Pembentukan
hukum pada masa Nabi SAW menjadi sangat penting bagi pembentukan hukum pada
generasi berikutnya. Ketika masa Nabi, semua permasalahan hukum hampir
diselesaikan oleh Nabi, kecuali pada hal-hal yang menuntut para sahabat untuk melakukan
ijtihad. Hal ini seperti yang telah dilakukan oleh Mu’adz bin Jabal ketika di
utus oleh Nabi SAW menjadi gubernur di Yaman.
Setiap problema
hukum yang muncul ketika itu, mayoritas diselesaikan oleh Nabi sendiri atas
bimbingan wahyu. Artinya, penetapan hukum pada masa Nabi bisa dibilang
bersumber pada al-Qur’an, Hadits dan sedikit ijtihad yang dilakukan oleh
beberapa sahabat. Para sahabat banyak belajar tentang cara pengambilan hukum
kepada Nabi, disamping mereka mengetahui bahasa Arab dengan baik, mereka
merupakan generasi pertama yang mengetahui langsung Asbab al-Nuzul al-Qur’an
dan Asbab al-Wurud Hadits Nabi SAW, dan memahami illat hukum
seperti yang telah diajarkan Nabi kepada mereka ketika menentukan hukum dengan
haditsnya.
Selepas
meninggalnya Nabi SAW kondisinya berbeda. Masalah yang dihadapi pun
bermunculan, mulai dari permasalahan kepemimpinan hingga pengkodifikasian
al-Qur’an. Belum lagi muncul masalah baru yang memerlukan fatwa paska wafatnya
Nabi dengan kondisi yang berbeda dengan permasalahan sebelumnya.
Maka pada kesempatan ini,
akan dibahas mengenai tasyri’ pada masa sahabat, yang meliputi mengenai
langkah-langkah sahabat dalam tayri’, ijtihad di zaman sahabat dan khazanah
fiqhiyah yang diwariskan sahabat.
B. PEMBAHASAN
1. Langkah-Langkah Sahabat Dalam Tasyri’
Setelah meninggalnya Nabi Muhammad SAW, tentunya
permasalahan yang muncul tidak bisa diselesaikan sebagaimana biasanya seperti saat Nabi masih hidup. Pada waktu Nabi masih
hidup, semua permasalahan langsung diserahkan kepada Nabi. Namun berbeda
setelah meninggalnya Nabi. Apalagi permasalahan semakin banyak dan komplek,
mulai dari adanya permasalahan keingkaran para pembayar zakat, munculnya
nabi-nabi palsu, dan berbagai macam lainnya.
Semua permasalahan
yang muncul pada saat ini, tentunya para khalifah harus bisa menyelesaikan
permasalahan tersebut,
tidak mungkin membiarkan permasalahan bagitu saja sehingga membuat
ketimpangan-ketimpangan pada umat Islam. Dalam penyelesaian permasalahan,
tentunya tidak boleh menimbulkan permasalahan baru, maka para khalifah
mempunyai cara atau langkah-langkah dalam penyelesaian permasalahan yang
muncul.
Abu Bakar apabila
menghadapi kejadian baru, memperhatikan Al-Quran. Jika terdapat di dalamnya,
beliau menetapkan hukum dengannya. Jika tidak terdapat di dalamnya, beliau lalu
memperhatikan hadis, jika terdapat di dalamnya, beliaupun menetapkan hukum
dengannya. Jika beliau tidak menemui hukum itu di dalam hadis, sesudah payah
beliau memeriksanya, beliau lalu bertanya kepada sahabat. Maka apabila ada
seorang sahabat yang memberitahukan tentang putusan Nabi, beliaupun berpegang
pada putusan tersebut.[1]
Dan juga Abu Bakar mengumpulkan para sahabat dalam satu majlis, mereka yang
duduk di majlis itu melakukan ijtihad bersma (jama’i) atau ijtihad
kolektif. Timbullah keputusan atau konsensus bersama yang disebut ijma’
mengenai masalah tertentu.[2]
Dapat dipahami,
bahwa Abu Bakar barusaha menggali hukum dengan pengetahuan yang dimiliki, dia
mengkaji dan mendalami petunjuk apa yang ada di dalam alquran, kemudian setelah
mengkaji dan mendalami alquran tersebut, apabila didapatkan suatu petunjuk,
tentu dia dapat mengeluarkan suatu aturan. Namun apabila tidak, Abu Bakar juga
mengkaji hadis seperti yang dia lakukan terhadap alquran, dia juga menanyakan
kepada sahabat yang lain, mungkin ada Nabi memberikan hadis yang sesuai dengan
permasalahan yang terjadi. Dan apabila tidak ada ditemukan, maka Abu Bakar
menanyakan pendapat sahabat yang lain, dengan menggumpulkan para sahabat
disuatu majlis, mereka memberikan pendapat masing-masing berdasarkan
pengetahuan mereka, sehingga melahirkan keputusan yang disepakati secara
bersama yang berarti mereka melakukan iijtihad bersama yang lebih dikenal
dengan ijtihad kolektif.
Dan kerap kali Abu
Bakar, apabila tidak mendapatkan hukum dalam kitab dan sunnah mengumpulkan para
ulama sahabat dan merembukkan hal itu. Kemudian apabila ulama itu bermufakat
menetapkan suatu pendapat, Abu Bakarpun menetapkan hukum menurut pandangan yang
disepakati itu. Pendapat yang diambil dengan perembukan, diperintahkan rakyat
untuk mengikutinya.
Khalifah Umar juga
melakukan demikian, apabila ia tidak mampu mendapatkan petunjuk di dalam
al-quran dan sunnah, maka ia bertanya: “apakah ada Abu Bakar memutuskan hal demikian
dengan suatu keputusan?”, apabila ada Abu Bakar mempunyai keputusan tentang itu,
maka dia memutuskan seperti yang diputuskan Abu Bakar jika tidak ada perbedaan.
Seperti itu juga Usman dan Ali ra melakukannya dengan kehati-hatian (ihtiyath).[3]
Maka dapat dipahami, bahwa cara-cara ijtihat yang mereka laksanakan itu ialah:
a.
Menetapkan hukum dengan dasar ra’yu perorangan (ijtihad
fardi)
b.
Menetapkan hukum dengan cara mengadakan ijma’ (ijtihad
jama’i)
Kesipulannya, para
sahabat yang memegang ijtihad di periode ini, berawal dari menetapkan hukum dari Al-Quran dan
sunnah. Apabila mereka tidak mendapatkan hukumnya, sesudah mereka selidiki
benar-benar, barulah mereka mempergunakan penyelidikan akal dan memakai
keputusan yang sempurna, yang berarti ijtihad.
Cara mereka
berijtihad adalah dengan berpegang kepada ma’qul al-nash dan
mengeluarkan ‘illah penyebab adanya hukum atau hikmah yang dimaksud dari
pada nash itu, kemudian menerapkannya pada masalah yang sesuai illahnya dengan illah yang ada pada
nash. Inilah yang kemudian disebut al-qiyas. Dengan bermusyawarah dengan
mencari hukum yang tidak ada nashnya, kemudian mereka bersepakat dalam hukum
yang mereka temukan atas suatu masalah. Inilah yang disebut dengan ijma’.[4]
Ahli-ahli fatwa
dimasa itu, yang memberi fatwa secara pribadi, tidak memberikan sesuatu hukum
yang belum terjadi. Karena itu pemakaian qiyas kurang terjadi pada masa ini.
Bahkan terdapat disebagian mereka kata-kata yang wujudnya mencela pemakaian
qiyas dalam urusan menetapakan hukum.
Para khalifah,
dalam mengemukakan pendapat tentang suatu permasalahan tidak memaksakan
pendapatnya, tidak mengatakan bahwa pendapat dialah yang benar dan menghargai
pendapat yang lainnya, mengikuti
pendapat yang lebih kuat alasannya dan dasarnya. Maka perlu ditegaskan, bahwa
hukum-hukum yang mereka tetapkan secara pribadi Dengan kekuatan ijtihad mereka
masing-masing, mereka tidak mengaharuskan rakyat mengikutinya.[5]
Abu bakar, dalam pidato pelantikannya sebagai khalifah pertama dia berucap: aku
telah kalian pilih sebagai khalifah, kepala Negara, tetapi aku bukanlah yang
terbaik diantara kita sekalian. Karena itu jika aku melakukan sesuatu yang
benar ikuti dan bantulah aku, tetapi jika aku melakukan sutu kesalahan,
perbaikilah, sebab menurut pendapatku menyatakan yang benar adalah amanat,
membohongi rakyat adalah pengkhianat. Ikutilah aku selama aku mengikuti
perintah Allah dan rasul-Nya. Jika aku tidak mengikuti perintah Allah dan
rasul-Nya kalian berhak untuk tidak patuh kepadaku dan akupun tidak menuntut
kepatuhan kalian.[6]
Umar apabila
berijtihad mengatakan: “inilah pendapat Umar, jika benar maka dia dari Allah,
jika salah maka dia dari Umar sendiri. Sunnah itu, hanyalah yang disunnahkan
Allah dan rasul-Nya, jangan kamu menjadikan pemikiran yang salah, sunnah bagi
rakyat.[7]
2.
Ijtihad di Zaman Sahabat
Permasalahan yang
pertyama muncul ketika Nabi baru wafat adalah permasalahan siapa yang akan menjadi pemimpin umat
mengantikan beliau. Nabi sendiri tidak memberikan petunjuk apa-apa dan wahyu yang berkenaan dengan pergantian pemimpin
pun tidak ada yang secara tegas dan
jelas menerangkannya. Terjadilah perbincangan yang meluas dengan menggunakan
akal (daya nalar) sebagai dalil. Hasil dari perbincangan itu adalah penunjukkan
Abu Bakar sebagai pemimpin yang disebut khalifah. Dasar pemikiran penunjukkan
Abu Bakar ini ialah kerana ia pernah menggantikan kedudukan Nabi sebagai imam
shalat jamaah pada saat Nabi sakit. Kalau Abu Bakar pernah menjadi imam shalat
yang merupakan pemimpin dalam hal keagamaan, tentu tepat pula untuk menduduki
jabatan khalifah sebagai pemimpin keduniaan.[8]
Pada waktu Nabi masih
hidup sampai meninggalnya wahyu Allah yang disebut Al-Quran itu belum
terkumpul, tetapi terekam dalam hafalan para sahabat yang menghafalnya. Dalam
suatu perang melawan kaum kafir banyak penghafal Al-Quran yang meninggal.
Dikhawatirkan hilangnya kumpulan wahyu Allah dengan meninggalnya semua
penghafal. Timbullah ide untuk mengumpulkan Al-Quran, tetapi petunjuk dari
wahyu dan dari Nabi untuk itu tidak ada. Namun karena ide tersebut baik, dalam
rangka menjaga keutuhan wahyu, maka terlaksanalah pengumpulan wahyu Al-Quran
itu, meskipun belum tersusun secara teratur sebagai mana dalam bentuknya yang
sekarang. Ini adalah hasil ijtihad sahcabat.[9]
Para sahabat apabila menemui atau menghadapi suatu
peristiwa, disaat itulah mereka melakukan ijtihad. Mereka berpegang pada:
a. Al-Quran,
mereka dapat memahamkan Al-Quran dengan sempurna, lantaran diturunkan dalam
bahasa mereka, yang dapat pula mereka mengetahui sebab-sebab turunnya.
b. Sunnah
rasul, mereka bermufakat mengikuti sunnah yang mereka percaya kepada rawinya.[10]
Walaupun para
khalifah dalam menyelesaikan permasalahan merujuk kepada al-quran dan sunnah,
namun tidak semua dan tidak selamanya mereka mempunyai pendapat yang sama.
Dikarenakan mereka berbeda dalam memahami al-quran dan sunnah. Berikut adalah
sebagian ijtihad-ijtihad khulafah arrasyidin yang ikhtilafiyah:
1.
Pada masa Umar, ada seorang wanita tertalak yang masih dalam masa iddah dinikahkan (dan ini
dilarang berdasarkan nash alquran). Maka Umar memukul si suami dengan pemukul
beberapa kali dan menceraikan antara keduanya, dan dia berkata: “wanita mana
saja yang dinikahkan pada masa iddahnya dan belum bersetubuh, maka diceraikan
keduanya, maka wanita itu beriddah dengan sisa iddah dari suaminya yang pertama,
kemudian laki-laki yang kedua ini boleh meminangnya lagi. Namun apabila telah
bersetubuh, maka keduanya diceraikan, dan wanita itu beriddah dengan sisa iddah
dari suaminya yang pertama kemudian ditambah iddah dari suaminya yang kedua dan
suami yang kedua ini tidak boleh menikahi wanita itu lagi selama-lamanya. Ali
berkata: “apabila telah habis masa iddah wanita itu dengan suami yang pertama,
laki-laki kedua boleh menikahinya jika ia mau.
Keduanya
berbeda pendapat tentang pengkekalan haram nikah terhadap suami yang kedua
setelah bersetubuh dengan wanita yang dalam masa iddah. Dan tidak ada dalam
alquran yang menguatkan salah satu dari pendapat keduanya.[11] Umar
bin Khatab mengkiyaskan larangan tersebut dengan pembunuhan yang dilakukan oleh
ahli waris. Keduanya terdapat kesamaan, yaitu keinginan mengambil hak sebelum
waktunya sehingga hukumannya adalah terhapusnya hak si pelanggar untuk menikahi
atau mewarisi.[12]
Umar berpendapat berdasarkan kaidah pencegahan dan pengajaran. Sedangkan Ali
berpendapat berdasarkan pokok-pokok umum.[13]
2.
Umar bin Khatab berkata, bahwa iddah wanita hamil yang
ditinggal mati adalah sampai melahirkan. Ali berkata, wanita itu beriddah
dengan sejauh-jauh dua masa, dengan sejauh masa kandungan dan melewati empat
bulan sepuluh hari. Sebab khilafiahnya adalah, bahwa Allah menjadiakn iddah
wanita hamil sampai melahirkan dan menjadikan iddah yang ditinggal mati adalah
empat bulan sepuluh hari dengan tidak ada perincian. Maka Ali dalam fatwanya
tentang wanita yang ditinggal mati berdasarkan kedua ayat tersebut. Sedangkan
Umar menjadikan ayat talak itu sebagai hukum ayat wafat yakni secara khusus.
Dan diriwayatkan terhadap pendapat Umat itu, bahwa Sab’ah binti Haris
al-Aslamiyah meninggal suaminya dan dia melahirkan setelah dua puluh lima hari
dari hari kematian suaminya maka Nabi menfatwakan dengan habis iddahnya. Dan
telah diketahui terhadap pendapat Ali yanng mengekalkan dalam menerima
periwayatan.[14]
3.
Muslim dan Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia
berkata: talak pada masa Rasul, Abu Bakar dan dua tahun kekhalifahan Umar talak
tiga jatuh satu. Umar berkata, sesungguhnya manusia itu telah tergesa-gesa
dengan perkara yang di dalamnya ada keperlahanan. Maka apabila hal itu kami
biarkan terhadap mereka, maka hal itu akan berlanjut.[15]
Umar mengubah ketetapan itu menjadi talak tiga sekali gus dihitung menjadi
talak tiga supaya kaumuslimin berhati-hati dalam ucapannya serta tidak
meremehkannya.[16]
4.
Ibnu Mas’ud dan Umar bin Khtab berfatwa, bahwa wanita
yang tertalak tidak keluar dari iddahnya apabila ia telah mandi dari haidnya
yang ketiga. Zaid bis Sabit berfatwa, bahwa wanita itu keluar dari masa iddah
tatkala wanita itu memasuki haid yang ketiga. Timbulnya perbedaan pendapat
mereka adalah mengenai quru’. Apakah quru’ itu berarti suci
seperti yang dipahami oleh Zaid bin Sabit dan yang lainnya, atau berarti haid
sebagaiman yang dipahami oleh Ibnu Mas’ud.[17]
Ikhtilaf ini lebih jauh dapat dipahami karena dalam bahasa Arab, quru’
dapat berarti bersih dan haid.[18]
5.
Abu Bakar tidak memberikan warisan kepada saudara-saudara
bersama kakek. Adapun Umar memberikan bagain warisan mereka (saudara-saudara) bersamanya
(kakek). Abu Bakar menjadikan kakek sebagai ayah, dan saudara-saudara tidak
mendapat warisan bersama ayah berdasarkan nash. Umar tidak menjadikan seperti
itu, dan Zaid bin Sabit sepakat dengan pendapat Umar ini.[19]
Ijtihad sahabat
tidak keluar dari 6 bentuk:
1.
Fatwa yang didengar sahabat dari Nabi
2.
Fatwa yang didengar dari orang yang mendengar dari Nabi
3.
Fatwa yang didasarkan atas pemahamannya terhadap al-quran
yang agak kabur dari ayat tersebut pemahamannya bagi kita.
4.
Fatwa yang disepakati oleh tokoh-tokoh sahabat yang
sampai kepada kita melalui salah seorang sahabat.
5.
Fatwa yang didasarkan atas kesempurnaan ilmunya baik
bahasa maupun tingkah lakunya, kesempurnaannya tentang keadaan Nabi dan
maksud-maksudnya. Kelima hal ini adalah hal yang wajib didikuti.
6.
Fatwa yang berdasarkan pemahaman yang tidak datang dari
Nabi dan salah pemahamannya, maka hal ini tidak ajadi hujjah.[20]
Dari perbedaan
pendapat para sahabat tersebut, dapat dicatat bahwa ada beberapa aspek yang
menyebabkan perbedaan (ikhtilaf) di antara mereka, yaitu sebagai berikut.
1.
Berbeda fatwa karena berbeda dalam memahami al-quran,
demikian ini karena beberapa segi:
a.
Terdapatnya lafaz yang mengandung dua makna, seprti
perselisihan mereka dalam memahami kata quru’ dalam firman Allah.
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur
ÆóÁ/utIt
£`ÎgÅ¡àÿRr'Î/
spsW»n=rO
&äÿrãè%
4
Umar dan Ibnu Mas’ud memahami bahwa quru’ itu haid, dan
Zaid bin Sabit memahami bahwa quru’ itu suci. Masing-masing mempunyai hujjah
yang kuat.[21]
b.
Terdapatnya dua hukum yang berbeda dalam dua persoalan
yang diduga salah satunya mencakup sebagian yang terkandung oleh bagian itu
terdapat perlawanan. Contohnya ayat tentang wanita beriddah wafat, ayat itu
mewajibkan untuk mmenanti selama empat bulan sepuluh hari, dan diduga ini
mencakup orang yang hamil. Dan ayat talak menjadikan iddah wanita hamil adalah
sampai melahirkan kandungannya, maka iddah wanita yang ditinggal mati dan hamil
adalah ragu-ragu antara yang terkandung oleh ayat yang pertama sehingga wanita
itu wajib menanti empat bulan sepuluh hari meskipun ia melahirkan sebelum itu
pengalaman terhadap ayat cerai. Ia berkata, sebagian dari pendapat itu didukung
oleh sahabat- sahabat besar.[22]
2.
Berbeda fatwa karena berbeda sunnah
Pada masa ini periwayatan sunnah tidaklah terkenal, dan
sunnahpun tidak dikumpulkan dalam satu buku untuk tempat kembali (rujukan),
hingga para mufti dihadapkan pada satu peristiwa dan mereka tidak mendapatkan
nash dari kitabullah maka mereka bertanya kepada orang yang bersama dengan
mereka, apakah mereka mendengarkan keputusan dari Rasul dalam permasalahan itu
sering kali dihadapan mereka terdapat orang yang meriwayatkan hadis untuk
mereka, dan mereka berfatwa dengannya apabila membenarkan riwayat itu, Umar
selalu meminta dari perawi akan orang yang menemaninya dalam mendengar hadis,
dan Ali bin Abi Talib selalu menyumpah perawi, barangkali dirriwayatkan hadis
untuk mereka tetapi mereka tidak mengamalkannya apabila ia tidak menerima
kebenaran riwayatnya, sebagai mana yang dikatakan Umar; kita tidak meninggalkan
al-quran dan sunnah Nabi kitta karena perkataan seorang wanita, kita tidak tahu
apakah ia benar atau salah, ia hafal atau lupa. Tidak tersiarnya periwayatan
dan cermatnya mereka dalam menerima sunnah yang diriwayatkan kadang-kadang
mereka berfatwa dengan apa yang dipahami dari umum nash-nash al-quran, yang
barangkali disini ada sunnah yang mentakhsis keumuman dari ayat itu, dan
kadang-kadang mereka berfatwa menuruut pendapat dan ijtihad apabila disana
tidak ada nash.[23]
Sebagian fuqahak memutuskan suatu peristiwa berdasarkan
pengetahuan dari sunnah, sementara yang lain belum mendapatkannya, atau yang
lain menganggap tidak memenuhi syrat untuk disebut sebagai hadis sahih.[24]
3.
Berbeda fatwa karena pendapat
Pendapat bagi mereka adalah mengamalkan apa yang
dipandang sebagai maslahat dan lebih dekat kepada ruh pembinaan hukum Islam
tanpa meninjau bahwa disitu ada pokok yang menerangkan adanya peristiwa atau
tidak.[25]
Perbedaan kaidah dan metode ijtihad dari para fuqaha. Dari
perbedaan penggunaan kaidah dan metode ini muncul beberapa perbedaan pendapat
dalam suatu persoalan yang sama, dan ini yang memperkaya tsarwah fiqhiyah.
Kebebasan dan kesungguhan para fuqaha dalam melakukan ijtihad terhadap berbagai
masalah yang mereka hadapi. Kebebasan dan kesungguhan itulah yang menjadi dasar
konseptualisasi dan redinamisasi fiqh periode ini.[26]
Ijtihad sahabat
tidak keluar dari 6 bentuk:
7.
Fatwa yang didengar sahabat dari Nabi
8.
Fatwa yang didengar dari orang yang mendengar dari Nabi
9.
Fatwa yang didasarkan atas pemahamannya terhadap al-quran
yang agak kabur dari ayat tersebut pemahamannya bagi kita.
10. Fatwa yang
disepakati oleh tokoh-tokoh sahabat yang sampai kepada kita melalui salah
seorang sahabat.
11. Fatwa yang
didasarkan atas kesempurnaan ilmunya baik bahasa maupun tingkah lakunya,
kesempurnaannya tentang keadaan Nabi dan maksud-maksudnya. Kelima hal ini
adalah hal yang wajib didikuti.
12. Fatwa yang
berdasarkan pemahaman yang tidak datang dari Nabi dan salah pemahamannya, maka
hal ini tidak ajadi hujjah.[27]
3.
Khasanah Fiqhiyah yang Diwariskan Sahabat
Apa yang dilakukan dan dikatakan para sahabat itu
datangnya dari Rasulullah SAW, bahkan tidak sedikit pendapat mereka yang
didasarkan kepada petunjuk Rasulullah. Di samping itu para sahabat tidak akan
mengeluarkan pendapatnya kecuali dalam hal-hal yang amat penting. Hal ini
menunjukkan sikap kehati-hatian mereka dalam menjawab persoalan hukum yang
dihadapkan kepada mereka. Di sisi lain, apabila orang awam dibolehkan untuk
mengikuti pendapat para mujtahid, maka mengikuti pendapat para sahabat tentu
lebih boleh lagi, karena Rasulullah mengatakan bahwa generasi sahabat merupakan
generasi terbaik.[28]
Pada masa inilah munculnya pegangan bagi umat sesudahnya
dalam menyelesaikan permaslahan, yaitu adanya qiyas atau ra'yu,
melihat kepada permasalahan yang sama atau hampir sama ‘illatnya. Hal ini
seperti yang dilakukan Ali terhadap permasalahan tentang wanita yang ditinggal
mati suaminya sebelum bersetubuh, yang permasalahannya adalah maharnya belum
ditentukan apakah mahar itu berhak untuk wanita tersebut? Ali berpendapat bahwa
wanita itu tidak berhak, karena Ali mendasarkan pendapatnya kepada wanita yang
ditalak oleh suaminya sebelum bersetubuh yang permasalahan ini ada dalam
al-quran.
Kemudian adanya mashlahah, yaitu seperti yang
dilakukan oleh Umar terhadap permasalahan talak tiga sekaligus jatuh tiga,
karena Umar melihat pada waktu itu dengan sangat mudahnya seseorang menjatuhkan
talak terhadap istrinya, sehingga dengan itu Umar menetapkan demikian untuk
pegajaran supaya orang tidak main-main lagi dengan talak. Kemudian juga
mengenai masalah irigasi yang terjadi pada Muhammad bin Maslamah untuk
mengalirkan air tetangganya melalui tanahnya.
Adanya ijma’ seperti yang dilakukan Abu Bakar pada kali
pertamanya, seandainya dia tidak menemukan nash al-quran maupun sunnah. Dan
bahkan pada pemilihan Abu Bakar sebagai khaifah pertama merupakan perwujudan
dari pelaksanaan ijma’ itu sendiri.
KEPUSTAKAAN
A. Sirry, Mun’im, Sejarah Fiqh Islam,
Sebuah Pengantar (Surabaya: Risalah, 1995)
Daud Ali, Mohammad, Hukum Islam, Pengantar
Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia (Jakata: PT. Raja Grafindo
Persada, 2007)
Djalil, Basiq, Peradialn Islam
(Jakarta: Amzah, 2012)
Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh I (Ciputat:
PT Logos Wacana Ilmu, 1997)
Khudary, Muhammad, Tarikh Tasyri’ al-Islamy
(Beirut: Darul Fikri)
Muhammad
Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku, Pengantar Hukum
Islam (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra)
Nata, Abuddi, Masail al-Fiqhiyah (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003)
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, jilid 2
(Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001)
[1]
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar
Hukum Islam (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra), h. 55
[2]
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam,
Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia (Jakata: PT. Raja
Grafindo Persada, 2007), h. 173
[3]
Muhammad Khudary, Tarikh Tasyri’
al-Islamy (Beirut: Darul Fikri), h. 62
[4]
Abuddi Nata, Masail al-Fiqhiyah
(Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003), h. 11
[5]
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar
Hukum Islam (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra), h. 56
[6]
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam,
Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia (Jakata: PT. Raja
Grafindo Persada, 2007), h. 172
[7]
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar
Hukum Islam (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra), h. 57
[8]
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,
jilid 2 (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 238
[10]
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar
Hukum Islam (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra), h. 54-55
[11]
Muhammad Khudary, op.cit, h.
64
[12]
Basiq Djalil, Peradialn Islam
(Jakarta: Amzah, 2012), h. 144
[13]
Muhammad Khudary, op.cit
[15]
Ibid
[16]
Basiq Djalil, op.cit, h. 143
[17]
Muhammad Khudary, op.cit
[18]
Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqh
Islam, Sebuah Pengantar (Surabaya: Risalah, 1995), h. 44
[19]
Muhammad Khudary, op.cit, h.
66
[20]
A. Djazuli, Ilmu Fiqh, Penggalian,
Perkembangan, Dan Penerapan Hukum Islam (Jakarta: Kencana, 2005), h. 97-98
[21]
Muhammad Khudary, op.cit, h.
68
[22]
Ibid
[24]
Mun’im A. Sirry, op.cit, h.
47
[25]
Muhammad Khudary, op.cit, h.
69
[26]
Mun’im A. Sirry, op.cit, h.
48
[27]
A. Djazuli, Ilmu Fiqh,
Penggalian, Perkembangan, Dan Penerapan Hukum Islam (Jakarta: Kencana,
2005), h. 97-98
[28]
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I
(Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 157
Tidak ada komentar:
Posting Komentar