Senin, 15 Februari 2016

SUNNAH, TASYRI` PADA MASA RASULULLAH

A.    PENDAHULUAN
Sunnah merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Qur`an, seseorang tidak akan bisa memahami Islam ini dengan baik tanpa merujuk pada kedua sumber ini (al-Qur`an dan Sunnah).
Banyak sekali kita melihat orang yang salah dalam memahami sunnah, sehingga sering terjadi perselisihan dikalangan umat Islam, bahkan sampai kepada saling mencela antar kelompok. Begitu juga dalam memahami fungsi sunnah terhadap al-Qur`an, apakah sunnah bisa berfungsi sebagai yang memunculkan hukum terhadap masalah-masalah yang tidak terdapat hukumnya di dalam al-Qur`an atau tidak?.
Selain itu, juga ada perbedaan pendapat tentang sejarah sunnah di masa Rasulullah, apakah sunnah sudah mulai ditulis oleh sahabat dimasa itu atau belum?, disinilah awal dari munculnya nanti orang-orang yang tidak mengakui sunnah yang dinamakan dengan inkar al-sunnah.  
Dalam makalah ini, penulis akan membahas tentang pengertian sunnah, pembagian sunnah, fungsi sunnah terhadap al-Qur`an dan sejarah sunnah di masa Rasulullah, Saw.  

B.     PEMBAHASAN
1.      PENGERTIAN SUNNAH
a.      Sunnah Secara Etimologi
Sunnah jika dilihat dari sisi etimologi memiliki beberapa arti. Dr. Muhammad Sulaiman Abdullah Asyqar dalam bukunya yang berjudul al-Wadhih fi Ushul al-Fiqh mengatakan bahwa sunnah secara etimologi berarti: [1]الطريقة yang memiliki makna “metode/cara”, oleh karena itu, maka dia mengatakan bahwa sunnah Nabi itu adalah: طريقته التي مهدها للمسلمين ليسيروا عليها في دينهم[2]. (cara/metode yang telah ditentukan oleh Rasulullah untuk dijadikan pedoman oleh umat Islam dalam menjalani agama mereka).
Sedikit berbeda dengan defenisi di atas, Muhammad `Ajaj al-Khathib dalam bukunya Ushul al-Hadits memberikan defenisi sunnah secara etimologi dengan: السيرة حسنة كانت أو قبيحة[3] (perjalanan/kebiasaan baik atau buruk). Dalam defenisi ini Muhammad `Ajaj al-Khatib menjelaskan bahwa sunnah secara etimologi itu merupakan kebiasaan secara umum, apakah kebiasaan itu baik atau buruk. Pendapat ini didasarkan kepada hadits Rasulullah Saw. yang terdapat di dalam Shahih Muslim:
من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها بعده من غير أن ينقص من أجورهم شيء ، ومن سن في الإسلام سنة سيئة كان عليها وزرها ووزر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أوزرهم شيء .
Artinya: Barang siapa yang melakukan sebuah kebiasaan baik dalam Islam, maka dia akan mendapatkan pahalanya, dan pahala orang-orang yang melaksanakan setelahnya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun, dan barang siapa yang melakukan sebuah kebiasaan buruk dalam Islam, maka dia akan mendapat ganjarannya, dan ganjaran orang-orang yang melakukan setelahnya tanpa mengurangi ganjaran mereka sedikitpun”.

Kalau seandainya Muhammad `Ajjaj al-Khatib mengatakan bahwa sunnah itu berlaku untuk kebiasaan yang baik dan yang buruk, hal ini berbeda dengan apa yang dipahami oleh Abu Sulaiman al-Khaththaby. Dia mengatakan bahwa sunnah itu asalnya hanya digunakan untuk yang “baik saja” jika muthlaq (tidak muqayyad), namun terkadang juga digunakan untuk yang buruk, jika di qayyid dengan kata-kata (السيئة) sayyi`ah atau qabihah (القبيحة)[4].
Muhammad Abu Nur Zuhair dalam buku Ushul Fiqh-nya mengatakan bahwa sunnah secara etimologi adalah: الطريقة والعادة[5] yang berarti “metode/cara dan kebiasaan”. Defenisi Abu Nur Zuhair ini didasarkan pada Firman Allah dalam Surat Ali Imrah ayat 137:
قد خلت من قبلكم سنن فسيروا في الأرض فانظروا كيف كان عاقبة المكذبين.[6]
Artinya: “Sungguh, telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah (umat sebelum kamu), karena itu berjalanlah kamu ke (segenap penjuru) bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang mendustakan (rasul-rasul)”.

Yang dimaksud dengan sunan dalam ayat ini الطريقة والعادة[7]
Melihat tiga defenisi sunnah secara etimologi yang dipaparkan oleh para ulama di atas, maka dapat kita pahami, bahwa walaupun mereka memberikan dafenisi dengan redaksi yang berbeda-beda, namun dapat kita tarik sebuah kesimpulan bahwa sunnah secara etimologi berarti “metode dan kebiasaan”.
b.      Sunnah Secara Terminologi
Masing-masing ulama berbeda dalam mendefenisikan sunnah secara terminologi, sesuai dengan bidangnya masing-masing. Defenisi yang dipaparkan ulama hadits berbeda dengan defenisi yang dipaparkan oleh ulama fiqh, begitu juga dengan defenisi yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqh, akan berbeda dengan ulama fiqh dan ulama hadits. Dikarenakan dalam makalah ini penulis hanya membahas tentang sunnah dipandang sebagai sumber hukum, maka penulis hanya akan memaparkan defenisi sunnah menurut pakar ushul fiqh.
Dalam buku Manhaj an-Naqd fi Ulum al-Hadits, Dr. Nuruddin `Itr mendefenisikan sunnah dengan:
ما أضيف إلى النبي صلى الله عليه وسلم من قول أو فعل أو تقرير.[8]
 Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw. baik itu berbentuk perkataan, perbuatan maupun ketetapan”.
Sedangkan Muhammad `Ajjaj al-Khatib mendefenisikan sunnah dengan redaksi yang sedikit berbeda:
كل ما صدر عن النبي صلى الله عليه وسلم غير القرآن الكريم من قول أو فعل أو تقرير مما يصلح أن يكون دليلا لحكم شرعي.[9]
Semua yang bersumber dari Nabi Saw. selain al-Qur`an, baik itu perkataan, perbuatan maupun ketetapan yang cocok untuk dijadikan sebagai dalil bagi hukum syara`”.
Dari defenisi diatas dapat kita lihat bahwa ternyata sunnah menurut pakar ushul fiqh itu hanyalah perkataan, perbuatan dan ketetapan Rasulullah yang bisa dijadikan sebagai sandaran hukum. Sedangkan selain itu seperti sifat, kepribadian, dan bentuk tubuhnya bukanlah dianggap sunnah oleh mereka.
Imam Asy-Syathibi dalam bukunya yang sangat populer al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari`ah menyatakan bahwa kata-kata “sunnah” itu digunakan untuk tiga hal:
a.     ما جاء منقولا عن النبي صلى الله عليه وسلم على الخصوص ، مما لم ينص عليه في الكتاب العزيز ، بل إنما نص عليه من جهته عليه الصلاة والسلام ، كان بيانا لما في الكتاب أو لا[10]
“Semua yang diriwayatkan dari Nabi Saw. dengan cara yang khusus, yang tidak dinashkan dalam al-Qur`an, tetapi hanya dinashkan olehnya, sebagai penjelas bagi ayat-ayat al-Qur`an atau tidak.
b.      مقابلة البدعة[11] (lawan dari bid`ah)
Kata-kata sunnah juga digunakan sebagai lawan dari bid`ah, seperti bila dikatakan “فلان على السنة” apabila dia beramal sesuai dengan apa yang diamalkan oleh Rasulullah, sama adakah amalan itu dinashkan dalam al-Qur`an atau tidak. Bila dikataan “فلان على البدعة” apabila dia beramal menyalahi amalan Rasulullah.[12]
c.       ما عمل عليه الصحابة[13]
Kata-kata sunnah juga dipakaikan kepada apa yang diamalkan oleh para sahabat, sama adakah amalan itu dijelaskan dalam al-Qur`an dan sunnah atau tidak. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Rasulullah dalam hadits beliau: عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين (Berpegang teguhlah dengan sunnahku dan dengan sunnah khulafaurrasyidin).[14]

2.      PEMBAGIAN SUNNAH
Sunnah jika dilihat dari segi jumlah rawy yang meriwayatkannya dapat dibagi menjadi tiga bagian:
a)      Sunnah Mutawatirah
Sunnah mutawatirah adalah sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah oleh banyak rawy yang tidak memungkinkan bagi mereka melakukan kesepakatan untuk berbohong, karena jumlah mereka banyak, memiliki sifat amanah dan berbedanya profesi yang mereka geluti. Syarat banyaknya rawy ini harus terpenuhi dalam setiap thabaqat (tingkatan) sanad, semenjak dari Rasulullah sampai kepada kita.[15]
Contoh sunnah mutawatirah adalah pelaksanaan sholat yang dilakukan oleh Rasulullah, tata cara pelaksanaan ibadah haji, sedangkan dari sunnah qauliyah adalah hadits yang berbunyi: [16]من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار
Tentang hukum sunnah mutawatirah ini, seluruh ulama sepakat bahwa sunnah ini qath`y ats-tsubut dari Rasulullah, orang yang mengingkarinya dihukum sebagai kafir.[17]
Tentang batasan jumlah perawi sunnah mutawatirah ini, banyak sekali pendapat ulama. Ada yang mengatakan batasannya harus lima orang (sesuai dengan jumlah rasul ulul azmi). Ada juga yang mengatakan batasannya tujuh orang (sesuai dengan jumlah ashabul kahfi). Ada juga yang mengatakan batasannya sepuluh orang. Ada juga yang mengatakan harus 20 orang, 40 orang, 70 orang, 115 orang. Semua pendapat ini adalah pendapat yang dha`if (lemah), karena tidak ada dalil pasti yang menjadikan rujukannya.[18]
b)      Sunnah Masyhurah
Sunnah masyhurah adalah sunnah yang diriwayatkan oleh satu orang sahabat dari Rasulullah, atau dua orang sahabat, atau sejumlah orang sahabat yang jumlahnya tidak sampai kepada batasan mutawatir, kemudian diriwayatkan dari rawi a`la (sahabat) ini oleh sejumlah rawi yang jumlahnya mencapai jumlah mutawatir disetiap thabaqat (tingkatan), semenjak dari tabi`in sampai kepada kita.[19]
Contoh hadits masyhur adalah: إنما الأعمال بالنيات
Hukum sunnah masyhurah adalah qath`iyul wurud dari sahabat tetapi tidak qath`y tsubut dari Rasulullah, orang yang mengingkarinya dihukum fasiq[20].

c)      Sunnah Ahad
Sunnah ahad adalah sunnah yang diriwayatkan oleh satu orang sahabat dari Rasulullah atau dua orang, atau sejumlah orang yang jumlahnya tidak mencapai jumlah mutawatir, kemudian diriwayatkan dari rawi a`la (sahabat) oleh sejumlah orang yang jumlahnya tidak sampai kepada jumlah mutawatir disetiap thabaqat sampai kepada kita.[21]
Hukum hadits ini adalah zhanniy al-wurud dari Rasulullah.[22]

3.      FUNGSI SUNNAH TERHADAP AL-QUR`AN
Sunnah jika dikaitkan dengan al-Qur`an, maka sunnah memiliki beberapa fungsi terhadap al-Qur`an, yaitu:
a)      Sunnah berfungsi sebagai penguat hukum-hukum yang ada di dalam al-Qur`an
Seperti hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik: اتقوا الله في النساء واستوصوا بهن خيرا. Hadits berfungsi untuk menta`kid (menguatkan) hukum yang ada dalam al-Qur`an, yaitu ayat yang berbunyi: وعاشروهن بالمعروف.[23]

b)     Sunnah berfungsi sebagai penjelas hukum-hukum yang ada di dalam al-Qur`an
Fungsi hadits sebagai penjelas hukum-hukum yang terdapat di dalam al-Qur`an ini terbagi menjadi tiga bagian:
1)      Sunnah menjelaskan hukum-hukum mujmal yang ada dalam al-Qur`an.
Seperti hadits-hadits fi`ly tentang tata cara sholat Nabi menjelaskan ayat Allah yang berbunyi: وأقيموا الصلاة[24] perintah sholat dalam ayat ini masih mujmal, kita tidak akan tahu tentang tata cara pelaksanaan sholat kalau hanya berpegang pada ayat ini, kemudian datang hadits-hadits yang menjelaskan tentang tata cara sholat Nabi.
2)      Sunnah mentakhshish (mengkhususkan) hukum-hukum yang masih `am (umum) dalam al-Qur`an.
Seperti hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah: لا تنكح المرأة على عمتها ولا على خالتها ولا على ابنة أخيها ولا على ابنة أختها Hadits ini mentakhshihs ayat Allah yang terletak setelah Allah menjelaskan wanita-wanita yang haram dinikahi, ayat itu berbunyi: وأحل لكم ماوراء ذلكم. [25]
3)      Sunnah mentaqyid (membatasi) hukum-hukum yang masih mutlak dalam al-Qur`an.
Seperti hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah memotong tangan orang yang mencuri itu di pergelangan tangannya, hadits ini mentaqyid firman Allah yang berbunyi: والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما.[26]

c)      Sunnah berfungsi untuk menasakh hukum-hukum yang ada di dalam al-Qur`an.
Seperti hadits Rasulullah yang berbunyi: لا وصية لوارث, hadits ini menasikh hukum yang terdapat didalam ayat: كتب عليكم إذا حضر أحدكم الموت إن ترك خيرا الوصية للوالدين والأقربين بالمعروف حقا على المتقين.[27]
Tentang masalah boleh tidaknya hadits menasikh al-Qur`an menjadi perdebatan dikalangan ulama. Madzhab Syafi`I menyatakan bahwa sunnah tidak bisa menasikh al-Qur`an, hal ini didasarkan pada firman Allah: ما ننسخ من آية أو ننسها نأت بخير منها أو مثلها. Dalam Ayat ini Allah menyatakan bahwa Allah akan menasikh al-Qur`an dengan yang lebih baik atau paling tidak sama derajatnya dengan al-Qur`an, sedangkan sunnah tidaklah sama derajatnya dengan al-Qur`an. Namun, pendapat ini dibantah oleh jumhur ulama, termasuk juga Imam Baidhawy dan Asnawi yang bermadzhabkan Syafi`I, mereka menyatakan bahwa sunnah boleh saja menasikh al-Qur`an, buktinya ada ayat al-Qur`an yang dinasikh oleh sunnah, yaitu tentang masalah waris itu.[28]
d)     Sunnah berfungsi sebagai pentasyri` hukum-hukum yang belum ada di dalam al-Qur`an.
Seperti hadits Rasulullah yang menyatakan bahwa laki-laki diharamkan memakai emas dan sutera, hukum ini tidak ada di dalam al-Qur`an, namun datang hadits yang menjelaskannya.[29]

4.      SEJARAH SUNNAH DI MASA RASULULLAH
Membicarakan sunnah pada masa Rasulullah berarti membicarakan sunnah pada awal pertumbuhannya, maka dalam uraiannya akan terkait langsung dengan metode Rasulullah dalam mengajarkan sunnah kepada para sahabatnya.
Rasulullah melakukan pembinaan terhadap para sahabatnya selama 23 tahun, masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu dan diwurudkannya sunnah, keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan kehatian-hatian para sahabat  sebagai pewaris pertama ajaran Islam. Untuk lebih memahami kondisi sunnah pada masa Rasulullah, berikut ini penulis paparkan beberapa hal:


a.      Metode Rasulullah Menyampaikan Sunnah Kepada Sahabat
Rasulullah dan para sahabat hidup bersama tanpa penghalang apapun, mereka selalu berkumpul untuk belajar kepada Rasul, dimana saja tempatnya, di masjid, pasar, rumah, dalam perjalanan dan tempat-tempat lainnya. Para sahabat selalu mengikuti apa yang dilakukan oleh Rasul, mereka tidak pernah merasa bosan mengikutinya. Setiap apa yang mereka lihat dan dengar dari Rasul itulah yang mereka riwayatkan kepada sahabat yang lain yang kebetulan tidak hadir ketika Rasul melakukan ta`lim, dan juga mereka sampaikan kepada para generasi tabi`in yang menjadi pelanjut tongkat estafet perjuangan Islam setelah generasi sahabat.
Hal pertama yang dilakukan oleh Rasulullah ada memberikan motivasi dan semangat kepada para sahabat tentang pentingnya menuntut ilmu, dia menjelaskan pentingnya posisi ulama dikalangan masyarakat.[30]
Banyak sekali metode yang diterapkan Rasulullah dalam menyampaikan sunnah kepada para sahabatnya, seperti melakukan pembelajaran Islam secara bertahap, memilih Darul Arqam sebagai “madrasah” bagi para sahabat dimasa awal-awal Islam, memberikan pelajaran kepada sahabat sesuai dengan kondisi sahabat tersebut, mengadakan majlis yang khusus untuk perempuan untuk mengajarkan hal-hal yang berkaitan dengan fiqh nisa`, dan banyak lagi metode-metode yang digunakan oleh Rasul dalam menyampaikan sunnah, sehingga para sahabat selalu tertarik dengan apa yang disampaikannya.[31]
b.      Semangat Para Sahabat Dalam “Berburu” Sunnah
Sahabat yang sudah tersentuh hatinya dengan Islam, merasa sangat haus dengan ajaran-ajaran Islam, mereka sangat bersemangat dalam belajar Islam langsung kepada sumbernya, yaitu Rasulullah. Mereka bagaikan orang yang sangat kehausan, sehingga mau mencari “setetes air” kemana saja, walaupun harus menempuh jarak yang sangat jauh.
Sebagaimana diceritakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya tentang Uqbah bin Harits, ketika dia mendengar dari seorang perempuan yang mengatakan kepadanya bahwa perempuan itulah yang menyusuinya dan istrinya, maka bergegas dia menuju Madinah – ketika itu dia berada di Makkah – untuk bertanya kepada Rasul tentang hukum orang yang menikahi perempuan yang dia tidak mengetahui bahwa perempuan itu adalah saudarinya sepersusuan, maka Rasulullah berkata kepada Uqbah bin Harits: كيف و قد قيل؟ (“Terus bagaimana lagi, sekarang sudah diceritakan kepadamu?), maka kemudian Uqbah langsung menceraikan istrinya itu dan menikahkannya dengan sahabat yang lain.[32]
Inilah salah satu cerita dari sekian banyak cerita-cerita yang menggambarkan kobaran semangat para sahabat dalam belajar Islam kepada Rasulullah, dan sunnah-sunnah yang mereka dapatkan itu langsung mereka sampaikan kepada sahabat yang lain, bahkan sahabat-sahabat yang tidak sempat hadir dalam majlis Rasul, tidak segan-segan bertanya kepada sahabat yang lain tentang apa yang diajarkan oleh Rasulullah.
c.       Penulisan Sunnah Dimasa Rasulullah
            Terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama tentang penulisan sunnah dimasa Rasulullah, ada yang mengatakan bahwa penulisan sunnah waktu itu mendapat pelarangan dari Rasul, sehingga sunnah-sunnah yang sudah ditulis oleh para sahabat diperintahkan oleh Rasul untuk menghapusnya, pelarangan dilakukan oleh Rasul karena takut bercampurnya ayat-ayat al-Quran dengan hadits. Pendapat ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri, Rasulullah bersabda:
لا تكتبوا عني ، ومن كتب عني غير القرآن فليمحه[33]
Artinya: “Jangan kalian tulis (sunnah) yang berasal dariku, siapa saja yang menulis sesuatu yang berasal dariku seelain al-Qur`an, maka hendaklah dia menghapusnya”.
            Ada juga ulama yang berpendapat bahwa penulisan sunnah dimasa Rasulullah itu sudah ada, pendapat mereka ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata:
ما من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم أحد أكثر حديثا عنه مني إلا ما كان من عبد الله بن عمرو فإنه كان يكتب ولا أكتب.[34]
Artinya: “Tidak ada seorangpun sahabat Nabi yang lebih banyak dariku meriwayatkan hadits darinya, kecuali Abdullah bin Amru, sesungguhnya dia menuliskan (hadits-hadits dari Nabi) sedangkan aku tidak menuliskannya.”
Hadits ini memberikan gambaran kepada kita bahwa ternyata masih ada sahabat yang menuliskan hadits dari Nabi, walaupun sudah ada larangan darinya.
Melihat dua pendapat diatas, penulis berkesimpulan bahwa pelarangan untuk menuliskan hadits dari Rasul itu tidaklah bersifat haram, tetapi hanya antisipasi saja, dan Nabi memberikan izin untuk menuliskan sunnah-sunnah itu kepada sahabat-sahabat tertentu.




[1] Muhammad Sulaiman Abdullah al-Asyqar, al-Wadhih fi Ushul al-Fiqh, Yordania: Dar an-Nafais, 2005, hal. 94
[2] Ibid.
[3] Muhammad `Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Beirut: Dar al-Fikr, 1989, hal. 17
[4] Imam al-Hafidz Muhammad bin Ali bin Muhammad asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min `Ilm al-Ushul, Kairo: Dar as-Salam, cet. II, 2006, hal. 131,
[5] Abu Nur Zuhair, Ushul al-Fiqh, Kairo: al-Maktabah al-Azhariyyah li at-Turats, 2004, hal. 87
[6] QS. Ali Imran: 137
[7] Ibid.
[8] Nuruddin `Itr, Manhaj an-Naqd fi Ulum al-Hadits, Damaskus: Dar al-Fikr, 1979, hal. 28 
[9] Muhammad `Ajjaj al-Khatib, Op.,cit,
[10] Abu Ishaq asy-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari`ah, juz 4, Beirut: Dar Kutub al-`Ilmiyyah, 2003, hal. 3
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Ibid. 4
[15] Abdul wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Kairo: Dar al-Hadits, 2003, hal. 36
[16] Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islamy, Beirut: Dar al-Fikr, hal. 452
[17]Ibid.
[18] Ibid.
[19] Abdul Wahhab Khallaf, Op,.cit, hal. 36
[20] Wahbah Zuhaili, Op.,cit, hal. 454
[21]Abdul Wahhab Khallaf, Op.,cit, hal. 37
[22] Ibid.
[23] Wahbah Zuhaili, Op.,cit, hal. 461
[24] Ibid., hal. 462
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27] Ibid., hal. 463
[28] Ibid.
[29] Ibid.
[30] Muhammad `Ajjaj al-Khatib, Op.,cit, hal. 53.
[31] Ibid.
[32] Musthafa as-Siba`I, Sunnah wa makanatuha fi Tasyri` al-Islamy, Riyadh: Dar al-Warraq, tt, Hal. 74.
[33] Muhammad `Ajjaj al-Khatib, Op.,cit, hal. 147
[34] Ibid., hal. 148

Tidak ada komentar:

Posting Komentar