Senin, 15 Februari 2016

IBNU YAZID AL-BUSTAMI DAN HUSEIN AL-HALLAJ

I.                   Pendahuluan
Sufisme yang sering disamakan dengan tasawuf adalah istilah terhadap gerakan mistik dalam dunia Islam. Para sufi biasanya menempuh jalan yang disebut thariqah, yakni jalan spiritual yang dilalui para sufi menuju terwujudnya kedekatan dan kesatuan dengan Tuhan.
Pada kesempatan ini akan dibahas mengenai perjalanan hidup dua orang sufi, Abu Yazid Al- Bustami dan Abu Manshur Al-Hallaj serta ajaran tasawufnya.

II.                Pembahasan
A.    Abu Yazid Al- Bustami
1.      Biografinya
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid bin Thaifur bin ‘Isa bin Syurusan Al-Bustami, lahir di daerah Bustam, Khurasan, Persia tahun 188 H. Nama kecilnya adalah Taifur. Kakeknya bernama Surusyan, seorang penganut agama Zoroaster, kemudian masuk dan menjadi pemeluk Islam di Bustam. Keluarga Abu Yazid termasuk berada di daerahnya, tetapi ia lebih memilih hidup sederhana. Sejak dalam kandungan ibunya, konon kabarnya Abu Yazid telah mempunyai kelainan, ibunya berkata bahwa ketika dalam perutnya, Abu Yazid akan memberontak sehingga ibunya muntah kalau menyantap makanan yang diragukan kehalalannya.
Sewaktu meningkat usia remaja, Abu Yazid terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti perintah agama dan berbakti kepada kedua orang tuanya. Suatu kali gurunya menerangkan suatu ayat dari surat Luqman yang artinya, “berterimakasihlah kepadaku dan kepada kedua orang tuamu”. Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid, ia kemudia berhenti belajar dan pulang untuk menemui ibunya. Sikapnya ini menggambarkan  bahwa ia selau berusaha memenuhi setiap panggilan Allah.
Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memakan waktu puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu telah menjadi seorang fakih dari mazhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi. Ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat, dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid.[1]
Abu Yazid tidak meninggalkan karangan yang dapat dipelajari, namun demikian ajaran-ajarannya tersebar melalui lisan murid-muridnya. Salah satu sumber penting adalah kitab yang berjudul Al-Nur Min Kalimat Abi Thaifur karangan Al-Sahlaji, tetapi sayang tidak sampai kepada kita.
Menurut Abu Yazid, wali Allah ada tiga macam. Seorang zahid karena zuhudnya, seorang ‘abid karena ibadahnya, dan seorang alim karena ilmunya.
Abu Yazid sendiri menjalani jalan pertama, selama 30 tahun ia berkelana di padang pasir Syiria, hidup dengan zuhud, sedikit makan, sedikit minum dan sedikit tidur.
Dari zuhud tumbuh cinta yang mendalam. Mahabbah yang ada pada Abu Yazid selalu mendalam dan selalu meluas hingga menghanyutkan dirinya tenggelam dalam kezuhudannya.[2]
Suatu kali ia ditanya, “dengan apa kamu mendapatkan ma’rifah ini?” lalu ia menjawab “dengan sedikit makan dan badan yang kurus”
Dan ia juga berkata, “ aku pernah terniat untuk meminta kepada Allah untuk mencukupkanku dari kebutuhan makanan dan dari pasangan hidup” kemudian terfikir olehku : “bagaimana mungkin aku meminta yang demikian kepada Allah, sedangkan Rasulullah Saw saja tidak memintanya. Kemudian Allah mencukupkanku dari kebutuhan terhadap perempuan, hingga tiap kali aku berhadapan dengan perempuan aku tidak tahu lagi apakah itu perempuan atau dinding” [3]
Abu Yazid merupakan seorang tokoh sufi yang membawa ajaran yang berbeda dengan ajaran-ajaran tasawuf sebelumnya. Ajaran yang dibawanya banyak ditentang oleh ulama Fikih dan Kalam, yang menjadi sebab ia keluar masuk penjara. Meskipun demikian, ia memperoleh banyak pengikut yang percaya kepada ajaran yang dibawanya. Para pengikutnya menamakannya Taifur. Kata yang diucapkannya seringkali mempunyai arti yang begitu mendalam, sehingga jika ditangkap secara lahir akan membawa kepada syirik, karena mempersekutukan antara Tuhan dengan manusia.[4]
Dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu Yazid dipandang sebagai pembawa faham al-fana’ dan al-baqa’ serta sekaligus pencetus faham al-ittihād.
Mengenai tahun wafatnya, tidak ada yang tahu pasti tahun berapa ia wafat, sebagian sumber mengatakan bahwa ia wafat pada tahun 261 H,  dan sebagian lainnya mengatakan tahun 234 H.[5]

2.      Ajaran Tasawuf Abu Yazid
Dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu Yazid al-Bustami dipandang sebagai pembawa arah timbulnya aliran “kesatuan wujud” atau ittihad, sebelum seorang sufi memasuki tahap penyatuan dengan Tuhan (al-ittihād), ia harus terlebih dahulu dapat menghancurkan dirinya melalui fana’. Penghancuran diri (fana’) dalam khazanah sufi senantiasa diiringi dengan baqa’.
a)      Fana’ dan baqa’
Secara bahasa, fana’ berarti tidak kekal, lenyap dan hilang keberadaannya.[6] Baqa’ (lawan dari fana’) artinya kekal.[7] Adanya fana’ menunjukkan adanya baqa’.
- من فنى عن المخالفات بقى فى الموافقات 
- من فنى عن الأوصاف المذمومة بقى بالأوصاف المحمودة
- من فنى عن أوصافه بقى بأوصاف الحق
-Jika seseorang dapat menghilangkan maksiatnya, yang akan tinggal ialah taqwanya.
-Siapa yang menghancurkan sifat-sifat (akhlak) yang buruk, tinggal baginya sifat-sifat yang baik.
-Siapa yang menghilangkan sifat-sifatnya, tinggal baginya sifat-sifat Tuhan
Dalam istilah tasawuf, fana’ berarti penghancuran diri yaitu al-fana’‘an al-nafs. Yang dimaksud dengan al-fana’ ‘an al-nafs ialah hancurnya perasaan atau kesadaran seseorang terhadap wujud tubuh kasarnya dan alam sekitarnya.[8]
Dalam hal ini Al-Qusyairi mengatakan :
فناؤه عن نفسه و عن الخلق بزوال احساسه بنفسه وﺑﻬم
فنفسه موجودة والخلق موجودون ولكنه لا علم له ﺑﻬم ولابه
“Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang makhluk lain itu... Sebenarnya dirinya ada dan demikian pula makhluk lain tesebut ada, namun Ia tidak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya”.
فمن فني عن جهلة بقي بعلمه ... و من فني عن شهوته بقي بانابته ...
و من فني عن رغبته بقي بزهادته ... و من فني عن منيته بقي بارادته تعالى
“orang yang lenyap darinya kebodohan, maka ia kekal dengan ilmunya, dan siapa yang hilang darinya syahwat, ia akan kekal dengan taubatnya, siapa yang luput darinya keinginannya, maka ia kekal dengan zuhudnya, dan siapa saja yang hilang darinya angan-angannya, maka ia kekal dengan keinginan Allah Swt” [9]

b)      al-ittihād
Secara bahasa al-ittihad merupakan bentuk mashdar dari kata ittahada, yattahidu, yang mempunyai arti bersatunya beberapa unsur menjadi satu. [10]
Sedangkan menurut istilah sufi al-ittihad artinya bercampurnya makhluk dan khalik hingga tergabung menjadi satu dzat.[11]
Al-itihad merupakan satu tingkatan tasawuf di mana seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu.
Al-ittihād dalam ajaran tasawuf adalah tingkat tertinggi yang dapat dicapai dalam perjalanan jiwa manusia. Orang yang telah sampai ketingkat ini, dia dengan Tuhannya telah menjadi satu, terbukalah dinding baginya, dia dapat melihat sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata, mendengar sesuatu yang tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas di hati. Pada saat itu sering keluar ucapan-ucapan yang ganjil dan aneh yang disebut tasawuf dengan syatahat.
Al-ittihād itu akan tercapai kalau seorang sufi telah dapat menghilangkan kesadarannya. Dia tidak mengenal lagi wujud tubuh kasarnya dan wujud alam sekitarnya. Namun lebih dari itu sebenarnya dalam faham al-ittihād hilangnya kesadaran adalah permulaan untuk memasuki tingkat al-ittihād yang sebenarnya dicapai dengan adanya kesadaran terhadap dirinya sebagai Tuhan. Keadaan inilah yang disebut dengan kesinambungan hidup setelah kehancuran (“abiding after passing away”, al-baqa’ ba’ad al-fana’). Dan hilangnya kesadaran (fana’) yang merupakan awal untuk memasuki pintu ittihād itu adalah pemberian Tuhan kepada seorang sufi.
Sekarang kalau memang fana yang merupakan pra syarat untuk mencapai ittihād itu adalah pemberian Tuhan, maka pemberian itu akan datang sendirinya setelah seorang sufi bersungguh-sungguh bersabar dalam usaha memberikan jiwa. [12]
Banyak para sufi yang mengaku bahwa mereka telah mi’raj ke langit, dan Abu yazid merupakan sufi pertama yang mengatakan bahwa ia telah mi’raj sebagaimana mi’rajnya nabi Saw. [13] Paham ittihād ini dalam istilah Abu Yazid disebut tajrîd fana’ fî al-tauhîd, yaitu perpaduan dengan Tuhan tanpa diantarai sesuatu apapun. Ketika terjadi fana’ ‘an nafs ia berada sangat dekat dengan Tuhan hingga terjadi perpaduan. Situasi ittihād ini lebih jelas lagi dalam ungkapannya :
قال : يا ابا يزيد إﻧﻬم كلهم خلقى غيرك
 فقلت : فأنا أنت وأنت أنا و أنا أنت
Artinya : “Tuhan berkata : wahai Abu Yazid semua mereka kecuali engkau adalah makhluk-Ku. Akupun berkata: Aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau”
Selanjutnya Abu Yazid berkata :
إني أنا الله لا إله إلا أنا فاعبدني
Artinya: “Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku".
Secara lahiriyah, ungkapan-ungkapan Abu Yazid di atas itu seakan-akan ia mengaku dirinya Tuhan. Akan tetapi bukan demikian maksudnya. Di sini Abu Yazid mengucapkan kata “Aku” bukan sebagai gambaran dari diri Abu Yazid sendiri, tetapi sebagai gambaran Tuhan, karena Abu Yazid telah bersatu dengan diri Tuhan. Dengan kata lain Abu Yazid dalam ittihād berbicara dengan nama Tuhan. Atau lebih tepat lagi Tuhan “berbicara” melalui lidah Abu Yazid. Dalam hal ini Abu Yazid menjelaskan :
لأنه هو الذى يتكلم بلسانى أما أنا فقد فنيت
Artinya : “Sebenarnya Dia berbicara melalui lidahku sedang aku sendiri dalam keadaan fana.”
Oleh karena itu sebenarnya Abu Yazid tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan. Kata-kata serupa di atas bukan diucapkan oleh Abu Yazid sebagai kata-katanya sendiri, tetapi kata-kata itu diucapkan dalam keadaan ittihād. [14]


B.     Abu Manshur Al-Hallaj
1.      Biografinya
Al-Hallaj adalah orang pertama yang mencetuskan paham  “al-hulul”dalam tasawuf, ia terkenal dengan perkataannya “ana al-haq”. Komentar imam al Dzahabi tentangnya : “semua sufi dan para ulama berlepas diri darinya karena sejarah hidupnya yang buruk”.[15]
Nama lengkapnya Abul Mughits al-Husain bin Manshur al-Hallaj, dilahirkan di Baidha Persia pada tahun 244 H.
Pada usia 16 tahun ia belajar kepada sufi besar Sahal bin Abdullah al-Tustari di Ahwaz. Sehabis belajar dengan sufi tersebut ia pergi ke Basrah dan belajar pada Amr ibnu Utsman al-Makki seorang sufi terkemuka di zamannya, tetapi tidak lama kemudian ia pindah. Pada tahun 264 H ia pergi ke Baghdad dan belajar kepada Junaid al-Baghdadi, pemuka semua sufi, namun ia tidak diterima hingga meninggalkannya tanpa izin.
Al Hallaj selalu hidup berpindah-pindah dalam pengembaraan yang panjang. Di dalam pengembaraan itu ia telah tinggal di daerah-daerah Tustur, Khurasan, Sijistan, Kharman, Persia, Ahwaz, Basrah dan Baghdad. Ia juga mengembara ke daerah timur, dimulai dari Turkistan, Mesir dan beberapa daerah di India. Selama dalam perjalanan ia mendapat gelaran yang bermacam-macam. [16] Ia digelari Al-Hallaj karena penghidupannya yang diperoleh dari memintal wol.[17]
Selama dalam pengembaraannya ia telah melaksanakan ibadah haji sebanyak tiga kali, dan setelah melaksanakan ibadah haji yang ketiga itulah ia menetap di Baghdad dan mengajarkan ajaran-ajaran tasawufnya yang berbeda dengan ajaran-ajaran tasawuf sebelum dan bahkan sezaman dengannya.
Dalam menanggapi tasawufnya masyarakat terpecah belah dan stabilitas keamanan terganggu. Kalangan ahli tasawuf sendiri terpecah belah, ada yang mendukung dan ada yang menolak dan menuduhnya sebagai ahli sihir. Berdasarkan laporan-laporan masyarakat, maka pemerintah segera menahan dan menyeretnya ke pengadilan. Keputusan pengadilan ia dihukum mati dan pelaksanaannya berlangsung pada tanggal 29 Dzulka’dah 309 H.[18]
Kematian tragis Al-Hallaj yang tampak seperti dongeng tidak membuat gentar para pengikutnya. Ajarannya masih tetap berkembang. Terbukti setelah satu abad dari kematiannya, di Irak ada 4000 orang yang menamakan diri Hallajiah. Di sisi lain pengaruhnya sangat besar terhadap para pengikutnya.[19]
Selama dalam penjara Al-Hallaj banyak menulis hingga mencapai 48 buah buku. Judul-judul bukunya itu tampak asing dan isinya juga banyak yang aneh dan sulit dipahami. Ketika hukuman dilaksanakan, buku-buku tersebut juga ikut dihancurkan, kecuali satu yang disimpan pengikutnya yaitu Ibnu ‘Atha dengan judul Al-Thawasi Al-Azal. Dari kitab ini dan murid-muridnya dapat diketahui tentang ajaran Al-Hallaj dalam tasawuf.[20]

2.      Ajaran tasawuf Al-Hallaj
Diantara ajaran tasawuf Al-Hallaj yang paling terkenal adalah Al-Hulul.
Kata al-hulul secara bahasa mempunyai arti menempati suatu tempat.
Secara istilah tasawuf, al-hulul bermakna turunnya dzat Tuhan ke dzat manusia dan mengambil tempat disana.[21]
Secara jelasnya al-hulul adalah suatu paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.[22]
Al Hallaj mengajarkan bahwa Tuhan memiliki sifat lahut[23] dan nasut[24], demikian juga manusia.[25] Ia menakwilkan ayat : ø
ŒÎ)ur $oYù=è% Ïps3Í´¯»n=uKù=Ï9 (#rßàfó$# tPyŠKy (#ÿrßyf|¡sù HwÎ) }§ŠÎ=ö/Î) 4n1r& uŽy9õ3tFó$#ur tb%x.ur z`ÏB šúï͍Ïÿ»s3ø9$# ÇÌÍÈ  
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada Para Malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (Al-Baqarah : 34)

Bahwa Allah memberi perintah kepada para malaikat untuk sujud kepada Adam. Karena yang berhak untuk diberi sujud hanya Allah, Al-Hallaj memahami bahwa dalam diri Adam sebenarnya ada unsur ketuhanan. Ia berpendapat demikian karena sebelum menjadikan makhluk, Tuhan melihat dzat-Nya sendiri, cinta yang tidak dapat disifatkan dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak ini. Ia mengeluarkan sesuatu dari tiada dalam bentuk copy diri-Nya yang mempunyai segala sifat dan nama. Bentuk copy ini adalah Adam, pada diri Adam lah, Allah muncul.[26]
Al Hallaj berkata :
سبحان من أظهر ناسوته
           سرّ سنا لاهوته الثاقب
ثم ّ بدا في خلقه ظاهرا
          في صورة الآكل والشارب[27]
“Maha suci Dzat yang sifat kemanusiaan-Nya membuka rahasia ketuhanan-Nya yang gemilang. Kemudian kelihatan oleh makhluk-Nya dengan nyata dalam bentuk manusia yang makan dan minum”.
Melalui sya’ir di atas, tampaknya al-Hallaj memperlihatkan bahwa Tuhan mempunyai dua sifat dasar, yaitu sifat ketuhanan-Nya (lahut)  sendiri dan sifat kemanusiaan (nasut). Jika nasut Allah mengandung tabi’at seperti manusia yang terdiri atas roh dan jasad, lahut tidak dapat bersatu dengan manusia kecuali dengan cara menempati tubuh setelah sifat-sifat kemanusiaan tubuh tersebut hilang.
Dalam syairnya ia mengungkapkan :
مُزِجت روحُك و روحي كما
          تُمزَج الخمرة بالماء الزُلال
فإذا مسّك شيء مسّني
          فإذا أنت أنا في كل حال
أنا من أهوى و من أهوى أنا
          نحن روحان حللنا بدنا
فإذا أبصرتني أبصرته
          فإذا أبصرته أبصرتنا
“jiwamu disatukan dengan jiwaku sebagaimana anggur disatukan  dengan air suci,
Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia pun menyentuhku, dan ketika itu dalam tiap hal Engkau adalah aku” [28]     
“aku adalah Ia yang kucintai dan Ia yang kucintai adalah aku, kami adalah dua jiwa yang bertepat dalam satu tubuh.
Jika engkau lihat Aku, engkau lihat Ia, jika engkau lihat Ia, engkau lihat kami” [29]
Berdasarkan sya’ir di atas dapat dipahami bahwa persatuan antara Tuhan dan manusia dapat terjadi dengan mengambil bentuk hulul. Dengan demikian, agar dapat bersatu manusia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya. Setelah sifat-sifat kemanusiaannya hilang dan hanya tinggal sifat ketuhanan yang ada dalam dirinya, disitulah Tuhan mengambil tempat dalam dirinya, dan ketika itu roh Tuhan dan roh manusia bersatu dalam tubuh manusia.
Menurut Al-Hallaj, pada terkandung kefanaan total kehendak manusia dalam kehendak ilahi, sehingga setiap kehendaknya adalah kehendak Tuhan, demikian juga tindakannya. Namun di lain waktu Al- Hallaj mengatakan:
“siapa yang mengira bahwa ketuhanan berpadu jadi satu dengan kemanusiaan ataupun kemanusiaan berpadu dengan ketuhanan, maka kafirlah ia. Sebab, Allah mandiri dalam dzat dan  sifat-Nya dari zat dan sifat makhluk. Ia tidak sekali-kali menyerupai makhluk-Nya dan mereka pun tidak sekali-kali menyerupai-Nya.”
Dengan demikian Al-Hallaj sebenarnya tidak mengakui dirinya Tuhan dan juga tidak sama dengan Tuhan, seperti terlihat dalam sya’irnya:
أنا سِرّ الحق ما الحق أنا # بل أنا حق ففرق بيننا
Artinya : “ Aku adalah rahasia yang maha benar, dan bukanlah yang maha benar itu aku, aku hanya satu dari yang benar, maka bedakanlah antara kami”
Dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa hulul yang terjadi pada Al-Hallaj tidaklah nyata karena memberi pengertian secara jelas adanya perbedaan antara hamba dan Tuhan. Dengan demikian, hulul yang terjadi hanya sekedar  kesadaran psikis yang berlangsung pada kondisi fana’, atau hanya sekedar terleburnya nasut dalam lahut, atau dapat dikatakan antara keduanya tetap ada perbedaan.[30]


DAFTAR PUSTAKA

Abdu Al-Khaliq, Abdurrahman. Al-Fikru Al-Shufi fi Dhau-i Al-Kitab Wa Al-Sunnah. Kuwait: Maktabah Ibn Al-Taimiyah. cet. II
Al-Qushayyir, Ahmad bin Abdul Aziz. Aqidah Al-Shufiyah (Wihdah Al-Wujud Al Khafiyyah). Riyadh: maktabah Al-Rusydi. 2003
Al-Qusyairi, Abi Al-Qasim Abdu Al-karim Hawazin.  Al-Risalah Al-Qusyairiyah. Beirut: Dar Al-Kutub. 2001
Anwar, Rosihan dan Mukhtar Solihin. ilmu tasawuf. Bandung: Pustaka Setia. 2000, cet.I
As, Asmaran. Mengkaji Ulang Faham Ittihad Abu Yazid Al-Bustami. (makalah guru besar Ilmu Tasawuf pada Fakultas Ushuluddin dan Program Pascasarjana IAIN Antasari Banjarmasin)
Lauj , Muhammad Ahmad. Taqdis Al-Asykhash Fi Al-Fikri Al-Shufi. Kairo: Dar Ibn ‘Affan. 2002
Mansur, H.M. Laily. Ajaran dan Teladan Para Sufi. Jakarta: Raja Grapindo Persada. 2002
Turasun , Abu Al-Khair. Al-Tashauf fi Al-Qarnaini Al-Tsani wa Al-Tsalits wa Mauqif Al Fuqaha’ Al-Arba’ah Minhu (risalah muqaddimah li naili darajah ad-dukturah fi qism al “aqidah)
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah. 2010




[1] Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, ilmu tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), cet.I, hal. 130
[2] H.M. Laily Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi, (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2002) Hal. 85
[3] Abi Al-Qasim Abdu Al-karim Hawazin al-Qusyairi, Al-Risalah Al-Qusyairiyah, (Beirut: Dar Al-Kutub, 2001), hal. 37
[4] Asmaran As, Mengkaji Ulang Faham Ittihad Abu Yazid Al-Bustami, (makalah guru besar Ilmu Tasawuf pada Fakultas Ushuluddin dan Program Pascasarjana IAIN Antasari Banjarmasin) hal. 2
[5] Abi Al-Qasim Abdu Al-karim Hawazin al-Qusyairi, op.cit. hal. 37
[6] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah, 2010) hal. 326
[7] Ibid, hal. 72
[8] Asmaran As,Op.cit, hal. 4
[9]Abi Al-Qasim Abdu Al-karim Hawazin al-Qusyairi, op.cit, hal. 103
[10] Ahmad bin Abdul Aziz Al-Qushayyir, Aqidah Al-Shufiyah (Wihdah Al-Wujud Al Khafiyyah), (Riyadh: maktabah Al-Rusydi, 2003) hal. 44
[11] Ibid, hal. 45
[12] Asmaran As, Mengkaji Ulang Faham Ittihad Abu Yazid Al-Bustami, hal. 8
[13] Abdurrahman Abdu Al-Khaliq, alfikru al-shufi fi dhau-i al kitab wa al-sunnah, (Kuwait: Maktabah Ibn Al-Taimiyah) cet. II, hal. 201
[14] Op.Cit, hal. 9-10
[15] Abul Al-Khair Turasun, Al-Tashauf fi Al-Qarnaini al-tsani wa Al-Tsalitswa mauqif al fuqaha’ al arba’ah minhu (risalah muqaddimah li naili darajah ad-dukturah fi qism al “aqidah), hal. 122
[16] H.M. Laily Mansur, op.cit hal. 110
[17] Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, op.cit , hal. 136
[18] Opcit, hal. 111 dan lih. Muhammad Ahmad Lauj, taqdis al-Asykhash fi al-fikri al-shufi. Hal. 490
[19] Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, opcit , hal. 137
[20] H.M. Laily Mansur, opcit hal. 111
[21] Ahmad bin Abdul Aziz Al-Qushayyir, opcit, hal. 45
[22] Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, op.cit, hal. 137
[23] Sifat lahut : sifat ketuhanan
[24] Sifat nasut : sifat kemanusiaan
[25] H.M. Laily Mansur, op.cit. hal. 111
[26] Op.Cit, hal. 138
[27] Muhammad Ahmad Lauj, taqdis al-Asykhash fi al-fikri al-shufi. Hal. 490
[28] Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, ilmu tasawuf, hal. 138-139
[29] Opcit, hal 492
[30] Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, ilmu tasawuf, hal. 139-141

Tidak ada komentar:

Posting Komentar