Sunnah merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah
al-Qur`an, seseorang tidak akan bisa memahami Islam ini dengan baik tanpa
merujuk pada kedua sumber ini (al-Qur`an dan Sunnah).
Banyak sekali kita melihat orang yang salah dalam
memahami sunnah, sehingga sering terjadi perselisihan dikalangan umat Islam,
bahkan sampai kepada saling mencela antar kelompok. Begitu juga dalam memahami
fungsi sunnah terhadap al-Qur`an, apakah sunnah bisa berfungsi sebagai yang
memunculkan hukum terhadap masalah-masalah yang tidak terdapat hukumnya di
dalam al-Qur`an atau tidak?.
Selain itu, juga ada perbedaan pendapat tentang
sejarah sunnah di masa Rasulullah, apakah sunnah sudah mulai ditulis oleh
sahabat dimasa itu atau belum?, disinilah awal dari munculnya nanti orang-orang
yang tidak mengakui sunnah yang dinamakan dengan inkar al-sunnah.
Dalam makalah ini, penulis akan membahas tentang
pengertian sunnah, pembagian sunnah, fungsi sunnah terhadap al-Qur`an dan
sejarah sunnah di masa Rasulullah, Saw.
B.
PEMBAHASAN
1.
PENGERTIAN SUNNAH
a.
Sunnah Secara Etimologi
Sunnah jika dilihat dari sisi etimologi memiliki
beberapa arti. Dr. Muhammad Sulaiman Abdullah Asyqar dalam bukunya yang
berjudul al-Wadhih fi Ushul al-Fiqh mengatakan bahwa sunnah secara
etimologi berarti: [1]الطريقة yang memiliki makna
“metode/cara”, oleh karena itu, maka dia mengatakan bahwa sunnah Nabi itu
adalah: طريقته التي
مهدها للمسلمين ليسيروا عليها في دينهم[2]. (cara/metode yang telah
ditentukan oleh Rasulullah untuk dijadikan pedoman oleh umat Islam dalam
menjalani agama mereka).
Sedikit berbeda dengan defenisi di atas, Muhammad
`Ajaj al-Khathib dalam bukunya Ushul al-Hadits memberikan defenisi
sunnah secara etimologi dengan: السيرة
حسنة كانت أو قبيحة[3] (perjalanan/kebiasaan baik atau
buruk). Dalam defenisi ini Muhammad `Ajaj al-Khatib menjelaskan bahwa sunnah
secara etimologi itu merupakan kebiasaan secara umum, apakah kebiasaan itu baik
atau buruk. Pendapat ini didasarkan kepada hadits Rasulullah Saw. yang terdapat
di dalam Shahih Muslim:
من
سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها بعده من غير أن ينقص من أجورهم
شيء ، ومن سن في الإسلام سنة سيئة كان عليها وزرها ووزر من عمل بها من بعده من غير
أن ينقص من أوزرهم شيء .
Artinya: “Barang siapa yang melakukan sebuah
kebiasaan baik dalam Islam, maka dia akan mendapatkan pahalanya, dan pahala
orang-orang yang melaksanakan setelahnya, tanpa mengurangi pahala mereka
sedikitpun, dan barang siapa yang melakukan sebuah kebiasaan buruk dalam Islam,
maka dia akan mendapat ganjarannya, dan ganjaran orang-orang yang melakukan
setelahnya tanpa mengurangi ganjaran mereka sedikitpun”.
Kalau
seandainya Muhammad `Ajjaj al-Khatib mengatakan bahwa sunnah itu berlaku untuk
kebiasaan yang baik dan yang buruk, hal ini berbeda dengan apa yang dipahami
oleh Abu Sulaiman al-Khaththaby. Dia mengatakan bahwa sunnah itu asalnya hanya
digunakan untuk yang “baik saja” jika muthlaq (tidak muqayyad),
namun terkadang juga digunakan untuk yang buruk, jika di qayyid dengan
kata-kata (السيئة) sayyi`ah atau qabihah (القبيحة)[4].
Muhammad
Abu Nur Zuhair dalam buku Ushul Fiqh-nya mengatakan bahwa sunnah secara
etimologi adalah: الطريقة
والعادة[5] yang berarti
“metode/cara dan kebiasaan”. Defenisi
Abu Nur Zuhair ini didasarkan pada Firman Allah dalam Surat Ali Imrah ayat 137:
Artinya: “Sungguh, telah berlalu sebelum kamu
sunnah-sunnah (umat sebelum kamu), karena itu berjalanlah kamu ke (segenap
penjuru) bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang mendustakan
(rasul-rasul)”.
Melihat tiga defenisi sunnah secara etimologi yang
dipaparkan oleh para ulama di atas, maka dapat kita pahami, bahwa walaupun
mereka memberikan dafenisi dengan redaksi yang berbeda-beda, namun dapat kita
tarik sebuah kesimpulan bahwa sunnah secara etimologi berarti “metode dan
kebiasaan”.
b.
Sunnah Secara Terminologi
Masing-masing ulama berbeda dalam mendefenisikan
sunnah secara terminologi, sesuai dengan bidangnya masing-masing. Defenisi yang
dipaparkan ulama hadits berbeda dengan defenisi yang dipaparkan oleh ulama
fiqh, begitu juga dengan defenisi yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqh, akan berbeda
dengan ulama fiqh dan ulama hadits. Dikarenakan dalam makalah ini penulis hanya
membahas tentang sunnah dipandang sebagai sumber hukum, maka penulis hanya akan
memaparkan defenisi sunnah menurut pakar ushul fiqh.
Dalam buku Manhaj an-Naqd fi Ulum al-Hadits,
Dr. Nuruddin `Itr mendefenisikan sunnah dengan:
“Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw. baik itu
berbentuk perkataan, perbuatan maupun ketetapan”.
Sedangkan Muhammad `Ajjaj al-Khatib mendefenisikan
sunnah dengan redaksi yang sedikit berbeda:
كل
ما صدر عن النبي صلى الله عليه وسلم غير القرآن الكريم من قول أو فعل أو تقرير مما
يصلح أن يكون دليلا لحكم شرعي.[9]
“Semua
yang bersumber dari Nabi Saw. selain al-Qur`an, baik itu perkataan, perbuatan
maupun ketetapan yang cocok untuk dijadikan sebagai dalil bagi hukum syara`”.
Dari defenisi diatas dapat kita lihat bahwa ternyata
sunnah menurut pakar ushul fiqh itu hanyalah perkataan, perbuatan dan ketetapan
Rasulullah yang bisa dijadikan sebagai sandaran hukum. Sedangkan selain itu
seperti sifat, kepribadian, dan bentuk tubuhnya bukanlah dianggap sunnah oleh
mereka.
Imam Asy-Syathibi dalam bukunya yang sangat populer al-Muwafaqat
fi Ushul asy-Syari`ah menyatakan bahwa kata-kata “sunnah” itu digunakan
untuk tiga hal:
a.
ما
جاء منقولا عن النبي صلى الله عليه وسلم على الخصوص ، مما لم ينص عليه في الكتاب
العزيز ، بل إنما نص عليه من جهته عليه الصلاة والسلام ، كان بيانا لما في الكتاب
أو لا[10]
“Semua
yang diriwayatkan dari Nabi Saw. dengan cara yang khusus, yang tidak dinashkan
dalam al-Qur`an, tetapi hanya dinashkan olehnya, sebagai penjelas bagi
ayat-ayat al-Qur`an atau tidak.
Kata-kata
sunnah juga digunakan sebagai lawan dari bid`ah, seperti bila dikatakan “فلان على السنة” apabila dia beramal sesuai
dengan apa yang diamalkan oleh Rasulullah, sama adakah amalan itu dinashkan
dalam al-Qur`an atau tidak. Bila dikataan “فلان على البدعة” apabila dia beramal menyalahi
amalan Rasulullah.[12]
Kata-kata
sunnah juga dipakaikan kepada apa yang diamalkan oleh para sahabat, sama adakah
amalan itu dijelaskan dalam al-Qur`an dan sunnah atau tidak. Hal ini sesuai
dengan apa yang dikatakan oleh Rasulullah dalam hadits beliau: عليكم
بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين (Berpegang teguhlah dengan sunnahku dan dengan sunnah
khulafaurrasyidin).[14]
2.
PEMBAGIAN SUNNAH
Sunnah jika dilihat dari segi jumlah rawy yang
meriwayatkannya dapat dibagi menjadi tiga bagian:
a)
Sunnah Mutawatirah
Sunnah mutawatirah adalah sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah oleh banyak rawy
yang tidak memungkinkan bagi mereka melakukan kesepakatan untuk berbohong,
karena jumlah mereka banyak, memiliki sifat amanah dan berbedanya profesi yang
mereka geluti. Syarat banyaknya rawy ini harus terpenuhi dalam setiap thabaqat
(tingkatan) sanad, semenjak dari Rasulullah sampai kepada kita.[15]
Contoh sunnah mutawatirah adalah pelaksanaan
sholat yang dilakukan oleh Rasulullah, tata cara pelaksanaan ibadah haji,
sedangkan dari sunnah qauliyah adalah hadits yang berbunyi: [16]من
كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار
Tentang hukum sunnah mutawatirah ini, seluruh
ulama sepakat bahwa sunnah ini qath`y ats-tsubut dari Rasulullah, orang
yang mengingkarinya dihukum sebagai kafir.[17]
Tentang batasan jumlah perawi sunnah mutawatirah
ini, banyak sekali pendapat ulama. Ada yang mengatakan batasannya harus lima orang
(sesuai dengan jumlah rasul ulul azmi). Ada juga yang mengatakan
batasannya tujuh orang (sesuai dengan jumlah ashabul kahfi). Ada juga
yang mengatakan batasannya sepuluh orang. Ada juga yang mengatakan harus 20
orang, 40 orang, 70 orang, 115 orang. Semua pendapat ini adalah pendapat yang dha`if
(lemah), karena tidak ada dalil pasti yang menjadikan rujukannya.[18]
b)
Sunnah Masyhurah
Sunnah masyhurah adalah sunnah yang diriwayatkan oleh satu orang sahabat dari
Rasulullah, atau dua orang sahabat, atau sejumlah orang sahabat yang jumlahnya
tidak sampai kepada batasan mutawatir, kemudian diriwayatkan dari rawi a`la
(sahabat) ini oleh sejumlah rawi yang jumlahnya mencapai jumlah mutawatir
disetiap thabaqat (tingkatan), semenjak dari tabi`in sampai
kepada kita.[19]
Contoh hadits masyhur adalah: إنما
الأعمال بالنيات
Hukum
sunnah masyhurah adalah qath`iyul wurud dari sahabat tetapi tidak
qath`y tsubut dari Rasulullah, orang yang mengingkarinya dihukum fasiq[20].
c)
Sunnah Ahad
Sunnah
ahad adalah sunnah yang diriwayatkan oleh satu orang sahabat dari Rasulullah
atau dua orang, atau sejumlah orang yang jumlahnya tidak mencapai jumlah
mutawatir, kemudian diriwayatkan dari rawi a`la (sahabat) oleh sejumlah
orang yang jumlahnya tidak sampai kepada jumlah mutawatir disetiap thabaqat
sampai kepada kita.[21]
Hukum
hadits ini adalah zhanniy al-wurud dari Rasulullah.[22]
3.
FUNGSI SUNNAH TERHADAP AL-QUR`AN
Sunnah jika dikaitkan dengan al-Qur`an, maka sunnah
memiliki beberapa fungsi terhadap al-Qur`an, yaitu:
a)
Sunnah berfungsi sebagai penguat hukum-hukum yang ada
di dalam al-Qur`an
Seperti hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik: اتقوا
الله في النساء واستوصوا بهن خيرا. Hadits berfungsi untuk menta`kid
(menguatkan) hukum yang ada dalam al-Qur`an, yaitu ayat yang berbunyi: وعاشروهن بالمعروف.[23]
b)
Sunnah berfungsi sebagai penjelas hukum-hukum yang ada
di dalam al-Qur`an
Fungsi hadits sebagai penjelas hukum-hukum yang
terdapat di dalam al-Qur`an ini terbagi menjadi tiga bagian:
1)
Sunnah menjelaskan hukum-hukum mujmal yang ada dalam al-Qur`an.
Seperti
hadits-hadits fi`ly tentang tata cara sholat Nabi menjelaskan ayat Allah
yang berbunyi: وأقيموا الصلاة[24] perintah sholat dalam ayat ini
masih mujmal, kita tidak akan tahu tentang tata cara pelaksanaan sholat
kalau hanya berpegang pada ayat ini, kemudian datang hadits-hadits yang
menjelaskan tentang tata cara sholat Nabi.
2)
Sunnah mentakhshish (mengkhususkan) hukum-hukum yang masih `am
(umum) dalam al-Qur`an.
Seperti
hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah: لا
تنكح المرأة على عمتها ولا على خالتها ولا على ابنة أخيها ولا على ابنة أختها. Hadits ini mentakhshihs ayat Allah yang
terletak setelah Allah menjelaskan wanita-wanita yang haram dinikahi, ayat itu berbunyi:
وأحل لكم ماوراء ذلكم. [25]
3) Sunnah mentaqyid (membatasi) hukum-hukum yang
masih mutlak dalam al-Qur`an.
Seperti hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah
memotong tangan orang yang mencuri itu di pergelangan tangannya, hadits ini mentaqyid
firman Allah yang berbunyi: والسارق والسارقة
فاقطعوا أيديهما.[26]
c)
Sunnah berfungsi untuk menasakh hukum-hukum
yang ada di dalam al-Qur`an.
Seperti hadits Rasulullah yang berbunyi: لا
وصية لوارث, hadits ini menasikh hukum yang terdapat didalam ayat: كتب
عليكم إذا حضر أحدكم الموت إن ترك خيرا الوصية للوالدين والأقربين بالمعروف حقا
على المتقين.[27]
Tentang masalah boleh tidaknya hadits menasikh
al-Qur`an menjadi perdebatan dikalangan ulama. Madzhab Syafi`I menyatakan bahwa
sunnah tidak bisa menasikh al-Qur`an, hal ini didasarkan pada firman Allah: ما
ننسخ من آية أو ننسها نأت بخير منها أو مثلها. Dalam Ayat ini Allah menyatakan
bahwa Allah akan menasikh al-Qur`an dengan yang lebih baik atau paling tidak
sama derajatnya dengan al-Qur`an, sedangkan sunnah tidaklah sama derajatnya
dengan al-Qur`an. Namun, pendapat ini dibantah oleh jumhur ulama, termasuk juga
Imam Baidhawy dan Asnawi yang bermadzhabkan Syafi`I, mereka menyatakan bahwa
sunnah boleh saja menasikh al-Qur`an, buktinya ada ayat al-Qur`an yang dinasikh
oleh sunnah, yaitu tentang masalah waris itu.[28]
d)
Sunnah berfungsi sebagai pentasyri` hukum-hukum
yang belum ada di dalam al-Qur`an.
Seperti hadits Rasulullah yang menyatakan bahwa
laki-laki diharamkan memakai emas dan sutera, hukum ini tidak ada di dalam
al-Qur`an, namun datang hadits yang menjelaskannya.[29]
4.
SEJARAH SUNNAH DI MASA RASULULLAH
Membicarakan sunnah pada masa Rasulullah berarti
membicarakan sunnah pada awal pertumbuhannya, maka dalam uraiannya akan terkait
langsung dengan metode Rasulullah dalam mengajarkan sunnah kepada para
sahabatnya.
Rasulullah melakukan pembinaan terhadap para
sahabatnya selama 23 tahun, masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu dan
diwurudkannya sunnah, keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan
kehatian-hatian para sahabat sebagai
pewaris pertama ajaran Islam. Untuk lebih memahami kondisi sunnah pada masa
Rasulullah, berikut ini penulis paparkan beberapa hal:
a.
Metode Rasulullah Menyampaikan Sunnah Kepada Sahabat
Rasulullah dan para sahabat hidup bersama tanpa
penghalang apapun, mereka selalu berkumpul untuk belajar kepada Rasul, dimana
saja tempatnya, di masjid, pasar, rumah, dalam perjalanan dan tempat-tempat
lainnya. Para sahabat selalu mengikuti apa yang dilakukan oleh Rasul, mereka
tidak pernah merasa bosan mengikutinya. Setiap apa yang mereka lihat dan dengar
dari Rasul itulah yang mereka riwayatkan kepada sahabat yang lain yang
kebetulan tidak hadir ketika Rasul melakukan ta`lim, dan juga mereka
sampaikan kepada para generasi tabi`in yang menjadi pelanjut tongkat
estafet perjuangan Islam setelah generasi sahabat.
Hal pertama yang dilakukan oleh Rasulullah ada
memberikan motivasi dan semangat kepada para sahabat tentang pentingnya
menuntut ilmu, dia menjelaskan pentingnya posisi ulama dikalangan masyarakat.[30]
Banyak sekali metode yang diterapkan Rasulullah dalam
menyampaikan sunnah kepada para sahabatnya, seperti melakukan pembelajaran
Islam secara bertahap, memilih Darul Arqam sebagai “madrasah” bagi para sahabat
dimasa awal-awal Islam, memberikan pelajaran kepada sahabat sesuai dengan
kondisi sahabat tersebut, mengadakan majlis yang khusus untuk perempuan untuk
mengajarkan hal-hal yang berkaitan dengan fiqh nisa`, dan banyak lagi
metode-metode yang digunakan oleh Rasul dalam menyampaikan sunnah, sehingga
para sahabat selalu tertarik dengan apa yang disampaikannya.[31]
b.
Semangat Para Sahabat Dalam “Berburu” Sunnah
Sahabat yang sudah tersentuh hatinya dengan Islam,
merasa sangat haus dengan ajaran-ajaran Islam, mereka sangat bersemangat dalam belajar
Islam langsung kepada sumbernya, yaitu Rasulullah. Mereka bagaikan orang yang
sangat kehausan, sehingga mau mencari “setetes air” kemana saja, walaupun harus
menempuh jarak yang sangat jauh.
Sebagaimana diceritakan dalam hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya tentang Uqbah bin Harits, ketika dia
mendengar dari seorang perempuan yang mengatakan kepadanya bahwa perempuan
itulah yang menyusuinya dan istrinya, maka bergegas dia menuju Madinah – ketika
itu dia berada di Makkah – untuk bertanya kepada Rasul tentang hukum orang yang
menikahi perempuan yang dia tidak mengetahui bahwa perempuan itu adalah
saudarinya sepersusuan, maka Rasulullah berkata kepada Uqbah bin Harits: كيف
و قد قيل؟ (“Terus bagaimana lagi, sekarang
sudah diceritakan kepadamu?), maka kemudian Uqbah langsung menceraikan istrinya
itu dan menikahkannya dengan sahabat yang lain.[32]
Inilah salah satu cerita dari sekian banyak
cerita-cerita yang menggambarkan kobaran semangat para sahabat dalam belajar
Islam kepada Rasulullah, dan sunnah-sunnah yang mereka dapatkan itu langsung
mereka sampaikan kepada sahabat yang lain, bahkan sahabat-sahabat yang tidak
sempat hadir dalam majlis Rasul, tidak segan-segan bertanya kepada sahabat yang
lain tentang apa yang diajarkan oleh Rasulullah.
c.
Penulisan Sunnah Dimasa Rasulullah
Terjadi
perbedaan pendapat dikalangan para ulama tentang penulisan sunnah dimasa
Rasulullah, ada yang mengatakan bahwa penulisan sunnah waktu itu mendapat
pelarangan dari Rasul, sehingga sunnah-sunnah yang sudah ditulis oleh para
sahabat diperintahkan oleh Rasul untuk menghapusnya, pelarangan dilakukan oleh
Rasul karena takut bercampurnya ayat-ayat al-Quran dengan hadits. Pendapat ini
didasarkan pada hadits yang diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri, Rasulullah
bersabda:
Artinya: “Jangan kalian tulis (sunnah) yang berasal
dariku, siapa saja yang menulis sesuatu yang berasal dariku seelain al-Qur`an,
maka hendaklah dia menghapusnya”.
Ada
juga ulama yang berpendapat bahwa penulisan sunnah dimasa Rasulullah itu sudah
ada, pendapat mereka ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan dari Abu
Hurairah, dia berkata:
ما
من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم أحد أكثر حديثا عنه مني إلا ما كان من عبد الله
بن عمرو فإنه كان يكتب ولا أكتب.[34]
Artinya: “Tidak ada seorangpun sahabat Nabi yang
lebih banyak dariku meriwayatkan hadits darinya, kecuali Abdullah bin Amru,
sesungguhnya dia menuliskan (hadits-hadits dari Nabi) sedangkan aku tidak
menuliskannya.”
Hadits ini memberikan gambaran kepada kita bahwa
ternyata masih ada sahabat yang menuliskan hadits dari Nabi, walaupun sudah ada
larangan darinya.
Melihat dua pendapat diatas, penulis berkesimpulan
bahwa pelarangan untuk menuliskan hadits dari Rasul itu tidaklah bersifat
haram, tetapi hanya antisipasi saja, dan Nabi memberikan izin untuk menuliskan
sunnah-sunnah itu kepada sahabat-sahabat tertentu.
[1] Muhammad Sulaiman
Abdullah al-Asyqar, al-Wadhih fi Ushul al-Fiqh, Yordania: Dar an-Nafais,
2005, hal. 94
[4] Imam al-Hafidz Muhammad
bin Ali bin Muhammad asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min
`Ilm al-Ushul, Kairo: Dar as-Salam, cet. II, 2006, hal. 131,
[10] Abu Ishaq asy-Syathibi, al-Muwafaqat
fi Ushul asy-Syari`ah, juz 4, Beirut: Dar Kutub al-`Ilmiyyah, 2003, hal. 3
[16] Wahbah Zuhaili, Ushul
al-Fiqh al-Islamy, Beirut: Dar al-Fikr, hal. 452
[17]Ibid.
[20] Wahbah Zuhaili, Op.,cit, hal. 454
[21]Abdul Wahhab Khallaf, Op.,cit, hal. 37
[32] Musthafa as-Siba`I, Sunnah
wa makanatuha fi Tasyri` al-Islamy, Riyadh: Dar al-Warraq, tt, Hal. 74.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar