Akal merupakan salah satu
anugrah Allah SWT yang paling istimewa bagi manusia. Sudah sifat bagi akal
manusia yang selalu ingin tahu terhadap segala sesuatu termasuk dirinya
sendiri. Pengetahuan yang dimiliki manusia bukan di bawah sejak lahir
karena manusia ketika dilahirkan belum mengetahui apa-apa.
Dua sumber pengetahuan yang di
peroleh manusia, yaitu pengetahuan yang di peroleh melalui wahyu dan
pengetahuan yang di peroleh melalui panca indra. Demikian halnya Ibnu
Miskawaih seorang anak manusia yang tumbuh berkembang seperti manusia
lainnya, mencari kebenaran baik melalui penelitian dan pelatihan untuk
mendapatkan berbagai pengalaman dan dari pengalaman ia terinspirasi untuk
mengkaji lebih dalam tentang segala sesuatu yang berkaitan tentang kehidupan
manusia, baik menyangkut kehidupan manusia dan alam sekitarnya. Sehingga Ibnu
Miskawaih tumbuh menjadi seorang filosop Muslim yang termaktub dalam
sejarah pemikiran islam. Ia memiliki tempat dalam sejarah pemikiran Dunia. Seperti
filosof-filosof Islam lain, ia merasa perlu untuk mengusahakan pemaduan antara
apa yang telah di kenal dalam filsafat Yunani dan apa di ajarkan dalam Islam. Untuk
itu ia telah mencurahkan segala tenaganya untuk memadukan antara pemikiran Yunani
dan pemikiran Ajaran Islam.
B.PEMBAHASAN
A. Riwayat hidup dan Karyanya
Nama lengkap dari Ibnu Miskawaih adalah
Abu Ali Ahmad ibnu Muhammad ibnu Ya’kub Ibnu Miskawaih. Ibnu Miskawaih dilahirkan
di kota Rayy Iran pada Tahun 330 H/ 941
M dan wafat di Afganistan pada tanggal 9
shafar 421 H /16 Februari 1030 m. [1]
Sebelum menganut agama Islam Ibnu
Miskawaih menganut agama Majusi dan setelah ia menjadi penganut agama Islam
ia merupakan seorang sarjana yang taat dan mendalam pengetahuan keislamannya.
Ibnu Miskawaih
adalah seorang penganut Syi’ah kaena sebagian besar umurnya dihabiskan dalam
mengabdi pada mentri Syi’ah pada zaman pemerintahan Bani Buwaih yang di mulai
pada tahun 320 H sampai dengan tahun 448 H.
Pada zaman Raja ‘Adhudidaulah , Ibnu
Miskawaih mandapat kepercayaan besar dari raja kerena diangkat sebagai penjaga (khazim) perpustakaannya yang
besar di samping itu dia juga sebagai penyimpan rahasianya dan utusannya ke
pihak-pihak yang di perlukan .[2]
Saat berada pada pemerintahan Bani
Buwaih Ibnu Miskawaih sangat gemar memajukan ilmu pengetahuan, dan
beliau suka meniru apa yang dilakukan khalifah Abbasyiah pada zaman keemasan
karena itu ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat dikawasannya.
Demikianklah situasi zaman dimana Ibnu
Miskawaih menghabiskan sebagian besar umurnya, sehingga ia mampu
memanfaatkan keadaan itu untuk memperkaya diri dengan berbagai ilmu pengetahuan
.
Ibnu Miskawaih
adalah seorang ahli filsafat Islam termasuk yang pertama yang membicarakan
akhlak, tidak ada yang mengetahui keturunannya dan pendidikannya yang pertama.
Ia dikenal dalam dunia filsafat sudah sebagai seorang yang pandai dan namanya
sudah menjadi buah bibir dari para pengarang Islam. Disamping itu ia juga
dikenal sebagai penyair yang masyhur, tabib, ahli sejarah dan ahli kimia.[3]
B. Karya Tulisnya
Ibnu Miskawaih
tidak hanya di kenal sebagai pemikir (filosof) tetapi dia juga seorang penulis
yang produktif. Adapun diantara lain hasil karya tulisnya sebagai berikut:
1. Al-Fauz al-Akbar
2. Al-Fauz al-Asghar
3. Tajarib al-Umam (Sebuah
sejarah tentang banjir besar yang ditulisnya pada tahun 369 H/979 M.)
4. Uns al-Farid (Koleksi
anekdot, sya’ir, pribahasa, dan kata-kata hikmah).
5. Tartib al-Sa’adat (akhlak
dan politik).
6. Al-Mustaufa (sya’ir-sy’ir
pilihan)
7. Jawidan Khairad (koleksi
ungkapan bijak)
8. Al-Jami’
9. Al-Siyab
10. On the Simple Dreugs (kedokteran)
11. On the Compisiton of the Bajats (Seni
memasak).
12. Kitab al-Ashribah
(tentang inuman).
13. Tahzib al-Akhlaq (akhlak)
14. Risalat fi al-Lazzat wa al-Alam fi
Jauhir al-Nafs
15. Ajwibat wa As’ilat fi al-Nafs wa al-‘Aql
16. Al-Jawab fi al-Masail al-Salas
17. Risalat fi Jawab fi Sau’al Ali Ibn
Muhammad abu Hayyan al-Shufi fi haqiqat al-‘Aql
Menurut
Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, bahwa semua karya Ibn
Miskawaih tidak luput dari kepentingan
filsafat dan akhlak. Sehubungan dengan itu Ibnu Miskawaih dikenal
sebagai moralis.[5]
C. Pemikiran Ibnu Miskawaih Dalam
Bidang Filsafat
Adapun pemikiran-pemikiran Ibnu
Miskawaih sebagai berikut:
1. Filsafat Jiwa
(al-nafs)
Ibnu Miskawaih
menyatakan bahwa jiwa(al-nafs) itu mempunyai wujud tersendiri pada manusia,
ia merupakan sesuatu yang pelik (jauhar) dan yang sangat sederhana yang tak
dapat dirasakan oleh salah satu pancaindra.[6]
Jiwa adalah jauhar rohani yang tidak
hancur dengan sebab kematian jasad, ia adalah kesatuan yang tidak terbagi-bagi.
Ia akan hidup selalu ia tidak dapat diraba dengan panca indra karena ia bukan
jisim dan bukan bagian dari jisim.
Menurut Ibnu Miskawaih jiwa mempunyai
sifat mengetahui, bahkan ia mengetahui bahwa ia bekerja meskipun ia tidak
merupakan benda yang nyata atau jisim. Jiwa dapat menerima gambaran berbagai
hal yang bertentangan antara satu sama lain misalnya menangkap warna putih dan
warna hitam, sedangkan sesuatu jisim dalam waktu yang bersamaan tak dapat
menerima warna-warna itu sekaligus, kecuali hitam saja atau putih saja.
Ibnu Miskawaih
menyatakan bahwa jiwa itu bukan Tuhan dan bukan sifat, jiwa adalah jauhar yang
hidup kekal tidak menerima mati atau binasa. Ia dapat mengetahui alam yang
nyata atau ghaib dan segala yang dapat dipikirkan dan ditangkap oleh
pancaindara. Jiwa mempunyai kemampuan yang luas di bandingkan dengan jisim
bahkan alam perasaan seluruhnya tidak
akan memberikan kepuasan baginya. Disamping itu jiwa mempunyai ma’rifat akal
yang tidak mungkin menjadi sifat baginya dengan jalan perasaan, karna ma’rifat
inilah jiwa mempunyai kesanggupan membedakan mana yang baik dan mana yang
salah, mengenal apa yang disampaikan kepadanya oleh berbagai panca indra.[7]
Lebih jauh Ibnu Miskawaih menerangkan
bahwa jiwa itu dapat menerima gambaran hal-hal yang dapat dirasakan dan hal-hal
yang dapat dipikirkan bersama-sama.
Ibnu Miskawaih
mematahkan pandangan kaum materialis yang meniadakan jiwa bagi manusia, Ibnu
Miskawaih dapat membuktikan adanya jiwa pada diri manusia dengan argumen seperti
di atas. Jiwa tidak dapat bermateri sekalipun ia bertempat dimateri karena
materi hanya menerima satu bentuk dalam waktu tertentu.
Sesunguhnya pengetahuan jiwa dan
pengetahuan pancaindra berbeda, pancaindra tidak dapat menangkap selain apa
yang dapat diraba atau diindra. Sedangkan jiwa dapat menangkap apa yang dapat
ditangkap pancaindra yakni apa yang dapat diraba dan juga yang tidak dapat
diraba.[8]
Jiwa mempunyai tiga kekuatan di dalam
diri manusia, yaitu;
a. Kekuatan untuk berfikir, (An-
Nafsun-Nathiqah) jiwa yang berfikir, ini mendorong untuk memahami
dan membedakan sesuatu.
b. Kekuatan untuk marah, (An-Nufus-Sabu’iyah/Ghodabiyah) jiwa yang ganas, ini mendorong
untuk berlaku berani, rindu, dan sebagainya.
c. Kekuatan yang menimbulkan syahwat, (An-Nafsul
Bahimiyah) jiwa yang bebal. Ini mendorong untuk makan, minum, dan
kelezatan-kelezatan fisik lainnya.
Dari masing-masing tiga
macam kekuatan jiwa tersebut lahir sifat sewaktu gerak aktivitasnya normal
(mu'tadilah), serasi dan seimbang. Bila gerakan jiwa
Nathiqah normal, tidak menyimpang
dan hakikatnya, dan kecenderungannya kepada ilmu pengetahuan yang benar
lahirlah sifat al-'Ilmu lalu al-Hikmah. Bilamana gerak jiwa Bahimiyah serasi seimbang, dibawah kontrol daya jiwa
Nathiqah/agliyah, patuh kepadanya,
tidak hanyut mengikuti hawa nafsu lahirlah sifat 'iffah (kebersihan
diri) lalu As Sakhaa'u (kedermawanan). Bila gerak daya jiwa Ghodabiyah
serasi seimbang, patuh kepada petunjuk jiwa aqliyah, tidak bergejolak
diluar batas, terjadilah sifat al-Hilmu (kesantunan) lalu disusul sifat as
Saja'ah (keberanian).
Dan tiga macam sifat (al-hikmah,
al 'Iffah dan as saja'ah) di dalam keseimbangan dan keserasian satu sama
lain lahirlah al adlaalah. Dengan demikian, maka para hukama (failosof)
bersepakat menetapkan bahwa jenis sifat empat yaitu: al-Hikmah, al-'Iffah,
as-Saja'ah dan al Adlaalah. Adapun lawannya empat pula yaitu al Jahl
(bodoh), as Syarh (rakus) al Jubn (takut) dan Al Jaur (kelaliman). Al
Hikmah (kebijakan) ialah sifat sifat utama dari jiwa natigah, jiwa pikir kritis
analitis (Annatiqah almumayyizah) untuk mengetahui (mengenali) segala yang ada
karena keberadaannya, atau untuk mengetahui hal ihwal ketuhanan dan hal ihwal
kemanusiaan.
Dengan demikian
pengetahuan membuahkan pengenalan tentang al ma'qulat (pengertian-pengertian
tentang hal yang abstrak/yang metafisis) secara kritis analitis, mana yang
benar dipegangi, mana yang salah dibuangnya.
Al-Iffah (kesucian diri)
sifat utama pada pengindraan nafsu syahwat al Hissussyahwani. Sifat utama ini
nampak pada waktu seseorang mengendalikan nafsunya (setelah responsi indra
terhadap suatu stimulus) dengan pertimbangannya yang sehat sehingga dia tidak
tunduk pada nafsunya itu, dia bebas dari perbudakan hawa nafsunya.
As-Saja'ah (keberanian) adalah sifat utama pada jiwa ghodlabiyah. Sifat ini nampak pada manusia ketika jiwa ghodlabiyah itu dikendalikan oleh sifat utama al-Hikmah dan dipergunakan sesuai dengan akal pikiran untuk menghadapi masalah-masalah yang punya resiko, umpamanya tidak gentar menghadapi perkara-perkara yang menakutkan.
As-Saja'ah (keberanian) adalah sifat utama pada jiwa ghodlabiyah. Sifat ini nampak pada manusia ketika jiwa ghodlabiyah itu dikendalikan oleh sifat utama al-Hikmah dan dipergunakan sesuai dengan akal pikiran untuk menghadapi masalah-masalah yang punya resiko, umpamanya tidak gentar menghadapi perkara-perkara yang menakutkan.
Ibn Miskawaih
juga menjelaskan tentang sifat-sifat yang utama. Sifat-sifat ini menurutnya
erat kaitannya dengan jiwa. Jiwa memiliki tiga daya: daya berpikir, daya
marah dan daya keinginan.
Sifat hikmah adalah sifat utama bagi
jiwa berpikir yang lahir dari ilmu. Berani adalah sifat utama bagi jiwa marah,
yang timbul dari sifat hilm (menahan diri). Sedangkan murah adalah sifat
utama bagi jiwa keinginan, yang lahir dari iffah (memelihara kehormatan
diri), dengan demikian tiga sifat utama, yakni hikmah, berani, dan murah.
Apabila ketiga sifat utama ini serasi, maka muncul yang keempat, yakni adil.
Adapun lawan dari sifat utama ini adalah bodoh, rakus, penakut, dan zalim.[9]
Menyangkut balasan di akhirat Ibn
Miskawaih mengatakan bahwa jiwalah yang akan menerima balasan (kebahagian dan
kesengsaraan) di akhirat. Karena menurutnya kelezatan jasmaniah bukanlah
kelesatan yang sebenarnya.
2. Filsafat
Akhlak
Ibnu Miskawaih
adalah seorang moralis yang sangat terkenal. Keistimewaan yang sangat menarik
dalam kajiannya ialah pembahasannya yang didasarkan kepada al-Qur’an dan
hadits. Namun bukan berarti ia tidak memakai sumber lain seperti filsafat
Yunani kuno dan pemikiran Persia. Ibnu Miskawaih tetap merujuk kepada
filsafat Yunani dan pemikiran-pemikiran Persia, akan tetapi hanya sebatas yang
sesuai dengan ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan hadits. Apabila terjadi pertentangan
dengan prinsip dasar al-Qur’an dan
hadits ia tidak mengambilnya. Jadi filsafat Yunani dan pemikiran Persia hanya
dijadikannya sebagai pelengkap dan penyempurna saja[10].
Kata “akhlak” adalah jamak dari kata
“khuluq”. Khuluq ialah peri keadaan jiwa yang mendorong untuk melakukan
perbuatan-perbuatan tanpa dipikirkan dan diperhitungkan. Dalam konsepsi Ibn
Maskawaih akhlah adalah “suatu sikap mental (halun lin nafs) yang
mendorongnya untuk berbuat, tanpa pikir dan pertimbangkan”. Keadaan atau sikap
jiwa ini terbagi kepada dua yaitu ada yang berasal dari watak (tempramen) dan
ada yang berasal dari kebiasaan dan latihan.[11]
Dengan kata lain khuluq adalah
peri keadaan jiwa yang mendorong timbulnya perbuatan secara spontanitas.
Keadaan jiwa ini itu merupakan fitrah sejak lahir dan dapat merupakan hasil
latihan-latihan membiasakan diri.[12]
Ibn Miskawaih
menolak pendapat sebagian pemikir Yunani yang menyatakan bahwa akhlak itu tidak
dapat berubah karena ia berasal dari watak atau pembawaan. Baginya akhlak iti
dapat selalu berubah dengan kebiasaan dan latihan serta pelajaran yang baik,
karena kebanyakan anak yang hidup dan dididik dengan cara tertentu dalam
masyarakat ternyata mereka berbeda secara menyolok dalam menerima nilai-nilai
akhlak yang luhur. Manusia dapat di perbaiki akhlaknya dengan menghilangkan
dari sifat tercela dan di sinilah terletak tujuan pokok dari agama, yakni mengajar
sejumlah nilai-nilai akhlak mulia agar mereka menjadi baik dan bahagia dengan
melatih diri dan menghayatinya. Untuk mengetahui dasar-dasar akhlak Ibn
Miskawaih memberi beberapa prinsip yaitu:
-
Tujuan
ilmu akhlak adalah membawa manusia kepada kesempurnaan. Berbeda dengan hewan
dan tumbuhan, kesempurnaan manusia terletak pada pemikiran dan perbuatan, yakni
kesempurnaan ilmu dan kesempurnaan amal.
-
Kelezatan
indrawi hanya sesuai dengan hewan tidak dengan manusia. Bagi manusia kelezatan
akal adalah yang lebih sesuai dengan martabatnya.
-
Anak-anak
harus di didik dengan akhlak mulia, disesuaikan dengan rencananya dengan urutan
daya-daya yang mula lahir padanya. Jadi
yang di mulai dengan jiwa keinginan lalu jiwa marah dan akhirnya jiwa berpikir.
Dari pengertian akhlak yang
dikemukakan oleh Ibn Miskawaih tersebut, bisa dipahami bahwa akhlak
sifatnya adalah spontanitas. Respon yang langsung diberikan seseorang terhadap
sesuatu, maka itu mencerminkan keperibadian (akhlaknya). Apabila respon atau
tindakan yang diberikan terhadap sesuatu telah didasari pemikiran atau
pertimbangan berarti itu bukanlah kepribadian sesungguhnya.
Dari pernyataan di atas juga bisa
dipahami, bahwa secara tidak langsung Ibn Miskawaih menolak pendapat
yang menyatakan bahwa akhlak tidak bisa berubah. Dalam konsep Ibn Miskawaih
akhlak tercela bisa berubah menjadi akhlak mulia melalui pendidikan dan
latihan-latihan. Pemikiran seperti ini jelas sejalan dengan ajaran Islam. Pada
hakikatnya ajaran syari’at Islam
mengarahkan manusia kepada
perubahan akhlak, dari akhlak tercela kepada akhlak yng terpuji. Bahkan Nabi
Muhammad sendiri menjelaskan bahwa misi penting diutusnya beliau ke dunia ini
adalah untuk memperbaiki akhlak manusia. Mustahil akhlak manusia tidak dapat
berubah, sedangkan naluri binatang saja bisa berubah dari galak menjadi
bersahabat, dari liar menjadi jinak dan sebagainya. Tegasnya bagi Ibn Miskawaih
tujuan agama ialah untuk mengarahkan akhlak manusia ke arah akhlak yang mulia.
Tentang masalah baik dan buruk, Ibn
Miskawaih mengatakan, bahwa kebaikan
itu ada dalam objek, namun kebaikan yang dalam objek itu dipandang oleh
manusia dengan kaca mata yang berbeda-beda (bersifat relatif). Karena berlainan
sisi pandang maka kebaikan itu menjadi banyak sebanyak cara orang yang memandangnya.
Ada yang mengatakan kebaikan itu
terbagi tiga macam, yaitu: sesuatu yang mulia, sesuatu yang terpuji, dan
sesuatu yang bermanfaat. Sesuatu yang mulia itu dimuliakan karena zatnya,
karena itu orang yang memangkunya akan mulia pula, karena zat kemuliaan melekat
pada dirinya. Sesuatu yang terpuji dianggap baik karena ia muncul dari yang
baik. Demikian juga sesuatu yang memberi manfaat dianggap baik karena ia
menyampaikan kepada kebaikan. Demikian salah satu pandangan tentang kebaikan.
Ada pun kebahagiaan dapat dirasakan oleh
kedua unsur yang ada pada manusia, yaitu jasad dan roh. Kebahagiaan yang
dirasakan oleh jasad bersifat material sedangkan kebahagian yang dirasakan oleh
roh adalah bersifat spiritual. Kebahagian yang bersifat material selalu
diimbangi oleh kepayahan dan kepedihan, tetapi kebahagiaan spiritual lebih
sempurna dan lebih kekal nikmatnya. Ia dapat dicapai bila kebahagiaan material
dapat dilepaskan secara berangsur. Bila
kebahagian material telah dilepaskan dapatlah orang meningkat naik menuju
kesempurnaan sejati.
Ibn Miskwaih membedakan
kebaikan dan kebahagian. Kebaikan menjadi tujuan semua orang, kebaikan umumnya
bagi seluruh manusia dalam kedudukan sebagai manusia. Sedangkan kebahagian
adalah kebaikan bagi seseorang yang tidak bersifat umum, tetapi bergantung
orang perorang. Dengan demikian kebaikan mempunyai identitas tertentu,
sedangkan kebahagian berbeda-beda bergantung kepada orang-orang yang berusaha
memperolehnya.
Menurut Ibn Miskwaih akhlak itu
berhubungan kepada jiwa, bukan kepada jasad. Maka tidak mungkin kita dapat
memperoleh keutamaan dan kehormatan kecuali setelah dihilangkannya hal yang
tercela dalam jiwa manusia. Oleh karena itu akhlak bertujuan untuk menumbuhkan
segala perbuatan-perbuatan baik dan terpuji.[13]
DAFTAR PUSTAKA
Zar ,Sirajuddin, Filsafat islam, Raja Grafindo persada. 2004
Daud , Ahmad Daud Kuliah Filsafat
Islam.Bulan Bintang ,1989
Syamsuddin, Fachri, Dasr-Dasar
filsafat Islam, The Minangkabau Foundation, 2005
Nata, Abuddin, Pemikiran Para Tokoh
Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2003
Ya’kub, Tasman, Filsafat Islam,IAIN
Press
Yazuhai,
Kamal, Nushush Falsafiyah al-Muyassarah, Dar al-Malayin. Bairut
[5] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian
Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h.
6
[6] Tasman Ya’kub, Filsafat Islam,IAIN Press, h.51
[7] Fachri Syamsuddin, Op.cit. h.70
[8] Sirajuddin Zar, op cit, h. 134
[9]. Fachri Syamsuddin, Op.cit.h.86
[10]. Sirajuddin Zar, op cit, h.135
[11] Ahmad Daudy, op cit, 61
[12] Tasman Ya’kub, op cit, h 52-53
[13] Ahmad Daudy, op cit, 72
Tidak ada komentar:
Posting Komentar