Kamis, 18 Februari 2016

WARALABA (PEMBUKAAN CABANG USAHA/PENGGUNAAN HAK PATEN)

A.    PENDAHULUAN
Waralaba digambarkan sebagai perpaduan bisnis besar dan kecil yaitu perpaduan antara energi dan komitmen individu dengan sumberdaya dan kekuatan sebuah perusahaan besar. Waralaba adalah suatu pengaturan bisnis di mana sebuah perusahaan (franchisor)memberi hak kepada pihak independen (franchisee) untuk menjual produk atau jasa perusahaan trsebut dengan pengatiran yang ditetapkan oleh franchisor. Franchisee menggunakan nama, goodwill, produk dan jasa, prosedur pemasaran, keahlian, sistem prosedur operasional, dan fasilitas penunjan lain perusahaan franchisor. Sebagai imbalannya franchisee membayar initial fee dan royalti (biaya pelayanan managemen) pada perusahaan franchisor seperti yang diatur dalam perjanjian waralaba.[1]
Waralaba adalah sebuah bisnis gaya baru yang diperkenalkan pertama kali oleh Amerika. Ulama belum banyak membahas tentang masalah ini. Bahkan ulama klasik belum pernah membahas dan menemui masalah ini. Waralaba ini adalah masalah kontemporer, dalam makalah ini akan dibahas mengenai waralaba.

B.     WARALABA
1.    Pengertian Waralaba
Kata franchisee di Indonesia sama artinya dengan waralaba. Kata franchisee dari bahasa Prancis. Dalam kamus Prancis Indonesia dikatakan franchisee yaitu hak suatu kota, badan, orang (yang tidak dapat diletakkan olleh penguasa).[2] Yang tidak diletakkan penguasa berarti bebas atau lebih lengkapnya lagi bebas dari penghambaan (free from servitude).
Para pakar memberikan beberapa pengertian tentang waralaba, diantaranya:
a.    M. Jafar mengemukakan pengertian waralaba adalah pola hubungan kemitraan antara kelompok mitra dengan perusahaan mitra usaha yang memberikan hak lisensi, merek, saluran distribusi perusahaannya kepada mitra usaha sebagai penerima waralaba yang disertai dengan bantuan teknis bimbinngan manajemen.[3]
b.   Yoseph Mancuso mengemukakan pengertian waralaba adalah franchise merupakan suatu istilah yang menunjukkan hubungan antara dua pihak atau lebih guna mendistrubusikan barang atau jasa.[4]
c.    Douglas J. Quen mengatakan bahwa franchise ialah suatu metode perluasan, pemasaran dan bisnis, yaitu perluasan dan distribusi produk serta pelayanan dengan menbagi bersama standar pemasaran dan operasional.[5]
d.   Buku ensiklopedi manajemen mengungkapakan pengertian waralaba adalah hak istimewa atau hak khusus yang diberikan oleh pemerintah untuk mengoperasikan pelayanan kendaraan untuk umum, misalnya motor dan jalan di kota tertentu. Dan istilah inipun kadang-kadang digunakan untuk menunjukkan hak istimewa oleh organisasi swasta, misalnya pemberian wilayah eksklusif pada agen penjualan oleh suatu perusahaan swasta.[6]

Kamus besar ekonomi menjelaskan bahwa franchise adalah hak untuk memasarkan suatu produk;
a.    Hak istimewa yang diberikan pemerintah kepada suatu badan atau perseorangan untuk memproduksi, memasok atau menjual prosuk tertentu.
b.   Hak istimewa yang diberikan pemerintah kepada perseorangan atau suatu badan usaha untuk menjalankan usahanya di tempat tertentu.[7]

Menurut asosiasi franchise internasional adalah suatu hubungan berdasarkan kontrak antara franchisor dengan franchise. Pihak franchisor menawarkan dan berkewajiban memelihara kepentingan terus menerus pada usaha franchise dalam aspek-aspek pengetahuan dan pelatihan. Sebaliknya franchise memiliki hak untuk beroperasi di bawah merek atau nama dagang yang sama, menurut format dan prosedur yang ditetapkan oleh franchisor dengan modal dan sumberdaya franchise sendiri.[8]
Menurut asosiasi franchise Indonesia yang dimaksud dengan franchise adalah sistem pendistribusian barang atau jasa kepada pelanggan akhir, di mana pemilik merek (franchisor) memberikan hak kepada individu atau perusahaan untuk melaksanakan bisnis dengan merek, nama, sistem, prosedur dan cara-cara yang telah ditetapkan sebelumnya dalam jangka waktutertentu meliputi area tertentu.
Waralaba menurut pasal 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 tahun 1997 tentang waralaba adalah perikatan di mana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelaktual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan dan atau penjualan barang dan jasa.
Menurut pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2007 Tentang Waralab pengertian waralaba ialah hak khusus yang dimiliki pleh orang atau perseorangan atau bedan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan atau jasa yang telah terbukti atau dapat dimanfaatkan dan atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.
Menurut peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang peenyelengggaraan waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas badan usaha dalam rangka memasarkan barang dan atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan atau digunakan oleh pihak lain.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat diambil sebuah kesimpulan yang dimaksud dengan waralaba ialah hubungan antara dua pihak atau lebih, guna mendistribusikan barang atau jasa yang telah terbukti melalui franchise yang dibayar fee dan royalti kepada franchisor sesuai perjanjian. Dengan demikian, secara resmi franchise dapat menggunakan nama dan sistem perusahaan tersebut.

2.    Karakteristik Waralaba
Bab II pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 dan Bab 2 dan 3 Peraturan Menteri Perdagangan Repubik Indonesia Nomor 31/MDAG/PER?8/2008, disebutkan kritera dan ruang lingkup waralaba:
1.    Waralaba harus memiliki criteria sebagai berikut:
a.    Memiliki cirri khas usaha
b.    Terbukti sudah memberikan keuntungan
c.    Memiliki standar atas pelayanan dan barang dan atau jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis
d.   Mudah diajarkan dan diaplikasikan
e.    Adanya dukungan yang berkesinambungan, dan
f.     Hak Kekayaan Intelektual (KHI) yang telah terdaftar
2.    Waralaba terdiri dari pemberi waralaba dan penerima waralaba. Pemberi dan penerima waralaba ini bisa berasal dari dalam dan luar negeri.
Pemberi waralaba adalah orang peroranngan atau badan usaha yang memberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan waralaba yang dimilikinya kepada penerima waralaba. Penerima waralaba adalah orang perseorangan atau badan usaha yang diberikan hak oleh pemberi waralaba untuk memanfaatkan dan atau menggunakan waralaba yang dimiliki pemberi waralaba.

3.    Prosedur Kerja Waralaba
Adapaun yang dimaksud denngan prosedur kerja waralaba adalah tahap-tahap yang harus dilalui oleh calon penyewa lisensi. Tahap-tahap tersebut sebagai berikut:
a.    Calon penyewa lisensi sebaiknya terlebih dahulu mengadakan penelitian dan mempelajari brosur-brosur tentang lisensi waralaba yang akan disewa. Pasal 4 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 31/MDAG/PER/8/2008 menyatakan bahwa pemberi waralaba harus memberikan pospekrus penawaran waralaba kepada calon penerima waralaba paling singkat dua minggu sebelum penandatanganganan perjanjian waralaba.
b.   Apabila telah memahami secara mendalam, maka calon penerima lisensi membuat surat permohonan (proposal) atau formulir yang diedarkan oleh pemilik lisensi dan mengirim ke alamatnya.[9]
c.    Apabila data-data yang dikirimkan tersebut memenuhi syarat yang diinginkan oleh pemilik lisensi, maka calon dapat siterima menjadi mitra usaha.
d.   Selanjutnya pemilik lisensi atau wakilnya mengadakan survey ke lokasi yang diusulkan guna melihat apakah lokasi tersebut layak atau tidak. Artinya, jika lokasi itu layak, maka ada harpan besar untuk sukses.
e.    Setelah segala sesuatu memenuhi syarat, pemilik lisensi memberi tenggang waktu selama dua minggu kepada calon penyewa lisesi untuk merenungkan sampai calon meresa puas dan mantap untuk menjalin kerjasama dengan pemilik lisensi.
f.    Kemudian dilanjutkan dengan penanda tanganan perjanjian, menulis cek dan berjabat tangan. Dengan demikian resmilah calon penyewa sebagai penngusaha waralaba dan berhak mengunakan fasilitas yang terkandung dalam perjanjian yang disepakati dan berkewajiban membayar royalti selama kontrak berjalan. Hal ini dijelaskan dalam pasal 5 Peraturan Menteri Nomor 31/MDAG/PER/8/2008 : (1) waralaba diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara pemberi waralaba dan penerima waralaba dan mempunyai kedudukan hukum yang setera dan terhadap mereka berlaku hukum Indonesia. (2) perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan kepada calon penerima waralaba paling singkat dua minggu sebelum penandatanganan perjanjian.
g.   Pemilik lisensi akan memberikan bimbingan dan latihan menghasilkan produk, menajemen, prosuk dan tatacara pelaksanaan perusahaan tersebut. Bagi calon waralaba yang hanya menyewa nama dan menjalankan sendiri, maka pihak pemilik lisensi akan memberikan bimbingan, training teknis dan pengarahan pemasaran. Apabila calon waralaba hanya menyediakan modal dan tempat saja, maka pemilik lisensi akan memberikan bimbingan manajemen dan menyediakan tenaga kerja serta pelatihannya.
Pasal 8 Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2007 disebutkan bahwa pemberi waralaba wajib memberikan pembinaan dalam bentuk pelatihanm bimbingan operasional menajemen, pemasaran, pelatihan dan pengembangan kepada penerima waralaba secara berkesinambungan.
h.   Pemilik lisinsi akan mengamati perkembangan usaha tersbut tetapi tidak terlibat dalam usaha sehari-hari kerena yang mengelola adalah pihak penyewa lisensi.

4.    Hak Paten
Hak cipta suatu merek dan produk di dalam Islam dapat digolongkan kepada harta, karena diciptakan untuk kemaslahatan manusia dan dapat digunakan pada waktu tertentu. Hak cipta di dalam fiqh disebut dengan حقّ الإبتكار atau حقّ الإبداع.[10]
a.    Pengertian حقّ الإبتكار
Secara etimologi الإبتكار berarti ciptaan[11], penemuan, inovasi.[12] الإبتكار dalam fiqh adalah hak cipta atau kreasi yang dihasilkan seseorang untuk pertama kali. Di dalam dunia ilmu pendidikan الإبتكار disebut juga dengan hak cipta.[13]
Secara terminologi حقّ الإبتكار tidak dijumpai dalam literatur fiqh klasik pembahasannya yang sistematis tentanng حقّ الإبتكار, karenanya juga sulit diketahui defenisinya dari tokoh-tokoh fiqh klasik. Pembahasan حقّ الإبتكار banyak dijumpai dalam pembahasan ulama fiqh kontemporer. Dr. Fathi al-Duraini, guru besar fiqh di Universitas Damaskus, Syiria, menyatakan bahwa الإبتكار adalah gambaran pemikiran yang dihasilkan oleh seorang ilmuan melalui kemampuan berfikir dan analisisnya dan hasilnya merupakan penemuan atau kreasi pertama, yang belum dikemukakan ilmuan sebelumnya.[14]
Defenisi ini mengandung pengertian bahwa dari segi bentuk, hasil pemikiran ini tdak terletak kepada materi yang dapat berdiri yang dapat diraba dengan alat indera manusia, namun pemikiran itu baru berbentuk dan punya pengaruh apabila telah dituangkan ke dalam tulisan seperti buku atau media lainnya. Hasil pemikiran itu bukan ciplikan atau pengulangan dari pemikiran ilmuan sebelumnya, dan bukan pula berbentuk saduran. Akan tetapi الإبتكار ini bukanberarti bukan sesuatu yang baru sama sekali, tetapi juga berbentuk suatu penemuan sebagai perpanjangan dari teori ilmuan sebelumnya, termasuk di dalamnya terjemahan hasil pemikiran ilmuan yang dibantu alat teknologi sehingga melahirkan suatu produk. Dalam waralaba hasil penemuan hak cipta ini akan dijadikan produk yang diberi merek lalu didaftarkan pada kantor umum merek, maka lahirlah hak merek, inilah yang dijadikan objek dalam bisnis sistem waralaba.[15]

b.    Sifat الإبتكار dari segi fiqh
Ibtikar hanyalah sebagai gambaran pemikiran dan gambaran pemikiran ini akan berpengaruh luas apabila telah dipaparkan atau dituangkan dalam bentuk tulisan atau cetakan maupun dalam media-media lainnya. Buah pikiran ilmuan sebagai ibtikar sebenarnya sebuah gambaran pemikiran yang belum berwujud materi. Akan tetapi pabila pemikiran ini telah dituangkan dalam bentuk media apapun, maka buah pemikiran itu akan berpengaruh luas baik dari segi material maupun pemikiran. Oleh karena itu, menurut ulama fiqh, ibtikar apabila dilihat dari sisi materinya, lebih serupa dengan manfaat suatu benda atau materi, seperti buah-buahan dan susu hewan perahan, apabila telah dipetik dari pohonya atau perahan dari hewan itu, karena pemikiran seseorang setelah dipisahkan dari pemikirnya dan dipaparkan pada suatu media, seminar atau simposiaum dan sebagainya, maka menjadi bersifat materi.[16]
Ulama fiqh lain membedakan antara hasil pemikiran seseorang dengan hasil atau manfaat suatu benda dari dua sisi : Pertama, dari sisi jenisnya, manfaat suatu benda, baik bergerak atau tidak bergerak, seperti manfaat rumah, lahan, buah-han, kendaraan dan hewan, berasal dari sumber yang bersifat material, yaitu rumah, lahan, [pepohonan, kendaraan itu senidiri dan hewan. Sedangkan sumber dari pemikiran sebagai suatu ciptaan atau kreasi seseorang bersumber dari akal seseorang manusia yang hidup dan mengerahkan kemampuan berpikirnya. Oleh sebab itu, dalam ibtiikar, sumber materinya tidak kelihatan. Kedua, dari segi pengaruhnya, manfaat dari bendabenda material merupakan tujuan utama dari suatu benda dan manfaat inilah yang dijadikan tolok ukur dari suatu benda. Akan tetapi, pengaruh dari sauatu pemikiran lebih besar dibanding manfaat suatu benda, karena pemikiran yang dituangkan dalam sebuah buku atau media lain akan membawa pengaruh besar terhadap kehidupan manusia dan menunjukkan jalan bagi manusia untuk menggali sumber daya alam untuk menunjang kehidupan manusia itu.[17]
Ibtikar atau hak cipta merupakan sesuatu hal yang baru dalam kajian hukum Islam, seiring dengan kemajuan dunia keilmuan, dunia usaha (dagang), dan kehidupan sosial budaya masyarakat. Ibtikar secara maknawi sebagai kepemilikan khusus, dan merupakan hasil karya intelektual manusia yang sudah selayaknya ada penghargaan khusus dari masyarakat umum baik dari segi moral maupun finansial.[18]

c.    Dasar hukum حقّ الإبتكار
Para ulama sepakat menyatakan bahwa landasan hak cipta atau kreasi dalam fiqh Islam adalah ‘urf (suatu kebiasaan yang berlaku umum dalam suatu masyarakat) dan maslahah mursalah (suatu kemaslahatan yang tidak didukung oleh ayat dan hadis, tetapi tidak juga ditolak). ‘Urf dan maslahah mursalah dapat dijadikan dasar dalam menetapkan hukum dan hukum-hukum yang ditetapkan itu merupakan persoalan-persoalan duniawaiyah. Menurut para ulama fiqh, sejak dikenalnya dunia cetak-mencetak, umat manusia telah melakukan suatu komoditi baru, yaitu memaparkan hasil pemikiran mereka dalam sebuah media serta memperjual bellikannya pada masyarakat luas. Di samping itu hasil pemikiran, ciptaan atau hasil kreasi seseorang mempunyai pengaruh besar dalam mendukung kemaslahatan umat manusia sejalan dengan tujuan syari’at. Oleh karena itu, keberadaan الإبتكار sebagai salah satu materi yang bernilai harta tidak diragukan lagi.[19]
Ibtikar bila dikaitkan dengan pengertian harta dalam hukum Islam, menjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama ahli fiqh. Menurut Ulama Hanafiyah, yang dinamakan harta adalah segala sesuatu yang mungkin disimpan dan bisa dimanfaatkan secara wajar. Pengertian ini membawa akibat bahwa sesuatu itu dapat dipandang harta, jika memenuhi dua unsur, yaitu (1) dapat disimpan, maka sesuatu yang tidak bisa disimpan tidak dipandang sebagai harta. (2) dapat dimanfaatkan secara biasa. Konsekwensi logis dari pendapat Ulama hanafiyah adalah yang dinamakan harta harus bersifat benda atau sesuatu yang bersifat materi atau yang bisa diindra (kasat mata). Sedangkan manfaat atau hak bukan dipandang sebagai harta, tetapi merupakan kepemilikan.[20]

5.    Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sistem Waralaba
Franchisor memberi izin kepada Franchisee untuk menggunakan merek, nama, sistem, prosedur dan umpamanya yang dimiliki/ditemukan Franchisor dengan syarat Franchisee bersedia membayar sejumlah royalty secara periodik dan terikat oleh seluruh sistem bisnis yang dibangun Franchisor. Garansi lisensi kontraktual oleh satu orang (Franchisor) ke pihak lain (Franchisee) untuk:
a.    Mengizinkan atau meminta Franchisee menjalankan usaha dalam periode tertentu pada bisnis yang menggunakan merek yang dimiliki oleh Franchisor.
b.    Mengharuskan Franchisor untuk melatih kontrol secara kontinyu selama periode perjanjian.
c.    Mengharuskan Franchisor untuk menyediakan asistensi terhadap Franchisee pada subjek bisnis yang dijalankan di dalam hubungan terhadap organisasi usaha Franchisee seperti training terhadap staf, merchandising, manajemen atau yang lainnya.
d.   Meminta kepada Franchisee secara periodik selama masa kerjasama waralaba untuk membayarkan sejumlah fee Franchisee atau royalty untuk produk atau service yang disediakan oleh Franchisor kepada Franchisee.[21]

Dari uraian di atas, bisa difahami bahwa Franchise adalah sebuah akad, yaitu akad antara Franchisor dengan Franchisee. Akad ini bersifat financial yang menuntut adanya pertukaran imbalan karena Franchisor meminta fee/royalti secara rutin dan berkala kepada Franchisee dengan imbalan penggunaan merek dagang tertentu, kontrol, dan asistensi.
Dengan fakta Franchise seperti ini maka akad Franchise dalam Fiqh Islam kategori akad Syirkah bukan jual beli atau perkontrakan. Syirkah adalah akad kerjasama antara dua pihak yang bersepakat untuk melakukan aktifitas finansial dengan target memperoleh laba yang dibagi berdasarkan kesepakatan. Definisi ini sesuai dengan fakta Franchise karena Franchise adalah akad kerjasama antara Franchisor dengan Franchisee untuk memperdagangkan produk bisnis tertentu dengan merek dan nama yang ditemukan/dibangun Franchisor kemudian keuntungan bisnis tersebut dibagi antara Franchisor dengan Franchisee dengan nisbah/persentase tertentu.
Aktivitas finansial yang dilakukan Franchisor adalah pemberian izin menggunakan merek dagang, kontrol, dan asistensi sementara aktivitas finansial Franchisee adalah penyediaan modal dan menjalankan bisnis secara langsung. Melihat bahwa Franchise adalah bisnis yang menggabungkan antara modal dan tenaga dari pihak Franchisee dengan tenaga dari pihak Franchisor, maka sistem bisnis ini termasuk Syirkah Mudharbah[22]. Namun, ketika yang dimanfaatkan dalam kerjasama tersebut bukan hanya tenaga Franchisor tetapi juga kredibilitas bisnis yang dimiliki Franchisor (yakni kepercayaan publik terhadap merek dagang tertentu), maka Syirkah ini lebih tepat dimasukkan dalam Syirkah Wujuh[23] yang merupakan variasi dari Syirkah Mudharbah karena memanfaatkan aspek Wajahah (kredibilitas) salah satu pihak yang berbisnis untuk membangun relasi dengan konsumen/rekan bisnis yang lain.[24]
Pada umumnya franchisee perlu membayar initial fee yang sifatnya sekali bayar, atau kadang sekali untuk satu priode tertentu, misalnya untuk lima tahun. Di atas itu biasanya franchisee membayar royalti atau membayar sebagian dari hasil penjualan. Kadang franchisee membayar dan perlu membeli bahan pokok atau peralatan (capital goods) dari franchisor.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh calon franchisee seperti:
a.    Bagaimana kekuatan brand name-nya
b.    Berapa franchisee yang dimiliki franchisor yang yang hanya memiliki tiga atau empat franchisee tentunya tidak memiliki jaringan yang memadai untuk membentuk kekuatan sendiri
c.    Berapa harga yang dibyarkan kepada franchisor khususnya bila ada ketergantungan bahan baku /suplai dari franchisor, apakah harga yang ditwarkan wajar
d.   Apakah franchisor tersebut benar-benar memiliki hak resmi untuk menjual franchise kepada calon franchisee. Dalam system master franchise, hal ini layak mendapat perhatian besar karena kadang-kadang yang menamakan dirinya franchisor ternyata tidak memiliki hak untuk menjual franchise
e.    Sesuai dengan prinsip syari’ah sehingga perlu selektivitas dan filter maslahat serta diutamakan yang memiliki dampak kepada pengembangan sosial ekonomi umat Islam baik dalam maupun luar negeri, contoh Iran yang tengah mengembangkan jaringan bisnis minuman zam zam cola sebagai pesaing coca cola milik Amerika yang tengah diboikot oleh banyak negara Islam karena sentimen terhadap penindasan rakyat Palestina.[25]

Saat ini hampir semua cabang usaha menengah kecil masuk ke franchise, mulai dari usaha jasa kurir, cleaning service, usaha printing, edukasi, IT training, financial service dan retail. Dengan demikian berdasarkan prinsip syari’ah maka hukum franchise sangat tergantung pada usaha bisnis yang sistem kerjanya hendaklah ada unsure kebaikan dan taqwa kepada Allah SWT.
Atas dasar ini, maka system bisnis Franchise hukumnya mubah karena tidak terlepas dari akad Syirkah atau akad samsarah. Jika sistem yang diambil adalah Product And Trade Franchise, berarti yang dipakai adalah akad samsarah karena Franchisee hanya menyalurkan/menjualkan barang sementara jika sistem yang diambil adalah Business Format Franchisee, berarti yang dipakai adalah akad Syirkah, karena Franchisee bukan hanya menjualkan barang tetapi juga memodali sendiri produksi barang tersebut dengan standar-standar produksi dan prosedur yang ditetapkan Franchisor kemudian menjualnya. Keduanya mubah karena akad Syirkah dan Samsarah dimubahkan Islam.[26]

KEPUSTAKAAN
Satjipto Rahardjo, Permasalahan Hukum di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1979)
Winarsih Arifin dan Farida Soemargono, Kamus Prancis Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004)
M. Jafar Hapsah, Kemitraan Usaha, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999)
Yoseph Mancuso, Pedoman Membali Dan Mnejual Franchise, Alih Bahasa Sudarsono, Judul Asli How Buy And Manage, (Jakarta: Delaprasata, 1995)
Steven Fox, membeli dan Menjual Bisnis Franchise, Judul Asli: Key to Buyying and Salling Franchise Biisnis, Alih Bahasa Susanto Budidarmo (Jakarta: PT. Elek Media Komputindo, 1986)
Komaruddin, Ensiklopedi Mnajemen, (Jakarta: Bumi Angkasa, 1994)
Sigit Winarno dan Sujana Ismaya, Kamus Besar Ekonomi, (Bandung: CV. Pustaka Grafika, 2003)
Deden Setiawan, Franchhise Guide Series-Ritle, (Dian Rakyat, 2007)
Wahbah al-Zuhaily, al-Mu’amalah al-Maaliyah all-Muaashirah Buhus wa Fatwa wa Hulul, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2002)
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesai, (Jakarta: Mahmud Yunus Wadzuryah, 1989)
Atabik Ali, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, (Yogyakarta: multi Karya Grafika, tt)
Nasroen Haroen, Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama)
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008)
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Juz IV, (Beirut : Dar al-Fikr,1997)
Yusnani, Jurnal Akuntansi & Manajemen Vol 7 No.2 Desember 2012 ISSN 1858-3687




[1] Satjipto Rahardjo, Permasalahan Hukum di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1979), h. 13
[2] Winarsih Arifin dan Farida Soemargono, Kamus Prancis Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 461
[3] M. Jafar Hapsah, Kemitraan Usaha, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), h. 77
[4] Yoseph Mancuso, Pedoman Membali Dan Mnejual Franchise, Alih Bahasa Sudarsono, Judul Asli How Buy And Manage, (Jakarta: Delaprasata, 1995), h. 14
[5] Steven Fox, membeli dan Menjual Bisnis Franchise, Judul Asli: Key to Buyying and Salling Franchise Biisnis, Alih Bahasa Susanto Budidarmo (Jakarta: PT. Elek Media Komputindo, 1986), h. 13
[6] Komaruddin, Ensiklopedi Mnajemen, (Jakarta: Bumi Angkasa, 1994), h. 323
[7] Sigit Winarno dan Sujana Ismaya, Kamus Besar Ekonomi, (Bandung: CV. Pustaka Grafika, 2003), h. 214
[8] Deden Setiawan, Franchhise Guide Series-Ritle, (Dian Rakyat, 2007), h. 2
[9] Yoseph Mancuso, Op.cit.
[10] Wahbah al-Zuhaily, al-Mu’amalah al-Maaliyah all-Muaashirah Buhus wa Fatwa wa Hulul, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2002), h. 589
[11] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesai, (Jakarta: Mahmud Yunus Wadzuryah, 1989), h. 31
[12] Atabik Ali, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, (Yogyakarta: multi Karya Grafika, tt), h. 7
[13] Nasroen Haroen, Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama), h. 38-39
[14] Ibid, h. 39
[15] Ibid
[16] Ibid
[17] Ibid, h. 39-40
[18] Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 296
[19] Op,cit, h. 41
[20] Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Juz IV, (Beirut : Dar al-Fikr,1997), h. 2875-2877
[21] Yusnani, Jurnal Akuntansi & Manajemen Vol 7 No.2 Desember 2012 ISSN 1858-3687, h. 117
[22] Mudharabah adalah akad kerja sama antara dua pihak, di mana pihak pertama menyediakan seluruh modal dan pihak lain menjadi pengelola. Keuntungan dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Apabila rugi maka akan ditanggung pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat dari kelalaian si pengelola. Apabila kerugian diakibatkan kelalaian pengelola, maka si pengelolalah yang bertanggung jawab
[23] Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan nama baik serta ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang secara kredit (hutang) dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai, lalu keuntungan yang didapat dibagi bersama atas dasar kesepakatan di antara mereka.
[24] Yusnani, Op.Cit, h. 117-118
[25] Ibid. h. 119
[26] Ibid. h. 119

Tidak ada komentar:

Posting Komentar