Filsafat
seringkali disebut oleh sejumlah pakar sebagai induk dari semua ilmu. Filsafat
telah mengantarkan pada sebuah fenomena adanya siklus pengetahuan sehingga
membentuk sebuah konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan”
telah tumbuh mekar bercabang secara subur sebagai sebuah fenomena kemanusiaan,
salah satu cabang itu adalah Filsafat Ilmu.
Jika kita telaah tentang
substansi filsafat ilmu, diantaranya dapat dipaparkan dalam empat bagian, yaitu
substansi yang berkenaan dengan: (1) fakta atau kenyataan, (2) kepercayaan, (3)
kebenaran (truth), dan (4)
pengetahuan.
Oleh karena itu, untuk menambah
pengetahuan serta pemahaman kita dalam substansi filsafat ilmu tersebut, maka
di dalam makalah ini penulis akan mencoba mengkaji tentang segala sesuatu yang
menurut penulis penting untuk diketahui dan tentunya relevan dengan topik
perkuliahan kita yaitu fakta, kepercayaan, kebenaran, dan pengetahuan.
B.
PEMBAHASAN
1. FAKTA
Fakta (bahasa latin: factus) ialah segala sesuatu yang
tertangkap oleh indra manusia. Fakta seringkali diyakini oleh orang banyak
(umum) sebagai hal yang sebenarnya, baik karena mereka telah mengalami
kenyataan-kenyataan dari dekat maupun karena mereka dianggap telah melaporkan
pengalaman orang lain yang sesungguhnya.[1] Dalam kamus istilah keilmuan fakta
adalah suatu hasil pengamatan yang obyektif dan dapat dilakukan verifikasi oleh
siapapun. Fakta adalah suatu yang ada, apakah setiap orang berpikir demikian atau tidak.[2]
Fakta juga di definisikan secara luas yaitu segala sesuatu yang berada di
dunia, contoh fakta antara lain :
a.
Matahari
adalah suatu fakta
b.
Jika
menderita sagit gigi, maka sakit gigi itu adalah fakta
c.
Jika
pedagang jualannya habis, maka itu adalah fakta
Defenisi lain tentang fakta adalah
apa yang membuat pernyataan itu betul atau salah. Contoh; jika “Brutus” adalah
seorang Romawi dan “Casius” adalah seorang Romawi maka keduanya menyatakan fakta
suatu fakta.
Fakta atau kenyataan memiliki pengertian
yang beragam, tergantung dari sudut pandang filosof yang melandasinya,
diantaranya adalah :
1.
Positivistik
berpandangan bahwa sesuatu yang nyata bila ada korespondensi (hubungan ) antara
yang satu dengan yang lainnya.
2.
Fenomenologik
memiliki dua arah perkembangan mengenai pengertian kenyataan ini. Pertama,
menjurus ke arah teori korespondensi yaitu adanya korespondensi antara ide
dengan fenomena. Kedua menjurus ke arah koherensi moralitas kesesuaian antara
fenomena dengan sistem nilai.
3.
Rasionalitik menganggap
sesuatu sebagai nyata, bila ada koherensi antara empiris dan skema rasional.
4.
Realisme metafisik berpendapat bahwa sesuatu yang
nyata bila ada koherensi antara empiris dengan obyektif.
5.
Pragmatisme
memiliki pandangan bahwa dikatakan kenyataan bahwa yang ada itu merupakan sesuatu yang berfungsi.[3]
Di sisi lain, seorang pakar yang
bernama Lorens Bagus mengungkapkan tentang fakta obyektif dan fakta ilmiah. Fakta obyektif yaitu peristiwa,
fenomena atau bagian realitas yang merupakan obyek kegiatan atau pengetahuan
praktis manusia. Sedangkan fakta ilmiah merupakan refleksi terhadap fakta
obyektif dalam kesadaran manusia. Yang dimaksud refleksi adalah deskripsi fakta
obyektif dalam bahasa tertentu.
Fakta
ilmiah merupakan dasar bagi bangunan teoritis. Tanpa fakta-fakta ini bangunan
teoritis itu mustahil. Fakta ilmiah tidak terpisahkan dari bahasa yang
diungkapkan dalam istilah-istilah dan kumpulan fakta ilmiah membentuk suatu
deskripsi ilmiah.
2.
KEPERCAYAAN
Manusia itu berdimensi percaya, percaya
adalah sifat dan sikap membenarkan sesuatu atau menganggap sesuatu benar. Kepercayaan
itu dapat dipahami dengan suatu keadaan tertentu dari tubuh atau pikiran atau
keduanya.
Hubungan antara fakta dan kepercayaan
memiliki hubungan yang sangat erat. Kepercayaan yang merupakan sifat dan sikap
membenarkan sesuatu atau menganggap sesuatu sebagai fakta, sebagai contoh dalam
ilmu matematika misalnya; 2 x 2 = 4, jadi faktanya benar-benar mempunyai hasil
yang kebenarannya dapat dibuktikan sehingga kita mempunyai kepercayaan dengan
hal tersebut.
Ada beberapa
macam kepercayaan, yaitu :[4]
a.
Kepercayaan
dalam hidup sehari-hari
Contohnya
adalah ibu kandung kita, sesungguhnya kita terima status beliau sebagai ibu
kandung kita atas dasar kepercayaan, karena kita merasa tidak perlu
membuktikannya. Kita tidak akan pernah naik motor yang dikemudikan orang lain
bila kita tidak mempunyai kepercayaan atas kendaraan yang kita tumpangi
tersebut, tanpa kita mempelajari dan menyelediki secara ilmiah seluk-beluk
mesin kendaraan tersebut, juga tidak mengetes dan mengecek kemampuan dan kemahiran pengemudi secara seksama.
b.
Kepercayaan
dalam ilmu pengetahuan
Para
pemula ilmu pengetahuan tertentu pertama-tama akan menerima saja terlebih
dahulu suatu dalil atau aksioma atas dasar kepercayaan. Ilmu pengetahuan dalam
mengemukakan konklusinya bersandarkan
kepada postulat-postulat tertentu secara mutlak yang diterima dengan begitu
saja atas dasar kepercayaan semata.
c.
Kepercayaan
dalam filsafat
Menurut
aliran rasionalisme akal manusia itu
memang cukup kuat untuk memecahkan segala persoalan, cukup kuat untuk mencapai
kebenaran yang terakhir. Dengan penuh keyakinan aliran rasionalisme percaya dalam maksud “percaya” adalah Esa akan akal
manusia sebagai kunci yang membuka segala tabir rahasia. Rasionalisme yang mengagungkan akal tidak lain adalah semacam suatu
kepercayaan juga, begitu juga dengan aliran idealisme yang percaya bahwa unsur pokok sarwa yang ada ini adalah ide, dan materialisme yang percaya bahwa unsur
pokok sarwa ini adalah materia, keduanya adalah kepercayaan. Bahkan atheisme yang kita kenal sebagai ketidak
percayaan kepada Tuhanpun pada hakekatnya adalah semacam kepercayaan juga,
yaitu kepercayaan akan tidak adanya Tuhan.
d.
Kepercayaan
dalam agama
Manusia
memerlukan suatu bentuk kepercayaan untuk dapat menjalankan hidup karena itu
adalah kebutuhan. Demikian pula cara berkepercayaan pun harus benar pula.
Menganut kepercayaan yang salah bukan saja dikehendaki akan tetapi bahkan
berbahaya. Disebabkan karena kepercayaan itu diperlukan, maka dalam
kenyataannya kita temui bentuk-bentuk kepercayaan itu berbeda satu sama
lainnya, maka sudah barang tentu ada dua kemungkinan; semuanya itu salah, atau
salah satu diantaranya benar.
Faktor
kepercayaan ini mutlak dalam agama. Agama adalah satu bentuk dan corak
kepercayaan (dalam arti sesuatu yang diakui dan diterima sebagai kebenaran)
yang tertinggi, karena kaum yang beragama meyakini sebagai sesuatu yang
diberitahukan oleh yang tak pernah berdusta (Tuhan) atau kepada yang diberi
tugas memberitahukan kebenaran kepada umat manusia.
3.
KEBENARAN
Benar pada dasarnya adalah persesuaian
antara pikiran dan kenyataan. Kebenaran juga diartikan dengan tidak adanya
pertentangan dalam dirinya. Sedangkan kebenaran adalah persesuaian antara tahu
dengan objeknya juga antara pengetahuan dan objeknya.[5]
Pada setiap
jenis pengetahuan tidak sama kriteria kebenarannya karena sifat dan watak
pengetahuan itu berbeda. Pengetahuan alam metafisika tentunya tidak sama dengan
pengetahuan tentang alam fisik. Alam fisik pun memiliki perbedaan ukuran
kebenaran bagi setiap jenis dari bidang pengetahuan.
Problem
kebenaran inilah yang memacu tumbuh dan berkembangnya epistemologi. Telaah epistemologi
terhadap kebenaran membawa orang kepada sesuatu kesimpulan bahwa perlu
dibedakan adanya tiga jenis kebenaran, yaitu kebenaran epistemologi, kebenaran ontologis,
dan kebenaran semantis.
Kebenaran epistemologis adalah kebenaran yang
berhubungan dengan pengetahuan manusia, kebenaran dalam arti ontologis adalah kebenaran sebagai sifat
dasar yang melekat pada hakikat segala sesuau yang ada atau diadakan. Kebenaran
dalam arti semantis adalah kebenaran
yang terdapat serta melekat dalam tutur kata dan bahasa. Namun, dalam
pembahasan ini dibahas kebenaran epistemologis
karena kebenaran yang lainnya secara inheren akan masuk dalam kategori
kebenaran epistemologis.[6]
Teori yang menjelaskan epistemologis adalah sebagai
berikut :
1) Teori Koherensi
(Coherence Theory of Truth)
Bagi penganut
teori koherensi, maka suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan tersebut
bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang
dianggap benar.
Misalnya bila
kita menganggap bahwa, “semua manusia akan mati.” Adalah sebagai pernyataan
yang benar, maka pernyataan bahwa “Panjul adalah seorang manusia, dan Panjul
pasti akan mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adalah konsisten
dengan pernyataan pertama.
2) Teori
korespondensi (Correspondence Theory of
Truth)
Mengenai teori
korespondensi tentang kebenaran dapat disimpulkan sebagai dua hal yang sudah
diketahui sebelumnya, yaitu pernyataan
dan kenyataan. Menurut teori
ini, kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu dengan
kenyataan sesuatu itu sendiri. Sebagaimana contoh dapat dikemukakan : “Jakarta
adalah ibu kota Republik Indonesia.” pernyataan ini disebut benar karena
kenyataannya Jakarta memang ibukota Republik Indonesia. Kebenaran terletak pada hubungan antara pernyataan
dengan kenyataan. Adapun jika dikatakan Bandung adalah ibukota Republik
Indonesia, pernyataan itu salah karena tidak sesuai antara pernyataan dengan
kenyataan.[7]
3) Teori pragmatisme
Kadang-kadang
teori ini disebut teori kebenaran Inherensi. Menurut filsafat ini benar
tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori semata-mata bergantung kepada asas
manfaat. Sesuatu dianggap benar jika mendatangkan manfaat.
Penganut
pragmatis meletakkan ukuran kebenaran dalam salah satu jenis konsekuensi, atau
proposisi itu dapat membantu untuk mengadakan penyesuaian yang memuaskan terhadap
pengalaman, pernyataan itu adalah benar.[8]
Misalnya ada
orang yang menyatakan sebuah teori A dalam komunikasi, dan dengan teori A
tersebut dikembangkan teknik B dalam meningkatkan efektivitas komunikasi, maka
teori A itu dianggap benar, sebab teori A ini adalah fungsional atau mempunyai
kegunaan.
4) Agama Sebagai
Teori Kebenaran
Manusia adalah
makhluk pencari kebenaran. Salah satu cara untuk menemukan suatu kebenaran
adalah melalui agama. Agama dengan karakteristiknya sendiri memberikan jawaban
atas segala persoalaan asasi yang dipertanyakan manusia, baik tentang alam,
manusia, maupun tentang Tuhan. Kalau ketiga teori kebenaran sebelumnya lebih
mengedepankan akal, budi, rasio, dan reason
manusia, dalam agama yang dikedepankan adalah wahyu yang bersumber dari Tuhan.[9]
5) Teori
Performatif
Menurut teori ini persyaratan kebenaran bukanlah
kualitas atau sifat sesuatu, tetapi sebuah tindakan (performatif). Untuk
menyatakan sesuatu itu benar, maka cukup melakukan tindakan konsesi
(setuju/menerima/membenarkan) terhadap gagasan yang telah dinyatakan. Jadi,
sesuatu itu dianggap benar jika memang
dapat diaktualisasikan dalam tindakan.[10]
4. PENGETAHUAN
Secara etimologi pengetahuan
berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu knowledge. Dalam Encyclopedia
of Philosophy dijelaskan bahwa definisi pengetahuan adalah kepercayaan yang
benar (knowledge is justified true belief).[11]
Sedangkan secara terminologi menurut Drs. Sidi Gazalba, “pengetahuan adalah apa
yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu. Pekerjaan tahu adalah hasil dari
kenal, sadar, insaf, mengerti, pandai. Pengetahuan itu adalah semua milik atau
isi pikiran”.[12]
Dengan demikian pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk
tahu.
Burhanudin Salam mengemukakan bahwa
pengetahuan yang dimiliki manusia itu ada empat, yaitu: [13]
1.
Pengetahuan
biasa, yakni pengetahuan yang dalam filsafat dikatakan dengan istilah common sense. Seseorang menyebutnya sesuatu itu panas, karena memang
dirasakannya panas, dan sebagainya. Common
sense diperoleh dari pengalaman sehari-hari, seperti air dapat dipakai
untuk menyiram bunga, makanan dapat memuaskan rasa lapar,dan sebagainya.
2.
Pengetahuan
ilmu, yaitu ilmu sebagai terjemahan dari science.
Ilmu pada prinsipnya merupakan usaha untuk mengorganisasikan dan
mensistematiskan common sense, suatu
pengetahuan yang berasal dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan
sehari-hari. Namun dilanjutkan dengan suatu pemikiran secara cermat dan teliti
dengan menggunakan berbagai metode.
3.
Pengetahuan
filsafat, yakni pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran yang bersifat
kontemplatif dan spekulatif. Pengetahuan filsafat lebih menekankan pada
universalitas dan kedalaman kajian tentang sesuatu. Kalau ilmu hanya pada satu
bidang pengetahuan yang sempit, filsafat membahas hal yang lebih luas dan
mendalam.
4.
Pengetahuan
agama, yakni pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan lewat para utusan-Nya.
Pengetahuan agama bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh para pemeluk agama.
Mengandung beberapa hal yang pokok yaitu ajaran tentang cara berhubungan dengan
Tuhan, dan cara berhubungan dengan sesama manusia. Pengetahuan agama yang lebih
penting disamping informasi tentang Tuhan adalah tentang hari akhir yang
membuat manusia optimis akan masa depannya.
Pengetahuan mampu dikembangkan manusia
yang disebabkan dua hal utama, yakni pertama
manusia mempunyai bahsa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan
pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut. Kedua kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir
tertentu.[14]
Pada dasarnya terdapat dua cara yang
pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Yang pertama adalah mendasarkan diri pada rasio dan
yang kedua mendasarkan diri kepada pengalaman.[15]
Cara lain untuk mendapatkan pengetahuan adalah intuisi dan wahyu.[16] Berikut
akan dijelaskan masing-masingnya :
1.
Rasionalisme
Aliran ini menyatakan bahwa akal
adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur
dengan akal. Rasonalisme tidak mengingkari kegunaan indera dalam memperoleh
pengetahuan. Premis yang di pakai dalam penalarannya di peroleh dari ide yang
menurut anggapannya jelas dan dapat di terima. Pengalaman indera diperlukan
untuk merangsang akal dan memberikan bahan-bahan yang menyebabkan akal dapat
bekerja, tetapi sampainya manusia kepada kebenaran adalah semata-mata akal.[17]
2.
Empirisme
Kaum empiris berpendapat bahwa
pengetahuan manusia itu bukan didapatkan melalui penalaran rasional yang
abstrak namun melalui fakta yang
terungkap melalui pengalaman yang konkret atau nyata. Pengalaman yang dimaksud
adalah pengalaman inderawi.
Akal hanya mengelola konsep gagasan
inderawi. Hal itu dilakukan dengan menyusun konsep tersebut atau
membagi-baginya. Emperisme juga menganggap akal sebagai sejenis tempat
penampungan yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Akal
tidak berfungsi banyak, kalaupun ada itu hanya sebatas ide yang kabur.[18]
3.
Intuisi
Intuisi merupakan pengetahuan yang di
dapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Seseorang yang sedang
terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba saja menemukan jawaban atas
permasalahan tersebut. Atau bisa juga suatu masalah yang sedang dipikirkan,
kemudian ditunda karena menemui jalan buntu, tiba-tiba saja muncul dalam benak
jawaban yang lengkap dan diyakini kebenarannya bahwa jawaban itulah yang dicari
walaupun tidak bisa dijelaskan bagaimana cara sampai pada kesimpulan, itulah
yang disebut intuisi.
Intuisi bersifat personal dan tidak bisa
diramalkan. Intuisi tidak bisa diandalkan sebagai dasar untuk menyusun
pengetahuan secara teratur. Namun, Pengetahuan intuitif dapat dipergunakan
sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar tidaknya
pernyataan yang dikemukakan.[19]
4.
Wahyu
Wahyu merupakan pengetahuan yang
disampaikan Tuhan kepada manusia. Wahyu didapat bukan dari usaha aktif manusia
menemukan kebenaran, melainkan berupa pengetahuan yang ditawarkan atau
diberikan. Manusia dalam menemukan kebenaran ini bersifat pasif sebagai
penerima, yang kemudian percaya atau tidak percaya tergantung keyakinannya.
Wahyu merupakan pengetahuan yang tidak
hanya mengenai kehidupan sekarang yang terjangkau pengalaman, namun juga
mencakup masalah-masalah yang bersifat transendental seperti latar belakang
penciptaan manusia dan hari kemudian di akhirat nanti.
Kepercayaan inilah yang merupakan titik
tolak dalam agama dan lewat pengkajian selanjutnya dapat meningkatkan dan
menurunkan kepercayaan itu. Sedangkan ilmu pengetahuan sebaliknya, yaitu
dimulai mengkaji dengan riset, pengalaman, dan percobaan untuk sampai kepada
kebenaran yang faktual.[20]
C.
PENUTUP
Dari
pemaparan makalah diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Fakta seringkali diyakini oleh orang
banyak (umum) sebagai hal yang sebenarnya. Fakta atau kenyataan memiliki
pengertian yang beragam, tergantung dari sudut pandang filosof yang
melandasinya
2. Ada beberapa macam kepercayaan, yaitu: kepercayaan
dalam hidup sehari-hari, kepercayaan dalam ilmu pengetahuan, kepercayaan dalam
filsafat, kepercayaan dalam agama.
3. Kebenaran adalah persesuaian antara tahu
dengan objeknya juga antara pengetahuan dan objeknya.
4. Teori yang menjelaskan tentang epistemologi adalah teori koherensi, teori korespondensi, teori pragmatisme
tentang kebenaran, agama sebagai teori kebenaran, dan teori performatif.
5. Pengetahuan merupakan hasil proses dari
usaha manusia untuk tahu. Pada dasarnya cara yang pokok bagi manusia untuk
mendapatkan pengetahuan yang benar adalah mendasarkan diri pada rasio, pengalaman,
intuisi dan wahyu.
Demikianlah yang
dapat penulis paparkan di dalam makalah ini. Penulis menyadari bahwa dalam
penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, karena tak ada manusia
yang tak luput dari kesalahan dan kekurangan. Oleh sebab itu kritikan dan saran
yang membangun merupakan kontribusi yang sangat berharga untuk lebih baik pada
tugas selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Susanto, Filsafat Ilmu Suatu
kajian dalam dimensi Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis, (Jakarta:
Sinar Grafika Offset, 2011
Bakhtiar,
Amsal, Filsafat Agama, Jakarta: Logos, 1997
____________,
Filsafat Ilmu, Jakarta: Rajawali
Pers, 2010
Gazalba,Sidi, Sistematika Filsafat, Jakarta:
Bulan Bintang, 1992
I.R.
Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan, Jakarta:
PT Rineka Cipta, 1998
Mundiri,
Logika, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2001
Salam,
Burhanuddin, Pengantar Filsafat, Jakarta:
Bumi Aksara, 2000
Surajiyo,
Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta:
PT Bumi Aksara, 2012
Suriasumantri,
Jujun S, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar
Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005
Vardiansyah, Dani, Filsafat
Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Jakarta: Indeks, 2008
diakses tanggal 21 September 2013
http://hadikasmajads.blogspot.com/2011/01/filsafat-ilmu-fakta-kepercayaan.html,
diakses tanggal 21 September 2013
[1] Dani Vardiansyah, Filsafat
Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Jakarta: Indeks, 2008), h.3
[2] http://www.sobookk.blogspot.com/2011/05/fakta-kepercayaan-kebenaran.html,
di akses tanggal 21 September 2013
[3]http://hadikasmajads.blogspot.com/2011/01/filsafat-ilmu-fakta-kepercayaan.html,
diakses tanggal 21 September 2013
[4] Mundiri, Logika, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2001), h. 8
[5] I.R. Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan, (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 1998), h. 16-17
[6] A. Susanto, Filsafat
Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis,
Epistemologis dan Aksiologis, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2011), h.
86-89
[7] Jujun
S. Suria Sumantri, Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005) cet. Ke-18, h.
57
[8] Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta:
PT Bumi Aksara, 2012), h. 58
[11] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajawali Pers,
2010), h. 85
[12] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1992), h. 4
[13] Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2000), h. 6
[14] Amsal Bakhtiar, op.cit., h. 93
[15] Jujun S. Suriasumantri, op.cit., h. 50
[16] Ibid., hal. 53
[17]Amsal Bakhtiar, op.cit., hal. 103
[18] Ibid., h. 98
[20] Amsal Bakhtiar, op.cit., h. 110
Tidak ada komentar:
Posting Komentar