Nabi dan
mengikuti semua peperangan kecuali perang Badar. Sedangkan anaknya yang bernama
Malik bergelar Abu Anas termasuk golongan tâbi’în.[42]
Ia dilahirkan di Dzy Marwah[43]pada
tahun 93 H. Tahun kelahirannya tepat dengan tahun meninggalnya sabahat
Rasulullah Saw, yaitu Anas bin Malik Ra. Pada masa ini, khalifah yang berkuasa
adalah Sulaiman bin Abdul Malik dari dinasti Umawiyah.[44]Ada
perbedaan pendapat dikalangan ulama dan sejarawan tentang tahun meninggalnya
Imam Malik bin Anas, namun Qadhi Iyadh menguatkan bahwa Imam Malik bin Anas
meninggal di Madinah pada bulan Rabi`u al-Awwal tahun 179 H.[45]
b.
Intelektualitas Imam Malik bin Anas
1.
Perjuangan Imam Malik bin Anas dalam Menuntut Ilmu
Imam Malik tumbuh di rumah yang dinaungi ilmu di kota yang
dipayungi oleh Sunnah Nabi dan merupakan sentral fatwa para sahabat. Masa
kecilnya ia habiskan untuk menghafal al-Qur’an dan kemudian menghafal
Hadis-hadis Nabi. Waktu kecil itu pula ia mulai menuntut ilmu pada ulama-ulama
Madinah.
Kakeknya yang bernama Malik juga merupakan seorang ulama yang
tersohor di kalangan al-Tâbi`în. Ia langsung berguru kepada para sahabat Rasulullah Saw, di
antaranya adalah Umar bin Khattab Ra, Utsman bin Affan Ra, Thalhah bin
Ubaidillah Ra dan A’isyah Ra.[46]
Begitu juga dengan bapaknya yang juga merupakan seorang penghafal Hadis Rasulullah
Saw meskipun ia tidak tergolong kepada ulama yang banyak meriwayatkan hadis.[47]
Ketika ia berumur 17 tahun, ia sudah memberikan fatwa dan sudah
menjadi seorang guru setelah mendapatkan ijâzah dari 60 orang
ulama yang mengetahui ilmunya. Setelah itu para ulama dari penjuru dunia Islam
mendatanginya dalam rangka belajar, terlebih lagi setelah ia mengarang buku al-Muwaththâ`.
Ulama sepakat menyatakan bahwa Imam Malik merupakan Imam Hadis dan
periwayatannya merupakan periwayatan yang kuat.Sebagian ulama berpendapat bahwa
jalur sanad yang paling shahih adalah: pertama, jalur Malik dari Nafi’
dari Ibnu Umar. Kedua, jalur Malik dari al-Zuhry dari Salim dan dari
Ibnu Umar. Ketiga, jalur Malik dari Abi al-Zinad dari al-A’raj dan dari
Abu Hurairah.[48]
2.
Guru-guru Imam Malik bin Anas
Imam Malik bin Anas memiliki guru yang banyak, di antara
guru-gurunya adalah:
1)
Abdurrahman
bin Hurmuz yang merupakan gurunya ketika ia masih kecil.
2)
Ibn
Syihab al-Zuhry yang merupakan guru Hadisnya.[49]
3)
Nafi’
Maula Ibnu Umar yang merupakan gurunya dalam meriwayatkan Hadis.
4)
Rabi’ah
bin Abdurrahman yang merupakan guru fikihnya.
5)
Yahya
bin Sa’id al-Anshary dari bani al-Najjar. Ia merupakan qâdhi di kota
Madinah dan mempelajari fikih dari al-fuqahâ` al-sab’ah.
3.
Murid-murid Imam Malik bin Anas
Imam Malik bin Anas juga memiliki murid yang banyak yang datang ke Madinah dari berbagai penjuru. Bahkan merekalah kemudian yang
menjadi duta dalam menyebarkan mazhab Malikiyah ke berbagai kawasan baik di
Arab dan non Arab. Di antara mereka yang terkenal adalah Abdullah bin Wahab (w.
197 H) yang berkebangsaan Mesir, Abdurrahman Ibn al-Qasim pengarang kitab al-Mudawwanah
(w. 191 H) yang juga berkebangsaan Mesir, Asad bin Furat dari Tunisia (w.
213) dan Sahnun bin Abdussalam dari Suria (w. 210 H).[50]
4.
Karya Imam Malik bin Anas
Imam Malik bin Anas memiliki sebuah karya yang sangat fenomenal.
Bahkan karya tersebut masih menjadi rujukan bagi para ulama Islam hingga
sekarang.Karya tersebut berjudul al-Muwaththâ` yang berisikan
kumpulan Hadis-hadis Rasulullah Saw. Maka jika disebut nama Imam Malik bin
Anas, maka secara otomatis akan terbayanglah al-Muwaththâ`. Dan jika
disebut al-Muwaththâ` maka secara
otomatis tebayanglah Imam Malik bin Anas yang merupakan penulisnya.
Imam Malik bin Anas menyelesaikan kepenulisan kitab al-Muwaththâ` pada tahun 159
H. Pada tahun ini, ia telah berumur 66 tahun. Ada riwayat yang mengatakan bahwa
Imam Malik menghabiskan waktu sekitar 40 tahun untuk merampungkan
kepenulisannya. Sehingga dapat dipahami bahwa ia telah memulai usaha ini
semenjak ia masih muda.[51]
Suatu ketika Khalifah Abu Ja’far al-Manshur ingin menjadikan kitab
ini sebagai rujukan umat Islam dalam beramal ketika itu. Akan tetapi Imam Malik
bin Anas tidak setuju dengan hal itu. Sebab ia berpandangan bahwa para ulama
telah berpencar ke berbagai wilayah Islam, dan mereka terkadang meriwayatkan
Hadis yang tidak diriwayatkan oleh ahl al-Hijâz. Oleh karena itu
ia meminta Khalifah memberikan kebebasan bagi umat Islam untuk mengamalkan apa
yang mereka yakini.[52]
Imam Malik bin Anas mewariskan beberapa pemikiran besar yang
kemudian menjadi pokok dalam konstruksi mazhabnya. Sebab, perkembangan hukum
dengan mengiringi detak nadi zaman mesti sesuai dengan koridor hukum yang telah
digariskan. Oleh sebab itu, Imam Malik bin Anas merumuskan beberapa ushûl (pokok-pokok
fundamental) untuk ber-ijtihâd dalam kerangka
mazhabnya. Adapun ushûlmazhab tersebut
sebagai berikut:
1)
Al-Qur’an
Diriwayatkan bahwa Imam Malik berkata, “Siapa yang mengatakan
bahwa al-Qur’an adalah makhluk maka ia adalah zindik dan wajib dibunuh.Oleh
karena itu terjemahan al-Qur’an tidaklah dianggap sebagai al-Qur’an yang boleh
dibaca ketika shalat.Akan tetapi ia adalah tafsir atau merupakan bentuk makna
logis dari al-Qur’an.”Imam Malik mengambil al-Qur’an secara zâhir (makna
tersurat) dan mafhûm-nya (makna
tersiratnya).[54]
2)
Sunnah
Walaupun Imam Malik termasuk selektif dalam meriwayatkan Hadis, ia
masih menerima Hadis mursal[55]selama
sanadnya merupakan orang-orang yang tsiqqah (terpercaya).Ini
dibuktikan banyaknya ditemui Hadis mursal dalam kitabya al-Muwaththâ`.
Ketika terjadi perbedaan antara khabar ahad dengan
qiyas, maka riwayat termashsyur mengatakan bahwa Imam Malik lebih mendahulukan
qiyas.[56]
3)
Ijmâ’
4)
‘Amal
ahl-al-Madinah (amalan
penduduk Madinah).
Imam Malik bin Anas berpendapat bahwa amalan penduduk Madinah pasti
berdasarkan Hadis Nabi. Mereka lebih mendahulukan amalan penduduk Madinah
daripada khabar ahad dengan dalih, “(Periwayatan) seribu dari
seribu lebih baik daripada (periwayatan) satu dari yang satu”.Begutupun Imam
Malik lebih mendahulukan amalan penduduk Madinah dari qiyas.
5)
Fatwa
para sahabat (qaul al-Shahâby) yang menurut
mereka merupakan Sunnah yang wajib diamalkan. Sebab para sahabat tidak akan
mengamalkan sesuatu dan tidak pula berfatwa kecuali sesudah disahkan oleh Nabi.
6)
Al-Mashlahah
al-Mursalah.
Mazhab Malikiyah sangat terkenal dengan pemakaian mashlahah
al-mursalah ini. Ia adalah sesuatu yang tidak ada pelegitimasiannya dari
syariat, baik dalil yang membatalkan maupun mengadakannya.Contohnya adalah
pengumpulan al-Qur’an, me-qishâsh sekelompok
orang karena membunuh satu orang dan jaminan terhadap aktivitas produksi. Semua
permasalahan ini tidak ada nash syari’ yang menetapkannya dan tidak pula
membatalkannya. Akan tetapi di dalamnya terdapat maslahat yang diakui oleh
syariat Islam.
7)
Qiyas
Imam Malik beralih pada qiyas ketika ia tidak mendapatkan jawaban
dari sebuah permasalahan dalam al-Qur’an, Sunnah, qaul al-Shahaby, Ijmak
dan amalan penduduk Madinah. Pemakaian qiyas dalam ijtihad Imam Malik dapat
dirujuk pada al-Muwaththâ`. Imam Malik
ditanya tentang wanita haid yang ingin bersuci sedangkan ia tidak menemukan
air. Ia kemudian berkata, “Hendaklah ia bertayammum. Karena kondisinya sama dengan
seseorang yang dalam keadaan junub dan tidak menemukan air.”
Dalam hal ini Imam Malik menganalogikan wanita haid yang ingin
bersuci dan tidak menemukan air terhadap orang yang dalam keadaan junub yang
ditetapkan nash-nya dalam al-Qur’an yang artinya “… atau kamu telah
menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah
kamu dengan debu yang baik (suci).” (QS. Al-Nisâ`: 43)[57]
8)
Al-Istihsân
Istihsân lebih umum dari mashlahah al-mursalah dan ia juga
dinamakan dengan al-istishhâb. Maknanya di
sini adalah beramal dengan mashlahah yang tidak ada nash
menyatakannya, apakah dalam permasalahan ini ada qiyas atau tidak. Dalam arti
lain ia mendahulukan mashlahah daripada qiyas. Akan tetapi
penggunaan Maliky terhadap istihsân tidak seluas
pemakaian Hanafiy terhadapnya.
9)
Al-Dzarâ`I’
Maksudnya adalah segala sesuatu yang mengantarkan pada yang haram
hukumnya haram dan segala sesuatu yang mengantarkan pada yang halal atau yang
mengandung mashlahah maka
ia merupakan sesuatu yang dituntut.
d. Sikap Imam Malik terhadap Sunnah
Imam
Malik merupakan Imam Hadis. Dalam pengambilan sumber hukum ia berpegangan pada
Sunnah Mutawattir dan Masyhûr. Ia juga
berpegangan terhadap khabar ahad. Tetapi jika khabar ahad
bertentangan dengan ‘amal ahl-al-Madinah (amalan penduduk Madinah)
dan qiyas, maka Imam Malik mendahulukan amalan penduduk Madinah dan qiyas
terhadap khabar ahad. Diriwayatkan bahwa Imam Malik menolak khabar
ahad yang disandarkan pada ra’yu (pemikiran). Contohnya
adalah ia menolak Hadis yang diriwayatkan Ibnu Umar:
البيعان بالخيار ما لم يتفرق
Maksud hadis ini adalah dua orang yang
melakukan akad jual beli memiliki hak membatalkan jual beli selama mereka belum
meninggalkan majlis jual beli. Imam Malik menolak Hadis ini dengan mengatakan, “Dalam
hal ini tidak ada batasan yang pasti.”Ini mengindikasikan bahwa Imam Malik
dalam menetapkan hukum tidak hanya berpegangan terhadap Hadis tapi ia juga
mempertimbangkan ra`yu (analisa).[58]
e. Perkembangan Mazhab Imam Malik bin
Anas
Mazhab Malikiyah yang didirikan oleh Imam Malik bin Anas pertama
kali berkembang di Madinah. Di kota inilah mazhab ini lahir dan berkembang
hingga melintasi batas kawasan dan Negara. Dari Madinah, Mazhab Malikiyah terus
meluas dan bahkan merambah beberapa kawasan yang ada di sekitarnya, seperti:
Hijaz, Bashrah, Kawasan Utara Afrika, Cecilia, Andalusia, Magrib Jauh dan
Sudan.[59]
Pengembangan Mazhab Malikiyah tidak lepas dari usaha murid-muridnya
yang berdatangan ke Madinah dari berbagai penjuru. Di antaranya adalah Mesir,
Maroko, Andalusia (Spanyol) dan ketika mereka kembali ke negeri mereka, mereka
menyebarkan Mazhab Maliky di wilayah mereka. Dan bahkan di Andalusia,
penyebaran Mazhab Malikiyah didukung oleh pemerintah yang berkuasa. Sehingga
pengembangan Mazhab lebih mudah seolah tidak ada hambatan yang berarti.[60]
Hingga sekarang, Mazhab Malikiyah masih dijadikan patokan dalam
permasalahan fikih. Sebab ide ataupun gagasan yang dilahirkan oleh Imam Malik senantiasa
relevan dengan perkembangan zaman. Mazhab ini sekarang banyak berkembang di Negara
Maroko, bagian utara, selatan dan tengah benua Afrika.[61]
C.
Penutup
Imam Abu Hanifah dan Imam Malik bin Anas merupakan dua orang mujtahid
al-muthlaq. Konstruksi pemikiran yang mereka wariskan dalam mazhab mereka
masih kokoh dan menjadi rujukan oleh para pemikir Islam setelahnya dalam
pengembangan hukum Islam. Hingga sekarang mazhab yang mereka dirikan masih
eksis dengan melahirkan berbagai literatur fiqih berdasarkan koridor jitihâd yang mereka
gariskan.
Imam Abu Hanifah merupakan sosok yang terpandang dari keluarga yang
kaya raya. Meskipun demikian tidak menjadikan ia terhalang untuk mendalami ilmu
agama sehingga menjadi ulama yang tersohor. Ayahnya pernah dido`akan oleh Abi
bin Abi Thalib Ra agar diberkahi keturunannya. Doa Ali bin Abi Thalib terkabul sehingga
Allah menjadikan menjadikan anaknya ulama Besar.
Imam Abu Hanifah dikenal sebagai ulama yang banyak mengandalkan
akal dalam penetapan hukum. Hal ini dilatari kawasan tempat domisilinya yang
jauh dari sumber Hadis yaitu kota Madinah. Oleh sebab itu, ia sangat selektif
menerima Hadis karena banyaknya usaha pemalsuan Hadis yang dilakukan oleh
musuh-musuh Islam.
Berbeda denga Imam Malik yang merupakan keturunan Arab asli. Ia
dilahirkan di Madinah dan juga meninggal di sana. Terlahir di keluarga yang akrab
dengan Hadis sehingga hal ini mempengaruhi intelektualitas keilmuannya. Di
tambah lagi lingkungan Madinah ketika itu merupakan sumber utama peredaran
Hadis Rasulullah Saw.
Kedekatan Imam Malik bin Anas dengan Hadis Rasulullah dibuktikan
dengan kitabnya yang terkanal yaitu al-Muwaththâ’. Kitab ini masih
menjadi rujukan hingga sekarang. Disamping itu Imam Malik bin Anas menggunakan consensus
penduduk Madinah dan bahkan lebih mengutamakannya dari pada khabar Ahad.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Basya,
Ahmad Taimur. 2001. al-Mazâhib al-Fiqhiyah
al-Arba`ah. Cairo: Dâr
al-Afâq
al-Arabiyah.
Daqar,
Abdul Ghany al-. 1998. Imâm Mâlik
bin Anas; Imâmu Dâr
al-Hijrah. Damaskus: Dâr
al-Qalam.
Din, Abdul
Adzim Syarif, al-. 1985. Târîkh al-Tasyrî’ al-Islâmy. T.tp.: Al-‘Araby.
Ghawijy, Wahbi
Sulaiman. 1993.Abu Hanifata al-Nu`mân, Imâm al-A’immah al-Fuqahâ`. Damaskus: Dâr al-Qalam.
Hawwa,
Ahmad Sa`id. 2002. Madkhal Ila Mazhab al-Imâm
Abi Hanifata. Jeddah: Dâr
al-Andalus al-Khadra`.
Isma`il,
Sya`ban Muhammad. 1980.al-Madkhal Li al-Dirâsah
al-Qur’ân wa
al-Sunnah wa al-`Ulûm al-Syar`iyyah.
Cairo: Dâr
al-Anshâr.
Khalaf, Abdul
Wahab. T.th.Khulashah Târîkh al-Tasyrî’ al-Islâmy.Kuwait: Dâr al-Qalam.
Namary, Al-Imam
al-Hafizh Abu Umar Yusuf al-. tt. al-Intiqâ` fi Fadhâ`il al-Tsalâtsah al-A’immah al-Fuqahâ’ Mâlik, al-Syâfi`I wa Abu Hanifah. Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah.
Qaththan,
Manna’al-. 1996. Târiîkh al-Tasyrî’ al-Islâmiy. Riyadh: Maktabah li al-Ma’ârif li al-Nasyr wa al-Tauzî’.
RI, Departemen
Agama. 2006. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: CV Penerbit Diponegoro.
Sabbak, Fatimah
al-Said Ali. 1417 H. al-Syari’ah
wa al-Tasyrî’.T.tp: Rabitah al-‘Alam al’Islamy.
Sibty, Al-Qadhi Iyadh al-.tt. Tartîbu al-Madâriki wa Taqrîb al-Masâliki li Ma`rifat A`lâmi Masahibi Maliki. Ribath: Wizaratu al-Awqaf.
Tsa’alaby,
Muhammad bin al-Hasan al-Hajwiy al-. 1340. al-Fikr al-Sâmiy. Al-Ribath: Idârah al-Ma’arif.
Wasil, Nasir
Farid Muhammad. T.th. al-Madkhal al-Wasîth li Dirâsat al-Syari’ah al-Islâmiyah wa al-Figh wa al-Tasyrî’. Kairo: Maktabah al-Taufîqiyah.
Yusuf, Abut. Tt. al-Kharâj. Cairo: Dâr al-Ishlah.
Zahrah,
Muhammad Abu. T.th. Muhâdharât fi Târîkh al-Madzâhib al-Fiqhiyyah. al-Raudhah: Mathba’ah al-Madany.
______. T.th. Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah. Port Sa’id: Dâr al-Fikr al-‘Araby.
[1] Muhammad bin
al-Hasan al-Hajwiy al-Tsa’labiy, al-Fikr al-Sâmiy, vol. II,
(Al-Ribâth: Idârah al-Ma’ârif, 1340) hal. 119
[2] Wahbi Sulaiman
Ghawijy, Abu Hanifah al-Nu`mân, Imâm al-A’immah
al-Fuqahâ`, (Damaskus: Dâr al-Qalam, 1993), hal. 47
[3] Fatimah
al-Said Ali Sabbak, al-Syarî’ah wa al-Tasyrî’, (ttp: Râbitah al-‘Alam al’Islâmiy, 1417 H), hal. 107
[4] Wahbi Sulaiman
Ghawijy, op. cit., hal. 47
[7] Muhammad Abu
Zahrah, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah, vol. II, (Port
Sa’id: Dâr al-Fikr
al-‘Araby), hal. 130
[8] Muhammad bin
al-Hasan al-Hajwiy al-Tsa’alabiy, op. cit., hal. 120
[9] Mannâ’al-Qaththan, Târîkh al-Tasyrî’ al-Islâmiy, (Riyadh: Maktabah li al-Ma’ârif li al-Nasyr wa al-Tauzî’, 1996)
hal. 320
[10] Abdul Adzim
Syarif al-Din, Târîkh al-Tasyrî’ al-Islâmy, Cet. III, (ttp.:
Al-‘Araby , 1985), hal. 186-187
[11] Kuffah
merupakan salah satu kota yang terletak di Irak. Sebelum Islam datang dan
sesudahnya, Irak merupakan pusat peradaban dan tempat tumbuh dan berkembangnya
berbagai macam agama. Sebelum Islam datang, di sana sudah berdiri
madrasah-madrasah yang mengajarkan falsafat Yunani dan hikmah Persia.
[12] Muhammad Abu
Zahrah, op. cit., hal. 131
[16] Muhammad bin
al-Hasan al-Hajwiy al-Tsa’alabiy, op. cit., hal. 121
[17] Ahmad Sa`id
Hawwa, Madkhal Ilâ Madzhab al-Imâm Abi Hanifah, (Jeddah: Dâr al-Andalus al-Khadra`, 2002), hal.
58
[18] Muhammad bin
al-Hasan al-Hajwiy al-Tsa’alabiy, op. cit., hal. 137
[19] Fatimah
al-Said Ali Sabbak, op.cit., hal. 108
[20] Muhammad Abu
Zahrah, op. cit., hal. 135
[22] Nasir Farid Muhammad
Wasil, al-Madkhal al-Wasîth li Dirâsât al-Syarî’ah al-Islâmiyah wa
al-Figh wa al-Tasyrî’, (Kairo:
Maktabah al-Taufîqiyah, tt.),
hal. 100-101
[24] Ahmad Sa`id
Hawwa,op. cit., hal. 77
[25] Nasir Farid
Muhammad Wasil, op. cit., hal. 99-100
[26] Al-Imam
al-Hafizh Abu Umar Yusuf al-Namary, al-Intiqâ` fi Fadhâ`il al-Tsalâtsah al-A’immah
al-Fuqahâ’ Mâlik, al-Syâfi`I wa Abu Hanifah,
(Beirut:
Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah,
tt.), hal. 143
[27] Fatimah
al-Said Ali Sabbak, op. cit., hal, 110
[28]Manna’
al-Qaththan, op. cit., hal. 333
[30]Abdul ‘Adzim
Syarif al-Din, op. cit., hal. 188
[36] Abdul Adzim
Syarif al-Din, op. cit., hal. 188
[37] Manna’
al-Qaththan, op. cit., hal. 341
[38] Manna’
al-Qaththan, op. cit., hal. 341
[39] Ibid.
[40] Abdul ‘Adzim
Syarif al-Din, op. cit., hal. 189
[41] Nasir Farid
Muhammad Wasil, op. cit., hal. 102
[42] Manna’
al-Qaththan, op. cit., hal. 345
[43] Yaitu sebuah
kawasan di Madinah yang terletak antra Taima` dengan Khaibar.
[44] Abdul Ghany
al-Daqar, Imâm Mâik bin Anas; Imâm Dâr al-Hijrah, (Damaskus: Dâr al-Qalam, 1998), hal.21
[45] Al-Qadhi Iyadh
al-Sibty, Tartîb al-Madâriki wa Taqrîb al-Masâlik li Ma`rifat
A`lâmi Masahibi
Mâliki, (Ribath: Wizârah al-Awqâf, tt.), Jilid ke-2, hal. 146
[46] Abdul Ghany
al-Daqar, op cit., hal.29
[48] Manna’
al-Qaththan, op. cit., hal. 347
[50] Nasir Farid
Muhammad Wasil, op. cit., hal. 103
[51]Abdul Ghany
al-Daqar, op. cit., hal.105
[52] Nasir Farid
Muhammad Wasil, op. cit., hal. 102
[54] Manna’
al-Qaththan, op. cit., hal. 353
[55] Hadis mursal
adalah periwayatan yang disandarkan oleh Tâbi`în kepada
Rasulullah Saw berupa perkataan, perbuatan ataupun ketetapan.Lih.
Sya`ban Muhammad Isma`il, al-Madkhal Li al-Dirâsah al-Qur’ân wa al-Sunnah
wa al-`Ulûm al-Syar`iyah,
(Cairo:
Dâr al-Anshar,
1980), Jilid ke-2, hlm. 90
[56] Manna’al-Qaththan,
op. cit., hal. 353
[57] Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro,
2006), hal. 67
[58] Muhammad Abu Zahrah, Muhâdharât fi Târîkh al-Madzâhib al-Fiqhiyyah, (al-Raudhah: Mathba’ah al-Madaniy, T.th.),
hal.235
[59] Ahmad Taimur
Basya, al-Mazâhib al-Fiqhiyah
al-Arba`ah, (Cairo: Dar al-Afaq al-Arabiyah, 2001), hal. 64
[60] Abdul Wahab
Khalaf, Khulashah Târîkh al-Tasyrî’ al-Islâmy, (Kuwait: Dâr al-Qalam, tt.), hal. 89
[61] Nasir Farid
Muhammad Wasil, op. cit., hal. 103
Tidak ada komentar:
Posting Komentar