Di tengah
perkembangan kemajuan dunia dengan tingkat peradaban manusia yang semakin
pesat, keberadaan syari’at Islam di tengah umatnya – dalam tataran konsep
maupun praktik – sedikit demi sedikit telah tergeser dan tergantikan oleh
paradigma pragmatis manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Di satu sisi terdapat sekelompok
umat Islam yang secara gigih mengupayakan pemberlakuan syari’at Islam
secara utuh. Sikap idealis mereka cenderung menjurus ke arah penentangan
hegemoni budaya barat secara frontal, bahkan tak jarang dibarengi dengan
aksi-aksi fisik yang kerap dicap sebagai teror. Tindakan ini, jelas tidak
simpatik, bahkan dalam pandangan mayoritas orang Islam sekalipun. Bagaimanapun,
upaya pemahaman dan penegakan syari’at Islam adalah sebuah keharusan. Dan tentunya,
dalam mensosialisasikannya, haruslah secara arif. Kendati mengharuskan umatnya
untuk tunduk pada segala aturannya, namun melalui tata aturan syari’at, Islam
hadir untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan tertentu serta hikmah di balik
pemberlakuan hukum-hukumnya. Dalam terminologi syari’at, cita-cita, dan tujuan
serta hikmah tersebut dikenal dengan istilah maqashid al syariah. Melalui
pendekatan semacam inilah, pemahaman syari’at Islam lebih menemukan ruh dan
substansinya.
Maqashid al Syariah memiliki sejumlah
makna atau sasaran yang hendak dicapai oleh syara’ dalam semua atau sebagian
besar kasus hukumnya. Atau ia adalah tujuan dari syari’at, atau rahasia di
balik pencanangan tiap-tiap hukum oleh Syar’i (pemegang otoritas
syari’at, Allah dan Rasul-Nya. Pengetahuan terhadap Maqashid al Syariah
ini, selamanya merupakan kebutuhan bagi semua kalangan. Bagi mujtahid, maqashid
al syariah tentu saja dibutuhkan dalam memahami teks-teks syari’at, dalam
melakukan istimbat, tarjih, atau qiyas. Bagi kalangan
awam, pengetahuan terhadap maqashid syariah tak kalah pentingnya.
Karena, dengan memahami hikmah di balik pensyari’atan hukum, seseorang akan
lebih mantap dalham menerima dan melaksanakan tata aturan syari’at tersebut.
Banyak sekali nash Al-Qur’an maupun sunnah yang menegaskan bahwa Allah
menciptakan alam dan segala instrumen kelengkapannya – termasuk tata aturan
syari’at – tidak secara sia-sia, namun dengan tujuan dan sasaran tertentu.
Allah swt. berfirman:
óOçFö7Å¡yssùr& $yJ¯Rr& öNä3»oYø)n=yz $ZWt7tã öNä3¯Rr&ur $uZøs9Î) w tbqãèy_öè?
Artinya : Maka Apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya
Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan
dikembalikan kepada kami? (QS. Al-Mukminun
[23] : 115)[1]
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian
Maqashid al Syari’ah
a.
Secara Bahasa ( لغة )
Secara bahasa maqashid berasal dari
gabungan (idhafah) kata majemuk antara :
Maqashid dan al syariah
المقاصد لغة : جمع مقصد, والمقصد : مصدر ميمي مأخوذ من الفعل قصد يقال :
قصد يقصد قصدا ومقصدا, فالقصد والمقصد بمعنى واحد .والقصد يأتي في اللغة لمعان
المعنى الأول : الاعتماد , والام, وإتيان الشيء, ولتوجه [2]
-
Maqashid secara bahasa adalah jamak
dari maqshad, dan maqsad mashdar mimi dari fi’il qashada, dapat
dikatakan: qashada-yaqshidu-qashdan-wamaksadan, al qashdu dan al maqshadu artinya
sama, beberapa arti alqashdu adalah: ali’timad: berpegah teguh, al amma:
condong, mendatangi sesuatu dan menuju.
b.
Secara Istilah ( اصطلاحا)
Secara istilah
terdapat beberapa pengertian yang disebutkan oleh para ulama dalam literatur
mereka diantaranya adalah:
1.
Ibnu al-Qayyim Al Jauziyah
Menegaskan bahwa syariah itu berdasarkan kepada hikmah-hikmah dan
maslahah-maslahah untuk manusia baik di dunia maupun di akhirat. Perubahan
hukum yang berlaku berdasarkan perubahan zaman dan tempat adalah untuk menjamin
syariah dapat mendatangkan kemaslahatan kepada manusia.[4]
2.
Al Izz bin Abdul Salam
Berpendapat syariat itu semuanya mengandung nilai maslahah yang bertujuan
menolak kejahatan atau menarik kebaikan.[5]
3.
Al Khadimi
Berpendapat maqashid sebagai prinsip islam yang lima yaitu menjaga agama,
jiwa, akal, keturunan dan harta.[6]
4.
Ibnu Asyur
Beliau berpendapat bahwa maqashid adalah segala pengertian yang dapat
dilihat pada hukum-hukum yang disyariatkan, baik secara keseluruhan atau
sebagian, menurut beliau maqashid terbagi menjadi dua yaitu; maqashid umum dan
maqashid khusus.maqashid umum dapat dilihat dari hukum-hukum yang melibatkan
semua individu secara umum, sedangkan maqashid khusus cara yanag dilakukan oleh
syariah untuk merealisasikan kepentingan umum melalui tindakan seseorang.[7]
7.
Dr. Wahbah Zuhaily
menyebutkan Maqashid syariah adalah sejumlah makna atau sasaran yang
hendak dicapai oleh syara’ dalam semua atau sebagian besar kasus hukumnya. Atau
ia adalah tujuan dari syari’at, atau rahasia di balik pencanangan tiap-tiap
hukum oleh Syar’i (pemegang otoritas syari’at, Allah dan Rasul-Nya.[8]
2. Urgensi
Maqashid al Syari’ah
Tujuan umum syari’ dalam
mensyari’atkan hukum-hukumnya ialah mewujudkan kemaslahatan manusia dengan
menjamin hal-hal yang dharuri (kebutuhan pokok) bagi mereka, pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan mereka (hajjiyat) dan kebaikan-kebaikan mereka
(tahsiniyyat). Setiap hukum syar’i tidaklah dikehendaki padanya kecuali salah
satu dari ketiga hal tersebut yang menjadi penyebab terwujudnya kemaslahatan
manusia.
Setiap yang bersifat
tahsini tidaklah dipelihara, apabila dalam pemeliharaannya terdapat pelalaian
terhadap sesuatu yang bersifat kebutuhan (hajiy). Sesuatu yang bersifat
kebutuhan (hajiy) dan tahsini (kebaikan) tidaklah dipelihara, apabila dalam
memelihara salah satunya terdapat pelalaian terhadap yang dharury.
Hal ini menerangkan tujuan
umum syari’i dalam mensyaria’atkan hukum-hukum syar’iyyah, baik hukum taklifi
maupun hukum wadh’i. Kaidah tersebut juga menjelaskan tingkatan-tingkatan hukum
berdasarkan tujuan-tujuannya. Sedangkan pengetahuan tentang tujuan umum syar’i
dalam pembentukan hukum termasuk sesuatu yang terpenting yang dipergunakan
untuk memahami nash-nashnya dengan sepenuh pemahaman dan menerapkannya pada
berbagai kejadian dan mengistinbatkan hukum dalam permasalahan yang tidak ada
nashnya.
Sesungguhnya penunjukan
berbagai lafazh dan ungkapan terhadap makna yang mengandung sejumlah aspke
kemungkinan. Dan yang memenangkan salah satu dari aspek-aspek tersebut adalah
ketergantungan pada tujuan syari’. Karena sebagian nash kadangkala lahiriyahnya
saling bertentangan, maka yang menghilangkan pertententangan tersebut dan
mengadakan sintesa di antara nash-nash itu atau yang mentarjihkan salah satunya
adalah ketergantungan pada tujuan syara’. Dan karena banyak kasus yang terjadi
barangkali tidak tercakup oleh ungkapan-ungkapan nash, sementara kebutuhan
mendesak untuk mengetahui hukum-hukumnya dengan salah satu dalil syar’i.[9]
3. Istilah –
istilah yang berkaitan dengan Maqashid al Syariah
a. Al-Hikmah ( الحكمة )
Ibn Rusyd menyifatkan maqasid sebagai hikmah
dari pensyariatan hukum. Al- hikmah memiliki arti
yang sama dengan maqasid. Istilah al-hikmah lebih kerap digunakan oleh fuqaha.Contohnya Ibn Farhun
berkata:"Dan adapun hikmah qadha ialah mengurangi kekacauan, menolak bala
bencana, mencegah orang zalim,
membantu yang dizalimi, memutuskan pertikaian, menyuruh yang ma'ruf dan mencegah kemungkaran".[10]
b.
Al-'illat العلة))
Sebagian
ulama yang menganggap bahwa maqasid itu ialah 'illat-'illat
yang terkandung di dalam pensyariatan hukum. al-‘Ilat ialah sifat zahir
yang ada pada hukum syara.[11]
Sifat yang ada
pada sesuatu hukum itu seolah-olah menggambarkan maqasid syara.Ini
menjadikan al-'illat dan maqasid membawa pengertian yang sama. Atau dengan kata
lain, maqasid sesuatu hukum dapat difahami daripada kefahaman terhadap 'illatnya.Istilah
ini lebih banyak digunakan di dalam bidang tafsir ayat dan hadits yang berkaitan
dengan hukum-hukum syara'.[12]
c.
Al-ma'na ( المعنى)
Dari segi penggunaannya, istilah al-ma'na adalah sinonim kepada maqasid
kecuali al-ma'na lebih popular digunakan oleh fuqaha terdahulu seperti
al-Syatibi, al- Ghazali dan al-Tabari.
4. Metode
Penetapan Maqashid al Syari’ah (طرق
اثبات مقاصد الشريعة )
Ibnu Asyûr berpendapat
bahwa sesuatu bisa dinyatakan secara spesifik sebagai tujuan dari syari’at
melalui tiga cara penetapan yaitu:[13]
Pertama, penelusuran (istiqra’)
terhadap hukum-hukum syari’at yang telah diketahui ‘illat-nya secara
tekstual, atau melalui penggalian ‘illat melalui penalaran.
Kedua,
dalil-dalil Al-Qur’an yang lugas sisi penunjukan tekstualnya dan secara tegas
menentukan tujuan tertentu di balik pensyari’atan sebuah kasus hukum. Ketiga,
sunnah mutawatirah.
Menurut Asy-Syathibi, ada
tiga bentuk pemikiran mengenai bagaimana cara mengetahui tujuan dari syari’at (maqashid
syari’ah)
Pertama, bahwa maqashid syari’ah tidak bisa diketahui kecuali dukungan nash
sharih yang menjelaskannya. Kesimpulan akhir dari pemikiran ini hanyalah
mengarahkan nash atas sisi dhahir-nya saja. Ini adalah metode
Madzhab Dhahiriyah yang hanya memandang makna dhahir dari nash
untuk menentukan maqashid syari’ah.
Kedua,
bahwa maqashid
syari’ah bukanlah apa yang tersurat atau tersirat dalam nash, namun
hal lain di balik itu. Ini diberlakukan pada seluruh hukum syari’at, hingga tak
tersisa sedikitpun sisi dhahir dari nash yang dapat dijadikan
pegangan. Klaim ini hakikatnya adalah pembatalan syari’at, sebagaimana yang
dikemukakan kalangan madzhab Bathiniyyah.
Ketiga, maqashid syari’ah bisa diketahui melalui dua pendekatan di atas
secara moderat dan sinergis, yakni dengan berpedoman pada sisi dhahir
tanpa mengesampingkan makna atau hikmah tersembunyi di balik itu, atau
sebaliknya, dengan menggali makna atau hikmah di balik pensyari’atan sebuah
hukum tanpa bertentangan dengan sisi dhahir nash. Dan, inilah
yang dijadikan pijakan oleh manyoritas ulama’.
Karenanya, Asy-Syathibi memberikan kesimpulan bahwa maqashid syari’ah
bisa diketahui dengan tiga cara yaitu:
Pertama, cukup
mengetahui dalil perintah atau larangan yang secara jelas, bahwa tujuan yang
dikehendaki adalah kepatuhan dengan menjalankan perintah dan meninggalkan
larangan.
Kedua, dengan
memandang ‘illat-’illat dari perintah atau larangan, seperti
pensyari’atan nikah yang bertujuan untuk memelihara keturunan.
Ketiga, bahwa dalam penerapan hukum syari’at, Syari’ memiliki tujuan pokok (maqashid
ashliyyah) dan tujuan pelengkap (maqashid tabi’ah), adakalanya
tertera secara eksplisit, tersirat secara implisit, ataupun didapatkan dari
hasil penelusuran (istiqra’) terhadap nash. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa setiap maqashid yang tidak tertera dalam nash
namun tidak bertentangan dengan ketentuan di atas, adalah termasuk dalam
maqashid al syariah.[14]
5. Syarat -
syarat berhujjah dengan Maqashid al Syari’ah
Selanjutnya,
dalam sisi legalitas hujjahnya, maqâshid al-syarî’ah haruslah memenuhi
empat macam kriteria :[15]
Pertama, maqashid
syari’ah haruslah tsabit, (ثابت )
Maksudnya bahwa
sebuah hikmah dari pensyari’atan hukum bisa direkomendasikan sebagai tujuan
syari’at apabila dapat dipastikan keberadaannya, atau terdapat dzhanni
(asumsi) yang mendekati kepastian.
Kedua, maqashid
syari’ah haruslah zhahir (ظاهر )
Dalam
artian bahwa para ulama’ tidak mempertentangkan wujud keberadaanya sebagai
tujuan syari’at (‘illat). Seperti pensyari’atan nikah yang bertujuan
untuk memelihara garis keturunan, tujan semacam ini tidak dipungkiri oleh
seorangpun ulama’.
Ketiga, maqashid syari’ah haruslah
mundlabith ( منضبط )
Maksudnya bahwa suatu hikmah harus mempunyai standar yang jelas (jami’
mani’), seperti perlindungan terhadap akal (hifzh al-aql) yang
merupakan tujuan diharamkannya khamr.
Keempat, maqashid syari’ah
haruslah muththarid ( منطرد )
Maksudnya suatu hikmah haruslah stabil dan berke-sinambungan, tidak
berbeda-beda atau berubah karena perbedaan atau perubahan dimensi ruang dan
waktu. Seperti
keislaman dan kemampuan atas nafkah yang menjadi persyaratan dari kafa’ah
dalam nikah. Dengan demikian setiap hikmah yang telah memenuhi keempat kriteria
di atas, bisa dinyatakan sebagai maqashid syari’ah. Sedangkan hal-hal
yang hanya berdasarkan wahm (kemungkinan tanpa dasar) atau tahayyul
(imajinasi) dapat dipastikan bukan merupakan maqashid al-syari’ah.[16]
6. Klasifikasi
Maqashid al Syariah
A) Maqasid Syari'
Yaitu maqasid
yang diletakkan oleh Allah dalam mensyariatkan hukum. Tujuannya adalah ( jalbil
masholih wa daf’il madhorroh) menarik kebaikan dan menolak kejahatan di
dunia dan di akhirat. Menurut as-Syatibi, Maqasid Syari' terbagi empat bagian:
1.
Tujuan Syari'
(Allah) menciptakan Syariat .
2.
Tujuan Syari'
(Allah) menciptakan Syariat untuk difahami.
3.
Tujuan Syari'
(Allah) menjadikan Syariat untuk dipraktikkan.
4.
Tujuan Syari'
(Allah) meletakkan mukallaf di bawah hukum Syarak.
a.
Tujuan Allah
menciptakan syariat.
Pada pandangan
As-Syatibi, Allah menciptakan syariat dengan tujuan untuk merealisasikan
maqasidnya untuk manusia yaitu untuk memberikan kebaikan (maslahah)
kepada mereka dan menolak keburukan (mafsadah) yang menimpa mereka.
Menururtnya segala apa yang disyariatkan tidak terlepas dari maqasid al
syariah. Tujuan syariat dibagi menjadi tiga kategori yaitu :
1. Kepentingan
Asas (al-Dharuriyyat) :
Yaitu segala
apa yang paling penting dalam kehidupan manusia, bagi tujuan kebaikan
agama dan kehidupan di dunia dan akherat karena kehidupan manusia akan
rusak di dunia atau di akhirat jika kepentingan asas ini tidak ada atau tidak
dipenuhi.
Sehingga dalam
syariat dikenal dengan al-dharuriyaat al-khamsah
( lima hal yang
sangat penting ) diantaranya adalah :
a.
Agama ( (
الدين
b.
Jiwa (النفس)
c.
Akal (العقل)
d.
Keturunan (النسل)
e.
Harta المال))
Kelima hal diatas merupakan maslahah yang
senantiasa di jaga oleh syariat meskipun dengan jalan yang berbeda-beda,
sehingga yang di gulirkan oleh syariat meletakkan dua sendi dasar yaitu:
-
Mewujudkan dan
melahirkan hukum (al-Ijaad )
a. Agama ( (
الدين
Syariat
mewujudkan agama dengan syarat dan rukunnya dari mulai iman, syahadat dengan
segala konsekuensinya, akidah
yang mencakup keimanan atas hari kebangkitan, hisab dan lain-lain. Dasar-dasar ibadah
seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Selain itu syariat juga menjaga agama
ini dengan mensyariatkan dakwah, kewajiban berjihad, amar makruf dan nahi
mungkar. Sebagaimana
perintah jihad pada surat al-Taubah (9) : 41,
(#rãÏÿR$# $]ù$xÿÅz Zw$s)ÏOur (#rßÎg»y_ur öNà6Ï9ºuqøBr'Î/ öNä3Å¡àÿRr&ur Îû È@Î6y «!$# 4
öNä3Ï9ºs ×öyz öNä3©9 bÎ) óOçFZä. cqßJn=÷ès?
Artinya : Berangkatlah kamu baik
dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan
dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
(QS. al-Taubah [9] : 41)[19]
Di samping itu Allah melarang manusia berbuat sesuatu
yang menghilangkan agama.[20] Karena itu Allah
mengharamkan murtad sebagai mana firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 217 :
4 `tBur ...
÷Ïs?öt öNä3ZÏB `tã ¾ÏmÏZÏ ôMßJusù uqèdur ÖÏù%2 y7Í´¯»s9'ré'sù ôMsÜÎ7ym óOßgè=»yJôãr& Îû $u÷R9$# ÍotÅzFy$#ur
Artinya : Barangsiapa yang
murtad di antara kamu dari agamanya, lalu Dia mati dalam kekafiran, Maka mereka
Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat. (QS. al-Baqarah [2] : 217)[21]
b. Jiwa ( النفس )
Untuk memelihara keberadaan jiwa yang telah diberikan Allah bagi kehidupan,
manusia harus melakukan banyak hal. Syariat mewajibkan menjaga jiwa dengan
mengkonsumsi makanan dan minuman yang tidak berbahaya bagi jiwa manusia. Begitupula
ketika Allah mensyariatkan qishash yang tujuannya
untuk menjaga jiwa manusia.
Sebagaimana
firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 178 :
öNä3s9ur Îû ÄÉ$|ÁÉ)ø9$# ×o4quym Í<'ré'¯»t É=»t6ø9F{$# öNà6¯=yès9 tbqà)Gs?
Artinya : Dan
dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang
berakal, supaya kamu bertakwa.(QS. al-Baqarah [2] : 179)[22]
c. Akal ( العقل )
Merupakan
karunia Allah yang paling berharga, sehingga manusia diwajibkan menjaganya
dengan tidak mengkonsumsi segala hal yang merusak akal manusia seperti narkoba
dan khamar. Nabi dalam sunnahnya
menetapkan sanksi pukulan 40 kali atas peminum minuman yang memabukan itu.
Di samping itu untuk menjaga akal dan meningkatkan kualitasnya, manusia
diwajibkan untuk menuntut ilmu. Segala usaha itu adalah perbuatan baik yang
disuruh Allah. Dalam hal ini manusia disuruh menuntut ilmu tanpa batas usia dan
tidak memperhitungkan jarak atau tempat.[23]
Sebagaimana sabda Nabi Saw :
طلب العلم فريضة على كل مسلم
Artinya : Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim
d. Keturunan (النسل)
Disyariatkan
menikah untuk memperbanyak keturunan, kemudian syariat menjaganya dengan menjauhi
hal-hal yang dapat menjerumuskan kepada perbuatan zina.
Begitupula dengan diharamkannya menuduh wanita-wanita yang baik dengan tuduhan
zina.
Dalil yang mensyari’atkan untuk menikah terdapat pada surat al-Nur ayat 32
:
(#qßsÅ3Rr&ur 4yJ»tF{$# óOä3ZÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur ô`ÏB ö/ä.Ï$t6Ïã öNà6ͬ!$tBÎ)ur 4
bÎ) (#qçRqä3t uä!#ts)èù ãNÎgÏYøóã ª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù 3
ª!$#ur ììźur ÒOÎ=tæ
Artinya : Dan kawinkanlah
orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin)
dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.
jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah
Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui. (QS. al-Nur [24] : 32).[24]
e. Harta ( المال )
Syariat membolehkan segala jenis muamalah yang sesuai dengan kaidah
syariat, mewajibkan berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup, lalu syariat
menjaga harta dengan mengharamkan mencuri, menghikangkan harta orang lain dan
menyerahkan harta kepada pihak yang tidak bisa bertanggungjawab atas harta
tersebut.
2.
Kebutuhan Biasa
(al-Hajiyat) :
al-Hajiyat merupakan keperluan hidup untuk memudahkan
kehidupan di dunia dan akhirat, tanpanya kehidupan manusia akan menjadi tidak
sempurna dan mengalami kesempitan. Beberapa kebutuhan yang dibolehkan oleh
syariat adalah:
-
Syariat
membolehkan rukhsah dalam ibadah untuk
memudahkan kesulitan yang terjadi dalam melaksanakan perintah.
-
Dalam muamalah,
syariat membolehkan jual beli yang
merupakan pengecualian dari kaidah umum jual
beli, seperti salam, ijarah, dan muzaraah.
-
Dalam masalah Uqubah
( hukuman), syariat membolehkan kaidah dar’ul huduud bi al syubuhaat (
menunda hudud karena tuduhan ) atau diyat atas keluarga terpidana sebagai
keringanan baginya.[25]
3.
Keperluan Mewah
(al-Tahsiniyat)
Kondisi ini
merupakan kondisi pelengkap hidup manusia, sehingga manusia merasakan kenyaman
hidup.
Seperti:
- Menutup aurat,
mengenakan pakaian yang baik, bersih dan bagus ketika memasuki masjid dan
bertaqarrub kepada Allah dengan melaksanakan ibadah nafilah, shadaqah, shalat
sunnah dan lain-lain.
- Dalam muamalah,
dilarang boros ( israf ), jual beli diatas pembelian orang lain dan lain-lain.
-
Dalam ‘adat,
diajarkan cara makan dan minum yang baik.
-
Dalam uqubah,
dilarang mutilasi dalam qishas dan lain-lain.
Yang
menjadi asas kepada semua kepentingan tadi adalah kepentingan asas. Sedangkan
kepentingan biasa ( al-hajiyat ), sebagai
pendukung saja.
Sementara
keperluan mewah sebagai pendukung kepada kepentingan biasa. Kedudukan ini perlu
diprioritaskan dalam menentukan hukum.
Berdasarkan pertimbangan itulah al-Syatibi
membentuk beberapa kaidah berikut : :
a. Kepentingan asas primer (al-dharuriyat) sebagai dasar dari kebutuhan biasa/sekunder al hajiyat dan (kebutuhan tertier) al-tahsiniyat.
b. Kerusakan kepentingan asas
menyebabkan kerusakan pada kepentingan yang lain.
c. Tidak semestinya kerusakan
keperluan lain boleh merusakkan kepentingan asas.
d. Wajib menjaga keperluan
biasa dan keperluan mewah bagi tujuan menjaga keperluan asas.
B) Maqashid al-Mukallaf (hamba)
Merupakan tujuan syariat bagi hamba (mukallaf) dalam melakukan sesuatu perbuatan. Maqasid mukallaf berperanan menentukan sah atau batal sesuatu
amalan.
Kategori maqasid
berdasarkan korelasinya dengan hukum terbagi dua yaitu:
1. Maqasid umum (maqasid ammah)
Yaitu maqashid yang diletakkan oleh syariat dalam menentukan semua atau
sebagian besar hukum-hukumnya.
Contohnya
menegakkan keadilan, menghasilkan kebaikan, menolak keburukan dan kemudharatan
diantara manusia.
2.
Maqasid khusus
(maqasid khassah)
Yaitu maqashid yang diletakkan oleh syariah
dalam menentukan hukum-hukum tertentu. Contohnya hukum-hukum muamalat,
munakahat, jinayat dan sebagainya. [26]
7. Kaidah – kaidah
Umum yang merupakan turunan dari Maqashid al Syariah
Berdasarkan
asas maslahah tersebut diatas, maka para ulama beristimbath sehingga menghasilkan turunan kaidah –
kaidah ushuliyah, diantaranya:
a.
الضرورات تبيح المحظورات
Kondisi darurat
dapat membolehkan perkara yang dilarang
Contohnya:
memakan sesuatu yang haram karena dharurat
b.
الضرر يزال
Kemudharatan
harus dihilangkan
Contoh: khiyar
( pilihan ) dalam mengembalikan barang ketika jual beli karena ada
kekurangan dalam barang tersebut, jaminan, berobat ketika sakit.
c.
الضرورات تقدر بقدرها
Kondisi
darurat memiliki batasan tertentu.
Contoh:
mengkonsumsi barang yang haram terbatas pada menyelamatkan jiwa saja, bukan
dijadikan kebutuhan pokok.
d.
المشقة تجلب التيسير
Kesulitan
mendatangkan kemudahan
Contoh: shalat
jamak dan qashar dalam perjalanan.
e.
يتحمل الضرر الخاص لدفع الضرر العام
Kemudharatan yang sifatnya lebih
kecil bisa di kalahkan untuk menghindari kemudharatan yang lebih besar.
Contoh: Ibnu
Taimiyah membiarkan seorang pemabuk untuk minum khamar, karena jika ia tidak
minum khamar maka ia akan membunuh banyak kaum muslimin di sekitar tempat itu.
f.
درء المفاسد أو لى من جلب المصالح.
Mencegah kerusakan lebih didahulukan
daripada mengambil manfaat.
Contoh: larangan ekspor barang ke luar
negeri karena kondisi dalam negeri membutuhkan barang tersebut pada kondisi
sulit.[27]
C. PENUTUP
Setelah membaca dan membahas sumber-sumber yang terkait dengan maqashid
syariah maka penulis dapat mengambil kesimpulan diantaranya:
1.
Islam mengatur semua sisi kehidupan manusia baik
yang berkaitan dengan individu maupun yang berkaitan dengan masyarakat luas
dengan meletakkan dasar hukum dan pertimbangan-pertimbangan syariat.
2.
Maqashid syariah menaungi keseluruhan hukum
yang bersandar kepada tujuan-tujuan umum syariat.
3.
Maqashid syariah mencakup aspek-aspek,
dharuriyat, hajiat dan tahsiniyat.
4.
Maqashid syariah berperan dalam mewujudkan
hukum dan menjaga kesinambungannya ( hifdz ).
5. Maqashid
syariah menjaga lima hal utama yaitu: agama, jiwa, harta, keturunan dan
kehormatan.
6.
Ulama meletakkan kaidah-kaidah umum yang
bertujuan menjaga syariat dan melindungi hak-hak manusia secara pribadi maupun
secara umum.
KEPUSTAKAAN
‘Abadi, Fairuz. Qamus al-Muhith. Beirut : Muasasah Ar Risaalah, t.th. Jil. 2
‘Asyûr, Muhammad Thâhir bin. Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah. Amman: Dâr al-Nafâ’is.
2001
Abdul Salam, Izz al-Din bin, Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam.
Beirut : Dar al-Ma'rifah. t.th.
al-Jauziyyah, Ibn Qayyim. I'lam al-Muwaqqi'in. Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah. 1996
al-Khadimi, Nuruddin Mukhtar. al-Ijtihad al-Maqasidi.
Qatar : Dar Syabilya. 1998
al-Raisuni, Ahmad. Nazariyyat al-Maqasid 'inda al-Imam al-Syatibi. Beirut : Dar al-Fikr. t.th.
al-Syatiby, Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin
Muhammad al-Lakhmy. al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah. Beirut : Dar
al-Ma’rifah, t.th.
al-Zuhaylî,
Wahbah. Ushûl al-Fiqh al-Islâmîy. Damaskus: Dâr al-Fikr. 1968.
Departemen Agama RI. al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung : Diponegoro. 2011
Farhun, Muhammad bin. Tabsirah
al-Hukkam. Mesir :Dar al-Maktabah al-Ilmiyyah. t.th.
Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul al-Fiqh. t.tp : Dar al-Rasyid. 2008.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh. Jakarta : Logos Wacana Ilmu. 2001
Uqlah, Muhammad. al-Islam
Maqasiduhu wa Khasaisuhu. t.tp : Maktabah al-Risalah al-Haditsah. 1991
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta : Hidakarya Agung. 1989
[12] Ahmad
al-Raisuni, Nazariyyat al-Maqasid 'Inda al-Imam al-Syatibi, Beirut : Dar
al-Fikr, t.th, h. 192
[14] Abu Ishaq
Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhmy al-Syatiby, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah. Beirut : Dar
al-Ma’rifah, t.th, h. 321
[18] Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz Fi Ushul al-Fiqh, Beirut : Muasasah al-Risalah, h. 380
[19] Departemen Agama RI, op.cit, h. 194
Tidak ada komentar:
Posting Komentar