BAB I
PENDAHULUAN
Untuk menggali
hukum terutama hukum syariah, tidak terlepas dari pembahasan kebahasaan karena
hampir delapan puluh persen penggalian hukum syari’ah menyangkut lafazh.
Sebenarnya, lafazh-lafazh yang menunjukkan hukum harus jelas dan tegas
supaya tidak membingungkan para pelaku hukum. Namun dalam kenyataannya,
petunjuk (dilalah) lafazh-lafazh yang terdapat dalam nash syara’
itu beraneka ragam. Bahkan, ada yang kurang jelas (khafa).
Diantara dari
lafazh-lafazh tersebut adalah lafazh ‘am, khas, Lafazh 'am ini adalah menurut
kepada bentuk dari suatu lafazh, di dalam lafazh itu tersimpul, atau masuk
semua jenis yang sesuai dengan lafazh itu. sebagaimana kita katakan al insan
(manusia), maka di dalam kata-kata al insan ini termasuk semua manusia yang ada
di dunia ini, baik manusia kecil maupun manusia besar, baik dia merdeka maupun
dia masuk golongan budak, baik dia bebas maupun dia terikat.
Adakalanya
lafazh umum itu ditentukan dengan lafazh yang telah disediakan untuk itu,
seperti lafazh “kullu, jami’u”, dll. Di samping lafazh umum,
terdapat pula suatu lafazh yang menunjukkan kepada khusus. lafazh khusus ini
adalakalnya dipergunakan untuk seorang atau barang atau hal tertentu, seperti
Abdullah, atau seperti radio dll. Berarti lafazh khas ini bisa dikatakan
sebagai lafazh yang tidak meliputi mengatakannya sekaligus terhadap dua sesuatu
atau beberapa hal tanpa menghendaki kepada batasan.
BAB II
PEMBAHASAN
‘AM, KHAS DAN TAHKSIS
A.
‘AM
1.
Pengertian ‘am
a. Ibnu Subki
هو الفظ يستغرق الصالح
له من غير حصر[2]
“lafaz
yang meliputi pengertian yang patut baginya tanpa batasan”
b. Abu Hasan al-Basri
هو الفظ المستغرق لجميع
ما يصلح له[3]
“lafaz yang meliputi
semua pengertian yang patut baginya”
c. Satria Efendi
الفظ المستغرق لجميع ما
يصلح بحسب وضع واحد دفعه[4]
“lafaz yang mencakup akan
semua apasaja masuk padanya dengan satu ketetapan dan sekaligus”
2.
Shigat ‘am
a.
Lafaz كل (setiap) dan جامع (seluruhnya).
Misalnya firman Allah, Ali ‘Imran, 185:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
Dan sabda Rasulullah SAW:
كُلُّ رَاعٍ مَسْؤُلٌ عَنْ رَعِيَتِهِ
Firman Allah dalm surat Al-Baqarah:29
هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي ٱلۡأَرۡضِ
جَمِيعٗا
Lafaz كل danحامع tersebut di
atas, keduanya mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas jumlahnya.
b.
Kata benda tunggal yang di ma’rifatkan dengan alif-lam.
Contoh:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ
وَحَرَّمَ الرِّبَا
(Al_baqarah: 275)
Lafaz الْبَيْعَ dan الرِّبَا adalah kata benda yang di ma’rifatkan dengan alif lam. Oleh karena itu, keduanya adalah lafadz ‘am yang mencakup semua satuan-satuan yang dapat dimasukkan kedalamnya.
c. Kata jamak (plural) yang disertai alif
dan lam di awalnya.
Seperti:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ
أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ
(Al-Baqarah:233)
Kata الْوَالِدَاتُ dalam ayat tersebut bersifat umum yang mencakup setiap yang
bernama atau disebut ibu.
d. Lafaz Asma’ al-Mawshul (الأسماء الموصولة).
Salah satu
contoh adalah firman Allah:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ
الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ
سَعِيرًا
“Sesungguhnya
orang-orang yang (الَّذِينَ)
memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api
sebeenarnya mereka itu menelan api sepenuh perut dan mereka akan masuk ke dalam
api yang menyala-nyala”. (An-Nisa:10)
e.
Lafaz Asma’ al-Syart (isim-isim isyarat, kata benda untuk
mensyaratkan),
seperti kata ma, man dan sebagainya.
Misalnya:
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً
فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ
يَصَّدَّقُوا
“dan barang
siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan
seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh)
bersedekah”.(An-Nisa’:92)
f.
Isim nakirah
dalam susunan kalimat nafi (negatif),
seperti kata لَا جُنَاحَ dalam ayat
berikut:
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ
تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آَتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
“dan tidak ada
dosa atas kamu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya”.
(Al-Mumtahanah:10).
3.
Macam-macam ‘am
Menurt Abdul Wahhab
Khallaf, bahwa ‘amm itu terbagi menjadi tiga:
a.
Pertama adalah ‘amm yang dimaksud secara qathi’
umum. Yaitu ‘amm yang didampingi oleh
qarinah, menafikan sasaran yang ditakhsiskan, seperti ‘amm yang terdapat pada firman Alloh Swt :
وَمَا مِن دَآبَّةٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ إِلَّا عَلَى
ٱللَّهِ رِزۡقُهَا (QS. Hud :6)
وَجَعَلۡنَا مِنَ ٱلۡمَآءِ كُلَّ شَيۡءٍ حَيٍّۚ (QS.21:30)
Pada
kedua ayat ini orang menetapkan bahwa sudah menjadi sunnatullah ada ‘amm yang
tidak ditakhasiskan dan tidak pula dipertukarkan letaknya. Pada kedua ayat ini
terdapat ‘amm qathi’ menunjuk kepada umum. Tidak mengandung hal yang dimaksud
khusus dengannya.
b.
Kedua adalah ‘amm yang dimaksud secara qathi khusus.Yaitu apa yang
didampingi dengan qarinah, pada umumnya tetap menafikan dan menyatakan maksud
sebagian dari ifradnya itu. Seperti firmanAllah yang berbunyi:
وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ (QS.3:97).
Manusia
pada nash ini adalah umum. Dimaksud dengannya itu khusus para mukallaf. Menurut
akal, tidak termasuk anak-anak dan orang gila.
c.
Ketiga adalah ‘amm makhsus. Yaitu ‘amm mutlak
yang tidak didampingi oleh qarinah,
meniadakan hal-hal yang ditakhsiskan. Tidak ada qarinah yang menafikan dalilnya terhadap umum. Misalnya
kebanyakan nash yang terdapat
padanya sighat umum. Terlepas dari
qarinah-qarinah lafdziah atau aqliah atau arfiah yang menyatakan umum atau khas,
ini jelas pada ‘am hingga dikemukakan dalil yang mentakhsiskannya. Misalnya,
وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ
يَتَرَبَّصۡنَ
(iddah)[5].
4.
Dalalah ‘am
Para ulama sepakat bahwa
lafadz ‘amm yang disertai qarinah (indikasi) yang menunjukan penolakan adanya
takhsis adalah qath’i dilalah. Begitu juga lafadz ‘amm yang disertai qarinah yang menunjukan bahwa yang
dimaksudkannya itu kusus, mempunyai dilalah yang khusus pula.[6]
Menurut Hanafiyah dilalah
‘amm itu qath’i, yang dimaksud qat’i menurut Hanafiyah ialah tidak mencakup
suatu kandungan, yang menimbulkan suatu dalil.” Namun, bukan berarti tidak
ada kemungkinan takhsis sama sekali. Oleh karena itu, untuk menetapkan
ke-qath’i-an lafadz ‘amm, pada mulanya tidak boleh di takhsis sebab apabila
pada awalnya sudah dimasuki takhsis,maka dilalahnya dzanni. Mereka
beralasan,”sesungguhnya suatu lafadz apabila dipasangkan (di-wadha’-kan) pada
suatu makna, maka makna itu berketetapan yang pasti, sampai ada dalil yang
mengubahnya.
Menurut jumhur ulama
(malikiyah,Syafi’iyyah,dan Hanbaliyah) dilalah ‘amm adalah dzanni. Mereka
beralasan kalau dilalah ‘amm itu termasuk bagian dilalah dahir, yang mempunyai
kemungkinan di taksis. Dan kemungkinan ini pada lafadz ‘amm banyak sekali.
Selama kemungkinan tetap ada, maka tidak
dapat dibenarkan menyatakan bahwa dilalah-nya qath’i. Sehubungan dengan hal in,
ibnu Abbas berkata : Dalam Al-qur’an semua lafadz umum itu ada taksisnya,
kecuali firman Alloh Swt : ”Dan Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu”.
Oleh karena itu mereka mengeluarkan satu kaidah
yang berbunyi:
مامن عام الا
وقد خصص[7]
“Tidaklah ada
(lafadz) yang umum kecuali sudah
di taksis”.
Ulama Hanafiyah membantah alasan jumhur
tersebut, menurutnya kemungkinan itu tidak dapat dibenarkan, sebab timbulnya dari
ucapan pembicara (mutakallimin), bukan dari dalil.
B.
KHAS
1. Pengertian Khas
Menurut Abdul Wahab Khallaf, ia mendefinisikan lafal Khash, sebagai berikut,
Lafadz Khash ialah lafadz yang dibuat untuk menunjukkan satu satuan tertentu;
berupa orang, seperti Muhammad atau satu jenis, seperti laki-laki, atau
beberapa satuan yang bermacam-macam dan terbatas, seperti tigabelas, seratus,
kaum, golongan, jama’ah, kelompok dan lafal lain yang menujukkan jumlah satuan
atau tidak menunjukkan cakupan kepada seluruh satuannya[8]
Sedangkan defenisi
menurut Al-‘Amidi ialah, sebagai berikut:
"هو
اللفظ الواحد الذي لا يصلح لاشتراك كثير ين فيه"
“Satu lafadz yang tidak patut digunakan bersama
oleh jumlah yang banyak.”
Definisi yang
berbeda yang dirumuskan al-Khudahari Beik:
"هو اللفظ الذي وضع لمعنى واحد على سبيل
الانفراد"[9]
“Lafadz yang dari segi kebahasaan, ditentukan
untuk satu arti secara mandiri”.
2. Bentuk-bentuk Khas
Telah dapat diketahui bersama bahwa betuk lafadz ‘am
dalam al qur’an dan al-hadits itu banyak sekali, begitu juga dalam lafadz
khash, yang bentuknya dapat disimpulkan menjadi 4 macam:
a.
Lafadz khash berbentuk mutlak, yaitu lafadz khash
yang tidak ditentukan dengan sesuatu. Maksudnya, jika di dalam nash itu
ditemukan lafadz khash, maka lafadz ini harus diartikan sesuai dengan arti yang
haqiqi, selama tidak ada dalil lain yang memalingkan arti hakiki ke arti lain. Contoh
dalam Firman Allah S. Almaidah: 3
حُرِّمَتۡ
عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةُ وَٱلدَّمُ وَلَحۡمُ ٱلۡخِنزِيرِ
b.
Lafadz
khash berbentuk muqayad, yaitu lafadz yang ditentukan dengan sesuatu. Contoh dalam Firman Allah Q. S. al-Nisa’:
11, yaitu: مِنۢ
بَعۡدِ وَصِيَّةٖ يُوصِي بِهَآ أَوۡ دَيۡنٍۗ,
wasiat ini dikaitkan dengan hadis لا وصية بأكثر من اثلث,
maka maksud ayat wasiat itu adalah sepertiga peninggalan[11].
Ayat ini menjelaskan tentang hukum
wudhu, sebabnya adalah bersuci dengan cara berwudhu, ayat ini menjelaskan
tentang hukum bertayamum sebabnya adalah bersuci. Kalau tidak menemukan air
untuk berwudhu.
c.
Lafadz khash berbentuk Amr. Jika lafadz
khash berbentuk amar atau berbentuk kata yang mengandung arti amar atau
berbentuk khabar, maka hukumnya menfaedahkan wajib. Contoh dalam firman Allah
Q. S. al-Maidah ayat 38 وَٱلسَّارِقُ وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقۡطَعُوٓاْ
أَيۡدِيَهُمَا, menfaedahkan
wajib memotonng tangan pencuri laki-laki maupun perempuan. Firman Allah Q.S.
Albaqarah: 228; وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصۡنَ, menfaedahkan wajib wanita yang
ditalak itu selama tiga quru. Jelas bahwa lafaz yang mutlak menunjukkan kepada
makna yang hakiki, dan makna yang hakiki itu tidak bisa dirubah kecuai dengan
qarinah (indikasi).[12]
d.
Lafadz khash berbentuk nahiy. Jika lafadz
khash berbentuk nahy atau berbentuk kata yang mengandung arti nahy atau
berbentuk khabar, maka hukumnya menfaedahkan haram. Contoh terdapat dalam firman Allah Q.
S. al-Baqarah:
221; وَلَا تَنكِحُواْ ٱلۡمُشۡرِكَٰتِ حَتَّىٰ يُؤۡمِنَّۚ, dan QS. Al-Baqarah: 228; وَلَا يَحِلُّ لَكُمۡ
أَن تَأۡخُذُواْ مِمَّآ ءَاتَيۡتُمُوهُنَّ شَيًۡٔا,
menfaedahkan haram laki-laki muslim menikahi wanita musyrik dan haramnya
mengambil ‘iwadh dari wanita yang dicerai[13].
Larangan pada ayat ini menunjukan
hukum haram. Akan tetapi jika ada tanda yang menunjukan bahwa arti ayat
tersebut harus dipalingkan ke arti majazi, maka pengertian hukumnya harus
disesuaikan dengan tanda tersebut, sehingga memungkinkan mengandung arti
makruh, do’a, irsyad, dan sebagainya.
C.
TAKHSIS
1. Pengertian Takhsis
Para ulama ushul mendefenisikan takhsis
ini sebagai berikut:
هو تبين أن مراد الشارع من العام
إبتداءً بعض أفراده لا جميعها[14]
“Takhsis ialah
penjelasan bahwa yang dimaksud oleh syari’ tentang lafaz ‘am itu pada
mulanya adalah sebagai afradnya”.
Muhammad al-Khudari
Beik mendefenisikan takhsis sebagai berikut:
بيان ان المراد بالعام بعض ما
ينتظمه
“menjelaskan bahwa yang
dimaksud dalam lafaz ‘am adalah sebagaian dari yang diatur oelah lafaz itu”.
Para ulama telah sepakat bahwa
penjelasan itu tidak boleh terlambat datangnya, supaya manusia tidak berada
dalam ketidaktahuan entang yang dituju oleh ppembuat hukkum (syari’). Bila
takhsis terlambat datangnya, maka ia tidak lagi disebut takhsis, tetapi nasakh.[15]
2. Dalil Takhsis
Dalil takhsis ini terbagi dua, yaitu muttasil dan munfasil.
Dalil takhsis yang muttasil ialah sebagai berikut:
a. Pengecualian (الإستثناء)
Seperti firman Allah Ta’ala, QS. Al-Baqarah: 282
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيۡنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٖ
مُّسَمّٗى فَٱكۡتُبُوهُۚ وَلۡيَكۡتُب بَّيۡنَكُمۡ كَاتِبُۢ بِٱلۡعَدۡلِۚ وَلَا يَأۡبَ
كَاتِبٌ أَن يَكۡتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ ٱللَّهُۚ فَلۡيَكۡتُبۡ وَلۡيُمۡلِلِ ٱلَّذِي
عَلَيۡهِ ٱلۡحَقُّ وَلۡيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥ وَلَا يَبۡخَسۡ مِنۡهُ شَيۡٔٗاۚ فَإِن
كَانَ ٱلَّذِي عَلَيۡهِ ٱلۡحَقُّ سَفِيهًا أَوۡ ضَعِيفًا أَوۡ لَا يَسۡتَطِيعُ أَن
يُمِلَّ هُوَ فَلۡيُمۡلِلۡ وَلِيُّهُۥ بِٱلۡعَدۡلِۚ وَٱسۡتَشۡهِدُواْ شَهِيدَيۡنِ مِن
رِّجَالِكُمۡۖ فَإِن لَّمۡ يَكُونَا رَجُلَيۡنِ فَرَجُلٞ وَٱمۡرَأَتَانِ مِمَّن تَرۡضَوۡنَ
مِنَ ٱلشُّهَدَآءِ أَن تَضِلَّ إِحۡدَىٰهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحۡدَىٰهُمَا ٱلۡأُخۡرَىٰۚ
وَلَا يَأۡبَ ٱلشُّهَدَآءُ إِذَا مَا دُعُواْۚ وَلَا تَسَۡٔمُوٓاْ أَن تَكۡتُبُوهُ
صَغِيرًا أَوۡ كَبِيرًا إِلَىٰٓ أَجَلِهِۦۚ ذَٰلِكُمۡ أَقۡسَطُ عِندَ ٱللَّهِ وَأَقۡوَمُ
لِلشَّهَٰدَةِ وَأَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَرۡتَابُوٓاْ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً
حَاضِرَةٗ تُدِيرُونَهَا بَيۡنَكُمۡ فَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَلَّا تَكۡتُبُوهَاۗ
وَأَشۡهِدُوٓاْ إِذَا تَبَايَعۡتُمۡۚ وَلَا يُضَآرَّ كَاتِبٞ وَلَا شَهِيدٞۚ وَإِن
تَفۡعَلُواْ فَإِنَّهُۥ فُسُوقُۢ بِكُمۡۗ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ وَيُعَلِّمُكُمُ ٱللَّهُۗ
وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ
b. Syarat (الشرط)
Seperti firman Allah Ta’ala, QS. Al-Nisa’: 101
وَإِذَا ضَرَبۡتُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَن تَقۡصُرُواْ
مِنَ ٱلصَّلَوٰةِ إِنۡ خِفۡتُمۡ أَن يَفۡتِنَكُمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْۚ إِنَّ ٱلۡكَٰفِرِينَ
كَانُواْ لَكُمۡ عَدُوّٗا مُّبِينٗا
c. Sifat (الوصف)
Seperti firman Allah Ta’ala, QS. Al-Nisa’: 23
حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمۡ أُمَّهَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُمۡ وَعَمَّٰتُكُمۡ
وَخَٰلَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُ ٱلۡأَخِ وَبَنَاتُ ٱلۡأُخۡتِ وَأُمَّهَٰتُكُمُ ٱلَّٰتِيٓ
أَرۡضَعۡنَكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُم مِّنَ ٱلرَّضَٰعَةِ وَأُمَّهَٰتُ نِسَآئِكُمۡ وَرَبَٰٓئِبُكُمُ
ٱلَّٰتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ ٱلَّٰتِي دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَإِن
لَّمۡ تَكُونُواْ دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ وَحَلَٰٓئِلُ أَبۡنَآئِكُمُ
ٱلَّذِينَ مِنۡ أَصۡلَٰبِكُمۡ وَأَن تَجۡمَعُواْ بَيۡنَ ٱلۡأُخۡتَيۡنِ إِلَّا مَا قَدۡ
سَلَفَۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورٗا رَّحِيمٗا
d. Kesudahan (الغاية)
Seperti firman Allah Ta’ala, QS. Al-Maidah: 6
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ
وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ
وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ
Sedangkan dalil takhsis yang munfasilah adalah sebagai
berikut:
a. Takhsis dengan akal[16]
Seperti firman Allah Ta’ala QS. Ali Imran: 97
وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ مَنِ ٱسۡتَطَاعَ إِلَيۡهِ سَبِيلٗاۚ
Secara umum ayat ini menyuruh semua umat manusia untuk
melaksanakan haji. Namun ayat ini ditakhsis
oleh akal, yaitu kewajiban haji tersebut tidak mungkin bagi seluruh manusia
melainkan hanya bagi orang yang mampu saja.
b. Takhsis dengan adat[17]
Seperti takhsis ٱلۡوَٰلِدَٰتُ dalam firman Allah
Ta’ala QS. Al-Baqarah: 233
وَٱلۡوَٰلِدَٰتُ يُرۡضِعۡنَ أَوۡلَٰدَهُنَّ حَوۡلَيۡنِ كَامِلَيۡنِۖ
Ayat ini
secara umum memerintahkan agar para ibu menyusukkan anaknya selama dua tahun.
Namun adat kebiasaan orang Arab tidak menyusukan anaknya, yang pada akhirnya
kebiasaan orang Arab ini mentakhsis keumuman ayat tersebut.
c. Takhsis dengan nash
1) Takhsis alquran dengan alquran[18]
Seperrti firman Allah Ta’ala وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٖۚ
(al-Baqarah: 228), ayat ini umum karena semua wanita yang elah ditallak maka
wajib beriddah selama tiga kali quru, namun ayat ini ditakhsiskan dengan ayat وَٱلَّذِينَ يُتَوَفَّوۡنَ مِنكُمۡ وَيَذَرُونَ أَزۡوَٰجٗا يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ
أَرۡبَعَةَ أَشۡهُرٖ وَعَشۡرٗاۖ (al-Baqarah: 234) yang menyatakan bahwa wanita yang
suaminya meninggal maka iddahnya selama empat bulan sepuluh hari.
Sebagaian kecil ulama berpendapat tidak boleh alquran mantakhsis
alquran. Argumen mereka adalah:
a) Mentakhsis keumuman perempuan yang bercerai dalam surat al-Baqarah: 229 itu
mungkin saja dengan sunnah, tidak harus dengan ayat alquran lagi.
b) Tambahan lagi Allah menegaskan kepada Nabi untuk bertindak sebagai bayan
seperti firman Allah dalam surat al-Nahal: 44
2) Takhsis alquran dengan sunnah[19]
Para ulama sepakat tentang bolehnya takhsis alquran
dengan sunnah yang mutawatir, tetapi untuk sunnah yang kedudukannya ahad, para
ulama berbeda pendapat tentang kebolehannay mentakhsis alquran. Imam mazhab
yang empat berpendapat bolenya mentakhsis alquran dengan sunnah ahad, dengan
alasannya:
a) Ijma’ sahabat mengakui terjadinya takhsis alquran dengan sunnah ahad.
Seperti firman Allah dalam surat al-Nisa’: 24 وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَآءَ ذَٰلِكُمۡ, ayat ini mengandung arti ‘am boleh mengawini siapa
saja perempuan yang tidak disebutkan sebelumnya. Ayat itu ditakhsis oleh hadis
Nabi dari Abu Hurairah yang mengatakan ولا تُنكَح المرأة على عمّتها ولا على خالتها (tidak
boleh memadu seorang prempuan dengan saudara ayahnya dan tidak pula dengan
saudara ibunya)
b) Sunnah ahad menjadi dalil dalam beramal. Wajib beramal dengan khabar ahad
itu adalah berdasarkan menurtu kesepakatan ulama sebagaimana wajib beramal
dengan khabar mutawatir.
Ulama yang tidak menerima takhsis alquran dengan khabar
ahad mengemukakan argumen sebagai berikut:
a) Lafaz ‘am yang tidak disepakati tentang takhsisnya meyakinkan (qat’i)
kandungannya terhadap penerimaan afradnya menjadi zhanni. Bila lafaz itu
kedudukannya qath’i, maka tidak boleh ditakhsis oleh sesuatu yang zhanni,
sebagaimana tidak bolehnya nasakh dengan khabar ahad.
b) Alquran itu kedudukannya lebih kuat dari pada sunnah, buktinya, apabila
antara keduanya berbenturan, maka gugurlah sunnah. Jika keadaannya demikian, maka
dalil yang kuat tidak boleh ditakhsis dengan dalil yang lemah.
3) Takhsis sunnah dengan alquran[20]
Takhsis sunnah dengan alquran ini juga melahirkan
perbedaan pendapat.
a)
Kebanyakan ulama fiqh dan ulama kalam yang
juga diikuti oleh pengikut mazhab Hanbali dan Syafi’i berpendapat boleh
mentakhsis sunnah dengan alquran. Dengan alasan banyak terajdi keumuman sunnah
ditakhsis oleh alquran, seperti sunnah yang menyatakan البكر بالبكر جلد مأة
ونفي سنة (perawan dan bujangan
yang berzina hukumannay adalah dipukul 100 kali dan dibuang setahun). Keumuman hadis ini
ditakhsis dengan firman Allah Ta’ala QS. Al-Nisa’: 25
وَمَن لَّمۡ يَسۡتَطِعۡ
مِنكُمۡ طَوۡلًا أَن يَنكِحَ ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ فَمِن مَّا مَلَكَتۡ
أَيۡمَٰنُكُم مِّن فَتَيَٰتِكُمُ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِۚ وَٱللَّهُ أَعۡلَمُ
بِإِيمَٰنِكُمۚ بَعۡضُكُم مِّنۢ بَعۡضٖۚ فَٱنكِحُوهُنَّ بِإِذۡنِ أَهۡلِهِنَّ
وَءَاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِ مُحۡصَنَٰتٍ غَيۡرَ مُسَٰفِحَٰتٖ وَلَا
مُتَّخِذَٰتِ أَخۡدَانٖۚ فَإِذَآ أُحۡصِنَّ فَإِنۡ أَتَيۡنَ بِفَٰحِشَةٖ فَعَلَيۡهِنَّ
نِصۡفُ مَا عَلَى ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ مِنَ ٱلۡعَذَابِۚ ذَٰلِكَ لِمَنۡ خَشِيَ ٱلۡعَنَتَ
مِنكُمۡۚ وَأَن تَصۡبِرُواْ خَيۡرٞ لَّكُمۡۗ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ
Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup
perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini
wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui
keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu
kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut
yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina
dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan
apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan
perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman
wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu,
adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari
perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
Sebagian ulama Syafii dalam suatu
riwayat dari Ahmad berpendapattidak boleh sunnah ditakhsis oleh alquran. Dengan
alasan jika sunnah dijadikan takhsis alquran beraati menetapkan sunnah sebagai
asal dan alquran sebagai pengikut sunnah. Dan juga di dalam alquran juga telah
dijelaskan لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيۡهِمۡ (al-Nhal: 44), ayat ini menetapkan bahwa penjelas
telah diserahkan Allah kepada Nabi.
4) Takhsis sunnah dengan sunnah[21]
Dalam hal ini juga terdapat perbedaan oleh para ulama.
Jumhur ulama berpendapat boleh takhsis sunnah dengan sunnah baik sunnah
qauliyah, fi’liyah dan sunnah takririyah. Seperti sunnah nabi dari Sa’id ibn
Abdullah menurt riwayat Bukhari:
فيما سقت السماء
والعيون اوكان عُثْرِيًّا العشر
“tanaman yang diairi
oleh hujan, mata air dan sungai zakatnya sepersepuluh”
Hadis ini secara umum mewajibkan zakat
atas tanaman. Keumuman hadis ini ditakhsis oleh hadis Nabi dari Sa’ad yang diriwayatkan Bukahri dan
Muslim:
ليس فيما دون خمسة
اوساق من ثمر ولا حبّ صدقة
“buah dan biji-bijian yang kurang
dari lima wasaq tidak diwajibkan zakat”
Dengan hadis yang kedua ini
jelaslah bahwa yang mendapatkan kewajiban zakat sebanyak 10% seperti yang tersebut dalam hadis pertama adalah yang
telah mencapai lima wasaq.
Ulama yang menolak takhsis sunnah
dengan sunnah ini berdasarkan firman Allah Taala QS. Al-Nahal: 44
بِٱلۡبَيِّنَٰتِ وَٱلزُّبُرِۗ
وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلذِّكۡرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيۡهِمۡ
وَلَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ ٤٤
“keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan
kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”
Yang menyatakan bahwa yang
dijelaskan oleh nabi itu alquran, bukan sunnah.
5) Takhsis dengan ijma’[22]
Takhsis dengan ijma’ adalah mengetahui maksud sesuatu
dengan lafaz ‘am melalui ijma’ ulama yang menjelaskan bahwa yang dimaksud
adalah sebagian dari apa yang dikehendaki lafaz ‘am tersebut.
Contoh ijma’ yang mentakhsiskan alquran, QS. Al-Jumu’ah:
9
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوٓاْ إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوۡمِ ٱلۡجُمُعَةِ فَٱسۡعَوۡاْ
إِلَىٰ ذِكۡرِ ٱللَّهِ وَذَرُواْ ٱلۡبَيۡعَۚ ذَٰلِكُمۡ خَيۡرٞ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ
تَعۡلَمُونَ ٩
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum´at,
maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”
Secara umum ayat ini mewajibkan setiap orang
yang beriman untuk melakukan shalat jumat, baik laki-laki maupun perempuan.
Keumuman ayat ini dibatasi oleh ijma’ ulama yang menyandarkan kepada hadis nabi
yang menetapkan bahwa perempuan tidak wajib melakukan shalat jumat.
Contoh ijma’ yang mentakhsis hadis yaitu,
hadis mengenai wasiat yang bermakna wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga
harta. Hadis tersebut umum berdasarkan apakah yang sepertiga itu disetujui oleh
ahli waris atau tidak. Maka hadis ini ditakhsis oleh ijma’ ulama yang
menyandarkan wasiat boleh lebih dari sepertiga, bahkan semuanya, jika
ahliwarisnya menyetujui.
6) Takhsis dengan qiyas[23]
Takhsis dengan qiyas adalah suatu kejadian yang tidak ada
hukumnya diqiyaskan kepada hukum yangterdapat dalam nash alquran atau hadis
berdasarkan adanya ‘illat yangsama. Kemudian hukum yang dihasilkan dari temuan
mujtahid ini digunakan untuk membatasi umumnya ayat-ayat alquran atau hadis.
Seperti firman Allah QS. Al-Nur: 2
ٱلزَّانِيَةُ وَٱلزَّانِي فَٱجۡلِدُواْ كُلَّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا مِاْئَةَ جَلۡدَةٖ
Secara umum ayat ini menetapkan kewajiban memukul penzina
laki-laki dan perempuan 100 kali secara mutlak, baik orang merdeka maupun hamba
sahaya. Dalil khusus yangmenyangkut saksi zina itu hanya tentang hamba sahaya
perempuan dalam firman Allah QS. Al-Nisa’: 25
فَعَلَيۡهِنَّ نِصۡفُ مَا عَلَى ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ مِنَ ٱلۡعَذَابِۚ
“atas sahaya perempuan dikenekan hukuman separoh dari
yangdibebankan kepada perempuan yangmerdeka”
Ayat ini menjelaskan bahwa hamba sahaya perempuan
menerima hukuman separoh dari hukuman perempuan yang merdeka. Tidak disebutkan
hukuman ats hamba sahaya laki-laki yang erbuat zina. Oleh karena itu hukuman
atas sahaya laki-laki diqiyaskan kepada hamba sahaya perempuan untuk menerima
hukuman dengan separuhnya. Kemudian hasil qiyas tersebut, dijadikan dalil untuk
mentakhsis keumuman ayat 2 surat al-Nur di atas.
7) Takhsis dengan mafhum[24]
Suatu lafaz hukum dari segi mantuqnya atau menurut apa yang
tersurat, menunjukkan suatu hukum. Dari mantuq itu pula dapat dipahami
hukum lain yang tidak tersurat. Apa yang dipahami dari yang tersurat itu
disebut mafhum. Bila hukkumnya sama dengan yang tersurat disebut mafhum
muwafaqah dan bila hukum yang tersirat adalah kebalikan dari hukum yang
tersurat tersebut disebut mafhum mukhalafah.
Takhsis alquran dan sunnah dengan
mafhum artinya hukum khhusus yang dapat diambil dibalik apa yang tersurat itu
dijadikan dalil untuk membatsi (mentakhsis) keumuman ayat alquran dan sunnah.
Contoh takhsis dengan mafhum
muwafaqah adalah hadis nabi yang diriwayatkan oleh Abu Dawud: للواجد يحِلّ عِرضُه
وعقوبته (orang yang enggan
membayar hutag sedang ia mempunyai harta untuk membayarkannya, boleh dibentak
dan disiksa). Keumuman hadis tersebut menunjukkan boleh menyiksa orang yan
berkecukupan yangtidak mau membayar hutang, baik orang tua sendiri maupun orang
lain. Keumuman hadis ini ditakhsis oleh mafhum muwafaqah, firman
Allah QS. Al-Isra’: 23; فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفّٖ وَلَا تَنۡهَرۡهُمَا, mafhum muwafaqah dari ayat tersebut adalah tidak boleh menyakiti
orang tua karena hutang.
Contoh takhsis dengan mafhum mukhalafah adalah hadis nabi menurut
riwayat Ibn Majah
الماء لايُنجِّسه إلاّ غلب ريحه وطمعه ولونه
(air itu tidak akan kena
najis kecuali telah berubah baunya, rasanya dan warnanya)
Keumuman hadis ini mengandung arti bahwa air dalam jumlah ukuran
berapapun tidak akan mengandung najis, selama belum terjadi perubahan dalam
rasa, warna dan baunya. Keumuman hadis itu ditakhsis dengan mafhum
mukhalafah dari hadis nabi yang juga diriwayatkan oleh Ibn Majah: إذا بلغ الماء قلذتين لم يَحْمِل الخبث (bila
air itu dalam ukuran dua qullah ia tidak akan mengandung najis). Mafhum
mukhalafah dari hadis ini adalah air yang tidak sampai dua qullah akan
mengandung najis.
DAFTAR PUSTAKA
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia,
(Jakarta: PT. Mahmud Yunus wadzuryah, 1989)
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II
(Jakarta: Kencana, 2008)
Satria Efendi, Ushul Fiqh, (Jakarta:
Kencana, 2008)
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh,
(Qahira: Dar al-Hadis, 2003)
Rachmat Syafe’i, Ilmu Uhsul Fiqih,(Bandung:
Pustaka Setia, 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar