Waralaba digambarkan sebagai perpaduan bisnis besar dan kecil yaitu
perpaduan antara energi dan komitmen individu dengan sumberdaya dan kekuatan
sebuah perusahaan besar. Waralaba adalah suatu pengaturan bisnis di mana sebuah
perusahaan (franchisor)memberi hak
kepada pihak independen (franchisee)
untuk menjual produk atau jasa perusahaan trsebut dengan pengatiran yang
ditetapkan oleh franchisor. Franchisee menggunakan nama, goodwill, produk dan jasa, prosedur
pemasaran, keahlian, sistem prosedur operasional, dan fasilitas penunjan lain
perusahaan franchisor. Sebagai
imbalannya franchisee membayar
initial fee dan royalti (biaya pelayanan managemen) pada perusahaan franchisor seperti yang diatur dalam
perjanjian waralaba.[1]
Waralaba adalah sebuah bisnis gaya baru yang diperkenalkan pertama kali
oleh Amerika. Ulama belum banyak membahas tentang masalah ini. Bahkan ulama
klasik belum pernah membahas dan menemui masalah ini. Waralaba ini adalah masalah
kontemporer, dalam makalah ini akan dibahas mengenai waralaba.
B. WARALABA
1.
Pengertian
Waralaba
Kata franchisee di Indonesia sama artinya dengan waralaba. Kata franchisee
dari bahasa Prancis. Dalam kamus Prancis Indonesia dikatakan franchisee
yaitu hak suatu kota, badan, orang (yang tidak dapat diletakkan olleh
penguasa).[2]
Yang tidak diletakkan penguasa berarti bebas atau lebih lengkapnya lagi bebas
dari penghambaan (free from servitude).
Para pakar memberikan beberapa pengertian tentang waralaba, diantaranya:
a.
M. Jafar mengemukakan
pengertian waralaba adalah pola hubungan kemitraan antara kelompok mitra dengan
perusahaan mitra usaha yang memberikan hak lisensi, merek, saluran distribusi
perusahaannya kepada mitra usaha sebagai penerima waralaba yang disertai dengan
bantuan teknis bimbinngan manajemen.[3]
b.
Yoseph Mancuso mengemukakan
pengertian waralaba adalah franchise merupakan suatu istilah yang
menunjukkan hubungan antara dua pihak atau lebih guna mendistrubusikan barang
atau jasa.[4]
c.
Douglas J. Quen mengatakan
bahwa franchise ialah suatu metode perluasan, pemasaran dan bisnis,
yaitu perluasan dan distribusi produk serta pelayanan dengan menbagi bersama
standar pemasaran dan operasional.[5]
d.
Buku ensiklopedi manajemen
mengungkapakan pengertian waralaba adalah hak istimewa atau hak khusus yang
diberikan oleh pemerintah untuk mengoperasikan pelayanan kendaraan untuk umum,
misalnya motor dan jalan di kota tertentu. Dan istilah inipun kadang-kadang digunakan
untuk menunjukkan hak istimewa oleh organisasi swasta, misalnya pemberian
wilayah eksklusif pada agen penjualan oleh suatu perusahaan swasta.[6]
Kamus besar ekonomi menjelaskan bahwa franchise adalah hak untuk
memasarkan suatu produk;
a.
Hak istimewa yang diberikan
pemerintah kepada suatu badan atau perseorangan untuk memproduksi, memasok atau
menjual prosuk tertentu.
b.
Hak istimewa yang diberikan
pemerintah kepada perseorangan atau suatu badan usaha untuk menjalankan
usahanya di tempat tertentu.[7]
Menurut asosiasi franchise internasional adalah suatu hubungan
berdasarkan kontrak antara franchisor dengan franchise. Pihak franchisor
menawarkan dan berkewajiban memelihara kepentingan terus menerus pada usaha franchise
dalam aspek-aspek pengetahuan dan pelatihan. Sebaliknya franchise
memiliki hak untuk beroperasi di bawah merek atau nama dagang yang sama,
menurut format dan prosedur yang ditetapkan oleh franchisor dengan modal
dan sumberdaya franchise sendiri.[8]
Menurut asosiasi franchise Indonesia yang dimaksud dengan franchise
adalah sistem pendistribusian barang atau jasa kepada pelanggan akhir, di mana
pemilik merek (franchisor) memberikan hak kepada individu atau
perusahaan untuk melaksanakan bisnis dengan merek, nama, sistem, prosedur dan
cara-cara yang telah ditetapkan sebelumnya dalam jangka waktutertentu meliputi
area tertentu.
Waralaba menurut pasal 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16
tahun 1997 tentang waralaba adalah perikatan di mana salah
satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas
kekayaan intelaktual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak
lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan dan atau penjualan barang dan
jasa.
Menurut pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2007 Tentang Waralab pengertian
waralaba ialah hak khusus yang dimiliki pleh orang atau perseorangan atau bedan
usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan
barang dan atau jasa yang telah terbukti atau dapat dimanfaatkan dan atau
digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.
Menurut peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor
31/M-DAG/PER/8/2008 tentang peenyelengggaraan waralaba adalah hak khusus yang
dimiliki oleh perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri
khas badan usaha dalam rangka memasarkan barang dan atau jasa yang telah
terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan atau digunakan oleh pihak lain.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat diambil sebuah kesimpulan
yang dimaksud dengan waralaba ialah hubungan antara dua pihak atau lebih, guna
mendistribusikan barang atau jasa yang telah terbukti melalui franchise
yang dibayar fee dan royalti kepada franchisor sesuai perjanjian.
Dengan demikian, secara resmi franchise dapat menggunakan nama dan
sistem perusahaan tersebut.
2.
Karakteristik
Waralaba
Bab II pasal 3 Peraturan
Pemerintah No. 42 Tahun 2007 dan Bab 2 dan 3 Peraturan Menteri Perdagangan
Repubik Indonesia Nomor 31/MDAG/PER?8/2008, disebutkan kritera dan ruang
lingkup waralaba:
1.
Waralaba harus memiliki criteria sebagai berikut:
a.
Memiliki cirri khas usaha
b.
Terbukti sudah memberikan keuntungan
c.
Memiliki standar atas pelayanan dan barang dan atau jasa yang ditawarkan
yang dibuat secara tertulis
d.
Mudah diajarkan dan diaplikasikan
e.
Adanya dukungan yang berkesinambungan, dan
f.
Hak Kekayaan Intelektual (KHI) yang telah terdaftar
2.
Waralaba terdiri dari pemberi waralaba dan penerima waralaba. Pemberi dan
penerima waralaba ini bisa berasal dari dalam dan luar negeri.
Pemberi waralaba adalah orang peroranngan atau badan usaha yang
memberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan waralaba yang
dimilikinya kepada penerima waralaba. Penerima waralaba adalah orang
perseorangan atau badan usaha yang diberikan hak oleh pemberi waralaba untuk
memanfaatkan dan atau menggunakan waralaba yang dimiliki pemberi waralaba.
3.
Prosedur Kerja
Waralaba
Adapaun yang dimaksud denngan prosedur kerja waralaba adalah tahap-tahap
yang harus dilalui oleh calon penyewa lisensi. Tahap-tahap tersebut sebagai
berikut:
a.
Calon penyewa lisensi sebaiknya
terlebih dahulu mengadakan penelitian dan mempelajari brosur-brosur tentang
lisensi waralaba yang akan disewa. Pasal 4 Peraturan Menteri Perdagangan
Republik Indonesia Nomor 31/MDAG/PER/8/2008 menyatakan bahwa pemberi waralaba
harus memberikan pospekrus penawaran waralaba kepada calon penerima waralaba
paling singkat dua minggu sebelum penandatanganganan perjanjian waralaba.
b.
Apabila telah memahami secara
mendalam, maka calon penerima lisensi membuat surat permohonan (proposal) atau
formulir yang diedarkan oleh pemilik lisensi dan mengirim ke alamatnya.[9]
c.
Apabila data-data yang
dikirimkan tersebut memenuhi syarat yang diinginkan oleh pemilik lisensi, maka
calon dapat siterima menjadi mitra usaha.
d.
Selanjutnya pemilik lisensi
atau wakilnya mengadakan survey ke lokasi yang diusulkan guna melihat apakah
lokasi tersebut layak atau tidak. Artinya, jika lokasi itu layak, maka ada
harpan besar untuk sukses.
e.
Setelah segala sesuatu memenuhi
syarat, pemilik lisensi memberi tenggang waktu selama dua minggu kepada calon
penyewa lisesi untuk merenungkan sampai calon meresa puas dan mantap untuk
menjalin kerjasama dengan pemilik lisensi.
f.
Kemudian dilanjutkan dengan penanda
tanganan perjanjian, menulis cek dan berjabat tangan. Dengan demikian resmilah
calon penyewa sebagai penngusaha waralaba dan berhak mengunakan fasilitas yang
terkandung dalam perjanjian yang disepakati dan berkewajiban membayar royalti
selama kontrak berjalan. Hal ini dijelaskan dalam pasal 5 Peraturan Menteri
Nomor 31/MDAG/PER/8/2008 : (1) waralaba diselenggarakan berdasarkan perjanjian
tertulis antara pemberi waralaba dan penerima waralaba dan mempunyai kedudukan
hukum yang setera dan terhadap mereka berlaku hukum Indonesia. (2) perjanjian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan kepada calon penerima
waralaba paling singkat dua minggu sebelum penandatanganan perjanjian.
g.
Pemilik lisensi akan memberikan
bimbingan dan latihan menghasilkan produk, menajemen, prosuk dan tatacara
pelaksanaan perusahaan tersebut. Bagi calon waralaba yang hanya menyewa nama
dan menjalankan sendiri, maka pihak pemilik lisensi akan memberikan bimbingan,
training teknis dan pengarahan pemasaran. Apabila calon waralaba hanya
menyediakan modal dan tempat saja, maka pemilik lisensi akan memberikan
bimbingan manajemen dan menyediakan tenaga kerja serta pelatihannya.
Pasal 8 Peraturan Pemerintah
No. 42 tahun 2007 disebutkan bahwa pemberi waralaba wajib memberikan pembinaan
dalam bentuk pelatihanm bimbingan operasional menajemen, pemasaran, pelatihan
dan pengembangan kepada penerima waralaba secara berkesinambungan.
h.
Pemilik lisinsi akan mengamati
perkembangan usaha tersbut tetapi tidak terlibat dalam usaha sehari-hari kerena
yang mengelola adalah pihak penyewa lisensi.
4.
Hak
Paten
Hak cipta suatu merek dan produk di dalam Islam dapat digolongkan kepada
harta, karena diciptakan untuk kemaslahatan manusia dan dapat digunakan pada
waktu tertentu. Hak cipta di dalam fiqh disebut dengan حقّ الإبتكار atau حقّ الإبداع.[10]
a. Pengertian حقّ الإبتكار
Secara
etimologi الإبتكار berarti ciptaan[11],
penemuan, inovasi.[12]
الإبتكار dalam fiqh adalah hak cipta atau kreasi yang dihasilkan
seseorang untuk pertama kali. Di dalam dunia ilmu pendidikan الإبتكار disebut juga dengan hak cipta.[13]
Secara
terminologi حقّ الإبتكار tidak dijumpai dalam
literatur fiqh klasik pembahasannya yang sistematis tentanng حقّ الإبتكار, karenanya juga sulit diketahui defenisinya dari tokoh-tokoh
fiqh klasik. Pembahasan حقّ الإبتكار banyak dijumpai dalam
pembahasan ulama fiqh kontemporer. Dr. Fathi al-Duraini, guru besar fiqh di
Universitas Damaskus, Syiria, menyatakan bahwa الإبتكار
adalah gambaran pemikiran yang dihasilkan oleh seorang ilmuan melalui kemampuan
berfikir dan analisisnya dan hasilnya merupakan penemuan atau kreasi pertama,
yang belum dikemukakan ilmuan sebelumnya.[14]
Defenisi
ini mengandung pengertian bahwa dari segi bentuk, hasil pemikiran ini tdak
terletak kepada materi yang dapat berdiri yang dapat diraba dengan alat indera
manusia, namun pemikiran itu baru berbentuk dan punya pengaruh apabila telah
dituangkan ke dalam tulisan seperti buku atau media lainnya. Hasil pemikiran
itu bukan ciplikan atau pengulangan dari pemikiran ilmuan sebelumnya, dan bukan
pula berbentuk saduran. Akan tetapi الإبتكار ini bukanberarti bukan sesuatu yang baru sama sekali, tetapi
juga berbentuk suatu penemuan sebagai perpanjangan dari teori ilmuan
sebelumnya, termasuk di dalamnya terjemahan hasil pemikiran ilmuan yang dibantu
alat teknologi sehingga melahirkan suatu produk. Dalam waralaba hasil penemuan hak
cipta ini akan dijadikan produk yang diberi merek lalu didaftarkan pada kantor
umum merek, maka lahirlah hak merek, inilah yang dijadikan objek dalam bisnis
sistem waralaba.[15]
b. Sifat الإبتكار
dari segi fiqh
Ibtikar hanyalah sebagai gambaran pemikiran dan gambaran
pemikiran ini akan berpengaruh luas apabila telah dipaparkan atau dituangkan
dalam bentuk tulisan atau cetakan maupun dalam media-media lainnya. Buah
pikiran ilmuan sebagai ibtikar sebenarnya sebuah gambaran pemikiran yang belum
berwujud materi. Akan tetapi pabila pemikiran ini telah dituangkan dalam bentuk media apapun, maka buah pemikiran itu akan berpengaruh luas baik dari segi material maupun pemikiran. Oleh karena itu, menurut ulama fiqh, ibtikar apabila dilihat dari
sisi materinya, lebih serupa dengan manfaat
suatu benda atau materi, seperti buah-buahan
dan susu hewan perahan, apabila
telah dipetik dari pohonya atau perahan
dari hewan itu, karena pemikiran seseorang
setelah dipisahkan dari pemikirnya
dan dipaparkan pada suatu media,
seminar atau simposiaum dan sebagainya,
maka menjadi bersifat materi.[16]
Ulama fiqh lain
membedakan antara hasil pemikiran seseorang dengan hasil atau manfaat suatu
benda dari dua sisi : Pertama, dari sisi jenisnya, manfaat suatu benda,
baik bergerak atau tidak bergerak, seperti manfaat rumah, lahan, buah-han,
kendaraan dan hewan, berasal dari sumber yang bersifat material, yaitu rumah,
lahan, [pepohonan, kendaraan itu senidiri dan hewan. Sedangkan sumber dari pemikiran sebagai suatu ciptaan atau kreasi seseorang bersumber dari akal seseorang manusia yang hidup dan mengerahkan kemampuan berpikirnya. Oleh
sebab itu, dalam ibtiikar, sumber materinya tidak kelihatan. Kedua, dari
segi pengaruhnya, manfaat dari bendabenda material merupakan tujuan utama dari
suatu benda dan manfaat inilah yang dijadikan tolok ukur dari suatu benda. Akan
tetapi, pengaruh dari sauatu pemikiran lebih besar dibanding manfaat suatu
benda, karena pemikiran yang dituangkan dalam sebuah buku atau media lain akan
membawa pengaruh besar terhadap kehidupan manusia dan menunjukkan jalan bagi
manusia untuk menggali sumber daya alam untuk menunjang kehidupan manusia itu.[17]
Ibtikar atau hak cipta
merupakan sesuatu hal yang baru dalam kajian hukum Islam, seiring dengan
kemajuan dunia keilmuan, dunia usaha (dagang), dan kehidupan sosial budaya
masyarakat. Ibtikar secara maknawi sebagai kepemilikan khusus, dan merupakan
hasil karya intelektual manusia yang sudah selayaknya ada penghargaan khusus
dari masyarakat umum baik dari segi moral maupun finansial.[18]
c. Dasar hukum حقّ الإبتكار
Para
ulama sepakat menyatakan bahwa landasan hak cipta atau kreasi dalam fiqh Islam
adalah ‘urf (suatu kebiasaan yang berlaku umum dalam suatu masyarakat)
dan maslahah mursalah (suatu kemaslahatan yang tidak didukung oleh ayat
dan hadis, tetapi tidak juga ditolak). ‘Urf dan maslahah mursalah
dapat dijadikan dasar dalam menetapkan hukum dan hukum-hukum yang ditetapkan
itu merupakan persoalan-persoalan duniawaiyah. Menurut para ulama fiqh, sejak
dikenalnya dunia cetak-mencetak, umat manusia telah melakukan suatu komoditi
baru, yaitu memaparkan hasil pemikiran mereka dalam sebuah media serta
memperjual bellikannya pada masyarakat luas. Di samping itu hasil pemikiran,
ciptaan atau hasil kreasi seseorang mempunyai pengaruh besar dalam mendukung
kemaslahatan umat manusia sejalan dengan tujuan syari’at. Oleh karena itu,
keberadaan الإبتكار sebagai salah satu materi yang bernilai harta tidak diragukan
lagi.[19]
Ibtikar bila dikaitkan
dengan pengertian harta dalam hukum Islam, menjadi perbedaan pendapat
dikalangan ulama ahli fiqh. Menurut
Ulama Hanafiyah, yang
dinamakan harta adalah segala sesuatu
yang mungkin disimpan dan bisa dimanfaatkan
secara wajar. Pengertian ini
membawa akibat bahwa sesuatu itu dapat
dipandang harta, jika memenuhi dua
unsur, yaitu (1) dapat disimpan, maka
sesuatu yang tidak bisa disimpan tidak
dipandang sebagai harta. (2) dapat dimanfaatkan
secara biasa. Konsekwensi logis
dari pendapat Ulama hanafiyah adalah
yang dinamakan harta harus bersifat
benda atau sesuatu yang bersifat materi
atau yang bisa diindra (kasat mata).
Sedangkan manfaat atau hak bukan
dipandang sebagai harta, tetapi merupakan
kepemilikan.[20]
5.
Tinjauan Hukum
Islam Terhadap Sistem Waralaba
Franchisor
memberi izin kepada Franchisee
untuk menggunakan merek, nama, sistem, prosedur dan umpamanya yang
dimiliki/ditemukan Franchisor dengan syarat Franchisee bersedia
membayar sejumlah royalty secara periodik dan terikat oleh seluruh sistem
bisnis yang dibangun Franchisor. Garansi lisensi
kontraktual oleh satu orang (Franchisor) ke pihak lain (Franchisee)
untuk:
a.
Mengizinkan
atau meminta Franchisee
menjalankan usaha dalam periode
tertentu pada bisnis yang
menggunakan merek yang dimiliki oleh
Franchisor.
b.
Mengharuskan
Franchisor untuk melatih kontrol
secara kontinyu selama periode
perjanjian.
c.
Mengharuskan
Franchisor untuk menyediakan
asistensi terhadap Franchisee pada
subjek bisnis yang dijalankan di
dalam hubungan terhadap
organisasi usaha Franchisee
seperti training terhadap staf,
merchandising, manajemen atau yang
lainnya.
d.
Meminta kepada
Franchisee secara periodik selama
masa kerjasama waralaba untuk
membayarkan sejumlah fee
Franchisee atau royalty untuk produk
atau service yang disediakan oleh
Franchisor kepada Franchisee.[21]
Dari
uraian di atas, bisa difahami bahwa Franchise adalah sebuah akad, yaitu akad
antara Franchisor dengan Franchisee. Akad ini bersifat financial yang
menuntut adanya pertukaran imbalan karena Franchisor meminta
fee/royalti secara rutin dan berkala kepada
Franchisee dengan imbalan penggunaan merek dagang tertentu,
kontrol, dan asistensi.
Dengan
fakta Franchise seperti ini maka akad Franchise dalam Fiqh Islam kategori akad
Syirkah bukan jual beli atau perkontrakan. Syirkah adalah akad kerjasama
antara dua pihak yang bersepakat untuk melakukan aktifitas finansial
dengan target memperoleh laba yang dibagi berdasarkan kesepakatan.
Definisi ini sesuai dengan fakta Franchise karena Franchise adalah akad
kerjasama antara Franchisor dengan Franchisee untuk memperdagangkan
produk bisnis tertentu dengan merek dan nama yang ditemukan/dibangun
Franchisor kemudian keuntungan bisnis tersebut dibagi antara
Franchisor dengan Franchisee dengan nisbah/persentase tertentu.
Aktivitas
finansial yang dilakukan Franchisor adalah pemberian izin menggunakan
merek dagang, kontrol, dan asistensi sementara aktivitas finansial
Franchisee adalah penyediaan modal dan menjalankan bisnis secara langsung. Melihat
bahwa Franchise adalah bisnis yang menggabungkan antara modal dan
tenaga dari pihak Franchisee dengan tenaga dari pihak Franchisor, maka sistem
bisnis ini termasuk Syirkah Mudharbah[22].
Namun, ketika yang dimanfaatkan dalam kerjasama tersebut bukan hanya
tenaga Franchisor tetapi juga kredibilitas bisnis yang dimiliki
Franchisor (yakni kepercayaan publik terhadap merek dagang tertentu), maka
Syirkah ini lebih tepat dimasukkan dalam Syirkah
Wujuh[23]
yang merupakan variasi dari Syirkah Mudharbah karena memanfaatkan
aspek Wajahah (kredibilitas) salah satu pihak yang berbisnis untuk
membangun relasi dengan konsumen/rekan bisnis yang lain.[24]
Pada
umumnya franchisee perlu membayar initial fee yang sifatnya sekali bayar,
atau kadang sekali untuk satu priode tertentu, misalnya untuk lima tahun. Di atas
itu biasanya franchisee membayar royalti atau membayar sebagian dari
hasil penjualan. Kadang franchisee membayar dan perlu membeli bahan
pokok atau peralatan (capital goods) dari franchisor.
Ada
beberapa hal yang harus diperhatikan oleh calon franchisee seperti:
a.
Bagaimana
kekuatan brand name-nya
b.
Berapa
franchisee yang dimiliki franchisor yang yang hanya memiliki
tiga atau empat franchisee
tentunya tidak memiliki
jaringan yang memadai untuk membentuk
kekuatan sendiri
c.
Berapa harga
yang dibyarkan kepada
franchisor khususnya bila ada
ketergantungan bahan baku /suplai
dari franchisor, apakah harga
yang ditwarkan wajar
d.
Apakah
franchisor tersebut benar-benar
memiliki hak resmi untuk menjual
franchise kepada calon
franchisee. Dalam system master
franchise, hal ini layak mendapat
perhatian besar karena
kadang-kadang yang menamakan
dirinya franchisor ternyata tidak
memiliki hak untuk menjual
franchise
e.
Sesuai dengan
prinsip syari’ah sehingga perlu
selektivitas dan filter maslahat
serta diutamakan yang memiliki
dampak kepada pengembangan
sosial ekonomi umat Islam baik
dalam maupun luar negeri,
contoh Iran yang tengah
mengembangkan jaringan bisnis minuman zam zam cola sebagai pesaing coca cola milik Amerika yang tengah diboikot oleh banyak negara Islam karena sentimen terhadap penindasan rakyat Palestina.[25]
Saat
ini hampir
semua cabang usaha menengah kecil masuk ke franchise,
mulai dari usaha jasa kurir, cleaning service, usaha printing, edukasi,
IT training, financial service dan retail. Dengan demikian
berdasarkan prinsip syari’ah maka hukum franchise sangat tergantung
pada usaha bisnis yang sistem kerjanya hendaklah ada unsure kebaikan dan
taqwa kepada Allah SWT.
Atas
dasar ini, maka system bisnis Franchise hukumnya mubah karena tidak
terlepas dari akad Syirkah atau akad samsarah. Jika sistem yang diambil adalah
Product And Trade Franchise, berarti yang dipakai adalah akad
samsarah karena Franchisee hanya menyalurkan/menjualkan barang sementara jika
sistem yang diambil adalah Business Format Franchisee, berarti yang
dipakai adalah akad Syirkah, karena Franchisee bukan hanya menjualkan
barang tetapi juga memodali sendiri produksi barang tersebut dengan
standar-standar produksi dan prosedur yang ditetapkan Franchisor
kemudian menjualnya. Keduanya mubah karena akad Syirkah dan Samsarah
dimubahkan Islam.[26]
KEPUSTAKAAN
Satjipto Rahardjo, Permasalahan Hukum di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1979)
Winarsih Arifin dan Farida Soemargono, Kamus
Prancis Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004)
M. Jafar Hapsah, Kemitraan Usaha,
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999)
Yoseph Mancuso, Pedoman Membali Dan Mnejual
Franchise, Alih Bahasa Sudarsono, Judul Asli How Buy And Manage, (Jakarta:
Delaprasata, 1995)
Steven Fox, membeli dan Menjual Bisnis
Franchise, Judul Asli: Key to Buyying and Salling Franchise Biisnis,
Alih Bahasa Susanto Budidarmo (Jakarta: PT. Elek Media Komputindo, 1986)
Komaruddin, Ensiklopedi Mnajemen,
(Jakarta: Bumi Angkasa, 1994)
Sigit Winarno dan Sujana Ismaya, Kamus
Besar Ekonomi, (Bandung: CV. Pustaka Grafika, 2003)
Deden Setiawan, Franchhise Guide
Series-Ritle, (Dian Rakyat, 2007)
Wahbah al-Zuhaily, al-Mu’amalah al-Maaliyah
all-Muaashirah Buhus wa Fatwa wa Hulul, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2002)
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesai,
(Jakarta: Mahmud Yunus Wadzuryah, 1989)
Atabik Ali, Kamus Kontemporer Arab
Indonesia, (Yogyakarta: multi Karya Grafika, tt)
Nasroen Haroen, Fiqh Mu’amalah,
(Jakarta: Gaya Media Pratama)
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh
Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008)
Wahbah
al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Juz IV, (Beirut : Dar al-Fikr,1997)
Yusnani, Jurnal
Akuntansi & Manajemen Vol 7 No.2 Desember 2012 ISSN 1858-3687
[2] Winarsih Arifin dan Farida Soemargono, Kamus Prancis Indonesia,
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 461
[4] Yoseph Mancuso, Pedoman Membali Dan Mnejual Franchise, Alih Bahasa
Sudarsono, Judul Asli How Buy And Manage, (Jakarta: Delaprasata, 1995), h.
14
[5] Steven Fox, membeli dan Menjual Bisnis Franchise, Judul Asli: Key
to Buyying and Salling Franchise Biisnis, Alih Bahasa Susanto Budidarmo (Jakarta:
PT. Elek Media Komputindo, 1986), h. 13
[7] Sigit Winarno dan Sujana Ismaya, Kamus Besar Ekonomi, (Bandung: CV.
Pustaka Grafika, 2003), h. 214
[10] Wahbah al-Zuhaily, al-Mu’amalah al-Maaliyah all-Muaashirah Buhus wa
Fatwa wa Hulul, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2002), h. 589
[20] Wahbah
al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Juz IV, (Beirut : Dar al-Fikr,1997), h. 2875-2877
[22] Mudharabah
adalah akad kerja sama antara dua pihak, di mana pihak pertama menyediakan
seluruh modal dan pihak lain menjadi pengelola. Keuntungan dibagi menurut
kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Apabila rugi maka akan ditanggung
pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat dari kelalaian si pengelola.
Apabila kerugian diakibatkan kelalaian pengelola, maka si pengelolalah yang
bertanggung jawab
[23] Yaitu kerja
sama antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan nama baik serta
ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang secara kredit (hutang) dari suatu
perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai, lalu keuntungan yang
didapat dibagi bersama atas dasar kesepakatan di antara mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar