Senin, 15 Februari 2016

Langkah-Langkah Sahabat dalam Tasyri'

A. PENDAHULUAN
Pembentukan hukum pada masa Nabi SAW menjadi sangat penting bagi pembentukan hukum pada generasi berikutnya. Ketika masa Nabi, semua permasalahan hukum hampir diselesaikan oleh Nabi, kecuali pada hal-hal yang menuntut para sahabat untuk melakukan ijtihad. Hal ini seperti yang telah dilakukan oleh Mu’adz bin Jabal ketika di utus oleh Nabi SAW menjadi gubernur di Yaman.
Setiap problema hukum yang muncul ketika itu, mayoritas diselesaikan oleh Nabi sendiri atas bimbingan wahyu. Artinya, penetapan hukum pada masa Nabi bisa dibilang bersumber pada al-Qur’an, Hadits dan sedikit ijtihad yang dilakukan oleh beberapa sahabat. Para sahabat banyak belajar tentang cara pengambilan hukum kepada Nabi, disamping mereka mengetahui bahasa Arab dengan baik, mereka merupakan generasi pertama yang mengetahui langsung Asbab al-Nuzul al-Qur’an dan Asbab al-Wurud Hadits Nabi SAW, dan memahami illat hukum seperti yang telah diajarkan Nabi kepada mereka ketika menentukan hukum dengan haditsnya.
Selepas meninggalnya Nabi SAW kondisinya berbeda. Masalah yang dihadapi pun bermunculan, mulai dari permasalahan kepemimpinan hingga pengkodifikasian al-Qur’an. Belum lagi muncul masalah baru yang memerlukan fatwa paska wafatnya Nabi dengan kondisi yang berbeda dengan permasalahan sebelumnya.
Maka pada kesempatan ini, akan dibahas mengenai tasyri’ pada masa sahabat, yang meliputi mengenai langkah-langkah sahabat dalam tayri’, ijtihad di zaman sahabat dan khazanah fiqhiyah yang diwariskan sahabat.






B.  PEMBAHASAN
1.      Langkah-Langkah Sahabat Dalam Tasyri’
Setelah meninggalnya Nabi Muhammad SAW, tentunya permasalahan yang muncul tidak bisa diselesaikan sebagaimana biasanya seperti saat Nabi masih hidup. Pada waktu Nabi masih hidup, semua permasalahan langsung diserahkan kepada Nabi. Namun berbeda setelah meninggalnya Nabi. Apalagi permasalahan semakin banyak dan komplek, mulai dari adanya permasalahan keingkaran para pembayar zakat, munculnya nabi-nabi palsu, dan berbagai macam lainnya.
Semua permasalahan yang muncul pada saat ini, tentunya para khalifah harus bisa menyelesaikan permasalahan tersebut, tidak mungkin membiarkan permasalahan bagitu saja sehingga membuat ketimpangan-ketimpangan pada umat Islam. Dalam penyelesaian permasalahan, tentunya tidak boleh menimbulkan permasalahan baru, maka para khalifah mempunyai cara atau langkah-langkah dalam penyelesaian permasalahan yang muncul.
Abu Bakar apabila menghadapi kejadian baru, memperhatikan Al-Quran. Jika terdapat di dalamnya, beliau menetapkan hukum dengannya. Jika tidak terdapat di dalamnya, beliau lalu memperhatikan hadis, jika terdapat di dalamnya, beliaupun menetapkan hukum dengannya. Jika beliau tidak menemui hukum itu di dalam hadis, sesudah payah beliau memeriksanya, beliau lalu bertanya kepada sahabat. Maka apabila ada seorang sahabat yang memberitahukan tentang putusan Nabi, beliaupun berpegang pada putusan tersebut.[1] Dan juga Abu Bakar mengumpulkan para sahabat dalam satu majlis, mereka yang duduk di majlis itu melakukan ijtihad bersma (jama’i) atau ijtihad kolektif. Timbullah keputusan atau konsensus bersama yang disebut ijma’ mengenai masalah tertentu.[2]
Dapat dipahami, bahwa Abu Bakar barusaha menggali hukum dengan pengetahuan yang dimiliki, dia mengkaji dan mendalami petunjuk apa yang ada di dalam alquran, kemudian setelah mengkaji dan mendalami alquran tersebut, apabila didapatkan suatu petunjuk, tentu dia dapat mengeluarkan suatu aturan. Namun apabila tidak, Abu Bakar juga mengkaji hadis seperti yang dia lakukan terhadap alquran, dia juga menanyakan kepada sahabat yang lain, mungkin ada Nabi memberikan hadis yang sesuai dengan permasalahan yang terjadi. Dan apabila tidak ada ditemukan, maka Abu Bakar menanyakan pendapat sahabat yang lain, dengan menggumpulkan para sahabat disuatu majlis, mereka memberikan pendapat masing-masing berdasarkan pengetahuan mereka, sehingga melahirkan keputusan yang disepakati secara bersama yang berarti mereka melakukan iijtihad bersama yang lebih dikenal dengan ijtihad kolektif.
Dan kerap kali Abu Bakar, apabila tidak mendapatkan hukum dalam kitab dan sunnah mengumpulkan para ulama sahabat dan merembukkan hal itu. Kemudian apabila ulama itu bermufakat menetapkan suatu pendapat, Abu Bakarpun menetapkan hukum menurut pandangan yang disepakati itu. Pendapat yang diambil dengan perembukan, diperintahkan rakyat untuk mengikutinya.
Khalifah Umar juga melakukan demikian, apabila ia tidak mampu mendapatkan petunjuk di dalam al-quran dan sunnah, maka ia bertanya: “apakah ada Abu Bakar memutuskan hal demikian dengan suatu keputusan?”, apabila ada Abu Bakar mempunyai keputusan tentang itu, maka dia memutuskan seperti yang diputuskan Abu Bakar jika tidak ada perbedaan. Seperti itu juga Usman dan Ali ra melakukannya dengan kehati-hatian (ihtiyath).[3]
Maka dapat dipahami, bahwa cara-cara ijtihat yang mereka laksanakan itu ialah:
a.       Menetapkan hukum dengan dasar ra’yu perorangan (ijtihad fardi)
b.      Menetapkan hukum dengan cara mengadakan ijma’ (ijtihad jama’i)
                 
Kesipulannya, para sahabat yang memegang ijtihad di periode ini, berawal dari menetapkan hukum dari Al-Quran dan sunnah. Apabila mereka tidak mendapatkan hukumnya, sesudah mereka selidiki benar-benar, barulah mereka mempergunakan penyelidikan akal dan memakai keputusan yang sempurna, yang berarti ijtihad.
Cara mereka berijtihad adalah dengan berpegang kepada ma’qul al-nash dan mengeluarkan ‘illah penyebab adanya hukum atau hikmah yang dimaksud dari pada nash itu, kemudian menerapkannya pada masalah yang  sesuai illahnya dengan illah yang ada pada nash. Inilah yang kemudian disebut al-qiyas. Dengan bermusyawarah dengan mencari hukum yang tidak ada nashnya, kemudian mereka bersepakat dalam hukum yang mereka temukan atas suatu masalah. Inilah yang disebut dengan ijma’.[4]
Ahli-ahli fatwa dimasa itu, yang memberi fatwa secara pribadi, tidak memberikan sesuatu hukum yang belum terjadi. Karena itu pemakaian qiyas kurang terjadi pada masa ini. Bahkan terdapat disebagian mereka kata-kata yang wujudnya mencela pemakaian qiyas dalam urusan menetapakan hukum.
Para khalifah, dalam mengemukakan pendapat tentang suatu permasalahan tidak memaksakan pendapatnya, tidak mengatakan bahwa pendapat dialah yang benar dan menghargai pendapat yang  lainnya, mengikuti pendapat yang lebih kuat alasannya dan dasarnya. Maka perlu ditegaskan, bahwa hukum-hukum yang mereka tetapkan secara pribadi Dengan kekuatan ijtihad mereka masing-masing, mereka tidak mengaharuskan rakyat mengikutinya.[5] Abu bakar, dalam pidato pelantikannya sebagai khalifah pertama dia berucap: aku telah kalian pilih sebagai khalifah, kepala Negara, tetapi aku bukanlah yang terbaik diantara kita sekalian. Karena itu jika aku melakukan sesuatu yang benar ikuti dan bantulah aku, tetapi jika aku melakukan sutu kesalahan, perbaikilah, sebab menurut pendapatku menyatakan yang benar adalah amanat, membohongi rakyat adalah pengkhianat. Ikutilah aku selama aku mengikuti perintah Allah dan rasul-Nya. Jika aku tidak mengikuti perintah Allah dan rasul-Nya kalian berhak untuk tidak patuh kepadaku dan akupun tidak menuntut kepatuhan kalian.[6]
Umar apabila berijtihad mengatakan: “inilah pendapat Umar, jika benar maka dia dari Allah, jika salah maka dia dari Umar sendiri. Sunnah itu, hanyalah yang disunnahkan Allah dan rasul-Nya, jangan kamu menjadikan pemikiran yang salah, sunnah bagi rakyat.[7]

2.      Ijtihad di Zaman Sahabat
Permasalahan yang pertyama muncul ketika Nabi baru wafat adalah permasalahan siapa yang akan menjadi pemimpin umat mengantikan beliau. Nabi sendiri tidak memberikan petunjuk apa-apa dan wahyu yang berkenaan dengan pergantian pemimpin pun  tidak ada yang secara tegas dan jelas menerangkannya. Terjadilah perbincangan yang meluas dengan menggunakan akal (daya nalar) sebagai dalil. Hasil dari perbincangan itu adalah penunjukkan Abu Bakar sebagai pemimpin yang disebut khalifah. Dasar pemikiran penunjukkan Abu Bakar ini ialah kerana ia pernah menggantikan kedudukan Nabi sebagai imam shalat jamaah pada saat Nabi sakit. Kalau Abu Bakar pernah menjadi imam shalat yang merupakan pemimpin dalam hal keagamaan, tentu tepat pula untuk menduduki jabatan khalifah sebagai pemimpin keduniaan.[8]
Pada waktu Nabi masih hidup sampai meninggalnya wahyu Allah yang disebut Al-Quran itu belum terkumpul, tetapi terekam dalam hafalan para sahabat yang menghafalnya. Dalam suatu perang melawan kaum kafir banyak penghafal Al-Quran yang meninggal. Dikhawatirkan hilangnya kumpulan wahyu Allah dengan meninggalnya semua penghafal. Timbullah ide untuk mengumpulkan Al-Quran, tetapi petunjuk dari wahyu dan dari Nabi untuk itu tidak ada. Namun karena ide tersebut baik, dalam rangka menjaga keutuhan wahyu, maka terlaksanalah pengumpulan wahyu Al-Quran itu, meskipun belum tersusun secara teratur sebagai mana dalam bentuknya yang sekarang. Ini adalah hasil ijtihad sahcabat.[9]
Para sahabat apabila menemui atau menghadapi suatu peristiwa, disaat itulah mereka melakukan ijtihad. Mereka berpegang pada:
a.       Al-Quran, mereka dapat memahamkan Al-Quran dengan sempurna, lantaran diturunkan dalam bahasa mereka, yang dapat pula mereka mengetahui sebab-sebab turunnya.
b.      Sunnah rasul, mereka bermufakat mengikuti sunnah yang mereka percaya kepada rawinya.[10]

Walaupun para khalifah dalam menyelesaikan permasalahan merujuk kepada al-quran dan sunnah, namun tidak semua dan tidak selamanya mereka mempunyai pendapat yang sama. Dikarenakan mereka berbeda dalam memahami al-quran dan sunnah. Berikut adalah sebagian ijtihad-ijtihad khulafah arrasyidin yang ikhtilafiyah:
1.   Pada masa Umar, ada seorang wanita tertalak yang  masih dalam masa iddah dinikahkan (dan ini dilarang berdasarkan nash alquran). Maka Umar memukul si suami dengan pemukul beberapa kali dan menceraikan antara keduanya, dan dia berkata: “wanita mana saja yang dinikahkan pada masa iddahnya dan belum bersetubuh, maka diceraikan keduanya, maka wanita itu beriddah dengan sisa iddah dari suaminya yang pertama, kemudian laki-laki yang kedua ini boleh meminangnya lagi. Namun apabila telah bersetubuh, maka keduanya diceraikan, dan wanita itu beriddah dengan sisa iddah dari suaminya yang pertama kemudian ditambah iddah dari suaminya yang kedua dan suami yang kedua ini tidak boleh menikahi wanita itu lagi selama-lamanya. Ali berkata: “apabila telah habis masa iddah wanita itu dengan suami yang pertama, laki-laki kedua boleh menikahinya jika ia mau.
Keduanya berbeda pendapat tentang pengkekalan haram nikah terhadap suami yang kedua setelah bersetubuh dengan wanita yang dalam masa iddah. Dan tidak ada dalam alquran yang menguatkan salah satu dari pendapat keduanya.[11] Umar bin Khatab mengkiyaskan larangan tersebut dengan pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris. Keduanya terdapat kesamaan, yaitu keinginan mengambil hak sebelum waktunya sehingga hukumannya adalah terhapusnya hak si pelanggar untuk menikahi atau mewarisi.[12] Umar berpendapat berdasarkan kaidah pencegahan dan pengajaran. Sedangkan Ali berpendapat berdasarkan pokok-pokok umum.[13]
2.   Umar bin Khatab berkata, bahwa iddah wanita hamil yang ditinggal mati adalah sampai melahirkan. Ali berkata, wanita itu beriddah dengan sejauh-jauh dua masa, dengan sejauh masa kandungan dan melewati empat bulan sepuluh hari. Sebab khilafiahnya adalah, bahwa Allah menjadiakn iddah wanita hamil sampai melahirkan dan menjadikan iddah yang ditinggal mati adalah empat bulan sepuluh hari dengan tidak ada perincian. Maka Ali dalam fatwanya tentang wanita yang ditinggal mati berdasarkan kedua ayat tersebut. Sedangkan Umar menjadikan ayat talak itu sebagai hukum ayat wafat yakni secara khusus. Dan diriwayatkan terhadap pendapat Umat itu, bahwa Sab’ah binti Haris al-Aslamiyah meninggal suaminya dan dia melahirkan setelah dua puluh lima hari dari hari kematian suaminya maka Nabi menfatwakan dengan habis iddahnya. Dan telah diketahui terhadap pendapat Ali yanng mengekalkan dalam menerima periwayatan.[14]
3.   Muslim dan Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata: talak pada masa Rasul, Abu Bakar dan dua tahun kekhalifahan Umar talak tiga jatuh satu. Umar berkata, sesungguhnya manusia itu telah tergesa-gesa dengan perkara yang di dalamnya ada keperlahanan. Maka apabila hal itu kami biarkan terhadap mereka, maka hal itu akan berlanjut.[15] Umar mengubah ketetapan itu menjadi talak tiga sekali gus dihitung menjadi talak tiga supaya kaumuslimin berhati-hati dalam ucapannya serta tidak meremehkannya.[16]
4.   Ibnu Mas’ud dan Umar bin Khtab berfatwa, bahwa wanita yang tertalak tidak keluar dari iddahnya apabila ia telah mandi dari haidnya yang ketiga. Zaid bis Sabit berfatwa, bahwa wanita itu keluar dari masa iddah tatkala wanita itu memasuki haid yang ketiga. Timbulnya perbedaan pendapat mereka adalah mengenai quru’. Apakah quru’ itu berarti suci seperti yang dipahami oleh Zaid bin Sabit dan yang lainnya, atau berarti haid sebagaiman yang dipahami oleh Ibnu Mas’ud.[17] Ikhtilaf ini lebih jauh dapat dipahami karena dalam bahasa Arab, quru’ dapat berarti bersih dan haid.[18]
5.   Abu Bakar tidak memberikan warisan kepada saudara-saudara bersama kakek. Adapun Umar memberikan bagain warisan mereka (saudara-saudara) bersamanya (kakek). Abu Bakar menjadikan kakek sebagai ayah, dan saudara-saudara tidak mendapat warisan bersama ayah berdasarkan nash. Umar tidak menjadikan seperti itu, dan Zaid bin Sabit sepakat dengan pendapat Umar ini.[19]
Ijtihad sahabat tidak keluar dari 6 bentuk:
1.      Fatwa yang didengar sahabat dari Nabi
2.      Fatwa yang didengar dari orang yang mendengar dari Nabi
3.      Fatwa yang didasarkan atas pemahamannya terhadap al-quran yang agak kabur dari ayat tersebut pemahamannya bagi kita.
4.      Fatwa yang disepakati oleh tokoh-tokoh sahabat yang sampai kepada kita melalui salah seorang sahabat.
5.      Fatwa yang didasarkan atas kesempurnaan ilmunya baik bahasa maupun tingkah lakunya, kesempurnaannya tentang keadaan Nabi dan maksud-maksudnya. Kelima hal ini adalah hal yang wajib didikuti.
6.      Fatwa yang berdasarkan pemahaman yang tidak datang dari Nabi dan salah pemahamannya, maka hal ini tidak ajadi hujjah.[20]

Dari perbedaan pendapat para sahabat tersebut, dapat dicatat bahwa ada beberapa aspek yang menyebabkan perbedaan (ikhtilaf) di antara mereka, yaitu sebagai berikut.
1.    Berbeda fatwa karena berbeda dalam memahami al-quran, demikian ini karena beberapa segi:
a.       Terdapatnya lafaz yang mengandung dua makna, seprti perselisihan mereka dalam memahami kata quru’ dalam firman Allah.
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4
Umar dan Ibnu Mas’ud memahami bahwa quru’ itu haid, dan Zaid bin Sabit memahami bahwa quru’ itu suci. Masing-masing mempunyai hujjah yang kuat.[21]
b.      Terdapatnya dua hukum yang berbeda dalam dua persoalan yang diduga salah satunya mencakup sebagian yang terkandung oleh bagian itu terdapat perlawanan. Contohnya ayat tentang wanita beriddah wafat, ayat itu mewajibkan untuk mmenanti selama empat bulan sepuluh hari, dan diduga ini mencakup orang yang hamil. Dan ayat talak menjadikan iddah wanita hamil adalah sampai melahirkan kandungannya, maka iddah wanita yang ditinggal mati dan hamil adalah ragu-ragu antara yang terkandung oleh ayat yang pertama sehingga wanita itu wajib menanti empat bulan sepuluh hari meskipun ia melahirkan sebelum itu pengalaman terhadap ayat cerai. Ia berkata, sebagian dari pendapat itu didukung oleh sahabat- sahabat besar.[22]

2.    Berbeda fatwa karena berbeda sunnah
Pada masa ini periwayatan sunnah tidaklah terkenal, dan sunnahpun tidak dikumpulkan dalam satu buku untuk tempat kembali (rujukan), hingga para mufti dihadapkan pada satu peristiwa dan mereka tidak mendapatkan nash dari kitabullah maka mereka bertanya kepada orang yang bersama dengan mereka, apakah mereka mendengarkan keputusan dari Rasul dalam permasalahan itu sering kali dihadapan mereka terdapat orang yang meriwayatkan hadis untuk mereka, dan mereka berfatwa dengannya apabila membenarkan riwayat itu, Umar selalu meminta dari perawi akan orang yang menemaninya dalam mendengar hadis, dan Ali bin Abi Talib selalu menyumpah perawi, barangkali dirriwayatkan hadis untuk mereka tetapi mereka tidak mengamalkannya apabila ia tidak menerima kebenaran riwayatnya, sebagai mana yang dikatakan Umar; kita tidak meninggalkan al-quran dan sunnah Nabi kitta karena perkataan seorang wanita, kita tidak tahu apakah ia benar atau salah, ia hafal atau lupa. Tidak tersiarnya periwayatan dan cermatnya mereka dalam menerima sunnah yang diriwayatkan kadang-kadang mereka berfatwa dengan apa yang dipahami dari umum nash-nash al-quran, yang barangkali disini ada sunnah yang mentakhsis keumuman dari ayat itu, dan kadang-kadang mereka berfatwa menuruut pendapat dan ijtihad apabila disana tidak ada nash.[23]
Sebagian fuqahak memutuskan suatu peristiwa berdasarkan pengetahuan dari sunnah, sementara yang lain belum mendapatkannya, atau yang lain menganggap tidak memenuhi syrat untuk disebut sebagai hadis sahih.[24]
3.    Berbeda fatwa karena pendapat
Pendapat bagi mereka adalah mengamalkan apa yang dipandang sebagai maslahat dan lebih dekat kepada ruh pembinaan hukum Islam tanpa meninjau bahwa disitu ada pokok yang menerangkan adanya peristiwa atau tidak.[25]
Perbedaan kaidah dan metode ijtihad dari para fuqaha. Dari perbedaan penggunaan kaidah dan metode ini muncul beberapa perbedaan pendapat dalam suatu persoalan yang sama, dan ini yang memperkaya tsarwah fiqhiyah. Kebebasan dan kesungguhan para fuqaha dalam melakukan ijtihad terhadap berbagai masalah yang mereka hadapi. Kebebasan dan kesungguhan itulah yang menjadi dasar konseptualisasi dan redinamisasi fiqh periode ini.[26]

Ijtihad sahabat tidak keluar dari 6 bentuk:
7.      Fatwa yang didengar sahabat dari Nabi
8.      Fatwa yang didengar dari orang yang mendengar dari Nabi
9.      Fatwa yang didasarkan atas pemahamannya terhadap al-quran yang agak kabur dari ayat tersebut pemahamannya bagi kita.
10.  Fatwa yang disepakati oleh tokoh-tokoh sahabat yang sampai kepada kita melalui salah seorang sahabat.
11.  Fatwa yang didasarkan atas kesempurnaan ilmunya baik bahasa maupun tingkah lakunya, kesempurnaannya tentang keadaan Nabi dan maksud-maksudnya. Kelima hal ini adalah hal yang wajib didikuti.
12.  Fatwa yang berdasarkan pemahaman yang tidak datang dari Nabi dan salah pemahamannya, maka hal ini tidak ajadi hujjah.[27]

3.      Khasanah Fiqhiyah yang Diwariskan Sahabat
Apa yang dilakukan dan dikatakan para sahabat itu datangnya dari Rasulullah SAW, bahkan tidak sedikit pendapat mereka yang didasarkan kepada petunjuk Rasulullah. Di samping itu para sahabat tidak akan mengeluarkan pendapatnya kecuali dalam hal-hal yang amat penting. Hal ini menunjukkan sikap kehati-hatian mereka dalam menjawab persoalan hukum yang dihadapkan kepada mereka. Di sisi lain, apabila orang awam dibolehkan untuk mengikuti pendapat para mujtahid, maka mengikuti pendapat para sahabat tentu lebih boleh lagi, karena Rasulullah mengatakan bahwa generasi sahabat merupakan generasi terbaik.[28]
Pada masa inilah munculnya pegangan bagi umat sesudahnya dalam menyelesaikan permaslahan, yaitu adanya qiyas atau ra'yu, melihat kepada permasalahan yang sama atau hampir sama ‘illatnya. Hal ini seperti yang dilakukan Ali terhadap permasalahan tentang wanita yang ditinggal mati suaminya sebelum bersetubuh, yang permasalahannya adalah maharnya belum ditentukan apakah mahar itu berhak untuk wanita tersebut? Ali berpendapat bahwa wanita itu tidak berhak, karena Ali mendasarkan pendapatnya kepada wanita yang ditalak oleh suaminya sebelum bersetubuh yang permasalahan ini ada dalam al-quran.
Kemudian adanya mashlahah, yaitu seperti yang dilakukan oleh Umar terhadap permasalahan talak tiga sekaligus jatuh tiga, karena Umar melihat pada waktu itu dengan sangat mudahnya seseorang menjatuhkan talak terhadap istrinya, sehingga dengan itu Umar menetapkan demikian untuk pegajaran supaya orang tidak main-main lagi dengan talak. Kemudian juga mengenai masalah irigasi yang terjadi pada Muhammad bin Maslamah untuk mengalirkan air tetangganya melalui tanahnya.
Adanya ijma’ seperti yang dilakukan Abu Bakar pada kali pertamanya, seandainya dia tidak menemukan nash al-quran maupun sunnah. Dan bahkan pada pemilihan Abu Bakar sebagai khaifah pertama merupakan perwujudan dari pelaksanaan ijma’ itu sendiri.
  
KEPUSTAKAAN

A. Sirry, Mun’im, Sejarah Fiqh Islam, Sebuah Pengantar (Surabaya: Risalah, 1995)
Daud Ali, Mohammad, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia (Jakata: PT. Raja Grafindo Persada, 2007)
Djalil, Basiq, Peradialn Islam (Jakarta: Amzah, 2012)
Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh I (Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu, 1997)
Khudary, Muhammad, Tarikh Tasyri’ al-Islamy (Beirut: Darul Fikri)
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku, Pengantar Hukum Islam (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra)
Nata, Abuddi, Masail al-Fiqhiyah (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003)
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, jilid 2 (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001)




[1] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra), h. 55
[2] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia (Jakata: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 173
[3] Muhammad Khudary, Tarikh Tasyri’ al-Islamy (Beirut: Darul Fikri), h. 62
[4] Abuddi Nata, Masail al-Fiqhiyah (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003), h. 11
[5] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra), h. 56
[6] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia (Jakata: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 172
[7] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra), h. 57
[8] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid 2 (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 238
[9] Ibid, h. 238-239
[10] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra), h. 54-55
[11] Muhammad Khudary, op.cit, h. 64
[12] Basiq Djalil, Peradialn Islam (Jakarta: Amzah, 2012), h. 144
[13] Muhammad Khudary, op.cit
[14] Ibid, h. 65
[15] Ibid
[16] Basiq Djalil, op.cit, h. 143
[17] Muhammad Khudary, op.cit
[18] Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqh Islam, Sebuah Pengantar (Surabaya: Risalah, 1995), h. 44
[19] Muhammad Khudary, op.cit, h. 66
[20] A. Djazuli, Ilmu Fiqh, Penggalian, Perkembangan, Dan Penerapan Hukum Islam (Jakarta: Kencana, 2005), h. 97-98
[21] Muhammad Khudary, op.cit, h. 68
[22] Ibid
[23] Ibid, h. 68-69
[24] Mun’im A. Sirry, op.cit, h. 47
[25] Muhammad Khudary, op.cit, h. 69
[26] Mun’im A. Sirry, op.cit, h. 48
[27] A. Djazuli, Ilmu Fiqh, Penggalian, Perkembangan, Dan Penerapan Hukum Islam (Jakarta: Kencana, 2005), h. 97-98
[28] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I (Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 157

Tidak ada komentar:

Posting Komentar