Kamis, 18 Februari 2016

IBNU MISKAWAIH DAN FILSAFATNYA

Akal  merupakan salah satu anugrah Allah SWT yang paling istimewa bagi manusia. Sudah sifat bagi akal manusia yang selalu ingin tahu terhadap segala sesuatu termasuk dirinya sendiri. Pengetahuan yang dimiliki manusia bukan di bawah sejak lahir karena  manusia ketika dilahirkan belum mengetahui apa-apa.
Dua sumber pengetahuan  yang di peroleh  manusia, yaitu pengetahuan yang di peroleh melalui wahyu dan pengetahuan yang di peroleh melalui panca indra. Demikian halnya Ibnu Miskawaih seorang anak manusia yang tumbuh berkembang seperti manusia lainnya, mencari kebenaran baik melalui penelitian dan pelatihan untuk mendapatkan berbagai pengalaman dan dari pengalaman ia terinspirasi untuk mengkaji lebih dalam tentang segala sesuatu yang berkaitan tentang kehidupan manusia, baik menyangkut kehidupan manusia dan alam sekitarnya. Sehingga Ibnu Miskawaih tumbuh menjadi seorang filosop Muslim yang termaktub dalam sejarah pemikiran islam. Ia memiliki tempat dalam sejarah pemikiran Dunia. Seperti filosof-filosof Islam lain, ia merasa perlu untuk mengusahakan pemaduan antara apa yang telah di kenal dalam filsafat Yunani dan apa di ajarkan dalam Islam. Untuk itu ia telah mencurahkan segala tenaganya untuk memadukan antara pemikiran Yunani dan pemikiran Ajaran Islam.
    B.PEMBAHASAN
A. Riwayat hidup dan Karyanya
Nama lengkap dari Ibnu Miskawaih adalah Abu Ali Ahmad ibnu Muhammad ibnu Ya’kub Ibnu Miskawaih. Ibnu Miskawaih dilahirkan di kota Rayy  Iran pada Tahun 330 H/ 941 M dan wafat di Afganistan  pada tanggal 9 shafar 421 H /16 Februari 1030 m. [1]
Sebelum menganut agama Islam Ibnu Miskawaih menganut agama Majusi dan setelah ia menjadi penganut agama Islam ia merupakan seorang sarjana yang taat dan mendalam pengetahuan keislamannya.
Ibnu Miskawaih adalah seorang penganut Syi’ah kaena sebagian besar umurnya dihabiskan dalam mengabdi pada mentri Syi’ah pada zaman pemerintahan Bani Buwaih yang di mulai pada tahun 320 H sampai dengan tahun 448 H.
Pada zaman Raja ‘Adhudidaulah , Ibnu Miskawaih mandapat kepercayaan besar dari raja kerena diangkat  sebagai penjaga (khazim) perpustakaannya yang besar di samping itu dia juga sebagai penyimpan rahasianya dan utusannya ke pihak-pihak yang di perlukan .[2]
Saat berada pada pemerintahan Bani Buwaih Ibnu Miskawaih sangat gemar memajukan ilmu pengetahuan, dan beliau suka meniru apa yang dilakukan khalifah Abbasyiah pada zaman keemasan karena itu ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat dikawasannya.
Demikianklah situasi zaman dimana Ibnu Miskawaih menghabiskan sebagian besar umurnya, sehingga ia mampu memanfaatkan keadaan itu untuk memperkaya diri dengan berbagai ilmu pengetahuan .
Ibnu Miskawaih adalah seorang ahli filsafat Islam termasuk yang pertama yang membicarakan akhlak, tidak ada yang mengetahui keturunannya dan pendidikannya yang pertama. Ia dikenal dalam dunia filsafat sudah sebagai seorang yang pandai dan namanya sudah menjadi buah bibir dari para pengarang Islam. Disamping itu ia juga dikenal sebagai penyair yang masyhur, tabib, ahli sejarah dan ahli kimia.[3]


B.     Karya Tulisnya
Ibnu Miskawaih tidak hanya di kenal sebagai pemikir (filosof) tetapi dia juga seorang penulis yang produktif. Adapun diantara lain hasil karya tulisnya sebagai berikut:
1.      Al-Fauz al-Akbar
2.      Al-Fauz al-Asghar
3.      Tajarib al-Umam (Sebuah sejarah tentang banjir besar yang ditulisnya pada tahun 369 H/979 M.)
4.      Uns al-Farid (Koleksi anekdot, sya’ir, pribahasa, dan kata-kata hikmah).
5.      Tartib al-Sa’adat (akhlak dan politik).
6.      Al-Mustaufa (sya’ir-sy’ir pilihan)
7.      Jawidan Khairad (koleksi ungkapan bijak)
8.      Al-Jami’
9.      Al-Siyab
10.  On the Simple Dreugs (kedokteran)
11.  On the Compisiton of the Bajats (Seni memasak).
12.  Kitab al-Ashribah (tentang inuman).
13.  Tahzib al-Akhlaq (akhlak)
14.  Risalat fi al-Lazzat wa al-Alam fi Jauhir al-Nafs
15.  Ajwibat wa As’ilat fi al-Nafs wa al-‘Aql
16.  Al-Jawab fi al-Masail al-Salas
17.  Risalat fi Jawab fi Sau’al Ali Ibn Muhammad abu Hayyan al-Shufi fi haqiqat al-‘Aql
18.  Thaharat al-Nafs.[4]
Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, bahwa semua karya Ibn Miskawaih tidak  luput dari kepentingan filsafat dan akhlak. Sehubungan dengan itu Ibnu Miskawaih dikenal sebagai moralis.[5]
C.    Pemikiran Ibnu Miskawaih Dalam Bidang Filsafat
       Adapun pemikiran-pemikiran Ibnu Miskawaih sebagai berikut:
1. Filsafat Jiwa (al-nafs)
Ibnu Miskawaih menyatakan bahwa  jiwa(al-nafs)  itu mempunyai wujud tersendiri pada manusia, ia merupakan sesuatu yang pelik (jauhar) dan yang sangat sederhana yang tak dapat dirasakan oleh salah satu pancaindra.[6]
Jiwa adalah jauhar rohani yang tidak hancur dengan sebab kematian jasad, ia adalah kesatuan yang tidak terbagi-bagi. Ia akan hidup selalu ia tidak dapat diraba dengan panca indra karena ia bukan jisim dan bukan bagian dari jisim.
            Menurut Ibnu Miskawaih jiwa mempunyai sifat mengetahui, bahkan ia mengetahui bahwa ia bekerja meskipun ia tidak merupakan benda yang nyata atau jisim. Jiwa dapat menerima gambaran berbagai hal yang bertentangan antara satu sama lain misalnya menangkap warna putih dan warna hitam, sedangkan sesuatu jisim dalam waktu yang bersamaan tak dapat menerima warna-warna itu sekaligus, kecuali hitam saja atau putih saja.
Ibnu Miskawaih menyatakan bahwa jiwa itu bukan Tuhan dan bukan sifat, jiwa adalah jauhar yang hidup kekal tidak menerima mati atau binasa. Ia dapat mengetahui alam yang nyata atau ghaib dan segala yang dapat dipikirkan dan ditangkap oleh pancaindara. Jiwa mempunyai kemampuan yang luas di bandingkan dengan jisim bahkan  alam perasaan seluruhnya tidak akan memberikan kepuasan baginya. Disamping itu jiwa mempunyai ma’rifat akal yang tidak mungkin menjadi sifat baginya dengan jalan perasaan, karna ma’rifat inilah jiwa mempunyai kesanggupan membedakan mana yang baik dan mana yang salah, mengenal apa yang disampaikan kepadanya oleh berbagai panca indra.[7]
Lebih jauh Ibnu Miskawaih menerangkan bahwa jiwa itu dapat menerima gambaran hal-hal yang dapat dirasakan dan hal-hal yang dapat dipikirkan bersama-sama.
Ibnu Miskawaih mematahkan pandangan kaum materialis yang meniadakan jiwa bagi manusia, Ibnu Miskawaih dapat membuktikan adanya jiwa pada diri manusia dengan argumen seperti di atas. Jiwa tidak dapat bermateri sekalipun ia bertempat dimateri karena materi hanya menerima satu bentuk dalam waktu tertentu.
Sesunguhnya pengetahuan jiwa dan pengetahuan pancaindra berbeda, pancaindra tidak dapat menangkap selain apa yang dapat diraba atau diindra. Sedangkan jiwa dapat menangkap apa yang dapat ditangkap pancaindra yakni apa yang dapat diraba dan juga yang tidak dapat diraba.[8]
Jiwa mempunyai tiga kekuatan di dalam diri manusia, yaitu;
a.       Kekuatan untuk berfikir, (An- Nafsun-Nathiqah) jiwa yang berfikir, ini mendorong untuk memahami dan membedakan sesuatu.
b.      Kekuatan untuk marah, (An-Nufus-Sabu’iyah/Ghodabiyah) jiwa yang ganas, ini mendorong untuk berlaku berani, rindu, dan sebagainya.
c.       Kekuatan yang menimbulkan syahwat, (An-Nafsul Bahimiyah) jiwa yang bebal. Ini mendorong untuk makan, minum, dan kelezatan-kelezatan fisik lainnya.
Dari masing-masing tiga macam kekuatan jiwa tersebut lahir sifat sewaktu gerak aktivitasnya normal (mu'tadilah), serasi dan seimbang. Bila gerakan jiwa Nathiqah normal, tidak menyimpang dan hakikatnya, dan kecenderungannya kepada ilmu pengetahuan yang benar lahirlah sifat al-'Ilmu lalu al-Hikmah. Bilamana gerak jiwa Bahimiyah serasi seimbang, dibawah kontrol daya jiwa Nathiqah/agliyah, patuh kepadanya, tidak hanyut mengikuti hawa nafsu lahirlah sifat 'iffah (kebersihan diri) lalu As Sakhaa'u (kedermawanan). Bila gerak daya jiwa Ghodabiyah serasi seimbang, patuh kepada petunjuk jiwa aqliyah, tidak bergejolak diluar batas, terjadilah sifat al-Hilmu (kesantunan) lalu disusul sifat as Saja'ah (keberanian).
Dan tiga macam sifat (al-hikmah, al 'Iffah dan as saja'ah) di dalam keseimbangan dan keserasian satu sama lain lahirlah al adlaalah. Dengan demikian, maka para hukama (failosof) bersepakat menetapkan bahwa jenis sifat empat yaitu: al-Hikmah, al-'Iffah, as-Saja'ah dan al Adlaalah. Adapun lawannya empat pula yaitu al Jahl (bodoh), as Syarh (rakus) al Jubn (takut) dan Al Jaur (kelaliman). Al Hikmah (kebijakan) ialah sifat sifat utama dari jiwa natigah, jiwa pikir kritis analitis (Annatiqah almumayyizah) untuk mengetahui (mengenali) segala yang ada karena keberadaannya, atau untuk mengetahui hal ihwal ketuhanan dan hal ihwal kemanusiaan.
Dengan demikian pengetahuan membuahkan pengenalan tentang al ma'qulat (pengertian-pengertian tentang hal yang abstrak/yang metafisis) secara kritis analitis, mana yang benar dipegangi, mana yang salah dibuangnya.
Al-Iffah (kesucian diri) sifat utama pada pengindraan nafsu syahwat al Hissussyahwani. Sifat utama ini nampak pada waktu seseorang mengendalikan nafsunya (setelah responsi indra terhadap suatu stimulus) dengan pertimbangannya yang sehat sehingga dia tidak tunduk pada nafsunya itu, dia bebas dari perbudakan hawa nafsunya.
As-Saja'ah (keberanian) adalah sifat utama pada jiwa ghodlabiyah. Sifat ini nampak pada manusia ketika jiwa ghodlabiyah itu dikendalikan oleh sifat utama al-Hikmah dan dipergunakan sesuai dengan akal pikiran untuk menghadapi masalah-masalah yang punya resiko, umpamanya tidak gentar menghadapi perkara-perkara yang menakutkan.
Ibn Miskawaih juga menjelaskan tentang sifat-sifat yang utama. Sifat-sifat ini menurutnya erat kaitannya dengan jiwa. Jiwa memiliki tiga daya: daya berpikir, daya marah dan daya keinginan.
Sifat hikmah adalah sifat utama bagi jiwa berpikir yang lahir dari ilmu. Berani adalah sifat utama bagi jiwa marah, yang timbul dari sifat hilm (menahan diri). Sedangkan murah adalah sifat utama bagi jiwa keinginan, yang lahir dari iffah (memelihara kehormatan diri), dengan demikian tiga sifat utama, yakni hikmah, berani, dan murah. Apabila ketiga sifat utama ini serasi, maka muncul yang keempat, yakni adil. Adapun  lawan dari sifat utama  ini adalah bodoh, rakus, penakut, dan zalim.[9]
Menyangkut balasan di akhirat Ibn Miskawaih mengatakan bahwa jiwalah yang akan  menerima balasan (kebahagian dan kesengsaraan) di akhirat. Karena menurutnya kelezatan jasmaniah bukanlah kelesatan yang sebenarnya.

2. Filsafat Akhlak
Ibnu Miskawaih adalah seorang moralis yang sangat terkenal. Keistimewaan yang sangat menarik dalam kajiannya ialah pembahasannya yang didasarkan kepada al-Qur’an dan hadits. Namun bukan berarti ia tidak memakai sumber lain seperti filsafat Yunani kuno dan pemikiran Persia. Ibnu Miskawaih tetap merujuk kepada filsafat Yunani dan pemikiran-pemikiran Persia, akan tetapi hanya sebatas yang sesuai dengan ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan hadits. Apabila terjadi pertentangan dengan  prinsip dasar al-Qur’an dan hadits ia tidak mengambilnya. Jadi filsafat Yunani dan pemikiran Persia hanya dijadikannya sebagai pelengkap dan penyempurna saja[10].
Kata “akhlak” adalah jamak dari kata “khuluq”. Khuluq ialah peri keadaan jiwa yang mendorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa dipikirkan dan diperhitungkan. Dalam konsepsi Ibn Maskawaih akhlah adalah “suatu sikap mental (halun lin nafs) yang mendorongnya untuk berbuat, tanpa pikir dan pertimbangkan”. Keadaan atau sikap jiwa ini terbagi kepada dua yaitu ada yang berasal dari watak (tempramen) dan ada yang berasal dari kebiasaan dan latihan.[11]
Dengan kata lain khuluq adalah peri keadaan jiwa yang mendorong timbulnya perbuatan secara spontanitas. Keadaan jiwa ini itu merupakan fitrah sejak lahir dan dapat merupakan hasil latihan-latihan membiasakan diri.[12]
Ibn Miskawaih menolak pendapat sebagian pemikir Yunani yang menyatakan bahwa akhlak itu tidak dapat berubah karena ia berasal dari watak atau pembawaan. Baginya akhlak iti dapat selalu berubah dengan kebiasaan dan latihan serta pelajaran yang baik, karena kebanyakan anak yang hidup dan dididik dengan cara tertentu dalam masyarakat ternyata mereka berbeda secara menyolok dalam menerima nilai-nilai akhlak yang luhur. Manusia dapat di perbaiki akhlaknya dengan menghilangkan dari sifat tercela dan di sinilah terletak tujuan pokok dari agama, yakni mengajar sejumlah nilai-nilai akhlak mulia agar mereka menjadi baik dan bahagia dengan melatih diri dan menghayatinya. Untuk mengetahui dasar-dasar akhlak Ibn Miskawaih memberi beberapa prinsip yaitu:
-          Tujuan ilmu akhlak adalah membawa manusia kepada kesempurnaan. Berbeda dengan hewan dan tumbuhan, kesempurnaan manusia terletak pada pemikiran dan perbuatan, yakni kesempurnaan ilmu dan kesempurnaan amal.
-          Kelezatan indrawi hanya sesuai dengan hewan tidak dengan manusia. Bagi manusia kelezatan akal adalah yang lebih sesuai dengan martabatnya.
-          Anak-anak harus di didik dengan akhlak mulia, disesuaikan dengan rencananya dengan urutan daya-daya yang mula lahir padanya.  Jadi yang di mulai dengan jiwa keinginan lalu jiwa marah dan akhirnya jiwa berpikir.
Dari pengertian akhlak yang dikemukakan oleh Ibn Miskawaih tersebut, bisa dipahami bahwa akhlak sifatnya adalah spontanitas. Respon yang langsung diberikan seseorang terhadap sesuatu, maka itu mencerminkan keperibadian (akhlaknya). Apabila respon atau tindakan yang diberikan terhadap sesuatu telah didasari pemikiran atau pertimbangan berarti itu bukanlah kepribadian sesungguhnya.
Dari pernyataan di atas juga bisa dipahami, bahwa secara tidak langsung Ibn Miskawaih menolak pendapat yang menyatakan bahwa akhlak tidak bisa berubah. Dalam konsep Ibn Miskawaih akhlak tercela bisa berubah menjadi akhlak mulia melalui pendidikan dan latihan-latihan. Pemikiran seperti ini jelas sejalan dengan ajaran Islam. Pada hakikatnya ajaran syari’at Islam  mengarahkan  manusia kepada perubahan akhlak, dari akhlak tercela kepada akhlak yng terpuji. Bahkan Nabi Muhammad sendiri menjelaskan bahwa misi penting diutusnya beliau ke dunia ini adalah untuk memperbaiki akhlak manusia. Mustahil akhlak manusia tidak dapat berubah, sedangkan naluri binatang saja bisa berubah dari galak menjadi bersahabat, dari liar menjadi jinak dan sebagainya. Tegasnya bagi Ibn Miskawaih tujuan agama ialah untuk mengarahkan akhlak manusia ke arah akhlak yang mulia.
Tentang masalah baik dan buruk, Ibn Miskawaih mengatakan, bahwa kebaikan  itu ada dalam objek, namun kebaikan yang dalam objek itu dipandang oleh manusia dengan kaca mata yang berbeda-beda (bersifat relatif). Karena berlainan sisi pandang maka kebaikan itu menjadi banyak sebanyak cara orang yang memandangnya.
Ada yang mengatakan kebaikan itu terbagi tiga macam, yaitu: sesuatu yang mulia, sesuatu yang terpuji, dan sesuatu yang bermanfaat. Sesuatu yang mulia itu dimuliakan karena zatnya, karena itu orang yang memangkunya akan mulia pula, karena zat kemuliaan melekat pada dirinya. Sesuatu yang terpuji dianggap baik karena ia muncul dari yang baik. Demikian juga sesuatu yang memberi manfaat dianggap baik karena ia menyampaikan kepada kebaikan. Demikian salah satu pandangan tentang kebaikan.
Ada pun kebahagiaan dapat dirasakan oleh kedua unsur yang ada pada manusia, yaitu jasad dan roh. Kebahagiaan yang dirasakan oleh jasad bersifat material sedangkan kebahagian yang dirasakan oleh roh adalah bersifat spiritual. Kebahagian yang bersifat material selalu diimbangi oleh kepayahan dan kepedihan, tetapi kebahagiaan spiritual lebih sempurna dan lebih kekal nikmatnya. Ia dapat dicapai bila kebahagiaan material dapat dilepaskan  secara berangsur. Bila kebahagian material telah dilepaskan dapatlah orang meningkat naik menuju kesempurnaan sejati.
Ibn Miskwaih membedakan kebaikan dan kebahagian. Kebaikan menjadi tujuan semua orang, kebaikan umumnya bagi seluruh manusia dalam kedudukan sebagai manusia. Sedangkan kebahagian adalah kebaikan bagi seseorang yang tidak bersifat umum, tetapi bergantung orang perorang. Dengan demikian kebaikan mempunyai identitas tertentu, sedangkan kebahagian berbeda-beda bergantung kepada orang-orang yang berusaha memperolehnya.
Menurut Ibn Miskwaih akhlak itu berhubungan kepada jiwa, bukan kepada jasad. Maka tidak mungkin kita dapat memperoleh keutamaan dan kehormatan kecuali setelah dihilangkannya hal yang tercela dalam jiwa manusia. Oleh karena itu akhlak bertujuan untuk menumbuhkan segala perbuatan-perbuatan baik dan terpuji.[13]


