Islamisasi merupakan sebuah karkter dan identitas Islam sebagai
pandangan hidup (worldview) yang di dalamnya terdapat pandangan integral
terhadap konsep ilmu (epistemology) dan konsep Tuhan (theology).
Bahkan bukan hanya itu, Islam adalah agama yang memiliki pandangan yang
fundamental tentang Tuhan, kehidupan, manusia, alam semesta, dan lain
sebagainya. Oleh sebab itu, Islam adalah agama sekaligus peradaban.
Secara garis besarnya, makalah ini akan mencoba
untuk melihat konsep islamisasi pengetahuan dalam pandangan Syed Naquib
al-Attas dan Ismail R. al-Faruqi dari sisi-sisi yang meliputi latar belakang
munculnya gagasan islamisasi, mafhum islamisasi dan langkah-langkah yang
ditempuh dalam proses islamisasi.
B.
Pembahasan
1.
Latar Belakang Gagasan Islamisasi
Islamisasi Ilmu dikemukakan oleh Ismail Raji
al-Faruqi dari Temple University, Amerika Serikat (Al-Faruqi 1982). Gagasan ini menjadi proyek utama dari The
International Institut of Islamic Thought yang di pimpinnya. Usaha yang
dilakukan ke arah ini ialah dengan mengadakan seminar-seminar dan menerbitkan
jurnal dan buku-buku serta pemabngunan universitas. Tema ini diangkat karena
pandangan bahwa ilmu pengetahuan yang berkembang sekarang berasal dari
peradaban Barat sekuler. Ilmuan sosial Barat mengembangkan teori yang tidak
dapat dilepaskan dari perspektif budaya mereka.[1] Karena kebudayaan adalah suatu yang kompleks, mereka juga berbeda
pendapat satu sama lain dari segi tertentu sehingga menimbulkan berbagai
paradigm dan aliran.
Sedangkan alasan yang melatarbelakangi perlunya
Islamisasi dalam pandangan al-Faruqi adalah bahwa umat Islam saat ini berada
dalam keadaan yang lemah. Kemerosotan Muslim dewasa ini telah menjadikan Islam
berada pada zaman kemunduran. Kondisi yang demikian menyebabkan meluasnya
kebodohan. Di kalangan kaum Muslimin berkembang buta huruf, kebodohan, dan
tahayul. Akibatnya, umat Islam lari kepada keyakinan yang buta, bersandar
kepada literalisme dan legalisme, atau menyerahkan diri kepada
pemimpin-pemimpin atau tokoh-tokoh mereka. Dan meninggalkan dinamika ijtihad
sebagai suatu sumber kreativitas yang semestinya dipertahankan.
Zaman kemunduran umat Islam dalam berbagai bidang kehidupan telah
menempatkan umat Islam berada di anak tangga bangsa-bangsa terbawah. Dalam kondisi seperti ini masyarakat Muslim
melihat kemajuan Barat sebagai sesuatu yang mengagumkan. Hal ini menyebabkan
sebagian kaum Muslimin tergoda oleh kemajuan Barat dan berupaya melakukan
reformasi dengan jalan westernisasi. Ternyata jalan yang ditempuh melalui jalan
westernisasi telah menghancurkan umat Islam sendiri dari ajaran al-Qur’an dan
hadis. Sebab berbagai pandangan dari Barat, diterima umat Islam tanpa dibarengi
dengan adanya filter.[2]
Sadar terhadap bias budaya Barat, ilmuan Muslim berusaha mencari
alternatif. Alternatif tersebut adalah
perlunya pengembangan ilmu-ilmu sosial dalam perspektif Islam yang mana
dinamakan dengan gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Gagasan ini juga sebagai
usaha untuk memahami gejala yang timbul dalam masyarakat dengan bertitik tolak
dari pandangan atau kacamata ajaran Islam. [3]
Pendapat lain
mengatakan, bahwa munculnya gagasan "Islamisasi Ilmu Pengetahuan"
yaitu pada saat diselenggarakannya konfrensi dunia yang pertama tentang
pendidikan Muslim dimekkah pada tahun 1977, konfrensi tersebut diprakarsai dan
dilaksanakan oleh King Abdul Aziz dengan para sarjana dari 50 negara, guna
merumuskan dan merekomendasikan serta membenahi dan menyempurnakan sistem
pendidikan islam yang diselenggarakan oleh umat Islam diseluruh dunia. Salah
satu gagasan yang direkomendasikan adalah menyangkut Islamisi Ilmu Pengetahuan,
hal ini dilontarkan oleh Syed Muhammad Al-attas beliau adalah salah satu
pelopor Islamisasi Ilmu Pengetahuan .
2.
Pengertian Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Prof.
al-Attas menyatakan bahwa Islamisasi
Ilmu merupakan upaya untuk mengkaji unsur-unsur serta konsep-konsep pokok yang
membentuk kebudayaan dan peradaban Barat, khususnya dalam ilmu-ilmu kemanusian.
Termasuk di dalam unsur-unsur dan konsep-konsep ini adalah cara pandang
terhadap realitas yang dualistik, doktrin humanisme,dan tekanan kepada
penguasaan dan tragedi dalam kehidupan rohani. Konsep-konsep seperti ini tidak
sepenuhnya benar. Setelah melewati proses kedalam ilmu tersebut ditanamkan
unsur-unsur dan konsep-konsep pokok keislaman. Dengan demikian akan
terbentuklah ilmu yang benar yaitu ilmu yang sesuai dengan fitrah. Unsur-unsur
dan konsep-konsep keislaman yang dimaksud adalah insan, diin,ilmu, makrifah,
adil, amal, adab, dan sebagainya. Jadi Islamisasi Ilmu itu adalah pembebasan
ilmu dari pemahaman yang berazaskan kepada ideology makna serta ungkapan
sekuler.[4]
Secara umum, istilah Islamisasi
adalah membawa sesuatu ke dalam Islam,
atau membuatnya dan menjadikannya Islam. Definisi ini bukan berarti Islam tidak
bersifat universal, tapi lebih berarti bahwa di luar Islam ada berbagai macam
hal yang jauh dari nilai-nilai Islam. Dari sini justru istilah Islamisasi
merupakan gambaran universal sebagai langkah atau suatu usaha untuk memahamkan
sesuatu dengan kerangka Islam (Islamic framework) dengan memasukkan
suatu pemahaman Islam. Untuk itu, pemahaman atau sesuatu yang jauh dari nilai
Islam tersebut ketika masuk dalam wilayah Islam dibutuhkan adanya upaya yang
disebut sebagai Islamisasi.
Bagi al-Attas, pendefinisian Islamisasi Ilmu
lahir dari idenya terhadap Islamisasi sacara umum. Yaitu Islamisasi, menurut
al-Attas secara umum adalah pembebasan manusia dari tradisi magis (magical),
mitologis (mythology), animisme (animism), nasional-kultural (national
cultural tradition), dan paham sekuler (secularism). [5]
al-Attas juga memaknai Islamisasi sebagai suatu
proses. Meskipun manusia mempunyai komponen jasmani dan rohani sekaligus, namun
pembebasan itu lebih menunjuk pada rohaninya, sebab manusia yang demikianlah
manusia yang sejati yang semua tindakannya dilakukan dengan sadar penuh makna. al-Attas
men-sifatkan Islamisasi sebagai proses pembebasan atau memerdekakan sebab ia
melibatkan pembebasan roh manusia yang mempunyai pengaruh atas jasmaniyahnya
dan proses ini menimbulkan keharmonian dan kedamaian dalam dirinya sesuai
dengan fitrahnya (original nature).
Dari uraian di atas, maka, Islamisasi Ilmu
berarti pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada
ideologi sekuler, dan dari makna-makna serta ungkapan manusia-manusia sekuler. Dan dalam
pandangan al-Attas, setidaknya terdapat dua makna Islamisasi yaitu Islamisasi
pikiran dari pengaruh ekternal dan kedua Islamisasi pikiran dari dorongan
internal. Yang pertama pembebasan pikiran dari pengaruh magis (magical),
mitologis (mythology), animisme (animism), nasional-kultural (national
cultural tradition), dan paham sekuler (secularism). Sedangkan yang kedua adalah pembebasan jiwa manusia dari
sikap tunduk kepada keperluan jasmaninya yang condong mendzalimi dirinya
sendiri, sebab sifat jasmaniahnya lebih condong untuk lalai terhadap fitrahnya
sehingga mengganggu keharmonian dan kedamaian dalam dirinya yang pada
gilirannya menjadi jahil tentang tujuan asalnya. Jadi Islamisasi bukanlah satu
proses evolusi (a process of evolution) tetapi satu proses pengembalian
kepada fitrah (original nature).
Sedangkan menurut Ismail R. al-Faruqi, dalam
pendefinisian atau pengertian tentang Islamisasi Ilmu Pengetahuan, dia
menjelaskan bahwa pengertian dari Islamisasi Ilmu yaitu sebagai usaha untuk
memfokuskan kembali ilmu yaitu, untuk mendefinisikan kembali, menyusun ulang
data, memikir kembali argumen dan rasionalisasi yang berhubungan dengan data
itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, membentuk kembali tujuan dan
disiplin itu ditujukan memperkaya visi dan perjuangan Islam.
Menurut aI-Faruqi, Islamisasi Ilmu Pengetahuan
berarti mengislamkan ilmu pengetahuan modern dengan cara menyusun dan membangun
ulang sains sastra, dan sains-sains ilmu pasti dengan memberikan dasar dan
tujuan-tujuan yang konsisten dengan Islam. Setiap disiplin harus dituangkan
kembali sehingga mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, dalam
strateginya, dalam data-datanya dan problem-problemnya. Seluruh disiplin harus
dituangkan kembali sehingga mengungkapkan relevensi Islam yang bersumberkan
pada tauhid.
Dari mafhum Islamisasi Ilmu Pengetahuan menurut
al-Attas dan al-Faruqi di atas, maka terlihat bahwa jika al-Attas
mendefinisikan ilmu lebih ke arah subjeknya yaitu pada pembenahan umat Islam
sendiri yakni pembebasan manusia dari tradisi magis (magical), mitologis
(mythology), animisme (animism), nasional-kultural (national
cultural tradition), dan paham sekuler (secularism). Sedangkan
al-Faruqi mendefinisikan Islamisasi Ilmu Pengetahuan lebih kepada objek ilmu
itu sendiri. Yaitu dengan cara mendefinisikan kembali, menyusun ulang data,
memikir kembali argumen dan rasionalisasi yang berhubungan dengan data itu,
menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, membentuk kembali tujuan dan disiplin
itu ditujukan dalam rangka memperkaya visi dan perjuangan Islam.
Islamisasi Ilmu Pengetahuan itu sendiri berarti
melakukan aktifitas keilmuan seperti mengungkap, menghubungkan dan
menyebarluaskannya manurut sudut pandang ilmu terhadap alam kehidupan manusia.[6]
Islamisasi Ilmu Pengetahuan disini tidak hanya berarti seruan untuk
mewujudkan keserasian antara ilmu pengetahuan manusia dengan tuntunan agama,
pada tingkat praktek. Tapi yang dimaksud di sini adalah mengantisipasi semua
aktifitas keilmun manusia pada dua tingkat, teori dan praktek sekaligus, agar
kegiatan keilmuan tersebut terwujud dalam lingkup landasan iman dan terbentuk
sesuai dengan tuntunan dan persepsinya yang universal dengan meneladani
ilmu-ilmi lain.[7]
Ini artinya dengan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, umat Islam akan
terbebaskan dari belenggu hal-hal yang bertentangan dengan Islam, sehingga
timbul keharmonian dan kedamaian dalam dirinya, sesuai dengan fitrahnya
Untuk melakukan Islamisasi Ilmu Pengetahuan tersebut, menurut
al-Attas, perlu melibatkan dua proses yang saling berhubungan. Pertama
ialah melakukan proses pemisahan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang
membentuk kebudayaan dan peradaban Barat, dan kedua, memasukan
elemen-elemen Islam dan konsep-konsep kunci ke dalam setiap cabang ilmu
pengetahuan masa kini yang relevan. Jelasnya, “ilmu hendaknya diserapkan dengan
unsur-unsur dan konsep utama Islam setelah unsur-unsur dan konsep pokok
dikeluarkan dari setiap ranting.
Untuk memperjelas lagi bahwa kedua tokoh menjelaskan bahwa
islamisasi ilmu pengetahuan menurut:Al Faruqi: adalah menuangkan kembali
pengetahuan sebagaimana yang dikehendaki oleh Islam, yaitu dengan memberikan
definisi baru, mengatur data, mengefaluasi kembali kesimpulan-kesimpulan dan
memproyeksikan kembali tujuan-tujuannya. Sedangkan Al Attas menyatakan sebagai
proses pembebasan atau pemerdekaan. Sebab ia melibatkan pembebasan roh manusia
yang mempunyai pengaruh atas jasmaninya dan proses ini menimbulkan keharmonisan
dan kedamaian dalam dirinya, sebagai fitranya.
3.
Islamisasi
Sebagai Fenomena serta Pro dan Kontra
Islamisasi ilmu
ini menjadi perdebatan utama di kalangan para intelektual Islam semenjak tahun
1970 an. Walaupun ada sarjana muslim membicarakannya tetapi tidak secara
teperinci dan mendalam mengenai konsep dan kerangka pengislaman ilmu. Umpamanya
seperti, Syed Hussein Nasr, Fazlur Rahman, Jaafar Syeikh Idris.
Maka dapat
dikatakan bahwa gagasan islamisasi ilmu pengetahuan sebagai fenomena
modernitas, menarik untuk dicermati. Pada era dimana peradaban modern-sekuler
mencengkeram negeri-negeri Muslim dengan kukuhnya, pemunculan wacana Islamisasi
ilmu pengetahuan dapat dibaca sebagai sebuah “kontra-hegemoni” ataupun
“diskursus perlawanan”. Ia hadir untuk menunjukkan identitas sebuah peradaban
yang sekian lama diabaikan. Tapi, sebuah “kontra-hegemoni” ataupun “diskursus
perlawanan”, adakalanya memunculkan problema dan kontradiksinya sendiri. Itulah
yang ingin coba ditelusuri dalam tulisan ini.
Betapapun
diakui pentingnya transfer ilmu Barat ke dunia Islam, ilmu secara tak
terelakkan susungguhnya mengandung nilai-nilai yang merefleksikan pandangan
dunia masyarakat yang menghasilkannya, dalam hal ini masyarakat Barat. Bagi
Al-Attas, sebelum diajarkan lewat pendidikan, ilmu harus ditapis terlebih dulu
agar nilai-nilai yang bertentangan secara diametral dengan pandangan dunia
Islam dapat diminimalisasi. Secara ringkas, gagasan islamisasi merupakan upaya
dekonstruksi terhadap ilmu pengetahuan Barat untuk kemudian direkonstruksi ke
dalam sistem pengetahuan Islam.
Pihak pro maupun kontra-pun bermunculan.
Diantara tokoh yang mendukung “pro” terhadap proyek islamisasi tersebut antara
lain adalah Seyyed Hossein Nasr (1933), Ziauddin Sardar (1951) dan beberapa
tokoh lain yang menolak adanya westernisasi ilmu.[8]
Sedangkan pihak yang menentang “kontra” terhadap gagasan islamisasi ini yaitu
beberapa pemikir muslim kontemporer seperti Fazlur Rahman, Muhsin Mahdi, Abdus
Salam, Abdul Karim Soroush dan Bassam Tibi. Mereka bukan hanya menolak akan
tetapi juga mengkritik gagasan islamisasi ilmu pengetahuan. Sebagaimana Fazlur
Rahman, misalnya, dia berpendapat bahwa ilmu pengetahuan tidak bisa diislamkan
karena tidak ada yang salah di dalam ilmu pengetahuan. Masalahnya hanya dalam
penggunaannya. Menurut Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan memiliki dua kualitas.
Dia kemudian mencontohkan seperti halnya “senjata bermata dua” yang harus
digunakan dengan hati-hati dan bertanggung-jawab sekaligus sangat penting
menggunakannya secara benar ketika memperolehnya.[9]
Melihat dari pro kontra inilah kemudian
diskursus mengenai islamisasi menjadi sesuatu hal yang menarik, serta akan
menjadi sebuah ‘‘bentuk penilaian’’ bagi para pembaca khususnya
para akademisi muslim yang terlibat di dunia pemikiran, dalam melihat ide atau
gagasan islamisasi ini. Karena dengan memahami tentang konsep yang digagas oleh
Syed Muhammad Naquib al-Attas dan dipopulerkan oleh Ismail Raji al- Faruqi
tentang islamisasi ilmu pengetahuan.
4.
Langkah-langkah Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Untuk
merealisasikan Islamisasi Ilmu Pengetahuan maka International Institut of
Islamic Thought (IIIT) yang dipimpin oleh Ismail Raji Alfaruqi merencanakan
gagasan tersebut dalam berbagai langkah diantaranya.[10]
a) Menguasai
dan mahir dalam disiplin ilmu pengetahuan modern
Individu islam terutama sarjana yang beragama islam harus menguasai
ilmu pengetahuan modern yang berkembang saat ini, baik prinsip, konsep,
metodologi, masalah, dan tema.[11] Pengetahuan
modern yang diserap secara mentah oleh setiap individu islam akan mengaburkan
kembali tujuan gagasan islamisasi dalam ilmu pengetahuan. Karena ilmu modern
yang berkembang saat ini berada di tangan bangsa sekuler sehingga kita perlu
mengetahui prinsip konsep, metodologi, masalah, dan tema ilmu pengetahuan itu
mengajarkan kepada ketauhidan atau tidak. Bila mengajarkan kepada sekuler dan
atheis maka kita luruskan kembali karena ada benarnya sebuah pendapat yang
mengatakan ilmu pengetahuan itu bersifat universal. Maka disinilah tugas utama
seorang Muslim agar sadar yang walaupun pada saat sekarang “kita” masih
mengekor kepada ilmu Barat. Tidak ada salahnya melakukan seperti itu karena
saat ini islam dalam keadaan tidur belum menemukan teori dan ilmu baru dari
ilmu yang ada. Dalam perjalanannya pasti akan ditemukan teori baru yang
diciptakan oleh umat islam yang memilki konsep dan prinsip tauhid dan hal ini
sudah terbukti dengan bermunculannya ilmuwan islam saat ini.
b) Tinjauan disiplin Ilmu Pengetahuan
Langkah ini diupayakan untuk mengetahui disiplin ilmu pengetahuan
yang berkembang saat ini yang kemudian dikaji dalam bentuk karya ilmiah yang
menuliskan tentang asal-usul, perkembangannya dan metodologi, serta keluasan
cakrawala visi dan sumbangan pemikiran para tokoh utamanya.salah satu syarat
proses pengkajian ini adalah rujukannya harus bernilai yang berurutan dari buku
dan artikel primer.[12]
Sehingga secara tidak langsung akan ditemukan sumber asli ilmu pengetahuan
tersebut.
c) Menguasai Warisan Islam
Gagasan islamisasi Ilmu Pengatahuan menjadi kurang bermakna apabila
tidak dikaitkan masalah warisan islam yang menyumbangkan ilmu pengetahuan yang
sangat besar. Namun sumbangan intelektual Muslim tradisional tentang disiplin
ilmu pengetahuan modern tidak mudah didapat, dibaca, dan dipahami oleh seorang
intelektual Muslim saat ini alasannya.[13]
Pertama:
Ilmu pengetahuan modern tidak terdapat padanannya dalam khazanah intelektual
islam. Kedua: Para sarjana Muslim
terutama yang mendapatkan pendidikan Barat (sekuler) sering gagal memahami
khazanah warisan islam yang mengaanggap warisan islam tidak memiliki kekuatan
apapun terhadap disiplin ilmu yang dipelajarinya. Ketiga: Para sarjana Muslim tidak memiliki waktu atau
usaha untuk meneliti khazanah warisan islam yang amat kaya dan luas.
Sebaliknya para sarjana Muslim yang dididik secara tradisional
sebagai otoritas pemilik khazanah warisan islam tidak dapat memecahkan maupun
menetapkan keterkaitan warisan tersebut dengan disiplin ilmu pengetahuan
modern. Oleh karena itu perlu memperkenalkan ilmu-ilmu pengetahuan modern
kepada sarjana pewaris ilmu pengetahuan islam tradisional begitu pula
sebaliknya.yang selanjutnya warisan islam tersebut dianalisis berdasarkan latar
belakang sejarah dan kaitan antara masalah yang dibahas dengan berbagai bidang
kehidupan manusia secara jelas.
d) Penentuan Penyesuaian Islam Yang khusus
terhadap disiplin-disiplin Ilmu Pengetahuan
Dari ketiga langkah yang sudah disebutkan perlu ditekankan bahwa
disiplin ilmu pengetahuan modern beserta metodologi-metodologi dasar, prinsip,
masalah, tujuan dan harapan, kejayaan dan batasan-batasannya, semuanya harus
dikaitkan dan kepada warisan islam,[14]
serta disesuiakan dengan islam. Sehingga ada tiga pertanyaan dalam hal ini
yaitu: Apa yang telah disumbangkan islam mulai dari al-Qur’an hingga pendukung
modernitas atas permasalahan dalam ilmu pengetahuan , Seberapa besar sumbangan
itu jika dibandingkan dengan hasil-hasil yang dicapai oleh ilmu-ilmu
pengetahuan barat,Bagaimana usaha umat islam yang harus dijalankan dalam
mengisi kekurangan,merumuskan kembali permasalahan dan memperluas cakrawala
visi disiplin ilmu pengetahuan tersebut.
e) Penilaian Kritis Terhadap Disiplin Ilmu
Pengetahuan Modern
Hubungan
antara islam dan Ilmu Pengetahuan yang telah tegas akibat telah dikuasai,
ditinjau dan dianalisis sehingga perlu ada penilaian kritis yang merupakan
suatu langkah utama dalam Islamisasi Ilmu Pengetahuan agar disiplin yang
dihasilkan tidak ada kekurangan, , kemustahilan, sebaliknya harus ada
kesesuaian dengan ketetapan dasar dengan Rukun Islam yang Lima.[15]
f) Penilaian Kritis terhadap warisan Islam
Yang
dimaksud warisan islam disini adalah bukan Al-qur’an dan Sunnah melainkan karya
manusia yang berdasrkan kedua sumber tersebut.Hal ini disebabkan karya manusia
ini tidak lagi memainkan peran yang dinamis dalam kehidupan umat islam saat
ini. Hal ini perlu kaji secara kritis agar warisan tersebut tetap eksis bukan
diselewengkan.
g) Kajian Masalah Utama Umat Islam
Umat islam
pada saat sekarang mengahadapi berbagai masalah baik dari segi politik, sosial,
ekonomi, intelektual, kebudayaan, moral, dan spiritual. Hal ini memerlukan
perenungan dan langkah yang nyata untuk keluar dari semua permasalahan tersebut
sehingga diperlukan kajian yang serius dan mendalam. Agar solusi permasalahan
tersebut dapat diketahui sehingga jalan untuk melaksanakan gagasan islamisasi
Ilmu Pengetahuan dapat terwujud.
h) Melakukan
Analisis Kreatif Dan Sintesis
Setelah
memahami, menguasai disiplin ilmu-ilmu pengetahuan modern dan ilmu-ilmu
pengetahuan islam tradisional, menilai kekuatan dan kelemahan keduanya,
menetukan kaitan islam dengan bidang-bidang pemikiran ilmiah tertentu pada
disiplin ilmu –ilmu pengetahuan modern; memastikan dan memahami masalah secara
komferhensif yang dihadapi oleh umat manusia dari sudut pandang islam di mana
kaum Muslimin diperintahkan untuk menjadi syuhada ‘ala al-nas dalam
sejarah umat manusia, kini tiba saatnya untuk membentuk sebuah lompatan yang
kreatif yang bernafaskan islam yaitu suatu metodologi baru harus dicetuskan
untuk mengembalikan supremasi islam di dunia sebagai pendongkrak dan penyelamat
peradaban manusia. Jurang pemisah antara ilmu-ilmu islam tradisional dengan
ilmu-ilmu pengetahuan modern dapat dijembatani dengan sebuah sintesa kreatif
antarkeduanya. Warisan-warisan islam harus berkesinambungan dengan pencapaian
ilmu-ilmu modern dan harus menggerakan batasan ilmu pengetahuan ke arah
cakrawala lebih jauh dari apa yang telah digambarkan oleh disiplin ilmu-ilmu
pengetahuan modern.
i)
Membentuk kembali disiplin ilmu modern dalam
kerangka kerja islam dengan menulis kembali Buku teks agar visi-visi baru
tentang pengertian islam serta pilihan-pilihan kreatif sebagai realisasi
gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Karena gagasan dengan sebuah buku teks
meskipun berkualitas tidak akan mungkin terlaksana sehingga dibutuhkan sejumlah
buku-buku teks agar kebutuhan dasar kaum Muslimin akan intelektualitas dapat
terpenuhi. Secara tidak langsung ilmuwan Muslim dituntut untuk selalu
menghasilkan teori dan ide baru tengang ilmu pengetahuan yang berbasis islam.
j) Pendistribusian Ilmu Yang telah di Islamkan
Akan
menjadi sia-sia jika sebuah ilmu hanya disimpan sebatas koleksi pribadi, lebih
malang lagi jika ilmu itu hanya diketahui oleh kalangan tertentu saja, atau
hanya digunkan dilingkungan pendidikan atau negeri mereka saja. Apapun yang
dihasilkan oleh ilmuwan Muslim untuk mendapatkan keridhoan Allah merupakan
milik seluruh umat islam. Meskipun akan mendapat royalti tetapi tidak
sewajarnya dihakciptakan atau dimonopoli oleh suatu golongan untuk mendapat
sebuah keuntungan.oleh karena itu hasil karya tersebut harus terbuka untuk
umum. Semua itu untuk membangkitkan, memberi petunjuk dan memperkayakan umat
islam serta untuk menyebarkan visi islam. Hasil kerangka kerja Islam tersebut
harus diberikan secara resmi kepada pusat-pusat pendidikan tinggi dunia islam dengan
pertimbangan menjadi bacaan wajib.[16]
Sedangkan dalam pandangan al-Faruqi berkenaan
dengan langkah-langkah dalam islamisasi ilmu pengetahuan, dia mengemukakan ide
islamisasi ilmunya berlandaskan pada esensi tauhid yang memiliki makna bahwa
ilmu pengetahuan harus mempunyai kebenarannya. Al-Faruqi menggariskan beberapa prinsip
dalam pandangan Islam sebagai kerangka pemikiran metodologi dan cara hidup
Islam. Prinsip-prinsip tersebut ialah:
a. Keesaan Allah.
b. Kesatuan alam semesta.
c.
Kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan
5.
Pentingnya Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Islamisasi ilmu
pengetahuan sangat penting pada banyak tingkat. Tingkat-tingkat tersebut bias
disimpulkan pada empat bidang pokok, yaitu sebagai berikut:[17]
a.
Kepentingan
Akidah
Kita bisa
melihat adanya proses saling mempengaruhi antara aqidah dan Ilmu Pengetahuan
didalam pandangan Islam, sebagai suatu hal yang menguatkan betapa pentingnya
ilmu pengetahuan tersebut terbentuk dalam kerangka Islam. Islam sebagaimana
telah dikatakan, menuntut bahkan memerintahkan agar diadakan kegiatan keilmuan.
Sementara kegiatan yang dipacu oleh motivasi iman ini pada giliranya akan
memperkuat pandangan Islam, menyinari dengan nilai-nilai keilmuan, serta
menopangnya dengan berbagai sarana penguat, pembuktian, penyebarluasan dan
penyentuhanya dengan alam, artinya, “ Islamisasi Ilmu Pengetahuan” adalah suatu
kepentigan akaidah yang mempunyai orientasi pokok yaitu membantu umat Islam
diseluruh dunia untuk lebih faham dan mengerti tentang tatanan agama yang
mereka anut. Dengan demikian akan bertambah keyakinan mereka akan kebenaran
Islam dalam membimbing kehidupan manusia sesuai dengan konsep ilmu pengetahuan.
Jadi Aqidah
Islam menjadi basis dari segala ilmu pengetahuan. Aqidah Islam yang terwujud
dalam apa-apa yang ada dalam al-Qur`an dan al-Hadis menjadi kaidah
fikriyah(landasan pemikiran), yaitu suatu asas yang diatasnya dibangun seluruh
bangunan pemikiran yaitu suatu asas yang diatasnya dibangun seluruh bangunan
pemikiran dan ilmu pengetahuan manusia.[18]
b.
Kepentingan
Kemanusiaan
Ini konsekuensi
logis dari uraian sebelumnya . Bila aqidah bertujuan untuk membina insan yang
beriman, berfikir, seimbang dan bahagia, maka aktifitas keilmuan yang di
kontrol oleh pandangan iman tampil sebagai pembantu bagi terwujudnya tujuan di
atas. Kita biasa menggambarkan nilai yang hakiki dari aktifitas seperti ini
hanya dengan mengingatkan apa yang diperbuat olah aktifitas keilmuan yang tidak
berlandaskan agama terhadap manusia.
Berbeda dengan ilmu pengetahuan yang tidak
agamis, maka ilmu pengetahuan yang Islami selalu berusaha untuk memberikan
manfaat kepada seluruh umat manusia. Sesunguhnya manusia, mutlak manusia,
dialah yang pada akhirnya memetik faedah dari ilmu pengetahuan yang Islami.
Sebaliknya puluhan umat, bangsa dan kaum yang belum meningalkan ilmu
pengetahuan yang tidak agamis padahal seharusnya buah ilmu pengetahuan tersebut
berhasil guna pada orang, malah mengarahkan hasil temuanya untuk menciptakan
alat pembunuh masal guna menghancurkan, memperbudak atau menguasai orang lain.
- Kepentingan
Peradaban
Dengan
Islamisasi ilmu pengetahuan, umat islam baik hari ini, maupun esok, bisa
melewati satu dari dua hal. Boleh jadi umat Islam membaur dengan yangn lain,
tapi ia tetap memiliki identitas khusus, atau menghindar sama sekali tanpa
menggunakan kemajuan mereka.
Di sini, ketika
umat islam berkesempatan untuk melakukan aktivitasnya dalam lingkaran keimanan,
mereka akan tahu bagaimana mengambil api suci dari orang lain. Api tersebut
bukan digunakan untuk membakar dunia, atau menghancurkan dirinya sendiri. Tapi
digunakan untuk membina unsur-unsur ilmu pengetahuan yang diatur menurut
tuntunan iman. Bahkan dilanjutkan untuk mengembalikan perananya yang
terlupakan, yaitu untuk merehabilitasi alam dengan ilmu pengetahuan yang
disinari iman dan bersandarkan pada petunjuk Allah s.w.t.
d.
Kepentingan Ilmiah
Kegiatan ilmiah
biasanya sering dilakukan karena keinginan seseorang untuk menciptakan suatu
penemuan dan keunggulan. Bila lingkup analisa lebih diperluas kearah berbagai
kelompok, maka aktifitas ilmiah biasanya dijadikan sarana untuk mewujudkan
pertumbuhan ekonomi, pembangunan strategis, semua itu adalah motivasi yang bisa
saja dijadikan alasan khusus bahwa ia terbukti mampu memacu pergerakan ilmiah
ke arah berbagai cakrawala yang belum pernah terlintas di dalam benak manusia,
dan telah menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang mengagumkan
serta mewujudkan keunggulan di berbegai bidang.
C. Penutup
Berdasarkan
pada uraian yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
islamisasi ilmu pengetahuan adalah upaya yang dilakuan seseorang untuk
mengkaji, memahami sesuatu yang mengkaitkannya kepada ajaran islam, Islam
adalah agama yang bersifat universal.
Islamisasi
Ilmu Pengetahuan disini tidak hanya berarti seruan untuk mewujudkan keserasian
antara ilmu pengetahuan manusia dengan tuntunan agama, pada tingkat praktek.
Tapi yang dimaksud di sini adalah mengantisipasi semua aktifitas keilmun
manusia pada dua tingkat, teori dan praktek sekaligus, agar kegiatan keilmuan
tersebut terwujud dalam lingkup landasan iman dan terbentuk sesuai dengan
tuntunan dan persepsinya yang universal dengan meneladani ilmu-ilmi lain.
DAFTAR
PUSTAKA
Bustanidin Agus, Islamiasi Ilmu-Ilmu Sosial,
(Padang, Laboratorium Sosiologi FISIP Unand, 2005)
_______________, Ilmu Sosial Dalam Perspektif
Islam,(Padang, AngkasaRaya,2003)
Hermawati , Sosiologi Islam, (Jakarta: Yayasan Nuansa
Madani, 2000)
Imaduddin Kalil, Pengantar Islamisasi Ilmu Pengetahuan Dan
Sejarah, (Jakarta: Media Dakwah, 1994),
International Instiutut of Islamic Thought, Islamisasi
Ilmu Pengetahuan, Terjemhan (Jakarta: Lontar Utama,2000)
Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of
Knowledge (Virginia: International Institute of Islamic Thought, 1989)
Nadwi, Abul Hasan Ali., Islam dan Dunia,
(Bandung : Angkasa,2008)
2.bp.blogspot.com diunduh tanggal 23 maret
2011
Taqiyuddin An-Nabhami, Nizham
al-Islam,tanpa tempat penerbit;Hizbut Tahrir,2001
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/ diunduh
tanggal 23 maret 2011
[1]
. Bustanidin Agus, Islamiasi Ilmu-Ilmu Sosial, (Padang, Laboratorium
Sosiologi FISIP Unand, 2005)h. 86
[2]
Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge
(Virginia: International Institute of Islamic Thought, 1989).h.40
[3]
. Bustanidin Agus, Ibid. h. 86
[4].
Hermawati , Sosiologi Islam,
(Jakarta: Yayasan Nuansa Madani, 2000), h.89-90
[5]
International Instiutut of
Islamic Thought, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Terjemhan (Jakarta: Lontar
Utama,2000)h. 81
[6]
. Imaduddin Kalil, Pengantar Islamisasi Ilmu Pengetahuan Dan Sejarah, (Jakarta:
Media Dakwah, 1994), h. 4
[7]
. Ibid. h. 7
[8]
.Seyyed Hossein Nasr menolak sains Barat modern dan
mengusulkan scientia sacra sebagai alternatif dalam karyanya Knowledge
and the Sacred (Pakistan: Suhail Academy Lahore, 1988). Sedangkan Ziauddin
Sardar dan teman-temannya membentuk Gagasan Idjamali (Idjmali Idea).
Lihat dalam bukunya Adnin Armas, Krisis Epistemologi dan Islamisasi Ilmu (ISID
Gontor: Center for Islamic & Occidental Studis, 2007), p. 10
[9]
. Dikutip dari Adnin Armas, Krisis Epistemologi dan
Islamisasi Ilmu, p. 18
[10]
. IIIT, Islamisasi Ilmu
Pengetahuan, (Jakarta: Lontar Utama, 2000), cet ke-1, hlm. 75-91
[11].
Ibid
[12]
.Ibid.76
[14]
. Ibid, h.79
[15]
. Ibid, h.81
[16]
.Ibid.h.88
[17]
Imaduddin Khalil,Op.cit,.hlm.8-15
[18]
An-Nabhami, Taqiyuddin, Nizham al-Islam,tanpa tempat penerbit;Hizbut
Tahrir,2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar