Senin, 15 Februari 2016

AL-MATURIDIYAH (SAMARKAND DAN BUKHARA)

I.         PENDAHULUAN
Dalam golongan Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah, di samping Al-Asy’ariyah, dikenal pula golongan lain yakni Al-Maturidiyah Aliran teologi ini didirikan oleh Abu Mansur Al-Maturidi di Samarkand dalam kondisi lingkungan yang sama dengan al-Asy’ariyah sebagai reaksi terhadap aliran Mu’tazillah.
Seperti halnya al‑Asya’ri, Al-Maturidi berusaha mengambil jalan tengah untuk menghadapi kedua sistem pemikiran antara rasional Mu’tazilah yang sangat liberal dan pemikiran tradisional ortodok yang ditegakkan Ibn Hanbal dan para pengikutnya. Ignaz Goldziher memandang bahwa sistem Asy’ariyah dan Maturidiyah merupakan kecenderungan garis tengah yang timbul sejak abad ke 10 M yang membuka kemungkinan masuknya pengaruh rasionalisme ke dalam pemikiran ortodoksi Islam. (Goldziher, 1991: 92) Pengaruh tersebut akan nampak lebih jelas pada pemikiran Maturidiyah. Al-Maturidi, pendiri aliran Al-Maturidiyah, mempunyai latar belakang  pendidikan yang sangat dipengaruhi sistem pemikiran “Hanafi”, dikarenakan guru‑gurunya adalah murid dari Abu Hanifah yang fahamnya bercorak rasional. Karena itu Maturidiyah lebih bersifat liberal daripada pendirian Asy’ariyah dan bercorak lebih mendekati Mu’tazilah. Demikian pula pendapat‑pendapat Di antara kedua aliran teologi ini, lebih banyak terdapat perbedaan dari pada persamaannya, sekalipun keduanya sama‑sama menentang aliran Mu’tazilah.
Aliran Mutaridiah adalah aliran teologi termasuk golongan ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah yang mempunyai banyak penganut umat Islam yang bermadzhab Hanafi. Di antara pengikut penting Al-Mutaridiah ialah Abu Yusr Muhammad Al-Bazdawi. Al-Bazdawi mengetahui ajaran Al-Maturidiyah dari orang tuanya yan berpaham teologi Maturidiyah dari  madzhab Hanafi. Sekalipun Al-Maturidi dan Al-Bazdawi sebagai tokoh aliran Al-Maturidiyah namun Di antara keduanya terdapat perbedaan paham, sehingga dalam aliran Maturidiyah juga terdapat dua golongan : Golongan Samarkand, yaitu pengikut Al-Maturidi sendiri, dan golongan Bukhara sebagai pengikut‑pengikut Al-Bazdawi. Golongan Samarkand mempunyai paham‑paham yang lebih dekat kepada paham Mu’tazilah, sedangkan golongan Bukhara pendapat‑pendapatnya lebih dekat kepada Al-Asy’ariyah.

II.      PEMBAHASAN
A.    Biografir ringkas
Aliran al-Maturidiyah ini masih tergolong ahlu Sunnah. Pendiri aliran ini adalah Muhammad bin Muhammad Abu Mansur al-Maturidiy yang dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil daerah Samarkand (masuk dalam wilayah Uzbekistan, soviet sekarang) kurang lebih pada pertengahan abad ke-3 hijriah atau pertengahan kedua dari abad ke-9 Masehi dan meninggal dunia di Samarkand pada tahun 332 H/994 M.
Di masa pendidikannya, Abu Mansur lebih banyak menekuni bidang teologi dari pada fikih, sebagai usaha untuk memperkuat pengetahuannya dalam menghadapi paham‑paham teologi yang berkembang dalam masyarakat Islam yang dipandangnya tidak sesuai menurut akidah yang benar berdasarkan akal dan syara’. Karena keahliannya dalam bidang teologi, ia dijuluki sebagai Imam Al-Mutakallimin dan Imam Al-Huda. Kata Harun Nasution, tidak banyak diketahui mengenai riwayat hidupnya. Ia pengikut Abu Hanifah dan faham-faham teologinya banyak persamaannya dengan faham-faham yang diajukan Abu Hanifah. System pemikiran yang di munculkannya termasuk dalam teologi Ahlu Sunnah dan dikenal dengan al-Maturidiyah.[1]
Hanafi, Maturidiy dengan Asy’ari boleh dikatakan hidup semasa, hanya saja daerah yang berbeda. Kalau Asy’ari menetap di Basrah (Irak) sedangkan Maturidiy tinggal di Samarkand. Dalam bidang Fiqh, Asy’ari adalah pengikut mazhab  Syafi’I, sedang Maturidiy adalah pengikut mazhab Hanafi. Karena itu kebanyakan pengikut Asy’ari merupakan orang-orang Syafi’iah, sedangkan pengikut Maturidi dari orang Hanafiah.
B.     Latar belakang munculnya
C.     Pokok-pokok pikiran al-Maturidiyah
Pemikiran kalam Maturidi, dapat dilihat dari beberapa aspek sebagai berikut:
1.      Akal dan wahyu
Dalam aspek teologi, al-Maturidi mendasarkan pemikirannya pada al-Qur’an dan akal, sama seperti pada diri Asy’ari. Hanya saja, porsi yang diberikan kepada akal lebih besar daripada yang diberikan oleh Asy’ari. Al-maturidi menjelaskan, bahwa mengetahui adanya Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan, dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui kedua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikirannya yang memdalam tentang makhluk ciptaan-Nya. Ia beralasan, bahwa kalau akal tidak memperoleh kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk melakukannya.
Dalam mengetahui baik dan buruk, menurut al-Maturidi bahwa akal tidak sepenuhnya mampu untuk mengetahuinya terkadang dapat mengetahui sebagian diantaranya. Dalam keadaan demikian, wahyu diperlukan untuk membimbing akal. Tentang dapat mengetahui kebaikan dan keburukan melalui akal, Maturidi sependapat dengan Mu’tazilah. Sedangkan perintah melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk, oleh al-Maturidi tidak cukup dengan akal semata, tetapi harus diterima dari ketentuan wahyu juga. Disinilah pula perbedaan al-Maturidi dengan Asy’ari, dimana bagi Asy’ari ketentuan baik dan buruk itu berdasarkan ketentuan wahyu, baik yang bersifat perintah maupun yang bersifat larangan.[2]
Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaannya. Kalau akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan menyuruh manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintah ayat-ayat tersebut. Namun akal menurut Al-Maturidi, tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya.
Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruk sesuatu itu terletak pada suatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu diperoleh untuk dijadikan sebagai pembimbing.
Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu:
a.     Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu;
b.     Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebutuhan sesuatu itu;
c.      Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.
Jadi, yang baik itu baik karena diperintah Allah, dan yang buruk itu buruk karena larangan Allah. Pada korteks ini, Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari Mutazilah dan Al-Asy’ari.
2.      Sifat tuhan
Didalam memahami sifat-sifat Tuhan, Maturidi hampir bersamaan dengan pemahaman Asy’ari, dimana keduanya sependapat, bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti sama’, bashar dan sebagainya. Sekalipun begitu, pengertian al-Maturidi tentang sifat Tuhan berbeda dengan Asy’ari. Asy’ari memahami sifat Tuhan sebagai suatu bukar zat, melainkan melekat pada zat itu. Sedangkan al-Maturidi memahami sifat-sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensiNya. Sifat-sifat Tuhan itu bersifat mulzamah (suatu kepastian) bersama zat tanpa terpisah.
3.      Iman dan kafir
4.      Keadilan T uhan
Mengenai masalah keadilan Tuhan, al-Maturidi menekankan bahwa kemerdekaan dan kemauan ada pada manusia dan bahwa Tuhan tidak sewenang-wenang menjatuhkan hukuman, melainkan berdasarakan kemerdekaan yang diberikan Tuhan kepada manusia untuk berbuat baik atau jahat.[3]
Pada hakikatnya, dalam suatu perbuatan manusia ada dua perbuatan yaitu perbuatan Tuhan Khalq al-Istitha’ah  (menciptakan kemampuan) dan perbuatan manusia isti’mal al-Istitha’ah (menggunakan kemampuan).[4]
Menurut al-Maturidi bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan berbuat, manusia dapat mengambil manfaat dari perbuatan-Nya.[5]
5.      Perbuatan manusia
Dalam pandangan Maturidi, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam ala mini, kecuali semuanya atas kehendak Tuhan, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendk Tuhan, kecuali ada hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Oleh karena itu, tuhan tidak wajib berbuat yang baik dan terbaik bagi manusia, seperti Mu’tazilah karena berkaitan dengan keadilan Tuhan. Setiap perbuatan Tuhan yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia, tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang dikehendaki-Nya.
Dalam masalah perbuatan manusia ini, Maturidi sependapat dengan aliran Mu’tazilah, bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatannya. Dengan demikian ia lebih berpaham Qadariah dan bukan paham Jabariyah, layaknya Asy’ari.



[1]  Tamrin Kamal, Teologi Islam Mengawali Studi Ilmu Kalam dengan Pemahaman Tauhid, (CV. FITRAH JAYA, 2008), hal. 120
[2] Ibid, hal. 121
[3]  Ambary, Hasan Ma’arif, Ensiklopedi Islam, (Jakarta; Ikrar Mandiri Abadi, 2002), hal. 207
[4] Ibid
[5]  Abdullah, Imron, Pergulatan Teologi Islam di Indonesia. Cet. I,   (Jakarta; Gema Mandiri Pers, 2001), hal. 58

Tidak ada komentar:

Posting Komentar