Kamis, 18 Februari 2016

AL-RAZI DAN PEMIKIRAN FILSAFATNYA

A.PENDAHULUAN
                Filsafat sudah lahir sebelum islam, bahkan ilmu filsafat telah berkembang sebelum nabi Isa di lahirkan. Pelopor filsafat adalah pemikir-pemikir Yunani, seperti Plato, Socrates dan Aristoteles. Setelah islam berjaya mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, tepatnya pada masa Daulah Abbasiyah , diterjemahkan filsafat yunani kedalam bahasa Arab, sehingga dari hasil integrasi ilmu antara timur (islam ) dan barat (yunani ) maka lahirlah filsafat isalm.
                Filsafat Yunani tentu berbeda dengan filsafat islam. Filsafat Yunani hanya terfokus kepada rasio semata, sedang filsafat Islam di samping mempergunakan rasio, juga bersandar kepada Ayat-Ayat  Al-qur’an. Tidak benar pendapat Orientalis yang mengatakan bahwa filsafat Islam adalah filasafat Yunani yang di islamkan.
                Oleh karena cara berfikir filsafat mengandung ciri-ciri rasional, sistematis, universal, dan radikal, maka kadang kala sebagaian filosof cenderung mengedepankan akal untuk mencari kebenaran, sehingga tidak heran seolah-olah muncul penolakan otoritas wahyu dan kenabian, padahal mereka mengakui kebenaran yang dihasilakan filsafat tidaklah mutlak, relatif dan manusiawi.
                Banyak dari filosof muslim yang mendapat penilain negatif dari toko-toko islam. Salah satunya adalah Al-Razi, filosof muslim kelahiran Rayy yang terkenal dengan filsafat 5 yang kekalnya. Sebagai ilustrasi, bahkan Harun Nasution mengatakan bahwa Al-Razi adalah filosof muslim yang berani mengeluarkan pendapat-pendapat, sungguhpun ia bertentangan dengan faham yang dianut umat islam.[1] Untuk melihat secara objektif terhadap tokoh ini beserta pemikirannya, maka penulis akan mencoba melihatnya secara dekat lewat makalah yang berjudul Al-Razi dan pemikiran Filsafatanya.
                Penulis menyadari pembahasan mengenai Al-Razi adalah pembahasan yang membutuhkan waktu yang sangat panjang. Untuk itu di dalam makalah ini penulis hanya membahas mengenai : Biografi, latar belakang wilayah tempat tumbuh, karya-karya dan pemikiran Al-Razi.

B. AL-RAZI DAN PEMIKIRAN FILSAFATNYA
                Dalam islam ada beberapa tokoh yang bernama Al-Razi, Yaitu Abu Hatim Al-Razi, Fakhruddin Al-Razi dan Najimuddin Al-Razi. Oleh karena itu untuk membedakan antara Al-Razi  sang Filosof dengan Al-Razi Al-Razi yang lain, Perlu diteliti secara benar biografi, karya dan filsafatnya, sehingga tidak terjadi campur aduk legalitas seorang tokoh dengan yang lain.


