Senin, 15 Februari 2016

HUBUNGAN FILSAFAT, ILMU DAN AGAMA

         A.          Pendahuluan

Dalam kehidupan manusia ada tiga pendekatan untuk menghampiri dan menemukan kebenaran. Ketiga pendekatan itu adalah filsafat, ilmu, dan agama. Terdapat hubungan yang erat antara ketiga sumber kebenaran ini, walaupun masing-masing berbeda dalam metodologinya (nilai epistemology), hakikatnya (nilai ontology) dan manfaat serta kegunaannya (nilai aksiologi).


              Filsafat merupakan hasil dari pemikiran manusia yang tajam terhadap setiap persoalan. Dalam mencari kebenaran pun hanya menggunakan akal semata, sehingga kebenarannya merupakan kebenaran rasionalitas yang tentunya bersifat relatif atau nisbi. Ilmu merupakan hasil dari penelitian yang dibuktikan dengan kegiatan ilmiah melalui tahap pengujian, pembuktian, dan penyesuaian degan fakta yang terjadi. Kebenarannya diperoleh melalui pandangan manusia terhadap realita, sehingga kebenaran tersebut bersifat empiris dan masih relative atau nisbi. Sedangkan agama merupakan kebenaran yang diperoleh melalui wahyu (agama samawi) yang bersifat intuisi serta rohani. Kebenarannya pun bersifat mutlak atau hakiki.


                Permasalahan akan muncul jika antara perkembangan filsafat, ilmu, dan agama terdapat kesenjangan dan ketimpangan dalam praktek kehidupan manusia. Makalah ini akan membahas tentang filsafat disertai dengan relevansi antara filsafat itu sendiri dengan ilmu dan agama. Sebab, sebagaimana disebutkan Endang Saefudin Anshari, filsafat, ilmu dan agama adalah institut kebenaran. Artinya, kebenaran itu bisa didapatkan dari ketiga hal tadi.







B.          Pembahasan


  1. Hubungan Filsafat dan Agama
Ada dua pendapat yang berbeda ketika mendefiniskan filsafat secara etimologi. Pertama; filsafat itu asal katanya dari bahasa Arab. Yang berpendapat seperti ini di antaranya Harun Nasution. Menurutnya, kata filsafat itu berasal dari bahasa Arab. Falsafah, dengan timbangan fa’lala, fa’lalah dan fi’lal. Dengan demikian, menurut Harun Nasution, kata benda dari falsafah seharusnya falsafah dan filsaf. Masih menurutnya, dalam bahasa Indonesia banyak terpakai kata filsafat, padahal bukan berasal dari bahasa Arab, falsafah bukan dari kata philosopy. Harun Nasution mempertanyakan, apakah kata fil berasal dari bahasa Inggris dan safah dari kata Arab, sehingga terjadilah gabungan antara keduanya, yang kemudian menimbulkan kata filsafat.[1]

           Harun Nasution, tampaknya ingin konsisten dengan pendapatnya, bahwa istilah filsafat yang dipakai dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab. Oleh karena itu, dia menggunakan kata falsafat, bukan filsafat. Buku-bukunya yang membahas tentang filsafat ditulisnya dengan memakai istilah falsafah, seperti Falsafat Agama dan Falsafat dan Mistisme Dalam Islam.

           Pemaparan Harun Nasution di atas, dikritik oleh Dr. Amsal Bakhtiar. M.A. Menurutnya, kendati istilah filsafat yang lebih tepat adalah falsafat yang berasal dari bahasa Arab, kata filsafat bisa diterima dalam bahasa Indonesia. Sebab, sebagian kata Arab yang di-Indonesiakan mengalami perubahan dalam huruf vokalnya, seperti masjid, menjadi mesjid, dan karamah menjadi keramat. Karena itu, lanjut Bakhtiar, perubahan huruf a menjadi i dalam kata falsafat bisa diterorir.[2]


            Kedua; bahwa filsafat itu berasal dari Yunani yang di-Arabkan. Dengan mengutip Poedjawijanta, Ahmad Tafsir menyebutkan bahwa kata filsafat berasal dari bahasa Arab yang berhubungan dengan bahasa Yunani, bahkan asalnya memang dari kata Yunani. Kata  Yunaninya adalah philosophia yang merupakan kata majemuk yang terdiri atas philo dan sophia; philo artinya cinta dalam arti yang luas, yaitu ingin, dan karena itu lalu berusaha mencapai yang diinginkannya itu; sophia artinya kebijakan, yang artinya pandai, pengertian yang mendalam.[3]
             Dengan demikian, filsafat berarti keinginan yang mendalam (cinta) untuk mendapat kebijakan, atau keinginan yang mendalam untuk menjadi bijak. Orang yang mempunyai karakter seperti itu disebut filosof. Seorang yang berkeinginan mendalam untuk mendapat kebijakan, secara bahasa bisa disebut filosof. Namun permasalahannya jelas tidak sesederhana itu. Sebatas mana orang bisa disebut filosof? Apakah bijak atau kebijaksanaan (sophia) itu? Tukang kayu saja menurut Homerus bisa juga disebut orang bijak (filosof).

           Karena itu, pengertian secara etimologi tidak akan memberikan pengertian yang tepat untuk mendefinisikan filsafat itu apa. Masalah di atas akan sedikit teratasi kalau kita melihat pengertian filsafat secara terminologi. Akan tetapi kita juga harus tahu, pengertian filsafat secara terminologi, dalam sejarah perkembangan pemikiran kefilsafatan, antara satu ahli filsafat dan ahli filsafat lainnya selalu berbeda, dan hampir sama banyaknya dengan ahli filsafat itu sendiri.


            Menurut Plato, filsafat adalah “Pengetahuan yang mencoba untuk mencapai pengetahuan tentang kebenaran yang asli”. Sedangkan menurut Aristoteles, filsafat adalah “Ilmu yang meliputi kebenaran yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika”. Sementara menurut al-Farabi, filsafat adalah “Ilmu tentang hakikat [kebenaran]”. Rene Descartes mendifinisikan filsafat sebagai “Kumpulan semua pengetahuan Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan”. Abu Bakar Atjeh juga mendefiniskan filsafat seperti Descartes. Pythagoras, orang yang mula-mula menggunakan kata filsafat, mengartikan filsafat sebagai “Proses perenungan tentang Tuhan”.[4]
Bertrand Russell menyebut filsafat sebagai “Sesuatu yang berada di tengah-tengah antara teologi dan sains, di dalamnya berisikan pemikiran-pemikiran mengenai masalah-masalah yang pengetahuan defenitif tentangnya, sampai sebegitu jauh, tidak bisa dipastikan”. Masih menurutnya, filsafat adalah “wilayah tak bertuan”.[5]
Dan masih banyak pengertian filsafat yang diutarakan para filosof. Perbedaan definisi filsafat tersebut menurut Abu Bakar Atjeh, sebagaimana dikutip Ahmad Tafsir, disebabkan oleh berbedanya konotasi filsafat pada tokoh-tokoh itu karena perbedaan keyakinan hidup yang dianut mereka.[6]
Namun, meskipun demikian, dari beberapa ungkapan para filosof di atas, dapat diambil benang emas bahwa filsafat itu titik tekannya adalah “Kebenaran”. Dari analisis di atas, penulis mempunyai hipotesa bahwa sophia (bijak/ kebijaksanaan) dalam filsafat maskudnya adalah kebenaran (lihat definisi Plato, Aristoteles, al-Farabi). Dengan demikian, akan jelasnya bagi kita siapa filosof itu? Filosof itu adalah orang yang berkeinginan untuk mendalami, mencari dan memahami kebenaran.

               Mungkin kita merasa bingung dan kurang puas, atau kurang memahami, apa filsafat itu,  para filosof saja sudah berbeda-beda, apalagi kita! Mungkin itulah yang ada di benak kita sekarang. Dalam hal ini, kita jangan menyerah. Kita nampaknya harus mendengar kata-kata Moh. Hatta dan Langeveld. Menurut Hatta, pengertian filsafat sebaiknya jangan dipersoalkan dahulu, nanti juga akan hilang.[7]


            Layaknya ilmu lainnya, filsafat juga mempunyai metodologi. Menurut Ahmad Tafsir, metode filsafat itu adalah rasional.[8] Apa dan bagaimana rasional itu? Menurut Kant, Rasional ialah sesuatu pemikiran yang masuk akal tetapi menggunakan ukuran hukum alam.[9] Jadi metode filsafat itu adalah berfikir rasional dengan mengikuti hukum alam.
            Itulah metode filsafat. Selain mempunyai metode, filsafat juga mempunyai objek. Menurut Dr. Amsal Bakhtiar M.A, filsafat memiliki dua objek; material dan formal. Objek material filsafat adalah segala yang ada. Segala yang ada di sini mencakup “ada yang tampak” dan “ada yang tidak tampak”. “Ada yang tampak” adalah dunia empiris, sedangkan “ada yang tidak tampak” adalah alam metafisika.
Masih menurut Bakhtiar, sebagian filosof membagi objek material filsafat atas tiga bagian, yaitu; yang ada dalam kenyataan, yang ada dalam pikiran, dan yang ada dalam kemungkinan. Adapun objek formal filsafat adalah sudut pandang yang menyeluruh, radikal, dan objektif tentang yang ada, agar dapat mencapai hakikatnya.[10]
Demikian juga dengan agama, yang selama ini justru cendrung mengabur, terutama sebagai objek nonmaterial yang secara jelas memang kita rasakan dan kita butuhkan. Diakui atau tidak, agama merupakan kebutuhan paling esensial bagi manusia dan bahkan bersifat universal.
Agama adalah ajaran, “Sistem yang mengatur tata keimanan dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta tata kaidah yang berhubunggan dengan pergaulan manusia dengan manusia serta lingkugannya”.[11] Defenisi yang lain mengatakan, agama adalah “Aturan atau tatacara hidup manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya”.[12]
A.M. Saefuddin mengatakan, makna agama paling hakiki adalah “Kesadaran spriritual”, yang didalamnya ada satu kenyataan diluar kenyataan yang tampak ini, yaitu bahwa manusia selalu mengharap belas kasih-Nya, bimbingan tangan-Nya, yang secara ontologis tidak bisa diingkari, walaupun oleh manusia yang paling komunis sekalipun.[13]
Sedangkan, defenisi agama menurut Ahmad Tafsir dibagi menjadi dua kelompok: a) Agama yang menekan pada segi rasa Iman dan kepercayaan. b) Menekankan segi agama sebagai peraturan tentang cara hidup.[14]Jadi dapat disimpulkan bahwa agama adalah “Sistem kepercayaan dan praktek yang sesuai dengan kepercayaan tersebut”.
Baik agama maupun filsafat pada dasarnya mempunyai kesamaan, keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni mencapai kebenaran yang sejati, agama yang dimaksud disini adalah agama samawiy yaitu agama yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi dan Rasul-Nya. Dibalik kesamaan itu terdapat pula perbedaan antara keduannya. Dalam agama ada beberapa hal yang sangat penting misalnya Tuhan, kebajikan, baik dan buruk, surga dan neraka dll. Hal-hal tersebut diselidiki pula oleh filsafat. Oleh karena hal tersebut ada atau paling tidak mungkin ada.[15]
Ibnu Rusyd menguraikan bahwa Islam itu benar dan filsafat juga benar, dan kebenaran itu tidak mungkin dapat dipisahkan, seperti tujuan agama yang mengajak orang berbuat kebajikan. Sebaliknya filsafat mengenal kebenaran seperti apa adanya, oleh karena itu, hukum agama ada yang lahir dan ada yang batin. Yang lahir untuk mereka yang berfikir sederhana, sedangkan yang batin untuk mereka yang jenius. Atas dasar ini, dalam masyarakat terdapat golongan orang awam atau orang-orang kebanyakan dan orang-orang elite atau filsuf.[16]
Dan juga “Abduh believed that, revelation must be in harmony with reason, because Islam was “natural religion” designed by God to fit the human condition” (Abduh percaya bahwa, wahyu harus selaras dengan akal, karena Islam adalah “agama alamiah” yang dirancang oleh Allah agar sesuai dengan kondisi manusia).[17]
Kenyatan bahwa alam ini penuh hikmah, harmonis, teratur dan baik itu mencerminkan sifat Tuhan, maha pencipta, pengasih dan penyayang. Kekuasaan yang menciptakan alam secara teratur dan rapi serta terpelihara seperti sering diungkapkan al-Qur’an. Tidak mungkin demikian adanya jika tidak dipadukan dengan kasih sayang dan kebijaksanaan.
Selanjutnya, dalam buku Filasafat Agama karangan Dr. Rosjidi yang dikutip oleh A.Ahmadi Poerwantan diuraikan tentang perbedaan antara Agama dan Filsafat, sebab kedua kata ini sering diartikan dengan keliru, agama dicitrakan dalam beberapa hal diantaranya; (1) Agama berarti mengapdian diri, jadi yang penting adalah hidup secara beragama sesuai dengan aturan-aturan agama itu. (2) Agama menuntut pengetahuan untuk beribadat terutama yang merupakan hubungan manusia dengan Tuhan. (3) Agama dapat dikiaskan dengan enjoyment atau rasa cinta seseorang, rasa pengapdian. (4) Agama banyak berhubungan dengan hati. (5) Agama dapat diumpamakan sebagai air sungai yang terjun dari bendungan dengan gemuruhnya. (6) Agama oleh pemeluk-pemeluknya akan dipertahankan secara habis-habisan, sebab mereka selalu terikat dan mengapdikan diri. (7) Agama disamping memenuhi pemeluknya dengan semangat dan perasaan pengapdian diri juga mempunyai efek yang memenenangkan jiwa pemeluknya. (8) Filsafat penting dalam mempelajari agama.

Sedangkan filsafat meliputi beberapa hal;  (1) Filsafat berarti berfikir, (2) Menurut William Temple, filsafat adalah menuntut pengetahuan untuk memahami, (3) C.S Levis, membedakan antara enjoyment dan contemplation (perenungan). Misalnya laki-laki mencintai perempuan. Rasa cinta tersebut disebut enjoyment, sedangkan memikirkan rasa cintanya disebut contemplation, yaitu pikiran sipecinta tentang rasa cintanya, (4) Filsafat banyak berhubungan dengan pikiran yang dingin dan tenang, (5) Filsafat dapat diumpamakan seperti air telaga yang tenang dan jernih dan dapat dilihat dasarnya, (6) Seorang ahli filsafat, jika berhadapan dengan penganut aliran atau paham lain, biasanya bersifat lunak, (7) Ahli filsafat ingin mencari kelemahan dalam tiap-tiap pendirian dan argumen, walaupun argumennya sendiri.[18]

Filsafat dan agama kalau dipandang secara sepintas adalah dua sejoli yang saling bergandengan tangan. Tetapi kalau kita teropong satu persatu ternyata secara esensial, terjadi dikotomi karena landasan filsafat dan agama itu berbeda. Filsafat berangkat pada rasio murni, sedangkan agama berakar pada wahyu.

  1. Hubungan  Ilmu dan Agama
Defenisi istilah ilmu menurut Mulyadhi Kartanegara yang dikutip oleh Nunu Bahanuddin dalam  bukunya Islam dan Paradigma Keilmuan mengatakan ilmu dalam epistimologi Islam mempunyai kemiripan dengan istilah science dalam epistimologi Barat.[19]
Ilmu sebagai kesesuaian akal dan kenyataan, mengisyaratkan bahwa ilmu bukanlah pengetahuan biasa, tetapi merupakan pengetahuan yang telah diuji kebenarannya berdasarkan nalar dan bukti-bukti fisik empiris. Dengan kata lain ilmu memiliki kriteria yang tidak berbeda dengan sains any organized knowledge (pengetahuan yang terorganisir). Hanya saja, ilmu memiliki ruang lingkup yang telah luas yang melampaui sains. Sains hanya dibatasi bidang-bidang empiris positif, sementara ilmu melampauinya dengan memasukkkan bidang non-empiris, seperti matematika dan metafisika.
Agama dan ilmu dalam beberapa hal berbeda, tetapi pada sisi tertentu memiliki kesamaan. Agama lebih mengedepankan moralitas dan menjaga tradisi ritual, cendrung eksklusif dan subyektif. Sementara ilmu selalu mencari yang baru, tidak selalu terkait dengan etika, bersifat inklusif (penyampai) dan objektif. Walaupun agama dan ilmu berbeda, keduannya memiliki persamaan yaitu: bertujuan memberi ketenangan dan kemudahan bagi manusia.
Menurut al-Syirazi, ilmu-ilmu agama dikategorikan dalam ilmu nonfilsafat (al-‘ulum ghairu hikmy). Ilmu-ilmu religius diklasifikasi menurut dua cara yang berbeda; klasifikasi dalam ilmu naqliy dan ilmu intelektual (aqliy), serta kalsifikasi dalam ilmu tentang pokok-pokok (ushul) dan ilmu cabang-cabang (furu’).[20]
Yang dimaksud dengan ilmu naqliy adalah ilmu-ilmu yang hanya dapat dibangun dengan bukti-bukti yang didengar atau dinukilkan dari otoritas yang relevan. Sebagai contoh; al-Syirazi menyebut ilmu mengenai amalan ibadah seperti salat dan puasa. Akal tidak dapat menetapakan prinsip religius untuk apa seorang Muslim tetap diharuskan berpuasa pada hari terakhir bulan Ramadhan tetapi dilarang melakukan keesokan harinya. Secara ilmiah, menurutnya dua hari yang berturutan itu sulit dibedakan satu sama lain. Hanya nash yang memutuskan perkara itu.
Sedang ilmu aqliy adalah ilmu yang dapat ditetapkan dengan intelek manusia. Tidak jadi masalah, apakah ada bukti naqliynya atau tidak. Misalnya pengetahuan tentang keberadaan Allah dan pengetahuan tentang realitas (hakikat) kenabian dapat didemontrasikan secara rasional.
Dari beberapa penjelasan tentang pengertian ilmu, persamaan dan perbedaan antara filsafat dan ilmu. Oleh penulis, dapat dijelaskan bahwa ilmu adalah bagian dari pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang terklasifikasi, tersistem dan terukur serta dapat dibuktikan kebenarannya secra empiris. Sementara pengetahuan adalah informasi yang berupa common sense yang belum tersusun secara sistematis baik mengenai metafisik maupun fisik. Penulis juga menyimpulkan bahwa filsafat ilmu merupakan kajian secara mendalam tentang dasar-dasar ilmu sehingga filsafat ilmu perlu menjawab persoalan ontologis (obyek telaah), epistemologis (proses, prosedure, mekanisme) dan aksiologis (untuk apa).

  1. Hubungan Filsafat dan Ilmu
Antara filsafat dan ilmu keduannya saling berhubungan, berdasarkan suatu asumsi bahwa keduannya merupakan kegiatan manusia. Kegiatan manusia dapat diartikan dalam prosesnya dan juga hasilnya. Dilihat dari hasilnya, filsafat dan ilmu merupakan hasil berfikir manusia secara sadar, sedangkan dilihat dari segi prosesnya, filsafat dan ilmu menunjukkan suatu kegiatan yang berusaha untuk memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan manusia (untuk memperoleh kebenaran dan pengetahuan), dengan mengunakan metode atau prosedur tertentu secara sistematis dan kritis.
Ilmu merupakan suatu “cara berfikir dalam menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang dapat diadakan”. Berfikir bukan satu-satunya produk dari kegiatan berfikir. Ilmu merupakan prodak dari proses berfikir menurut langkah-langkah tertentu yang secara umum dapat disebut sebagai berfikir ilmiah.[21]
Keterkaitan antara filsafat dan ilmu dapat kita ketahui melalui persamaannya yang dikemukakan oleh Burhanuddin Salam dalam bukunya Pengantar Filsafat, sebagaimana yang tertuang dalam beberapa poin; a) Keduannya mencari rumusan yang sebaik-baiknya menyelidiki objek selengkap-lengkapnya, b) Keduannya memberikan pengertian mengenai hubungan atau pertalian yang ada antara kejadian yang kita alami dan mencoba menunjukkan sebabnya, c) Keduannya hendak memberikan sintesis yaitu suatu pandangan yang bergandengan d) Keduannya mempunyai metode dan sistem, e) Keduannya hendak memberikan penjelasan tentang kenyataan seluruhnya timbul dari hasrat manusia akan kebenaran (objektivitas), akan pengetahuan yang lebih mendalam.[22]
Adapun perbedaan antara filsafat dan ilmu adalah sebagai berikut: a) Ilmu berhubungan dengan lapangan yang terbatas, filsafat mencoba berhubungan dengan keseluruhan pengalaman, untuk memperoleh suatu pandangan yang lebih komprehensif tentang sesuatu, b) Ilmu mengunakan pendekatan analitis dan deskriptif, sedangkan filsafat sintesis atau sinopsis, berhubungan dengan sifat-sifat dan kualitas alam dan hidup secara keseluruhan, c) Ilmu menganalisis keseluruhan menjadi bagian-bagian, filsafat mencoba membedakan sesuatu dalam bentuk sintesis yang menjelaskan dan mencari makna sesuatu secara keseluruhan, d) Ilmu menghilangkan faktor-faktor pribadi yang subjektif, sedangkan filsafat tertarik pada personalitas, nilai-nilai dan semua pengalaman, e) Ilmu tertarik kepada hakikat sesuatu sebagaimana adanya, sedangkan filsafat tidak hanya tertarik kepada bagian yang nyata, melainkan juga kepada kemungkinan-kemungkinan yang ideal dari suatu benda, nilai dan maknanya, f) Ilmu meneliti alam, mengontrol proses alam sedangkan tugas filsafat mengadakan kritik, menilai dan mengkoordinasikan tujuan, g) Ilmu lebih menekankan pada deskripsi hukum-hukum fenomenal dan hubungan kausal. Filsafat tertarik dengan hal yang berhubungan dengan pernyataan “why” dan “how”.[23]

  1. Hubungan Filsafat, Ilmu dan Agama
Ada yang mengatakan bahwa antara ilmu, filsafat dan agama memiliki hubungan. Namun demikian, tidak menafikan terhadap pandangan bahwa satu sama lain merupakan ‘sesuatu’ yang terpisah; di mana ilmu lebih bersifat empiris, filsafat lebih bersifat ide dan agama lebih bersifat keyakinan. Agama bukan hanya usaha untuk mencapai kesempurnaan, bukan pula moralitas yang tersentuh emosi. Agama bergerak dari individu ke masyarakat. Dalam geraknya menuju pada realitas penting yang berlawanan dengan keterbatasan manusia.
Baik ilmu maupun filsafat atau agama, bertujuan (sekurang-kurangnya berurusan dengan hal yang sama), yaitu kebenaran. Ilmu pengetahuan dengan metodenya sendiri mencari kebenaran tentang alam dan manusia. Filsafat dengan wataknya sendiri pula menghampiri kebenaran, baik tentang alam, manusia dan Tuhan. Demikian pula agama, dengan karakteristiknya pula memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia tentang alam, manusia dan Tuhan. Baik ilmu maupun filsafat, keduanya hasil dari sumber yang sama, yaitu ra’yu manusia (akal, budi, rasio, reason, nous, rede, vertand, vernunft). Sedangkan agama bersumberkan wahyu dari Allah. Ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan jalan penyelidikan (riset, research), pengalaman (empirik) dan percobaan.
Adapun Bahanuddin Salam dalam bukunya memberikan gambaran bahwa titik persama antara filsafat, ilmu dan agama adalah; Ketiganya merupakan sumber atau wadah kebenaran (objektivitas) atau bentuk pengetahuan. Dalam pencarian kebenaran (objektifitas) ketiga bentuk pengetahuan itu masing-masing mempunyai metode, sistem dan mengolah objektivitas lengkap sampai tuntas. Selanjutnya, ilmu pengetahuan bertujuan mencari kebenaran tentang mikro-kosmos (manusia), makrokosmos (alam) dan eksistensi Tuhan (Allah). Agama bertujuan untuk kebahagiaan umat manusia dunia akhirat dengan menunjukkan kebenaran asasi dan mutlak, baik mengenai mikro-kosmos (manusia), makro-kosmos (alam), maupun Tuhan.[24]
Disamping adanya titik persama antara filsafat, ilmu dan agama  terdapat juga perbedaan antara ketiganya sebagai berikut;  sumber kebenaran pengetahuan dan filsafat adalah sama, keduannya dari manusia itu sendiri dalam arti pikiran, pengalaman dan intuisinya, oleh karena itu disebut juga bersifat horizontal dan immanent (tetap ada). Sumber kebenaran agama adalah Allah, karena itu juga disebut bersifat vertikal dan transcendental (sulit dipahami). Dilihat dari sisi Approach (pendekatan) kebenaran ilmu pengetahuan dengan jalan riset, pengalaman dan percobaan sebagai tolak ukurnya. Sedangkan pendekatan kebenaran filsafat dengan jalan perenungan (contemplasi) dari akal budi atau budi murni manusia secara radikal, sistematis dan universal tanpa pertolongan dan bantuan dari wahyu Allah. Pendekatan kebenaran agama dengan jalan berpegang kepada wahyu Allah. Selanjutnya, sifat kebenaran pengetahuan adalah positif sampai saat ini dan relatif. Ilmu pengetahuan dinilai dengan keraguan (?), setelah meyakini kebenarannya lalu menyetujuinya (!) dan sesudah meyakininya lantas bertanya lagi yang dimanifestasikan dalam bentuk riset, pengalaman dan percobaan (?). Jadi kode rumus ilmu pengetahuan ialah “? ! ?”.
Sedangkan sifat kebenaran filsafat adalah spekulatif yaitu suatu perenungan yang mengakar (radikal) menyeluruh (integral) dan menyemesta (universal), juga bersifat relatif. Dimuali pula dengan keraguan (?), setelah yakin lalu setuju (!), dan setelah itu ragu dan bertanya lagi (?) untuk mencari jawaban yang lebih mendalam. Kode rumus filsafat adalah “? ! ?”.
Sifat kebenaran agama adalah mutlak (absolut) karena bersumber dari zat Yang Maha Besar, Maha Mutlak, Maha Sempurna, Maha Bijaksana yaitu Allah. Dimuali dari keimanan dan keyakinan (!), setelah iman dan yakin menyelidiki kebenaran yang mutlak itu (?) setelah konsisten antara keimanan dan keyakinan dengan hasil penyelidikannya, maka terjadilah pendalaman keimanan dan keyakinan itu yang disebut Taqwa (!). jadi kode rumus agama ialah “! ? !”.
  Sedangkan, Tujuan ilmu pengetahuan itu hanya bersifat teoritis, demi ilmu pengetahuan dan umumnya pengamalanya untuk tujuan ekonomi praktis atau kenikmatan jasmani manusia. Tujuan filsafat adalah kecintaan kepada pengetahuan yang bijaksana (sophos) dengan hasil kedamaian dan kepuasan jiwa yang sedalam-dalanya. Tujuan agama adalah kedamaian, keharmonisan, kebahagiaan, keselamatan, keselarasan dan keridhaan.[25]

C.          Penutup
Dari paparan makalah diatas dapat disimpulkan bahwa;
filsafat adalah “Ilmu yang meliputi kebenaran yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika”,
Dan masih banyak pengertian filsafat yang diutarakan para filosof. Perbedaan definisi filsafat tersebut disebabkan oleh berbedanya konotasi filsafat pada tokoh-tokoh itu karena perbedaan keyakinan hidup yang dianut mereka.Namun, meskipun demikian, dari beberapa ungkapan para filosof di atas, dapat diambil benang emas bahwa filsafat itu titik tekannya adalah “Kebenaran”.
Agama adalah “Sistem kepercayaan dan praktek yang sesuai dengan kepercayaan agama tersebut”.
Baik agama maupun filsafat pada dasarnya mempunyai kesamaan, keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni mencapai kebenaran yang sejati, agama yang dimaksud disini adalah agama samawiy yaitu agama yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi dan Rasul-Nya. Dibalik kesamaan itu terdapat pula perbedaan antara keduannya. Dalam agama ada beberapa hal yang sangat penting misalnya Tuhan, kebajikan, baik dan buruk, surga dan neraka dll. Hal-hal tersebut diselidiki pula oleh filsafat. Oleh karena hal tersebut ada atau paling tidak mungkin ada.
Ilmu merupakan suatu “Cara berfikir dalam menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang dapat diadakan”.
Antara filsafat dan ilmu keduannya saling berhubungan, berdasarkan suatu asumsi bahwa keduannya merupakan kegiatan manusia. Kegiatan manusia dapat diartikan dalam prosesnya dan juga hasilnya. Dilihat dari hasilnya, filsafat dan ilmu merupakan hasil berfikir manusia secara sadar, sedangkan dilihat dari segi prosesnya, filsafat dan ilmu menunjukkan suatu kegiatan yang berusaha untuk memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan manusia (untuk memperoleh kebenaran dan pengetahuan), dengan mengunakan metode atau prosedur tertentu secara sistematis dan kritis.
 Dan dapat dijelaskan juga bahwa ilmu adalah bagian dari pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang terklasifikasi, tersistem dan terukur serta dapat dibuktikan kebenarannya secra empiris. Sementara pengetahuan adalah informasi yang berupa common sense yang belum tersusun secara sistematis baik mengenai metafisik maupun fisik. Penulis juga menyimpulkan bahwa filsafat ilmu merupakan kajian secara mendalam tentang dasar-dasar ilmu sehingga filsafat ilmu perlu menjawab persoalan ontologis (obyek telaah), epistemologis (proses, prosedure, mekanisme) dan aksiologis (untuk apa).
Dapat ditarik pemahaman bahwa, baik ilmu, filsafat atau agama, bertujuan (sekurang-kurangnya berurusan dengan hal yang sama), yaitu “kebenaran”. Ilmu pengetahuan dengan metodenya sendiri mencari kebenaran tentang alam dan manusia. Filsafat dengan wataknya sendiri pula menghampiri kebenaran, baik tentang alam, manusia dan Tuhan. Demikian pula agama, dengan karakteristiknya pula memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia tentang alam, manusia dan Tuhan. Baik ilmu maupun filsafat, keduanya hasil dari sumber yang sama, yaitu ra’yu manusia (akal, budi, rasio, reason, nous, rede, vertand, vernunft). Sedangkan agama bersumberkan wahyu dari Allah. Ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan jalan penyelidikan (riset, research), pengalaman (empirik) dan percobaan.

Demikianlah makalah ini disajikan dengan harapan menambah wawasan kita bersama tentang relasi filsafat, ilmu dan agama.





DAFTAR PUSTAKA

Audah, Ali. Khazanah Dunia Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1999.
Bakar, Osman. Hirarki ilmu: Membangun Rangka Berfikir Islamnisasi Ilmu. Bandung: Mizan. 1990.
Bahanuddin, Nunu. Islam dan paradigma Keilmuan. Yogyakarta: Interpena, 2009.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Agama. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1999. 
Hatta, Moh. Alam Pikiran Yunani. Jakarta: UI-Press. 1986.
Hanafi, Ahmad. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1990.
Nasution, Harun. Filsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang. 1991.
Poerwantana, A Ahmadi. Seluk-Beluk Filsafat Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 1994.
Russell, Bertrand Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004.
Saefuddin, A.M.. Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamnisasi. Bandung: Mizan. 1998.
Salam, Bahanuddin. Pengantar Filsafat. Jakarta: Bumi Aksara. 2005.
Sumantri, Jujun S. Suria. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan. 2000.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung: Rosda Karya. 2002.
-------------------Filsafat Ilmu; Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan. Bandung: Rosda Karya. 2004.




[1] Harun Nasution, Filsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991) cet. 8, hal. 3
[2] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), cet. II, hal. 7   
[3] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Bandung: Rosda Karya, 2002), cet. 10, hal. 9.
[4] Ibid, hal. 10
[5] Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. xiii
[6] Ahmad Tafsir, Op. Cit, hal. 11
[7] Moh. Hatta, Alam Pikiran Yunani, (Jakarta: UI-Press, 1986), cet. 3, hal. 3.
[8]Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu; Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan, (Bandung: Rosda Karya, 2004), hal. 9
[9] Ibid, hal. 14
[10]Amsal Bakhtiar, Op.Cit, hal. 1-2
[11] Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), h. 12.
[12] Ensiklopedi Nasional Indonesia, (Jakarta: PT. Delta Pamungkas, 2004), h. 156.
[13] A.M. Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamnisasi, (Bandung: Mizan, 1998), h.47.
[14] Ahmad Tafsir, Op. Cit, hal. 7
[15] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 19.
[16] Ali Audah, Khazanah Dunia Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), h.65.
[17] Histirical Atlas of The Islamic Word, h.111.
[18] A.Ahmadi Poerwantana, Seluk-Beluk Filsafat Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994), h.12-13.
[19] Nunu Bahanuddin, Islam dan Paradigma Keilmuan, (Yogyakarta: Interpena, 2009), h.1.
[20] Osman Bakar, Hirarki Ilmu: Membangun Rangka Berfikir Islamnisasi Ilmu, (Bandung: Mizan, 1990), h.279.
[21] Jujun S. Suria Sumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Sinar Harapan, 2000), h. 272.
[22] Bahanuddin Salam, Pengantar Filsafat, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), h.78.
[23] Ibid, h. 76-77.
[24] Ibid, h.184.
[25] Ibid, h. 184-185.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar