Senin, 15 Februari 2016

Tasyri’ Pada Masa al-A’immah al-Mujtahidin II ; Muhammad bin Idris al-Syafi’iy dan Ahmad bin Hanbal, Biografi, Ushul Mazhab, Sikapnya Terhadap Sunnah serta Perkembangan Mazhabnya

A. Pendahuluan
      Islam merupakan agama sempurna yang diturunkan Allah Swt dalam menuntun umat manusia ke jalan yang lurus dan benar. Konsep ajaran Islam mencakup seluruh aspek kehidupan manusia sehingga mampu menjadi solusi atas berbagai persoalan hidup yang dihadapi manusia. Hal inilah yang menjadikan Islam sebagai agama yang unggul dibandingkan agama-agama lainnya.
      Semenjak Nabi Muhammad Saw diutus menjadi Rasul, maka setiap permasalahan yang dihadapi oleh kaum muslimin senantiasa dikembalikan kepada beliau. Sehingga setiap permasalahan yang dihadapi oleh kaum muslimin dapat tertangani dengan baik karena dituntun langsung oleh Allah Swt melalui wahyu yang diturunkan kepada beliau.
      Akan tetapi, setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw persoalan yang dihadapi oleh kaum muslimin senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Sementara, wahyu tidak lagi turun dan kebanyakkan persoalan tersebut merupakan persoalan yang baru dan tidak diatur secara jelas di dalam nash al-Qur’an dan Hadis. Hal ini membuat para sahabat dan para ulama sesudah beliau untuk mampu menjawab segala persoalan tersebut dengan menggali isi kandungan al-Qur’an dan sunnah melalui metode ijtihad.
      Di sinilah letak pentingnya para mujtahid melalui tangan-tangan merekalah hukum Islam senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan zaman yang dihadapi oleh kaum muslimin. Sehingga, berbagai persoalan kaum muslimin yang muncul dan tidak diatur di dalam al-Qur’an dan sunnah secara jelas dapat dipecahkan melalui penggalian hukum-hukum syara’ yang terkandung dalam nash. Jelas usaha ini dibutuhkan kehati-hatian dan sumbangan pikiran yang cukup dalam dalam menjawab persoalan tersebut agar tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah.
      Sejak abad kedua hijriyah umat Islam sudah mengenal Imam-Imam Mujtahid mutlak yang terkenal dengan kedalaman ilmu yang mereka miliki. Diantaranya, Imam Abu Hanifah sekaligus pendiri mazhab hanafi, Imam Malik bin Anas pendiri mazhab Maliki, Imam al-Syafi’i pendiri mazhab syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal pendiri mazhab Hanbali. Mereka inilah tokoh-tokoh umat Islam yang berjasa dalam membangun khasanah hukum Islam di tengah-tengah umat hingga saat ini.
      Namun yang menjadi fokus makalah ini ialah tentang Imam al-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal. Oleh karena itu, penulis akan berusaha memberikan gambaran secara ringkas tentang Imam al-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal yang berkaitan dengan biografi, ushul mazhab, sikap terhadap sunnah dan perkembangan mazhab mereka hingga saat ini.     
         
B. Pembahasan
1. Muhammad bin Idris al-Syafi’iy (Imam al-Syafi’i)
a. Biografi (150 H – 204 H)
      Dalam kebanyakan riwayat bahwa al-Syafi’i lahir di Gaza pada tahun 150 H, bertepatan pada tahun meninggalnya Imam Abu Hanifah. Dari Abu Farasy al-Muthallabi, ia bernama Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin Usman bin Syafi’i bin al-Saib bin ‘Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin ‘Abdu al-Muthallib bin ‘Abdu Manaf. Keturunannya bertemu dengan Nabi SAW pada ‘Abdul Manaf.[1]
      Ayahnya meninggal dunia ketika beliau masih dalam buaian, hidup dalam kemiskinann dan ketika ibunya takut nasab anaknya hilang sehingga hilanglah beberapa hak yang dapat menjauhkannya dari sulitnya ujian hidup. Kemudian ibunya membawa beliau ke Makkah berumur sepuluh tahun agar dapat hidup bersama orang-orang Quraisy, bertemu dengan nasabnya yang tinggi.[2]
      Dalam usia kanak-kanak, sekitar tujuh tahun, ia sudah hafal al-Qur’an di luar kepala. Sesudah itu ia menghafal hadis-hadis Nabi. al-Syafi’i juga tekun belajar bahasa Arab, bahkan karena minatnya yang sedemikian besar pada bidang ini membawanya selalu berkelana ke pelosok-pelosok pedesaan. Sehubungan dengan kecenderungan ini, al-Syafi’i berkata, “Saya selalu pergi ke pelosok-pelosok desa (badawah). Saya lama hidup di tengah-tengah masyarakat Huzail yang terkenal fasih dalam bahasa Arab. Ketika kembali ke Mekah, saya punya perasaan sastra yang dalam.[3]
      Imam al-Syafi’i kemudian belajar ilmu fikih dari Muslim bin Khalid al-Zauji, seorang mufti kota Mekah, setelah mendapatkan motivasi dari teman belajarnya sampai akhirnya mendapat legitimasi berupa izin untuk berfatwa mandiri. Di samping itu ia juga belajar hadis pada Imam Sufyan bin Uyaynah serta ilmu al-Qur’an dari Imam Ismail bin Qostatin.[4]
      Ia menghafal al-Muwattha’ dibawah asuhan Sufyan bin Uyainah dan Muslim Khalid, sebelum bertemu dengan penulisnya, Imam Malik, untuk berguru kepadanya di Madinah. Kesetiaannya berguru kepada Imam Malik ditunjukkan dengan belajar di sana hingga sang Guru wafat pada 179 H. ia menjadi pengikut dan salah seorang penyebar mazhab Malik sebelum menjadi Mujtahid mandiri .[5]
      Setelah lama mengembara menuntut ilmu, kemudian ia menetapkan pilihannya di Baghdad. Karena kota itu adalah tempat menuntut ilmu selain Madinah. Di tempat ini Imam al-Syafi’i belajar kepada Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, keduanya merupakan sahabat dan murid Abu Hanifah. Di samping itu beliau juga belajar kepada Waki’ bin Jarrah, Abu Usamah bin Ahmad, Ismail bin Uyainah, Abdul Wahab bin Abdul Majid dan tahun itu juga dia kembali ke Mekah. Di Mekah ia mengajarkan ilmu yang diperolehnya bertempat di Masjidil Haram. Di sanalah beliau banyak mengeluarkan pendapat dan konsep-konsep baru tentang metodologi penetapan hukum.
      Dalam mempelajari fikih ahl al-Ra’yi ini, al-Syafi’i membaca kitab-kitab yang disediakan oleh Muhammad ibn al-Hasan, kemudian mendiskusikannya dengan guru tersebut. Pada diskusi–diskusi yang berlangsung di antara keduanya sistem dan metode ijtihad fikih ahl al-Hadis yang lebih dahulu dikuasai oleh al-Syafi’i langsung dihadapkan dengan sistem dan metode ahl al-Ra’yi (Hanafiyah) yang dikembangkan oleh Muhammad ibn al-Hasan. Dengan demikian, al-syafi’i dapat melihat dengan jelas semua kelebihan dan kelemahan yang terdapat pada kedua aliran tersebut.[6]
      Pada saat keadaan Baghdad berubah setelah al-Ma’mun condong kepada ilmu filsafat dan kalam menjabat sebagai Khalifah dan lebih mendahulukan orang-orang mu’tazilah, serta menyerahkan banyak banyak jabatan kehakiman kepada mereka, sehingga Imam al-Syafi’i menjadi tidak betah untuk bermukim lama di Baghdad, terutama setelah para fuqaha’ mendapat siksaan dengan isu al-Qur’an adalah makhluk terutama yang menimpa Imam Ahmad sehingga Imam al-Syafi’i harus berpindah ke negeri lain dan ia menemukan impiannya, yaitu Mesir. Ia pun pergi ke sana pada tahun 199 H, menetap untuk mengajar dan memberi fatwa, menuliskan hadis dan mazhabnya yang baru, serta meninggalkan mazhab lamanya. Imam al-Syafi’i berinteraksi dengan orang-orang mesir, mengenali adat istiadat mereka, belajar dari para ulama hadis yang belum pernah beliau dengar di Irak. Inilah yang mendorong beliau untuk melihat kembali pendapatnya di Irak. Imam al-Syafi’i meninggal di Mesir pada tahun 204 H.[7]

b. Ushul Mazhab
      Asas mazhab al-Syafi’i terdapat pada kitab al-risalah yaitu dengan mengambil yang terdapat di dalam al-Qur’an, kemudian mengambil dari sunnah, ijma’, dan Qiyas.[8] Dalam beberapa literatur juga disebutkan bahwa Imam al-Syafi’i juga berhujjah dengan Qaul shahabah. Sebagaimana penjelasan berikut :
1.    al-Qur’an dan Sunnah
                        al-Qur’an dan sunnah merupakan sumber utama bagi fiqh Islam, dan selain keduanya adalah pengikut saja. Para sahabat terkadang sepakat atau berbeda pendapat, tetapi tidak pernah bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah.
                        Keduannya merupakan sumber bagi segala sumber pendapat, baik dengan nash atau melalui penafsirannya. Demikian pula ijma’, pasti bersandar kepada keduanya dan tidak mungkin keluar darinya, dan setiap ilmu harus diambil dari yang lebih tinggi, dan keduanya adalah yang tertinggi. Istilah penyatuan antara al-Qur’an dan sunnah padahal keduanya bukan satu martabat, bukan berarti bahwa sunnah sama dengan al-Qur’an dari segala aspek. Imam al-Syafi’i hanya menilai bahwa al-Qur’an merupakan dasar agama, tiang dan hujjah-nya. Sunnah adalah cabang dan al-Qur’an adalah dasarnya. Oleh karena itu, darinya ia mengambil kekuatan sehingga disamakan kedudukannya dalam meng-instinbat hukum, membantu al-Qur’an dalam menjelaskan makna dan syari’at yang terkandung di dalamnya yang dapat membawa kemaslahatan bagi umat dalam kehidupan mereka.
                        Dalam menjelaskan masalah furu’iyah, Imam al-Syafi’i meletakkan ilmu tentang sunnah, sama dengan ilmu tentang al-Qur’an agar instinbath hukum tidak meleset. Akan tetapi, beliau tidak meletakkan setiap hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw. sama dengan al-Qur’an yang mutawatir, karena hadis ahad tidak sama kedudukannya dengan hadis mutawatir, apalagi jika disamakan dengan ayat al-Qur’an. Imam al-Syafi’i mengingatkan tentang hal tersebut ketika membatasi sunnah yang sama kedudukannya dengan al-Qur’an adalah sunnah shahih. Imam al-Syafi’i sangat longgar dalam menyeleksi sunnah, tidak memberikan syarat seperti yang dilakukan oleh Abu Hanifah dan Malik, dan yang beliau syaratkan hanya hadis yang shahih, sanadnya bersambung. Dan karena hadis mursal tidak bersambung sanadnya, maka beliau tidak mau mengambil hadis kecuali dari hadis-hadis mursal Sa’id bin al-Musayyib.[9]        
2.    Ijma’
                        Imam al-Syafi’i menjadikan ijma’ sebagai hujjah setelah al-Qur’an dan sunnah, dan sebelum qiyas. Ijma’ dalam pandangan al-Syafi’i adalah kesepakatan para ulama yang se-masa atas perkara tertentu, sehingga timbul kesepakatan di antara mereka sebagai hujjah. Ijma’ yang paling baik adalah ijma’ sahabat karena ditempatkan pada tingkatan pertama, karena yang menjadi dalil bahwa mereka mendengar secara langsung dari Rasulullah Saw. yang hidup semasa dengan mereka dengan hal itu mereka sepakat atas hal tersebut, itu merupakan ijtihad di antara mereka.[10]
3.    Qaul Sahabat
                        Qaul Shahabi ialah fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh sahabat Nabi Saw., menyangkut hukum masalah-masalah yang tidak diatur di dalam nash, baik al-Qur’an maupun al-Sunnah.
                        Membahas masalah ini Imam al-Syafi’I membagi fatwa-fatwa sahabat kepada tiga kelompok:
1.      Pendapat yang memperoleh kesepakatan (ijma’) di kalangan mereka. Ini jelas mengikat dan harus di jadikan hujjah.
2.      Pendapat yang beragam dan tidak mencapai kesepakatan tentang ini, menurut Imam al-Syafi’i, harus dilakukan tarjih dengan mempedomani dalil-dalil. Yang harus diambil ialah pendapat yang sesuai dengan Kitab, Sunnah, ijma’, atau didukung oleh qiyas yang lebih shahih.
3.      Pendapat yang dikeluarkan oleh seorang sahabat saja tanpa dukungan ataupun bantahan dari sahabat lainnya.[11]
4.    Qiyas
                        Menurut Imam al-Syafi’i, setiap peristiwa pasti ada kepastian hukum dan umat Islam wajib melaksanakannya. Akan tetapi, jika tidak ada ketentuan hukumnya yang pasti, maka harus dicari pendekatan yang sah, yaitu dengan ijtihad. Dan ijtihad itu adalah Qiyas.[12] Al-Amidi, salah seorang ulama fikih Syafi’iyah mendefinisikan qiyas dengan istilah bagi kesamaan antara furu’ dengan asal dalam ‘illat yang di-istinbath-kan dari hukum asal. [13]

c. Sikapnya Terhadap Sunnah
      Imam al-Syafi’i memiliki peranan penting dalam membela sunnah Rasulullah Saw dengan cara menghancurkan segala upaya musuh dengan menyebarkan isu bahwa tidak layak menerima sesuatu yang tidak satu makna dengan al-Qur’an atau berupa hadis mutawatir.
      Imam al-Syafi’i telah menjelaskan betapa besar dampak dari orang yang mengikari sunnah atau tidak mau menerima hadis yang tidak sesuai dengan makna al-Qur’an, yaitu kita tidak dapat memahami shalat, zakat, haji, atau yang lainnya ditetapkan oleh al-Qur’an dan sudah dijelaskan oleh sunnah hanya sebatas makna bahasa saja, makna shalat tidak sempurna, makna zakat juga tidak sempurna dan dengan itu kita menggugurkan kewajiban shalat, zakat dan haji.
      Sedangkan orang-orang yang mengatakan tidak mau menerima hadis kecuali yang mutawatir saja akan berdampak pada penolakan terhadap hadis ahad. Imam al-Syafi’i telah mengkritik mereka dan mangatakan sirah Rasulullah menunjukkan bahwa Rasulullah mengutus beberapa orang sahabat yang jumlahnya tidak sampai batas mutawatir. Jika saja mutawatir menjadi syarat, pastilah Rasulullah tidak akan melupakan hal ini, Rasulullah akan menarik kembali utusannya.
      Beliau juga mengahancurkan tuduhan mereka dengan dalil bahwa Rasulullah Saw membolehkan seorang sahabat untuk menyampaikan apa yang ia dengar dari Rasulullah Saw. Rasulullah Saw bersabda, “Semoga Allah memberi cahaya kepada seorang hamba yang mendengar ucapanku, lalu ia membawa dan memahaminya kemudian disampaikan kepada orang lain”. Betapa banyak orang yang membawa fiqh tetapi ia sendiri tidak paham dan betapa banyak orang yang memiliki fiqh dan masih belajar dari yang lebih dalam, “Nabi bersabda, “Ada tiga hal yang tidak boleh kosong dari hati seorang muslim, mengikhlaskan amal hanya untuk Allah, memberi nasihat kepada kaum muslimin, dan selalu bersama dengan kelompok mereka.”
      Dari penjelasan di atas, Imam al-Syafi’i sangat longgar dalam menerima hadis, tidak memberi syarat dalam hadis ahad kecuali ketersambungan dan keshahihan sanad saja. Beliau menolak hadis mursal, kecuali mursal Said bin al-Musayyib karena beliau tidak me-mursal-kan hadis kecuali dari seorang perawi yang tsiqah (dipercaya). Berbeda dengan Imam Abu Hanifah dan Imam Malik yang ber-hujjah dengan hadis mursal secara mutlak.[14]  
     
d. Perkembangan Mazhab al-Syafi’i
      Perkembangan Mazhab al-Syafi’i tak lepas dari peranan murid-murid beliau yang menyebarkan ajaran Imam al-Syafi’I, di antaranya pada periode beliau di Baghdad (Qaul Qadim) :
1)      Ahmad bin Hanbal
2)      Hasan bin Ibrahim bin Muhammad al-Shahab al-Za’farani al-Baghdadi (w. 260 H)
3)      Abu Utsman Sa’id al-Anmathiy (w. 288 H)
4)      Abu al-‘Abbas Ahmad bin Amru bin Sarij (w. 306 H)
      Di antara murid-muridnya yang berperan dalam penyebaran mazhab al-Syafi’i di Mesir (Qaul Qadim) sebagai berikut :
1)        Yusuf bin Yahya al-Buwaiti al-Mishri (w. 231 H)
2)        Abu Ibrahim Ismail  bin Yahya al-Mazani al-Mishri (w. 234 H)
3)        Al-Rabi’ bin Sulaiman bin Abdu al-Jabar al-Muradi (w. 270 H)
4)        Harmalah bin Yahya bin Abdullah al-Tajibi (w. 234 H) [15]
      Mazhab Syafi’i tersebar di Mesir, karena Imam al-Syafi’i pernah tinggal di sana hingga akhir hayatnya. Dan juga tersebar di Irak karena di sini pertama kali mazhab ini muncul. Berawal dari Irak kemudian ke Khurasan dan di sekitar sungai Eufrat.
      Bersamaan dengan itu mazhab Hanafi merupakan mazhab yang dianut oleh sultan karena merupakan mazhab daulah Abbasiyah. Adapun mazhab syafi’i dipertahankan oleh sultan pada masa Shalahuddin al-Ayyubi setelah menghancurkan kekuasaan Fatimiyah. Dan menjadi rujukan dalam penetapan hukum di Mesir dan Syam.[16]
      Imam al-Syafi’i yang menyebarkan mazhabnya sendiri di Irak dan Mesir. Dan membangun mazhabnya bersama para pengikutnya setelah mempelajari Mazhab Hanafiyah dan Malikiyah. Dan Mazhab Syafi’i banyak tersebar di negeri Syam, Sebagian Yaman, Hijaz dan Asia Tengah[17]

2. Ahmad bin Hanbal
a. Biografi (164 H – 241 H)
      Mazhab Hanbali dibangun oleh Imam Abu abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad Al-Syaibani. Ahmad bin Hanbal lahir pada bulan keempat awal tahun 164 H di Baghdad. Beliau merupakan keturunan Arab Asli baik dari garis ayahnya maupun ibunya, bernasab kepada kabilah Syaibani. Hanbal bukanlah nama ayahnya, sesungguhnya merupakan nama dari kakeknya. Ayahnya bernama Muhammad bin Hanbal bin Hilal yang menetap di Khurashan, dimana kakeknya juga merupakan walikota sharkhas bagian dari wilayah khurashan. Ayahnya merupakan panglima perang pasukan kaum muslimin.[18] Dan ayahnya meninggal ketika Imam Ahmad masih di bawah umur. Ia pun diasuh oleh ibu dan pamannya.[19]
      Sejak kecil Ahmad diperkenal dengan Ilmu apalagi Baghdad merupakan pusat ilmu pengetahuan Islam. Di sana berkembang berbagai jenis ilmu seperti ilmu tentang syari’ah, sastra, logika, ilmu pengetahuan dan sains, dan filsafat. Namun, Imam Ahmad lebih cenderung dan tekun dalam mempelajari ilmu agama, menghafal al-Qur’an, bahasa Arab, dan atas ke-istiqamah-annya dalam belajar kecerdasannya terlihat lebih menonjol dibandingkan dengan teman-temannya. Ketika dewasa ia menjadi seorang Imam di Baghdad yang memiliki dua jalan dalam menguasai ilmu syari’ah, pertama dengan jalan mendalami fiqh dan yang kedua dengan jalan menguasai ilmu hadis.[20]
      Imam Ahmad belajar hadis dari para ulama yang ada di Baghdad terutama kepada Hasyim bin Basyir (w. 183 H)[21], kemudian merantau untuk mencari ilmu ke Bashrah, Hijaz, kufah dan Yaman bahkan sampai merantau sebanyak lima kali ke Bashrah dan Hijaz. Di Mekah beliau bertemu dengan Imam al-Syafi’i dan selama dalam rantauannya beliau banyak mendapat ujian dan kesulitan. Terkadang ia harus berjalan kaki, bekal habis dalam perjalanan, bahkan beliau pernah menggadaikan dirinya untuk menjadi kuli para pedagang dengan upah ia bisa sampai ke Yaman.
      Kecenderungan Imam Ahmad terhadap pelajaran hadis dan periwayatannya telah memberi dampak yang besar baginya untuk memperdalam ilmu fiqh. Setiap hadis yang diriwayatkan, fatwa dan keputusan hakim oleh sahabat atau tabi’in yang dikuasainya, semua menjelma menjadi sebuah pemahaman yang sangat dalam, memberi imam Ahmad keahlian fiqh yang besar dan kemampuan menggali sehingga ia menjadi seorang mujtahid mandiri yang memiliki mazhab tersendiri.[22]        

b. Ushul Mazhab
      Imam Ahmad mendirikan mazhabnya di atas lima dasar sebagai berikut :
1.        Nash (al-Qur’an dan Sunnah) Jika beliau menemukan nash maka beliau akan menggunakannya dalam berfatwa dan tidak melirik yang lain, tidak mendahulukan pendapat sahabat daripada hadis yang shahih, atau amalan penduduk Madinah atau yang lainnya. Tidak pula logika, qiyas, atau ketidaktahuan akan adanya nash yang menentangnya yaitu apa yang dinamakan ijma’. Dan sebagai realisasi itu semua beliau mendahulukan hadis tentang iddah seorang wanita hamil ditinggalkan oleh suaminya sampai melahirkan dan tidak berpendapat dengan mengambil dua tempo yang paling lama, seperti fatwa Abdulllah bin Abbas sama dengan Imam al-Syafi’i.
2.        Fatwa sahabat yang tidak ada penentangnya, dan tidak pula menamakannya dengan ijma’, namun beliau menamakannya karena wara’ “Saya tidak menemukan ada yang menentangnya.”
3.         Jika para sahabat berbeda pendapat maka beliau akan memilih salah satunya jika sesuai dengan al-Qur’an dan sunnah, dan tidak mencari pendapat orang lain. Jika setelah itu ternyata semua pendapat tersebut bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah maka ia akan menyebutkan semua perbedaan tanpa ada penentuan pendapat yang kuat.
4.        Menggunakan hadis mursal dan hadis dhaif jika tidak ada dalil yang menguatkannya dan didahulukan daripada qiyas. Adapun hadis dhaif menuntut versi Imam Ahmad bukan hadis batil atau munkar, atau ada perawinya yang dituduh dusta serta tidak boleh diambil hadisnya. Namun yang beliau maksud kandungan hadis dhaif adalah orang yang belum mencapai derajat tsiqah, tetapi tidak sampai dituduh berdusta dan jika memang demikian maka ia pun bagian dari hadis yang shahih.
5.        Qiyas, jika tidak ada nash dari al-Qur’an dan sunnah, atau pendapat sahabat atau hadis mursal atau hadis dhaif maka ia baru mengambil qiyas.[23]
      Imam Ahmad tidak menyebutkan Ijma’ sebagai dasar mazhabnya. Juga tidak menyebutkan al-mashalih al-mursalah, adz-dzara’I, istihsan dan istishab yang merupakan dasar bagi ulama Hanabilah dan tersebut di dalam buku-buku mereka.
      Yang demikian sudah populer dan menjadi kata bagi sepakat para fuqaha. Sebenarnya al-mashalih al-mursalah, istihsan, adz-dzara’i, dan istishab semuanya masuk ke dalam bab qiyas apabila qiyas diterangkan dalam makna luas yang mencakup semua bentuk istinbath tanpa nash.[24]
 
c. Sikapnya Terhadap Sunnah
      Para ulama sepakat bahwa Imam Ahmad merupakan seorang muhaddits, sebagian di antara mereka menolak beliau sebagai seorang fuqaha’. Muhammad Abu Zahroh berpendapat, bahwa Imam Ahmad merupakan Imam dalam hadis yang tak diragukan lagi, dan dari metode ini imam Ahmad juga merupakan Imam dalam Fiqh.[25]
      Kecintaan Imam Ahmad bin Hanbal dalam mempelajari hadis, membuat beliau merantau ke Bashrah, Hijaz dan Yaman dalam mencari hadis. hadis-hadis yang beliau dapatkan tersebut dikumpulkan dalam bentuk Musnad yang dikenal dengan Musnad Ahmad bin Hanbal.
      Musnad adalah kumpulan beberapa hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Beliau meriwayatkan dari yang tsiqah. Ia mulai meriwayatkannya sejak pertama kali belajar hadis dan terus berlanjut hingga akhir hayat beliau.[26] Imam Ahmad menulisnya tidak beraturan dan tidak tersusun rapi dan ketika usianya sudah senja dan ia takut ada yang hilang, lalu beliau pun membacakannya kepada anak-anaknya serta keluarganya secara tidak beraturan tersebut. Kemudian datanglah Abdullah anaknya yang menyusunnya semula sesuai dengan klasifikasinya.
      Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa Abdullah bin Ahmad lah yang mengumpulkan kitab al-Musnad dan menyusunnya dengan gaya yang agak asing dari kebiasaan para ahli hadis, sebab semua kitab hadis shahih disusun berdasarkan susunan bab fiqh sehingga mudah dipahami. Adapun hadis yang tidak ada fiqhnya maka perlu disusun sesuai dengan judulnya, hadis adab, hadis tafsir, hadis ilmu, hadis wahyu, dan begitulah seterusnya sehingga mudah untuk dirujuk pada setiap babnya oleh mereka yang akan membaca periwayatan dari Nabi Saw.
      Sedangkan susunan kitab al-Musnad disusun berdasarkan sahabat, hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakar dan sunnah yang diriwayatkan darinya disusun dalam bab yang diberi nama musnad Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan seterusnya. Tentu cara ini menyulitkan orang lain untuk mencari temanya sesuai dengan kandungan hadis Nabi Saw, tetapi bisa jadi manfaat lain bagi yang ingin melihat pendapat fiqh seorang sahabat.
      Imam Ahmad telah mencurahkan pengorbanan yang sangat banyak dan manhaj yang betul dalam menulis kitab al-Musnad. Beliau meriwayatkan dari yang tsiqah di zamannya dengan syarat hadisnya bersambung kepada Nabi Saw dan setiap yang tidak bersambung sanadnya maka dianggapnya hadis dhaif, walaupun perawinya tsiqah. Dan dengan cara ini beliau berhasil mengumpulkan banyak hadis, memilah yang sudah dikumpulkannya, menghapus sebagian yang meragukan dan terus dilakukannya, bahkan sampai ketika beliau sakit yang berujung dengan kematiannya.[27]

d. Perkembangan Mazhab Hanabillah
      Pengembangan ajaran Ahmad bin Hanbal cukup banyak oleh murid-muridnya diantaranya :
1.      Akbar Auladih (shalih) yang belajar dari ayahnya dan dari yang lainnya yang se-zaman dengannya. Dan Abu Bakar al-khilal berkata tentangnya bahwa dia yang meriwayatkan fiqh Hanbali.
2.      Abdullah bin Ahmad bin Hanbal yang memelihara dengan meriwayatkan hadis secara umum dan musnad ayahnya secara khusus.
3.      Ahmad bin Muhammad bin Haniy Abu Bakar al-Hatsrim sahabat Ahmad bin Hanbal, yang banyak meriwayatkan permasalahan dalam fiqh dan hadis.
4.      Abdul Malik bin Abdul hamid bin Mahzan al-Maimuniy, sahabat Ahmad yang cukup lama dengannya.
5.      Ahmad bin Muhammad bin al-Hajaj yang meriwayatkan kitab al-Wara’.[28]
      Mazhab Ahmad bin Hanbal ini merupakan mazhab resmi kerajaan Arab Saudi dan penyebarannya memiliki karakter khusus di beberapa negeri sehingga tidak sulit untuk mengenalnya.[29]


D. Penutup    
      Imam al-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal merupakan dua Imam Mujtahid yang berjasa dalam membangun khazanah hukum Islam di tengah-tengah umat. Perjalanan hidup mereka curahkan untuk senantiasa menuntut ilmu sekaligus mengembangkan ilmu yang mereka dapatkan semata untuk menggapai ridho Allah Swt. Ilmu mereka kemudian diwariskan kepada para sahabat dan murid-murid mereka dalam membangun dan menyebarkan mazhabnya ke tengah-tengah umat Islam hingga hari ini mereka masih menjadi rujukan umat Islam saat ini.
      Imam al-Syafi’i merupakan sosok yang faqih dalam ilmu agama dan sangat disegani oleh para ulama yang se-masa dengannya. Dalam membangun mazhabnya beliau menjadikan al-Qur’an dan sunnah sebagai sumber utama dalam meng-istinbath-kan hukum, kemudian menggunakan ijma’, Qaul Shahabi dan Qiyas. Inilah yang dikembangkan oleh para pengikut mazhab Syafi’iyah dalam meng-istinbath-kan hukum sebagaimana yang tertuang dalam kitab-kitab Mazhab syafi’i.
      Begitu juga dengan Imam Ahmad bin Hanbal, atas kegigihannya dalam mempelajari ilmu agama, apalagi dalam masalah hadis telah mengantarnya untuk menjadi ulama besar di zamannya. Beliau juga merupakan seseorang yang pernah berguru kepada Imam al-Syafi’i ketika di Mekkah, sehingga antara Imam al-Syafi’i dengan Imam Ahmad bin Hanbal bukan orang yang asing, bahkan mereka saling mengenal satu sama lain.
      Dalam meng-istinbath-kan hukum, Imam Ahmad bin Hanbal merujuk pada al-Qur’an, Sunnah, Fatwa sahabat yang tak ada penentangnya, pendapat sahabat yang dianggap benar, menggunakan hadis mursal dan dhaif jika tidak ada dalil lain yang menguatkan, dan Qiyas. Dan inilah yang dikembangkan oleh kalangan Hanabilah dalam meng-istinbath-kan hukum hingga saat ini.
     
KEPUSTAKAAN
Abbas, Sirajuddin. 1991. Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’i. Jakarta: Balai Pustaka

al-Amidi, Saif al-Din Abi al-Hasan ‘Ali bin Abi ‘Ali Muhammad. t.th. al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Beirut: Dar al-Fikr. Jilid I

al-Qathan, Manna’. 2002. Tarikh al-Tasyri’ al-Islamiy al-Tasyri’ wa al-Fiqh. Riyadh : Maktabah al-Ma’arif li an-Nasyr wa al-Tauzi’ 

al-Syafi’I, Muhammad bin Idris. t.th. al-Risalah. Beirut : Dar al-Kutub al-alamiyah

Bik, Ahmad Ibrahim. t.th . Ilmu Ushul al-Fiqh wa yalihi Tarikh Tasyri’ al-Islamiy. t.tp : Dar al-Anshar

Bik, Muhammad Khudhari. 1967. Tarikh al-Tasyri’ al-Islamiy. t.tp : Dar al-Fikr

Khalil, Rasyad Hasan. 2009. Tarikh al-Tasyri’ al-Islamiy. Jakarta : Hamzah

Nasution, Lahmuddin. 2001. Pembaharuan Hukum Islam Dalam Mazhab Syafi’i. Bandung: Remaja Roksdakarya

Sirry, Mun’im A. 1995. Sejarah Fiqih Islam. Surabaya: Risalah Gusti

Washil, Nasir Farid Muhammad. t.th. al-Madkhal al-Washit li Dirasat al-Syari’ah al-Islamiyah wa al-Fiqh wa al-Tasyri’. Kairo : Maktabah al-Taufiqiyah

Zahroh, Muhammad Abu. t.th. Muhadharat fi Tarikh al-Mazhabi al-Fiqhiyyah. al-Raudhah : Mathba’ahu al-Madani

Zuhri, Muh. 1997. Hukum Islam Dalam Lintasan sejarah. Jakarta: Raja Grafindo Persada




        [1] Manna’ al-Qathan, Tarikh al-Tasyri’ al-Islamiy al-Tasyri’ wa al-Fiqh, Riyadh : Maktabah al-Ma’arif li an-Naysra wa al-Tauzi’, 2002, h. 358,  
        [2] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh al-Tasyri’ al-Islamiy,Jakarta : Hamzah, 2009, h. 185
                [3] Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995) h. 100
                [4] Sirajuddin Abbas , Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’i,I (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), h. 14
                [5] Muh. Zuhri, Hukum Islam Dalam Lintasan sejarah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h. 112
                [6] Lahmuddin Nasution, Pembaharuan Hukum Islam Dalam Mazhab Syafi’i, (Bandung: Remaja Roksdakarya, 2001), h. 21
        [7] Rasyad Hasan Khalil, op.cit., h. 187
        [8] Muhammad Khudhari Bik, Tarikh al-Tasyri’ al-Islamiy,t.tp : Dar al-Fikr, 1967, h. 216
        [9] Rasyad Hasan Khalil, op.cit., h. 189
        [10] Manna’ al-Qathan, op.cit., h. 374
                [11] Lahmuddin Nasution, Op.cit, h. 135-136
        [12] Muhammad bin Idris al-Syafi’i , al-Risalah, Beirut : Dar al-Kutub al-alamiyah, t.th, h. 477
                [13] Saif al-Din Abi al-Hasan ‘Ali bin Abi ‘Ali Muhammad al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), Jilid I, h. 138
        [14] Rasyad Hasan Khalil, op.cit., h. 191-192
        [15] Muhammad Khudhari Bik, op.cit., h. 217-220
        [16] Muhammad Abu Zahroh, Muhadharat fi Tarikh al-Mazhabi al-Fiqhiyyah, t.tp : Mathba’ahu al-Matadni, t.t, h. 299
        [17] Ahmad Ibrahim Bik, Ilmu Ushul al-Fiqh wa yalihi Tarikh Tasyri’ al-Islamiy, t.tp : Dar al-Anshar, t.t, h. 41
        [18] Muhammad Abu Zahroh, op.cit., h. 303
        [19] Rasyad Hasan Khalil, op.cit., h. 194
        [20] Manna’ al-Qathan, op.cit., h. 380
        [21] Ibid, h. 380
        [22] Rasyad Hasan Khalil, op.cit., h. 194 - 195
        [23] Ibid, h. 195-196
        [24] Muhammad Abu Zahroh, op.cit., h. 308
        [25] Ibid, h. 350
        [26] Ibid, h. 351
        [27] Rasyad Hasan Khalil, op.cit., h. 198 - 199
        [28] Manna’ al-Qathan, op.cit., h. 392 -393
        [29] Nasir Farid Muhammad Washil, al-Madkhal al-Washit li Dirasat al-Syari’ah al-Islamiyah wa al-Fiqh wa al-Tasyri’, Kairo : Maktabah al-Taufiqiyah, t.th, h. 110

Tidak ada komentar:

Posting Komentar