Dalam golongan Ahl as-Sunnah wa
al-Jama’ah, di samping Al-Asy’ariyah, dikenal pula golongan lain yakni
Al-Maturidiyah Aliran teologi ini didirikan oleh Abu Mansur Al-Maturidi di
Samarkand dalam kondisi lingkungan yang sama dengan al-Asy’ariyah sebagai
reaksi terhadap aliran Mu’tazillah.
Seperti halnya al‑Asya’ri,
Al-Maturidi berusaha mengambil jalan tengah untuk menghadapi kedua sistem
pemikiran antara rasional Mu’tazilah yang sangat liberal dan pemikiran tradisional
ortodok yang ditegakkan Ibn Hanbal dan para pengikutnya. Ignaz Goldziher
memandang bahwa sistem Asy’ariyah dan Maturidiyah merupakan kecenderungan garis
tengah yang timbul sejak abad ke 10 M yang membuka kemungkinan masuknya
pengaruh rasionalisme ke dalam pemikiran ortodoksi Islam. (Goldziher, 1991: 92)
Pengaruh tersebut akan nampak lebih jelas pada pemikiran Maturidiyah.
Al-Maturidi, pendiri aliran Al-Maturidiyah, mempunyai latar belakang
pendidikan yang sangat dipengaruhi sistem pemikiran “Hanafi”, dikarenakan guru‑gurunya
adalah murid dari Abu Hanifah yang fahamnya bercorak rasional. Karena itu
Maturidiyah lebih bersifat liberal daripada pendirian Asy’ariyah dan bercorak
lebih mendekati Mu’tazilah. Demikian pula pendapat‑pendapat Di antara kedua
aliran teologi ini, lebih banyak terdapat perbedaan dari pada persamaannya,
sekalipun keduanya sama‑sama menentang aliran Mu’tazilah.
Aliran Mutaridiah adalah aliran
teologi termasuk golongan ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah yang mempunyai banyak
penganut umat Islam yang bermadzhab Hanafi. Di antara pengikut penting
Al-Mutaridiah ialah Abu Yusr Muhammad Al-Bazdawi. Al-Bazdawi mengetahui ajaran
Al-Maturidiyah dari orang tuanya yan berpaham teologi Maturidiyah dari
madzhab Hanafi. Sekalipun Al-Maturidi dan Al-Bazdawi sebagai tokoh aliran
Al-Maturidiyah namun Di antara keduanya terdapat perbedaan paham, sehingga
dalam aliran Maturidiyah juga terdapat dua golongan : Golongan Samarkand, yaitu
pengikut Al-Maturidi sendiri, dan golongan Bukhara sebagai pengikut‑pengikut
Al-Bazdawi. Golongan Samarkand mempunyai paham‑paham yang lebih dekat kepada
paham Mu’tazilah, sedangkan golongan Bukhara pendapat‑pendapatnya lebih dekat
kepada Al-Asy’ariyah.
II. PEMBAHASAN
A. Biografir
ringkas
Aliran al-Maturidiyah ini
masih tergolong ahlu Sunnah. Pendiri aliran ini adalah Muhammad bin Muhammad
Abu Mansur al-Maturidiy yang dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil daerah
Samarkand (masuk dalam wilayah Uzbekistan, soviet sekarang) kurang lebih pada
pertengahan abad ke-3 hijriah atau pertengahan kedua dari abad ke-9 Masehi dan
meninggal dunia di Samarkand pada tahun 332 H/994 M.
Di masa pendidikannya, Abu Mansur lebih banyak menekuni
bidang teologi dari pada fikih, sebagai usaha untuk memperkuat pengetahuannya
dalam menghadapi paham‑paham teologi yang berkembang dalam masyarakat Islam yang
dipandangnya tidak sesuai menurut akidah yang benar berdasarkan akal dan
syara’. Karena keahliannya dalam bidang teologi, ia dijuluki sebagai Imam
Al-Mutakallimin dan Imam Al-Huda. Kata Harun Nasution,
tidak banyak diketahui mengenai riwayat hidupnya. Ia pengikut Abu Hanifah dan
faham-faham teologinya banyak persamaannya dengan faham-faham yang diajukan Abu
Hanifah. System pemikiran yang di munculkannya termasuk dalam teologi Ahlu
Sunnah dan dikenal dengan al-Maturidiyah.[1]
Hanafi, Maturidiy
dengan Asy’ari boleh dikatakan hidup semasa, hanya saja daerah yang berbeda.
Kalau Asy’ari menetap di Basrah (Irak) sedangkan Maturidiy tinggal di
Samarkand. Dalam bidang Fiqh, Asy’ari adalah pengikut mazhab Syafi’I, sedang Maturidiy adalah pengikut
mazhab Hanafi. Karena itu kebanyakan pengikut Asy’ari merupakan orang-orang
Syafi’iah, sedangkan pengikut Maturidi dari orang Hanafiah.
B. Latar
belakang munculnya
C. Pokok-pokok
pikiran al-Maturidiyah
Pemikiran kalam
Maturidi, dapat dilihat dari beberapa aspek sebagai berikut:
1. Akal
dan wahyu
Dalam aspek teologi,
al-Maturidi mendasarkan pemikirannya pada al-Qur’an dan akal, sama seperti pada
diri Asy’ari. Hanya saja, porsi yang diberikan kepada akal lebih besar daripada
yang diberikan oleh Asy’ari. Al-maturidi menjelaskan, bahwa mengetahui adanya
Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan, dapat diketahui dengan akal. Kemampuan
akal dalam mengetahui kedua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat al-Qur’an yang
memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam memperoleh pengetahuan dan keimanannya
terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikirannya yang memdalam tentang
makhluk ciptaan-Nya. Ia beralasan, bahwa kalau akal tidak memperoleh kemampuan memperoleh
pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk melakukannya.
Dalam mengetahui baik
dan buruk, menurut al-Maturidi bahwa akal tidak sepenuhnya mampu untuk
mengetahuinya terkadang dapat mengetahui sebagian diantaranya. Dalam keadaan
demikian, wahyu diperlukan untuk membimbing akal. Tentang dapat mengetahui
kebaikan dan keburukan melalui akal, Maturidi sependapat dengan Mu’tazilah.
Sedangkan perintah melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk, oleh
al-Maturidi tidak cukup dengan akal semata, tetapi harus diterima dari
ketentuan wahyu juga. Disinilah pula perbedaan al-Maturidi dengan Asy’ari,
dimana bagi Asy’ari ketentuan baik dan buruk itu berdasarkan ketentuan wahyu,
baik yang bersifat perintah maupun yang bersifat larangan.[2]
Menurut Al-Maturidi,
mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal.
Kemampuan akal dalam mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat
Al-Qur’an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha
memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan
pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaannya. Kalau akal tidak mempunyai
kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan menyuruh
manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk
memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban
yang diperintah ayat-ayat tersebut. Namun akal menurut Al-Maturidi, tidak mampu
mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya.
Al-Maturidi berpendapat
bahwa penentu baik dan buruk sesuatu itu terletak pada suatu itu sendiri, sedangkan
perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik
dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu diperoleh untuk dijadikan
sebagai pembimbing.
Al-Maturidi membagi
kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu:
a. Akal
dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu;
b. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui
kebutuhan sesuatu itu;
c. Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan
sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.
Jadi, yang baik itu
baik karena diperintah Allah, dan yang buruk itu buruk karena larangan Allah.
Pada korteks ini, Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari Mutazilah dan
Al-Asy’ari.
2. Sifat
tuhan
Didalam memahami
sifat-sifat Tuhan, Maturidi hampir bersamaan dengan pemahaman Asy’ari, dimana keduanya
sependapat, bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti sama’, bashar
dan sebagainya. Sekalipun begitu, pengertian al-Maturidi tentang sifat Tuhan
berbeda dengan Asy’ari. Asy’ari memahami sifat Tuhan sebagai suatu bukar zat,
melainkan melekat pada zat itu. Sedangkan al-Maturidi memahami sifat-sifat itu
tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensiNya.
Sifat-sifat Tuhan itu bersifat mulzamah (suatu kepastian) bersama zat
tanpa terpisah.
3. Iman
dan kafir
4. Keadilan
T uhan
Mengenai masalah
keadilan Tuhan, al-Maturidi menekankan bahwa kemerdekaan dan kemauan ada pada
manusia dan bahwa Tuhan tidak sewenang-wenang menjatuhkan hukuman, melainkan
berdasarakan kemerdekaan yang diberikan Tuhan kepada manusia untuk berbuat baik
atau jahat.[3]
Pada
hakikatnya, dalam suatu perbuatan manusia ada dua perbuatan yaitu perbuatan
Tuhan Khalq al-Istitha’ah (menciptakan
kemampuan) dan perbuatan manusia isti’mal al-Istitha’ah (menggunakan
kemampuan).[4]
Menurut
al-Maturidi bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan berbuat,
manusia dapat mengambil manfaat dari perbuatan-Nya.[5]
5. Perbuatan
manusia
Dalam pandangan Maturidi, tidak ada
sesuatu yang terdapat dalam ala mini, kecuali semuanya atas kehendak Tuhan, dan
tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendk Tuhan, kecuali ada hikmah dan
keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Oleh karena itu, tuhan
tidak wajib berbuat yang baik dan terbaik bagi manusia, seperti Mu’tazilah
karena berkaitan dengan keadilan Tuhan. Setiap perbuatan Tuhan yang bersifat
mencipta atau kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia, tidak lepas
dari hikmah dan keadilan yang dikehendaki-Nya.
Dalam masalah perbuatan manusia ini, Maturidi
sependapat dengan aliran Mu’tazilah, bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan
perbuatannya. Dengan demikian ia lebih berpaham Qadariah dan bukan paham
Jabariyah, layaknya Asy’ari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar