At-
Tasyri’ dari segi terminologinya adalah penetapan peraturan, penjelasan
hukum-hukum, dan penyusunan perundang-undangan. At- tasyri’ juga disebut
dengan istilah teknis tentang proses pembentukan fiqh atau peraturan
perundang-undangan. Oleh karena itu ia mencakup produk dan proses pembentukan
fiqh atau peraturan perundang-undangan. Dalam mengkaji dasar-dasar fiqh
al-Qur’an dan sunnah, kita akan mendalami proses pembentukan al-Qur’an dan
sunnah, ilmu sebab zuzul dan sabab
wurud merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan.[1]
Dengan
diturunkannya wahyu kepada Muhammad (Rasullah saw) mulailah tarikh tasyri’
Islami. Sumber tarikh tasyri’ islami adalah wahyu (Kitabullah dan Sunnah
Rasul). Ayat-ayat mengenai tasyri’
kebanyakan ayat Madaniyah, setelah Rasul Hijrah ke Madinah, ayat-ayat Ahkam
sekitar 200-300 ayat dibandingkan dengan 6348 ayat al-Qur’an.
Ayat
tasyri’ tidak datang sekaligus, tetapi berangsur-angsur dan bertahap (Tadrij).
Tadrij ini berhubungan dengan adat-adat bangsa Arab meninggalkan
adat-adat yang lama, mengganti hukum yang baru (hukum Islam).
Nabi
sebagai ummi, tidak menuliskan kitab al-Qur’an. Al-Qur;an dituliskan
oleh para sahabat penulis wahyu dan dihafal oleh segenap kaum Muslimin. Selain
al-Qur’an da Sunnah Rasul, nabi sendiri member contoh berijtihad apabila tiada
nash al-Qur’an, sedangkan persoalan harus segera diselesaikan, yaitu ketika
menyelesaikan masalah tawaanan Perang Badar, walaupun ijtihad Rasul itu
dibatalkan oleh ayat al-Qur’an.
Pada
zaman ini beliaulah yang menjadi imam al-ummah, menjadi hakim dan mufti
akbarnya. Adat-adat jahiliyah ada yang dihapuskan, ada yang diakui dan
ditetapkan dengan nash sebagai hukum islam. Adapun yang tidak disebut dihapus,
atau diakui merupakan masalah sunnah taqriyah karena Rasul tidak
melarangnya.
Pada
masa Rasulullah saw, tasyri’ Islami merupakan peletakkan dasar-dasar
pokok dan prinsip-prinsip umum (al-mabadi’ al-ammah dan quwa’id
al-assiyah). Istilah fiqh pada masa itu merupakan pemahaman ilmu agama
secara keseluruhan, termasuk tauhid,akhlak, dan hukum.[2]
Penulis-penulis
sejarah hukum islam telah mengadakan pembagian tahap-tahap pertumbuhan dan
perkembangan hukum Islam. Pembagian ke dalam beberapa tahap itu tergantung pada
tujuan dan ukuran yang mereka pergunakan dalam mengadakan pertahapan itu. Ada
yang membaginya ke dalam 5, 6, atau 7 tahap. Namun pada umumnya tahap-tahap
pertumbuhan dan perkembangan hukum islam adalah 5 masa sebagai berikut:
1. Masa Nabi Muhammad ( 610 M- 632 M )
2. Masa Khulafa Rasidin ( 632 M- 662 M )
3. Masa pembinaan, pengembangan dan pembukuan (abad VII-X M)
4. Masa kelesuan Pemikiran (abad X M- XIX M )
5. Masa kebangkitan Kembali ( abad XIX M sampai sekarang).[3]
Namun di sini kita akan fokum membahas tasyri’ pada masa Rasullah saw. Pertumbuhan fiqh pada masa ini tidak
terhindar peran Nabi Muhammad Saw, baik
sebagai pemimpin keagamaan (Rasul), maupun pemimpin militer. Periode
pertumbuhan fiqh atau periode Nabi adalah masa ketika fiqh mulai tumbuh dan
membentuk dirinya menjelma ke alam perwujudan. Sumber asasi yag ada dalam
periode ini adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Pada periode ini, karena persoalan yang muncul dikembalikan kepada Nabi
Saw untuk diselesaikan, nabi menjadi satu-satunya sumber hukum. Dalam arti
lain, secara laangsung pembuat hukum adalah Nabi Saw, sedangkan tuhan membuat
hukum secara tidak langsung. Hal ini karena tugas Nabi adalah menyampaikan dan
melaksanakan hukum yang ditentukan Tuhan. Setelah Nabi wafat, para sahabat
berpegang pada al-Qur’an dan sunnah yang
ditinggalkan Nabi Saw. Oleh karena itu,
sumber hukum yang ditinggalkan Nabi untuk masa-masa selanjutnya adalah al-Qur’an
dan Sunnah.
B.
Tasyri’ di
Mekah
Masa
Nabi ini terbagi menjadi dua periode,
Mekah dan Madinah. Periode Mekah berlangsung selama 12 tahun dan beberapa bulan
semenjak wahyu pertama hingga Nabi hijrah ke Madinah. Dalam periode ini, Nabi
Saw telah mencurahkan perhatiannya untuk memperbaiki kepercayaan masyarakat
Arab dengan menanamkan akidah (tauhid) ke dalam jiwa serta memalingkannya dan
memperhamba diri kepada selain Allah.
Oleh
kerena itu, ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan di Mekah sebelum hijrah berisi
tentang laragan unutk menyekutukan Tuhan, dan merayu mereka dengan menerangkan
paraa Nabi terdahulu dan sejarah dari umat-umat yang lalu mengajarkan mereka
untuk meninggalkan tradisi-tradisi buruk yang diwariskan oleh nenek moyang
mereka, serta mengajarkan mereka untuk bersikap baik terhadap sesamany. Oleh
sebab itu, kebanyakan ayat Makiyah berisikan hal-hal yang berkaitan dengan
akidah dan keyakinan, akhlak dan sejarah masa lalu.
Muhammad
Hadlori menjelaskan bahwa periode Mekah dapat dilihat dari ayat-ayatnya sebagai
berikut:
1. Ayat-ayat Makkiyah tidak menjelaskan secara rinci tentang aspek
hukum, tetapi terfokus pada tujuan agama, yakni tauhidullah.
2. Penegakan dalil-dalil keberadaan Tuhan.
3. Peringatan akan azab Allah dan sifat-sifat hari kiamat.
4. Mengajak pada akhlak mulia sebagaimana Nabi saw, diutus untuk
menyempurnakan akhlak manusia.
5. Berkenaan dengan umat terdahulu yang ditimpa musibah kerana
tidak taat kepada Nabi sebelumnya.
Dengan kata lain, periode Mekah merupakan periode revolusi akidah untuk mengubah system kepercayaan
masyarakat Jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah semeta, suatu revolusi
yang menghadirkan perubahan fundamental, rekonstruksi sosial dan moral pada
seluruh dimensi kehidupan masyarakat.
C.
Tasyri’ di
Madinah
Periode Madinah berlangsung selama 10 tahun, sejak Nabi Hijrah sampai
beliau wafat pada tahun 11 H. Dalam periode ini, umat islam berkembang dengan
pesat. Pengikutnya terus menerus bertambah. Di Madinah ini, Nabi mulai
membentuk suatu masyarakat Islam yang memiliki kekuasaan yang gemilang. Kemudia
dibuat peraturan-peraturan karena masyarakat membutuhkannya untuk mengatur
hubungan antar mereka dan hubungan mereka dengan umat lainnya, baik dalam
keadaan damai maupun keadaan perang.[4]
Untuk kebutuhan ini, disyariatkan bagi mereka hukum-hukum yang mengatur
segala keperluan mereka, baik yang berhubungan dengan masyarakat, seperti
masalah ibadah, muamalah, jihad, jinayat, waris, perkawinan dan berbagai
permasalahan lainnya. Oleh itu, surat-surat Madaniyah, banyak menagndung ayat
hukumm, disamping mengandung ayat akidah, akhlak dan sejarah. Lebih jelasnya,
hukum yang disyariatkan pada fase Madinah adalah:
ü
Muamalat
ü
Jihad
ü
Jinayat
ü
Mawaris
ü
Wasiat
ü
Thalaq
ü
Sumpah
ü
Peradilan
Adapun periode madinah ini dikenal dengan periode penataan dan pemapanan
masyarakat sebagai masyarakat percontohan. Oleh karena itu di periode Madinah
inilah ayat-ayat yang memuat hukum-hukum untuk keperluan tersebut (ayat-ayat
ahkam) Turun, baik yang berbicara tentang ritual maupun social. Meskipun pada
periode ini Nabi Muhammad SAW baru melakukan legislasi, Namun ketentuan yang
bersifat legalitas sudah ada Sejak periode Mekkah, bahkan justru dasar-dasarnya
telah diletakkan dengan kukuh dalam periode Mekkah tersebut. Dasar-dasar itu
memang tidak langsung bersifat legalistik karena selalu dikaitkan dengan ajaran
moral dan etik.
Pada periode ini tasyri’ Islam sudah berorientasi pada tujuan yang
kedua yaitu disyariatkan bagi mereka hukum-hukum yang meliputi semua situasi
dan kondisi, dan yang berhubungan dengan segala aspek kehidupan, baik individu
maupun kelompok pada setiap daerah, baik dalam Ibadah, muamalah, jihad, pidana,
mawaris, wasiat, perkawinan, thalak, sumpah, peradilan dan segala hal yang
menjadi cakupan ilmu fiqih.
D. Perbedaan Tasry’ makky dan madany`
Telah ditemukan bahwa masa
turunnya Al-qur’an itu ada dua yaitu masa sebelum hijrah dan masa sesudah
hijrah. Bagi masing-masing makky dan madany mempunyai perbedaan-perbedaan.
Perbedaan-perbedaan itu adalah:
1.
Ayat-ayat yang diturunkan
di Makkah didahului dengan ya ayyuhan nas (hai orang-orang beriman) sedangkan
ayat-ayat yang turun di Madinah didahului dengan kata-kata ya ayyuha llazi na
amanu (hai orang-orang yang beriman.
2.
Ayat-ayat yang turun di
Mekkah sekarang terdapat dibagian belakang Al-qur’an,sedangkan ayat-ayat yang
turun di Madinah dibagian belakang Al-qur’an.
3.
Ayat-ayat Makkiyah
biasanya pendek, berbeda dengan ayat Madaniyah yang sangat panjang sesuai
dengan tabiat setiap fase. Pendeknya ayat-ayat Makkiyah agar mudah dihafal,
disukai dan menceritakan surga dan neraka.
4.
Sedangkan panjangnya ayat
Madaniyah sesuai dengan kebutuhan perundang-undangan secara lebih rinci dan
panjang, apalagi kaum muslimin sudah terbiasa dengan hafalan.
5.
Setiap surat yang ada ayat
sajdahnya maka termasuk surah Makkiyah kecuali Surat Al-Hajj, ia termasuk surat
madaniyah menurut pendapat yang lebih kuat menurut para ulama.
6.
Ayat-ayat Makiyah
mengandung tema kisah para Nabi dan umat-umat terdahulu sedangkan
Madaniyah ayat-ayatnya mengandung sindiran-sindiran terhadap kaum
munafik,kecuali surat Al-Ankabut: 29.
7.
Ayat Makkiyah membahas
tentang pembentukan akidah yang bersih,mengajak bertauhid kepadaAllah,
menghilangkan kesyirikan,memberikan dalil tentang wujud Allah,membangun
keimanan kepada malaikat,kitab suci, rasul dan hari akhirat selain mengajak
kepada akhlak yang mulia dan meninggalkan perilaku tercela. Sedangkan ayat
Madaniyah lebih menitikberatkan pada aspek taklif (pembebanan) dan merincikan
hukum-hukum,mengatur hubungan sesama manusia,menjelaskan aturan berkomunikasi
yang baik, dan meletakkan prinsip keadilan dalam setiap aspek hubungan sosial.[5]
E.
Pemegang Tasyri’
di Zaman Nabi Muhammad Saw
Nabi
Muhammad Saw, menjelaskan dan menyelesaikan persoalan yang diahadapi didasarkan
kepada wahyu, baik wahyu al-mathluww, yaitu al-Qur’an maupun wahyu ghair
al-mathluww, yaitu as-Sunnah. Para sahabat menaati dan menuruti keputusan
Nabi Muhammad Saw, baik dalam bentuk pertama al-wahy al-mathluww maupun
dalam bentuk kedua al-wahy ghair al-mathluww. Al-Qur’an dan sunnah
adalah marja’ , bagi sahabat, dan ia (al-Qur’an dan Sunnah) adalah dalil
hukum zaman Nabi Muhammad Saw.
Patut
diketahui bahwa pada Masa Nabi Saw ini, tasry’ Islamy merupakan
peletakkan dasar-dasar pokok-pokok dan prinsip-prinsip umum (mabdi-ammah dan
qawaid asasiyyah). Selain itu, istilah fiqh pada periode ini merupakan
pemahaman ilmu agama secara keseluruhan. Hal ini berbarengan diketahui bahwa
ilmu-ilmu keagamaan, seperti teologi,, kalam dan tasawuf, berkembang secara
keilmuan pada abad ke dua Hijriah.
Analisis
G.E Von Grunebaum menjelaskan bahwa di akhir tahun masa Nabi saw, baik periode
Makkah ataupun Madinah, beberapa hukum keluarga dibentuk sebagai berikut:
1. Pembatasan poligami dalam struktur keluarga patrilineal (jalur
bapak).
2. Pengatur kewarisan yang difokuskan pada hak individu
3. Pembentukan adat yang religious dan pada saat yang sama
diperkenalkan pelarangan tradisi penyembahan berhala dan minuman keras, dan
larangan memakan babi.
4. Tradisi sunatan diizinkan dan selanjutnya menjadi ajaran penting
dalam Islam.
5. Perubaha kalender tahunan dari tradisi kalender Komariah
(perpuataran bulan) dan tahun berdasarkan perputaran matahari (tahun syamsiah).
6. Praktik shalat dan penyempurnaan haji.
Dengan demikian, dapat dipahami pada periode Nabi Saw, keadaan fiqh
memang masih sederhana, berupa pengenalan terhadap hukum-hukum Islam dalam ruag
dan waktu tertentu. Paling tidak, ada tiga aspek yang bisa ditarik dari proses
pengembangan syariat pada periode Nabi, baik di Mekah maupun di Madinah,
sebagai berikut:
1. Metode Nabi Saw, dalam menerapkan hukum. Dalam banyak hal,
syariat Islam turun secara global, terutama, pada periode Mekah. Nabipun tidak
banyak menerangkan perbuatannya itu wajib atau sunnah, bagaimana syarat dan
hukumnya. Ketika Nabi Saw shalat para sahabat melihat Nabi dan menirunya tanpa
menanyakan lebih dalam tata cara shalat.
2. Sebagian disyariatkan, sebagia tidak. Ada hukum yang
disyariatkan untuk persoalan yang dihadapi masyarakat maupun para sahabat, dan
pada saat itu Nabi mensyaratkannya. Dan ada pula yang tidak ditanyakan oleh
masyarakat, Nabi mensyariatkan, terutama pada periode Mekah, misalnya tauhid,
ibadah dan berbagai larangan lainnya.
3. Turunnya syariat secara bertahap. Pertama, tahapan dalam
menerapkan kekuasaan hukukm Islam, seperti shalat disyariatkan pada malam Isra’
Mi’raj (satu tahun Hijriyah), azan pada tahun kedua, hukum waris pada tahun
ketiga dan seterusnya. Kedua, tahapan berlanjut, misalnya shalat pada awalnya
diwajibkan dua rakaat. Setelah Hijrah ke Madinah, shalat diwajibkan sempat
rakaat, terutama penahapan pengharaman khamar.
Secara singkat, keadaan fiqh pada masa Rasulullah saw adalah kekuasaan
pembentukan hukum berada ditangan Rasulullah Saw. Sumber hukum Islam ketika itu
adalah al-Qur’an. Apabila ayat al-Qur’an tidak turun ketika ia menghadapi suatu
masalah, dengan bimbingan Allah SWT, ia menetapkan hukum sendiri. Inilah yang
dinamakan Sunnah Rasullah Saw. Istilah fiqh dalam pengertian yang dikemukakan
ulama fiqh klasik maupun modern belum dikenal ketika itu. Ilmu dan fiqh pada
masa Rasullah Saw, mengandung pengertian yang sama, yaitu mengetahui dan
memahami dalil berupa al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. Pengertian fiqh
dizaman Rasullah Saw, adalah semua yang dapat dipahami dari nash baik yang
berkaitan dengan masalah aqidah,hukum, maupun kebudayaan. Di samping itu, fiqh
periode ini bersifat actual, bukan bersifat teori. Penentuan hukum terhadap
suatu masalah baru sitentukan setelah kasus tersebut terjadi, dan hukum yang
ditentukan hanya menyangkut kasus itu.
F.
Sumber-Sumber
Tasyri'
1.
Al-Qur’an
Kata
القران adalah mashdar dari قرأ
, sewazan dengan kata فعلان ,
yang secara etimologis berarti bacaan, berbicara tentang apa yang ditulis
padanya, atau melihat dan menelaahnya. Kata Al-Qur’an digunakan untuk maksud
nama kitab suci yang diturunkan kepada nabi Muhammad. Pengertian Al-Qur’an secara terminologis antara lain
dikemukakan oleh al-Syaukani sebagai berikut :
االقران
قهو الكلام المنزل على الرسول المكتوب فى المصاحف والنقل متواتر
Artinya:
“
kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad Rasulullah, tertulis dalam mushaf
dan dinukilkan secara mutawatir."”
Al-Qur’an
telah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa, namun seperti kata Mahmud
Syalthut hasil terjemahan bukanlah Al-Qur’an suci yang memiliki kemukjizatan
tak tertandingi, bahkan ia tak dapat dijadikan sumber syariat karena sebuah
terjemahan hanya mencerminkan pemahaman si penerjemah tehadap Al-Qur’an.
Menurut Hitti, tidak ada kitab di dunia ini yang menyerupai Al-Qur’an meskipun
sudah banyak ahli bahasa dengan mengerahkan kekuatan waktu dan uang untuk
membuat ayat yang bisa menandingi Al-Qur’an. Al-Qur’an dijaga secara amat
ketat. Walaupun termuda Al-Qur’an merupakan kitab suci yang paling banyak
dibaca.[6]
Al-Qur’an pertama
kali diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW pada tanggal 17 Ramadhan, ketika
sedang bertahanuts (beribadah) di gua hiro, tahun ke 41 dari kelahiran beliau.[7]
Tentang turunnya Al-Qur’an pada bulan Ramadhan dijelaskan sendiri oleh Allah
dalam firmanNya :
ãöky tb$ÒtBu üÏ%©!$# tAÌRé& ÏmÏù ãb#uäöà)ø9$#
Artinya:
“
Bulan Ramadhan,di dalamnya di turunkan(permulaan) Al-Qur’an''(QS.
Al-Baqarah; 185) [8]
2.
As-Sunnah
Sunnah
adalah sumber fiqih kedua setelah Al-Qur’an. Sunnah menurut etimologi adalah
jalan baik, buruk seperti sabda Nabi SAW
من
سن سنة حسنة فله أجرهاوأجر من عمل بها إلى يوم القيامة ومن سن سنة سيئة فعليه
وزرها
ووزر
من عمل بها إلى يوم القيامة
Artinya:
“Barang
siapa mengadakan sunnah/ jalan yang baik maka baginya pahala atas jalan yang
ditempuhnya itu, di tambah lagi pahala orang-orang yang mengerjakannya sampai
hari kiamat dan barang siapa mengadakan sunnah/ jalan yang buruk maka atasnya
dosa karena jalan buruk yang ditempuhnya, ditambah orang-orang yang
mengerjakannya sampai hari kiamat”
Secara terminologi Sunnah dapat di lihat dari tiga aspek
yaitu, ilmu hadis, ilmu fiqh dan ilmu ushul fiqh. Sunnah menurut para ahli
hadist identik dengan hadist, yaitu segalah sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad baik perkataan, perbuatan, akhlak maupun ketetapan ataupun
sifatnya. Sunnah menurut ulama ushul fiqh adalah segalah sesuatu yang
diriwayatkan oleh Rosullullah berupa perkataan, perbuatan, dan ketetapan yang
berhubungan dengan hukum. Sedangkan Sunnah menurut perspektif ulama fiqh adalah
sikap hukum terhadap suatu perbuatan yang dituntut melakukannya dalam bentuk
tuntutan yang tidak pasti, dengan pengertian diberi pahala bagi yang
melakukannya dan tidak berdosa bagi yang tidak melakukannya.[9]
Jadi maksudnya dengan Sunnah Rasulullah SAW adalah
kumpulan perkataan, perbuatan atau ketetepan yang dikeluarkan oleh Nabi SAW dan
tidak diragukan bahwa Rasulullah
SAW adalah penyampainya dari Allah SWT. Jika demikian Sunnah itu
adalah penjelasan Al-Qur’an yang menjelaskan globalnya, membatasi
kemutlakannya, dan menta’wili kesamarannya. Didalam Sunnah tidak ada sesuatu
kecuali Al-Qur’an telah menunjukkan pengertiannya dengan penunjukan global
(ijmaliyah) atau terperinci (tafsiliyah). Penunjukan itu dari beberapa segi,
sebagiannya menunjukkan yang sangat umum yaitu kewajiban mengikuti Rasulullah
SAW yang datang dari Al-Qur’an.
G.
Kedudukan Ijtihad
Sahabat di Zaman Nabi Saw
Ayat
tasyri’ tidak datang sekaligus, melainkan secara berangsur-angsur dan
bertahap (tadrij). Tadrij ini berhubungan dengan adat-adat bansa
Arab dalam rangka meninggalkan adat-adatnya yang lama, mengganti dengan hukum
baru (hukum Islam).
Selain
al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw, Nabi sendiri telah memberikan contoh
berijtihad apabila nash al-Qur’an tidak dijumpai hukumnya, sedangkan persoalan
tersebut harus segara diselesaikan. Hal ini terjadi pada saat Nabi hendak
menyelesaikan masalah tawanan perang badar. Ijtihad yang dilakukan oleh Nabi
ini kemudian juga dibenarkan dalam al-Qur’an.
Pada
zaman itu beliaulah meruapkan imam al-ummah menjadi hakim dan mufti
akbar. Adat-adat jahiliyah ada yag dihapuskan, ada yang diakui dan ada
yang ditetapkan dengan nash, ada yang diakui dan ada yang ditetapkan
dengan nash sebagai hukum Islam. Adapun yang tidak disebut
dihapus, atau diakui merupakan masalah sunnah taqririyah karena arsul
tidak melarangnya.[10]
Permasaalahan
ijtihad pada masa Rasulullah ini terjadi perbedaan pendapat, akan tetapi
ijtihad yang menyangkut dengan kemaslahatan dunia dan pengaturan strategi
perang jelas dilakukan oleh Nabi. Mungkin kita masih ingat ketika Rasulullah
saw bermusyawarah dengan para sahabatnya soal tawanan perang Badar. Di antara
para sahabat yang mengutarakan pendapatnya dalam musyawarah itu adalah Abu
Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Abdullah bin Rawahah dan Sa'd bin Mu'adz.
Saat itu
Rasulullah saw lebih condong kepada pendapat Abu Bakar yang berpendapat untuk
mengambil fidyah dari para tawanan tersebut. Namun setelah itu turun
firman Allah swt yang mendukung pendapat Umar untuk membunuh mereka "Tidak
patut bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya
di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki
(pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana"
(QS. Al-Anfal [8]: 67)
Dalam Fiqh
us-Sirot in-Nabawiah-nya, Prof. DR. M. Said Ramadhan al-Bhuti menjelaskan
bahwa kejadian itu menunjukkan terjadinya ijtihad dari pribadi Rasulullah saw.
Kemudian beliau melanjutkan penjelasannya dengan menyatakan bahwa ijtihad
Rasulullah saw bisa salah namun tidak kontinyu, karena akan datang wahyu Allah
swt yang membenarkannya. Kesalahan itu menurut beliau tidak bertentangan dengan
sifat Ishmah (terjaga dari kesalahan) yang dimiliki Rasulullah saw.
Sebab kesalahan itu bukan sebuah keburukan, namun hanya sebuah
kekurangsempurnaan dalam versi ilmu Allah swt.
H.
Prinsip-Prinsip Umum
Tasyri’
1. Tidak
Mempersulit (‘Adam al-Haraj)
Dalam menetapkan syariat Islam, al-Quran senantiasa memperhitungkan
kemampuan manusia dalam melaksanaknnya. Itu diwujudkan dengan mamberikan
kemudahan dan kelonggaran (tasamuh wa rukhsah) kepada mansusia, agar
menerima ketetapan hukum dengan kesanggupan yang dimiliknya. Prinsip ini secara
tegas disebutkan dalam a-Quran,
w
ß#Ïk=s3ã
ª!$# $²¡øÿtR wÎ)
$ygyèóãr
Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan
sesuai dengan kesanggupannya……”(QS. Al-Baqarah: 286)
Al-Yatibi mengatakan bahwa kesanggupan manusia
merupakan syari’at hukum mutlak dalam menerima ketetapan hukum syari’at.
Ketetapan hukum yang tidak terjangkau oleh kemampuan manusia melihat prinsip
ini- tidak sah ditetapkan kepada manusia. Hal ini telah menjadi kesepakatan
mayoritas ulama, baik dari kalangan Mu’tazilah (rasionalis) maupun sebagian
pengikut Asy’ariah (Sunni tradisionalis).
Dalam menetapkan hukum, Allah swt. Senantiasa
memperhitungkan kemampuan manusia dan memperhitungkan manfaat dan madlarat yang
mungkin ditimbulkan sebagai konsekwensi logis fari pelaksanannya. Namun bukan
berarti dalam al-Quran tidak ada ketetapan hukum yang sulit dalam
pelaksanaannya. Sebab menurut al-Syatibi, hukum sendiri merupakan beban,
sehingga kesulitan umum yang biasa dialami masyarakat, misalnya sulit mencari
nafkah, tidak termasuk dalam kategori ‘adam al-haraj diatas. Karena
kesulitan yang sifatnya seperti itu tidak lain timbul dari kemalasan atau belum
adanya keberuntungan saja.
Disinilah pentingnya pembedaan antara musyaqqah
(kesulitan) ditinjau dari kacamata syari’at dan musyaqqah menurut
kebiasaan umum. Sebab musyaqqah versi masyarakat seringakli dijadikan
dalih untuk meremehkan kewajiban agama, sikap mencari-cari kemudahan dalam
bearamal.
2. Mengurangi
Beban (Taqlil al-Taklif)
Prinsip kedua ini merupakan langkah prenventif
(penanggulangan) terhadap mukallaf dari pengurangan atau penambahan
dalam kewajiban agama. Al-Quran tidak memberikan hukum kepada mukallaf
agar ia menambahi atau menguranginya, meskipun hal itu mungkin dianggap wajar
menurut kacamata sosial. Hal ini guna memperingan dan menjaga nilai-nilai
kemaslahatan manusia pada umumnya, agar tercipta suatu pelaksanaan hukum tanpa
didasari parasaan terbebani yang berujung pada kesulitan.
Umat manusia tidak diperintahkan untuk mencari-cari
sesuatu yang justru akan memperberat diri sendiri. Allah swt. Berfirman,
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä w (#qè=t«ó¡n@ ô`tã uä!$uô©r& bÎ) yö6è? öNä3s9 öNä.÷sÝ¡n@ bÎ)ur (#qè=t«ó¡n@ $pk÷]tã tûüÏm ãA¨t\ã ãb#uäöà)ø9$# yö7è? öNä3s9 $xÿtã ª!$# $pk÷]tã 3 ª!$#ur îqàÿxî ÒOÎ=ym ÇÊÉÊÈ
Artinya: “
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal
yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan
di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah
memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”.
(QS. al-Maidah: 101)
Sebagian riwayat menjelaskan bahwa kronologi turunnya
ayat ini adalah ketika Nabi sedang berpidato di hadapan umatnya, tiba-tiba
seorang diantara mereka bertanya, “Siapakah bapakku?”. “Si Fulan!” Jawab
Nabi. Ada pula yang bertanya, “Siapakah nama ayahku?” atau “Di mana
untaku?” kemudian turunlah ayat di atas sebagai teguran atas
pertanyaan-pertanyaan yang tidak perlu. Bahkan mungkin bisa menyusahkan si
penanya sendiri. Karena, jawaban yang akan ia terima merupakan baban dari si
penanya sendiri. Padahal prinsip agama adalah pengurangan terhadap beban. (taqlil
al-taklif).
3. Penetapan Hukum
secara Periodik
Al-quran merupakan kitab suci yang dalam prosesi tasri’
sangat memperhatikan berbagai aspek, baik natural, spiritual, kultural, maupun
sosial uamt. Dalam menetapkan hukum, al-Quran selalu mempertimbangkan, apakah
mental spiritual manusia telah siap untuk menerima ketentuan yang akan
dibebankan kepadanya?. Hal ini terkait erat dengan prinsip kesua, yakni tidak
memberatkan umat. Karena itulah, hukum syariat dalam al-Quran tidak diturunkan
secara serta merta dengan format yang final, melainkan secara bertahap, dengan
maksud agar umat tidak merasa terkejut dengan syariat yang tiba-tiba.
Karenanya, wahyu al-Quran senantiasa turun sesuai dengan kondisi dan realita
yang terjadi pada waktu itu. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan kami
kemukakan tiga periode tasryi’ al-Quran;
Pertama, mendiamkan, yakni ketika al-Quran hendak melarang sesuatu, maka
sebelumnya tidak menetapkan hukum apa-apa tapi memberikan contoh yang
sebaliknya. Sebagai contoh, untuk menetapkan keharaman minuman khamr.
Sebagai langkah pertama, yang dilakukan syari’ (Nabi Muhammaf saw) adalah
mendiamkan kebiasaan buruk, akan tetapi Nabi sendiri menghindarinya.
Kedua, menyinggung manfat ataupun madlaratnya secara global. Dalam contoh khamr
di atas, sebagai langkah kedua, turun ayat yang menerangkan tentang manfaat dan
madlarat minum khamr. Dalam ayat tersebut, Allah menunjukkan bahwa efek
sampingnya lbih besar daripada kemanfaatannya (QS. Al-Baqarah: 219) yang
kemudian segera disusul dengan menyinggung efek khamr bagi pelaksanaan
ibadah (al-Nisa: 43)
Ketiga, menetapkan hukum tegas. Dalam contoh tersebut, Syari’ (Allah dan
Rasul-Nya) menetapkan hukum haram minum khamr secara tegas, sebagai
langkah yang paling akhir. Demikian juga dalam menetapkan hukum yang bersifat
perintah. Kewajiban shalat misalnya. Tahap pertama terjadi permulaan Islam (di
Mekah), di saat umat Islam banyak menuai siksaan dan penindasan dari penduduk
Mekah, kewajiban shalat hanya dua raka’at, yaitu pada pagi dan sore. Itu pun
dilakukan secara sembunyi-sembunyi, kahawatir terjadi penghinaan yang semakin
menjadi-jadi dari suku Qurasy. Sebagaimana disebutkan dalam surat Qaf:
39.
÷É9ô¹$$sù 4n?tã $tB cqä9qà)t ôxÎm7yur ÏôJpt¿2 y7În/u @ö6s% Æíqè=èÛ Ä§ôJ¤±9$# @ö6s%ur É>rãäóø9$# ÇÌÒÈ
Artinya: “ Maka bersabarlah kamu terhadap
apa yang mereka katakan dan bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit
matahari dan sebelum terbenam(nya)”. (Q.S al-Qaf ayat 39)
4. Sejalan dengan
Kemaslahatan Universal
Manusia adalah obyek dan subyek legislasi hukum
al-Quran. Seluruh hukum yang terdapat dalam al-Quran diperuntukkan demi
kepentingan dan perbaikan kehidupan umat, baik mengenai jiwa, akal, keturunan,
gama, maupun pengelolaan harta benda, sehingga penerapan hukumnya al-Quran
senantiasa memperhitungkan lima kemaslahatan, di situlah terdapat syariat
Islam.
Islam bukan hanya doktrin belaka yang identik dengan
pembebanan, tetapi juga ajaran yang bertujuan untuk menyejahterakan manusia.
Karenanya, segala sesuatu yang ada di mayapada ini merupakan fasilitas yang
berguna bagi manusia dalam memenuhi kebutuhannya. ‘Abd al-Wahab Khalaf berkata,
“Dalam membentuk hukum, Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) selalu membuat illat
(ratio logis) yang berkaitan dengan kemaslahatan manusia, juga menunjukkan
bebrapa buktu bahwa tujuan legislasi hukum tersebut untuk mewujudkan
kemaslahatan manusia. Di samping itu, Syar’I menetapkan hukum-hukum itu sejalan
dengan tiadanya illat yang mengiringinya. Oleh karena itu, Allah mensyariatkan
sebagian hukum kemudian merevisinya karena ada kemaslahatan yang sebanding
dengan hukum tersebut.
5. Persamaan dan
Keadilan (al-Musawah wa al-Adalah)
Persamaan hak di muka adalah salah satu prinsip utama
syariat Islam, baik yang berkaitan dengan ibadah atau muamalah. Persamaan hak
tersebut tidak hanya berlaku bagi umat Islam, tatpi juga bagi seluruh agama.
Mereka diberi hak untuk memutuskan hukum sesuai dengan ajaran masing-masing,
kecuali kalau mereka dengan sukarela meminta keputusan hukum sesuai hukum
Islam.
Penyamarataan hak di atas berimplikasi pada keadilan
yang seringakli didengungkan al-Quran dalam menetapkan hukum,
#sÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4
Artinya: “ …....dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. ….”
(Q.S An-Nisa’ ayat 58)
Prinsip persamaan hak dan keadilan adalah dua hal yang
tidakdapat dipisahkan dalam menetapkan hukum Islam. Keduanya harus diwujudkan
demi pemeliharaan martabat manusia (basyariyah insaniyah).[11]
[1]
Dedy Supriadi, Sejarah Hukum Islam, (Bandung, CV Pustaka Setia, 2007),
h. 32
[2]
Juhaja S Praja, Hukum Islam di Indonesia, (Bandung, PT Remaja
Rosdakarya, 1994), h.2
[3]
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,
2004), h. 153
[4]
Dedy Supriadi, Op Cit, h. 61-63
[5] Muhammad
Zuhri,TerjemahTarikh Al-Tasyri` Al-Islami (DarulIkhya) hal.29-30
[6]
Philip K. Hitti, History of the Arabs,(London: The Macmillan
Press,1974), h, 126.
[7]
Hudhari Bik, Tarikh al-Tasyri' al-Islami,terj Drs.Mohammad Zuhri(Darul
Ikhya,1980), h, 5.
[9] M
Ali As-Sayis, Tarikh Al-Islam Al-Islamiah (Jakarta: Pustaka Al-Kausar,
2003), h, 46.
[10]
Abdhul Ghofur Anshori, Hukum Islam, Dinamika dan Perkembangannya di
Indonesia, (Yogyakarta, Kreasi Total Media, 2008), h. 55-56
[11] http://milaisma.blogspot.com/2009/12/prinsip-prinsip-syariat-tasyri-dalam-al.html,
selasa, 17-Maret 2014, 10.00 wib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar