Filsafat sudah lahir sebelum
islam, bahkan ilmu filsafat telah berkembang sebelum nabi Isa di lahirkan.
Pelopor filsafat adalah pemikir-pemikir Yunani, seperti Plato, Socrates dan
Aristoteles. Setelah islam berjaya mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi, tepatnya pada masa Daulah Abbasiyah , diterjemahkan filsafat yunani
kedalam bahasa Arab, sehingga dari hasil integrasi ilmu antara timur (islam )
dan barat (yunani ) maka lahirlah filsafat isalm.
Filsafat Yunani tentu berbeda
dengan filsafat islam. Filsafat Yunani hanya terfokus kepada rasio semata,
sedang filsafat Islam di samping mempergunakan rasio, juga bersandar kepada Ayat-Ayat Al-qur’an. Tidak benar pendapat Orientalis
yang mengatakan bahwa filsafat Islam adalah filasafat Yunani yang di islamkan.
Oleh karena cara berfikir
filsafat mengandung ciri-ciri rasional, sistematis, universal, dan radikal,
maka kadang kala sebagaian filosof cenderung mengedepankan akal untuk mencari
kebenaran, sehingga tidak heran seolah-olah muncul penolakan otoritas wahyu dan
kenabian, padahal mereka mengakui kebenaran yang dihasilakan filsafat tidaklah
mutlak, relatif dan manusiawi.
Banyak dari filosof muslim yang
mendapat penilain negatif dari toko-toko islam. Salah satunya adalah Al-Razi,
filosof muslim kelahiran Rayy yang terkenal dengan filsafat 5 yang kekalnya. Sebagai
ilustrasi, bahkan Harun Nasution mengatakan bahwa Al-Razi adalah filosof muslim
yang berani mengeluarkan pendapat-pendapat, sungguhpun ia bertentangan dengan
faham yang dianut umat islam.[1]
Untuk melihat secara objektif terhadap tokoh ini beserta pemikirannya, maka
penulis akan mencoba melihatnya secara dekat lewat makalah yang berjudul Al-Razi
dan pemikiran Filsafatanya.
Penulis menyadari pembahasan
mengenai Al-Razi adalah pembahasan yang membutuhkan waktu yang sangat panjang.
Untuk itu di dalam makalah ini penulis hanya membahas mengenai : Biografi,
latar belakang wilayah tempat tumbuh, karya-karya dan pemikiran Al-Razi.
B. AL-RAZI DAN PEMIKIRAN FILSAFATNYA
Dalam islam ada beberapa tokoh
yang bernama Al-Razi, Yaitu Abu Hatim Al-Razi, Fakhruddin Al-Razi dan
Najimuddin Al-Razi. Oleh karena itu untuk membedakan antara Al-Razi sang Filosof dengan Al-Razi Al-Razi yang
lain, Perlu diteliti secara benar biografi, karya dan filsafatnya, sehingga
tidak terjadi campur aduk legalitas seorang tokoh dengan yang lain.
1. Biografi Al-Razi
Al-Razi
mempunyai nama lengkap Abu Bakar Muhammad Ibnu Zakaria Ibnu Yahya Al-Razi.
Dalam wacana keilmuan Barat di kenal dengan sebutan Rhazes. Ia dilahirkan di Rayy, sebuah kota tua yang masa lalu bernama Rhogee,
dekat Teheran , Republik Islam Iran pada tanggal 1 sya’ban 251 H/865 M.[2] Ia mempelajari
matematika, filsafat, astronomi, dan ilmu kimia di Bhagdad sebagai murid
Humayun ibn Ishaq yang menguasai dengan
baik ilmu pengobatan Yunani, Persia, dan India.[3] Ia meninggal
kira- kira pada tahun 925 M.[4] Syaikh Muhammad Sa’id
Mursi menulis dalam bukunya, Al-Razi mendrita kebutaan diakhir hidupnya dan
pada tahun 313 H wafat di kota Baghdad.[5]
Pada
musa mudanya, ia menjadi tukang intan, penukar uang dan pemain musik kecapi. Kemudian Al-Razi memiliki perhatian yang besar terhadap ilmu
kimia dan meninggalkanya setelah matanya terserang penyakit akibat
eskperimen- eksperimen yang di lakukanya.
Soal kepribadian Al-Razi, seorang penulis biografi Barat , A.J. Aberry, dalam
pengantar buku Al-Razi, The spiritual physic of Rhazes (Penyembuhan
Ruhani), mengutip ahli sejarah, Ibnu Khallikan dalam Biographical Dictionary
menulis “ Di masa mudanya, dia gemar main kecapi dan menekuni musik vokal.
Namun ketika beranjak dewasa, dia meninggalkan hobynya ini seraya mengatakan
bahwa musik yang berasal dari antara kumis dan jenggot tidak punya daya tarik
dan pesona untuk di puji dan dikagumi.[6]
Perjalanan panjang pengabdian
intelektual Al-Razi ini pada akhirnya memang di luar dugaan. Ditengah-tengah
keseriusan dan makin meningkatnya penguasaan ilmu kedokteran, Al-Razi yang
makin menua usia ini terserang penyakit katarak hingga membuat matanya buta.
Penglihatannya praktis tak berfungsi. Ketika dia dianjurkan untuk berbekam,
konon Al-Razi menjawab, Tidak, aku sudah demikian lama melihat seluruh dunia
ini sehingga aku pun lelah karenanya.
3. Latar Belakang Wilayah Tempat Tumbuh
Al-Razi
Kota Rayy- tempat kelahiran sang
Filosof merupakan sebuah kota tua yang terletak di Iran. Telah di maklumi bahwa
Iran yang dahulunya dikenal dengan Persia sejak lama terkenal dengan sejarah
peradaban yang tinggi. Kota ini merupakan tempat pertemuan berbagai peradaban,
terutama peradaban Yunani dan persia. Dalam bidang penyatuan kebudayaan Persia
dan Yunani inilah terletak jasa dari Alenxander yang agung pada tahun 331 SM.[7]
Oleh karena itu tidak mengherankan kota-kota di Persia ( Iran) ini telah
mengenal peradaban yang tinggi jauh sebelum bangsa Arab mengenalnya. Tercatat
banyak sekali tokoh- tokoh dan ilmuan Islam yang berasal dari wilayah Iran ini baik
sebelum masa Al-Razi maupun sesudahnya, diantaranya : Fakhruddin Al-Razi (Mufassir
sekaligus Mutakallim), Shuhrawardi,[8]
Mulasadra[9],
Ibnu Miskawaih[10]
dan bnyak lagi tokoh-tokoh kenamaan lainnya.
Tidak hanya sekedar tempat lahir
para ilmuan, Iran juga merupakan tempat singgah, mengabdi, menuntut ilmu bagi
banyak tokoh filsafat. Salah satunya adalah Ibn Sina.[11]
Menurut pandangan penulis latar
belakang wilayah seperti ini sangat mempengaruhi Al-Razi dengan pemikiran
filsafatnya yang cemerlang (meskipun banyak yang berpandangan sinis terhadap
sosok beliau). Jelasnya Iran merupakan lahan subur pemikiran yang menganugrahi
pemikiran-pemikiran Al-Razi.
2. Karya-Karya Al-Razi
Al-Razi
adalah Filosof yang rajin menulis, penulis unggulan yang meninggalkan karya-ayat
abadinya tentang pengobatan, Kimia, Fisika, filsafat, Matematika, astronomi, dan
etika. Karya ilmiahnya mencakup semua bidang “ kata Max Mayerthof” dan
sumbangannya terhadap ilmua pengetahuan luar biasa, meliputi lebih dari 200 buku,
setengah daripadanya di bidang kedokteran”. Ditengah prakteknya yang bagitu
padat, ia masih mampu membagi waktu untuk menulis beberapa karya monumentalnya[12]. karya-karya ilmiahnya
dapat di wariskan kepada umat islam sekarang. Diantara banyak karya tulis Al-Razi
yang populer adalah :
v
Bidang filsafat :
§ Al-Tibb al-Ruhani
§ Al-Shirat al-Falsafiyyah
§ Amarat Iqbal al-Daulah
§ Al-Ladzdzah
§ Kitab al-ilm al-Ilahi
§ Ar-Rasail Falsafiyyah
§ Makalah fi ma Ba’d dengan
Al-Thabi’iyyah :
§ Al-Shukuk ‘ala Proclus
v
Bidang Kedokteran
§ Al-Hawi ( Ensiklopedi Kedokteran sampai abad ke-XVI di
Eropa,setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin tahun 1279 dengan judul
Continens );
§ Al-Judar wa al Hashbah ( tentang analisa penyakit cacar dan campak serta
pencegahannya);
§ Al-Mansuri Liber al-Mansoris ( Kedokteran, 10 jilid)
v
Bidang Kimia
§ Al-Asrar ( Bidang kimia, diterjemahkan ke dalam bahasa Latin
oleh Geard Of Cremon)
Inilah diantara buku-buku yang masyhur sebagai buah
karya seorang Al-Razi, baik kapasitasnya sebagai seorang filosof, dokter,
maupun ilmuan di bidang lainnya.
Ibnu Nadim berkata :” Razi satu-satunya orang di
zamannya yang berhasil mengumpulkan ilmu-ilmu para pendahulu, khususnya ilmu
kedokteran. “Para generasinya memberikan kesaksian.” Suatu saat murid-muridnya
sedang duduk di tempat prakteknya. Tiba-tiba datang seorang pasien dan
menceritakan keluhannya, walaupun cukup pelik masalahnya namun murid-muridnya
dibiarkan mencari jawaban atas penyakit yang diderita. Ketika semuanya terdiam
karena ketidaktahuannya, barulah Razi menyampaikan formula bagi penyakit
tersebut.[13]
3.
Pemikiran Filsafat Al-Razi
a. Metafisika
Filsafat Al-Razi di kenal dengan
ajaran “ Lima Kekal “. Yakni :[14]
1.
Al-Bariy Ta’ala (Allah Ta’ala)
2.
Al-Nafs al-Kulliyat (Jiwa
Universal)
3.
Al-Hayula al-Ula (Materi Pertama
)
4.
Al-Makan al-Muthlaq (Ruang
Absolut)
5.
Al-Zaman al-Muthlaq (Masa
Absolut )
Dua dari lima yang kekal itu hidup dan
aktif yakni Tuhan dan roh. Satu di antaranya tidak hidup dan pasif, yaitu
materi, dua dan lainya tidak hidup, tidak aktif dan tidak pula pasif yakni
ruang dan masa.[15]
Pemikiran Al-Razi mengenai lima
yang kekal ,kemudian di jadikan dasar dalam menetapkan wujud alam. Artinya alam
itu baru akan terwujud apa bila kelima postulat itu ada, Lima hal tersebut
yaitu :
1.
Al-Bariy Ta’ala (Allah Ta’ala)
Menurut Al-Razi tuhan itu maha bijaksana , Ia tidak
mengenal istilah lupa. Disamping itu , Tuhan adalah pencipta segala sesuatu,
kekuasaanNya tidak ada yang menyamainya, Ia mengetahui segala sesuatu dengan
sempurna. Pengetahuan Tuhan berbeda dengan pengetahuan manusia. Sebab
pengetahuan Tuhan tidak di batasi oleh pengalaman , sedang pengetahuan manusia
di batasi oleh pengalaman. Tuhan tahu tentang sifat jiwa yang cenderung bersatu
dengan benda dan mencari kelezatan material. Setelah jiwa bergabung dengan
tubuh Tuhan kemudian kemudian mengatur hubungan tersebut dengan harmonis. Yaitu
dengan jalan melimpahkan akal ke dalam jiwa. Lantaran memiliki akal, jiwa
menjadi sadar bahwa selama bergandengan dengan tubuh ia tetap akan menderita .
Dengan akal, jiwa tahu tentang asalnya. Akal pulalah yang menginsyafkan jiwa
bahwa kebahagiaan tertinggi hanya akan diperoleh setelah ia mampu melepaskan
dari kungkungan tubuh.[16]
Menurut Al-Razi Allah Maha Pencipta dan Pengatur
seluruh alam ini. Alam di ciptakan Allah bukan dari tidak ada (creation
exnihilo), tetapi bahannya dari yang telah ada. Oleh karena itu ,
menurutnya alam semesta tidak qadim, baharu, meskipun materi asalnya qadim, sebab
penciptaan di sini dalam arti disusun dari bahan yang telah ada.[17]
Penciptaan
dari tiada bagi Al-Razi , tidak dapat dipertahankan secara logis, karena bahan
alam yang tersusun dari tanah, air, udara, api dan benda-benda langit ,
pastilah berasal dari materi pertama yang telah ada sejak azali. Pada sisi lain,
Jika Allah menciptakan alam dari tiada, tentu Ia terikat pada penciptaan segala
sesuatu dari tiada karena hal ini merupakan modus perbuatan yang paling
sederhana dan cepat. Namun kenyataan penciptaan seperti itu suatu hal yang
tidak mungkin.
Doktrin
adanya yang kekal selain Allah, tidak sama dengan doktrin kekalNya Allah di
dalam pemikiran filsafat Al-Razi ini agaknya di sebabkan oleh adanya Allah yang
merupakan sumber yang maha Esa dan tetap. Namun demikian, kekalnya yang lain
tidak sama dengan kekalNya Allah.[18]
2.
Al-Nafs al-Kulliyat (jiwa universal)
Jiwa
universal merupakan al-mabda’ al-qadim al-Tsany (sumber kekal yang
kedua). Padanya terdapat daya hidup dan bergerak, sulit diketahui karena dia
tanpa rupa, tetapi karena ia dikuasai naluri untuk bersatu dengan al-hayulaal-ula
(materi pertama), terjadilah pada zatnya, rupa yang dapat menerima fisik.
Sementara itu, materi yang pertama tanpa fisik. Allah datang menolong roh
dengan menciptakan alam semesta, termasuk tubuh manusia yang ditempati roh.[19]
Materi
pertama adalah atom-atom yang tidak bisa dibagi, sedangkan materi kedua adalah
roh, zat yang halus, wangi sejenis udara. Tuhan menciptakan manusia dan roh
dapat mengambilnya sebagai tempat. Karena terikat pada kesenangan material,
jiwa/roh lupa pada asalnya dan juga lupa bahwa kesenangan sejati tidaklah
terletak dalam penyatuannya dengan materi.
Begitu
pula Allah menciptakan akal. Ia merupakan limpahan rahmat dari Allah. Tujuan
Penciptaannya untuk menyadarkan jiwa yang terlena dalam fisik manusia, bahwa
tubuh itu bukanlah tempat sebenarnya, bukan tempat kebahagiaan dan tempat
abadi. Kesenangan dan kebahagiaan yang sebenarnya adalah melepaskan diri dari
materi dengan jalan filsafat, apabila telah suci , maka roh itu dapat kembali
ke asalnya . Pada saat itu lah alam
materi hancur, kembali menjadi materi asal.
3.
Al-Haya’ul al-ula (Materi Pertama)
Materi pertama atau materi Mutlak adalah kekal, yang
tidak lain adalah atom-atom yang tidak bisa di bagi lagi. Atom-atom yang tidak
terbagi itu , menurut Al-Razi, mempunyai volume (‘azhm). Oleh karena itu dapat
di bentuk. Dengan penyusunan atom-atom tersebut terbentuklah alam dunia.
Partikel-Partikel materi alam menentukan kualitas materi itu. Partikel yang
lebih padat menjadi unsur tanah, partikel yang lebih renggang dari pada unsur
tanah menjadi unsur air, partikel yang lebih renggang lagi menjadi unsur udara,
dan yang lebih jauh renggang menjadi unsur api.[20]
Untuk memperkuat pendapatnya tentang kekekalan materi
pertama, Al-Razi mengemukakan dua argument, pertama adanya Penciptaan mengharuskan
adanya Maha Pencipta. Sang Maha Pencipta yang kekal tentu menciptakan materi
yang kekal pula. Kedua, ketidak mungkinan penciptaan dari yang tidak ada,
karena itu alam diciptakan Allah dari bahan yang sudah ada, yakni materi
pertama yang telah ada sejak azali. Penulis berkesimpulan, segala sesuatu di
dunia ini dihasilkan memalui proses bukan oleh penciptaan. Bila demikian ia
tidak menciptakan dari ketiadaan dan dunia ini mewujudkan melalui proses
sesuatu yang asalnya materi.
4.
Al-Makan al- Muthlaq (Tempat/ Ruang Absolut)
Telah di sebutkan bahwa materi bersifat
kekal karena ia menempati ruang. Materi yang kekal membutuhkan ruang yang juga
kekal. Ruang menurut Al-Razi, dapat di bedakan menjadi dua macam : ruang
particular ( Al-makan al-juz’i) dan ruang universal (Al-makan
al-Kulli).[21]
Ruang particular tidak akan ada tanpa
adanya maujud, sehingga ia tidak bisa dipahami secara terpisah dengan maujud.
Ruang particular ini akan terbatas dengan terbatasnya maujud, berubah
dan lenyap sesuai dengan keadaan maujud yang ada didalamnya. Sementara
ruang yang kedua (universal), tidak terikat dengan maujud dan tidak
terbatas. Sebagai mana bukti ketidak terbatasan ruang universal, Al-Razi
mengatakan bahwa tubuh (wujud) memerlukan ruang, dan tubuh tidak mungkin
ada, kalau ruang tidak ada, tetapi ruang bisa ada tanpa adanya tubuh tersebut.
Ruang universal disebut al-khala (
kosong ) dan ruang inilah yang di katakan ruang yang kekal. Kalau ada orang
yang berkata bahwa Ruang Mutlak itu terbatas, maka batasnya adalah wujud.
5.
Al-Zaman al-Muthalaq (Masa Absolut)
Sebagaimana ruang, Al-Razi membagi waktu kepada dua
bagian yaitu waktu mutlak (al-dahr) dan waktu relatif ( al-mahsur dan
al-waqt). Al-dahr adalah zaman yang tidak mempunyai awal dan akhir serta
bersifat universal, terlepas sama sekali dari ikatan alam semesta, dan gerakan
falak. Kekekalan zaman ini merupakan konsekuensi dari kekekalan materi. Karena
materi mengalami perubahan, dan perubahan manandakan zaman, maka kalau materi
kekal, zaman mesti kekal juga. Al-mahsar atau al-waqt adalah bersifat particular dan
bersifat tidak kekal, serta terbatas karena ia terikat dengan gerakan falak,
terbit dan tenggelamnya matahari.
Menurut pemikiran penulis, tentang gerak
keberlangsungan , itulah waktu yang mutlak, tetapi kalau kita membayangkan
gerak bola bumi, inilah yang dimaksd dengan waktu yang terbatas.
b. Akal kenabian dan wahyu
Al-Razi
di kenal sebagai seorang rasional murni. Akal, menurutnya adalah karunia Allah
yang terbesar untuk manusia. Dengan akal manusia dapat memperoleh manfaat sebanyak-banyaknya, bahkan dapat
memperoleh pengetahuan tentang Allah. Bagi Al-Razi , akal menjadi kompas utama
dalam kehidupan setiap manusia. Oleh sebab itu, manusia tidak boleh
menyia-nyiakan dan mengekangnya, tetapi harus memberikan kebebasan padanya dan
merujuknya dalam segala hal. Karena pendapat yang demikian, sebagian ulama
mengatakan Al-Razi terlalu mengagungkan akal, tidak percaya kepada Nabi dan
menolak wahyu, sedangkan sebagian ulama yang lain, mengatakan Al-Razi tidak
berpendapat sejauh itu.
Karena
pendapatnya yang meletakkan akal pada posisi yang tinggi inilah Al-Razi
dianggap sebagai seorang yang menolak kenabian secara mutlak. Sehingga banyak
tulisan yang mengatakan jika Al-Razi adalah seorang yang tidak mengakui adanya
wahyu dan kenabian. Sepertihalnya Harun Nasution yang menyimpulkan pemikiran
filsafat Al-Razi sebagai berikut : a. tidak percaya kepada wahyu, b. Al-qur’an
bukan mukjizat, c. tidak percaya dengan kenabian, d. adanya yang kekal selain
Allah.[22]
Sebagai
contoh, Badawi menjelaskan pendapat Al-Razi sebagai berikut :
1.
Bahwa akal sudah memadai untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk,
yang benar dan yang jahat, yang berguna dan yang tak berguna. Melalui akal
manusia dapat mengatuhui Tuhan dan mengatur kehidupan kita sebaik-baiknya
2.
Tidak ada alasan kuat bagi pengistimewaan beberapa orang untuk membimbing
semua orang, karena semua orang lahir dengan kecerdasan yang sama. Perbedaan
manusia bukan karena pembawaan alamiah, tetapi karena pengembangan dan
pendidikan.
3.
Para nabi saling bertentangan. Pertentangan tersebut seharusnya tidak ada
jika mereka berbicara atas nama satu Allah.[23]
Namun penulis lebih setuju dengan
pendapat Sirajuddin Zar tentang Al-Razi ini bahwa ia adalah Intelektual Muslim,
sebagai berikut :
1.
Al-Razi lebih terkenal sebagai ahli dalam ilmu kedokteran (sains),
ketimbang ilmu spekulatif (filsafat). Oleh karena itu, dalam penjelasannya
tentang akal berdasarkan semangat rasional empiris eksperimental.
2.
Bahkan di dalam buku-bukunya sering menulis shalawat kepada Nabi Muhammad
SAW sebagai penghormatannya kepada beliau, dan ia juga mewajibkan untuk
memuliakan para nabi sebab mereka adalah manusia pulihan yang memiliki pribadi
mulia.
3.
Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tidak cukup bukti untuk
membenarkan tuduhan-tuduhan terhadap Al-Razi. Sebaliknya, ia adalah seorang
intelektual Muslim yang percaya kepada nabi dan wahyu.
Menurut
Abdul Latif Muhammad Al-Abd- sebagaimana yang di kutip Sirajuddin Zar- bahwa tuduhan Al-Razi tidak mempercayai
kenabian adalah didasarkan pada buku Makharriq al-Ambiya’ yang sampai
saat ini tidak ditemukan lagi, kecuali bagiannya terdapat di dalam kitab A’lam
al-Nubuwah karya Abu Hatim al-Razi. Oleh karena itu kebenarannya sangat
diragukan, mengingat sosok Abu hatim sendiri yang merupakan lawan debat
Al-Razi. Sehingga hal ini dianggap cukup ganjil dan ia nilai mengandung
sentiment.[24]
Penulis
yakin, bila benar infomasi yang diberikan Abu Hatim, tentu Al-Razi tidak dapat
disebut filosof dan dokter yang beragama islam. Bila tidak benar informasi Abu
Hatim, maka Al-Razi tidak dapat di sebut kafir. Sebenarnya dalam buku Al-Razi, Al-Thibb
al-Ruhani, dapat di jumpai petunjuk bahwa ia disamping menghargai akal,
juga menghargai syari’at atau agama, dan menghargai para nabi sebagai manusia
utama yang harus diteladani.
Dalam
karya tulis yang lain, Al-Razi menulis ungkapan, Semoga Allah melimpahkan
shalawat kepada ciptaanNya yang terbaik, Nabi Muhammad dan keluarganya dan
semoga Allah melimpahkan shalawat kepada sayyid kita, kekasih kita, dan
penolong kita pada hari kiamat, Muhammad, semoga Allah melimpahkan kepadanya
shalawat dan salam yang banyak selamanya.
Dengan ungkapan demikian penulis berpendapat,
haruslah Al-Razi di pandang sebagai filosof islam, dan tidak boleh dikafirkan,
bahkan harus di muliakan dan dihormati. Akan tetapi kita tentu lebih
berhati-hati, tidak tertutup pula kemungkinan orang-orang yang kontra dengan
Al-Razi menjelek-jelekkan Al-Razi sendiri, dengan menciptakan suatu karangan
yang mengatasnamakan Al-Razi, Padahal bukan Al-RAzi itu sendiri yang
mengarangnya. Untuk itu menjadi tugas kita bersama sebagai insan intelektual
abad ini melacak kembali kepada sumber yang asli.
Yang menjadi
pertanyaan bagi penulis, adalah para filosof yang menjadikan ayat-ayat Allah
sebagai dalil untuk bermanufer dalam filsafatnya, ayat memerintahkan manusia
berfikir, menganalisa yang ada disekitarnya, dan Allah pun amat besar
kebenciannya kepada orang-orang yang tidak menggunakan akal. Namun sebagian
filosof kurang memperhatikan, bahwa di balik perintah Allah untuk berfikir,
akal juga mempunyai kelemahan-kelemahan atau mempunyai batas-batas kemampuan
dalam berfikir.
Dan yang
tidak lebih mengheran penulis, adalah dengan keterbatasan akal para filosof
untuk berspekulasi tentang sesuatu, sebahagian mereka tidak malu-malu
mengatakan orang yang tidak sependapat dengan mereka adalah kafir. Harapan
penulis hendaknya para filosof dalam berfilsafat, dapat memperhatikan
batas-batas kemampuan akal dan tidak mengkafirkan filosof islam yang lain.
C.
KESIMPULAN
1.
Al-Razi adalah seorang intelektual muslim,yang pemikirannya banyak
mendapat tantangan dari ulama-ulama sezamannya. Pola fikirnya yang rasional
dianggap menyimpang dari agama, namun perlu diteliti kebenaranya, karena dalam
buku-bukunya, tidak ditemukan hal-hal yang kontroversial. Buku-buku yang
beredar dan dianggap karangannya, berisi penolakan wahyu dan kenabian,dianggap
palsu dan diragukan keaslianya.
2.
Filsafat Lima Kekalnya, kalau diteliti secara mendalam tidak meremehkan ke
Esaan Allah, bahkan lebih melogikakan keberadaan alam raya ini, dan tidak
bertentangan dengan Alqur’an.
3.
Posisi Al-Razi yang tidak menguntungkan ini, disebabkan adanya kecemburuan
sebahagian ulama kepadanya, sehingga mereka menuduhkan yang bukan-bukan dan
banyak bukunya yang di hancurkan.
4.
Tugas dan kewajiban ilmuan Islamlah di zaman modern ini untuk menggali,
mencari dan menganalisa alur fikiran Al-Razi, sehingga ia yang diagungkan dunia
Barat itu mampu kita tempatkan sebagai pemikir islam yang jenius dan
bermartabat.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Ahmad, Jamil, Seratus
Muslim Terkemuka, Jakarta : Pustaka Firdaus,2003
Amin, Husayn Ahmad, Seratus Tokoh dalam Sejarah
Islam, Bandung : Remaja Rosdakarya,2001
Mursi,Muhammad Sa,id, Tokoh-Tokoh Besar Islam
Sepanjang Sejarah ,Jakarta : Pustaka Al-Kautsar.2007
Nasution,Harun
, Filsafat dan mistisme dalam islam , Jakarta : Bulan Bintang ,1973
Syamsuddin, Fachri, Dasar-Dasar Filsafat Islam, Jakarta
: The Minangkabau Foundation, 2005
Sucipto,Hery, Ensiklopedi tokoh islam dari Abu Bakr
sampai Nasrh dan Qardhawi, Jakarta: Mizan Publika,2003
Sudarsono, Filsafat Islam, Jakarta : Rineka
Cipta
Zar, Sirajuddin, Filsafat
islam, Filosof dan Filsafatnya, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004
[1]
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme Dalam Islam, (Jakarta : Bulan
Bintang, 1992),h. 25
[2]
Sirajuddin zar, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafat nya ( Jakarta :
Raja Grafindo Persada, 2004 ) h. 113
[4] Majid Fakfri ,Sejarah Filsafat Islam
: h.150
[5] Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-Tokoh
Besar Islam sepanjang sejarah (ter : Khairul Amru Harahap, Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar) h.381
[6] Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam
Dari Abu Bakr hingga Nars dan Qardhawi (Jakarta : Mizan Publika ) h :124
[8] Syaikh Syihabuddin Abdul Futuh Yahya
Suhrawadi yang lebih di kenal sebagai Syaikh Isyraq, Syihab al-Maqtul, Syaikh
al-Maqtul, adalah founding father Filsafat Isyraq dan salah seorang filosof
besar islampada abad ke 6 M (587H). Ia lahir pada tahun 549 H/1154 M dikota Suhraward
Iran.Setelah menyelesaikan studi ilmu
filsafat dan ushul fiqih di Maragah, dari Majduddin Jili yang juga merupakan
guru Fakhrurazi, dan di Isfahan, ia melewati hidupnya beberapa tahun di barat
daya Anatolia. Setelah itu ia pindah ke halab( Aleppo Suriah) tahun 579 H/1183
M. di tempat ini ia mengajar dan menjadi teman gubernur, al-Malik al-Zahir
al-Ghazi (putra salahuddin Al-Ayyubi). Dikutip dari www.wisdoms4all.com/Indonesia/
[9]
Filosof perempuan yang terkenal dari daratan Iran.
[10]
Ibnu Miskawaih merupakan Filosof Muslim yang terkenal dengan akhlaknya, beliau
juga berasal dari Rayy, beliau juga ahli bahasa , sejarah dan kedokteran.Lihat
. Muhammad Yusuf Musa, Baina al-Din wa al-Falsafah, Fi Ra’yi ibn Rusyd wa
Falsafah ‘Ashr al-Wushith,(Bairut: ‘Ash al-Hadist,1988) h. 69
[11]
Ibn Sina adalah filosof dan dokter, di
lahirkan di Desa Afsyanah, tidak jauh dari Bukhara, di Transoxiana ( Persia
Utara) , Sulit untuk mencari tanggal yang tepat bagi lahirnya Ibn Sina, banyak
perbedaan di antaranya tahun 370 H, pendapat lain 375 H. Di antara guru-gurunya
Abu Abdullah al-Natili dan Ismail, pada usia dua puluh tahun ayah Ibn Sina
meninggal dunia kemudian ia meninggalkan Bukhara untuk menuju ke jurjan dan
dari sini ia pergi ke Khawarzn. Ibn Sina meninggalkan kurang lebih 267 buku,
dua dalam bidang filsafat yaitu Al-Isyarat wa al-Tanbihat dan al-Syifa, satu buku dalam bidang
kedokteran yaitu al-Qanun fi al-Thib. Pada tahun 428 H (1037 M) , ia
meninggal dunia di Hamadzan, pada usia 58 tahun. Lihat Husayn Ahmad Amin, al-Mi’ah
al-A’zham fi Tarikh al-Islam,(Kairo : Maktabah Madbouli,1995)ter, h.157,
juga lihat, Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta : Rineka Cipta) h.40-41
[12]
Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, (Jakarta : pustaka Firdaus , 2003
) hal 167
[13]
Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam sepanjang sejarah (ter :
Khairul Amru Harahap, Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar) h.380
[14]
Sirajuddin Zar, Op Cit , h 117
[15]
Harun Nasution,Op cit,h.22
[16]
Fachry Syamsudin, Dasar-Dasar Filsafat Islam , ( Jakarta : The
Minangkabau Fundation ,2004 ) h 42-43
[17]
Sirajuddin Zar,Op cit. h.117
[18]
Ibid
[19]
Ibit
[20]
Ibit
[21]
Ibid
[22]
Harun Nasution,Op Cit,h. 20
[23]
Sirajuddin Zar, Op Cit, h. 122
[24]
Ibit, ha 122-123
Tidak ada komentar:
Posting Komentar