            DAFTAR PUSTAKA

Zar ,Sirajuddin,  Filsafat islam, Raja Grafindo persada. 2004
Daud , Ahmad Daud Kuliah Filsafat Islam.Bulan Bintang ,1989
Syamsuddin, Fachri, Dasr-Dasar filsafat Islam, The Minangkabau Foundation, 2005
Nata, Abuddin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003
Ya’kub, Tasman, Filsafat Islam,IAIN Press
Yazuhai, Kamal, Nushush Falsafiyah al-Muyassarah, Dar al-Malayin. Bairut




[1]. Sirajuddin Zar , Filsafat islam, Raja Grafindo persada. 2004. h.127
[2] .Ahmad Daud .Kuliah Filsafat Islam.Bulan Bintang ,1986 h.56
[3] Fachri Syamsuddin, Dasr-Dasar filsafat Islam, The Minangkabau Foundation, 2005. h.66
                [4] . Sirajuddin Zar, op cit, h. 80
[5] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 6
[6] Tasman Ya’kub, Filsafat Islam,IAIN Press, h.51
[7] Fachri Syamsuddin, Op.cit. h.70
[8] Sirajuddin Zar, op cit, h. 134

[9]. Fachri Syamsuddin, Op.cit.h.86
[10]. Sirajuddin Zar, op cit, h.135
[11] Ahmad Daudy, op cit, 61
[12] Tasman Ya’kub, op cit, h 52-53
[13] Ahmad Daudy, op cit, 72

Tidak ada komentar:

Posting Komentar