Islam
merupakan agama sempurna yang diturunkan Allah Swt dalam menuntun umat manusia
ke jalan yang lurus dan benar. Konsep ajaran Islam mencakup seluruh aspek
kehidupan manusia sehingga mampu menjadi solusi atas berbagai persoalan hidup
yang dihadapi manusia. Hal inilah yang menjadikan Islam sebagai agama yang
unggul dibandingkan agama-agama lainnya.
Semenjak
Nabi Muhammad Saw diutus menjadi Rasul, maka setiap permasalahan yang dihadapi
oleh kaum muslimin senantiasa dikembalikan kepada beliau. Sehingga setiap
permasalahan yang dihadapi oleh kaum muslimin dapat tertangani dengan baik
karena dituntun langsung oleh Allah Swt melalui wahyu yang diturunkan kepada
beliau.
Akan
tetapi, setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw persoalan yang dihadapi oleh kaum
muslimin senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Sementara,
wahyu tidak lagi turun dan kebanyakkan persoalan tersebut merupakan persoalan
yang baru dan tidak diatur secara jelas di dalam nash al-Qur’an dan Hadis. Hal
ini membuat para sahabat dan para ulama sesudah beliau untuk mampu menjawab
segala persoalan tersebut dengan menggali isi kandungan al-Qur’an dan sunnah
melalui metode ijtihad.
Di
sinilah letak pentingnya para mujtahid melalui tangan-tangan merekalah hukum
Islam senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan zaman yang dihadapi oleh
kaum muslimin. Sehingga, berbagai persoalan kaum muslimin yang muncul dan tidak
diatur di dalam al-Qur’an dan sunnah secara jelas dapat dipecahkan melalui
penggalian hukum-hukum syara’ yang terkandung dalam nash. Jelas usaha ini
dibutuhkan kehati-hatian dan sumbangan pikiran yang cukup dalam dalam menjawab
persoalan tersebut agar tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah.
Sejak
abad kedua hijriyah umat Islam sudah mengenal Imam-Imam Mujtahid mutlak yang
terkenal dengan kedalaman ilmu yang mereka miliki. Diantaranya, Imam Abu
Hanifah sekaligus pendiri mazhab hanafi, Imam Malik bin Anas pendiri mazhab
Maliki, Imam al-Syafi’i pendiri mazhab syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal
pendiri mazhab Hanbali. Mereka inilah tokoh-tokoh umat Islam yang berjasa dalam
membangun khasanah hukum Islam di tengah-tengah umat hingga saat ini.
Namun
yang menjadi fokus makalah ini ialah tentang Imam al-Syafi’i dan Imam Ahmad bin
Hanbal. Oleh karena itu, penulis akan berusaha memberikan gambaran secara
ringkas tentang Imam al-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal yang berkaitan dengan
biografi, ushul mazhab, sikap terhadap sunnah dan perkembangan mazhab mereka
hingga saat ini.
B. Pembahasan
1. Muhammad bin
Idris al-Syafi’iy (Imam al-Syafi’i)
a. Biografi (150
H – 204 H)
Dalam kebanyakan riwayat bahwa al-Syafi’i
lahir di Gaza pada tahun 150 H, bertepatan pada tahun meninggalnya Imam Abu
Hanifah. Dari Abu Farasy al-Muthallabi, ia bernama Muhammad bin Idris bin
al-‘Abbas bin Usman bin Syafi’i bin al-Saib bin ‘Ubaid bin Abdu Yazid bin
Hasyim bin ‘Abdu al-Muthallib bin ‘Abdu Manaf. Keturunannya bertemu dengan Nabi
SAW pada ‘Abdul Manaf.[1]
Ayahnya meninggal dunia ketika beliau
masih dalam buaian, hidup dalam kemiskinann dan ketika ibunya takut nasab
anaknya hilang sehingga hilanglah beberapa hak yang dapat menjauhkannya dari
sulitnya ujian hidup. Kemudian ibunya membawa beliau ke Makkah berumur sepuluh
tahun agar dapat hidup bersama orang-orang Quraisy, bertemu dengan nasabnya
yang tinggi.[2]
Dalam usia kanak-kanak, sekitar tujuh
tahun, ia sudah hafal al-Qur’an di luar kepala. Sesudah itu ia menghafal hadis-hadis
Nabi. al-Syafi’i juga tekun belajar bahasa Arab, bahkan karena minatnya yang
sedemikian besar pada bidang ini membawanya selalu berkelana ke pelosok-pelosok
pedesaan. Sehubungan dengan kecenderungan ini, al-Syafi’i berkata, “Saya selalu
pergi ke pelosok-pelosok desa (badawah). Saya lama hidup di
tengah-tengah masyarakat Huzail yang terkenal fasih dalam bahasa Arab. Ketika
kembali ke Mekah, saya punya perasaan sastra yang dalam.[3]
Imam
al-Syafi’i kemudian belajar ilmu fikih dari Muslim bin Khalid al-Zauji, seorang
mufti kota Mekah, setelah mendapatkan motivasi dari teman belajarnya sampai
akhirnya mendapat legitimasi berupa izin untuk berfatwa mandiri. Di samping itu
ia juga belajar hadis pada Imam Sufyan bin Uyaynah serta ilmu al-Qur’an dari
Imam Ismail bin Qostatin.[4]
Ia
menghafal al-Muwattha’ dibawah asuhan Sufyan bin Uyainah dan Muslim Khalid,
sebelum bertemu dengan penulisnya, Imam Malik, untuk berguru kepadanya di
Madinah. Kesetiaannya berguru kepada Imam Malik ditunjukkan dengan belajar di sana
hingga sang Guru wafat pada 179 H. ia menjadi pengikut dan salah seorang
penyebar mazhab Malik sebelum menjadi Mujtahid mandiri .[5]
Setelah
lama mengembara menuntut ilmu, kemudian ia menetapkan pilihannya di Baghdad.
Karena kota itu adalah tempat menuntut ilmu selain Madinah. Di tempat ini Imam
al-Syafi’i belajar kepada Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, keduanya merupakan
sahabat dan murid Abu Hanifah. Di samping itu beliau juga belajar kepada Waki’
bin Jarrah, Abu Usamah bin Ahmad, Ismail bin Uyainah, Abdul Wahab bin Abdul
Majid dan tahun itu juga dia kembali ke Mekah. Di Mekah ia mengajarkan ilmu
yang diperolehnya bertempat di Masjidil Haram. Di sanalah beliau banyak
mengeluarkan pendapat dan konsep-konsep baru tentang metodologi penetapan hukum.
Dalam mempelajari fikih ahl al-Ra’yi ini,
al-Syafi’i membaca kitab-kitab yang disediakan oleh Muhammad ibn al-Hasan,
kemudian mendiskusikannya dengan guru tersebut. Pada diskusi–diskusi yang
berlangsung di antara keduanya sistem dan metode ijtihad fikih ahl al-Hadis
yang lebih dahulu dikuasai oleh al-Syafi’i langsung dihadapkan dengan sistem
dan metode ahl al-Ra’yi (Hanafiyah) yang dikembangkan oleh Muhammad ibn
al-Hasan. Dengan demikian, al-syafi’i dapat melihat dengan jelas semua
kelebihan dan kelemahan yang terdapat pada kedua aliran tersebut.[6]
Pada saat keadaan Baghdad berubah setelah
al-Ma’mun condong kepada ilmu filsafat dan kalam menjabat sebagai Khalifah dan
lebih mendahulukan orang-orang mu’tazilah, serta menyerahkan banyak banyak
jabatan kehakiman kepada mereka, sehingga Imam al-Syafi’i menjadi tidak betah
untuk bermukim lama di Baghdad, terutama setelah para fuqaha’ mendapat
siksaan dengan isu al-Qur’an adalah makhluk terutama yang menimpa Imam Ahmad
sehingga Imam al-Syafi’i harus berpindah ke negeri lain dan ia menemukan
impiannya, yaitu Mesir. Ia pun pergi ke sana pada tahun 199 H, menetap untuk
mengajar dan memberi fatwa, menuliskan hadis dan mazhabnya yang baru, serta
meninggalkan mazhab lamanya. Imam al-Syafi’i berinteraksi dengan orang-orang
mesir, mengenali adat istiadat mereka, belajar dari para ulama hadis yang belum
pernah beliau dengar di Irak. Inilah yang mendorong beliau untuk melihat
kembali pendapatnya di Irak. Imam al-Syafi’i meninggal di Mesir pada tahun 204
H.[7]
b.
Ushul Mazhab
Asas mazhab al-Syafi’i terdapat pada kitab
al-risalah yaitu dengan mengambil yang terdapat di dalam al-Qur’an,
kemudian mengambil dari sunnah, ijma’, dan Qiyas.[8]
Dalam beberapa literatur juga disebutkan bahwa Imam al-Syafi’i juga berhujjah
dengan Qaul shahabah. Sebagaimana penjelasan berikut :
1.
al-Qur’an
dan Sunnah
al-Qur’an dan sunnah
merupakan sumber utama bagi fiqh Islam, dan selain keduanya adalah pengikut
saja. Para sahabat terkadang sepakat atau berbeda pendapat, tetapi tidak pernah
bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah.
Keduannya merupakan
sumber bagi segala sumber pendapat, baik dengan nash atau melalui
penafsirannya. Demikian pula ijma’, pasti bersandar kepada keduanya dan tidak
mungkin keluar darinya, dan setiap ilmu harus diambil dari yang lebih tinggi,
dan keduanya adalah yang tertinggi. Istilah penyatuan antara al-Qur’an dan
sunnah padahal keduanya bukan satu martabat, bukan berarti bahwa sunnah sama
dengan al-Qur’an dari segala aspek. Imam al-Syafi’i hanya menilai bahwa
al-Qur’an merupakan dasar agama, tiang dan hujjah-nya. Sunnah adalah
cabang dan al-Qur’an adalah dasarnya. Oleh karena itu, darinya ia mengambil
kekuatan sehingga disamakan kedudukannya dalam meng-instinbat hukum,
membantu al-Qur’an dalam menjelaskan makna dan syari’at yang terkandung di
dalamnya yang dapat membawa kemaslahatan bagi umat dalam kehidupan mereka.
Dalam menjelaskan masalah
furu’iyah, Imam al-Syafi’i meletakkan ilmu tentang sunnah, sama dengan ilmu
tentang al-Qur’an agar instinbath hukum tidak meleset. Akan tetapi,
beliau tidak meletakkan setiap hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw.
sama dengan al-Qur’an yang mutawatir, karena hadis ahad tidak sama kedudukannya
dengan hadis mutawatir, apalagi jika disamakan dengan ayat al-Qur’an. Imam
al-Syafi’i mengingatkan tentang hal tersebut ketika membatasi sunnah yang sama kedudukannya
dengan al-Qur’an adalah sunnah shahih. Imam al-Syafi’i sangat longgar dalam
menyeleksi sunnah, tidak memberikan syarat seperti yang dilakukan oleh Abu
Hanifah dan Malik, dan yang beliau syaratkan hanya hadis yang shahih, sanadnya
bersambung. Dan karena hadis mursal tidak bersambung sanadnya, maka beliau
tidak mau mengambil hadis kecuali dari hadis-hadis mursal Sa’id bin
al-Musayyib.[9]
2.
Ijma’
Imam al-Syafi’i
menjadikan ijma’ sebagai hujjah setelah al-Qur’an dan sunnah, dan sebelum
qiyas. Ijma’ dalam pandangan al-Syafi’i adalah kesepakatan para ulama yang
se-masa atas perkara tertentu, sehingga timbul kesepakatan di antara mereka
sebagai hujjah. Ijma’ yang paling baik adalah ijma’ sahabat karena ditempatkan
pada tingkatan pertama, karena yang menjadi dalil bahwa mereka mendengar secara
langsung dari Rasulullah Saw. yang hidup semasa dengan mereka dengan hal itu
mereka sepakat atas hal tersebut, itu merupakan ijtihad di antara mereka.[10]
3.
Qaul
Sahabat
Qaul Shahabi ialah fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh sahabat Nabi Saw.,
menyangkut hukum masalah-masalah yang tidak diatur di dalam nash, baik
al-Qur’an maupun al-Sunnah.
Membahas masalah ini Imam al-Syafi’I membagi fatwa-fatwa sahabat
kepada tiga kelompok:
1.
Pendapat
yang memperoleh kesepakatan (ijma’) di kalangan mereka. Ini jelas mengikat dan
harus di jadikan hujjah.
2.
Pendapat
yang beragam dan tidak mencapai kesepakatan tentang ini, menurut Imam al-Syafi’i,
harus dilakukan tarjih dengan mempedomani dalil-dalil. Yang harus diambil ialah
pendapat yang sesuai dengan Kitab, Sunnah, ijma’, atau didukung oleh qiyas
yang lebih shahih.
3.
Pendapat
yang dikeluarkan oleh seorang sahabat saja tanpa dukungan ataupun bantahan dari
sahabat lainnya.[11]
4.
Qiyas
Menurut Imam al-Syafi’i,
setiap peristiwa pasti ada kepastian hukum dan umat Islam wajib
melaksanakannya. Akan tetapi, jika tidak ada ketentuan hukumnya yang pasti,
maka harus dicari pendekatan yang sah, yaitu dengan ijtihad. Dan ijtihad itu
adalah Qiyas.[12]
Al-Amidi, salah seorang ulama fikih Syafi’iyah mendefinisikan qiyas dengan
istilah bagi kesamaan antara furu’ dengan
asal dalam ‘illat yang di-istinbath-kan dari hukum asal. [13]
c.
Sikapnya Terhadap Sunnah
Imam al-Syafi’i memiliki peranan penting
dalam membela sunnah Rasulullah Saw dengan cara menghancurkan segala upaya
musuh dengan menyebarkan isu bahwa tidak layak menerima sesuatu yang tidak satu
makna dengan al-Qur’an atau berupa hadis mutawatir.
Imam al-Syafi’i telah menjelaskan betapa
besar dampak dari orang yang mengikari sunnah atau tidak mau menerima hadis
yang tidak sesuai dengan makna al-Qur’an, yaitu kita tidak dapat memahami
shalat, zakat, haji, atau yang lainnya ditetapkan oleh al-Qur’an dan sudah
dijelaskan oleh sunnah hanya sebatas makna bahasa saja, makna shalat tidak
sempurna, makna zakat juga tidak sempurna dan dengan itu kita menggugurkan
kewajiban shalat, zakat dan haji.
Sedangkan orang-orang yang mengatakan
tidak mau menerima hadis kecuali yang mutawatir saja akan berdampak pada
penolakan terhadap hadis ahad. Imam al-Syafi’i telah mengkritik mereka dan
mangatakan sirah Rasulullah menunjukkan bahwa Rasulullah mengutus beberapa
orang sahabat yang jumlahnya tidak sampai batas mutawatir. Jika saja mutawatir
menjadi syarat, pastilah Rasulullah tidak akan melupakan hal ini, Rasulullah
akan menarik kembali utusannya.
Beliau juga mengahancurkan tuduhan mereka
dengan dalil bahwa Rasulullah Saw membolehkan seorang sahabat untuk
menyampaikan apa yang ia dengar dari Rasulullah Saw. Rasulullah Saw bersabda, “Semoga
Allah memberi cahaya kepada seorang hamba yang mendengar ucapanku, lalu ia
membawa dan memahaminya kemudian disampaikan kepada orang lain”. Betapa
banyak orang yang membawa fiqh tetapi ia sendiri tidak paham dan betapa banyak
orang yang memiliki fiqh dan masih belajar dari yang lebih dalam, “Nabi
bersabda, “Ada tiga hal yang tidak boleh kosong dari hati seorang muslim,
mengikhlaskan amal hanya untuk Allah, memberi nasihat kepada kaum muslimin, dan
selalu bersama dengan kelompok mereka.”
Dari penjelasan di atas, Imam al-Syafi’i
sangat longgar dalam menerima hadis, tidak memberi syarat dalam hadis ahad kecuali
ketersambungan dan keshahihan sanad saja. Beliau menolak hadis mursal,
kecuali mursal Said bin al-Musayyib karena beliau tidak me-mursal-kan
hadis kecuali dari seorang perawi yang tsiqah (dipercaya). Berbeda
dengan Imam Abu Hanifah dan Imam Malik yang ber-hujjah dengan hadis mursal
secara mutlak.[14]
d. Perkembangan
Mazhab al-Syafi’i
Perkembangan
Mazhab al-Syafi’i tak lepas dari peranan murid-murid beliau yang menyebarkan
ajaran Imam al-Syafi’I, di antaranya pada periode beliau di Baghdad (Qaul
Qadim) :
1)
Ahmad
bin Hanbal
2)
Hasan
bin Ibrahim bin Muhammad al-Shahab al-Za’farani al-Baghdadi (w. 260 H)
3)
Abu Utsman
Sa’id al-Anmathiy (w. 288 H)
4)
Abu
al-‘Abbas Ahmad bin Amru bin Sarij (w. 306 H)
Di
antara murid-muridnya yang berperan dalam penyebaran mazhab al-Syafi’i di Mesir
(Qaul Qadim) sebagai berikut :
1)
Yusuf
bin Yahya al-Buwaiti al-Mishri (w. 231 H)
2)
Abu
Ibrahim Ismail bin Yahya al-Mazani
al-Mishri (w. 234 H)
3)
Al-Rabi’
bin Sulaiman bin Abdu al-Jabar al-Muradi (w. 270 H)
4)
Harmalah
bin Yahya bin Abdullah al-Tajibi (w. 234 H) [15]
Mazhab
Syafi’i tersebar di Mesir, karena Imam al-Syafi’i pernah tinggal di sana hingga
akhir hayatnya. Dan juga tersebar di Irak karena di sini pertama kali mazhab
ini muncul. Berawal dari Irak kemudian ke Khurasan dan di sekitar sungai
Eufrat.
Bersamaan
dengan itu mazhab Hanafi merupakan mazhab yang dianut oleh sultan karena
merupakan mazhab daulah Abbasiyah. Adapun mazhab syafi’i dipertahankan
oleh sultan pada masa Shalahuddin al-Ayyubi setelah menghancurkan kekuasaan
Fatimiyah. Dan menjadi rujukan dalam penetapan hukum di Mesir dan Syam.[16]
Imam
al-Syafi’i yang menyebarkan mazhabnya sendiri di Irak dan Mesir. Dan membangun
mazhabnya bersama para pengikutnya setelah mempelajari Mazhab Hanafiyah dan
Malikiyah. Dan Mazhab Syafi’i banyak tersebar di negeri Syam, Sebagian Yaman,
Hijaz dan Asia Tengah[17]
2. Ahmad bin
Hanbal
a. Biografi (164 H – 241 H)
Mazhab
Hanbali dibangun oleh Imam Abu abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal
bin Asad Al-Syaibani. Ahmad bin Hanbal lahir pada bulan keempat awal tahun 164
H di Baghdad. Beliau merupakan keturunan Arab Asli baik dari garis ayahnya
maupun ibunya, bernasab kepada kabilah Syaibani. Hanbal bukanlah nama ayahnya,
sesungguhnya merupakan nama dari kakeknya. Ayahnya bernama Muhammad bin Hanbal
bin Hilal yang menetap di Khurashan, dimana kakeknya juga merupakan walikota
sharkhas bagian dari wilayah khurashan. Ayahnya merupakan panglima perang
pasukan kaum muslimin.[18]
Dan ayahnya meninggal ketika Imam Ahmad masih di bawah umur. Ia pun diasuh oleh
ibu dan pamannya.[19]
Sejak
kecil Ahmad diperkenal dengan Ilmu apalagi Baghdad merupakan pusat ilmu
pengetahuan Islam. Di sana berkembang berbagai jenis ilmu seperti ilmu tentang
syari’ah, sastra, logika, ilmu pengetahuan dan sains, dan filsafat. Namun, Imam
Ahmad lebih cenderung dan tekun dalam mempelajari ilmu agama, menghafal
al-Qur’an, bahasa Arab, dan atas ke-istiqamah-annya dalam belajar kecerdasannya
terlihat lebih menonjol dibandingkan dengan teman-temannya. Ketika dewasa ia
menjadi seorang Imam di Baghdad yang memiliki dua jalan dalam menguasai ilmu
syari’ah, pertama dengan jalan mendalami fiqh dan yang kedua dengan jalan
menguasai ilmu hadis.[20]
Imam
Ahmad belajar hadis dari para ulama yang ada di Baghdad terutama kepada Hasyim
bin Basyir (w. 183 H)[21], kemudian
merantau untuk mencari ilmu ke Bashrah, Hijaz, kufah dan Yaman bahkan sampai
merantau sebanyak lima kali ke Bashrah dan Hijaz. Di Mekah beliau bertemu
dengan Imam al-Syafi’i dan selama dalam rantauannya beliau banyak mendapat
ujian dan kesulitan. Terkadang ia harus berjalan kaki, bekal habis dalam
perjalanan, bahkan beliau pernah menggadaikan dirinya untuk menjadi kuli para
pedagang dengan upah ia bisa sampai ke Yaman.
Kecenderungan
Imam Ahmad terhadap pelajaran hadis dan periwayatannya telah memberi dampak
yang besar baginya untuk memperdalam ilmu fiqh. Setiap hadis yang diriwayatkan,
fatwa dan keputusan hakim oleh sahabat atau tabi’in yang dikuasainya, semua
menjelma menjadi sebuah pemahaman yang sangat dalam, memberi imam Ahmad
keahlian fiqh yang besar dan kemampuan menggali sehingga ia menjadi seorang
mujtahid mandiri yang memiliki mazhab tersendiri.[22]
b. Ushul Mazhab
Imam
Ahmad mendirikan mazhabnya di atas lima dasar sebagai berikut :
1.
Nash
(al-Qur’an dan Sunnah) Jika beliau menemukan nash maka beliau akan
menggunakannya dalam berfatwa dan tidak melirik yang lain, tidak mendahulukan
pendapat sahabat daripada hadis yang shahih, atau amalan penduduk Madinah atau
yang lainnya. Tidak pula logika, qiyas, atau ketidaktahuan akan adanya nash yang
menentangnya yaitu apa yang dinamakan ijma’. Dan sebagai realisasi itu semua
beliau mendahulukan hadis tentang iddah seorang wanita hamil ditinggalkan oleh
suaminya sampai melahirkan dan tidak berpendapat dengan mengambil dua tempo
yang paling lama, seperti fatwa Abdulllah bin Abbas sama dengan Imam
al-Syafi’i.
2.
Fatwa
sahabat yang tidak ada penentangnya, dan tidak pula menamakannya dengan ijma’,
namun beliau menamakannya karena wara’ “Saya tidak menemukan ada yang
menentangnya.”
3.
Jika para sahabat berbeda pendapat maka beliau
akan memilih salah satunya jika sesuai dengan al-Qur’an dan sunnah, dan tidak
mencari pendapat orang lain. Jika setelah itu ternyata semua pendapat tersebut
bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah maka ia akan menyebutkan semua perbedaan
tanpa ada penentuan pendapat yang kuat.
4.
Menggunakan
hadis mursal dan hadis dhaif jika tidak ada dalil yang menguatkannya dan
didahulukan daripada qiyas. Adapun hadis dhaif menuntut versi Imam Ahmad bukan
hadis batil atau munkar, atau ada perawinya yang dituduh dusta serta tidak
boleh diambil hadisnya. Namun yang beliau maksud kandungan hadis dhaif adalah
orang yang belum mencapai derajat tsiqah, tetapi tidak sampai dituduh berdusta
dan jika memang demikian maka ia pun bagian dari hadis yang shahih.
5.
Qiyas,
jika tidak ada nash dari al-Qur’an dan sunnah, atau pendapat sahabat atau hadis
mursal atau hadis dhaif maka ia baru mengambil qiyas.[23]
Imam
Ahmad tidak menyebutkan Ijma’ sebagai dasar mazhabnya. Juga tidak menyebutkan
al-mashalih al-mursalah, adz-dzara’I, istihsan dan istishab yang merupakan
dasar bagi ulama Hanabilah dan tersebut di dalam buku-buku mereka.
Yang
demikian sudah populer dan menjadi kata bagi sepakat para fuqaha. Sebenarnya
al-mashalih al-mursalah, istihsan, adz-dzara’i, dan istishab semuanya masuk ke
dalam bab qiyas apabila qiyas diterangkan dalam makna luas yang mencakup semua
bentuk istinbath tanpa nash.[24]
c. Sikapnya
Terhadap Sunnah
Para
ulama sepakat bahwa Imam Ahmad merupakan seorang muhaddits, sebagian di
antara mereka menolak beliau sebagai seorang fuqaha’. Muhammad Abu
Zahroh berpendapat, bahwa Imam Ahmad merupakan Imam dalam hadis yang tak
diragukan lagi, dan dari metode ini imam Ahmad juga merupakan Imam dalam Fiqh.[25]
Kecintaan
Imam Ahmad bin Hanbal dalam mempelajari hadis, membuat beliau merantau ke
Bashrah, Hijaz dan Yaman dalam mencari hadis. hadis-hadis yang beliau dapatkan
tersebut dikumpulkan dalam bentuk Musnad yang dikenal dengan Musnad Ahmad bin
Hanbal.
Musnad
adalah kumpulan beberapa hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Beliau
meriwayatkan dari yang tsiqah. Ia mulai meriwayatkannya sejak pertama
kali belajar hadis dan terus berlanjut hingga akhir hayat beliau.[26]
Imam Ahmad menulisnya tidak beraturan dan tidak tersusun rapi dan ketika
usianya sudah senja dan ia takut ada yang hilang, lalu beliau pun membacakannya
kepada anak-anaknya serta keluarganya secara tidak beraturan tersebut. Kemudian
datanglah Abdullah anaknya yang menyusunnya semula sesuai dengan
klasifikasinya.
Dari
penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa Abdullah bin Ahmad lah yang
mengumpulkan kitab al-Musnad dan menyusunnya dengan gaya yang agak asing dari
kebiasaan para ahli hadis, sebab semua kitab hadis shahih disusun berdasarkan
susunan bab fiqh sehingga mudah dipahami. Adapun hadis yang tidak ada fiqhnya
maka perlu disusun sesuai dengan judulnya, hadis adab, hadis tafsir, hadis
ilmu, hadis wahyu, dan begitulah seterusnya sehingga mudah untuk dirujuk pada
setiap babnya oleh mereka yang akan membaca periwayatan dari Nabi Saw.
Sedangkan
susunan kitab al-Musnad disusun berdasarkan sahabat, hadis yang diriwayatkan
oleh Abu Bakar dan sunnah yang diriwayatkan darinya disusun dalam bab yang
diberi nama musnad Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan seterusnya. Tentu cara ini
menyulitkan orang lain untuk mencari temanya sesuai dengan kandungan hadis Nabi
Saw, tetapi bisa jadi manfaat lain bagi yang ingin melihat pendapat fiqh
seorang sahabat.
Imam
Ahmad telah mencurahkan pengorbanan yang sangat banyak dan manhaj yang betul
dalam menulis kitab al-Musnad. Beliau meriwayatkan dari yang tsiqah di zamannya
dengan syarat hadisnya bersambung kepada Nabi Saw dan setiap yang tidak
bersambung sanadnya maka dianggapnya hadis dhaif, walaupun perawinya tsiqah.
Dan dengan cara ini beliau berhasil mengumpulkan banyak hadis, memilah yang
sudah dikumpulkannya, menghapus sebagian yang meragukan dan terus dilakukannya,
bahkan sampai ketika beliau sakit yang berujung dengan kematiannya.[27]
d. Perkembangan
Mazhab Hanabillah
Pengembangan
ajaran Ahmad bin Hanbal cukup banyak oleh murid-muridnya diantaranya :
1.
Akbar
Auladih (shalih) yang belajar dari ayahnya dan dari yang lainnya yang se-zaman
dengannya. Dan Abu Bakar al-khilal berkata tentangnya bahwa dia yang
meriwayatkan fiqh Hanbali.
2.
Abdullah
bin Ahmad bin Hanbal yang memelihara dengan meriwayatkan hadis secara umum dan
musnad ayahnya secara khusus.
3.
Ahmad
bin Muhammad bin Haniy Abu Bakar al-Hatsrim sahabat Ahmad bin Hanbal, yang
banyak meriwayatkan permasalahan dalam fiqh dan hadis.
4.
Abdul
Malik bin Abdul hamid bin Mahzan al-Maimuniy, sahabat Ahmad yang cukup lama
dengannya.
5.
Ahmad
bin Muhammad bin al-Hajaj yang meriwayatkan kitab al-Wara’.[28]
Mazhab
Ahmad bin Hanbal ini merupakan mazhab resmi kerajaan Arab Saudi dan
penyebarannya memiliki karakter khusus di beberapa negeri sehingga tidak sulit
untuk mengenalnya.[29]
D. Penutup
Imam
al-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal merupakan dua Imam Mujtahid yang berjasa
dalam membangun khazanah hukum Islam di tengah-tengah umat. Perjalanan hidup
mereka curahkan untuk senantiasa menuntut ilmu sekaligus mengembangkan ilmu
yang mereka dapatkan semata untuk menggapai ridho Allah Swt. Ilmu mereka
kemudian diwariskan kepada para sahabat dan murid-murid mereka dalam membangun
dan menyebarkan mazhabnya ke tengah-tengah umat Islam hingga hari ini mereka
masih menjadi rujukan umat Islam saat ini.
Imam
al-Syafi’i merupakan sosok yang faqih dalam ilmu agama dan sangat disegani oleh
para ulama yang se-masa dengannya. Dalam membangun mazhabnya beliau menjadikan
al-Qur’an dan sunnah sebagai sumber utama dalam meng-istinbath-kan hukum,
kemudian menggunakan ijma’, Qaul Shahabi dan Qiyas. Inilah yang dikembangkan
oleh para pengikut mazhab Syafi’iyah dalam meng-istinbath-kan hukum
sebagaimana yang tertuang dalam kitab-kitab Mazhab syafi’i.
Begitu
juga dengan Imam Ahmad bin Hanbal, atas kegigihannya dalam mempelajari ilmu
agama, apalagi dalam masalah hadis telah mengantarnya untuk menjadi ulama besar
di zamannya. Beliau juga merupakan seseorang yang pernah berguru kepada Imam
al-Syafi’i ketika di Mekkah, sehingga antara Imam al-Syafi’i dengan Imam Ahmad
bin Hanbal bukan orang yang asing, bahkan mereka saling mengenal satu sama
lain.
Dalam
meng-istinbath-kan hukum, Imam Ahmad bin Hanbal merujuk pada al-Qur’an,
Sunnah, Fatwa sahabat yang tak ada penentangnya, pendapat sahabat yang dianggap
benar, menggunakan hadis mursal dan dhaif jika tidak ada dalil lain yang
menguatkan, dan Qiyas. Dan inilah yang dikembangkan oleh kalangan Hanabilah
dalam meng-istinbath-kan hukum hingga saat ini.
KEPUSTAKAAN
Abbas, Sirajuddin. 1991. Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’i.
Jakarta: Balai Pustaka
al-Amidi,
Saif al-Din Abi al-Hasan ‘Ali bin Abi ‘Ali Muhammad. t.th. al-Ihkam fi Ushul
al-Ahkam. Beirut: Dar al-Fikr. Jilid I
al-Qathan,
Manna’. 2002. Tarikh al-Tasyri’ al-Islamiy al-Tasyri’ wa al-Fiqh. Riyadh
: Maktabah al-Ma’arif li an-Nasyr wa al-Tauzi’
al-Syafi’I, Muhammad bin Idris. t.th. al-Risalah. Beirut :
Dar al-Kutub al-alamiyah
Bik,
Ahmad Ibrahim. t.th . Ilmu Ushul al-Fiqh wa yalihi Tarikh Tasyri’
al-Islamiy. t.tp : Dar al-Anshar
Bik, Muhammad Khudhari. 1967. Tarikh al-Tasyri’ al-Islamiy. t.tp
: Dar al-Fikr
Khalil, Rasyad Hasan. 2009. Tarikh al-Tasyri’ al-Islamiy. Jakarta
: Hamzah
Nasution,
Lahmuddin. 2001. Pembaharuan Hukum Islam Dalam Mazhab Syafi’i. Bandung:
Remaja Roksdakarya
Sirry, Mun’im A. 1995. Sejarah Fiqih Islam. Surabaya:
Risalah Gusti
Washil,
Nasir Farid Muhammad. t.th. al-Madkhal al-Washit li Dirasat al-Syari’ah
al-Islamiyah wa al-Fiqh wa al-Tasyri’. Kairo : Maktabah al-Taufiqiyah
Zahroh,
Muhammad Abu. t.th. Muhadharat fi Tarikh al-Mazhabi al-Fiqhiyyah. al-Raudhah
: Mathba’ahu al-Madani
Zuhri, Muh. 1997. Hukum Islam Dalam Lintasan sejarah. Jakarta:
Raja Grafindo Persada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar