Sufisme yang sering disamakan dengan tasawuf adalah
istilah terhadap gerakan mistik dalam dunia Islam. Para sufi biasanya menempuh
jalan yang disebut thariqah, yakni jalan spiritual yang dilalui para sufi
menuju terwujudnya kedekatan dan kesatuan dengan Tuhan.
Pada kesempatan ini akan dibahas mengenai perjalanan
hidup dua orang sufi, Abu Yazid Al- Bustami dan Abu Manshur Al-Hallaj serta
ajaran tasawufnya.
II.
Pembahasan
A. Abu Yazid Al- Bustami
1. Biografinya
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid bin Thaifur bin ‘Isa bin Syurusan
Al-Bustami, lahir di daerah Bustam, Khurasan, Persia tahun 188 H. Nama kecilnya
adalah Taifur. Kakeknya bernama Surusyan, seorang penganut agama Zoroaster,
kemudian masuk dan menjadi pemeluk Islam di Bustam. Keluarga Abu Yazid termasuk
berada di daerahnya, tetapi ia lebih memilih hidup sederhana. Sejak dalam
kandungan ibunya, konon kabarnya Abu Yazid telah mempunyai kelainan, ibunya
berkata bahwa ketika dalam perutnya, Abu Yazid akan memberontak sehingga ibunya
muntah kalau menyantap makanan yang diragukan kehalalannya.
Sewaktu meningkat usia remaja, Abu Yazid terkenal sebagai murid
yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti perintah agama dan berbakti
kepada kedua orang tuanya. Suatu kali gurunya menerangkan suatu ayat dari surat
Luqman yang artinya, “berterimakasihlah kepadaku dan kepada kedua orang tuamu”.
Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid, ia kemudia berhenti belajar dan
pulang untuk menemui ibunya. Sikapnya ini menggambarkan bahwa
ia selau berusaha memenuhi setiap panggilan Allah.
Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memakan waktu
puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih
dahulu telah menjadi seorang fakih dari mazhab Hanafi. Salah seorang gurunya
yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi. Ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu
hakikat, dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid.[1]
Abu Yazid tidak meninggalkan karangan yang dapat dipelajari, namun
demikian ajaran-ajarannya tersebar melalui lisan murid-muridnya. Salah satu
sumber penting adalah kitab yang berjudul Al-Nur Min Kalimat Abi Thaifur karangan
Al-Sahlaji, tetapi sayang tidak sampai kepada kita.
Menurut Abu Yazid, wali Allah ada tiga macam. Seorang zahid karena
zuhudnya, seorang ‘abid karena ibadahnya, dan seorang alim karena ilmunya.
Abu Yazid sendiri menjalani jalan pertama, selama 30 tahun ia
berkelana di padang pasir Syiria, hidup dengan zuhud, sedikit makan, sedikit
minum dan sedikit tidur.
Dari zuhud tumbuh cinta yang mendalam. Mahabbah yang ada pada Abu
Yazid selalu mendalam dan selalu meluas hingga menghanyutkan dirinya tenggelam
dalam kezuhudannya.[2]
Suatu kali ia ditanya, “dengan apa kamu mendapatkan ma’rifah ini?”
lalu ia menjawab “dengan sedikit makan dan badan yang kurus”
Dan ia juga berkata, “ aku pernah terniat untuk meminta kepada
Allah untuk mencukupkanku dari kebutuhan makanan dan dari pasangan hidup”
kemudian terfikir olehku : “bagaimana mungkin aku meminta yang demikian kepada
Allah, sedangkan Rasulullah Saw saja tidak memintanya. Kemudian Allah
mencukupkanku dari kebutuhan terhadap perempuan, hingga tiap kali aku
berhadapan dengan perempuan aku tidak tahu lagi apakah itu perempuan atau
dinding” [3]
Abu Yazid merupakan seorang tokoh sufi yang
membawa ajaran yang berbeda dengan ajaran-ajaran tasawuf sebelumnya. Ajaran
yang dibawanya banyak ditentang oleh ulama Fikih dan Kalam, yang menjadi sebab
ia keluar masuk penjara. Meskipun demikian, ia memperoleh banyak pengikut yang
percaya kepada ajaran yang dibawanya. Para pengikutnya menamakannya Taifur.
Kata yang diucapkannya seringkali mempunyai arti yang begitu mendalam, sehingga
jika ditangkap secara lahir akan membawa kepada syirik, karena mempersekutukan
antara Tuhan dengan manusia.[4]
Dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu
Yazid dipandang sebagai pembawa faham al-fana’ dan al-baqa’
serta sekaligus
pencetus faham al-ittihād.
Mengenai tahun wafatnya, tidak ada yang
tahu pasti tahun berapa ia wafat, sebagian sumber mengatakan bahwa ia wafat
pada tahun 261 H, dan sebagian lainnya
mengatakan tahun 234 H.[5]
2.
Ajaran Tasawuf Abu Yazid
Dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu
Yazid al-Bustami dipandang sebagai pembawa arah timbulnya aliran “kesatuan
wujud” atau ittihad, sebelum seorang sufi memasuki tahap penyatuan dengan Tuhan
(al-ittihād), ia harus terlebih dahulu dapat
menghancurkan dirinya melalui fana’.
Penghancuran diri (fana’) dalam khazanah sufi senantiasa diiringi dengan
baqa’.
a)
Fana’ dan baqa’
Secara bahasa, fana’ berarti tidak kekal,
lenyap dan hilang keberadaannya.[6] Baqa’ (lawan dari fana’)
artinya kekal.[7] Adanya fana’ menunjukkan adanya baqa’.
-
من فنى عن المخالفات بقى فى الموافقات
-
من فنى عن الأوصاف المذمومة بقى بالأوصاف المحمودة
-
من فنى عن أوصافه بقى بأوصاف الحق
-Jika seseorang dapat menghilangkan
maksiatnya, yang akan tinggal ialah taqwanya.
-Siapa yang menghancurkan sifat-sifat
(akhlak) yang buruk, tinggal baginya sifat-sifat yang baik.
-Siapa yang menghilangkan sifat-sifatnya,
tinggal baginya sifat-sifat Tuhan
Dalam istilah tasawuf, fana’ berarti penghancuran diri yaitu al-fana’‘an al-nafs. Yang dimaksud dengan al-fana’ ‘an al-nafs ialah hancurnya perasaan atau kesadaran
seseorang terhadap wujud tubuh kasarnya dan alam sekitarnya.[8]
Dalam hal ini Al-Qusyairi mengatakan :
فناؤه عن نفسه و عن الخلق بزوال احساسه بنفسه وﺑﻬم
فنفسه موجودة والخلق موجودون ولكنه لا علم له ﺑﻬم ولابه
“Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi dengan
hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang makhluk lain itu... Sebenarnya
dirinya ada dan demikian pula makhluk lain tesebut ada, namun Ia tidak sadar
lagi pada mereka dan pada dirinya”.
فمن فني عن جهلة بقي بعلمه ... و من فني عن شهوته بقي
بانابته ...
و من فني عن رغبته بقي بزهادته ... و من فني عن منيته
بقي بارادته تعالى
“orang yang lenyap darinya kebodohan, maka
ia kekal dengan ilmunya, dan siapa yang hilang darinya syahwat, ia akan
kekal dengan taubatnya, siapa yang luput darinya keinginannya, maka ia kekal
dengan zuhudnya, dan siapa saja yang hilang darinya angan-angannya, maka ia
kekal dengan keinginan Allah Swt” [9]
b)
al-ittihād
Secara bahasa al-ittihad merupakan
bentuk mashdar dari kata ittahada, yattahidu, yang mempunyai arti
bersatunya beberapa unsur menjadi satu. [10]
Sedangkan menurut istilah sufi al-ittihad
artinya bercampurnya makhluk dan khalik hingga tergabung menjadi satu dzat.[11]
Al-itihad merupakan satu tingkatan tasawuf di mana
seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan di mana
yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu.
Al-ittihād dalam ajaran tasawuf adalah tingkat
tertinggi yang dapat dicapai dalam perjalanan jiwa manusia. Orang yang telah
sampai ketingkat ini, dia dengan Tuhannya telah menjadi satu, terbukalah
dinding baginya, dia dapat melihat sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata,
mendengar sesuatu yang tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak pernah
terlintas di hati. Pada saat itu sering keluar ucapan-ucapan yang ganjil dan
aneh yang disebut tasawuf dengan syatahat.
Al-ittihād itu akan tercapai kalau seorang sufi telah
dapat menghilangkan kesadarannya. Dia tidak mengenal lagi wujud tubuh kasarnya
dan wujud alam sekitarnya. Namun lebih dari itu sebenarnya dalam faham al-ittihād hilangnya kesadaran adalah permulaan untuk
memasuki tingkat al-ittihād yang sebenarnya dicapai dengan adanya kesadaran terhadap dirinya
sebagai Tuhan. Keadaan inilah yang disebut dengan kesinambungan hidup setelah
kehancuran (“abiding after passing away”, al-baqa’ ba’ad al-fana’). Dan hilangnya kesadaran (fana’) yang merupakan awal untuk memasuki pintu ittihād itu adalah pemberian Tuhan kepada seorang
sufi.
Sekarang kalau memang fana yang merupakan
pra syarat untuk mencapai ittihād itu adalah pemberian Tuhan, maka pemberian itu akan datang
sendirinya setelah seorang sufi bersungguh-sungguh bersabar dalam usaha
memberikan jiwa. [12]
Banyak para sufi yang mengaku bahwa mereka
telah mi’raj ke langit, dan Abu yazid merupakan sufi pertama yang mengatakan
bahwa ia telah mi’raj sebagaimana mi’rajnya nabi Saw. [13]
Paham ittihād
ini dalam istilah
Abu Yazid disebut tajrîd
fana’ fî al-tauhîd,
yaitu perpaduan dengan Tuhan tanpa diantarai sesuatu apapun. Ketika terjadi fana’
‘an nafs ia berada sangat dekat dengan Tuhan hingga terjadi perpaduan. Situasi
ittihād
ini lebih jelas lagi
dalam ungkapannya :
قال : يا ابا يزيد إﻧﻬم كلهم خلقى غيرك
فقلت : فأنا أنت وأنت أنا و أنا أنت
Artinya : “Tuhan berkata : wahai Abu Yazid
semua mereka kecuali engkau adalah makhluk-Ku. Akupun berkata: Aku adalah
Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau”
Selanjutnya Abu Yazid berkata :
إني أنا الله لا إله إلا أنا فاعبدني
Artinya: “Sesungguhnya aku ini adalah
Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku".
Secara lahiriyah, ungkapan-ungkapan Abu
Yazid di atas itu
seakan-akan ia mengaku dirinya Tuhan. Akan
tetapi bukan demikian
maksudnya. Di sini Abu Yazid mengucapkan
kata “Aku” bukan sebagai
gambaran dari diri Abu Yazid sendiri,
tetapi sebagai gambaran Tuhan,
karena Abu Yazid telah bersatu dengan diri
Tuhan. Dengan kata lain Abu
Yazid dalam ittihād berbicara dengan nama Tuhan. Atau lebih
tepat lagi Tuhan “berbicara” melalui lidah Abu Yazid.
Dalam hal ini Abu Yazid
menjelaskan :
لأنه هو الذى يتكلم بلسانى أما أنا فقد فنيت
Artinya : “Sebenarnya Dia berbicara melalui
lidahku sedang aku sendiri
dalam keadaan fana.”
Oleh karena itu sebenarnya Abu Yazid tidak
mengaku dirinya
sebagai Tuhan. Kata-kata serupa di atas
bukan diucapkan oleh Abu Yazid
sebagai kata-katanya sendiri, tetapi
kata-kata itu diucapkan dalam keadaan
ittihād. [14]
B. Abu Manshur Al-Hallaj
1. Biografinya
Al-Hallaj adalah orang pertama yang mencetuskan paham “al-hulul”dalam tasawuf, ia terkenal
dengan perkataannya “ana al-haq”. Komentar imam al Dzahabi tentangnya :
“semua sufi dan para ulama berlepas diri darinya karena sejarah hidupnya yang
buruk”.[15]
Nama lengkapnya Abul Mughits al-Husain bin Manshur al-Hallaj,
dilahirkan di Baidha Persia pada tahun 244 H.
Pada usia 16 tahun ia belajar kepada sufi besar Sahal bin Abdullah
al-Tustari di Ahwaz. Sehabis belajar dengan sufi tersebut ia pergi ke Basrah
dan belajar pada Amr ibnu Utsman al-Makki seorang sufi terkemuka di zamannya,
tetapi tidak lama kemudian ia pindah. Pada tahun 264 H ia pergi ke Baghdad dan
belajar kepada Junaid al-Baghdadi, pemuka semua sufi, namun ia tidak diterima
hingga meninggalkannya tanpa izin.
Al Hallaj selalu hidup berpindah-pindah dalam pengembaraan yang
panjang. Di dalam pengembaraan itu ia telah tinggal di daerah-daerah Tustur,
Khurasan, Sijistan, Kharman, Persia, Ahwaz, Basrah dan Baghdad. Ia juga
mengembara ke daerah timur, dimulai dari Turkistan, Mesir dan beberapa daerah
di India. Selama dalam perjalanan ia mendapat gelaran yang bermacam-macam. [16] Ia
digelari Al-Hallaj karena penghidupannya yang diperoleh dari memintal wol.[17]
Selama dalam pengembaraannya ia telah melaksanakan ibadah haji sebanyak
tiga kali, dan setelah melaksanakan ibadah haji yang ketiga itulah ia menetap
di Baghdad dan mengajarkan ajaran-ajaran tasawufnya yang berbeda dengan
ajaran-ajaran tasawuf sebelum dan bahkan sezaman dengannya.
Dalam menanggapi tasawufnya masyarakat terpecah belah dan
stabilitas keamanan terganggu. Kalangan ahli tasawuf sendiri terpecah belah,
ada yang mendukung dan ada yang menolak dan menuduhnya sebagai ahli sihir.
Berdasarkan laporan-laporan masyarakat, maka pemerintah segera menahan dan
menyeretnya ke pengadilan. Keputusan pengadilan ia dihukum mati dan
pelaksanaannya berlangsung pada tanggal 29 Dzulka’dah 309 H.[18]
Kematian tragis Al-Hallaj yang tampak seperti dongeng tidak membuat
gentar para pengikutnya. Ajarannya masih tetap berkembang. Terbukti setelah
satu abad dari kematiannya, di Irak ada 4000 orang yang menamakan diri Hallajiah.
Di sisi lain pengaruhnya sangat besar terhadap para pengikutnya.[19]
Selama dalam penjara Al-Hallaj banyak menulis hingga mencapai 48
buah buku. Judul-judul bukunya itu tampak asing dan isinya juga banyak yang
aneh dan sulit dipahami. Ketika hukuman dilaksanakan, buku-buku tersebut juga
ikut dihancurkan, kecuali satu yang disimpan pengikutnya yaitu Ibnu ‘Atha
dengan judul Al-Thawasi Al-Azal. Dari kitab ini dan murid-muridnya dapat
diketahui tentang ajaran Al-Hallaj dalam tasawuf.[20]
2.
Ajaran tasawuf Al-Hallaj
Diantara ajaran tasawuf Al-Hallaj yang paling terkenal adalah Al-Hulul.
Kata al-hulul secara bahasa mempunyai arti menempati suatu tempat.
Secara istilah tasawuf, al-hulul bermakna turunnya dzat
Tuhan ke dzat manusia dan mengambil tempat disana.[21]
Secara jelasnya al-hulul adalah suatu paham yang mengatakan
bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di
dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.[22]
Al Hallaj mengajarkan bahwa Tuhan memiliki sifat lahut[23]
dan nasut[24],
demikian juga manusia.[25]
Ia menakwilkan ayat : ø
Î)ur
$oYù=è%
Ïps3Í´¯»n=uKù=Ï9
(#rßàfó$#
tPyKy
(#ÿrßyf|¡sù
HwÎ)
}§Î=ö/Î)
4n1r&
uy9õ3tFó$#ur
tb%x.ur
z`ÏB
úïÍÏÿ»s3ø9$#
ÇÌÍÈ
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada
Para Malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," Maka sujudlah mereka
kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan ia termasuk golongan orang-orang yang
kafir.” (Al-Baqarah : 34)
Bahwa Allah memberi perintah kepada para malaikat untuk sujud
kepada Adam. Karena yang berhak untuk diberi sujud hanya Allah, Al-Hallaj
memahami bahwa dalam diri Adam sebenarnya ada unsur ketuhanan. Ia berpendapat
demikian karena sebelum menjadikan makhluk, Tuhan melihat dzat-Nya sendiri,
cinta yang tidak dapat disifatkan dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan
sebab dari yang banyak ini. Ia mengeluarkan sesuatu dari tiada dalam bentuk copy
diri-Nya yang mempunyai segala sifat dan nama. Bentuk copy ini
adalah Adam, pada diri Adam lah, Allah muncul.[26]
Al Hallaj berkata :
سبحان من أظهر ناسوته
سرّ سنا لاهوته الثاقب
ثم ّ بدا في خلقه ظاهرا
في صورة
الآكل والشارب[27]
“Maha suci Dzat yang sifat kemanusiaan-Nya
membuka rahasia ketuhanan-Nya yang gemilang. Kemudian kelihatan oleh
makhluk-Nya dengan nyata dalam bentuk manusia yang makan dan minum”.
Melalui sya’ir di atas, tampaknya al-Hallaj memperlihatkan bahwa
Tuhan mempunyai dua sifat dasar, yaitu sifat ketuhanan-Nya (lahut) sendiri dan sifat kemanusiaan (nasut). Jika
nasut Allah mengandung tabi’at seperti manusia yang terdiri atas roh dan jasad,
lahut tidak dapat bersatu dengan manusia kecuali dengan cara menempati tubuh
setelah sifat-sifat kemanusiaan tubuh tersebut hilang.
Dalam syairnya ia mengungkapkan :
مُزِجت روحُك و روحي كما
تُمزَج
الخمرة بالماء الزُلال
فإذا مسّك شيء مسّني
فإذا
أنت أنا في كل حال
أنا من أهوى و من أهوى أنا
نحن
روحان حللنا بدنا
فإذا أبصرتني أبصرته
فإذا
أبصرته أبصرتنا
“jiwamu disatukan dengan jiwaku
sebagaimana anggur disatukan dengan air
suci,
Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia pun menyentuhku, dan
ketika itu dalam tiap hal Engkau adalah aku” [28]
“aku adalah Ia yang kucintai dan Ia yang
kucintai adalah aku, kami adalah dua jiwa yang bertepat dalam satu tubuh.
Jika engkau lihat Aku, engkau lihat Ia, jika engkau lihat Ia,
engkau lihat kami” [29]
Berdasarkan sya’ir di atas dapat dipahami bahwa persatuan antara
Tuhan dan manusia dapat terjadi dengan mengambil bentuk hulul. Dengan
demikian, agar dapat bersatu manusia harus terlebih dahulu menghilangkan
sifat-sifat kemanusiaannya. Setelah sifat-sifat kemanusiaannya hilang dan hanya
tinggal sifat ketuhanan yang ada dalam dirinya, disitulah Tuhan mengambil
tempat dalam dirinya, dan ketika itu roh Tuhan dan roh manusia bersatu dalam
tubuh manusia.
Menurut Al-Hallaj, pada terkandung kefanaan total kehendak manusia
dalam kehendak ilahi, sehingga setiap kehendaknya adalah kehendak Tuhan,
demikian juga tindakannya. Namun di lain waktu Al- Hallaj mengatakan:
“siapa yang mengira bahwa ketuhanan berpadu jadi satu dengan
kemanusiaan ataupun kemanusiaan berpadu dengan ketuhanan, maka kafirlah ia.
Sebab, Allah mandiri dalam dzat dan
sifat-Nya dari zat dan sifat makhluk. Ia tidak sekali-kali menyerupai
makhluk-Nya dan mereka pun tidak sekali-kali menyerupai-Nya.”
Dengan demikian Al-Hallaj sebenarnya tidak mengakui dirinya Tuhan
dan juga tidak sama dengan Tuhan, seperti terlihat dalam sya’irnya:
أنا سِرّ الحق ما الحق أنا # بل أنا حق ففرق بيننا
Artinya : “ Aku adalah rahasia yang maha benar, dan bukanlah yang
maha benar itu aku, aku hanya satu dari yang benar, maka bedakanlah antara
kami”
Dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa hulul yang terjadi
pada Al-Hallaj tidaklah nyata karena memberi pengertian secara jelas adanya
perbedaan antara hamba dan Tuhan. Dengan demikian, hulul yang terjadi
hanya sekedar kesadaran psikis yang
berlangsung pada kondisi fana’, atau hanya sekedar terleburnya nasut
dalam lahut, atau dapat dikatakan antara keduanya tetap ada perbedaan.[30]
DAFTAR PUSTAKA
Abdu Al-Khaliq, Abdurrahman. Al-Fikru
Al-Shufi fi Dhau-i Al-Kitab Wa Al-Sunnah. Kuwait: Maktabah Ibn Al-Taimiyah.
cet. II
Al-Qushayyir, Ahmad bin Abdul Aziz. Aqidah
Al-Shufiyah (Wihdah Al-Wujud Al Khafiyyah). Riyadh: maktabah Al-Rusydi.
2003
Al-Qusyairi, Abi Al-Qasim Abdu
Al-karim Hawazin. Al-Risalah
Al-Qusyairiyah. Beirut: Dar Al-Kutub. 2001
Anwar, Rosihan dan Mukhtar Solihin. ilmu
tasawuf. Bandung:
Pustaka Setia. 2000, cet.I
As, Asmaran. Mengkaji Ulang Faham
Ittihad Abu Yazid Al-Bustami. (makalah guru besar Ilmu Tasawuf pada
Fakultas Ushuluddin dan Program Pascasarjana IAIN Antasari Banjarmasin)
Lauj , Muhammad Ahmad. Taqdis
Al-Asykhash Fi Al-Fikri Al-Shufi. Kairo: Dar Ibn ‘Affan. 2002
Mansur, H.M. Laily. Ajaran dan
Teladan Para Sufi. Jakarta: Raja Grapindo Persada. 2002
Turasun , Abu Al-Khair. Al-Tashauf
fi Al-Qarnaini Al-Tsani wa Al-Tsalits wa Mauqif Al Fuqaha’ Al-Arba’ah Minhu (risalah
muqaddimah li naili darajah ad-dukturah fi qism al “aqidah)
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: PT.
Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah. 2010
[1] Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, ilmu tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), cet.I,
hal. 130
[3] Abi Al-Qasim Abdu Al-karim Hawazin al-Qusyairi, Al-Risalah
Al-Qusyairiyah, (Beirut: Dar Al-Kutub, 2001), hal. 37
[4] Asmaran As, Mengkaji
Ulang Faham Ittihad Abu Yazid Al-Bustami, (makalah guru
besar Ilmu Tasawuf pada Fakultas Ushuluddin dan Program Pascasarjana IAIN
Antasari Banjarmasin) hal. 2
[5] Abi Al-Qasim Abdu Al-karim Hawazin al-Qusyairi, op.cit. hal. 37
[7] Ibid, hal. 72
[8] Asmaran As,Op.cit, hal. 4
[9]Abi Al-Qasim Abdu Al-karim Hawazin al-Qusyairi, op.cit, hal. 103
[10] Ahmad bin Abdul Aziz Al-Qushayyir, Aqidah Al-Shufiyah (Wihdah
Al-Wujud Al Khafiyyah), (Riyadh: maktabah Al-Rusydi, 2003) hal. 44
[11] Ibid, hal. 45
[12] Asmaran As, Mengkaji Ulang Faham Ittihad Abu Yazid Al-Bustami, hal.
8
[13] Abdurrahman Abdu Al-Khaliq, alfikru al-shufi fi dhau-i al kitab wa
al-sunnah, (Kuwait: Maktabah Ibn Al-Taimiyah) cet. II, hal. 201
[14] Op.Cit, hal. 9-10
[15] Abul Al-Khair Turasun, Al-Tashauf fi Al-Qarnaini al-tsani wa
Al-Tsalitswa mauqif al fuqaha’ al arba’ah minhu (risalah muqaddimah li
naili darajah ad-dukturah fi qism al “aqidah), hal. 122
[16] H.M. Laily Mansur, op.cit hal. 110
[17] Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, op.cit , hal. 136
[18] Opcit, hal. 111 dan lih. Muhammad Ahmad Lauj, taqdis al-Asykhash fi
al-fikri al-shufi. Hal. 490
[19] Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, opcit , hal. 137
[20] H.M. Laily Mansur, opcit hal. 111
[21] Ahmad bin Abdul Aziz Al-Qushayyir, opcit, hal. 45
[22] Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, op.cit, hal. 137
[23] Sifat lahut : sifat ketuhanan
[24] Sifat nasut : sifat kemanusiaan
[25] H.M. Laily Mansur, op.cit. hal. 111
[28] Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, ilmu tasawuf, hal. 138-139
[29] Opcit, hal 492
[30] Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, ilmu tasawuf, hal. 139-141
Tidak ada komentar:
Posting Komentar