Lembaga peradilan (qadha) Pada masa sahabat
masih berjalan seperti zaman Rasulullah, peradilan ditangani lansung oleh
Rasul. Nabi sebagai kepala negara sekaligus sebagai qadhi dalam menyelesaikan
perkara. Kemudian kebiasaan ini diteruskan
oleh Abu Bakar yang menjabat sebagai khalifah pertama setelah Nabi
wafat. peradilan pada masa Abu Bakar belum menunjukkan kemajuan yang
berarti, dikarenakan Khalifah disibukkan menangani masalah aqidah yaitu
permasalahan orang-orang murtad dan orang-orang yang enggan membayar
zakat.
Setelah meningalnya Abu Bakar, kursi
kekhalifahan digantikan oleh Umar bin Khatab, pada masa Umar ini terjadinya
ekspansi besar-besaran yang mengakibatkan bertambah luasnya kekuasaan wilayah
Islam, sehingga permasalahanpun semakin kompleks. Atas dasar inilah khalifah Umar memisahkan
wewenang antara pemerintahan dan peradilan.
Sehingga khalifah mulai mengutus para qadhi ke berbagai wilayah Islam
dalam menangani masalah peradilan. Umar juga melakukan pembaharuan dalam
peradilan dengan didirikannya rumah penjara. setelah Umar meninggal digantikan
oleh Utsman bin Affan, Usman memberikan kontribusi dalam peradilan dengan
mendirikan membangun yang dijadikan tempat penyelesaian perkara, khusunya bagi
kota Madinah. Pada masa Khalifah Ali bin Abu tahalib peradilan tidak begitu
menunjukkan perkembangan. Ali masih meneruskan sistem peradilan khalifah
sebelumnya, karena masa Ali ini banyaknya terjadi permasalah dan umat Islam
semakin terpecah-pecah.
Perseteruan antara Ali bin Abi Thalib dengan
Muawiyah bin Abi Sofyan berujung kepada perdamaian dengan dilakukannya tahkim
antara kedua belah pihak. Keputusan tahkim yang menguntungkan pihak Muawiyah
memaksa Ali untuk mundur dari kursi kekhalifahan, namun Ali tidak mau menyerahkan
pemerintahan kepada Muawiyah sehingga berakibat terbunuhnya Ali. Keputusan
tahkim yang disepakati oleh sebagian kelompok Ali mengakibatkan kelompok lain
marah dan tidak menerima atas tahkim tersebut, kemudian mereka memilih keluar
dari barisan Ali yang kemudian dinamakan dengan kelompok Khawarij, sedangkan
kelompok yang masih setia mendukung Ali disebut dengan Syi’ah. Hal ini lebih
lanjut akan dijelaskan pada pembahasan berikutnya.
B.
PEMBAHASAN
1. Lembaga
Peradilan Pada Masa Khalifah al-Rasyidin
Peran penting pada masa al Rasyididin dalam hal peradilan bisa
dilihat dari dua hal:
1.
Qada pada masa ini berpegangan terhadap nash al-Qur’an dan Sunnah
2.
Ditetapkan aturan-aturan qada yang baru untuk menguatkan pondasi-pondasi daulah Islamiah yang sudah meluas dan ini dalam rangka menghadapi
berbagai macam hal baru yang muncul.
Akan tetapi karena
pendeknya masa pemerintahan khalifah Rasyidin, maka perubahan-perubahan dalam
hal qadha’ tidak terlalu banyak didapatkan. Qada merupakan fardu ‘ain bagi
khalifah karena dia merupakan salah satu hal penting dalam menerapkan syariat
Islam dan dalam menegakkan urusan agama
dan dunia, oleh karena itu khalifah bisa jadi menempati langsung posisi qadha
atau mengangkat yang lainnya sebagai penggantinya, selain itu khalifah Rasyidin
juga memperhatikan qada untuk daerah luar Madinah dengan mengangkat para qadi
dan membebankan mereka untuk menegakkan keadilan dan kebenaran diwilayah
mereka.[1]
a. Peradilan
Pada Masa Abu Bakar
Pada masa pemerintahan
Rasulullah, lembaga peradilan ditanganai sendiri oleh Rasulullah saw, keadaan
ini terus berlangsung sampai kekhalifahan Abu Bakar. Tradisi ini diteruskan
oleh Abu Bakar, karena pada waktu itu berkembang anggapan bahwa khalifah adalah pengganti Rasul dalam
urusan pemerintahan sedangkan peradilan merupakan tugas umum dari pemerintahan. Urusan peradilan adalah
wewenang khalifah.[2] Pada masa Abu Bakar ia menunjuk Umar bin
Khatab sebagai qadi, penunjukkan ini dia lakukan karena ini merupakan tugas
penting khalifah, sedangkan khalifah sendiri memegang kendali penting dalam
masalah politik yaitu memerangi orang-orang murtad dan mengutus para tentara
untuk menghadapi tentara Romawi dan Persia dalam rangka menyebarkan dakwah
Islam.[3]
Meskipun
khalifah pernah menyerahkan tugas peradilan kepada Umar selama 2 tahun, namun
tidak ada seorang pun yang membawa perkaranya ke Pengadilan, karena Umar
dikenal dengan orang yang keras dan tegas, disamping itu juga karena faktor
pribadi muslim yang dikenal sangat sholeh dan toleran sesama muslim sehingga
tidak pernah terjadi sengketa yang wajar.
Ibnu
al-Qayyim menjelaskan bahwa Abu bakar dalam menyelesaikan suatu perkara, beliau
memperhatikan kandungan al-Qur’an, jika ia tidak mendapatkan hukumnya di dalam
al-Qur’an, maka ia merujuk kepada sunnah yang diketahui. Jika tidak ditemukan
di dalam sunnah, maka ia menanyakan kepada para sahabat kalau ada hadis
menyangkut perkara itu, jika ada maka ia
memutuskannya menurut hadis yang ia dapati dari seseorang yang dipercaya
tersebut. Bila tidak ada yang mengetahui hukum Nabi, maka Abu Bakar
mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah tentang putusan yang akan
diberikan, jika mereka sepakat untuk menetapkan suatu hukum, maka ia berpegang
pada hukum tersebut.[4] Hal
ini dinamakan dengan ijma’ sahabat, dan ijma’ sahabat ini adalah ijma’ yang
paling baik.
Salah satu putusan yang
telah dilaksanakan pada masa Abu Bakar adalah keputusan tentang hukum jilid,
Imam Malik meriwayatkan dari Nafa’I bahwa Sofiah binti Ubaid mengabarkan
kepadanya: Abu Bakar didatangi oleh seorang laki-laki yang mendatangi seorang
budak dan ia menghamilinya, laki-laki itu mengaku telah melakukan zina dan
bukan muhsan. Abu Bakar lalu menyuruh menjilidnya sebagai hukuman baginya lalu
mengasingkannya ke Fadak.[5]
b. Peradilan
Pada Masa Umar bin Khatab
Setelah wafatnya Abu Bakar, maka peran
penting pemerintahan digantikan oleh Umar bin Khatab. Langkah pertama yang dilakukan oleh Umar adalah
perluasan wilayah. Meskipun pada masa Abu Bakar dirintis dan dimulai
upaya ke arah itu, namun prakteknya baru dapat dituntaskan pada masa ini.[6]
Pada Masa Umar ini dianggap dengan masa penaklukan Islam secara besar-besaran,
diantaranya di taklukkan nya Irak, Syam, dan Mesir.[7]
Karena luasnya wilayah pada masa Umar mengakibatkan berbaurnya berbagai macam
kebudayaan sehingga persoalan yang dihadapi umat Islam semakin komplek.
Melihat kondisi tersebut, khalifah Umar barulah memisahkan
wewenang antara pemerintahan dengan Lembaga Peradilan, untuk itu ia mengangkat
para qadi yang terlepas dari pemerintahan. Dan ia memberikan wewenang khusus
terhadap lembaga peradilan dan itu dibawah pantauan langsung.[8] Seperti Umar mengangakat Abu Darda’ sebagai qadhi di Medinah, Syuraih di Basrah, Abu Musa
al-Asy’ary di Kufah, Usman bin Qais Abi al-Ash di Mesir. Mereka itulah yang
disebut qadi pertama kali dalam Islam. Jabatan qadi tersebut tidak diberikan
kepada sembarang orang, tapi diberikan kepada orang yang mempunyai kemampuan di
bidang peradilan. Syarat paling utama yang
selalu dijadikan bahan pertimbangan adalah integritas moral. seperti sifat
taqwa, wara’, dan adil, untuk itu perlu diadakan seleksi ketat.[9]
Pelaksanaan qadha pada masa Umar masih sederhana, terbuka, tidak
berbelit-belit dan mandiri. Artinya belum terikat pada Undang-undang atau
peraturan lainnya, seperti saat ini. Seorang qadhi belum mempunyai sekretaris,
dan keputusan qadhi belum di tulis. Qadhi langsung
bertindak sebagai eksekutor. Kebanyakan dari pihak-pihak yang besengketa (membutuhkan
keputusan hukum) datang sendiri untuk meminta ketetapan hukum. Ketika itu belum
ada orang yang meminta keputusan banding.
Sekalipun
Umar telah mengangkat qadi di daerah, namun wewenang yang diberikan dibatasi,
yaitu khusus perkara perdata saja. Sedangkan perkara pidana masih dalam
wewenang khalifah. Meskipun demikian Umar selalu memperhatikan dan mengawasi
perbuatan para penguasa di daerah dan para qadhi. Bahkan sering memberikan
bimbingan-bimbingan tentang tata cara pelaksanaan qadha.[10]
Khalifah
Umar selalu memberikan petunjuk dan bimbingan kepada para qadhi, seperti ketika
Umar mengirim surat kepada salah satu qadhi yaitu Abu Musa al-Asy’ary yang
menjadi qadhi di Kuffah agar dia bertindak sebagai qadhi yang adil dan Umar
memberikan petunjuk tentang pelaksanaan qadha yang dikenal dengan “Risalah
al-Qadha”, yaitu surat tentang tugas penyelesaian sengketa yang antara lain
memuat;
“Amma Ba’du, Penyelesaian suatu perkara
adalah suatu fardu yang yang dibebankan dan suatu sunnah yang harus diikuti,
lalu pahamilah apabila diajukan kepadamu (suatu perkara) dan putuskanlah
apabila telah jelas (kedudukannya) karena sebenarnya tidaklah ada artinya
bicara soal keadilan tanpa ada pelaksanaannya. Samaratakanlah manusia (yang
berperkara) dalam analisamu, pandanganmu, dan keputusanmu, sehingga orang yang
berpangkat tidak mengharapkan penyelewenganmu dan orang yang lemah tidak sampai
putus asa mendambakan keadilanmu.
Bukti itu wajib atas penggugat sedang
sumpah itu wajib atas pihak yang menolak. Boleh mengadakan perdamaian diantara
kaum muslimin kecuali perdamaian yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan
yang halal. Barang siapa yang mendakwakan suatu hak yang tidak ada ditempatnya
suatu bukti maka berilah tempo kepadanya sampai ia dapat membuktikan
dakwaannya, kemudian kalau ia dapat membuktikannya maka ia berhak diberlakukan,
karena yang demikian itu lebih mantap bagi urusannya dan lebih merupakan barang
yang tersembunyi. Janganlah sekali-sekali menghalangimu keputusan yang telah
engkau jatuhkan hari ini, kemudian engkau tinjau kembali kepada kebenaran,
karena kebenaran itu harus didahulukan, tidak dapat dibatalkan oleh apapun. Sedangkan
kembali kepada kebenaran itu lebih baik daripada harus bergelimang dalam
kebathilan.
Orang-orang Islam
itu dianggap adil sebagian mereka terhadap sebagian yang lain, kecuali orang
yang pernah memberikan kesaksian palsu atau orang yang pernah dijatuhi hukuman
had, atau orang yang diragui tentang asal usulnya, karena Allah mengetahui
rahasia-rahasia dan menghindarkan hukum atas mereka, kecuali dengan adanya
bukti-bukti atau sumpah –sumpah.
Pahamilah dengan
sungguh-sungguh tentang perkara yang diajukan kepadamu, yang tidak terdapat
(ketentuan hukumnya) dalam al-Qur’an dan tidak terdapat pula dalam Sunnah Nabi
saw, kemudian bandingkanlah perkara itu dan perhatikanlah (perkara) yang serupa
(hukumnya) dengan perkara-perkara itu, kemudian pegangilah mana hukum yang
menurut pendapatmu lebih diridhoi Allah dan mendekati kebenaran. Hindarilah
dirimu dari marah, pikiran kacau, rasa jemu, mengikuti orang yang berperkara
dan bersikap keras manghadapi mereka. Karena memutus perkara di tempat yang
benar adalah teramasuk pekerjaan yang ditetapkan pahalanya oleh Allah dan
membawa nama baik .
Barang siapa
memurnikan niatnya dalam mencari kebenaran, walaupun mengorbankan dirinya
sendiri maka Allah memberi kecukupan, dan barang siapa berlagak memiliki
keahlian yang tidak ada pada dirinya, maka Allah pasti akan membalas rahasia
kejelakannya itu. Karena sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal dari
kesombongan kecuali amal yang didasari dengan ikhlas, lalu bagaimanakan
persangkaanmu tentang pahala dari Allah, baik yang akan segera diberikan maupun
yang berada di dalam perbendaharaan
hukumnya.
Selain itu
kemajuan lain yang dilakukan pada masa Umar adalah memberi gaji kepada para qadhi, yang diambil
dari kas negara (bait al-mal). Seperti Umar
menetapkan 500 dirham untuk qadi Sulaiman bin Rabi’ah al Bahili setiap
bulannya, dan 100 dinar untuk Sureh setiap bulannya. Sebenarnya penetapan gaji khusus ini telah
dilaksanakan pada masa Rasulullah dengan
menetapkan gaji khusus terhadap ‘Itap bin Used yang merupakan wali Makah. Dan
begitupun Rasul menetapkan gaji khusus di wilayah-wilayah lainnya. Ketika Abu Bakar diangkat menjadi khalifah ia juga
menetapkan gaji khusus bagi mereka agar mereka memberikan perhatian penuh
terhadap urusan umat Islam, akan tetapi sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya bahwa lembaga peradilan pada masa ini masih menyatu dengan pemerintahan.[11]
Adapun
dalam penyelesaian perkara, Umar berpedoman kepada al-Qur’an dan hadis. Jika
penyelesaiannya tidak diperoleh dalam al-Qur’an dan hadis, umar meneliti apakah
Abu Bakar pernah menetapkan hal itu, maka Umar menetapkan seperti demikian.
Bila belum pernah ditetapkan sebelumnya Umar mengumpulkan pemuka kaum muslimin
dan bermusyawarah, bila mereka sepakat dengan suatu keputusan maka ditetapkan
hukum dengannya. Kebijakan lain yang yang diambil oleh Umar adalah membeli
rumah di mekah dan dijadikan rumah tahanan, rumah tahanan ini merupakan
pemeliharaan bagi orang yang bersalah dan orang yang membuat kerusakan di
tengah masyarakat agar dapat memperbaiki akhlaknya.
c. Peradilan
Pada Masa Usman bin Affan
Peradilan pada masa Usman masih seperti pada masa khalifah Abu
Bakar dan Umar, dan metode peradilannya pun masih sama. Pembaharuan yang
dilakukan oleh Usman dalam bidang peradilan adalah membuat rumah atau bangunan
yang khusus diperuntukkan untuk mengurusi urusan peradilan. Gedung pengadilan
ini khusus untuk peradilan di Madinah. Sedangkan di daerah lain mesjid masih
dipakai sebagai tempat persidangan. Berdirinya bangunan yang dikhususkan untuk
peradilan ini menunjukkan telah luasnya daerah cakupan peradilan
ditengah-tengah umat ketika itu.[12]
Dalam menyelesaikan
persengketaan sama seperti yang dilakukan Umar. Karena wilayah Islam sudah
semakin luas dan persoalan pun semakin kompleks, maka Usman mengangkat beberapa
orang qadhi untuk memutuskan suatu perkara yang terjadi di beberapa daerah,
yaitu: Muawiyah bin Abi Sofyan di Damsyiq, ‘Amru bin ‘Ash di Mesir, Saad bin
Abi Waqas di Madinah, Abdullah bin Mas’ud di Kuffah, Zaid bin Tsabit di
Madinah, Ubadah bin Shamad di Syam.[13]
d. Peradilan Pada Masa Ali bin Abi Thalib
Ali merupakan khalifah yang ditunjuk setelah wafatnya khalifah
Usman bin Affan. Ia adalah sahabat yang paling banyak menetapkan sebuah hukum
dan merupakan referensi umat Islam dalam masalah qadi sejak masa Rasul. Ali
selalu memegang peran penting dalam masalah qada hingga masa kekhalifahannya.
Hukum-hukum yang ditetapkannya itu banyak pada permasalahah hudud, qishas,
nasab dan harta.[14] Khalifah Ali bin Abi Thalib juga memisahkan peradilan dari pemerintahan,
seperti yang dilakukan oleh Umar, dan pemerintah menyerahkan wewenang peradilan
kepada para qadhi serta mendorong mereka menjadi unsur terpenting yang membuat
peradilan menjadi lebih baik dengan tidak membuat hukum sendiri dalam mangadili
manusia. Diantara para qadhi yang diangkat oleh Ali adalah: Syuraih bin Haris
di Kuffah, Abu Musa al- Asy’ari di Kuffah, Ubaidilah bin Mas’ud di Yaman, Usman
bin Hanif di Bashrah, Qais bin Sa’ad di Mesir, Abdullah bin Abbas di Basrah. [15]
Adapun permasalahan hukum
yang terjadi dimasa pemerintahannya tidak banyak yang dapat diselesaikan
disebabkan adanya pergolakan politik dan hampir dikatakan tidak terdapat
perkembangan peradilan yang signifikan. Karena terbunuhnya Usman, Ali disibukkan dengan situasi politik
dikalangan umat yang makin kacau. Ali
tidak memegang penuh kendali hukum dan peradilan, ia melimpahkan kepada seseorang
yang dipandang cakap dan memberinya honor. Namun Ali terkenal dengan paham dan
kepintarannya dalam urusan peradilan.[16]
2.
Munculnya Sekte Khawarij, Syi’ah dan Jumhur
Periode ini dimulai semenjak wafatnya
khalifah yang keempat, Ali bin Abi Thalib pada bulan Ramadhan 40 H.[17] Periode
khulafurrasyidin merupakan persiapan dimulainya periode ini. Periode ini dapat
kita anggap sebagai masa menggagas fiqh Islami.[18] Era
khulafaurrasyidin, masih berjalan dengan aman, berpegang teguh kepada agama,
tidak banyak terjadi perbedaan pandangan antara pemerintah dan umatnya, mereka
bersatu, setiap ada masalah mereka selesaikan dengan jalur syura
(musyawarah), masa ini terus berlanjut, sampai munculnya kelompok Abdullah bin
Saba`, orang-orang yang selalu menyebarkan fitnah dikalangan kaum muslimin,
yang mengakibatkan terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan.[19]
Pembunuhan Usman yang bermotif politik
segera menimbulkan malapetaka politik yang lebih besar yang berujung pada
pengangkatan Ali sebagai khalifah. Ketika Ali diangkat sebagai khalifah, ia
mendapatkan tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin menjadi khalifah terutama Thalhah
dan Zubeir di Mekah dan mendapatkan sokongan dari Aisyah. Dalam sebuah
peperangan yang di kenal dengan perang jamal, Thalhah dan Zubeir mati terbunuh
sedang Aisyah dikirim ke Mekah. Tantangan yang kedua datang dari Muawiyah, yaitu gubernur Damaskus,
kelompok ini menunda pembaiatan kepada khalifah sampai Ali memenuhi tuntutan
mereka yaitu menemukan dan menghukum pembunuhan Usman. Permintaan mereka tidak
kunjung dipenuhi Ali. Pertentangan semakin memuncak antara kelompok Ali di
Madinah dan Muawiyah di Damaskus yang menyebabkan peperangan tidak dapat
dihindarkan lagi.[20]
Peperangan antara Ali
dan Muawiyah terjadi di Siffin, Irak.
Tentara Ali dapat mendesak tentara Muawiyah, tetapi kaki kanan muawiyah, yaitu
Amr bin Ash yang terkenal licik minta damai dengan mengangkat al-Qur’an di
ujung pedangnya.[21] Perdamaianpun disetujui Ali, sebagai
perantara diangkat satu orang dari masing-masing pasukan, Amr bin Ash dari
pihak Muawiyah dan Abu Musa al-Asy’ari dari pihak Ali. Dalam pertemuan itu
kelicikan Amr bin Ash mengalahkan perasaan takwa Abu Musa, dan terjadilah
kesepakatan antara mereka berdua untuk menjatuhkan Ali dan Muawiyah. Abu musa
yang terlebih dahulu menyampaikan hasil kesepakatan, mengumumkan bahwa putusan
untuk menjatuhkan kedua pemuka yang saling bertikai terebut. Namun ketika Amr
bin Ash menyampaikan hasil putusan, ia menyetujui menjatuhkan Ali dan menolak
menjatuhkan Muawiyah. Ali tidak menerima keputusan tersebut dan ia tidak mau
menyerahkan jabatan kepada Muawiyah, sehingga ia mati terbunuh pada tahun 661
M.
Keputusan tahkim yang
merugikan pihak Ali tidak disetujui oleh sebagian pendukung Ali. Sebagian
kelompok Ali mengasingkan diri dan keluar dari barisan Ali, mereka dikenal
dengan nama Khawarij, mereka ini berbalik dari mendukung menjadi menentang Ali
dan dalam peperangan melawan Ali mereka kalah. Dari peristiwa ini terjadilah
tiga golongan politik. Golongan yang tetap mendukung Ali dikenal dengan nama
Syi’ah, golongan yang keluar dari barisan Ali disebut Khawarij dan yang ketiga
golongan Muawiyah.[22]
a.
Khawarij
Khawarij
adalah sekelompok orang yang keluar dari Imam Ali bin Abi
Thalib.[23] kelompok
ini muncul karena tidak setuju terhadap tahkim yang diambil oleh Kelompok Ali
dan Muawiyah, yang akhirnya putusan tahkim merugian pihak Ali. Kelompok ini melihat bahwa tahkim itu merupakan sebuah
kesalahan besar, karena hukum Allah itu sudah sangat jelas, mereka
ikut berperang bersama Ali karena mereka yakin bahwa kebenaran itu ditangan
mereka, sedangkan tahkim adalah sebuah keraguan, tidak sesuai dengan keimanan,
mereka akhirnya mengadakan rapat dan melahirkan sebuah jargon “لا حكم إلا لله”, kemudian
mereka meminta Ali untuk mengakui kesalahannya atau bahkan kekafirannya karena
dia telah menerima tahkim, dan menolak kesepakatan yang telah dibuatnya bersama kubu Mu`awiyah, kemudian Ali pun menolak
tawaran itu.[24]
Melihat Ali
menolak tawaran mereka, sehingga mereka lari ke daerah dekat Kuffah, yang
mereka namai dengan ‘al-Hururiyyah”, mereka hidup disana dibawah kepemimpinan
seorang laki-laki yang bernama Abdullah bin Wahab al-Rasiby. Kemudian
terjadilah peperangan antara mereka dengan pasukan Ali yang mengakibatkan
terbunuhnya Khalifah Ali ditangan Abdullah bin Muljam. Kaum Khawarij terus
mengadakan pemberontakan sampai periode Daulah Bani Umayyah, bahkan sampai
periode Daulah Bani Abbasiyah, namun pada periode ini kekuatan mereka sudah
melemah. Khawarij pun akhirnya terpecah
menjadi beberapa kelompok, yang jumlahnya mencapai 20 kelompok, kelompok yang
terkenal ada empat (al-Arariqah, ash-Shafariah, an-Njaddat, dan al-Abadhiyah),
setiap satu kelompok dengan kelompok lain berbeda ajarannya.[25]
Sekalipun kelompok-kelompok khawarij ini
saling berbeda dalam ajarannya, namun ada dua pandangan yang disepakati oleh
jumhur Khawarij, yaitu:
1.
Khalifah
tidak hanya terbatas pada satu golongan saja, jabatan khalifah boleh diberikan
kepada orang Quraisy atau kepada non-Quraisy, sekalipun itu budak.
2.
Melakukan
perintah-perintah Allah seperti sholat, puasa, berlaku jujur dan adil merupakan
bagian dari keimanan, sedangkan iman adalah keyakinan dan amal, maka siapa yang
tidak melakukan perintah Allah
dan melakukan dosa besar, maka dia adalah kafir.
Sumber hukum
bagi sebagian Khawarij hanyalah al-Qur`an saja, sedangkan sebagian yang lain
menjadikan al-Qur`an dan Sunnah sebagai sumber hukumnya, namun sunnah ini
hanyalah sunnah-sunnah yang diriwayatkan oleh imam-imam mereka. Khawarij
tidak mengakui adanya ijma`, karena dengan mengakui ijma` berarti mereka mesti
menerima pendapat selain kelompok mereka. Mereka juga tidak mengakui adanya
qiyas, karena qiyas itu hanyalah ra`yun, ada hukum-hukum agama tidaklah
diambil dari ra`yi.[26]
b.
Syi’ah
Syi`ah adalah pengikut khalifah Ali dan
keturunannya. Mereka berpendapat bahwa sebenarnya yang menjadi khalifah itu
adalah Ali, karena ada wasiat dari Rasulullah, dan jabatan juga merupakan hak
anak cucu Ali.[27]
Sebagian orang-orang syi`ah menganggap Abu Bakar, Umar dan Utsman telah
melakukan sebuah kesalahan karena telah
mau diangkat menjadi khalifah, padahal mereka tahu bahwa Ali yang lebih berhak.
Sedangkan sebagian orang-orang Syi`ah ada yang sangat berlebihan, mereka
mengkafirkan Abu Bakar, Umar dan Utsman, serta orang-orang yang mengikuti
ketiga khalifah ini, karena mereka telah melanggar wasiat Rasulullah, dan
merampas kekhalifahan dari Ali, bahkan mereka mengganggap Ali adalah manusia
paling mulia setelah Nabi, dan dia adalah seorang yang ma`shum. Atau
bahkan ada yang menganggap Ali ini sebagai Tuhan.[28]
Ulama berbeda pendapat tentang
kemunculan Syi’ah, ada yang mengatakan bahwa Syi’ah muncul setelah Nabi wafat,
pendapat lain mengatakan bahwa Syi’ah muncul ketika perang siffin, sebagian
pasukan Ali keluar dari barisan dan sebagian lain tetap setia dalam barisan,
dan kelompok yang tetap setia dalam barisan dan tetap mendukung Ali inilah yang
kemudian disebut dengan Syi’ah.[29]
Pandangan Syi`ah (Imamiyah) terhadap
Fiqh berbeda dengan fiqh Ahlu Sunnah, diantaraya adalah:
1.
Mereka
membolehkan Nikah Mut`ah, bahkan menganggapnya sebagai sebuah ibadah untuk
mendekatkan diri kepada Allah.
2.
Tidak
boleh bagi seorang laki-laki muslim nikah dengan wanita ahli kitab.
3.
Banyak
sekali perbedaan mereka dengan Ahlu Sunnah dalam masalah mawarits.
Seperti wanita tidak bisa
menerima harta warisan yang berbentuk harta tidak bergerak (tanah, rumah, dll),
wanita hanya mendapatkan warisan dari harta yang bergerak.[30]
Perbedaan ini
muncul karena orang-orang Syi`ah dalam bidang fiqh berpegang kepada al-Qur`an
dan Sunnah, mereka menafsirkan al-Qur`an itu sesuai dengan apa yang dipahami
oleh imam-imam mereka, mereka tidak menerima tafsir diluar Syi`ah. Begitu
juga mereka tidak mengambil hadits-hadits yang tidak diriwayatkan oleh
imam-imam mereka yang ma`shum.[31]
Pendapat-pendapat diatas hanyalah
pendapat sebagian orang-orang Syi`ah, mereka yang berasal dari firqah
Ghulat dan Kaisaniyah. Selain dua firqah diatas (Ghulat dan Kaisaniyah),
ada firqah ketiga yang bernama firqah Zaidiyyah. Nama Zaidiyyah
dinisbatkan kepada Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husen. Kelompok ini membatasi
jabatan khalifah ini hanya pada keturunan Ali dari Fathimah, dan mereka
mensyaratkan, bahwa seorang Imam itu harus `Alim, zuhud, sederhana, dan
pemberani. Mereka membolehkan imam mafdhul sekalipun ada imam fadhil. Oleh
karena itu mereka mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan Umar.[32]
c.
Jumhur (Ahlusunnah wal Jama’ah)
Pada hakikatnya ahlusunnah wal Jama’ah
sudah ada sejak wafatnya Nabi Muhammad saw. Golongan ini adalah pemegang
kekuasaan di dunia Islam setelah Nabi wafat, seperti pemerintahan
khulafurrasyidin, bani Umayyah, Bani Abbasiyah dan pemerintahan turki Usmani. Tetapi
nama ahlu sunnah wal jama’ah baru popular pada masa dinasti Bani Abbas yakni
ketika gencarnya serangan terhadap golongan Mu’tazilah yang dianggap mengikuti
sunnah. Golongan ahlu sunnah wal jama’ah adalah golongan yang tidak berpihak
kepada Khawarij maupun Syi’ah, golongan ini mau menerima periwayatan dari semua
sahabat asalkan memiliki kualitas hadis shahih. [33]
Teori politik ahlu sunnah pertama
kalinya ditulis oleh al-Mawardi (wafat 1058 M) dalam bukunya yang berjudul al-Ahkam
al-Sulthaniyah. Menurut sebagian penulis buku, buku ini dianggap sebagai
karya ilmiah pertama tentang ilmu politik dan Administrasi pertama dalam Islam.
Al-Mawardi merupakan orang pertama yang menulis tentang konsep politik ahlu
sunnah. Tulisan dalam buku tersebut lebih banyak ditujukan untuk memberi
legitimasi pada kekhalifahan Bani Abbas dan menolak pemerintahan Islam lainnya
yang mengaku dirinya sebagai khalifah.
PENUTUP
Setelah
membahas sejarah peradilan pada masa Sahabat, khususnya khulafurrasidhin, dapat
kita ketahui bahwa penerapan sitem peradilan pada masa sekarang ini telah
dimulai pada masa sahabat, khusunya pada masa Umar bin khatab yang memisahkan antara pemerintahan dengan
peradilan. Umar telah memakai yuresprudensi, contohnya ketika Umar tidak
mendapatkan ketetapan hukum dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi, maka Umar melihat
apakah Abu Bakar telah menetapkan hukum tersebut, jika telah ada ketetapan
hukumnya, maka Umar menetapkan seperti yang ditetapkan Abu Bakar. Pemakaian rumah penjara, serta tempat
persidangan telah dilakukan juga pada masa sahabat ini. Dengan mempelajari
sejarah, terutama sejarah peradilan Islam hendaknya menjadi pedoman dan panutan
untuk kemajuan peradilan dimasa yang akan datang. Terutama bagi hakim yang akan
memutuskan suatu perkara hendaknya berpedoman kepada risalah al-Qadha yang
ditulis oleh Umar sewaktu mengutus Abu Musa al-Asy’ari menjadi qadhi di Yaman.
Andaikan para hakim memahami risalah al-qadha Umar bin khatab ini dan
menerapkan dengan benar dalam memutuskan perkara, tak akan terjadi
penyimpangan-penyimpangan hakim yang merusak moral hakim sebagai penegak
hukum.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrahman Ibrahim Abdul Aziz al-Hamidi, al-Qadha
Wa Nizhamuhu Fi al-Kitab Wa As Sunnah, al-Jami’ah Ummu Qura, 1984
Abi
al-Fath Muhammad bin Abdul Karim as-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal (Beirut:
Dar Surur, 1948)
Asasriwarni, Sejarah Peradilan Islam, (Padang: Iain Pres,
2000)
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta:
UI Pres, 1985)
Muhammad al-Zuhaily, Tarikh al-Qadha’ fi al-Islam, (Beirut :
Dar-al Fikr, 1995)
Muhammad
Ra’fat Usman, Nizamul Qadha’ fil fiqhi
Islamy, (Kairo: Maktabah Kuliyyah Azhar, 2010)
Nashr
Farid Muhammad, Al-Sulthah al-Qadhaiyah wa Nizham al-Qadha fi al-Islam,
(Kairo: Maktabah al-Taufiqiyah, 1403 H)
Sya`ban
Muhammad Ismail, at-Tasyri` al-Islami, Kairo: Maktabah an-Nahdhah
al-Mishriyah, 1985
Ghalib Ibnu Ali Iwaj, Firqu Maushiroh, (Jeddah: Maktabah
Asriyah Zahabiyyah, 2001)
Tasman Ya’kub, Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam, (Padang:
IAIN IB Pres, 2004)
[1]Muhammad
al-Zuhaily, Tarikh al-Qadha’ fi al-Islam, (Beirut : Dar-al Fikr,
1995), hal. 84.
[2] Asasriwarni,
Sejarah Peradilan Islam, (Padang: Iain Pres, 2000), hal. 40.
[3] Muhammad
al-Zuhaily, op cit., hal. 85.
[4] Asasriwarni, op
cit, hal. 41.
[5] Muhammad
al-Zuhaily, op cit.,hal. 136-137.
[7] Muhammad
Ra’fat Usman, Nizamul Qadha’ fil fiqhi
Islamy, (Kairo: Maktabah Kuliyyah Azhar, 2010), hal 45.
[9] Asasriwarni, op
cit., hal. 42.
[12] Abdurrahman
Ibrahim Abdul Aziz al-Hamidi, al-Qadha Wa Nizhamuhu Fi al-Kitab Wa As
Sunnah, al-Jami’ah Ummu Qura, 1984, hal. 238.
[13] Muhammad
al-Zuhaily, op cit., hal. 145-146.
[14] Ibid.,
hal. 86.
[15] Muhammad
al-Zuhaily, op cit. hal. 147
[16] Nashr Farid
Muhammad, Al-Sulthah al-Qadhaiyah wa Nizham al-Qadha fi al-Islam,
(Kairo: Maktabah al-Taufiqiyah, 1403 H), hal. 64-65
[17] Sya`ban
Muhammad Ismail, at-Tasyri` al-Islami, Kairo: Maktabah an-Nahdhah
al-Mishriyah, 1985, hal. 278
[18] Ibid.,
hal. 267
[20] A.Tasman
Ya’kub, Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam, (Padang: IAIN IB Pres,
2004), hal. 12
[22] Ibid.,
hal. 95
[23] Ghalib Ibnu
Ali Iwaj, Firqu Maushiroh, (Jeddah: Maktabah Asriyah Zahabiyyah, 2001),
hal. 227
[24] Sya`ban
Muhammad Ismail, op cit.,hal. 270
[25] Ibid.,
hal. 270
[26] Ibid.,
hal. 271
[27]Ibid.,
hal. 272
[28] Ibid.,hal.
272
[29] Abi al-Fath
Muhammad bin Abdul Karim as-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal (Beirut: Dar
Surur, 1948), Jilid I, hal. 235.
[30] Sya`ban
Muhammad Ismail, op cit., hal. 274
[31] Ibid.,
hal. 274
[32] Ibid.,
hal. 275.
[33] Tasman Yaqub, op
cit., hal. 64.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar