Kamis, 18 Februari 2016

Maqashid Syar’iah

A. PENDAHULUAN
Di tengah perkembangan kemajuan dunia dengan tingkat peradaban manusia yang semakin pesat, keberadaan syari’at Islam di tengah umatnya – dalam tataran konsep maupun praktik – sedikit demi sedikit telah tergeser dan tergantikan oleh paradigma pragmatis manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Di satu sisi terdapat sekelompok  umat Islam yang secara gigih mengupayakan pemberlakuan syari’at Islam secara utuh. Sikap idealis mereka cenderung menjurus ke arah penentangan hegemoni budaya barat secara frontal, bahkan tak jarang dibarengi dengan aksi-aksi fisik yang kerap dicap sebagai teror. Tindakan ini, jelas tidak simpatik, bahkan dalam pandangan mayoritas orang Islam sekalipun. Bagaimanapun, upaya pemahaman dan penegakan syari’at Islam adalah sebuah keharusan. Dan tentunya, dalam mensosialisasikannya, haruslah secara arif. Kendati mengharuskan umatnya untuk tunduk pada segala aturannya, namun melalui tata aturan syari’at, Islam hadir untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan tertentu serta hikmah di balik pemberlakuan hukum-hukumnya. Dalam terminologi syari’at, cita-cita, dan tujuan serta hikmah tersebut dikenal dengan istilah maqashid al syariah. Melalui pendekatan semacam inilah, pemahaman syari’at Islam lebih menemukan ruh dan substansinya.
Maqashid al Syariah memiliki sejumlah makna atau sasaran yang hendak dicapai oleh syara’ dalam semua atau sebagian besar kasus hukumnya. Atau ia adalah tujuan dari syari’at, atau rahasia di balik pencanangan tiap-tiap hukum oleh Syar’i (pemegang otoritas syari’at, Allah dan Rasul-Nya. Pengetahuan terhadap Maqashid al Syariah ini, selamanya merupakan kebutuhan bagi semua kalangan. Bagi mujtahid, maqashid al syariah tentu saja dibutuhkan dalam memahami teks-teks syari’at, dalam melakukan istimbat, tarjih, atau qiyas. Bagi kalangan awam, pengetahuan terhadap maqashid syariah tak kalah pentingnya. Karena, dengan memahami hikmah di balik pensyari’atan hukum, seseorang akan lebih mantap dalham menerima dan melaksanakan tata aturan syari’at tersebut. Banyak sekali nash Al-Qur’an maupun sunnah yang menegaskan bahwa Allah menciptakan alam dan segala instrumen kelengkapannya – termasuk tata aturan syari’at – tidak secara sia-sia, namun dengan tujuan dan sasaran tertentu. Allah swt. berfirman:
óOçFö7Å¡yssùr& $yJ¯Rr& öNä3»oYø)n=yz $ZWt7tã öNä3¯Rr&ur $uZøŠs9Î) Ÿw tbqãèy_öè?  
Artinya :  Maka Apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami? (QS. Al-Mukminun [23] : 115)[1]

B. PEMBAHASAN
1.      Pengertian Maqashid al Syari’ah
a.      Secara Bahasa ( لغة )
Secara bahasa maqashid berasal dari  gabungan (idhafah) kata majemuk antara :
Maqashid dan al syariah    

المقاصد لغة : جمع مقصد, والمقصد : مصدر ميمي مأخوذ من الفعل قصد يقال : قصد يقصد قصدا ومقصدا, فالقصد والمقصد بمعنى واحد .والقصد يأتي في اللغة لمعان المعنى الأول : الاعتماد , والام, وإتيان الشيء, ولتوجه  [2]

-          Maqashid secara bahasa adalah jamak dari maqshad, dan maqsad mashdar mimi dari fi’il qashada, dapat dikatakan: qashada-yaqshidu-qashdan-wamaksadan, al qashdu dan al maqshadu artinya sama, beberapa arti alqashdu adalah: ali’timad: berpegah teguh, al amma: condong, mendatangi sesuatu dan menuju.
-          Sedangkan syari’ah (شريعة) secara bahasa berarti syari’at atau jalan[3]

b.      Secara Istilah   ( اصطلاحا)
Secara istilah terdapat beberapa pengertian yang disebutkan oleh para ulama dalam literatur mereka diantaranya adalah:
1.      Ibnu al-Qayyim Al Jauziyah
Menegaskan bahwa syariah itu berdasarkan kepada hikmah-hikmah dan maslahah-maslahah untuk manusia baik di dunia maupun di akhirat. Perubahan hukum yang berlaku berdasarkan perubahan zaman dan tempat adalah untuk menjamin syariah dapat mendatangkan kemaslahatan kepada manusia.[4]

2.      Al Izz bin Abdul Salam
Berpendapat syariat itu semuanya mengandung nilai maslahah yang bertujuan menolak kejahatan atau menarik kebaikan.[5]

3.      Al Khadimi
Berpendapat maqashid sebagai prinsip islam yang lima yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.[6]

4.      Ibnu Asyur
Beliau berpendapat bahwa maqashid adalah segala pengertian yang dapat dilihat pada hukum-hukum  yang disyariatkan, baik secara keseluruhan atau sebagian, menurut beliau maqashid terbagi menjadi dua yaitu; maqashid umum dan maqashid khusus.maqashid umum dapat dilihat dari hukum-hukum yang melibatkan semua individu secara umum, sedangkan maqashid khusus cara yanag dilakukan oleh syariah untuk merealisasikan kepentingan umum melalui tindakan seseorang.[7]

7.      Dr. Wahbah Zuhaily
menyebutkan Maqashid syariah adalah sejumlah makna atau sasaran yang hendak dicapai oleh syara’ dalam semua atau sebagian besar kasus hukumnya. Atau ia adalah tujuan dari syari’at, atau rahasia di balik pencanangan tiap-tiap hukum oleh Syar’i (pemegang otoritas syari’at, Allah dan Rasul-Nya.[8]


2.      Urgensi Maqashid al Syari’ah
            Tujuan umum syari’ dalam mensyari’atkan hukum-hukumnya ialah mewujudkan kemaslahatan manusia dengan menjamin hal-hal yang dharuri (kebutuhan pokok) bagi mereka, pemenuhan kebutuhan-kebutuhan mereka (hajjiyat) dan kebaikan-kebaikan mereka (tahsiniyyat). Setiap hukum syar’i tidaklah dikehendaki padanya kecuali salah satu dari ketiga hal tersebut yang menjadi penyebab terwujudnya kemaslahatan manusia.
            Setiap yang bersifat tahsini tidaklah dipelihara, apabila dalam pemeliharaannya terdapat pelalaian terhadap sesuatu yang bersifat kebutuhan (hajiy). Sesuatu yang bersifat kebutuhan (hajiy) dan tahsini (kebaikan) tidaklah dipelihara, apabila dalam memelihara salah satunya terdapat pelalaian terhadap yang dharury.
            Hal ini menerangkan tujuan umum syari’i dalam mensyaria’atkan hukum-hukum syar’iyyah, baik hukum taklifi maupun hukum wadh’i. Kaidah tersebut juga menjelaskan tingkatan-tingkatan hukum berdasarkan tujuan-tujuannya. Sedangkan pengetahuan tentang tujuan umum syar’i dalam pembentukan hukum termasuk sesuatu yang terpenting yang dipergunakan untuk memahami nash-nashnya dengan sepenuh pemahaman dan menerapkannya pada berbagai kejadian dan mengistinbatkan hukum dalam permasalahan yang tidak ada nashnya.
            Sesungguhnya penunjukan berbagai lafazh dan ungkapan terhadap makna yang mengandung sejumlah aspke kemungkinan. Dan yang memenangkan salah satu dari aspek-aspek tersebut adalah ketergantungan pada tujuan syari’. Karena sebagian nash kadangkala lahiriyahnya saling bertentangan, maka yang menghilangkan pertententangan tersebut dan mengadakan sintesa di antara nash-nash itu atau yang mentarjihkan salah satunya adalah ketergantungan pada tujuan syara’. Dan karena banyak kasus yang terjadi barangkali tidak tercakup oleh ungkapan-ungkapan nash, sementara kebutuhan mendesak untuk mengetahui hukum-hukumnya dengan salah satu dalil syar’i.[9]


3.      Istilah – istilah yang berkaitan dengan Maqashid al Syariah
a.     Al-Hikmah ( الحكمة )
      Ibn Rusyd menyifatkan maqasid sebagai hikmah dari pensyariatan hukum.  Al-      hikmah memiliki arti yang sama dengan maqasid. Istilah al-hikmah lebih kerap     digunakan oleh fuqaha.Contohnya Ibn Farhun berkata:"Dan adapun hikmah       qadha ialah mengurangi kekacauan, menolak bala bencana, mencegah orang    zalim, membantu yang dizalimi, memutuskan pertikaian, menyuruh yang     ma'ruf dan mencegah kemungkaran".[10]

b.      Al-'illat  العلة))
Sebagian  ulama yang menganggap bahwa maqasid itu ialah 'illat-'illat yang terkandung di dalam pensyariatan hukum. al-‘Ilat ialah sifat zahir yang ada pada hukum syara.[11]
Sifat yang ada pada sesuatu hukum itu seolah-olah menggambarkan maqasid syara.Ini menjadikan al-'illat dan maqasid membawa pengertian yang sama. Atau dengan kata lain, maqasid sesuatu hukum dapat difahami daripada kefahaman terhadap 'illatnya.Istilah ini lebih banyak digunakan di dalam bidang tafsir ayat dan hadits yang berkaitan dengan hukum-hukum syara'.[12]

c.       Al-ma'na  ( المعنى)
Dari segi penggunaannya, istilah al-ma'na adalah sinonim kepada maqasid kecuali al-ma'na lebih popular digunakan oleh fuqaha terdahulu seperti al-Syatibi, al- Ghazali dan al-Tabari.

4.      Metode Penetapan Maqashid al Syari’ah (طرق اثبات مقاصد الشريعة )
            Ibnu Asyûr berpendapat bahwa sesuatu bisa dinyatakan secara spesifik sebagai tujuan dari syari’at melalui tiga cara penetapan yaitu:[13]
 Pertama, penelusuran (istiqra’) terhadap hukum-hukum syari’at yang telah diketahui ‘illat-nya secara tekstual, atau melalui penggalian ‘illat melalui penalaran.

 Kedua, dalil-dalil Al-Qur’an yang lugas sisi penunjukan tekstualnya dan secara tegas menentukan tujuan tertentu di balik pensyari’atan sebuah kasus hukum. Ketiga, sunnah mutawatirah.
            Menurut Asy-Syathibi, ada tiga bentuk pemikiran mengenai bagaimana cara mengetahui tujuan dari syari’at (maqashid syari’ah)
            Pertama, bahwa maqashid syari’ah tidak bisa diketahui kecuali dukungan nash sharih yang menjelaskannya. Kesimpulan akhir dari pemikiran ini hanyalah mengarahkan nash atas sisi dhahir-nya saja. Ini adalah metode Madzhab Dhahiriyah yang hanya memandang makna dhahir dari nash untuk menentukan maqashid syari’ah.
            Kedua, bahwa maqashid syari’ah bukanlah apa yang tersurat atau tersirat dalam nash, namun hal lain di balik itu. Ini diberlakukan pada seluruh hukum syari’at, hingga tak tersisa sedikitpun sisi dhahir dari nash yang dapat dijadikan pegangan. Klaim ini hakikatnya adalah pembatalan syari’at, sebagaimana yang dikemukakan kalangan madzhab Bathiniyyah.
            Ketiga, maqashid syari’ah bisa diketahui melalui dua pendekatan di atas secara moderat dan sinergis, yakni dengan berpedoman pada sisi dhahir tanpa mengesampingkan makna atau hikmah tersembunyi di balik itu, atau sebaliknya, dengan menggali makna atau hikmah di balik pensyari’atan sebuah hukum tanpa bertentangan dengan sisi dhahir nash. Dan, inilah yang dijadikan pijakan oleh manyoritas ulama’.
            Karenanya, Asy-Syathibi memberikan kesimpulan bahwa maqashid syari’ah bisa diketahui dengan tiga cara yaitu:
            Pertama, cukup mengetahui dalil perintah atau larangan yang secara jelas, bahwa tujuan yang dikehendaki adalah kepatuhan dengan menjalankan perintah dan meninggalkan larangan.
             Kedua, dengan memandang ‘illat-’illat dari perintah atau larangan, seperti pensyari’atan nikah yang bertujuan untuk memelihara keturunan.
            Ketiga, bahwa dalam penerapan hukum syari’at, Syari’ memiliki tujuan pokok (maqashid ashliyyah) dan tujuan pelengkap (maqashid tabi’ah), adakalanya tertera secara eksplisit, tersirat secara implisit, ataupun didapatkan dari hasil penelusuran (istiqra’) terhadap nash. Sehingga dapat disimpulkan bahwa setiap maqashid yang tidak tertera dalam nash namun tidak bertentangan dengan ketentuan di atas, adalah termasuk dalam maqashid al syariah.[14]

5.     Syarat - syarat  berhujjah dengan Maqashid al Syari’ah  
Selanjutnya, dalam sisi legalitas hujjahnya, maqâshid al-syarî’ah haruslah memenuhi empat macam kriteria :[15]
Pertama, maqashid syari’ah haruslah tsabit, (ثابت )
Maksudnya bahwa sebuah hikmah dari pensyari’atan hukum bisa direkomendasikan sebagai tujuan syari’at apabila dapat dipastikan keberadaannya, atau terdapat dzhanni (asumsi) yang mendekati kepastian.

Kedua, maqashid syari’ah haruslah zhahir (ظاهر )
 Dalam artian bahwa para ulama’ tidak mempertentangkan wujud keberadaanya sebagai tujuan syari’at (‘illat). Seperti pensyari’atan nikah yang bertujuan untuk memelihara garis keturunan, tujan semacam ini tidak dipungkiri oleh seorangpun ulama’.

Ketiga, maqashid syari’ah haruslah mundlabith ( منضبط  )
Maksudnya bahwa suatu hikmah harus mempunyai standar yang jelas (jami’ mani’), seperti perlindungan terhadap akal (hifzh al-aql) yang merupakan tujuan diharamkannya khamr.

Keempat, maqashid syari’ah haruslah muththarid ( منطرد )
Maksudnya suatu hikmah haruslah stabil dan berke-sinambungan, tidak berbeda-beda atau berubah karena perbedaan atau perubahan dimensi ruang dan waktu. Seperti keislaman dan kemampuan atas nafkah yang menjadi persyaratan dari kafa’ah dalam nikah. Dengan demikian setiap hikmah yang telah memenuhi keempat kriteria di atas, bisa dinyatakan sebagai maqashid syari’ah. Sedangkan hal-hal yang hanya berdasarkan wahm (kemungkinan tanpa dasar) atau tahayyul (imajinasi) dapat dipastikan bukan merupakan maqashid al-syari’ah.[16]

6.      Klasifikasi Maqashid al Syariah
Maqasid al Syariah berdasarkan tujuannya terbagi dua :[17]
A)   Maqasid Syari'
Yaitu maqasid yang diletakkan oleh Allah dalam mensyariatkan hukum. Tujuannya adalah ( jalbil masholih wa daf’il madhorroh) menarik kebaikan dan menolak kejahatan di dunia dan di akhirat. Menurut as-Syatibi, Maqasid Syari' terbagi empat bagian:
1.      Tujuan Syari' (Allah) menciptakan Syariat .
2.      Tujuan Syari' (Allah) menciptakan Syariat untuk difahami.
3.      Tujuan Syari' (Allah) menjadikan Syariat untuk dipraktikkan.
4.      Tujuan Syari' (Allah) meletakkan mukallaf di bawah hukum Syarak.

a.      Tujuan Allah menciptakan syariat.
Pada pandangan As-Syatibi, Allah menciptakan syariat dengan tujuan untuk merealisasikan maqasidnya untuk manusia yaitu untuk memberikan kebaikan (maslahah) kepada mereka dan menolak keburukan (mafsadah) yang menimpa mereka. Menururtnya segala apa yang disyariatkan tidak terlepas dari maqasid al syariah.  Tujuan syariat dibagi menjadi  tiga kategori yaitu :
1.      Kepentingan Asas (al-Dharuriyyat) :
Yaitu segala apa yang paling penting dalam kehidupan manusia,  bagi tujuan kebaikan agama dan kehidupan di dunia dan akherat karena  kehidupan manusia akan rusak di dunia atau di akhirat jika kepentingan asas ini tidak ada atau tidak dipenuhi.
Sehingga dalam syariat dikenal dengan al-dharuriyaat al-khamsah ( lima hal yang sangat penting ) diantaranya adalah :
a.       Agama (        ( الدين
b.      Jiwa   (النفس)
c.       Akal   (العقل)
d.      Keturunan (النسل)
e.       Harta  المال))
Kelima hal diatas merupakan maslahah yang senantiasa di jaga oleh syariat meskipun dengan jalan yang berbeda-beda, sehingga yang di gulirkan oleh syariat meletakkan dua sendi dasar yaitu:
-          Mewujudkan dan melahirkan hukum (al-Ijaad )
-          Menjaga kesinambungannya ( al-hifdz )[18]
a.    Agama (        ( الدين
Syariat mewujudkan agama dengan syarat dan rukunnya dari mulai iman, syahadat dengan segala konsekuensinya, akidah yang mencakup keimanan atas hari kebangkitan, hisab dan lain-lain. Dasar-dasar ibadah seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Selain itu syariat juga menjaga agama ini dengan mensyariatkan dakwah, kewajiban berjihad, amar makruf dan nahi mungkar. Sebagaimana perintah jihad pada surat al-Taubah (9) : 41,
(#rãÏÿR$# $]ù$xÿÅz Zw$s)ÏOur (#rßÎg»y_ur öNà6Ï9ºuqøBr'Î/ öNä3Å¡àÿRr&ur Îû È@Î6y «!$# 4 öNä3Ï9ºsŒ ׎öyz öNä3©9 bÎ) óOçFZä. šcqßJn=÷ès?    
Artinya : Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (QS. al-Taubah [9] : 41)[19]

Di samping itu Allah melarang manusia berbuat sesuatu yang menghilangkan agama.[20] Karena itu Allah mengharamkan murtad sebagai mana firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 217 :
4 `tBur ... ÷ŠÏs?ötƒ öNä3ZÏB `tã ¾ÏmÏZƒÏŠ ôMßJuŠsù uqèdur ֍Ïù%Ÿ2 y7Í´¯»s9'ré'sù ôMsÜÎ7ym óOßgè=»yJôãr& Îû $u÷R9$# ÍotÅzFy$#ur
Artinya : Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu Dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat. (QS. al-Baqarah [2] : 217)[21]
 
b.      Jiwa ( النفس  )
Untuk memelihara keberadaan jiwa yang telah diberikan Allah bagi kehidupan, manusia harus melakukan banyak hal. Syariat mewajibkan menjaga jiwa dengan mengkonsumsi makanan dan minuman yang tidak berbahaya bagi jiwa manusia. Begitupula ketika Allah mensyariatkan qishash yang tujuannya untuk menjaga jiwa manusia. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 178 :
öNä3s9ur Îû ÄÉ$|ÁÉ)ø9$# ×o4quŠym Í<'ré'¯»tƒ É=»t6ø9F{$# öNà6¯=yès9 tbqà)­Gs? 
Artinya :  Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.(QS. al-Baqarah [2] : 179)[22]

c.     Akal ( العقل )
Merupakan karunia Allah yang paling berharga, sehingga manusia diwajibkan menjaganya dengan tidak mengkonsumsi segala hal yang merusak akal manusia seperti narkoba dan khamar. Nabi dalam sunnahnya menetapkan sanksi pukulan 40 kali atas peminum minuman yang memabukan itu.
Di samping itu untuk menjaga akal dan meningkatkan kualitasnya, manusia diwajibkan untuk menuntut ilmu. Segala usaha itu adalah perbuatan baik yang disuruh Allah. Dalam hal ini manusia disuruh menuntut ilmu tanpa batas usia dan tidak memperhitungkan jarak atau tempat.[23] Sebagaimana sabda Nabi Saw :
طلب العلم فريضة على كل مسلم
Artinya : Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim
d.    Keturunan  (النسل) 
Disyariatkan menikah untuk memperbanyak keturunan, kemudian syariat menjaganya dengan menjauhi hal-hal yang dapat menjerumuskan kepada perbuatan zina. Begitupula dengan diharamkannya menuduh wanita-wanita yang baik dengan tuduhan zina.
Dalil yang mensyari’atkan untuk menikah terdapat pada surat al-Nur ayat 32 :
(#qßsÅ3Rr&ur 4yJ»tƒF{$# óOä3ZÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur ô`ÏB ö/ä.ÏŠ$t6Ïã öNà6ͬ!$tBÎ)ur 4 bÎ) (#qçRqä3tƒ uä!#ts)èù ãNÎgÏYøóムª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ª!$#ur ììźur ÒOŠÎ=tæ  
Artinya :  Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui. (QS. al-Nur [24] : 32).[24]

e.    Harta ( المال )
Syariat membolehkan segala jenis muamalah yang sesuai dengan kaidah syariat, mewajibkan berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup, lalu syariat menjaga harta dengan mengharamkan mencuri, menghikangkan harta orang lain dan menyerahkan harta kepada pihak yang tidak bisa bertanggungjawab atas harta tersebut.

2.          Kebutuhan Biasa (al-Hajiyat) :
al-Hajiyat merupakan keperluan hidup untuk memudahkan kehidupan di dunia dan akhirat, tanpanya kehidupan manusia akan menjadi tidak sempurna dan mengalami kesempitan. Beberapa kebutuhan yang dibolehkan oleh syariat adalah:
-       Syariat membolehkan rukhsah dalam ibadah untuk memudahkan kesulitan yang terjadi dalam melaksanakan perintah.
-       Dalam muamalah, syariat membolehkan jual beli yang merupakan pengecualian dari kaidah umum jual beli, seperti salam, ijarah, dan muzaraah.
-            Dalam masalah Uqubah ( hukuman), syariat membolehkan kaidah dar’ul huduud bi al syubuhaat ( menunda hudud karena tuduhan ) atau diyat atas keluarga terpidana sebagai keringanan baginya.[25]

3.      Keperluan Mewah (al-Tahsiniyat)
Kondisi ini merupakan kondisi pelengkap hidup manusia, sehingga manusia merasakan kenyaman hidup.
Seperti:
-      Menutup aurat, mengenakan pakaian yang baik, bersih dan bagus ketika memasuki masjid dan bertaqarrub kepada Allah dengan melaksanakan ibadah nafilah, shadaqah, shalat sunnah dan lain-lain.
-      Dalam muamalah, dilarang boros ( israf ), jual beli diatas pembelian orang lain dan lain-lain.
-       Dalam ‘adat, diajarkan cara makan dan minum yang baik.
-       Dalam uqubah, dilarang mutilasi dalam qishas dan lain-lain.

Yang menjadi asas kepada semua kepentingan tadi adalah kepentingan asas. Sedangkan kepentingan biasa ( al-hajiyat ), sebagai pendukung saja.
Sementara keperluan mewah sebagai pendukung kepada kepentingan biasa. Kedudukan ini perlu diprioritaskan dalam menentukan hukum.

Berdasarkan pertimbangan itulah al-Syatibi membentuk beberapa kaidah berikut :  :
a.       Kepentingan asas primer (al-dharuriyat) sebagai dasar dari kebutuhan biasa/sekunder al hajiyat dan (kebutuhan tertier) al-tahsiniyat.
b.      Kerusakan kepentingan asas menyebabkan kerusakan pada kepentingan yang lain.
c.       Tidak semestinya kerusakan keperluan lain boleh merusakkan kepentingan asas.
d.      Wajib menjaga keperluan biasa dan keperluan mewah bagi tujuan menjaga keperluan asas.

B)    Maqashid al-Mukallaf (hamba)
                        Merupakan tujuan syariat bagi hamba (mukallaf) dalam melakukan sesuatu             perbuatan. Maqasid mukallaf berperanan menentukan sah atau batal sesuatu amalan.
            Kategori maqasid berdasarkan korelasinya dengan hukum terbagi dua yaitu:
1.      Maqasid umum (maqasid ammah)
Yaitu maqashid  yang diletakkan oleh syariat dalam menentukan semua atau sebagian besar hukum-hukumnya.
Contohnya menegakkan keadilan, menghasilkan kebaikan, menolak keburukan dan kemudharatan diantara manusia.
2.      Maqasid khusus (maqasid khassah)
Yaitu maqashid yang diletakkan oleh syariah dalam menentukan hukum-hukum tertentu. Contohnya hukum-hukum muamalat, munakahat, jinayat dan sebagainya. [26]


7.      Kaidah – kaidah Umum yang merupakan turunan dari Maqashid al Syariah
                        Berdasarkan asas maslahah tersebut diatas, maka para ulama beristimbath   sehingga menghasilkan turunan  kaidah – kaidah ushuliyah, diantaranya:
a.       الضرورات تبيح المحظورات
Kondisi darurat dapat membolehkan perkara yang dilarang
Contohnya: memakan sesuatu yang haram karena dharurat

b.      الضرر يزال
Kemudharatan harus dihilangkan
Contoh: khiyar ( pilihan ) dalam mengembalikan barang ketika jual beli karena ada kekurangan dalam barang tersebut, jaminan, berobat ketika sakit.

c.       الضرورات تقدر بقدرها
Kondisi darurat memiliki batasan tertentu.
Contoh: mengkonsumsi barang yang haram terbatas pada menyelamatkan jiwa saja, bukan dijadikan kebutuhan pokok.

d.      المشقة تجلب التيسير
Kesulitan mendatangkan kemudahan
Contoh: shalat jamak dan qashar dalam perjalanan.

e.       يتحمل الضرر الخاص لدفع الضرر العام
Kemudharatan yang sifatnya lebih kecil bisa di kalahkan untuk menghindari kemudharatan yang lebih besar.

Contoh: Ibnu Taimiyah membiarkan seorang pemabuk untuk minum khamar, karena jika ia tidak minum khamar maka ia akan membunuh banyak kaum muslimin di sekitar tempat itu.

f.        درء المفاسد أو لى من جلب المصالح.
Mencegah kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil manfaat.
Contoh: larangan ekspor barang ke luar negeri karena kondisi dalam negeri membutuhkan barang tersebut pada kondisi sulit.[27]

C. PENUTUP

            Setelah membaca dan membahas sumber-sumber yang terkait dengan maqashid syariah maka penulis dapat mengambil kesimpulan diantaranya:
1.      Islam mengatur semua sisi kehidupan manusia baik yang berkaitan dengan individu maupun yang berkaitan dengan masyarakat luas dengan meletakkan dasar hukum dan pertimbangan-pertimbangan syariat.
2.      Maqashid syariah menaungi keseluruhan hukum yang bersandar kepada tujuan-tujuan umum syariat.
3.      Maqashid syariah mencakup aspek-aspek, dharuriyat, hajiat dan tahsiniyat.
4.      Maqashid syariah berperan dalam mewujudkan hukum dan menjaga kesinambungannya ( hifdz ).
5.      Maqashid syariah menjaga lima hal utama yaitu: agama, jiwa, harta, keturunan dan kehormatan.
6.      Ulama meletakkan kaidah-kaidah umum yang bertujuan menjaga syariat dan melindungi hak-hak manusia secara pribadi maupun secara umum.
  
KEPUSTAKAAN

Abadi, Fairuz. Qamus al-Muhith. Beirut : Muasasah Ar Risaalah, t.th. Jil. 2

‘Asyûr, Muhammad Thâhir bin. Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah. Amman: Dâr al-Nafâ’is. 2001

Abdul Salam, Izz al-Din bin, Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam. Beirut : Dar al-Ma'rifah. t.th.

al-Jauziyyah, Ibn Qayyim. I'lam al-Muwaqqi'in. Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah. 1996

al-Khadimi, Nuruddin Mukhtar. al-Ijtihad al-Maqasidi. Qatar : Dar Syabilya. 1998   

al-Raisuni, Ahmad. Nazariyyat al-Maqasid 'inda al-Imam al-Syatibi. Beirut : Dar al-Fikr. t.th.

al-Syatiby, Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhmy. al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah. Beirut : Dar al-Ma’rifah, t.th.

al-Zuhaylî, Wahbah.  Ushûl al-Fiqh al-Islâmîy. Damaskus: Dâr al-Fikr. 1968.

Departemen Agama RI. al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung : Diponegoro. 2011

Farhun, Muhammad bin. Tabsirah al-Hukkam. Mesir :Dar al-Maktabah al-Ilmiyyah. t.th.

Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul al-Fiqh. t.tp : Dar al-Rasyid. 2008.

Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh. Jakarta : Logos Wacana Ilmu. 2001

Uqlah, Muhammad. al-Islam Maqasiduhu wa Khasaisuhu. t.tp : Maktabah al-Risalah al-Haditsah. 1991

Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta : Hidakarya Agung. 1989

Zaidan, Abdul Karim. al Wajiz Fi Ushul al-Fiqh. Beirut : Muasasah al-Risaalah



[1] Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung : Diponegoro, h. 349
[2] Fairuz Abadi, Qamus al-Muhith, Beirut : Muasasah Ar Risaalah, t.th, Jil. 2, h. 327
[3] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta : Hidakarya Agung, 1989, h. 190
        [4] Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I'lam al-Muwaqqi'in, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996, Jil. 3, h. 37
        [5] Izz al-Din bin Abdul Salam, Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam, Beirut, Dar al-Ma'rifah, tt. Jil 1 h. 9
        [6] Nuruddin Mukhtar al-Khadimi, al-Ijtihad al-Maqasidi, Qatar : Dar Syabilya, 1998  h. 50  
        [7] Muhammad Thâhir bin ‘Asyûr, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, Amman: Dâr al-Nafâ’is,  2001, h. 190-194
                [8] Wahbah al-Zuhaylî,  Ushûl al-Fiqh al-Islâmîy, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1998, h. 1045.
        [9] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushal al-Fiqh, t.tp : Dar al-Rasyid, 2008, h. 123
[10] Muhammad bin Farhun, Tabsirah al-Hukkam, Mesir : Dar al-Maktabah al-Ilmiyyah, t.th,  h. 8
[11] Wahbah al-Zuhailiy, op.cit, hal 646
[12] Ahmad al-Raisuni, Nazariyyat al-Maqasid 'Inda al-Imam al-Syatibi, Beirut : Dar al-Fikr, t.th, h. 192
[13] Muhammad Thâhir bin ‘Asyûr, op.cit, h. 190-194
[14] Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhmy al-Syatiby, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah. Beirut : Dar al-Ma’rifah, t.th, h. 321
[15] Wahbah al-Zuhaylî,  op.cit., h. 1047
[16] Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhmy Al-Syatiby, op.cit, h. 319
[17] Ibid, h. 321
[18] Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz Fi Ushul al-Fiqh, Beirut :  Muasasah al-Risalah, h. 380
[19] Departemen Agama RI, op.cit, h. 194
[20] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2001, h. 209
[21] Departemen Agama RI, op.cit. h. 24
[22] Ibid, h. 27
[23] Amir Syarifuddin, op.cit, h. 210 - 211
[24] Departemen Agama RI, op.cit, h. 354
[25] Abdul Karim Zaidan, op.cit, h. 380
[26] Muhammad Uqlah, al-Islam Maqasiduhu wa Khasaisuhu, Maktabah al-Risalah al-Haditsah, 1991,h.112
[27] Abdul Karim Zaidan, op.cit, h. 383

Tidak ada komentar:

Posting Komentar