     1. Biografi Al-Razi
                Al-Razi mempunyai nama lengkap Abu Bakar Muhammad Ibnu Zakaria Ibnu Yahya Al-Razi. Dalam wacana keilmuan Barat di kenal dengan sebutan  Rhazes. Ia dilahirkan di Rayy,  sebuah kota tua yang masa lalu bernama Rhogee, dekat Teheran , Republik Islam Iran pada tanggal 1 sya’ban 251 H/865 M.[2] Ia mempelajari matematika, filsafat, astronomi, dan ilmu kimia di Bhagdad sebagai murid Humayun  ibn Ishaq yang menguasai dengan baik ilmu pengobatan Yunani, Persia, dan India.[3] Ia meninggal kira- kira pada tahun 925 M.[4] Syaikh Muhammad Sa’id Mursi menulis dalam bukunya, Al-Razi mendrita kebutaan diakhir hidupnya dan pada tahun 313 H wafat di kota Baghdad.[5]
                Pada musa mudanya, ia menjadi tukang intan, penukar uang dan pemain musik kecapi. Kemudian Al-Razi memiliki perhatian yang besar terhadap ilmu kimia dan meninggalkanya setelah matanya terserang  penyakit akibat eskperimen- eksperimen yang di lakukanya. Soal kepribadian Al-Razi, seorang penulis biografi Barat , A.J. Aberry, dalam pengantar buku Al-Razi, The spiritual physic of Rhazes (Penyembuhan Ruhani), mengutip ahli sejarah, Ibnu Khallikan dalam Biographical Dictionary menulis “ Di masa mudanya, dia gemar main kecapi dan menekuni musik vokal. Namun ketika beranjak dewasa, dia meninggalkan hobynya ini seraya mengatakan bahwa musik yang berasal dari antara kumis dan jenggot tidak punya daya tarik dan pesona untuk di puji dan dikagumi.[6]
                Perjalanan panjang pengabdian intelektual Al-Razi ini pada akhirnya memang di luar dugaan. Ditengah-tengah keseriusan dan makin meningkatnya penguasaan ilmu kedokteran, Al-Razi yang makin menua usia ini terserang penyakit katarak hingga membuat matanya buta. Penglihatannya praktis tak berfungsi. Ketika dia dianjurkan untuk berbekam, konon Al-Razi menjawab, Tidak, aku sudah demikian lama melihat seluruh dunia ini sehingga aku pun lelah karenanya.
     3. Latar Belakang Wilayah Tempat Tumbuh Al-Razi
                Kota Rayy- tempat kelahiran sang Filosof merupakan sebuah kota tua yang terletak di Iran. Telah di maklumi bahwa Iran yang dahulunya dikenal dengan Persia sejak lama terkenal dengan sejarah peradaban yang tinggi. Kota ini merupakan tempat pertemuan berbagai peradaban, terutama peradaban Yunani dan persia. Dalam bidang penyatuan kebudayaan Persia dan Yunani inilah terletak jasa dari Alenxander yang agung pada tahun 331 SM.[7] Oleh karena itu tidak mengherankan kota-kota di Persia ( Iran) ini telah mengenal peradaban yang tinggi jauh sebelum bangsa Arab mengenalnya. Tercatat banyak sekali tokoh- tokoh dan ilmuan Islam yang berasal dari wilayah Iran ini baik sebelum masa Al-Razi maupun sesudahnya, diantaranya : Fakhruddin Al-Razi (Mufassir sekaligus Mutakallim), Shuhrawardi,[8] Mulasadra[9], Ibnu Miskawaih[10] dan bnyak lagi tokoh-tokoh kenamaan lainnya.
                Tidak hanya sekedar tempat lahir para ilmuan, Iran juga merupakan tempat singgah, mengabdi, menuntut ilmu bagi banyak tokoh filsafat. Salah satunya adalah Ibn Sina.[11]
                Menurut pandangan penulis latar belakang wilayah seperti ini sangat mempengaruhi Al-Razi dengan pemikiran filsafatnya yang cemerlang (meskipun banyak yang berpandangan sinis terhadap sosok beliau). Jelasnya Iran merupakan lahan subur pemikiran yang menganugrahi pemikiran-pemikiran Al-Razi.
     2. Karya-Karya Al-Razi
                Al-Razi adalah Filosof yang rajin menulis, penulis unggulan yang meninggalkan karya-ayat abadinya tentang pengobatan, Kimia, Fisika, filsafat, Matematika, astronomi, dan etika. Karya ilmiahnya mencakup semua bidang “ kata Max Mayerthof” dan sumbangannya terhadap ilmua pengetahuan luar biasa, meliputi lebih dari 200 buku, setengah daripadanya di bidang kedokteran”. Ditengah prakteknya yang bagitu padat, ia masih mampu membagi waktu untuk menulis beberapa karya monumentalnya[12]. karya-karya ilmiahnya dapat di wariskan kepada umat islam sekarang. Diantara banyak karya tulis Al-Razi yang populer  adalah :
v  Bidang filsafat :
§  Al-Tibb al-Ruhani
§  Al-Shirat al-Falsafiyyah
§  Amarat Iqbal al-Daulah
§  Al-Ladzdzah
§  Kitab al-ilm al-Ilahi
§  Ar-Rasail Falsafiyyah
§  Makalah fi ma Ba’d dengan Al-Thabi’iyyah :
§  Al-Shukuk ‘ala Proclus
v  Bidang Kedokteran
§  Al-Hawi ( Ensiklopedi Kedokteran sampai abad ke-XVI di Eropa,setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin tahun 1279 dengan judul Continens );
§  Al-Judar wa al Hashbah ( tentang analisa penyakit cacar dan campak serta pencegahannya);
§  Al-Mansuri Liber al-Mansoris ( Kedokteran, 10 jilid)
v  Bidang Kimia
§  Al-Asrar ( Bidang kimia, diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Geard Of Cremon)
Inilah diantara buku-buku yang masyhur sebagai buah karya seorang Al-Razi, baik kapasitasnya sebagai seorang filosof, dokter, maupun ilmuan di bidang lainnya.
Ibnu Nadim berkata :” Razi satu-satunya orang di zamannya yang berhasil mengumpulkan ilmu-ilmu para pendahulu, khususnya ilmu kedokteran. “Para generasinya memberikan kesaksian.” Suatu saat murid-muridnya sedang duduk di tempat prakteknya. Tiba-tiba datang seorang pasien dan menceritakan keluhannya, walaupun cukup pelik masalahnya namun murid-muridnya dibiarkan mencari jawaban atas penyakit yang diderita. Ketika semuanya terdiam karena ketidaktahuannya, barulah Razi menyampaikan formula bagi penyakit tersebut.[13]
3. Pemikiran Filsafat Al-Razi
    a. Metafisika
                Filsafat Al-Razi di kenal dengan ajaran “ Lima Kekal “. Yakni :[14]
1.       Al-Bariy Ta’ala (Allah Ta’ala)
2.       Al-Nafs al-Kulliyat (Jiwa Universal)
3.       Al-Hayula al-Ula (Materi Pertama )
4.       Al-Makan al-Muthlaq (Ruang Absolut)
5.       Al-Zaman al-Muthlaq (Masa Absolut )
Dua dari lima yang kekal itu hidup dan aktif yakni Tuhan dan roh. Satu di antaranya tidak hidup dan pasif, yaitu materi, dua dan lainya tidak hidup, tidak aktif dan tidak pula pasif yakni ruang dan masa.[15]
                Pemikiran Al-Razi mengenai lima yang kekal ,kemudian di jadikan dasar dalam menetapkan wujud alam. Artinya alam itu baru akan terwujud apa bila kelima postulat itu ada, Lima hal tersebut yaitu :
1.       Al-Bariy Ta’ala (Allah Ta’ala)
Menurut Al-Razi tuhan itu maha bijaksana , Ia tidak mengenal istilah lupa. Disamping itu , Tuhan adalah pencipta segala sesuatu, kekuasaanNya tidak ada yang menyamainya, Ia mengetahui segala sesuatu dengan sempurna. Pengetahuan Tuhan berbeda dengan pengetahuan manusia. Sebab pengetahuan Tuhan tidak di batasi oleh pengalaman , sedang pengetahuan manusia di batasi oleh pengalaman. Tuhan tahu tentang sifat jiwa yang cenderung bersatu dengan benda dan mencari kelezatan material. Setelah jiwa bergabung dengan tubuh Tuhan kemudian kemudian mengatur hubungan tersebut dengan harmonis. Yaitu dengan jalan melimpahkan akal ke dalam jiwa. Lantaran memiliki akal, jiwa menjadi sadar bahwa selama bergandengan dengan tubuh ia tetap akan menderita . Dengan akal, jiwa tahu tentang asalnya. Akal pulalah yang menginsyafkan jiwa bahwa kebahagiaan tertinggi hanya akan diperoleh setelah ia mampu melepaskan dari kungkungan tubuh.[16]
Menurut Al-Razi Allah Maha Pencipta dan Pengatur seluruh alam ini. Alam di ciptakan Allah bukan dari tidak ada (creation exnihilo), tetapi bahannya dari yang telah ada. Oleh karena itu , menurutnya alam semesta tidak qadim, baharu, meskipun materi asalnya qadim, sebab penciptaan di sini dalam arti disusun dari bahan yang telah ada.[17]
                Penciptaan dari tiada bagi Al-Razi , tidak dapat dipertahankan secara logis, karena bahan alam yang tersusun dari tanah, air, udara, api dan benda-benda langit , pastilah berasal dari materi pertama yang telah ada sejak azali. Pada sisi lain, Jika Allah menciptakan alam dari tiada, tentu Ia terikat pada penciptaan segala sesuatu dari tiada karena hal ini merupakan modus perbuatan yang paling sederhana dan cepat. Namun kenyataan penciptaan seperti itu suatu hal yang tidak mungkin.
                Doktrin adanya yang kekal selain Allah, tidak sama dengan doktrin kekalNya Allah di dalam pemikiran filsafat Al-Razi ini agaknya di sebabkan oleh adanya Allah yang merupakan sumber yang maha Esa dan tetap. Namun demikian, kekalnya yang lain tidak sama dengan kekalNya Allah.[18]

2.       Al-Nafs al-Kulliyat (jiwa universal)
Jiwa universal merupakan al-mabda’ al-qadim al-Tsany (sumber kekal yang kedua). Padanya terdapat daya hidup dan bergerak, sulit diketahui karena dia tanpa rupa, tetapi karena ia dikuasai naluri untuk bersatu dengan al-hayulaal-ula (materi pertama), terjadilah pada zatnya, rupa yang dapat menerima fisik. Sementara itu, materi yang pertama tanpa fisik. Allah datang menolong roh dengan menciptakan alam semesta, termasuk tubuh manusia yang ditempati roh.[19]

Materi pertama adalah atom-atom yang tidak bisa dibagi, sedangkan materi kedua adalah roh, zat yang halus, wangi sejenis udara. Tuhan menciptakan manusia dan roh dapat mengambilnya sebagai tempat. Karena terikat pada kesenangan material, jiwa/roh lupa pada asalnya dan juga lupa bahwa kesenangan sejati tidaklah terletak dalam penyatuannya dengan materi.

Begitu pula Allah menciptakan akal. Ia merupakan limpahan rahmat dari Allah. Tujuan Penciptaannya untuk menyadarkan jiwa yang terlena dalam fisik manusia, bahwa tubuh itu bukanlah tempat sebenarnya, bukan tempat kebahagiaan dan tempat abadi. Kesenangan dan kebahagiaan yang sebenarnya adalah melepaskan diri dari materi dengan jalan filsafat, apabila telah suci , maka roh itu dapat kembali ke asalnya . Pada saat  itu lah alam materi hancur, kembali menjadi materi asal.

3.       Al-Haya’ul al-ula (Materi Pertama)
Materi pertama atau materi Mutlak adalah kekal, yang tidak lain adalah atom-atom yang tidak bisa di bagi lagi. Atom-atom yang tidak terbagi itu , menurut Al-Razi, mempunyai volume (‘azhm). Oleh karena itu dapat di bentuk. Dengan penyusunan atom-atom tersebut terbentuklah alam dunia. Partikel-Partikel materi alam menentukan kualitas materi itu. Partikel yang lebih padat menjadi unsur tanah, partikel yang lebih renggang dari pada unsur tanah menjadi unsur air, partikel yang lebih renggang lagi menjadi unsur udara, dan yang lebih jauh renggang menjadi unsur api.[20]

Untuk memperkuat pendapatnya tentang kekekalan materi pertama, Al-Razi mengemukakan dua argument, pertama adanya Penciptaan mengharuskan adanya Maha Pencipta. Sang Maha Pencipta yang kekal tentu menciptakan materi yang kekal pula. Kedua, ketidak mungkinan penciptaan dari yang tidak ada, karena itu alam diciptakan Allah dari bahan yang sudah ada, yakni materi pertama yang telah ada sejak azali. Penulis berkesimpulan, segala sesuatu di dunia ini dihasilkan memalui proses bukan oleh penciptaan. Bila demikian ia tidak menciptakan dari ketiadaan dan dunia ini mewujudkan melalui proses sesuatu yang asalnya materi.

4.       Al-Makan al- Muthlaq (Tempat/ Ruang Absolut)
Telah di sebutkan bahwa materi bersifat kekal karena ia menempati ruang. Materi yang kekal membutuhkan ruang yang juga kekal. Ruang menurut Al-Razi, dapat di bedakan menjadi dua macam : ruang particular ( Al-makan al-juz’i) dan ruang universal (Al-makan al-Kulli).[21]
Ruang particular tidak akan ada tanpa adanya maujud, sehingga ia tidak bisa dipahami secara terpisah dengan maujud. Ruang particular ini akan terbatas dengan terbatasnya maujud, berubah dan lenyap sesuai dengan keadaan maujud yang ada didalamnya. Sementara ruang yang kedua (universal), tidak terikat dengan maujud dan tidak terbatas. Sebagai mana bukti ketidak terbatasan ruang universal, Al-Razi mengatakan bahwa tubuh (wujud) memerlukan ruang, dan tubuh tidak mungkin ada, kalau ruang tidak ada, tetapi ruang bisa ada tanpa adanya tubuh tersebut.
Ruang universal disebut al-khala ( kosong ) dan ruang inilah yang di katakan ruang yang kekal. Kalau ada orang yang berkata bahwa Ruang Mutlak itu terbatas, maka batasnya adalah wujud.

5.       Al-Zaman al-Muthalaq (Masa Absolut)
Sebagaimana ruang, Al-Razi membagi waktu kepada dua bagian yaitu waktu mutlak (al-dahr) dan waktu relatif ( al-mahsur dan al-waqt). Al-dahr adalah zaman yang tidak mempunyai awal dan akhir serta bersifat universal, terlepas sama sekali dari ikatan alam semesta, dan gerakan falak. Kekekalan zaman ini merupakan konsekuensi dari kekekalan materi. Karena materi mengalami perubahan, dan perubahan manandakan zaman, maka kalau materi kekal, zaman mesti kekal juga. Al-mahsar atau  al-waqt adalah bersifat particular dan bersifat tidak kekal, serta terbatas karena ia terikat dengan gerakan falak, terbit dan tenggelamnya matahari.
Menurut pemikiran penulis, tentang gerak keberlangsungan , itulah waktu yang mutlak, tetapi kalau kita membayangkan gerak bola bumi, inilah yang dimaksd dengan waktu yang terbatas.
b. Akal kenabian dan wahyu
          Al-Razi di kenal sebagai seorang rasional murni. Akal, menurutnya adalah karunia Allah yang terbesar untuk manusia. Dengan akal manusia dapat memperoleh  manfaat sebanyak-banyaknya, bahkan dapat memperoleh pengetahuan tentang Allah. Bagi Al-Razi , akal menjadi kompas utama dalam kehidupan setiap manusia. Oleh sebab itu, manusia tidak boleh menyia-nyiakan dan mengekangnya, tetapi harus memberikan kebebasan padanya dan merujuknya dalam segala hal. Karena pendapat yang demikian, sebagian ulama mengatakan Al-Razi terlalu mengagungkan akal, tidak percaya kepada Nabi dan menolak wahyu, sedangkan sebagian ulama yang lain, mengatakan Al-Razi tidak berpendapat sejauh itu.
          Karena pendapatnya yang meletakkan akal pada posisi yang tinggi inilah Al-Razi dianggap sebagai seorang yang menolak kenabian secara mutlak. Sehingga banyak tulisan yang mengatakan jika Al-Razi adalah seorang yang tidak mengakui adanya wahyu dan kenabian. Sepertihalnya Harun Nasution yang menyimpulkan pemikiran filsafat Al-Razi sebagai berikut : a. tidak percaya kepada wahyu, b. Al-qur’an bukan mukjizat, c. tidak percaya dengan kenabian, d. adanya yang kekal selain Allah.[22]

          Sebagai contoh, Badawi menjelaskan pendapat Al-Razi sebagai berikut :
1.       Bahwa akal sudah memadai untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang jahat, yang berguna dan yang tak berguna. Melalui akal manusia dapat mengatuhui Tuhan dan mengatur kehidupan kita sebaik-baiknya
2.       Tidak ada alasan kuat bagi pengistimewaan beberapa orang untuk membimbing semua orang, karena semua orang lahir dengan kecerdasan yang sama. Perbedaan manusia bukan karena pembawaan alamiah, tetapi karena pengembangan dan pendidikan.
3.       Para nabi saling bertentangan. Pertentangan tersebut seharusnya tidak ada jika mereka berbicara atas nama satu Allah.[23]
Namun penulis lebih setuju dengan pendapat Sirajuddin Zar tentang Al-Razi ini bahwa ia adalah Intelektual Muslim, sebagai berikut :
1.       Al-Razi lebih terkenal sebagai ahli dalam ilmu kedokteran (sains), ketimbang ilmu spekulatif (filsafat). Oleh karena itu, dalam penjelasannya tentang akal berdasarkan semangat rasional empiris eksperimental.
2.       Bahkan di dalam buku-bukunya sering menulis shalawat kepada Nabi Muhammad SAW sebagai penghormatannya kepada beliau, dan ia juga mewajibkan untuk memuliakan para nabi sebab mereka adalah manusia pulihan yang memiliki pribadi mulia.
3.       Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tidak cukup bukti untuk membenarkan tuduhan-tuduhan terhadap Al-Razi. Sebaliknya, ia adalah seorang intelektual Muslim yang percaya kepada nabi dan wahyu.

Menurut Abdul Latif Muhammad Al-Abd- sebagaimana yang di kutip Sirajuddin Zar-  bahwa tuduhan Al-Razi tidak mempercayai kenabian adalah didasarkan pada buku Makharriq al-Ambiya’ yang sampai saat ini tidak ditemukan lagi, kecuali bagiannya terdapat di dalam kitab A’lam al-Nubuwah karya Abu Hatim al-Razi. Oleh karena itu kebenarannya sangat diragukan, mengingat sosok Abu hatim sendiri yang merupakan lawan debat Al-Razi. Sehingga hal ini dianggap cukup ganjil dan ia nilai mengandung sentiment.[24]
Penulis yakin, bila benar infomasi yang diberikan Abu Hatim, tentu Al-Razi tidak dapat disebut filosof dan dokter yang beragama islam. Bila tidak benar informasi Abu Hatim, maka Al-Razi tidak dapat di sebut kafir. Sebenarnya dalam buku Al-Razi, Al-Thibb al-Ruhani, dapat di jumpai petunjuk bahwa ia disamping menghargai akal, juga menghargai syari’at atau agama, dan menghargai para nabi sebagai manusia utama yang harus diteladani.
Dalam karya tulis yang lain, Al-Razi menulis ungkapan, Semoga Allah melimpahkan shalawat kepada ciptaanNya yang terbaik, Nabi Muhammad dan keluarganya dan semoga Allah melimpahkan shalawat kepada sayyid kita, kekasih kita, dan penolong kita pada hari kiamat, Muhammad, semoga Allah melimpahkan kepadanya shalawat dan salam yang banyak selamanya.
 Dengan ungkapan demikian penulis berpendapat, haruslah Al-Razi di pandang sebagai filosof islam, dan tidak boleh dikafirkan, bahkan harus di muliakan dan dihormati. Akan tetapi kita tentu lebih berhati-hati, tidak tertutup pula kemungkinan orang-orang yang kontra dengan Al-Razi menjelek-jelekkan Al-Razi sendiri, dengan menciptakan suatu karangan yang mengatasnamakan Al-Razi, Padahal bukan Al-RAzi itu sendiri yang mengarangnya. Untuk itu menjadi tugas kita bersama sebagai insan intelektual abad ini melacak kembali kepada sumber yang asli.
Yang menjadi pertanyaan bagi penulis, adalah para filosof yang menjadikan ayat-ayat Allah sebagai dalil untuk bermanufer dalam filsafatnya, ayat memerintahkan manusia berfikir, menganalisa yang ada disekitarnya, dan Allah pun amat besar kebenciannya kepada orang-orang yang tidak menggunakan akal. Namun sebagian filosof kurang memperhatikan, bahwa di balik perintah Allah untuk berfikir, akal juga mempunyai kelemahan-kelemahan atau mempunyai batas-batas kemampuan dalam berfikir.
Dan yang tidak lebih mengheran penulis, adalah dengan keterbatasan akal para filosof untuk berspekulasi tentang sesuatu, sebahagian mereka tidak malu-malu mengatakan orang yang tidak sependapat dengan mereka adalah kafir. Harapan penulis hendaknya para filosof dalam berfilsafat, dapat memperhatikan batas-batas kemampuan akal dan tidak mengkafirkan filosof islam yang lain.

C. KESIMPULAN
1.       Al-Razi adalah seorang intelektual muslim,yang pemikirannya banyak mendapat tantangan dari ulama-ulama sezamannya. Pola fikirnya yang rasional dianggap menyimpang dari agama, namun perlu diteliti kebenaranya, karena dalam buku-bukunya, tidak ditemukan hal-hal yang kontroversial. Buku-buku yang beredar dan dianggap karangannya, berisi penolakan wahyu dan kenabian,dianggap palsu dan diragukan keaslianya.
2.       Filsafat Lima Kekalnya, kalau diteliti secara mendalam tidak meremehkan ke Esaan Allah, bahkan lebih melogikakan keberadaan alam raya ini, dan tidak bertentangan dengan Alqur’an.
3.       Posisi Al-Razi yang tidak menguntungkan ini, disebabkan adanya kecemburuan sebahagian ulama kepadanya, sehingga mereka menuduhkan yang bukan-bukan dan banyak bukunya yang di hancurkan.
4.       Tugas dan kewajiban ilmuan Islamlah di zaman modern ini untuk menggali, mencari dan menganalisa alur fikiran Al-Razi, sehingga ia yang diagungkan dunia Barat itu mampu kita tempatkan sebagai pemikir islam yang jenius dan bermartabat.



DAFTAR KEPUSTAKAAN
Ahmad, Jamil, Seratus Muslim Terkemuka, Jakarta : Pustaka Firdaus,2003
Amin, Husayn Ahmad, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, Bandung : Remaja Rosdakarya,2001
Mursi,Muhammad Sa,id, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah ,Jakarta : Pustaka Al-Kautsar.2007
Nasution,Harun , Filsafat dan mistisme dalam islam , Jakarta : Bulan Bintang ,1973
Syamsuddin, Fachri, Dasar-Dasar Filsafat Islam, Jakarta : The Minangkabau Foundation, 2005
Sucipto,Hery, Ensiklopedi tokoh islam dari Abu Bakr sampai Nasrh dan Qardhawi, Jakarta: Mizan Publika,2003
Sudarsono, Filsafat Islam, Jakarta : Rineka Cipta
Zar, Sirajuddin, Filsafat islam, Filosof dan Filsafatnya, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004




[1] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme Dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1992),h. 25
[2] Sirajuddin zar, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafat nya ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004 ) h. 113
[3] Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, (Jakarta : Pustaka Firdaus ,2003), h. 166
[4] Majid Fakfri ,Sejarah Filsafat Islam : h.150
[5] Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam sepanjang sejarah (ter : Khairul Amru Harahap, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar) h.381
[6] Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam Dari Abu Bakr hingga Nars dan Qardhawi (Jakarta : Mizan Publika ) h :124
[7] Sirajuddin Zar,Op cit. h.114
[8] Syaikh Syihabuddin Abdul Futuh Yahya Suhrawadi yang lebih di kenal sebagai Syaikh Isyraq, Syihab al-Maqtul, Syaikh al-Maqtul, adalah founding father Filsafat Isyraq dan salah seorang filosof besar islampada abad ke 6 M (587H). Ia lahir  pada tahun 549 H/1154 M dikota Suhraward Iran.Setelah  menyelesaikan studi ilmu filsafat dan ushul fiqih di Maragah, dari Majduddin Jili yang juga merupakan guru Fakhrurazi, dan di Isfahan, ia melewati hidupnya beberapa tahun di barat daya Anatolia. Setelah itu ia pindah ke halab( Aleppo Suriah) tahun 579 H/1183 M. di tempat ini ia mengajar dan menjadi teman gubernur, al-Malik al-Zahir al-Ghazi (putra salahuddin Al-Ayyubi). Dikutip dari www.wisdoms4all.com/Indonesia/
[9] Filosof perempuan yang terkenal dari daratan Iran.
[10] Ibnu Miskawaih merupakan Filosof Muslim yang terkenal dengan akhlaknya, beliau juga berasal dari Rayy, beliau juga ahli bahasa , sejarah dan kedokteran.Lihat . Muhammad Yusuf Musa, Baina al-Din wa al-Falsafah, Fi Ra’yi ibn Rusyd wa Falsafah ‘Ashr al-Wushith,(Bairut: ‘Ash al-Hadist,1988) h. 69
[11] Ibn Sina adalah filosof dan dokter,  di lahirkan di Desa Afsyanah, tidak jauh dari Bukhara, di Transoxiana ( Persia Utara) , Sulit untuk mencari tanggal yang tepat bagi lahirnya Ibn Sina, banyak perbedaan di antaranya tahun 370 H, pendapat lain 375 H. Di antara guru-gurunya Abu Abdullah al-Natili dan Ismail, pada usia dua puluh tahun ayah Ibn Sina meninggal dunia kemudian ia meninggalkan Bukhara untuk menuju ke jurjan dan dari sini ia pergi ke Khawarzn. Ibn Sina meninggalkan kurang lebih 267 buku, dua dalam bidang filsafat yaitu Al-Isyarat wa al-Tanbihat  dan al-Syifa, satu buku dalam bidang kedokteran yaitu al-Qanun fi al-Thib. Pada tahun 428 H (1037 M) , ia meninggal dunia di Hamadzan, pada usia 58 tahun. Lihat Husayn Ahmad Amin, al-Mi’ah al-A’zham fi Tarikh al-Islam,(Kairo : Maktabah Madbouli,1995)ter, h.157, juga lihat, Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta : Rineka Cipta) h.40-41
[12] Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, (Jakarta : pustaka Firdaus , 2003 ) hal 167
[13] Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam sepanjang sejarah (ter : Khairul Amru Harahap,   Jakarta: Pustaka Al-Kautsar) h.380
[14] Sirajuddin Zar, Op Cit , h 117
[15] Harun Nasution,Op cit,h.22
[16] Fachry Syamsudin, Dasar-Dasar Filsafat Islam , ( Jakarta : The Minangkabau Fundation ,2004 ) h 42-43
[17] Sirajuddin Zar,Op cit. h.117
[18] Ibid
[19] Ibit
[20] Ibit
[21] Ibid
[22] Harun Nasution,Op Cit,h. 20
[23] Sirajuddin Zar, Op Cit, h. 122
[24] Ibit, ha 122-123

Tidak ada komentar:

Posting Komentar