Kamis, 18 Februari 2016

‘AM, KHAS DAN TAHKSIS

BAB I
PENDAHULUAN
Untuk menggali hukum terutama hukum syariah, tidak terlepas dari pembahasan kebahasaan karena hampir delapan puluh persen penggalian hukum syari’ah menyangkut lafazh. Sebenarnya, lafazh-lafazh yang menunjukkan hukum harus jelas dan tegas supaya tidak membingungkan para pelaku hukum. Namun dalam kenyataannya, petunjuk (dilalah) lafazh-lafazh yang terdapat dalam nash syara’ itu beraneka ragam. Bahkan, ada yang kurang jelas (khafa).
Diantara dari lafazh-lafazh tersebut adalah lafazh ‘am, khas, Lafazh 'am ini adalah menurut kepada bentuk dari suatu lafazh, di dalam lafazh itu tersimpul, atau masuk semua jenis yang sesuai dengan lafazh itu. sebagaimana kita katakan al insan (manusia), maka di dalam kata-kata al insan ini termasuk semua manusia yang ada di dunia ini, baik manusia kecil maupun manusia besar, baik dia merdeka maupun dia masuk golongan budak, baik dia bebas maupun dia terikat.
Adakalanya lafazh umum itu ditentukan dengan lafazh yang telah disediakan untuk itu, seperti lafazh “kullu, jami’u, dll. Di samping lafazh umum, terdapat pula suatu lafazh yang menunjukkan kepada khusus. lafazh khusus ini adalakalnya dipergunakan untuk seorang atau barang atau hal tertentu, seperti Abdullah, atau seperti radio dll. Berarti lafazh khas ini bisa dikatakan sebagai lafazh yang tidak meliputi mengatakannya sekaligus terhadap dua sesuatu atau beberapa hal tanpa menghendaki kepada batasan.
                                                        
                                                         BAB II
PEMBAHASAN
‘AM, KHAS DAN TAHKSIS
A.    ‘AM
1.      Pengertian ‘am
Secara bahasa ‘am itu berarti merata; [1]عمّ-يعمّ-عموما,sedangkan menurut istilah ulama ushul fiqh
a.       Ibnu Subki
هو الفظ يستغرق الصالح له من غير حصر[2]
“lafaz yang meliputi pengertian yang patut baginya tanpa batasan”
b.      Abu Hasan al-Basri
هو الفظ المستغرق لجميع ما يصلح له[3]
“lafaz yang meliputi semua pengertian yang patut baginya”
c.       Satria Efendi
الفظ المستغرق لجميع ما يصلح بحسب وضع واحد دفعه[4]
“lafaz yang mencakup akan semua apasaja masuk padanya dengan satu ketetapan dan sekaligus”

2.      Shigat ‘am
a.       Lafaz كل  (setiap) dan جامع (seluruhnya).
Misalnya firman Allah, Ali ‘Imran, 185:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
Dan sabda Rasulullah SAW:
كُلُّ رَاعٍ مَسْؤُلٌ عَنْ رَعِيَتِهِ
Firman Allah dalm surat Al-Baqarah:29
هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي ٱلۡأَرۡضِ جَمِيعٗا
Lafaz كل  danحامع tersebut di atas, keduanya mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas jumlahnya.
b.      Kata benda tunggal yang di ma’rifatkan dengan alif-lam.
Contoh:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا (Al_baqarah: 275)

Lafaz
الْبَيْعَ dan الرِّبَا adalah kata benda yang di ma’rifatkan dengan alif lam. Oleh karena itu, keduanya adalah lafadz ‘am yang mencakup semua satuan-satuan yang dapat dimasukkan kedalamnya.
c.       Kata jamak (plural) yang disertai alif dan lam di awalnya.
Seperti:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ (Al-Baqarah:233)
Kata الْوَالِدَاتُ dalam ayat tersebut bersifat umum yang mencakup setiap yang bernama atau disebut ibu.
d.      Lafaz Asma’ al-Mawshul (الأسماء الموصولة).
Salah satu contoh adalah firman Allah:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
“Sesungguhnya orang-orang yang (الَّذِينَ) memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sebeenarnya mereka itu menelan api sepenuh perut dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala”. (An-Nisa:10)
e.       Lafaz Asma’ al-Syart (isim-isim isyarat, kata benda untuk mensyaratkan),
seperti kata ma, man dan sebagainya. Misalnya:
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا
“dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah”.(An-Nisa’:92)
f.       Isim nakirah dalam susunan kalimat nafi (negatif),
seperti kata لَا جُنَاحَ dalam ayat berikut:
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آَتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
“dan tidak ada dosa atas kamu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya”. (Al-Mumtahanah:10).


3.      Macam-macam ‘am
Menurt Abdul Wahhab Khallaf, bahwa ‘amm itu terbagi menjadi tiga:
a.       Pertama adalah ‘amm yang dimaksud secara qathi’ umum. Yaitu ‘amm yang  didampingi oleh qarinah, menafikan sasaran yang ditakhsiskan, seperti ‘amm yang  terdapat pada firman Alloh Swt :
وَمَا مِن دَآبَّةٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزۡقُهَا (QS. Hud :6)
وَجَعَلۡنَا مِنَ ٱلۡمَآءِ كُلَّ شَيۡءٍ حَيٍّۚ (QS.21:30)
Pada kedua ayat ini orang menetapkan bahwa sudah menjadi sunnatullah ada ‘amm yang tidak ditakhasiskan dan tidak pula dipertukarkan letaknya. Pada kedua ayat ini terdapat ‘amm qathi’ menunjuk kepada umum. Tidak mengandung hal yang dimaksud khusus dengannya.

b.      Kedua adalah ‘amm yang dimaksud secara qathi khusus.Yaitu apa yang didampingi dengan qarinah, pada umumnya tetap menafikan dan menyatakan maksud sebagian dari ifradnya itu. Seperti firmanAllah yang berbunyi:
وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ (QS.3:97).
Manusia pada nash ini adalah umum. Dimaksud dengannya itu khusus para mukallaf. Menurut akal, tidak termasuk anak-anak dan orang gila.
c.       Ketiga adalah ‘amm makhsus. Yaitu ‘amm mutlak yang  tidak didampingi oleh qarinah, meniadakan hal-hal yang ditakhsiskan. Tidak ada qarinah yang  menafikan dalilnya terhadap umum. Misalnya kebanyakan nash yang  terdapat padanya  sighat umum. Terlepas dari qarinah-qarinah lafdziah atau aqliah atau arfiah yang  menyatakan umum atau khas, ini jelas pada ‘am hingga dikemukakan dalil yang mentakhsiskannya. Misalnya, وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصۡنَ (iddah)[5].

4.      Dalalah ‘am
Para ulama sepakat bahwa lafadz ‘amm yang disertai qarinah (indikasi) yang menunjukan penolakan adanya takhsis adalah qath’i dilalah. Begitu juga lafadz ‘amm yang  disertai qarinah yang menunjukan bahwa yang dimaksudkannya itu kusus, mempunyai dilalah yang khusus pula.[6]
Menurut Hanafiyah dilalah ‘amm itu qath’i, yang dimaksud qat’i menurut Hanafiyah ialah tidak mencakup suatu kandungan, yang menimbulkan suatu dalil.” Namun, bukan berarti tidak ada kemungkinan takhsis sama sekali. Oleh karena itu, untuk menetapkan ke-qath’i-an lafadz ‘amm, pada mulanya tidak boleh di takhsis sebab apabila pada awalnya sudah dimasuki takhsis,maka dilalahnya dzanni. Mereka beralasan,”sesungguhnya suatu lafadz apabila dipasangkan (di-wadha’-kan) pada suatu makna, maka makna itu berketetapan yang pasti, sampai ada dalil yang mengubahnya.
Menurut jumhur ulama (malikiyah,Syafi’iyyah,dan Hanbaliyah) dilalah ‘amm adalah dzanni. Mereka beralasan kalau dilalah ‘amm itu termasuk bagian dilalah dahir, yang mempunyai kemungkinan di taksis. Dan kemungkinan ini pada lafadz ‘amm banyak sekali. Selama  kemungkinan tetap ada, maka tidak dapat dibenarkan menyatakan bahwa dilalah-nya qath’i. Sehubungan dengan hal in, ibnu Abbas berkata : Dalam Al-qur’an semua lafadz umum itu ada taksisnya, kecuali firman Alloh Swt : ”Dan Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu”.
Oleh karena itu mereka mengeluarkan satu kaidah yang berbunyi:
مامن عام الا وقد خصص[7]
“Tidaklah ada (lafadz) yang umum kecuali sudah di taksis”.
Ulama Hanafiyah membantah alasan jumhur tersebut, menurutnya kemungkinan itu tidak dapat dibenarkan, sebab timbulnya dari ucapan pembicara (mutakallimin), bukan dari dalil.

B.     KHAS
1.      Pengertian Khas
Menurut Abdul Wahab Khallaf, ia mendefinisikan lafal Khash, sebagai berikut, Lafadz Khash ialah lafadz yang dibuat untuk menunjukkan satu satuan tertentu; berupa orang, seperti Muhammad atau satu jenis, seperti laki-laki, atau beberapa satuan yang bermacam-macam dan terbatas, seperti tigabelas, seratus, kaum, golongan, jama’ah, kelompok dan lafal lain yang menujukkan jumlah satuan atau tidak menunjukkan cakupan kepada seluruh satuannya[8]
Sedangkan defenisi menurut Al-‘Amidi ialah, sebagai berikut:
"هو اللفظ الواحد الذي لا يصلح لاشتراك كثير ين فيه"
Satu lafadz yang tidak patut digunakan bersama oleh jumlah yang banyak.

Definisi yang berbeda yang dirumuskan al-Khudahari Beik:
"هو اللفظ الذي وضع لمعنى واحد على سبيل الانفراد"[9]
Lafadz yang dari segi kebahasaan, ditentukan untuk satu arti secara mandiri.
2.      Bentuk-bentuk Khas
Telah dapat diketahui bersama bahwa betuk lafadz ‘am dalam al qur’an dan al-hadits itu banyak sekali, begitu juga dalam lafadz khash, yang bentuknya dapat disimpulkan menjadi 4 macam:
a.    Lafadz khash berbentuk mutlak, yaitu lafadz khash yang tidak ditentukan dengan sesuatu. Maksudnya, jika di dalam nash itu ditemukan lafadz khash, maka lafadz ini harus diartikan sesuai dengan arti yang haqiqi, selama tidak ada dalil lain yang memalingkan arti hakiki ke arti lain. Contoh dalam Firman Allah S. Almaidah: 3
حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةُ وَٱلدَّمُ وَلَحۡمُ ٱلۡخِنزِيرِ
Lafaz ٱلدَّمُ adalah lafaz mutlak.[10]

b.   Lafadz khash berbentuk muqayad, yaitu lafadz  yang ditentukan dengan sesuatu. Contoh dalam Firman Allah Q. S. al-Nisa’: 11, yaitu: مِنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٖ يُوصِي بِهَآ أَوۡ دَيۡنٍۗ, wasiat ini dikaitkan dengan hadis لا وصية بأكثر من اثلث, maka maksud ayat wasiat itu adalah sepertiga peninggalan[11].

Ayat ini menjelaskan tentang hukum wudhu, sebabnya adalah bersuci dengan cara berwudhu, ayat ini menjelaskan tentang hukum bertayamum sebabnya adalah bersuci. Kalau tidak menemukan air untuk berwudhu.
c.    Lafadz khash berbentuk Amr. Jika lafadz khash berbentuk amar atau berbentuk kata yang mengandung arti amar atau berbentuk khabar, maka hukumnya menfaedahkan wajib. Contoh dalam firman Allah Q. S. al-Maidah ayat 38 وَٱلسَّارِقُ وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقۡطَعُوٓاْ أَيۡدِيَهُمَا, menfaedahkan wajib memotonng tangan pencuri laki-laki maupun perempuan. Firman Allah Q.S. Albaqarah: 228; وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصۡنَ, menfaedahkan wajib wanita yang ditalak itu selama tiga quru. Jelas bahwa lafaz yang mutlak menunjukkan kepada makna yang hakiki, dan makna yang hakiki itu tidak bisa dirubah kecuai dengan qarinah (indikasi).[12]


d.   Lafadz khash berbentuk nahiy. Jika lafadz khash berbentuk nahy atau berbentuk kata yang mengandung arti nahy atau berbentuk khabar, maka hukumnya menfaedahkan haram. Contoh terdapat dalam firman Allah Q. S. al-Baqarah: 221; وَلَا تَنكِحُواْ ٱلۡمُشۡرِكَٰتِ حَتَّىٰ يُؤۡمِنَّۚ, dan QS. Al-Baqarah: 228; وَلَا يَحِلُّ لَكُمۡ أَن تَأۡخُذُواْ مِمَّآ ءَاتَيۡتُمُوهُنَّ شَيۡ‍ًٔا, menfaedahkan haram laki-laki muslim menikahi wanita musyrik dan haramnya mengambil ‘iwadh dari wanita yang dicerai[13].
Larangan pada ayat ini menunjukan hukum haram. Akan tetapi jika ada tanda yang menunjukan bahwa arti ayat tersebut harus dipalingkan ke arti majazi, maka pengertian hukumnya harus disesuaikan dengan tanda tersebut, sehingga memungkinkan mengandung arti makruh, do’a, irsyad, dan sebagainya.

C.     TAKHSIS
1.      Pengertian Takhsis
Para ulama ushul mendefenisikan takhsis ini sebagai berikut:
هو تبين أن مراد الشارع من العام إبتداءً بعض أفراده لا جميعها[14]
“Takhsis ialah penjelasan bahwa yang dimaksud oleh syari’ tentang lafaz ‘am itu pada mulanya adalah sebagai afradnya”.
Muhammad al-Khudari Beik mendefenisikan takhsis sebagai berikut:
بيان ان المراد بالعام بعض ما ينتظمه
“menjelaskan bahwa yang dimaksud dalam lafaz ‘am adalah sebagaian dari yang diatur oelah lafaz itu”.
            Para ulama telah sepakat bahwa penjelasan itu tidak boleh terlambat datangnya, supaya manusia tidak berada dalam ketidaktahuan entang yang dituju oleh ppembuat hukkum (syari’). Bila takhsis terlambat datangnya, maka ia tidak lagi disebut takhsis, tetapi nasakh.[15]

2.      Dalil Takhsis
Dalil takhsis ini terbagi dua, yaitu muttasil dan munfasil. Dalil takhsis yang muttasil ialah sebagai berikut:
a.       Pengecualian (الإستثناء)
Seperti firman Allah Ta’ala, QS. Al-Baqarah: 282
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيۡنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى فَٱكۡتُبُوهُۚ وَلۡيَكۡتُب بَّيۡنَكُمۡ كَاتِبُۢ بِٱلۡعَدۡلِۚ وَلَا يَأۡبَ كَاتِبٌ أَن يَكۡتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ ٱللَّهُۚ فَلۡيَكۡتُبۡ وَلۡيُمۡلِلِ ٱلَّذِي عَلَيۡهِ ٱلۡحَقُّ وَلۡيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥ وَلَا يَبۡخَسۡ مِنۡهُ شَيۡ‍ٔٗاۚ فَإِن كَانَ ٱلَّذِي عَلَيۡهِ ٱلۡحَقُّ سَفِيهًا أَوۡ ضَعِيفًا أَوۡ لَا يَسۡتَطِيعُ أَن يُمِلَّ هُوَ فَلۡيُمۡلِلۡ وَلِيُّهُۥ بِٱلۡعَدۡلِۚ وَٱسۡتَشۡهِدُواْ شَهِيدَيۡنِ مِن رِّجَالِكُمۡۖ فَإِن لَّمۡ يَكُونَا رَجُلَيۡنِ فَرَجُلٞ وَٱمۡرَأَتَانِ مِمَّن تَرۡضَوۡنَ مِنَ ٱلشُّهَدَآءِ أَن تَضِلَّ إِحۡدَىٰهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحۡدَىٰهُمَا ٱلۡأُخۡرَىٰۚ وَلَا يَأۡبَ ٱلشُّهَدَآءُ إِذَا مَا دُعُواْۚ وَلَا تَسۡ‍َٔمُوٓاْ أَن تَكۡتُبُوهُ صَغِيرًا أَوۡ كَبِيرًا إِلَىٰٓ أَجَلِهِۦۚ ذَٰلِكُمۡ أَقۡسَطُ عِندَ ٱللَّهِ وَأَقۡوَمُ لِلشَّهَٰدَةِ وَأَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَرۡتَابُوٓاْ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً حَاضِرَةٗ تُدِيرُونَهَا بَيۡنَكُمۡ فَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَلَّا تَكۡتُبُوهَاۗ وَأَشۡهِدُوٓاْ إِذَا تَبَايَعۡتُمۡۚ وَلَا يُضَآرَّ كَاتِبٞ وَلَا شَهِيدٞۚ وَإِن تَفۡعَلُواْ فَإِنَّهُۥ فُسُوقُۢ بِكُمۡۗ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ وَيُعَلِّمُكُمُ ٱللَّهُۗ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ
b.      Syarat (الشرط)
Seperti firman Allah Ta’ala, QS. Al-Nisa’: 101
وَإِذَا ضَرَبۡتُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَن تَقۡصُرُواْ مِنَ ٱلصَّلَوٰةِ إِنۡ خِفۡتُمۡ أَن يَفۡتِنَكُمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْۚ إِنَّ ٱلۡكَٰفِرِينَ كَانُواْ لَكُمۡ عَدُوّٗا مُّبِينٗا

c.       Sifat (الوصف)
Seperti firman Allah Ta’ala, QS. Al-Nisa’: 23
حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمۡ أُمَّهَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُمۡ وَعَمَّٰتُكُمۡ وَخَٰلَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُ ٱلۡأَخِ وَبَنَاتُ ٱلۡأُخۡتِ وَأُمَّهَٰتُكُمُ ٱلَّٰتِيٓ أَرۡضَعۡنَكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُم مِّنَ ٱلرَّضَٰعَةِ وَأُمَّهَٰتُ نِسَآئِكُمۡ وَرَبَٰٓئِبُكُمُ ٱلَّٰتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ ٱلَّٰتِي دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمۡ تَكُونُواْ دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ وَحَلَٰٓئِلُ أَبۡنَآئِكُمُ ٱلَّذِينَ مِنۡ أَصۡلَٰبِكُمۡ وَأَن تَجۡمَعُواْ بَيۡنَ ٱلۡأُخۡتَيۡنِ إِلَّا مَا قَدۡ سَلَفَۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورٗا رَّحِيمٗا

d.      Kesudahan (الغاية)
Seperti firman Allah Ta’ala, QS. Al-Maidah: 6
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ

Sedangkan dalil takhsis yang munfasilah adalah sebagai berikut:
a.       Takhsis dengan akal[16]
Seperti firman Allah Ta’ala QS. Ali Imran: 97
وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ مَنِ ٱسۡتَطَاعَ إِلَيۡهِ سَبِيلٗاۚ
Secara umum ayat ini menyuruh semua umat manusia untuk melaksanakan haji.  Namun ayat ini ditakhsis oleh akal, yaitu kewajiban haji tersebut tidak mungkin bagi seluruh manusia melainkan hanya bagi orang yang mampu saja.
b.      Takhsis dengan adat[17]
Seperti takhsis ٱلۡوَٰلِدَٰتُ dalam firman Allah Ta’ala QS. Al-Baqarah: 233
وَٱلۡوَٰلِدَٰتُ يُرۡضِعۡنَ أَوۡلَٰدَهُنَّ حَوۡلَيۡنِ كَامِلَيۡنِۖ
Ayat ini secara umum memerintahkan agar para ibu menyusukkan anaknya selama dua tahun. Namun adat kebiasaan orang Arab tidak menyusukan anaknya, yang pada akhirnya kebiasaan orang Arab ini mentakhsis keumuman ayat tersebut.
c.       Takhsis dengan nash
1)      Takhsis alquran dengan alquran[18]
Seperrti firman Allah Ta’ala وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٖۚ (al-Baqarah: 228), ayat ini umum karena semua wanita yang elah ditallak maka wajib beriddah selama tiga kali quru, namun ayat ini ditakhsiskan dengan ayat وَٱلَّذِينَ يُتَوَفَّوۡنَ مِنكُمۡ وَيَذَرُونَ أَزۡوَٰجٗا يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرۡبَعَةَ أَشۡهُرٖ وَعَشۡرٗاۖ (al-Baqarah: 234) yang menyatakan bahwa wanita yang suaminya meninggal maka iddahnya selama empat bulan sepuluh hari.
Sebagaian kecil ulama berpendapat tidak boleh alquran mantakhsis alquran. Argumen mereka adalah:
a)      Mentakhsis keumuman perempuan yang bercerai dalam surat al-Baqarah: 229 itu mungkin saja dengan sunnah, tidak harus dengan ayat alquran lagi.
b)      Tambahan lagi Allah menegaskan kepada Nabi untuk bertindak sebagai bayan seperti firman Allah dalam surat al-Nahal: 44
2)      Takhsis alquran dengan sunnah[19]
Para ulama sepakat tentang bolehnya takhsis alquran dengan sunnah yang mutawatir, tetapi untuk sunnah yang kedudukannya ahad, para ulama berbeda pendapat tentang kebolehannay mentakhsis alquran. Imam mazhab yang empat berpendapat bolenya mentakhsis alquran dengan sunnah ahad, dengan alasannya:
a)      Ijma’ sahabat mengakui terjadinya takhsis alquran dengan sunnah ahad. Seperti firman Allah dalam surat al-Nisa’: 24 وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَآءَ ذَٰلِكُمۡ, ayat ini mengandung arti ‘am boleh mengawini siapa saja perempuan yang tidak disebutkan sebelumnya. Ayat itu ditakhsis oleh hadis Nabi dari Abu Hurairah yang mengatakan ولا تُنكَح المرأة على عمّتها ولا على خالتها (tidak boleh memadu seorang prempuan dengan saudara ayahnya dan tidak pula dengan saudara ibunya)
b)      Sunnah ahad menjadi dalil dalam beramal. Wajib beramal dengan khabar ahad itu adalah berdasarkan menurtu kesepakatan ulama sebagaimana wajib beramal dengan khabar mutawatir.
Ulama yang tidak menerima takhsis alquran dengan khabar ahad mengemukakan argumen sebagai berikut:
a)      Lafaz ‘am yang tidak disepakati tentang takhsisnya meyakinkan (qat’i) kandungannya terhadap penerimaan afradnya menjadi zhanni. Bila lafaz itu kedudukannya qath’i, maka tidak boleh ditakhsis oleh sesuatu yang zhanni, sebagaimana tidak bolehnya nasakh dengan khabar ahad.
b)      Alquran itu kedudukannya lebih kuat dari pada sunnah, buktinya, apabila antara keduanya berbenturan, maka gugurlah sunnah. Jika keadaannya demikian, maka dalil yang kuat tidak boleh ditakhsis dengan dalil yang lemah.

3)      Takhsis sunnah dengan alquran[20]
Takhsis sunnah dengan alquran ini juga melahirkan perbedaan pendapat.
a)      Kebanyakan ulama fiqh dan ulama kalam yang juga diikuti oleh pengikut mazhab Hanbali dan Syafi’i berpendapat boleh mentakhsis sunnah dengan alquran. Dengan alasan banyak terajdi keumuman sunnah ditakhsis oleh alquran, seperti sunnah yang menyatakan البكر بالبكر جلد مأة ونفي سنة (perawan dan bujangan yang berzina hukumannay adalah dipukul 100 kali dan dibuang setahun). Keumuman hadis ini ditakhsis dengan firman Allah Ta’ala QS. Al-Nisa’: 25
وَمَن لَّمۡ يَسۡتَطِعۡ مِنكُمۡ طَوۡلًا أَن يَنكِحَ ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ فَمِن مَّا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُم مِّن فَتَيَٰتِكُمُ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِۚ وَٱللَّهُ أَعۡلَمُ بِإِيمَٰنِكُمۚ بَعۡضُكُم مِّنۢ بَعۡضٖۚ فَٱنكِحُوهُنَّ بِإِذۡنِ أَهۡلِهِنَّ وَءَاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِ مُحۡصَنَٰتٍ غَيۡرَ مُسَٰفِحَٰتٖ وَلَا مُتَّخِذَٰتِ أَخۡدَانٖۚ فَإِذَآ أُحۡصِنَّ فَإِنۡ أَتَيۡنَ بِفَٰحِشَةٖ فَعَلَيۡهِنَّ نِصۡفُ مَا عَلَى ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ مِنَ ٱلۡعَذَابِۚ ذَٰلِكَ لِمَنۡ خَشِيَ ٱلۡعَنَتَ مِنكُمۡۚ وَأَن تَصۡبِرُواْ خَيۡرٞ لَّكُمۡۗ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ
Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang

Sebagian ulama Syafii dalam suatu riwayat dari Ahmad berpendapattidak boleh sunnah ditakhsis oleh alquran. Dengan alasan jika sunnah dijadikan takhsis alquran beraati menetapkan sunnah sebagai asal dan alquran sebagai pengikut sunnah. Dan juga di dalam alquran juga telah dijelaskan لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيۡهِمۡ  (al-Nhal: 44), ayat ini menetapkan bahwa penjelas telah diserahkan Allah kepada Nabi.
4)      Takhsis sunnah dengan sunnah[21]
Dalam hal ini juga terdapat perbedaan oleh para ulama. Jumhur ulama berpendapat boleh takhsis sunnah dengan sunnah baik sunnah qauliyah, fi’liyah dan sunnah takririyah. Seperti sunnah nabi dari Sa’id ibn Abdullah menurt riwayat Bukhari:
فيما سقت السماء والعيون اوكان عُثْرِيًّا العشر
tanaman yang diairi oleh hujan, mata air dan sungai zakatnya sepersepuluh”
Hadis ini secara umum mewajibkan zakat atas tanaman. Keumuman hadis ini ditakhsis oleh hadis  Nabi dari Sa’ad yang diriwayatkan Bukahri dan Muslim:
ليس فيما دون خمسة اوساق من ثمر ولا حبّ صدقة
“buah dan biji-bijian yang kurang dari lima wasaq tidak diwajibkan zakat”
Dengan hadis yang kedua ini jelaslah bahwa yang mendapatkan kewajiban zakat sebanyak 10% seperti yang  tersebut dalam hadis pertama adalah yang telah mencapai lima wasaq.
Ulama yang menolak takhsis sunnah dengan sunnah ini berdasarkan firman Allah Taala QS. Al-Nahal: 44
بِٱلۡبَيِّنَٰتِ وَٱلزُّبُرِۗ وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلذِّكۡرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيۡهِمۡ وَلَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ ٤٤
keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan

Yang menyatakan bahwa yang dijelaskan oleh nabi itu alquran, bukan sunnah.
5)      Takhsis dengan ijma’[22]
Takhsis dengan ijma’ adalah mengetahui maksud sesuatu dengan lafaz ‘am melalui ijma’ ulama yang menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah sebagian dari apa yang dikehendaki lafaz ‘am tersebut.
Contoh ijma’ yang mentakhsiskan alquran, QS. Al-Jumu’ah: 9
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوۡمِ ٱلۡجُمُعَةِ فَٱسۡعَوۡاْ إِلَىٰ ذِكۡرِ ٱللَّهِ وَذَرُواْ ٱلۡبَيۡعَۚ ذَٰلِكُمۡ خَيۡرٞ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ٩
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum´at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui

Secara umum ayat ini mewajibkan setiap orang yang beriman untuk melakukan shalat jumat, baik laki-laki maupun perempuan. Keumuman ayat ini dibatasi oleh ijma’ ulama yang menyandarkan kepada hadis nabi yang menetapkan bahwa perempuan tidak wajib melakukan shalat jumat.
Contoh ijma’ yang mentakhsis hadis yaitu, hadis mengenai wasiat yang bermakna wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga harta. Hadis tersebut umum berdasarkan apakah yang sepertiga itu disetujui oleh ahli waris atau tidak. Maka hadis ini ditakhsis oleh ijma’ ulama yang menyandarkan wasiat boleh lebih dari sepertiga, bahkan semuanya, jika ahliwarisnya menyetujui.

6)      Takhsis dengan qiyas[23]
Takhsis dengan qiyas adalah suatu kejadian yang tidak ada hukumnya diqiyaskan kepada hukum yangterdapat dalam nash alquran atau hadis berdasarkan adanya ‘illat yangsama. Kemudian hukum yang dihasilkan dari temuan mujtahid ini digunakan untuk membatasi umumnya ayat-ayat alquran atau hadis. Seperti firman Allah QS. Al-Nur: 2
ٱلزَّانِيَةُ وَٱلزَّانِي فَٱجۡلِدُواْ كُلَّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا مِاْئَةَ جَلۡدَةٖ
Secara umum ayat ini menetapkan kewajiban memukul penzina laki-laki dan perempuan 100 kali secara mutlak, baik orang merdeka maupun hamba sahaya. Dalil khusus yangmenyangkut saksi zina itu hanya tentang hamba sahaya perempuan dalam firman Allah QS. Al-Nisa’: 25
فَعَلَيۡهِنَّ نِصۡفُ مَا عَلَى ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ مِنَ ٱلۡعَذَابِۚ
“atas sahaya perempuan dikenekan hukuman separoh dari yangdibebankan kepada perempuan yangmerdeka”

Ayat ini menjelaskan bahwa hamba sahaya perempuan menerima hukuman separoh dari hukuman perempuan yang merdeka. Tidak disebutkan hukuman ats hamba sahaya laki-laki yang erbuat zina. Oleh karena itu hukuman atas sahaya laki-laki diqiyaskan kepada hamba sahaya perempuan untuk menerima hukuman dengan separuhnya. Kemudian hasil qiyas tersebut, dijadikan dalil untuk mentakhsis keumuman ayat 2 surat al-Nur di atas.

7)      Takhsis dengan mafhum[24]
Suatu lafaz hukum dari segi mantuqnya atau menurut apa yang tersurat, menunjukkan suatu hukum. Dari mantuq itu pula dapat dipahami hukum lain yang tidak tersurat. Apa yang dipahami dari yang tersurat itu disebut mafhum. Bila hukkumnya sama dengan yang tersurat disebut mafhum muwafaqah dan bila hukum yang tersirat adalah kebalikan dari hukum yang tersurat tersebut disebut mafhum mukhalafah.
Takhsis alquran dan sunnah dengan mafhum artinya hukum khhusus yang dapat diambil dibalik apa yang tersurat itu dijadikan dalil untuk membatsi (mentakhsis) keumuman ayat alquran dan sunnah.
Contoh takhsis dengan mafhum muwafaqah adalah hadis nabi yang diriwayatkan oleh Abu Dawud: للواجد يحِلّ عِرضُه وعقوبته (orang yang enggan membayar hutag sedang ia mempunyai harta untuk membayarkannya, boleh dibentak dan disiksa). Keumuman hadis tersebut menunjukkan boleh menyiksa orang yan berkecukupan yangtidak mau membayar hutang, baik orang tua sendiri maupun orang lain. Keumuman hadis ini ditakhsis oleh mafhum muwafaqah, firman Allah QS. Al-Isra’: 23; فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفّٖ وَلَا تَنۡهَرۡهُمَا, mafhum muwafaqah dari ayat tersebut adalah tidak boleh menyakiti orang tua karena hutang.
Contoh takhsis dengan mafhum mukhalafah adalah hadis nabi menurut riwayat Ibn Majah
الماء لايُنجِّسه إلاّ غلب ريحه وطمعه ولونه
(air itu tidak akan kena najis kecuali telah berubah baunya, rasanya dan warnanya)
Keumuman hadis ini mengandung arti bahwa air dalam jumlah ukuran berapapun tidak akan mengandung najis, selama belum terjadi perubahan dalam rasa, warna dan baunya. Keumuman hadis itu ditakhsis dengan mafhum mukhalafah dari hadis nabi yang juga diriwayatkan oleh Ibn Majah: إذا بلغ الماء قلذتين لم يَحْمِل الخبث (bila air itu dalam ukuran dua qullah ia tidak akan mengandung najis). Mafhum mukhalafah dari hadis ini adalah air yang tidak sampai dua qullah akan mengandung najis.

DAFTAR PUSTAKA
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Mahmud Yunus wadzuryah, 1989)
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II (Jakarta: Kencana, 2008)
Satria Efendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2008)
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Qahira: Dar al-Hadis, 2003)
Rachmat Syafe’i, Ilmu Uhsul Fiqih,(Bandung: Pustaka Setia, 2007)





[1] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Mahmud Yunus wadzuryah, 1989), h. 279
[2] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II (Jakarta: Kencana, 2008), h. 46
[3] Ibid
[4] Satria Efendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 69
[5] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Qahira: Dar al-Hadis, 2003), h. 172-173
[6] Rachmat Syafe’i, Ilmu Uhsul Fiqih,(Bandung: Pustaka Setia,2007), h. 194
[7] Abdul Wahhab Khallaf, op.cit, h. 171
[8] Ibid, h. 178
[9] Amir Syarifuddin, op.cit, h. 87
[10] Abdul Wahhab Khallaf, op.cit, h. 179
[11] Ibid, h. 179
[12] Ibid
[13] Ibid
[14] Ibid, h. 173
[15] Amir Syarifuddin, op.cit, h. 86
[16] Abdul Wahhab Khallaf, op.cit, h. 174
[17] Ibid, h. 175
[18] Amir Syarifuddin, op.cit, h. 94
[19] Ibid, h. 96
[20] Ibid, h. 98
[21] Ibid, h. 99
[22] Ibid, h. 100
[23] Ibid, h. 101
[24] Ibid, h. 104

Tidak ada komentar:

Posting Komentar