Senin, 15 Februari 2016

OPERASIONAL BANK SYARIAH DARI SEGI JUAL BELI

1.      Bai’al Murabahah
Bai'al murabahah adalah kegiatan jual beli pada harga pokok dengan tambahan keuntungan yang telah disepakati bersama. Dalam hal ini penjual harus terlebih dahulu memberitahukan harga pokok yang ia beli ditambah keuntungan yang diinginkannya[1]. Seperti harga sebuah barang Rp1.000.000,-. Keuntungan yang diharapkan adalah sebesar Rp300.000,-, sehingga harga jualnya adalah Rp1.300.000,-. Kegiatan
Bai’al Murabahah dilakukan setelah adanya kesepakatan penjual dengan pembeli, setelah itu baru dilakukan pemesanan.
Rukun Bai’al Murabahah, yaitu Ba’i (penjual)Musytary (pembeli)Mabi’ (barang) dan Sighat dalam bentuk ijab qabul[2]
Syarat Bai’al Murabahah:
a.       Penjual memberi tahu biaya modal kepada nasabah
b.      Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan
c.       Kontrak harus bebas dari riba
d.  Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian
e.   Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya pembelian dilakukan dengan hutang[3].
Secara prinsip, jika syarat dalam poin (a), (d) dan (e) tidak terpenuhi, pembeli memiliki pilihan;
a.    Melanjutkan pembelian seperti apa adanya
b.    Kembali kepada penjual dan menyatakan ketidak setujuan atas barang yang dijual
c.    Membatalkan kontrak
Jual beli secara murabhah di atas hanya untuk barang atau produk yang telah dikuasai atau dimiliki oleh penjual pada waktu negosiaisi dan berkontrak[4].
Sesuai dengan sifat bisnis, transaksi Bai’al Murabahah memiliki beberapa manfaat, demikian juga resiko yang harus dihadapi. Transaksi ini memberikan banyak manfaat kepada bank syariah. Salah satunya adalah keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari penjual dengan harga jual kepada nasabah. Selain itu, sisitim ini juga sangat sederhana, hal ini mempermudah penanganan administrasinya di bank syariah.
Di antara kemungkinan resiko yang harus diantisipasi antara lain sebagai berikut;
a.       Default atau kelalaian; nasabah sengaja tidak membayar angsuran
b.      Fluktuasi harga komparatif. Ini terjadi apabila harga suatu barang di pasar naik setelah bank membelikannya untuk nasabah. Bank tidak bisa mengubah harga jual beli tesebut.
c.       Penolakan nasabah; barang yang dikirim bisa saja ditolak oleh nasabah karena berbagai sebab. Kemungkinan lain karena nasabah merasa spesifikasi barang tersebut berbeda dengan yang ia pesan. Bila bank telah menanda tangani kontrak pembelian dengan penjualnya, barang tersebut akan menjadi milik bank. Dengan demikian, bank punya resiko untuk menjual barang kepada pihak lain.
d.      Dijual; karena Bai’al Murabahah jual beli dengan utang, maka ketika kontrak ditanda tangani, barang itu menjadi milik nasabah. Nasabah bebas melakukan terhadap aset miliknya tersebut, termasuki untuk menjualnya. Jika demikian resiko untuk default akan besar[5].

2.      Bai’al Salam
Bai’al Salam ialah pembelian barang yang diserahkan kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka. Prinsip yang harus dianut adalah harus diketahui terlebih dahulu jenis, kualitas dan jumlah barang dan hukum awal pembayaran harus dalam bentuk uang[6]. Sebagai contoh si A hendak membuat perusahaan konveksi yang akan membutuhkan dana sekitar 300.000.000,-. Kemudian ia melakukan persetujuan dengan suatu bank Syariah dan merekapun melakukan akad dimana bank akan membeli hasil konveksinya sebanyak 300 kodi dengan harga 300.000.000,- selama 4 tahun. Saat jatuh tempo, si A harus menyerahkan barang sebanyak 300 kodi kepada bank. Kemudian bank menjual barang tersebut sebesar 1.050.000,- per kodi, dengan demikian penghasilan bank adalah 315.000.000,- dengan laba yang diperoleh oleh bank adalah 15.000.000,-.

Rukun Bai’al Salam
a.       Muslam (pembeli)
b.      Muslam ilaih (penjual)
c.       Modal (uang)
d.      Muslam fiihi (baranng)
e.       Sighat (ucapan)[7]
Di samping segenap rukun yang harus dipenuhi, Bai’al Salam juga memiliki beberapa syarat pada masing-masing rukun. Di bawah ini akan diterangkan dua dian tara rukun yang trerpenting, yatiu modal dan barang.
a.       Modal transaksi Bai’al Salam, dengan syarat-syarat sebagai berikut;
1)      Modal harus diketahui
2)      Penerimaan pembayartan saham
Kebanyakan ulama mengharuskan pembayaran Bai’al Salam dialakukan di tempat kontrak. Hal tersebut dimaksudkan agar pembayaran yang diberikan oleh pembeli tidak dijadikan sebagai utang penjual. Lebih khusus lagi, pembayaraan Bai’al Salam tidak bisa dalam bentuk pembebasan utang yang harus dibayar oleh penjual. Hal ini adalah untuk mencegah praktik riba melalui mekanisme salam.

b.      Muslam fiihi, dengan syarat-syarat sebagai berikut;
1)      Harus spesifik dan dapat diakui sebagai utang.
2)      Harus bisa diidentifikasi secara jelas untuk menghindari kesalahan akibat kurangnya pengetahuan tentang macam barang tersebut (misalnya beras atau kain), tentang klasifikasi kualitas (misalnya kualitas utama, dua atau ekspor), serta mengenai jumlahnya.
3)      Penyerahan barang dilakukan di kemudian hari.
4)      Kebanyakan ulama mensyaratkan penyerahan barang harus ditunda pada suatu waktu kemudian.
5)      Bolehnya menentukan tanggal waktu di masa yang akan datang untuk penyerahan barang.
6)      Tempat penyerahan
7)      Penggantian muslam fiihi dengan barang lain[8], namun harus dengan spesifikasi dan kualitas yang sama.

3.      Bai’al istishna
Bai’al istishna adalah bentuk khusus dari akad Bai’al Salam, oleh karena itu ketentuan dalam Bai’al istishna adalah kontrak penjualan antara pembeli dengan produsen. Kedua belah pihak harus saling menyetujui atau sepakat dahulu tentang harga dan sistem pembayaran. Kesepakatan harga dapat dilakukan tawar-menawar dan sistem pembayaan dapat dilakukan di muka atau secara angsuran perbulan atau di belakang[9].
Dalam literatur fiqh klasik, disebutkan Bai’al istishna sebagai lanjutan dari Bai’al Salam, sehingga aturan dan ketentuannya mengikuti akad Bai’al Salam. Adapun yang membedakan keduanya adalah pada metode pembayaran sifat kontraknya. Pada Bai’al Salam, pembayaran harus dilaksanakan pada pelaksanaan akad, sedangkan pada Bai’al istishna pembayaran lebih bersifat fleksibel, dimana tidak dilakukan secara lunas tetapi bertahap sesuai dengan barang yang diterima pada termin waktu tertentu. Sifat kontrak pada skim Bai’al Salam adalah mengikat secara asli (thabi’i) pada semua pihak dari semua, sedangkan pada Bai’al istishna bersifat mengikat secara ikutan untuk melindungi produsen sehingga tidak ditinggalkan begitu saja oleh konsumen[10].

4.      Ijarah
Ijarah merupakan akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melali pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri. Dalam praktreknya kegiatan ini dilakukan oleh leasing, baik untuk kegiatan operating lease maupun financial lease[11].
a.       operating lease
Konsep ini secara etimologi berarti upah atau sewa. Ahli hukum Islam mendefenisikan dengan menjual manfaat, kegunaan, jasa dengan biaya yang ditetapkan. Konsep ini tidak sama dan tidak dikaitkan dengan jual beli, sebab akad jual beli adalah kekal (muabbadan), sedangkan ijarah akad ini dalam masa tertentu (muaqqatan).

b.      financial lease
skim ini merupakan bentuk lain dari pada ijarah dimana persewaan berakhir dengan pemindahan hak milik dan objek sewa. Skim ini lebih banyak dipakai pada perbankan karena lebih sederhana dari sisi pembukuan dan bank sendiri tidak direpotkan untuk pemeliharaan aset, baik pada saat leasing maupun sesudahnnya[12].



KEPUSTAKAAN
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, Tazkia Cendikia, Jakarta, 2001
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, edisi revisi, Rajawali Perss, Jakarta, 2008
Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, Edisi Revisi, Kencana, Jakarta, 2004




[1] Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, edisi revisi, Rajawali Perss, Jakarta, 2008, hal. 196
[2] Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, Edisi Revisi, Kencana, Jakarta, 2004, hal. 88
[3] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, Tazkia Cendikia, Jakarta, 2001, hal. 102
[4] Ibid, hal. 103
[5] Ibid, hal. 107
[6] Kasmir, op.cit, hal. 197
[7] Muhammad Syafi’i Antonio, op.cit, hal. 109
[8] Ibid, hal. 109-110
[9] Kasmir, op.cit, hal. 198
[10] Gemala Dewi, op.cit, hal. 91-92
[11] Kasmir, op.cit,  hal. 199
[12] Gemala Dewi, op.cit, hal. 89-90

Tidak ada komentar:

Posting Komentar