Senin, 15 Februari 2016

TASYRI’ PADA MASA SAHABAT DAN SEKTE-SEKTE SYIAH KHAWARIJ DAN JUMHUR

                 
A.     PENDAHULUAN
Lembaga peradilan (qadha) Pada masa sahabat masih berjalan seperti zaman Rasulullah, peradilan ditangani lansung oleh Rasul. Nabi sebagai kepala negara sekaligus sebagai qadhi dalam menyelesaikan perkara. Kemudian kebiasaan ini diteruskan  oleh Abu Bakar yang menjabat sebagai khalifah pertama setelah Nabi wafat.  peradilan pada masa  Abu Bakar belum menunjukkan kemajuan yang berarti, dikarenakan Khalifah disibukkan menangani masalah aqidah yaitu permasalahan orang-orang murtad dan orang-orang yang enggan membayar zakat. 
Setelah meningalnya Abu Bakar, kursi kekhalifahan digantikan oleh Umar bin Khatab, pada masa Umar ini terjadinya ekspansi besar-besaran yang mengakibatkan bertambah luasnya kekuasaan wilayah Islam, sehingga permasalahanpun semakin kompleks.  Atas dasar inilah khalifah Umar memisahkan wewenang antara pemerintahan dan peradilan.  Sehingga khalifah mulai mengutus para qadhi ke berbagai wilayah Islam dalam menangani masalah peradilan. Umar juga melakukan pembaharuan dalam peradilan dengan didirikannya rumah penjara. setelah Umar meninggal digantikan oleh Utsman bin Affan, Usman memberikan kontribusi dalam peradilan dengan mendirikan membangun yang dijadikan tempat penyelesaian perkara, khusunya bagi kota Madinah. Pada masa Khalifah Ali bin Abu tahalib peradilan tidak begitu menunjukkan perkembangan. Ali masih meneruskan sistem peradilan khalifah sebelumnya, karena masa Ali ini banyaknya terjadi permasalah dan umat Islam semakin terpecah-pecah.
Perseteruan antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sofyan berujung kepada perdamaian dengan dilakukannya tahkim antara kedua belah pihak. Keputusan tahkim yang menguntungkan pihak Muawiyah memaksa Ali untuk mundur dari kursi kekhalifahan, namun Ali tidak mau menyerahkan pemerintahan kepada Muawiyah sehingga berakibat terbunuhnya Ali. Keputusan tahkim yang disepakati oleh sebagian kelompok Ali mengakibatkan kelompok lain marah dan tidak menerima atas tahkim tersebut, kemudian mereka memilih keluar dari barisan Ali yang kemudian dinamakan dengan kelompok Khawarij, sedangkan kelompok yang masih setia mendukung Ali disebut dengan Syi’ah. Hal ini lebih lanjut akan dijelaskan pada pembahasan berikutnya.

B. PEMBAHASAN
     1. Lembaga Peradilan Pada Masa Khalifah al-Rasyidin
Peran penting pada masa al Rasyididin dalam hal peradilan bisa dilihat dari dua hal:
1.      Qada pada masa ini berpegangan terhadap nash al-Qur’an dan Sunnah
2.      Ditetapkan aturan-aturan qada yang baru untuk menguatkan pondasi-pondasi daulah Islamiah yang sudah meluas dan ini dalam rangka menghadapi berbagai macam hal baru yang muncul.
Akan tetapi karena pendeknya masa pemerintahan khalifah Rasyidin, maka perubahan-perubahan dalam hal qadha’ tidak terlalu banyak didapatkan. Qada merupakan fardu ‘ain bagi khalifah karena dia merupakan salah satu hal penting dalam menerapkan syariat Islam dan dalam  menegakkan urusan agama dan dunia, oleh karena itu khalifah bisa jadi menempati langsung posisi qadha atau mengangkat yang lainnya sebagai penggantinya, selain itu khalifah Rasyidin juga memperhatikan qada untuk daerah luar Madinah dengan mengangkat para qadi dan membebankan mereka untuk menegakkan keadilan dan kebenaran diwilayah mereka.[1]
         a. Peradilan Pada Masa Abu Bakar 
                        Pada masa pemerintahan Rasulullah, lembaga peradilan ditanganai sendiri oleh Rasulullah saw, keadaan ini terus berlangsung sampai kekhalifahan Abu Bakar. Tradisi ini diteruskan oleh Abu Bakar, karena pada waktu itu berkembang anggapan  bahwa khalifah adalah pengganti Rasul dalam urusan pemerintahan sedangkan peradilan merupakan tugas umum dari pemerintahan. Urusan peradilan adalah wewenang khalifah.[2] Pada masa Abu Bakar ia menunjuk Umar bin Khatab sebagai qadi, penunjukkan ini dia lakukan karena ini merupakan tugas penting khalifah, sedangkan khalifah sendiri memegang kendali penting dalam masalah politik yaitu memerangi orang-orang murtad dan mengutus para tentara untuk menghadapi tentara Romawi dan Persia dalam rangka menyebarkan dakwah Islam.[3]
                        Meskipun khalifah pernah menyerahkan tugas peradilan kepada Umar selama 2 tahun, namun tidak ada seorang pun yang membawa perkaranya ke Pengadilan, karena Umar dikenal dengan orang yang keras dan tegas, disamping itu juga karena faktor pribadi muslim yang dikenal sangat sholeh dan toleran sesama muslim sehingga tidak pernah terjadi sengketa yang wajar.
                        Ibnu al-Qayyim menjelaskan bahwa Abu bakar dalam menyelesaikan suatu perkara, beliau memperhatikan kandungan al-Qur’an, jika ia tidak mendapatkan hukumnya di dalam al-Qur’an, maka ia merujuk kepada sunnah yang diketahui. Jika tidak ditemukan di dalam sunnah, maka ia menanyakan kepada para sahabat kalau ada hadis menyangkut  perkara itu, jika ada maka ia memutuskannya menurut hadis yang ia dapati dari seseorang yang dipercaya tersebut. Bila tidak ada yang mengetahui hukum Nabi, maka Abu Bakar mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah tentang putusan yang akan diberikan, jika mereka sepakat untuk menetapkan suatu hukum, maka ia berpegang pada hukum tersebut.[4] Hal ini dinamakan dengan ijma’ sahabat, dan ijma’ sahabat ini adalah ijma’ yang paling baik.
                        Salah satu putusan yang telah dilaksanakan pada masa Abu Bakar adalah keputusan tentang hukum jilid, Imam Malik meriwayatkan dari Nafa’I bahwa Sofiah binti Ubaid mengabarkan kepadanya: Abu Bakar didatangi oleh seorang laki-laki yang mendatangi seorang budak dan ia menghamilinya, laki-laki itu mengaku telah melakukan zina dan bukan muhsan. Abu Bakar lalu menyuruh menjilidnya sebagai hukuman baginya lalu mengasingkannya ke Fadak.[5]
b. Peradilan Pada Masa Umar  bin Khatab
          Setelah wafatnya Abu Bakar, maka peran penting pemerintahan digantikan oleh Umar bin Khatab.  Langkah pertama yang dilakukan oleh Umar adalah perluasan wilayah. Meskipun pada masa Abu Bakar dirintis dan dimulai upaya ke arah itu, namun prakteknya baru dapat dituntaskan pada masa ini.[6] Pada Masa Umar ini dianggap dengan masa penaklukan Islam secara besar-besaran, diantaranya di taklukkan nya Irak, Syam, dan Mesir.[7] Karena luasnya wilayah pada masa Umar mengakibatkan berbaurnya berbagai macam kebudayaan sehingga persoalan yang dihadapi umat Islam semakin komplek.
          Melihat kondisi tersebut, khalifah Umar barulah memisahkan wewenang antara pemerintahan dengan Lembaga Peradilan, untuk itu ia mengangkat para qadi yang terlepas dari pemerintahan. Dan ia memberikan wewenang khusus terhadap lembaga peradilan dan itu dibawah pantauan langsung.[8] Seperti Umar mengangakat Abu Darda’ sebagai qadhi  di Medinah, Syuraih di Basrah, Abu Musa al-Asy’ary di Kufah, Usman bin Qais Abi al-Ash di Mesir. Mereka itulah yang disebut qadi pertama kali dalam Islam. Jabatan qadi tersebut tidak diberikan kepada sembarang orang, tapi diberikan kepada orang yang mempunyai kemampuan di bidang peradilan. Syarat paling utama yang selalu dijadikan bahan pertimbangan adalah integritas moral. seperti sifat taqwa, wara’, dan adil, untuk itu perlu diadakan seleksi ketat.[9]
          Pelaksanaan qadha pada masa Umar masih sederhana, terbuka, tidak berbelit-belit dan mandiri. Artinya belum terikat pada Undang-undang atau peraturan lainnya, seperti saat ini. Seorang qadhi belum mempunyai sekretaris, dan keputusan qadhi belum di tulis. Qadhi langsung bertindak sebagai eksekutor. Kebanyakan dari pihak-pihak yang besengketa (membutuhkan keputusan hukum) datang sendiri untuk meminta ketetapan hukum. Ketika itu belum ada orang yang meminta keputusan banding.
          Sekalipun Umar telah mengangkat qadi di daerah, namun wewenang yang diberikan dibatasi, yaitu khusus perkara perdata saja. Sedangkan perkara pidana masih dalam wewenang khalifah. Meskipun demikian Umar selalu memperhatikan dan mengawasi perbuatan para penguasa di daerah dan para qadhi. Bahkan sering memberikan bimbingan-bimbingan tentang tata cara pelaksanaan qadha.[10]
          Khalifah Umar selalu memberikan petunjuk dan bimbingan kepada para qadhi, seperti ketika Umar mengirim surat kepada salah satu qadhi yaitu Abu Musa al-Asy’ary yang menjadi qadhi di Kuffah agar dia bertindak sebagai qadhi yang adil dan Umar memberikan petunjuk tentang pelaksanaan qadha yang dikenal dengan “Risalah al-Qadha”, yaitu surat tentang tugas penyelesaian sengketa yang antara lain memuat;
          “Amma Ba’du, Penyelesaian suatu perkara adalah suatu fardu yang yang dibebankan dan suatu sunnah yang harus diikuti, lalu pahamilah apabila diajukan kepadamu (suatu perkara) dan putuskanlah apabila telah jelas (kedudukannya) karena sebenarnya tidaklah ada artinya bicara soal keadilan tanpa ada pelaksanaannya. Samaratakanlah manusia (yang berperkara) dalam analisamu, pandanganmu, dan keputusanmu, sehingga orang yang berpangkat tidak mengharapkan penyelewenganmu dan orang yang lemah tidak sampai putus asa mendambakan keadilanmu.
          Bukti itu wajib atas penggugat sedang sumpah itu wajib atas pihak yang menolak. Boleh mengadakan perdamaian diantara kaum muslimin kecuali perdamaian yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Barang siapa yang mendakwakan suatu hak yang tidak ada ditempatnya suatu bukti maka berilah tempo kepadanya sampai ia dapat membuktikan dakwaannya, kemudian kalau ia dapat membuktikannya maka ia berhak diberlakukan, karena yang demikian itu lebih mantap bagi urusannya dan lebih merupakan barang yang tersembunyi. Janganlah sekali-sekali menghalangimu keputusan yang telah engkau jatuhkan hari ini, kemudian engkau tinjau kembali kepada kebenaran, karena kebenaran itu harus didahulukan, tidak dapat dibatalkan oleh apapun. Sedangkan kembali kepada kebenaran itu lebih baik daripada harus bergelimang dalam kebathilan.
          Orang-orang Islam itu dianggap adil sebagian mereka terhadap sebagian yang lain, kecuali orang yang pernah memberikan kesaksian palsu atau orang yang pernah dijatuhi hukuman had, atau orang yang diragui tentang asal usulnya, karena Allah mengetahui rahasia-rahasia dan menghindarkan hukum atas mereka, kecuali dengan adanya bukti-bukti atau sumpah –sumpah.
          Pahamilah dengan sungguh-sungguh tentang perkara yang diajukan kepadamu, yang tidak terdapat (ketentuan hukumnya) dalam al-Qur’an dan tidak terdapat pula dalam Sunnah Nabi saw, kemudian bandingkanlah perkara itu dan perhatikanlah (perkara) yang serupa (hukumnya) dengan perkara-perkara itu, kemudian pegangilah mana hukum yang menurut pendapatmu lebih diridhoi Allah dan mendekati kebenaran. Hindarilah dirimu dari marah, pikiran kacau, rasa jemu, mengikuti orang yang berperkara dan bersikap keras manghadapi mereka. Karena memutus perkara di tempat yang benar adalah teramasuk pekerjaan yang ditetapkan pahalanya oleh Allah dan membawa nama baik .
          Barang siapa memurnikan niatnya dalam mencari kebenaran, walaupun mengorbankan dirinya sendiri maka Allah memberi kecukupan, dan barang siapa berlagak memiliki keahlian yang tidak ada pada dirinya, maka Allah pasti akan membalas rahasia kejelakannya itu. Karena sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal dari kesombongan kecuali amal yang didasari dengan ikhlas, lalu bagaimanakan persangkaanmu tentang pahala dari Allah, baik yang akan segera diberikan maupun yang  berada di dalam perbendaharaan hukumnya. 
          Selain itu kemajuan lain yang dilakukan pada masa Umar adalah  memberi gaji kepada para qadhi, yang diambil dari kas negara (bait al-mal). Seperti Umar menetapkan 500 dirham untuk qadi Sulaiman bin Rabi’ah al Bahili setiap bulannya, dan 100 dinar untuk Sureh setiap bulannya. Sebenarnya penetapan gaji khusus ini telah dilaksanakan pada masa Rasulullah dengan menetapkan gaji khusus terhadap ‘Itap bin Used yang merupakan wali Makah. Dan begitupun Rasul menetapkan gaji khusus di wilayah-wilayah lainnya. Ketika Abu Bakar diangkat menjadi khalifah ia juga menetapkan gaji khusus bagi mereka agar mereka memberikan perhatian penuh terhadap urusan umat Islam, akan tetapi sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa lembaga peradilan pada masa ini masih menyatu dengan pemerintahan.[11]
          Adapun dalam penyelesaian perkara, Umar berpedoman kepada al-Qur’an dan hadis. Jika penyelesaiannya tidak diperoleh dalam al-Qur’an dan hadis, umar meneliti apakah Abu Bakar pernah menetapkan hal itu, maka Umar menetapkan seperti demikian. Bila belum pernah ditetapkan sebelumnya Umar mengumpulkan pemuka kaum muslimin dan bermusyawarah, bila mereka sepakat dengan suatu keputusan maka ditetapkan hukum dengannya. Kebijakan lain yang yang diambil oleh Umar adalah membeli rumah di mekah dan dijadikan rumah tahanan, rumah tahanan ini merupakan pemeliharaan bagi orang yang bersalah dan orang yang membuat kerusakan di tengah masyarakat agar dapat memperbaiki akhlaknya.
c. Peradilan Pada Masa Usman bin Affan
                            Peradilan pada masa Usman masih seperti pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar, dan metode peradilannya pun masih sama. Pembaharuan yang dilakukan oleh Usman dalam bidang peradilan adalah membuat rumah atau bangunan yang khusus diperuntukkan untuk mengurusi urusan peradilan. Gedung pengadilan ini khusus untuk peradilan di Madinah. Sedangkan di daerah lain mesjid masih dipakai sebagai tempat persidangan. Berdirinya bangunan yang dikhususkan untuk peradilan ini menunjukkan telah luasnya daerah cakupan peradilan ditengah-tengah umat ketika itu.[12]
                            Dalam menyelesaikan persengketaan sama seperti yang dilakukan Umar. Karena wilayah Islam sudah semakin luas dan persoalan pun semakin kompleks, maka Usman mengangkat beberapa orang qadhi untuk memutuskan suatu perkara yang terjadi di beberapa daerah, yaitu: Muawiyah bin Abi Sofyan di Damsyiq, ‘Amru bin ‘Ash di Mesir, Saad bin Abi Waqas di Madinah, Abdullah bin Mas’ud di Kuffah, Zaid bin Tsabit di Madinah, Ubadah bin Shamad di Syam.[13]

 d. Peradilan Pada Masa Ali bin Abi Thalib
                      Ali merupakan khalifah yang ditunjuk setelah wafatnya khalifah Usman bin Affan. Ia adalah sahabat yang paling banyak menetapkan sebuah hukum dan merupakan referensi umat Islam dalam masalah qadi sejak masa Rasul. Ali selalu memegang peran penting dalam masalah qada hingga masa kekhalifahannya. Hukum-hukum yang ditetapkannya itu banyak pada permasalahah hudud, qishas, nasab dan harta.[14] Khalifah Ali bin Abi Thalib juga memisahkan peradilan dari pemerintahan, seperti yang dilakukan oleh Umar, dan pemerintah menyerahkan wewenang peradilan kepada para qadhi serta mendorong mereka menjadi unsur terpenting yang membuat peradilan menjadi lebih baik dengan tidak membuat hukum sendiri dalam mangadili manusia. Diantara para qadhi yang diangkat oleh Ali adalah: Syuraih bin Haris di Kuffah, Abu Musa al- Asy’ari di Kuffah, Ubaidilah bin Mas’ud di Yaman, Usman bin Hanif di Bashrah, Qais bin Sa’ad di Mesir, Abdullah bin Abbas di Basrah. [15]
                      Adapun permasalahan hukum yang terjadi dimasa pemerintahannya tidak banyak yang dapat diselesaikan disebabkan adanya pergolakan politik dan hampir dikatakan tidak terdapat perkembangan peradilan yang signifikan. Karena terbunuhnya Usman,  Ali disibukkan dengan situasi politik dikalangan umat yang makin kacau.  Ali tidak memegang penuh kendali hukum dan peradilan, ia melimpahkan kepada seseorang yang dipandang cakap dan memberinya honor. Namun Ali terkenal dengan paham dan kepintarannya dalam urusan peradilan.[16]
2.      Munculnya Sekte Khawarij, Syi’ah dan Jumhur
Periode ini dimulai semenjak wafatnya khalifah yang keempat, Ali bin Abi Thalib pada bulan Ramadhan 40 H.[17] Periode khulafurrasyidin merupakan persiapan dimulainya periode ini. Periode ini dapat kita anggap sebagai masa menggagas fiqh Islami.[18] Era khulafaurrasyidin, masih berjalan dengan aman, berpegang teguh kepada agama, tidak banyak terjadi perbedaan pandangan antara pemerintah dan umatnya, mereka bersatu, setiap ada masalah mereka selesaikan dengan jalur syura (musyawarah), masa ini terus berlanjut, sampai munculnya kelompok Abdullah bin Saba`, orang-orang yang selalu menyebarkan fitnah dikalangan kaum muslimin, yang mengakibatkan terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan.[19]
            Pembunuhan Usman yang bermotif politik segera menimbulkan malapetaka politik yang lebih besar yang berujung pada pengangkatan Ali sebagai khalifah. Ketika Ali diangkat sebagai khalifah, ia mendapatkan tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin menjadi khalifah terutama Thalhah dan Zubeir di Mekah dan mendapatkan sokongan dari Aisyah. Dalam sebuah peperangan yang di kenal dengan perang jamal, Thalhah dan Zubeir mati terbunuh sedang Aisyah dikirim ke Mekah. Tantangan yang kedua  datang dari Muawiyah, yaitu gubernur Damaskus, kelompok ini menunda pembaiatan kepada khalifah sampai Ali memenuhi tuntutan mereka yaitu menemukan dan menghukum pembunuhan Usman. Permintaan mereka tidak kunjung dipenuhi Ali. Pertentangan semakin memuncak antara kelompok Ali di Madinah dan Muawiyah di Damaskus yang menyebabkan peperangan tidak dapat dihindarkan lagi.[20]
            Peperangan antara Ali dan Muawiyah  terjadi di Siffin, Irak. Tentara Ali dapat mendesak tentara Muawiyah, tetapi kaki kanan muawiyah, yaitu Amr bin Ash yang terkenal licik minta damai dengan mengangkat al-Qur’an di ujung pedangnya.[21] Perdamaianpun disetujui Ali, sebagai perantara diangkat satu orang dari masing-masing pasukan, Amr bin Ash dari pihak Muawiyah dan Abu Musa al-Asy’ari dari pihak Ali. Dalam pertemuan itu kelicikan Amr bin Ash mengalahkan perasaan takwa Abu Musa, dan terjadilah kesepakatan antara mereka berdua untuk menjatuhkan Ali dan Muawiyah. Abu musa yang terlebih dahulu menyampaikan hasil kesepakatan, mengumumkan bahwa putusan untuk menjatuhkan kedua pemuka yang saling bertikai terebut. Namun ketika Amr bin Ash menyampaikan hasil putusan, ia menyetujui menjatuhkan Ali dan menolak menjatuhkan Muawiyah. Ali tidak menerima keputusan tersebut dan ia tidak mau menyerahkan jabatan kepada Muawiyah, sehingga ia mati terbunuh pada tahun 661 M.
            Keputusan tahkim yang merugikan pihak Ali tidak disetujui oleh sebagian pendukung Ali. Sebagian kelompok Ali mengasingkan diri dan keluar dari barisan Ali, mereka dikenal dengan nama Khawarij, mereka ini berbalik dari mendukung menjadi menentang Ali dan dalam peperangan melawan Ali mereka kalah. Dari peristiwa ini terjadilah tiga golongan politik. Golongan yang tetap mendukung Ali dikenal dengan nama Syi’ah, golongan yang keluar dari barisan Ali disebut Khawarij dan yang ketiga golongan Muawiyah.[22]

a.   Khawarij
Khawarij adalah sekelompok orang yang keluar dari Imam Ali bin Abi Thalib.[23] kelompok ini muncul karena tidak setuju terhadap tahkim yang diambil oleh Kelompok Ali dan Muawiyah, yang akhirnya putusan tahkim merugian pihak Ali. Kelompok ini melihat bahwa tahkim itu merupakan sebuah kesalahan besar, karena hukum Allah itu sudah sangat jelas, mereka ikut berperang bersama Ali karena mereka yakin bahwa kebenaran itu ditangan mereka, sedangkan tahkim adalah sebuah keraguan, tidak sesuai dengan keimanan, mereka akhirnya mengadakan rapat dan melahirkan sebuah jargon “لا حكم إلا لله”, kemudian mereka meminta Ali untuk mengakui kesalahannya atau bahkan kekafirannya karena dia telah menerima tahkim, dan menolak kesepakatan yang telah dibuatnya bersama kubu Mu`awiyah, kemudian Ali pun menolak tawaran itu.[24]
Melihat Ali menolak tawaran mereka, sehingga mereka lari ke daerah dekat Kuffah, yang mereka namai dengan ‘al-Hururiyyah”, mereka hidup disana dibawah kepemimpinan seorang laki-laki yang bernama Abdullah bin Wahab al-Rasiby. Kemudian terjadilah peperangan antara mereka dengan pasukan Ali yang mengakibatkan terbunuhnya Khalifah Ali ditangan Abdullah bin Muljam. Kaum Khawarij terus mengadakan pemberontakan sampai periode Daulah Bani Umayyah, bahkan sampai periode Daulah Bani Abbasiyah, namun pada periode ini kekuatan mereka sudah melemah. Khawarij pun akhirnya terpecah menjadi beberapa kelompok, yang jumlahnya mencapai 20 kelompok, kelompok yang terkenal ada empat (al-Arariqah, ash-Shafariah, an-Njaddat, dan al-Abadhiyah), setiap satu kelompok dengan kelompok lain berbeda ajarannya.[25]
Sekalipun kelompok-kelompok khawarij ini saling berbeda dalam ajarannya, namun ada dua pandangan yang disepakati oleh jumhur Khawarij, yaitu:
1.      Khalifah tidak hanya terbatas pada satu golongan saja, jabatan khalifah boleh diberikan kepada orang Quraisy atau kepada non-Quraisy, sekalipun itu budak.
2.      Melakukan perintah-perintah Allah seperti sholat, puasa, berlaku jujur dan adil merupakan bagian dari keimanan, sedangkan iman adalah keyakinan dan amal, maka siapa yang tidak melakukan perintah Allah dan melakukan dosa besar, maka dia adalah kafir.
Sumber hukum bagi sebagian Khawarij hanyalah al-Qur`an saja, sedangkan sebagian yang lain menjadikan al-Qur`an dan Sunnah sebagai sumber hukumnya, namun sunnah ini hanyalah sunnah-sunnah yang diriwayatkan oleh imam-imam mereka. Khawarij tidak mengakui adanya ijma`, karena dengan mengakui ijma` berarti mereka mesti menerima pendapat selain kelompok mereka. Mereka juga tidak mengakui adanya qiyas, karena qiyas itu hanyalah ra`yun, ada hukum-hukum agama tidaklah diambil dari ra`yi.[26]
b.      Syi’ah
Syi`ah adalah pengikut khalifah Ali dan keturunannya. Mereka berpendapat bahwa sebenarnya yang menjadi khalifah itu adalah Ali, karena ada wasiat dari Rasulullah, dan jabatan juga merupakan hak anak cucu Ali.[27] Sebagian orang-orang syi`ah menganggap Abu Bakar, Umar dan Utsman telah melakukan sebuah  kesalahan karena telah mau diangkat menjadi khalifah, padahal mereka tahu bahwa Ali yang lebih berhak. Sedangkan sebagian orang-orang Syi`ah ada yang sangat berlebihan, mereka mengkafirkan Abu Bakar, Umar dan Utsman, serta orang-orang yang mengikuti ketiga khalifah ini, karena mereka telah melanggar wasiat Rasulullah, dan merampas kekhalifahan dari Ali, bahkan mereka mengganggap Ali adalah manusia paling mulia setelah Nabi, dan dia adalah seorang yang ma`shum. Atau bahkan ada yang menganggap Ali ini sebagai Tuhan.[28]
Ulama berbeda pendapat tentang kemunculan Syi’ah, ada yang mengatakan bahwa Syi’ah muncul setelah Nabi wafat, pendapat lain mengatakan bahwa Syi’ah muncul ketika perang siffin, sebagian pasukan Ali keluar dari barisan dan sebagian lain tetap setia dalam barisan, dan kelompok yang tetap setia dalam barisan dan tetap mendukung Ali inilah yang kemudian disebut dengan Syi’ah.[29]
Pandangan Syi`ah (Imamiyah) terhadap Fiqh berbeda dengan fiqh Ahlu Sunnah, diantaraya adalah:
1.      Mereka membolehkan Nikah Mut`ah, bahkan menganggapnya sebagai sebuah ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah.
2.      Tidak boleh bagi seorang laki-laki muslim nikah dengan wanita ahli kitab.
3.      Banyak sekali perbedaan mereka dengan Ahlu Sunnah dalam masalah mawarits. Seperti wanita tidak bisa menerima harta warisan yang berbentuk harta tidak bergerak (tanah, rumah, dll), wanita hanya mendapatkan warisan dari harta yang bergerak.[30]
Perbedaan ini muncul karena orang-orang Syi`ah dalam bidang fiqh berpegang kepada al-Qur`an dan Sunnah, mereka menafsirkan al-Qur`an itu sesuai dengan apa yang dipahami oleh imam-imam mereka, mereka tidak menerima tafsir diluar Syi`ah. Begitu juga mereka tidak mengambil hadits-hadits yang tidak diriwayatkan oleh imam-imam mereka yang ma`shum.[31]
Pendapat-pendapat diatas hanyalah pendapat sebagian orang-orang Syi`ah, mereka yang berasal dari firqah Ghulat dan Kaisaniyah.  Selain dua firqah diatas (Ghulat dan Kaisaniyah), ada firqah ketiga yang bernama firqah Zaidiyyah. Nama Zaidiyyah dinisbatkan kepada Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husen. Kelompok ini membatasi jabatan khalifah ini hanya pada keturunan Ali dari Fathimah, dan mereka mensyaratkan, bahwa seorang Imam itu harus `Alim, zuhud, sederhana, dan pemberani. Mereka membolehkan imam mafdhul sekalipun ada imam fadhil. Oleh karena itu mereka mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan Umar.[32]
c.    Jumhur (Ahlusunnah wal Jama’ah)
Pada hakikatnya ahlusunnah wal Jama’ah sudah ada sejak wafatnya Nabi Muhammad saw. Golongan ini adalah pemegang kekuasaan di dunia Islam setelah Nabi wafat, seperti pemerintahan khulafurrasyidin, bani Umayyah, Bani Abbasiyah dan pemerintahan turki Usmani. Tetapi nama ahlu sunnah wal jama’ah baru popular pada masa dinasti Bani Abbas yakni ketika gencarnya serangan terhadap golongan Mu’tazilah yang dianggap mengikuti sunnah. Golongan ahlu sunnah wal jama’ah adalah golongan yang tidak berpihak kepada Khawarij maupun Syi’ah, golongan ini mau menerima periwayatan dari semua sahabat asalkan memiliki kualitas hadis shahih. [33]
Teori politik ahlu sunnah pertama kalinya ditulis oleh al-Mawardi (wafat 1058 M) dalam bukunya yang berjudul al-Ahkam al-Sulthaniyah. Menurut sebagian penulis buku, buku ini dianggap sebagai karya ilmiah pertama tentang ilmu politik dan Administrasi pertama dalam Islam. Al-Mawardi merupakan orang pertama yang menulis tentang konsep politik ahlu sunnah. Tulisan dalam buku tersebut lebih banyak ditujukan untuk memberi legitimasi pada kekhalifahan Bani Abbas dan menolak pemerintahan Islam lainnya yang mengaku dirinya sebagai khalifah.





PENUTUP
                Setelah membahas sejarah peradilan pada masa Sahabat, khususnya khulafurrasidhin, dapat kita ketahui bahwa penerapan sitem peradilan pada masa sekarang ini telah dimulai pada masa sahabat, khusunya pada masa Umar bin khatab yang  memisahkan antara pemerintahan dengan peradilan. Umar telah memakai yuresprudensi, contohnya ketika Umar tidak mendapatkan ketetapan hukum dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi, maka Umar melihat apakah Abu Bakar telah menetapkan hukum tersebut, jika telah ada ketetapan hukumnya, maka Umar menetapkan seperti yang ditetapkan Abu Bakar.  Pemakaian rumah penjara, serta tempat persidangan telah dilakukan juga pada masa sahabat ini. Dengan mempelajari sejarah, terutama sejarah peradilan Islam hendaknya menjadi pedoman dan panutan untuk kemajuan peradilan dimasa yang akan datang. Terutama bagi hakim yang akan memutuskan suatu perkara hendaknya berpedoman kepada risalah al-Qadha yang ditulis oleh Umar sewaktu mengutus Abu Musa al-Asy’ari menjadi qadhi di Yaman. Andaikan para hakim memahami risalah al-qadha Umar bin khatab ini dan menerapkan dengan benar dalam memutuskan perkara, tak akan terjadi penyimpangan-penyimpangan hakim yang merusak moral hakim sebagai penegak hukum. 
           
             
DAFTAR PUSTAKA


Abdurrahman Ibrahim Abdul Aziz al-Hamidi, al-Qadha Wa Nizhamuhu Fi al-Kitab Wa As Sunnah, al-Jami’ah Ummu Qura, 1984

Abi al-Fath Muhammad bin Abdul Karim as-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal (Beirut: Dar Surur, 1948)

Asasriwarni, Sejarah Peradilan Islam, (Padang: Iain Pres, 2000)


Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Pres, 1985)

Muhammad al-Zuhaily, Tarikh al-Qadha’ fi al-Islam, (Beirut : Dar-al Fikr, 1995)  


Muhammad Ra’fat Usman, Nizamul Qadha’ fil fiqhi  Islamy, (Kairo: Maktabah Kuliyyah Azhar, 2010)

Nashr Farid Muhammad, Al-Sulthah al-Qadhaiyah wa Nizham al-Qadha fi al-Islam, (Kairo: Maktabah al-Taufiqiyah, 1403 H)

 Sya`ban Muhammad Ismail, at-Tasyri` al-Islami, Kairo: Maktabah an-Nahdhah al-Mishriyah, 1985

Ghalib Ibnu Ali Iwaj, Firqu Maushiroh, (Jeddah: Maktabah Asriyah Zahabiyyah, 2001)


Tasman Ya’kub, Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam, (Padang: IAIN IB Pres, 2004)




[1]Muhammad al-Zuhaily, Tarikh al-Qadha’ fi al-Islam, (Beirut : Dar-al Fikr, 1995),  hal. 84.
[2] Asasriwarni, Sejarah Peradilan Islam, (Padang: Iain Pres, 2000), hal. 40.
[3] Muhammad al-Zuhaily, op cit., hal. 85.
[4] Asasriwarni, op cit, hal. 41.
[5] Muhammad al-Zuhaily, op cit.,hal. 136-137.  
[6]Ibid., 
[7] Muhammad Ra’fat Usman, Nizamul Qadha’ fil fiqhi  Islamy, (Kairo: Maktabah Kuliyyah Azhar, 2010), hal 45.
[8] Muhammad al-Zuhaily, op cit., hal. 90
[9] Asasriwarni, op cit., hal. 42.
[10] Ibid.,
[11] Muhammad al-Zuhaily, op cit., hal. 102
[12] Abdurrahman Ibrahim Abdul Aziz al-Hamidi, al-Qadha Wa Nizhamuhu Fi al-Kitab Wa As Sunnah, al-Jami’ah Ummu Qura, 1984, hal. 238. 
[13] Muhammad al-Zuhaily, op cit., hal. 145-146.
[14] Ibid., hal. 86.
[15] Muhammad al-Zuhaily, op cit. hal. 147
[16] Nashr Farid Muhammad, Al-Sulthah al-Qadhaiyah wa Nizham al-Qadha fi al-Islam, (Kairo: Maktabah al-Taufiqiyah, 1403 H), hal. 64-65
[17] Sya`ban Muhammad Ismail, at-Tasyri` al-Islami, Kairo: Maktabah an-Nahdhah al-Mishriyah, 1985, hal. 278
[18] Ibid., hal. 267

[20] A.Tasman Ya’kub, Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam, (Padang: IAIN IB Pres, 2004), hal. 12
[21] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Pres, 1985), hal 94
[22] Ibid., hal. 95
[23] Ghalib Ibnu Ali Iwaj, Firqu Maushiroh, (Jeddah: Maktabah Asriyah Zahabiyyah, 2001), hal. 227
[24] Sya`ban Muhammad Ismail, op cit.,hal. 270
[25] Ibid., hal. 270
[26] Ibid., hal. 271
[27]Ibid., hal. 272
[28] Ibid.,hal. 272
[29] Abi al-Fath Muhammad bin Abdul Karim as-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal (Beirut: Dar Surur, 1948), Jilid I, hal. 235.
[30] Sya`ban Muhammad Ismail, op cit., hal. 274
[31] Ibid., hal. 274
[32] Ibid., hal. 275.
[33] Tasman Yaqub, op cit., hal. 64.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar