KERAJAAN ISLAM PADA MASA KERAJAAN TURKI USMANI PERIODE II
(1517 -1924)
1.
Proses
Kemunduran
Sebagaimana kerajaan-kerajaan yang pernah tumbuh dan berkembang di
dunia Islam, tidak terlepas dari proses pertumbuhan, perkembangan, mencapai
puncak kejayaan, lalu akhirnya mangalami kemunduran dan kemusian disusul dengan
kehancuran. Demikian juga dengan kerajaan turki usmani yang diproklamirkan oleh
Usman I, menjadi negara adikuasa pada masa Sultan Muhammad II (al-Fatih), dan
mencapai puncak kejayaannya dimasa Sultan Sualiman al-Qanuni. Kemudian Kerajaan
Turki Usmani mengalami kemunduran dan pada akhirnya membawa kehancuran.
Kejatuahan Kerajaan Turki merupakan proses sejarah panjang dan
tidak terjadi secara tiba-tiba. Dalam sejarahnya selama lima abad (akhir abad
ke tiga belas hingga awal abad kesembilan belas) Kerajaan Turki Usmani
mengalami pasang surut. Disatu sisi sebuah system politik yang diwarisi dari
pendahulunya, Turki Saljuk, yaitu menjadikan Kerajaan adalah milik keluarga
kerajaan dan menjadikan sultan sebagai sentral kekuatan politik, membuat
kerajaan ini begitu rentan terhadap factor-faktor kejatuhan sebauah
dinasti.seorang sultan yang lemah saja sudah dapat membuka jalan bagi proses
kejatuhan kerajaan. Meskipun demikian seorang sultan yang kuat, pada masa
pemerintahannya juga mampu memperlambat kehancuran suatu dinasti.
Bernard Lewis seperti yang
dikutip oleh Firdaus, M.Ag mengatakan untuk menentukan sejak kapan Kerajaan Turki
Usmani mengalami kemunduran, nempaknya Sejarawan sepakat mengatakan awal kemunduran bermula
sejak wafatnya Sultan Salim II (1566).[1] Sesudah Sultan
Sulaiman Yang Agung Kerajaan Turki Usmani tidak lagi mempunyai sultan-sultan
yang dapat diunggulkan. Sejak pemerintahannya, kekuasaan Turki Usmani sudah
mulai diungguli oleh kekuatan Eropa secara perlahan-lahan. Kerajaan Turki
Usmani mulai mengalami fase kemunduran pada abad XVII.[2]
Pada akhir abad XVII Kerajaan Turki Usmani secara “bertubi-tubi “
menderita kekalahan dari pasukan Jerman, Polandia dan Rusia. Akibat dari
kekalahan-kelahan yang dialami ini memaksa Kerajaan Turki Usmani untuk
mengadakan perjanjian atau damai dengan negara-negara Eropa. Perjanjian ini terjadi pada tahun 1699
yang dinamakan dengan perdamaian Karlowith. Peristiwa ini sungguh sangat
menyakitkan hati orang-orang Turki Usmani karena dalam isi perdamaian itu,
Turki Usmani harus rela melpaskan Translavia (wilayah Austria), Saladonia dan
Karawatai serta Ukraina. Azov sendiri dapat diduduki oleh Kaisar Rusia di bawah
pimpinan Peter Yang Agung pada tahun 1696 M.[3]
Kerajaan Turki Usmani
kembali harus kehilangan beberapa wilayahnya dan merelakan campur tangan
kekuatan luar ke dalam wilayah yrisdiksinya. Berbagai kekalahan yang menimpa
kerajaan Turki Usmani dalam operasi militer sebagai upaya merebut kembali
wilayah yang hilang akibat perjanjian karlowith, memaksa Nevseherli Damat
Ibrahim Pasya, penasehat Sultan Ahmad III, untuk mengakhiri peperangan pada
tanggal 26 Agustus 1717. Perjanjian Passarowitz ditandatangani pada tanggal 21
Juli 1718. Pada perjanjian itu Turki
harus melepaskan Belgrade dan Senendria, wilayah utara Timok dan Una kepada
imperium Habsburg, Sava dab Drina ke tangan Austria, dan Habsburg diperbolehkan
membela kepentingan katolik di wilayah yurisdiksi Sultan.[4]
Rusia merupakan ancaman yang serius bagi itegrasi Kerajaan Turki
Usmani, apalagi ketika Rusia mengadakan aliansi dengan Austria pada tahun 1726
M. dan Rusia segera menyerbu kerajaan Turki Usmani. Azov yang pernah direbut
oleh Rusia pada tahun 1696 M, direbut kembali oleh Turki Usmani di bawah
pimpinan sultan Mustafa II pada tahun 1726M. akan tetapi dapat direbut kembali
oleh Rusia. Kebjakan Peter Yang Agung dilanjutkan oleh penggantinya yang bernama Catherina Agung dengan lebih
ulet dan sunggu-sungguh. Catherina berperang dengan Turki Usmani pada tahun
1768 M, ia memperoleh kemenangan baik di darat maupun laut.[5] George Lenczoski
seperti yang dikutip oleh Syafiq A. Mughni mengatakan bahwa operasi angkatan
laut Rusia memperagakan suatu armada yang mengepung Eropa hingga laut
Medeteriana, serta operasi mengentarkan seluruh dunia.[6]
Perang antara kerajaan Turki Usmani dengan Rusia berakhir pada
tahun 1777 M. dengan ditandai perjanjian Kinarca. Perjanjian ini oleh Muhammad Farid
digambarkan sebagai berikut : “yang penting dari perjanjian kinarca adalah
Kerajaan Turki Usmani harus menyerahkan benteng-bentengnya yang berada di laut
Hitam diantaranya adalah benterng Azov”.[7]
Dengan demikian, berhasillah Rusia memenuhi hasratnya untuk
menjadikan perairan laut hitam sebagai pangkalan militernya. Kemudian dari isi
perjanjian tersebut juga dinyatakan bahwa armada laut Rusia mendapat izin dari
pemerintah Turki Usmani untuk melintasi selat yang menghubungkan Laut Hitam
dengan Laut Putih (Laut Tengah). Kemudian Kirman memerdekakan diri dari Turki
Usmani, Rusia diizinkan membangun gereja di Asitnah dan menjadi pelindung
orang-orang Kristen Orthodox yang berdomisili di wilayah Turki Usmani. Para
Jemaat Kristen yang akan menunaikan ibadah Haji ke Palestina harus dibebaskan
dari membayar pajak. Di samping itu, Turki Usmani harus memperhatikan
kesejahteraan para pendeta dan umat Kristen. Pemerintah Turki Usmani harus
membayar ganti rugi peperangan kepada Rusia yang tidak sedikit jumlahnya secara
beransur-ansur selama tiga tahun.[8] Berdasarkan kenyataan tersebut menunjukan
bahwa kedaulatan Pemerintahan Kerajaan Turki Usmani tidak penuh lagi dalam
mengurusi kerajaannya.
Meskipun telah ada perjanjian
damai, ternyata Rusia tetap menaklukkan dan merebut negeri-negeri yang
semula dikuasai dan ditinggalkan oleh oleh oran-orang Turki, Tartar dan muslim
lainnya. Inilah yang menyebabkan timbulnya kembali peperangan antara Rusia
dengan Turki Usmani pada tahun 1792 M. akan tetapi Turki Usmani tetap mengalami
kekalahan, dengan ini terpaksalah ia mengakui pendudukan Rusia atas Kerajaan
Tartar.[9]
Pada tahun 1801 kekuatan Prancis dikalahkan oleh Inggris yang kemudian mengembalikan kekuasaan Turki atas wilayah Mesir. Pada
tahun berikutnya, Mesir kembali menjadi wilayah yurisdiksi sultan. Evakuasi
kekuatan militer Perancis dari wilayah Mesir jelas memperbaiki hubungan kedua
belah pihak yang telah terjalin lama, dan oleh sebab itu Napoleon diperbolehkan
mempergunakan “the porte” sebagai kekuatan tambahan ketika Perancis
berkonfrontaso dengan Rusia. Bagi Turki konfrontasi jelas menguntungkan, sebab
baginya Rusia merupakan ancaman politik yang telah menganeksasi beberapa
wilayahnya melalui perjanjian Kucuk Kaynarca, 1774. Akan tetapi konfontasi
Rusia – Perancis berubah menjadi aliansi politik ketika Tsar Alexander dan
Napoleon Bonaparte menandatangani perjanjian Tilsit pada 7 Juli 1807. Pada saat
itu Perancis berkeinginan untuk membendung dominasi Inggris di benua Eropa.
Perancis pada awalnya memaksa Alexander untuk tetap menghormati perjajian yang
telah dibuat bersama Turki sebelumnya. Tetapi setelah itu Turki kembali
terjebak dan konspirasi politik besar bangsa Eropa. Oleh sebab itu Turki
melakukan negosiasi dengan Rusia atas mediasi Perancis di Slobosia, 21 Maret
1808, yang mengharuskan Rusia meninggalkan Moldova dan Wallachia, sedangkan
Turki akan meninggalkan selat Danibe dan hanya meletakkan tentaranya di
Ismailiya, Ibrail dan Galatz. Akan tetapi Rusia ingkar janji dengan tidak mau
meninggalkan Moldova kecuali atas
perintah Tsar lansung. Apalagi Tsar dapat jaminan lesan dari Napoleon bahwa ia
akam membiarkan Rusia bila berkeinginan menguasai kerajaan-kerajaan kecil.
Akhirnya meletuslah perang selama lima tahun dan berakhir dengan perjanjian
Bukares, Mei 1812, dan kerugian ada dipihak Turki. Lewat perjanjian tersebut
Rusia dapat mencaplok Bassarabia.[10]
Dalam upaya menjaga kelansungannya, Turki Usmani semakin bertambah
ketergantungannya terhadap keseimbangan kekuatan bangsa-bangsa Eropa. Hingga
tahun 1878 Ingris dan Rusia saling berebut pengaruh, meskipun keduanya
menghindari keterlibatan lansung dalam kerajaan Turki Usmani dan
perseteruannya. Meskipun demikian , antara tahun 1878 hingga 1914 sebagian
besar wilayah di semenanjung Balkan menjadi wilayah merdeka dari kekuasaan
Turki, dan Inggris, Rusia dan Austria-Hungaria mengusai beberapa bekas wilayah
kekuasaan Turki tersebut.
Kondisi ini semakin sulit dan rumit, dimana setelah kerajaan Turki
Usmani bergabung dengan Jerman dalam Perang Dunia I pada tahun 1914.
Keterlibatan Turki Usmani dalam Perang Dunia I dan bergabung dengan Jerman,
bukan tanpa alas an. Alas an itu antara lain pengaruh Jerman di Kerajaan Turki
Usmani melebihi pengaruh Eropa lainnya. Hal ini tanpak dalam bidang militer.
Pada tahun 1914 tentara Turki Usmani dilatih oleh Jerman yang terdiri dari 42
perwira di bawah pimpinan Jenderal Liman Von Sanders. Disamping itu Turki
Usmani berharab dengan bergabung bersama Jerman, Turki Usmani dapat mengambil
kembali wilayah-wilayahnya yang dicaplok oleh Rusia. Akan tetapi ini hanya
berakibat fatal untuk Turki Usmani. Wilayah Turki Usmani semakin lama semakin
kecil karena diperebutkan oleh
orang-orang Eropa.[11]
Dalam Perang Dunia I Turki Usmani mengalami kekalahan, maka
diadakan perjanjian Serves yang membuat Turki Usmani harus kehilangan
wilayahnya. Dengan demikian, maka melalui perjanjian Serves ini, pada garis
besarnya tercapailah segala ambisi negara-negara Eropa yang selama ini
tersimpan dalam dada, terutama sekali Yunani karena dari hasil ini, ia berhasil
memperoleh sebagian besar wilayah yang dikuasai oleh Turki.[12] Demikianlah proses
kemunduran yang terjadi pada kerajaan Turki Usmani.
2.
Faktor-Faktor
Kejatuah Turki Usmani
a.
Faktor
Internal
1).
Kelemahan Para Sultan dan Sistem Birokrasi
Nampaknya para sejarawan sepakat bahwa kelemahan para sultan dan system
birokrasi Kerajaan Turki Usmani menjadi penyebab kejatuhannya. Seorang sultan
yang lemah cukup member peluang bagi kejatuhan kerajaan Turki Usmani.
Sebaliknya seorang sultan yang cakap juga mampu memperlambat proses kejatuhan
pada system politik kerajaan.
Pada masa KerajaanTurki Usmani, yaitu pada masa pemerintahan Sultan
Sulaiman I (1520-1566), tanda-tanda keruntuhan juga sudah mulai tampak ke
permukaan. Pandangan tersebut lebih disebabkan oleh ketergantungan dinasti ini
kepada kesinambungan kekuatan politik seorang sultan. Para sultan terdahulu
telah begitu terlatih untuk menjadi seorang penguasa dan meniti puncak
kekuasaan dengan terlebih dahulu menunjukkan kemampuannya dalam mengendalikan persoalan pemerintahan
dengan pengalaman yang mereka peroleh pada saat terlibat aktif dalam
administrasi local dan ekspedisi militer. Mereka memperoleh kekuasaan dengan
meyakinkan para pengikutnya dengan memasukkan kelas budak ke dalam struktur
pemerintahan dan member mereka posisi yang berhadapan dengan para aristocrat
Turki. Dengan memberikan ini sebagai kelas penguasa (rulling class) maka ada
bahwa kejatuah Turki Usmani adalah akibat masuknya kelas budak ini ke dalam
system birokrasi kerajaan.[13]
Setelah Sultan Sulaiman I, Kerajaan Turki Usmani diperintah oleh
sultan-sultan yang lemah, baik dalam kepribadian, jiwa atau watak kepemimpinan
serta tidak sesuai dengan tuntutan pada masa itu. Mereka juga kurang terlibat
lansung dalam administrasi negara, dan juga dalam peperangan melawan musuh,
mereka banyak larut dalam kehidupan istana.[14]
Akibat lemahny a para sultan maka menimbulkan
pemberontakan-pemberontakan dalam negeri sediri, seperti di Suriah di bawah
pimpinan Kurdi Jambulat, di Lebanon di bawah pimpinan Drize Amir Fakhruddin. Dengan
negara-negar tetangga terjadi peperangan seperti Vinitia (1645-1664) dan dengan syah Abbas dari Persia. Tentara
Turki Usmani (Jenissari) juga memberontak, ini berakibat jelek sekali bagi
kerajaan Turki Usmani.[15]
2).
Kemunduran dalam bidang ekonomi
Turki Usmani pada masa kejayaannya menguasai tiga benua dan dua
lautan yang merupakan negara adikuasa dalam bidang militer dan ekonomi. Hal ini
disebabkan karena militernya kuat dan militernya mantap. Adapun sumber
pemasukan perekonomiannya antara lain dari pajak, upeti dan dari wilayah-wilayah
yang ditaklukkannya. Kondisi ini berubah setelah kerajaan Turki Usmani berada
dalam keadaan mundur dan lemah. Pajak-pajak dari negara bawahan sudah sangat
jauh berkurang. Hal ini karena banyak wilayah tersebut yang melepaskan diri
dari kekuasaan pusat.
Kemampuan Turki Usmani untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri mulai
melemah, pada saat yang sama bangsa Eropa telah mengembangkan struktur kekuatan
ekonomi dan keuangan bagi kepentingan mereka sendiri. Munculnya kekuatan
ekonomi dan keuangan baru dibelahan Eropa merupakan buah dari perkembangan
ekonomi. Ekspansi bangsa Eropa ke benua Amerika dan Afrika merupakan harapan
akan bertambahnya kemakmuran dan perangkat yang dibutuhkan untuk mengembangkan
sayap perdagangan kebelahan dunia sebelah timur. Rute perdagangan tersebut
dengan sendirinya mematahkan tradisi dan regulasi yang diterapkan oleh kekuatan
yang memegang wilayah Timut Tengah.[16]
Ditemukannya benua Amerika, telah menggeser jalur perdagangan ke
Samudera Atlantik dan ke laut terbuka di
sekeliling Afrika Selatan dan Asia Selata. Laut Tengah dan Timur Tengah,
sekalipun dalam beberapa hal masih berpengaruh namun sudah kehilangan kedudukan
ekonomi. Perkembangan dibelahan dunia lain telah menempatkan mereka pada
kedudukan kelas dua diantara tiga benua yaitu Asia, Afrika, dan Eropa. Dengan
dibukanya rute Samudera, maka laut Tengah dan Timur Tengah tidak dipersoalkan
lagi. Kerajaan Turki Usmani sebagai kekuatan Laut Tengah dan Timur Tengah,
akhirnya mulai menurun dari kedudukan yang tinggi.[17]
3).
Wilayah yang Luas dan Ledakan Penduduk
Wilayah Kerajaan Turki Usmani ketika berada pada puncak kejayaannya
meliputi Asia Kecil, Armenia, Irak, Suria, Hijaz, serta Yaman di Asia, Mesir,
Libia, Tunisia, serta AlJazair di Afrika dan Bulgaria, Yunani, Yugoslavia,
Albania, Hongaria, dan Rumania di Eropa.[18] Wilayah yang
sangat luas itu dihuni oleh penduduk yang beraneka ragam baik dari segi agama,
ras maupun adat istiadat. Untuk mengatur wilayah yang besar ini, pada posisi
yang lemah sangatlah sulit sekali.
Penduduk Kerajaan Turki Usmani pada abad ke eman belas bertambah
dua kali lipat dari sebelumnya. Problem kependudukan pada saat itu lebih banyak
disebabkan oleh tingkat pertambahan penduduk yang sedemikian tinggi dan ditam
bah menurunnya angka kematian akibat masa damai dan aman. Untuk mengatur
penduduk yang beraneka ragam dan
tersebar luas di tiga benua diperlukan suatu organisasi pemerintahan yang baik
dan teratur. Tanpa didukung oleh administrasi yang baik Kerajaan Turki Usmani
hanya akan menanggung beban yang sangat
berat akibatnya. Perbedaan ras, bangsaq
dan agama juga memicu mengantarkan pemberontakan dan peperangan yang akhirnya
menjadi kemunduran bagi Kerajaan Turki Usmani.[19]
4).
Budaya Korupsi Para Sultan
Pada umumnya moral pejabat negara di Kerajaan Turki Usmani tidak
baik, menipulasi dan kolusi merupakan suatu pekerjaan yang lumrah dan sering
mereka lakukan. Oleh karena itu terjadilah jual beli jabatan di lingkungan
pemerintahan Turki Usmani. Untuk dapat
menduduki Kursi Shadrul al-A’zam seorang calon, harus memberikan sekian
banyak hadiah sebagai sogokan kepada sultan dan para keluarganya.[20]
Demikian juga Gubernur sebagai kepada pemerintahan di propinsi.
Seorang calon gubernur tidak akan dipilih dan diangkat sebelun ia memberikan
sogokan yang banyak kepada Shadrul al-A’zam. Oleh kerena pengangkatan seorang calon pejabat
bukan berdasarkan keahlian dan keterampilannya, bahkan jabatan itu diraih
dengan jalan menyogok, maka tidak mengherankan seorang gubernur hanya berfikir
bagaimana ia dapat mengembalikan dan memperolleh kekayaan sebanyak-banyaknya
dan masalah rakyat bukan menjadi persoalan yang mereka utamakan.[21]
5) Pengaruh Para Isteri-isteri Sultan
Setelah pemerintahan Sultan Muhammad II, istana Kerajaan Turki
Usmani selalu terjadi kecemburuan, intrik dan percekcokan karena pengaruh
isteri-isteri sultan berkebangsaan Eropa. Melalui mereka raja-raja Eropa dapat
mengirim mata-mata masuk ke istana kerajaan. Di samping itu, istri-istri sultan
terdiri dari berbagai ragam wanita dengan kulit dan kasta yang berbeda bahkan
ada juga yang di beli oleh sultan. Dengan demikian tidak jarang isteri-isteri
sultan tersebut yang memberikan informasi penting kepada musuh. Oleh karena itu
banyak rencana yang dilakukan oleh kerajaan selalu mengalami kegagalan karena
sudah diketahui oleh musuh terlebih dahulu. Tentu saja mereka sudah
mempersiapkan taktik dan strategi untuk mengantisipasi rencana yang dilakukan
oleh Kerajaan Turki Usmani.[22]
6).
Keterbelakangan dalam Industri Perang
Pada masa Turki Usmani kemerosotan kaum muslimin tidak hanya
terbatas pada bidang pengetahuan saja, melainkan dalam segala bidang termasuk
dalam bidang industry perang, padalah keunggulan Turki Usmani pada bidang itu
pada masa sebelumnya telah diakui oleh seluruh dunia. Tidak berkembangnya
industry sangat berpegaruh terhadap kerajaan Turki Usmani yang sangat
mengandalkan militer sebagai tulang punggu kerajaan.
Sementara bangsa Eropa berhasil menciptakan senjata baru,
melancarkan modernisasinya angkatan perangnya serta memantapkan organisasinya,
sehingga pasukannya mampu melancarkan pukulan terhadap kerajaan Turki Usmani
pada tahun 1774 M.[23]
7).
Munculnya Gerakan Nasionalisme
Dari sekian banyak factor yang menyebabkan kemunduran bagi Kerajaan
Turki Usmani adalah tumbuhnya paham nasionalis bangsa-bangsa yang berada di
bawah kuasa Turki Usmani. Berbagai suku bangsa yang hidup dibawah pemerintahan
Turki Usmani mulai terusik nasionalismenya.
Bangsa Armenia dan Yunani yang beragama Kristen berpaling ke Barat,
mohon bantuan bagi kemerdekaan bangsa dan tanah airnya. Bangsa Kurdi
dipengunungan dan bangsa Arab di padang pasir dan di lembah-lembah, mereka juga
sama bangkit hendak melepaskan diri dari kekuasaan kerajaan Turki Usmani.[24]
Paham nasionalis yang muncul di wilayah-wilayah Kerajan Turki
Usmani tidak terlepas dari persentuhan umat Islam dengan orang-orang Barat. Hal
ini dapat dibuktikan ketika Napolion melakukan ekspedisi, dimana is mengembangkan ide kebangsaan dengan
menyatakan bahwa orang Perancis merupakan suatu bangsa (nation)[25]
Dengan adanya paham nasionalis ini menimbulkan kesadaran rakyat
akibat dari tekanan pemerintah, bahkan mereka sebenarnya bukanlah orang-orang
Turki, maka untuk itu mereka berusaha untuk bisa melepaskan diri dari kerajaan
Turki Usmani.
b.
Faktor
Eksternal
Kebangkitan
Eropa
Ketika kemunduran Kerajaan Turki Usmani pada periode pertengan dari
sejarah Islam, negara-negara Eropa Barat sedang mengalami kemajuan pesat. Hal
ini berbeda dengan masa Klasik Islam. Ketika Islam berada dalam kejayaan, eropa
masih berada dalam kebodohan dan keterbelakangan seperti halnya negara
terbelakang sekarang dan miskin dewasa ini di Asia dan Afrika.
Kemajuan Eropa sebenarnya bersumber dari khazanah ilmu pengetahuan
dan metode berfikir rasional orang-orang islam. Sebagaimana deketahui, bahwa
saluran tempat ilmu pengetahuan dan peradaban Eropa bersumber di Spanyol,
dimana pada masa kejayaannya banyak pelajar-pelajar Eropa datang untuk menuntut
ilmu pengetahuan di unuversitas-universitas di sana. Setelah mereka menamatkan
sekolah, mereka kembali ke Eropa dan mendirikan universitas sebagaimana yang
ada di dunia Islam. Dalam perkembangan selanjutnya mereka inilah yang
melahirkan renaissance dan reformasi di Eropa.[26]
Abad ke 16 dan 17 M. merupakan abad yang penting dalam sejarah.
Pada masa itu Eropa bangkit dengan segala kekuatan untuk mengejar
keterbelakangannya pada zaman klasik. Orang-orang Eropa bangkit menyelidiki
rahasia alam semesta, menaklukkan lautan dan menjajahi benua yang sebelumnya
masih diliputi oleh kegelapan. Mereka membuat penemuan baru dalam segala
lapangan ilmu dan seni serta dalam segala kehidupan. Dengan demikian, muncul
tokoh-tokoh cemerlang dalam berbagai ilmu pengetahuan , seperti Copernicus,
Bruno, Galileo, Kepler, Newton, dan lain-lain yang telah meletakkan
prinsip-rinsip lama dibidang ilmu pengetahuan. Di bidang penjelajahan dan
penemuan daerah-daerah baru tercatat nama-nama tokohnya seperti; Colombus,
Vasco da Gama, Magelhens dan lain-lain sebagainya.[27]
Dengan demikian factor-faktor diatas sejak abad XVI telah menjadi
penyebab lemahnya Imperium Turki Usmani, satu demi satu wilayahnya lepas dan
akhirnya Turki Usmani runtuh. Perang militer antara Turki Usmani dengan orang
Eropa berubah menjadi perang agama. Ketika terbentuk persekutuan suci (Haf
Miqadd) antara Austria, Polandia, dam Bundukia untuk bersama-sama menyerang
Turki Usmani, maka pengaruh sangat dalam bagi kekalahan Turki Usmanidan sangat
memperlemah kekuatannya. Selanjutnya atas nama agama Kristen, Rusia juga
bersama-sama dengan negara Kristen lainnya menyatakan perang terhadap Turki
Usmani. Akibat serangan negara-negara Kristen ini Turki Usmani mendapat pukulan
keras dan menderita kerugian besar.[28]
B.
Pembaharuan Turki Usmani
Pada permulaan abad ke XVII, Turki Usmani mulai memperdebatkan cara
terbaik bagi program restorasi integritas politik dan efektivitas kukuatan
militer yang dimiki kerajaan. Para pembaharu pada awalnya berlandaskan kepada
aturan yang digariskan Sultan Sulaiman yang menentang kemungkinan pengaruh
kekuatan Kristen Eropa atas kaum Muslimin. Para modernis menganggap perlunya
kekhilafahan Turki untuk mengabsi metode yang dimiliki bangsa Eropa dalam
pendidikan kemiliteran, organisasi dan administrasi untuk menciptakan suatu
perubahan di bidang pendidikan, ekonomi dan social yang mendukung terbentuknya
negara modern. Pada abad ke delapan belas dan terutama pada abad kesembilan
belas, kelompok modernis muncul dengan terang-terangan, dan akhirnya menjadi
pemenang.[29]
Semenjak abad ke delapan belas, penasehat militer Eropa telah mulai
diperjakan untuk memberikan latihan kemiliteran bagi pejabat militer kerajaan.
Percetakan juga didirikan untuk menerbitkan beberapa terjemahan kerya Eropa di
bidang teknik, militer dan geografi. Sultan Salim III (1789-1807)
memperkenalkan program pembaharuan yang pertama, dikebal dengan nama Nizam-i
Jedid. Rencana pembaharuan itu meliputi pembentukan korp militer baru,
perluasan system perpajakan dan pelatihan untuk mendidik para kaderbagi rezim
baru. Rencana yang dikemukakan oleh Sultan Salim tidak mendapatkan dukungan
dari para Ulama dan kelompok militer Janissari, yang akhirnya ia menjadi kurban
rencana pembaharuan tersebut. Ia kemudian digulingkan pada tahun 1807. Meskipun
demikian program pembaharuan tersebut dilakasanakan pada periode Sultan Mahmud
II.
1.
Sultan
Mahmud II (1808-1839)
Mahmud II adalah putera Sultan Abd al-Hamid dan memperoleh
pendidikan di istana di bidang bahasa-bahasa Islam klasik, agama, hokum, sastra
dan sejarah. kerajaan Turki Usmani pada awal abad ke Sembilan belas dalam
kondisi yang berantakan dan terpecah-belah, mengingat minimnya control politik
pemerintah pusat terdapa pemerintah daerah. Didamping lemahnya konsolidasi
politik internal diperburuk dengan keterlibatan kekuatan militer Turki dalam
berbagai negara asing, baik dengan Perancis, Rusia, Inggris dan lain-lain
seperti yang telah dikemukakan diatas tadi.
Ketika ia naik tahta dan menjadi sultan di kerajaan Turki, Mahmud
II memusatkan perhatiannya pada berbagai perubahan internal. Perubahan internal
itu dipusatkan pada rekonstruksi kekuatan angkatan bersenjata sehingga menjadi
kekuatan yang tangguh dalam menghadapi berbagai tantangan. Selain itu perbaikan
tersebut dimaksudkan untuk mengkonsolidasi seluruh potensi local. Pada tahun
1826, ia merombak Janissari menjadi kekuatan militer model Eropa. Kebijakan ini
akhirnya diprotes oleh Janissari yang telah berdiri pada abad keempat belas
oleh Sultan Orkhan, pada tanggal 16 Juni 1826. Akhirnya pemberontakan tersebut
dikenal dengan The Auspicious Incident dalam sejarah Turki.[30]
Sentralisasi kekuatan yang menjadi program utama Sultan Mahmud II
secara beransur-ansur dilaksanakan. Sistem militer lama lenyap secara total
pada tahun 1831 bersamaan dengan dihapusnya system feudal, timar. Kekuatan
militer baru tersebut menjadi semakin loyal terhadap sultan dan menjadi alat
proses sentralisasi politik dan menjadi pendorong proses modernisasi. Selanjutnya
yang dilakukannya adalah tetap menjalin hubungan damai dengan kekuatan asing di
Eropa. Kemudian perbaikan dibidang pendidikan bagi para pejabat militer, dokter
militer dan di bidang administrasi didorong untuk memenuhi tuntutan atas
pembayaran bagi para tentara dengan mendirikan berbagai sekolah baik dibidang
kedokteran, sekolah music kerajaan, akademi militer kerajaan, sekolah tinggakt
menengah bagi masyarakat yang akan dipersipkan untuk menjadi pegawai sipil. Selain
itu didirikan juga sekolah ilmu pengetahuan umum. Terhadap system pendidikan
tradisional, madrasah, ia berusaha memasukkan pengetahuan umum dalam kurikulum
pendidikannya.
Selain itu administrasi pusat juga dibenahi. System kementrian
medel Eropa di perkenalkan dan seluruh menteri bertanggung jawab kepada seorang
perdana menteri. Selain itu untuk membantu dalam meletakkan dasar strategi
perencanaan jangka panjang ia mendirikan sebuah lembaga legislative dan dikenal
dengan meclis-i Ahkam-i Adliye pada 1838. Begitu juga dibuka lembaga
penerjemahan pada tahun 1833. Kedutaan Besar kerajaan Turki di berbagai negara
asing dibuka kembali.[31]
Kekuatan militer dan system administrasi yang telah diperbaharui
tersebut pada gilirannya menjadi ujung tombak bagi perluasan kekuasaan Sultan
terhadap beberapa penguasa wilayah taklukan yang hendak memerdekakan diri, dan
memperkokoh kekuatan politik kerajaan.
2.
Tanzimat
Tanzimat atau dalam bahasa Turki dikenal dengan Tanzimat-i
Khairiye adalah gerakan pembaharu di Turki yang dikenalkan kedalam system
birokrasi dan pemerintahan Turki Usmani semenjak pemerintahan Abd al-Majid
(1839-1861), putra sultan Mahmud II, dan Sultan Abd al-Aziz (1861-1876). Pada
periode ini diterbitkan beberapa peraturan yang bertujuan untuk memperlancar
proses pembaharuan. Pembaharuan tersebut dimulai dengan diumumkannya deklarasi
Gulkhane, Katti-i Syerif Gulkhane, pada tanggal 3 November 1839.
Tanzimat ini ditindak lanjuti oleh Khatt-i Humayun yang diumumkan pada
tanggal 18 Pebruari 1856.[32]
Tokoh utama pada periode tanzimat adalah Mustafa Pasya, yang
dikenal dengan gelar Bayrakdar. Reformasi yang ia lakukan semasa ia menjadi
perdana mentri adalah melakukan perubahan pada lembaga militer. Ia membentuk
tentara Nizam dalam bentuk yang baru dan membentuk suatu lembaga kerajaan yang
besar. Lembaga tersebut terdiri dari para pejabat tinggi, gubernur, pasya dan
ayan yang berasal dari seluruh penjuru negeri.
Tokoh lain pada periode ini adalah Mustafa Rasyid Pasya
(1800-1858), yang dalam banyak hal sering disebut sebagai arsitek pembaharuan
abad kesembilan belas di Turki. Perkenalannya dengan dunia Barat dimulai saat
ia diangkat menajdai duta besar di Paris 1834. Jabatannya sebagai duta besar di
Italia memungkinkannya memungkinkannya mempelajari bahasa perancis dan melihat
menajuan yang terjadi di dunia Barat. Pada masa berikutnya ia diangkat menjadi
menteri luar negeri, dan sekembalinya dari London untuk misi khusus, ia
mengambil inisiatif untuk mengumumkan suatu perubahan yang dikenal dalam
sejarah Turki dengan nama tanzimat.
Tokoh tanzimat yang pemikirannya banyak diketahui adalah Mehmed
Sadik Rifat Pasya (1807-1856). Untuk menyalurkan dan melaksanakan ide
pembaharuannya, ia mendirikan Dewan Tanzimat dan ia sendiri menjadi ketuanya. Untuk
menjadikan Turki sebagai kerajaan yang maju, ia mengajukan beberapa pokok
pikiran. Pertama, Turki hanya dapat mencapai peradaban modern Barat bila dapat
menciptakan suasana damai dan menjalin hubungan baik dengan negara-negara
Barat. Untuk menjadikan Turki sebagai negara yang makmur, maka tidak ada
pilihan lain kecuali dengan menghilangkan pemerintahan yang absolute, sebab,
dalam tekanan pemerintahan yang otoriter, rakyat akan mengurangi semangat
kerja, mengikis watak kejujuran dalam bekerja sehingga kepentingan pribadi
menjadi lebih penting ketimbang kepentingan negara.
Ide pembaharuan yang mereka lontarkan mendapat sambutan dari pusat
kekuasaan. Sultan Abd al-Majid, pada tanggal 3 Nofember 1839 mengumumkan
deklarasi Gulkhane yang dimaksudkan untuk melakukan reorganisasi secara
structural dan konprehensif atas rezim lama. Deklarasi tersebut mempunyai dua
tujuan yang bersamaan; pertama, untuk memenuhi keinginan kekuatan-kekuatan
bangsa Eropa, yang secara serius telah melakukan intervensi dalam beberapa
urusan dalam negeri Turki sebagai pemecahan krisis Yunani. Kedua, untuk
menumbuhkan rasa percaya diri pemerintahan dalam negeri.
Periode tanzimat diwanai dengan sentralisasi kekuasaan negara dan
pengenalan norma-norma modern Eropa. Untuk mengenalkan norma-norma modern Eropa
itu, kaidah-kaidah hokum Eropa dioerkenalkan dengan intensif, beberapa mahasiswa
dikirim untuk belajar ke Eropa, dan bahkan para pejabat militer dididik di sana
atau di Turki di bawah bimbingan instruktur Eropa.[33]
3.
Usmani
Muda
Seperti dijelaskan pada bagian terdahulu, periode tanzimat telah
mengakibatkan terakumulasinya sebagian besar kekuatan di tangan Sultan.
Tanzimat juga melahirkan perkembangan politik yang unik dengan munculnya tiga
kelompok masyarakat yang memandang program itu secara kritis. Perama, kelompok
oposisi dari kalangan tradisionalis. Kedua, kelompok intelektual yang telah
mengenyam berbagai pelatihan birokrasi dan menguasai ide-ide Barat. Sedangkan
kelompok yang ke tiga adalah mereka yang berkeinginan untuk menghapuskan Sultan
sebagai sebuah kekuatan politik.
Kelompok intelektuan yang merupakan kelompok kedua dikenal dengan
Umani Muda, Young Ottomans. Kelompok ini merupakan sebuah komunitas yang telah
mengadakan pertemuan di Paris dan London antara tahun 1867-1871. Pandagan
politik mereka banyak dipengaruhi oleh faham secular dan revolusioner terhadap
ajaran Islam tradisional. Di antara tokoh Usmani Muda adalah Namik Kemal dan
Midhat Pasya.[34]
Bersama Midhat Pasya dan Ziya Pasya, Namik Kemal menyiapkan
perundang-undangan dan proses liberalisasi. Untuk mewujudkan peradaban Islam
yang benar dengan ide pan Islam yang kuat, ia mengajak untuk kembali kepada
ajaran Islam salaf dan menolak ajaran Islam lama yang tidak memuaskannya. Ia
juga yang pertama mengenalkan kepada bangsa Turki konsep tanah air, wathan, konsep
negara, milet, dan konsep kebebasab, hurriyet. Ketiga konsep
tersebut menjadi jargon para pendukun Turki Muda.
4.
Turki
Muda
Diantara tokoh Turki Muda adalah Murad Bey (1853-1912), Ahmad Reza
(1859-1931) dan Pangeran Sabahuddin (1877-1948). Murad Bey, dalam pandangannya,
sebab kemunduran Turki Usmani bukanlah disebabkan ajaran islam yang
diadopsinya, bukan juga rakyatnya, akan tetapi yang menjadi penyebab kemunduran
Turki Usmani adalah absolutism kekuasaan sultan. Untuk itu, kekuatan sultan harus
dibatasi, dan selanjutnya ia mengatakan bahwa seharusnya Turki mengadopsi
system kenstitusional Barat yang ada, karena system tersebut tidak bertentangan
dengan ajaran Islam.
Untuk mengadakan konsolidasi politik di wilayah Kekuasaan Turki, ia
menyodorkan faham Pan-Islam yang akan mengikat wilayah kekuasaan Turki dalam
satu kesatuan agama, Islam.
Ahmad Reza berpendapat bahwa penyebab kesengsaraan rakyat bukan
saja disebab oleh rendahnya teknologi. Tetapi lebih banyak oleh lemahnya system
birokrasi yang ada. Dalam perjalanan intelektualnya ia berkesimpulan bahwa
diantara cara untuk menjaga keruntuhan Turki Usmani adalah dengan meningkatkan
pendidikan dan ilmu pengetahuan. Pandangannya tentang sentralisasi dan
penolakannya terhadap campur tangan asing di Turki membuatnya berseberangan
dengan Pangeran Sabahuddin yang menginginkan sebaliknya. Ia mengiginkan proses
desentralisasi kekuasaan dan cacpur tangan kekuatan asing untuk membantu proses
reformasi di Turki.
Dalam pandangan Sabahuddin, keperluan mendesak saat itu bagi
masyarakat Turki bukanlah sebuah reformasi politik melainkan sebuah revolusi
social. Sebagaimana Ahmad Reza, ia berpendapat bahwa jalan yang ditempuh untuk
melakukan revolusi social tersebut adalah pendidikan.
Kaum wanita pada masa Turki Muda memperoleh perhatian besar. Di
bidang pendidikan, kesempatan bagi keum wanita untuk mendapatkan pendidikan
juga dibuka lebar. Kalau periode tanzimat kaum wanita telah memperoleh kesempatan
belajar tingkat dasar, maka pada periode Turki Muda kesempatan bagi wanita
untuk belajar tingkat menengah dan tinggi juga terbuka lebar. Pada tahun 1917
undang-undang keluarga family low, disahkan oleh pemerintah.[35]
5.
Mustafa
Kemal Ataturk
Gerakan tanzimat menumbuhkan bibit-bibit nasionalisme bangsa Turki
di kemudian hari. Semenjak tahun 1860, kalangan intelektual yang merupakan
produk tanzimat mulai mengemukakan pendapatnya melalui gerakan Usmani Muda. Mereka
berkeyakinan bahwa kerajaan Turki hanya akan dapat dipertahankan bila mau
mengadopsi peradaban Eropa tanpa perobahan dari sisi struktur. Gerakan ini
muncul pada saat Sultan Hamid II naik tahta dan ditindak lanjuti dengan gerakan
Turki Muda tahun 1880. Mereka bersatu untuk melawan despotisme Sultan Hamid
yang berbasiskan interpretasi baru atas Faham Ottomanisme. Mereka tidak lagi
diikat oleh kesatuan agama melainkan ide multi-negara.[36]
Setelah kelompok Turki Muda berhasil mengalahkan gerakan pro-Abd
al-Hamid tahun 1909 dengan bantuan pejabat berkebangsaan Arab, mereka
melontarkan ide nasionalisme yang dikenal dengan Turanisme. Gerakan Turanisme
melahirkan kebijakan Turkifikasi yang hakikatnya merupakan proses penindasan
sistematis terhadap budaya dan bahasa bangsa lain yang akhirnya menimbulkan
semangat nasionalisme baru dikalangan bangsa Arab lainnya. Mereka mengharapkan
proses transpormasi system pemerintahan kerajaan Turki Usmani dari system
otokrasi-monarkis menjadi monarki-kostitusional, dengan memberikan kepada
mereka otonemi pemerintahan dan kebudayaan.Dampak nyata dari idiologi
nasionalisme adalah runtuhnya system Khilafah Usmani, yang dibangun atas
pemikiran politik keagamaan yang bersifat supra nasional.
Tokoh utama gerakan nasionelisme Turki adalah Mustafa Kemal, tetpi
ia bukan satu-satunya pemikir yang melahirkan isiologi nasionalisme Turki.
Mustafa Kemal sendiri medapatkan inspirasi dari para tokoh USmani Muda dan
Turki Muda yang merupakan produk dari kebijakan reorganisasi yang dicanangkan
oleh sultan Mahmud II. Di antara pemikir Turki yangmeletakkan dasar semagat
nasionalisme adalah Yusuf Akcura (1876-1933) dan Zia Gokalp (1875-1924).
Mustafa Kemal Pasya, yang kemudian hari dikenal dengan Kemal
Ataturk, di Anatolia, ia bekerja giat untuk mewujudkan cita-citanya, yaitu
mewujudkan negara Turki yang modern. Di kota tersebut ia berkiprah di Association
for the Defence of the Right of Eastern Anatolia, sebuah gerakan untuk
mempertahankan hak-hak masyarakat Anatolia Timur dan didirikan di Erzurum 3
Maret 1919. Asosiasi ini kemudian hari meluas menjadi asosiasi pembebasan
masyarakat Anatolia dan Rumella dan Mustafa Kemal menjadi ketuanya.
Dengan ditanda tanganinya perjanjian Lausanne tanggal 24 Juli 1923,
maka secara internasional Pakta Nasional Turki diakui. Berdasarkan kesepakatan
grand Nasional Assembly, disebutkan bahwa yang menjadi penguasa adalah mereka
yang menjadi perwakilan rakyat.
Pada tanggal 6 Desember 1922, Mustafa Kemal mendirikan Partai
Rakyat dan mengundang seluruh kangan terpelajar untuk berkomunikasi lansung
dengannya. Pada tanggal 16 April 1923 Grand Nasional Assembly membubarkan diri
dan mempersiapkan pengadaan pemilu. Anggota Assembly baru hasil pemilu memiliki
anggota 286 dan pada taggal 11 Agustus 1923 memilih Mustafa Kemal sebagai
presiden dan Fethi sebagai perdana mentri. Dengan ini negara baru Turki berdiri
tidak atas dasar dinasti, kerajaan, maupun agama melainkan atas dasar nation
(bangsa) dengan ibukota ditengah-tengah negara Turki, yakni Ankara.
Pada tanggal 3 Maret 1924, Grand Naional Assembly, secara resmi
menghapus lembaga kesultanan dan khilafah. Tidak lama kemudian kebijaksanaan
hari libur nasional dirubah dari hari jum’at ke hari Minggu, dan keluar
peraturan keharusan memakai busana Barat.[37]
[1] Firdaus, Negara
Adikuasa Islam, (Padang : IAIN IB Press, 2000) h. 36
[2]Harun Nasution, Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, ( Jakarta: UI-Press, 1985), h. 87
[3]Hasan Ibrahim Hasan,
Sejarah Kebudayaan Islam, ( Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), h. 340
[4]Syafiq A. Mughni, Sejarah
Kebudayaan Islam di Turki, (Jakarta: Logos, 1997), h. 114
[5]Ibid
[6] Ibid
[7] Ahmad Salabi, Imperium
Turki Usmani, (Jakarta: Kalam Mulia, 1988), h. 68
[8]Firdaus , op.cit,
h.39.
[9]Ibid,
h. 40
[10]
Syafiq A. Mughni, op.cit, h. 114-115
[11]Firdaus
, log.cit
[12]
Ahmad Salabi, op.cit, h. 79
[13]
Syafiq A. Mughni, op.cit, h. 93
[14]Akbar
S. Ahmad, Citra Muslim, ( Jakarta: Erlangga, 1992),h. 73
[15]Harun
Nasution, op.cit, h. 53
[16]Syafiq
A. Mughni, op.cit, h. 104
[17]Firdaus,
op.cit, h. 44
[18]Harun
Nasution, op.cit, h. 84
[19]
Syafiq A. Mughni, op.cit, h. 103
[20]Ahmad
Syalabi, op.cit, h.51
[21]Ibid,
h. 36
[22]Firdaus,
op.cit, h. 47 . lihat juga Mukti Ali, Islam dan Sekularisme di Turki Modern,
(Jakarta: Djambatan, 1994), h. 30-31
[23]Ibid,
h. 48
[24]Ahmad
Syalabi, op.cit. h. 55
[25]Firdauf,
loc.cit
[26]Harun
Nasution, op.cit, 104-105
[27]Firdaus,
op.cit, h. 50
[28]Ibid.
[29]
Syafiq A. Mughni, op.cit, h. 121
[30]Ibid,
h. 123
[31]Ibid,
h. 124
[32]Ibid,
h. 126
[33]Ibid,
h.129
[34]Ibid,
h. 132
[35]Ibid,
h. 141
[36]ibid
[37]Ibid,
148-149
Tidak ada komentar:
Posting Komentar