Bai'al murabahah
adalah kegiatan jual beli pada harga pokok dengan tambahan keuntungan yang telah disepakati bersama. Dalam hal ini penjual harus terlebih dahulu memberitahukan harga
pokok yang ia beli ditambah keuntungan yang diinginkannya[1].
Seperti harga sebuah barang Rp1.000.000,-. Keuntungan yang diharapkan adalah
sebesar Rp300.000,-, sehingga harga jualnya adalah Rp1.300.000,-. Kegiatan
Bai’al Murabahah dilakukan setelah adanya kesepakatan penjual dengan pembeli, setelah itu baru dilakukan pemesanan.
Bai’al Murabahah dilakukan setelah adanya kesepakatan penjual dengan pembeli, setelah itu baru dilakukan pemesanan.
Rukun Bai’al
Murabahah, yaitu Ba’i (penjual), Musytary
(pembeli), Mabi’ (barang) dan Sighat dalam
bentuk ijab qabul[2]
Syarat Bai’al
Murabahah:
a.
Penjual memberi
tahu biaya modal kepada nasabah
b.
Kontrak pertama
harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan
c.
Kontrak harus
bebas dari riba
d. Penjual harus
menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian
e. Penjual harus
menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya pembelian
dilakukan dengan hutang[3].
Secara prinsip, jika syarat dalam poin (a), (d) dan (e) tidak
terpenuhi, pembeli memiliki pilihan;
a.
Melanjutkan
pembelian seperti apa adanya
b.
Kembali kepada
penjual dan menyatakan ketidak setujuan atas barang yang dijual
c.
Membatalkan
kontrak
Jual beli secara murabhah di atas hanya untuk barang atau
produk yang telah dikuasai atau dimiliki oleh penjual pada waktu negosiaisi dan
berkontrak[4].
Sesuai dengan sifat bisnis, transaksi Bai’al Murabahah
memiliki beberapa manfaat, demikian juga resiko yang harus dihadapi. Transaksi
ini memberikan banyak manfaat kepada bank syariah. Salah satunya adalah
keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari penjual dengan harga jual
kepada nasabah. Selain itu, sisitim ini juga sangat sederhana, hal ini
mempermudah penanganan administrasinya di bank syariah.
Di antara kemungkinan resiko yang harus diantisipasi antara lain
sebagai berikut;
a.
Default atau
kelalaian; nasabah sengaja tidak membayar angsuran
b.
Fluktuasi harga
komparatif. Ini terjadi apabila harga suatu barang di pasar naik setelah bank
membelikannya untuk nasabah. Bank tidak bisa mengubah harga jual beli tesebut.
c.
Penolakan
nasabah; barang yang dikirim bisa saja ditolak oleh nasabah karena berbagai
sebab. Kemungkinan lain karena nasabah merasa spesifikasi barang tersebut
berbeda dengan yang ia pesan. Bila bank telah menanda tangani kontrak pembelian
dengan penjualnya, barang tersebut akan menjadi milik bank. Dengan demikian,
bank punya resiko untuk menjual barang kepada pihak lain.
d.
Dijual; karena Bai’al
Murabahah jual beli dengan utang, maka ketika kontrak ditanda tangani,
barang itu menjadi milik nasabah. Nasabah bebas melakukan terhadap aset
miliknya tersebut, termasuki untuk menjualnya. Jika demikian resiko untuk default
akan besar[5].
2.
Bai’al Salam
Bai’al Salam ialah
pembelian barang yang diserahkan kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan
di muka. Prinsip yang harus dianut adalah harus diketahui terlebih dahulu
jenis, kualitas dan jumlah barang dan hukum awal pembayaran harus dalam bentuk
uang[6].
Sebagai contoh si A hendak membuat perusahaan konveksi yang akan membutuhkan
dana sekitar 300.000.000,-. Kemudian ia melakukan persetujuan dengan suatu bank
Syariah dan merekapun melakukan akad dimana bank akan membeli hasil konveksinya
sebanyak 300 kodi dengan harga 300.000.000,- selama 4 tahun. Saat jatuh tempo,
si A harus menyerahkan barang sebanyak 300 kodi kepada bank. Kemudian bank
menjual barang tersebut sebesar 1.050.000,- per kodi, dengan demikian
penghasilan bank adalah 315.000.000,- dengan laba yang diperoleh oleh bank
adalah 15.000.000,-.
Rukun Bai’al
Salam
a.
Muslam
(pembeli)
b.
Muslam ilaih
(penjual)
c.
Modal (uang)
d.
Muslam fiihi
(baranng)
e.
Sighat (ucapan)[7]
Di
samping segenap rukun yang harus dipenuhi, Bai’al Salam juga memiliki
beberapa syarat pada masing-masing rukun. Di bawah ini akan diterangkan dua
dian tara rukun yang trerpenting, yatiu modal dan barang.
a.
Modal transaksi
Bai’al Salam, dengan syarat-syarat sebagai berikut;
1)
Modal harus
diketahui
2)
Penerimaan
pembayartan saham
Kebanyakan ulama mengharuskan
pembayaran Bai’al Salam dialakukan di tempat kontrak. Hal tersebut
dimaksudkan agar pembayaran yang diberikan oleh pembeli tidak dijadikan sebagai
utang penjual. Lebih khusus lagi, pembayaraan Bai’al Salam tidak bisa
dalam bentuk pembebasan utang yang harus dibayar oleh penjual. Hal ini adalah
untuk mencegah praktik riba melalui mekanisme salam.
b.
Muslam fiihi,
dengan syarat-syarat sebagai berikut;
1)
Harus spesifik
dan dapat diakui sebagai utang.
2)
Harus bisa
diidentifikasi secara jelas untuk menghindari kesalahan akibat kurangnya
pengetahuan tentang macam barang tersebut (misalnya beras atau kain), tentang
klasifikasi kualitas (misalnya kualitas utama, dua atau ekspor), serta mengenai
jumlahnya.
3)
Penyerahan
barang dilakukan di kemudian hari.
4)
Kebanyakan
ulama mensyaratkan penyerahan barang harus ditunda pada suatu waktu kemudian.
5)
Bolehnya
menentukan tanggal waktu di masa yang akan datang untuk penyerahan barang.
6)
Tempat
penyerahan
7)
Penggantian
muslam fiihi dengan barang lain[8],
namun harus dengan spesifikasi dan kualitas yang sama.
3.
Bai’al istishna
Bai’al istishna adalah bentuk
khusus dari akad Bai’al Salam, oleh karena itu ketentuan dalam Bai’al
istishna adalah kontrak penjualan antara pembeli dengan produsen. Kedua
belah pihak harus saling menyetujui atau sepakat dahulu tentang harga dan
sistem pembayaran. Kesepakatan harga dapat dilakukan tawar-menawar dan sistem
pembayaan dapat dilakukan di muka atau secara angsuran perbulan atau di
belakang[9].
Dalam literatur
fiqh klasik, disebutkan Bai’al istishna sebagai lanjutan dari Bai’al
Salam, sehingga aturan dan ketentuannya mengikuti akad Bai’al Salam.
Adapun yang membedakan keduanya adalah pada metode pembayaran sifat kontraknya.
Pada Bai’al Salam, pembayaran harus dilaksanakan pada pelaksanaan akad,
sedangkan pada Bai’al istishna pembayaran lebih bersifat fleksibel,
dimana tidak dilakukan secara lunas tetapi bertahap sesuai dengan barang yang
diterima pada termin waktu tertentu. Sifat kontrak pada skim Bai’al Salam
adalah mengikat secara asli (thabi’i) pada semua pihak dari semua,
sedangkan pada Bai’al istishna bersifat mengikat secara ikutan untuk
melindungi produsen sehingga tidak ditinggalkan begitu saja oleh konsumen[10].
4.
Ijarah
Ijarah merupakan akad
pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melali pembayaran upah sewa, tanpa
diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri. Dalam
praktreknya kegiatan ini dilakukan oleh leasing, baik untuk kegiatan operating
lease maupun financial lease[11].
a.
operating lease
Konsep ini secara etimologi berarti
upah atau sewa. Ahli hukum Islam mendefenisikan dengan menjual manfaat,
kegunaan, jasa dengan biaya yang ditetapkan. Konsep ini tidak sama dan tidak
dikaitkan dengan jual beli, sebab akad jual beli adalah kekal (muabbadan),
sedangkan ijarah akad ini dalam masa tertentu (muaqqatan).
b.
financial lease
skim ini merupakan bentuk lain dari pada ijarah dimana
persewaan berakhir dengan pemindahan hak milik dan objek sewa. Skim ini lebih
banyak dipakai pada perbankan karena lebih sederhana dari sisi pembukuan dan
bank sendiri tidak direpotkan untuk pemeliharaan aset, baik pada saat leasing
maupun sesudahnnya[12].
KEPUSTAKAAN
Muhammad
Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, Tazkia Cendikia,
Jakarta, 2001
Kasmir,
Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, edisi revisi, Rajawali Perss,
Jakarta, 2008
Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian
Syariah di Indonesia, Edisi Revisi, Kencana, Jakarta, 2004
[1] Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, edisi revisi, Rajawali
Perss, Jakarta, 2008, hal. 196
[2] Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian
Syariah di Indonesia, Edisi Revisi, Kencana, Jakarta, 2004, hal. 88
[3] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik,
Tazkia Cendikia, Jakarta, 2001, hal. 102
[4] Ibid, hal. 103
[5] Ibid, hal. 107
[6] Kasmir, op.cit, hal. 197
[7] Muhammad Syafi’i Antonio, op.cit, hal. 109
[8] Ibid, hal. 109-110
[9] Kasmir, op.cit, hal. 198
[10] Gemala Dewi, op.cit, hal. 91-92
[11] Kasmir, op.cit, hal. 199
[12] Gemala Dewi, op.cit, hal. 89-90
Tidak ada komentar:
Posting Komentar