Senin, 15 Februari 2016

FAKTA, KEPERCAYAAN, KEBENARAN, DAN PENGETAHUAN

A.           PENDAHULUAN
               Filsafat seringkali disebut oleh sejumlah pakar sebagai induk dari semua ilmu. Filsafat telah mengantarkan pada sebuah fenomena adanya siklus pengetahuan sehingga membentuk sebuah konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar bercabang secara subur sebagai sebuah fenomena kemanusiaan, salah satu cabang itu adalah Filsafat Ilmu.
               Jika kita telaah tentang substansi filsafat ilmu, diantaranya dapat dipaparkan dalam empat bagian, yaitu substansi yang berkenaan dengan: (1) fakta atau kenyataan, (2) kepercayaan, (3) kebenaran (truth), dan (4) pengetahuan.
               Oleh karena itu, untuk menambah pengetahuan serta pemahaman kita dalam substansi filsafat ilmu tersebut, maka di dalam makalah ini penulis akan mencoba mengkaji tentang segala sesuatu yang menurut penulis penting untuk diketahui dan tentunya relevan dengan topik perkuliahan kita yaitu fakta, kepercayaan, kebenaran, dan pengetahuan.

B.            PEMBAHASAN
1.      FAKTA
Fakta (bahasa latin: factus) ialah segala sesuatu yang tertangkap oleh indra manusia. Fakta seringkali diyakini oleh orang banyak (umum) sebagai hal yang sebenarnya, baik karena mereka telah mengalami kenyataan-kenyataan dari dekat maupun karena mereka dianggap telah melaporkan pengalaman orang lain yang sesungguhnya.[1] Dalam kamus istilah keilmuan fakta adalah suatu hasil pengamatan yang obyektif dan dapat dilakukan verifikasi oleh siapapun. Fakta adalah suatu yang ada, apakah setiap orang  berpikir demikian atau tidak.[2] Fakta juga di definisikan secara luas yaitu segala sesuatu yang berada di dunia, contoh fakta antara lain :
a.     Matahari adalah suatu fakta
b.    Jika menderita sagit gigi, maka sakit gigi itu adalah fakta
c.     Jika pedagang jualannya habis, maka itu adalah fakta
Defenisi lain tentang fakta adalah apa yang membuat pernyataan itu betul atau salah. Contoh; jika “Brutus” adalah seorang Romawi dan “Casius” adalah seorang Romawi maka keduanya menyatakan fakta suatu fakta.
Fakta atau kenyataan memiliki pengertian yang beragam, tergantung dari sudut pandang filosof yang melandasinya, diantaranya adalah :
1.      Positivistik berpandangan bahwa sesuatu yang nyata bila ada korespondensi (hubungan ) antara yang satu dengan yang lainnya.
2.      Fenomenologik memiliki dua arah perkembangan mengenai pengertian kenyataan ini. Pertama, menjurus ke arah teori korespondensi yaitu adanya korespondensi antara ide dengan fenomena. Kedua menjurus ke arah koherensi moralitas kesesuaian antara fenomena dengan sistem nilai.
3.      Rasionalitik menganggap sesuatu sebagai nyata, bila ada koherensi antara empiris dan skema rasional.
4.      Realisme metafisik berpendapat bahwa sesuatu yang nyata bila ada koherensi antara empiris dengan obyektif.
5.      Pragmatisme memiliki pandangan bahwa dikatakan kenyataan bahwa yang ada itu  merupakan sesuatu yang  berfungsi.[3]
Di sisi lain, seorang pakar yang bernama Lorens Bagus mengungkapkan  tentang fakta obyektif dan fakta ilmiah. Fakta obyektif yaitu peristiwa, fenomena atau bagian realitas yang merupakan obyek kegiatan atau pengetahuan praktis manusia. Sedangkan fakta ilmiah merupakan refleksi terhadap fakta obyektif dalam kesadaran manusia. Yang dimaksud refleksi adalah deskripsi fakta obyektif dalam bahasa tertentu.
Fakta ilmiah merupakan dasar bagi bangunan teoritis. Tanpa fakta-fakta ini bangunan teoritis itu mustahil. Fakta ilmiah tidak terpisahkan dari bahasa yang diungkapkan dalam istilah-istilah dan kumpulan fakta ilmiah membentuk suatu deskripsi ilmiah.
2.      KEPERCAYAAN
Manusia itu berdimensi percaya, percaya adalah sifat dan sikap membenarkan sesuatu atau menganggap sesuatu benar. Kepercayaan itu dapat dipahami dengan suatu keadaan tertentu dari tubuh atau pikiran atau keduanya.
Hubungan antara fakta dan kepercayaan memiliki hubungan yang sangat erat. Kepercayaan yang merupakan sifat dan sikap membenarkan sesuatu atau menganggap sesuatu sebagai fakta, sebagai contoh dalam ilmu matematika misalnya; 2 x 2 = 4, jadi faktanya benar-benar mempunyai hasil yang kebenarannya dapat dibuktikan sehingga kita mempunyai kepercayaan dengan hal tersebut.
Ada beberapa macam kepercayaan, yaitu :[4]
a.       Kepercayaan dalam hidup sehari-hari
Contohnya adalah ibu kandung kita, sesungguhnya kita terima status beliau sebagai ibu kandung kita atas dasar kepercayaan, karena kita merasa tidak perlu membuktikannya. Kita tidak akan pernah naik motor yang dikemudikan orang lain bila kita tidak mempunyai kepercayaan atas kendaraan yang kita tumpangi tersebut, tanpa kita mempelajari dan menyelediki secara ilmiah seluk-beluk mesin kendaraan tersebut, juga tidak mengetes dan mengecek kemampuan  dan kemahiran pengemudi secara seksama.
b.      Kepercayaan dalam ilmu pengetahuan
Para pemula ilmu pengetahuan tertentu pertama-tama akan menerima saja terlebih dahulu suatu dalil atau aksioma atas dasar kepercayaan. Ilmu pengetahuan dalam mengemukakan  konklusinya bersandarkan kepada postulat-postulat tertentu secara mutlak yang diterima dengan begitu saja atas dasar kepercayaan semata.
c.       Kepercayaan dalam filsafat
Menurut aliran rasionalisme akal manusia itu memang cukup kuat untuk memecahkan segala persoalan, cukup kuat untuk mencapai kebenaran yang terakhir. Dengan penuh keyakinan aliran rasionalisme percaya dalam maksud “percaya” adalah Esa akan akal manusia sebagai kunci yang membuka segala tabir rahasia. Rasionalisme yang mengagungkan akal tidak lain adalah semacam suatu kepercayaan juga, begitu juga dengan aliran idealisme  yang percaya bahwa unsur pokok  sarwa yang ada ini adalah ide, dan materialisme yang percaya bahwa unsur pokok sarwa ini adalah materia, keduanya adalah kepercayaan. Bahkan atheisme yang kita kenal sebagai ketidak percayaan kepada Tuhanpun pada hakekatnya adalah semacam kepercayaan juga, yaitu kepercayaan akan tidak adanya Tuhan.


d.      Kepercayaan dalam agama
Manusia memerlukan suatu bentuk kepercayaan untuk dapat menjalankan hidup karena itu adalah kebutuhan. Demikian pula cara berkepercayaan pun harus benar pula. Menganut kepercayaan yang salah bukan saja dikehendaki akan tetapi bahkan berbahaya. Disebabkan karena kepercayaan itu diperlukan, maka dalam kenyataannya kita temui bentuk-bentuk kepercayaan itu berbeda satu sama lainnya, maka sudah barang tentu ada dua kemungkinan; semuanya itu salah, atau salah satu diantaranya benar.
Faktor kepercayaan ini mutlak dalam agama. Agama adalah satu bentuk dan corak kepercayaan (dalam arti sesuatu yang diakui dan diterima sebagai kebenaran) yang tertinggi, karena kaum yang beragama meyakini sebagai sesuatu yang diberitahukan oleh yang tak pernah berdusta (Tuhan) atau kepada yang diberi tugas memberitahukan kebenaran kepada umat manusia.

3.      KEBENARAN
Benar pada dasarnya adalah persesuaian antara pikiran dan kenyataan. Kebenaran juga diartikan dengan tidak adanya pertentangan dalam dirinya. Sedangkan kebenaran adalah persesuaian antara tahu dengan objeknya juga antara pengetahuan dan objeknya.[5]
Pada setiap jenis pengetahuan tidak sama kriteria kebenarannya karena sifat dan watak pengetahuan itu berbeda. Pengetahuan alam metafisika tentunya tidak sama dengan pengetahuan tentang alam fisik. Alam fisik pun memiliki perbedaan ukuran kebenaran bagi setiap jenis dari bidang pengetahuan.
Problem kebenaran inilah yang memacu tumbuh dan berkembangnya epistemologi. Telaah epistemologi terhadap kebenaran membawa orang kepada sesuatu kesimpulan bahwa perlu dibedakan adanya tiga jenis kebenaran, yaitu kebenaran epistemologi, kebenaran ontologis, dan kebenaran semantis.
Kebenaran epistemologis adalah kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan manusia, kebenaran dalam arti ontologis adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada hakikat segala sesuau yang ada atau diadakan. Kebenaran dalam arti semantis adalah kebenaran yang terdapat serta melekat dalam tutur kata dan bahasa. Namun, dalam pembahasan ini dibahas kebenaran epistemologis karena kebenaran yang lainnya secara inheren akan masuk dalam kategori kebenaran epistemologis.[6]
Teori yang menjelaskan epistemologis adalah sebagai berikut :
1)      Teori Koherensi (Coherence Theory of Truth)
Bagi penganut teori koherensi, maka suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan tersebut bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.
Misalnya bila kita menganggap bahwa, “semua manusia akan mati.” Adalah sebagai pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “Panjul adalah seorang manusia, dan Panjul pasti akan mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan pertama.
2)      Teori korespondensi (Correspondence Theory of Truth)
Mengenai teori korespondensi tentang kebenaran dapat disimpulkan sebagai dua hal yang sudah diketahui sebelumnya, yaitu pernyataan dan kenyataan. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu dengan kenyataan sesuatu itu sendiri. Sebagaimana contoh dapat dikemukakan : “Jakarta adalah ibu kota Republik Indonesia.” pernyataan ini disebut benar karena kenyataannya Jakarta memang ibukota Republik Indonesia. Kebenaran  terletak pada hubungan antara pernyataan dengan kenyataan. Adapun jika dikatakan Bandung adalah ibukota Republik Indonesia, pernyataan itu salah karena tidak sesuai antara pernyataan dengan kenyataan.[7]
3)      Teori pragmatisme
Kadang-kadang teori ini disebut teori kebenaran Inherensi. Menurut filsafat ini benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori semata-mata bergantung kepada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar jika mendatangkan manfaat.
Penganut pragmatis meletakkan ukuran kebenaran dalam salah satu jenis konsekuensi, atau proposisi itu dapat membantu untuk mengadakan penyesuaian yang memuaskan terhadap pengalaman, pernyataan itu adalah benar.[8]
Misalnya ada orang yang menyatakan sebuah teori A dalam komunikasi, dan dengan teori A tersebut dikembangkan teknik B dalam meningkatkan efektivitas komunikasi, maka teori A itu dianggap benar, sebab teori A ini adalah fungsional atau mempunyai kegunaan.
4)      Agama Sebagai Teori Kebenaran
Manusia adalah makhluk pencari kebenaran. Salah satu cara untuk menemukan suatu kebenaran adalah melalui agama. Agama dengan karakteristiknya sendiri memberikan jawaban atas segala persoalaan asasi yang dipertanyakan manusia, baik tentang alam, manusia, maupun tentang Tuhan. Kalau ketiga teori kebenaran sebelumnya lebih mengedepankan akal, budi, rasio, dan reason manusia, dalam agama yang dikedepankan adalah wahyu yang bersumber dari Tuhan.[9]


5)      Teori Performatif
Menurut teori ini persyaratan kebenaran bukanlah kualitas atau sifat sesuatu, tetapi sebuah tindakan (performatif). Untuk menyatakan sesuatu itu benar, maka cukup melakukan tindakan konsesi (setuju/menerima/membenarkan) terhadap gagasan yang telah dinyatakan. Jadi, sesuatu  itu dianggap benar jika memang dapat diaktualisasikan dalam tindakan.[10]

4.      PENGETAHUAN
Secara etimologi pengetahuan berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu knowledge. Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa definisi pengetahuan adalah kepercayaan yang benar (knowledge is justified true belief).[11] Sedangkan secara terminologi menurut Drs. Sidi Gazalba, “pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu. Pekerjaan tahu adalah hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti, pandai. Pengetahuan itu adalah semua milik atau isi pikiran”.[12] Dengan demikian pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu.
Burhanudin Salam mengemukakan bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia itu ada empat, yaitu: [13]
1.      Pengetahuan biasa, yakni pengetahuan yang dalam filsafat dikatakan dengan istilah common sense. Seseorang menyebutnya sesuatu itu panas, karena memang dirasakannya panas, dan sebagainya. Common sense diperoleh dari pengalaman sehari-hari, seperti air dapat dipakai untuk menyiram bunga, makanan dapat memuaskan rasa lapar,dan sebagainya.
2.      Pengetahuan ilmu, yaitu ilmu sebagai terjemahan dari science. Ilmu pada prinsipnya merupakan usaha untuk mengorganisasikan dan mensistematiskan common sense, suatu pengetahuan yang berasal dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari. Namun dilanjutkan dengan suatu pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode.
3.      Pengetahuan filsafat, yakni pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran yang bersifat kontemplatif dan spekulatif. Pengetahuan filsafat lebih menekankan pada universalitas dan kedalaman kajian tentang sesuatu. Kalau ilmu hanya pada satu bidang pengetahuan yang sempit, filsafat membahas hal yang lebih luas dan mendalam.
4.      Pengetahuan agama, yakni pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan lewat para utusan-Nya. Pengetahuan agama bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh para pemeluk agama. Mengandung beberapa hal yang pokok yaitu ajaran tentang cara berhubungan dengan Tuhan, dan cara berhubungan dengan sesama manusia. Pengetahuan agama yang lebih penting disamping informasi tentang Tuhan adalah tentang hari akhir yang membuat manusia optimis akan masa depannya.
Pengetahuan mampu dikembangkan manusia yang disebabkan dua hal utama, yakni pertama manusia mempunyai bahsa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut. Kedua kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu.[14]
Pada dasarnya terdapat dua cara yang pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Yang  pertama adalah mendasarkan diri pada rasio dan yang kedua mendasarkan diri kepada pengalaman.[15] Cara lain untuk mendapatkan pengetahuan adalah intuisi dan wahyu.[16] Berikut akan dijelaskan masing-masingnya :
1.         Rasionalisme
Aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Rasonalisme tidak mengingkari kegunaan indera dalam memperoleh pengetahuan. Premis yang di pakai dalam penalarannya di peroleh dari ide yang menurut anggapannya jelas dan dapat di terima. Pengalaman indera diperlukan untuk merangsang akal dan memberikan bahan-bahan yang menyebabkan akal dapat bekerja, tetapi sampainya manusia kepada kebenaran adalah semata-mata akal.[17]

2.         Empirisme
Kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu bukan didapatkan melalui penalaran rasional yang abstrak namun melalui  fakta yang terungkap melalui pengalaman yang konkret atau nyata. Pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman inderawi.
Akal hanya mengelola konsep gagasan inderawi. Hal itu dilakukan dengan menyusun konsep tersebut atau membagi-baginya. Emperisme juga menganggap akal sebagai sejenis tempat penampungan yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Akal tidak berfungsi banyak, kalaupun ada itu hanya sebatas ide yang kabur.[18]
3.         Intuisi
Intuisi merupakan pengetahuan yang di dapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba saja menemukan jawaban atas permasalahan tersebut. Atau bisa juga suatu masalah yang sedang dipikirkan, kemudian ditunda karena menemui jalan buntu, tiba-tiba saja muncul dalam benak jawaban yang lengkap dan diyakini kebenarannya bahwa jawaban itulah yang dicari walaupun tidak bisa dijelaskan bagaimana cara sampai pada kesimpulan, itulah yang disebut intuisi.

Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Intuisi tidak bisa diandalkan sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan secara teratur. Namun, Pengetahuan intuitif dapat dipergunakan sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar tidaknya pernyataan yang dikemukakan.[19]
4.         Wahyu
Wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan Tuhan kepada manusia. Wahyu didapat bukan dari usaha aktif manusia menemukan kebenaran, melainkan berupa pengetahuan yang ditawarkan atau diberikan. Manusia dalam menemukan kebenaran ini bersifat pasif sebagai penerima, yang kemudian percaya atau tidak percaya tergantung keyakinannya.
Wahyu merupakan pengetahuan yang tidak hanya mengenai kehidupan sekarang yang terjangkau pengalaman, namun juga mencakup masalah-masalah yang bersifat transendental seperti latar belakang penciptaan manusia dan hari kemudian di akhirat nanti.
Kepercayaan inilah yang merupakan titik tolak dalam agama dan lewat pengkajian selanjutnya dapat meningkatkan dan menurunkan kepercayaan itu. Sedangkan ilmu pengetahuan sebaliknya, yaitu dimulai mengkaji dengan riset, pengalaman, dan percobaan untuk sampai kepada kebenaran yang faktual.[20]

C.           PENUTUP
Dari pemaparan makalah diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.    Fakta seringkali diyakini oleh orang banyak (umum) sebagai hal yang sebenarnya. Fakta atau kenyataan memiliki pengertian yang beragam, tergantung dari sudut pandang filosof yang melandasinya
2.    Ada beberapa macam kepercayaan, yaitu: kepercayaan dalam hidup sehari-hari, kepercayaan dalam ilmu pengetahuan, kepercayaan dalam filsafat, kepercayaan dalam agama.
3.    Kebenaran adalah persesuaian antara tahu dengan objeknya juga antara pengetahuan dan objeknya.
4.    Teori yang menjelaskan tentang epistemologi adalah teori koherensi, teori korespondensi, teori pragmatisme tentang kebenaran, agama sebagai teori kebenaran, dan teori performatif.
5.    Pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu. Pada dasarnya cara yang pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar adalah mendasarkan diri pada rasio, pengalaman, intuisi dan wahyu.
Demikianlah yang dapat penulis paparkan di dalam makalah ini. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, karena tak ada manusia yang tak luput dari kesalahan dan kekurangan. Oleh sebab itu kritikan dan saran yang membangun merupakan kontribusi yang sangat berharga untuk lebih baik pada tugas selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

A. Susanto, Filsafat Ilmu Suatu kajian dalam dimensi Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2011

Bakhtiar, Amsal, Filsafat Agama, Jakarta: Logos, 1997
­­­­____________, Filsafat Ilmu, Jakarta: Rajawali Pers, 2010
Gazalba,Sidi,  Sistematika Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1992
I.R. Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1998
Mundiri, Logika, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001
Salam, Burhanuddin, Pengantar Filsafat, Jakarta: Bumi Aksara, 2000
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012
Suriasumantri, Jujun S, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005

Vardiansyah, Dani, Filsafat Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Jakarta: Indeks, 2008

diakses tanggal 21 September 2013






[1] Dani Vardiansyah, Filsafat Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Jakarta: Indeks, 2008), h.3
[4] Mundiri, Logika, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), h. 8
[5] I.R. Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1998), h. 16-17
[6] A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2011), h. 86-89
[7] Jujun S. Suria Sumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005) cet. Ke-18, h. 57
[8] Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012), h. 58
[9] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, (Jakarta: Logos, 1997) h, 34
[10] Ibid., h. 87
[11] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 85
[12] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 4
[13] Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), h. 6
[14] Amsal Bakhtiar, op.cit., h. 93
[15] Jujun S. Suriasumantri, op.cit., h. 50
[16] Ibid., hal. 53
[17]Amsal Bakhtiar, op.cit., hal. 103
[18] Ibid., h. 98
[19] Jujun S. Suriasumantri, op.cit., h. 53  
[20] Amsal Bakhtiar, op.cit., h. 110 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar