Kamis, 18 Februari 2016

SAKSI DALAM PERCERIAN

A.    PENDAHULUAN
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam perjalanan rumah tanggga terkadang terjadi hal yang mengakibatkan perceraian.
Undang-undang perkawinan di Indonesia, yaitu undang-undang No. 1 Tahun 1974 menjelaskan dasar-dasar terjadinya perceraia, namun tidak menjelaskan mengenai saksi dalam perceraian itu.
Dalam fiqh, ulama berbeda pendapat tentang saksi dalam perceraian ini, ulama mutaqaddimin tidak mewajibkan adanya saksi dalam perceraian ini, sedangkan ulama mutaakkhirin mewajibkan saksi dalam perceraian.
Dalam tulisan ini dibahas mengenai saksi tersebut, mulai dari pengertian, pendekatan al-Quran dan sunnah, fiqh dan ushul fiqh, serta juga dengan pendekatan undang-undang perkawinan itu sendiri.

B.     PENGERTIAN SAKSI
1.      Pengertian saksi menurut bahasa
a.       WJS. Poerwadarminta mengemukakan arti saksi itu, saksi adalah sebuah kata benda dalam bahasa indonesia berarti “orang melihat atau mengetahui”[1]
b.      Muhammad Idris al-Marbawy, mengungkapkan saksi dalam bahasa Arab adalah شاهدة- شاهدasalnya dari شهد- يشهد- شهادة.[2] Dalam kamus Mahmud Yunus disebutkan, bahwa arti dari شهد- يشهد- شهادة adalah menjadi saksi, mengetahui[3].

2.      Penngertian saksi menurut syara’
a)      Menurut Ma’ruf bin Humam al-Hanafy
أخبار صدق لإثبات حق بلفظ الشهادة في مجلس القضاء[4]
Pemberitahuan kebenaran untuk menetapakn suatu yang haq dengan uccapan kesaksian di depan sidang pengadilan
b)      Menurut Abu Abdillah Muhammad Ibn ‘Abadi al-Baqi ibn Yusuf al-Zarqani
لما المشاهدة: المعينة المأخوذة من الشهود اي الحضور لأن الشاهد مشاهد غاب عن غيره[5]
Saksi adalah orang yang ada atau dengan kata lain hadir dalam suatu (peristiwa) karena saksi menyaksikan apa yang tidak disaksikan oleh orang lain
c)      Menurut Jalaluddin al-Mahalli
أخبر حق للغير على الغير بلفظ أشهد[6]
Memberitahukan dengan sebenarnya hak seseorang terhadap orang lain dengan lafaz “aku bersaksi”
d)     Menurut al-Kahlani
الشاهد حامل الشهادة ومؤديها لأنه شاهد لما غاب عن غيره[7]
Saksi adalah orang yang mempertanggung jawabkan kesaksian dan mengemukakannya karena dia menyaksikan suatu (peristiwa) yang orang lain tidak mengetahuinya
e)      Menurut Said Sabiq
الشهادة هي المعاينة لأن الشاهد يخبر عما شهدة وعاينة ومعناه الأخبار عما علمه بلفظ أشهد أو شهددت[8]
Syahadah adalah suatu kesaksian karena seorang saksi menceritakan apa yang telah ia saksikan dan apa yang telah ia lihat. Pengertiannya ialah pemberitahuan seseorang tentang apa yang dia ketahui dengan menggunakan kata-kata “aku saksikan atau telah aku saksikan”.
Perbedaan dari defrdenisi-defenisi yang diungkapkan oleh para ulama tersebut adalah perbedaan dari redaksi fariasi saja dalam medefenisikan saksi. Seperti yang diungkapkan oleh Ma’ruf bin Humam al-Hanafy dari ulama Hanafiyah bahwasaksi adalah untuk memberitahukan kebenaran di depan sidang pengadilan untuk menetapkan suatu yang haq, sedangkan menurut ulama Malikiyah, Yusuf al-Zarqani saksi adalah orang yang hadir dan menyaksikan suati peristiwa. Dan menurut Jalaluddin al-Mahalli dari kalangan Syafi’iyah saksi adalah pemberitahuan dengan yang sebenarnya hak orang lain dengan menggunakan lafaz “aku bersaksi”.
Semua defenisi di atas dapat kita ambil kesimpulan, bahwa saksi itu adalah mengungkapkan sesuatu apa adanya sesuai yang diketahui secara pasti untuk menetapkan suatu kebenaran.

C.    PENDEKATAN AL-QURAN DAN SUNNAH
Surat al-Thalaq: 2
فَإِذَا بَلَغۡنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمۡسِكُوهُنَّ بِمَعۡرُوفٍ أَوۡ فَارِقُوهُنَّ بِمَعۡرُوفٖ وَأَشۡهِدُواْ ذَوَيۡ عَدۡلٖ مِّنكُمۡ وَأَقِيمُواْ ٱلشَّهَٰدَةَ لِلَّهِۚ ذَٰلِكُمۡ يُوعَظُ بِهِۦ مَن كَانَ يُؤۡمِنُ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مَخۡرَجٗا ٢
Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar

Kata أَمۡسِكُ pada فَأَمۡسِكُوهُنّterambil dari kata مسك yang pada mulanya berarti memegang. Suami berhak secara penuh menentukan kelangsungan perkawinan. Ini mengisyaratkan langsung bahwa wanita yang dicerai ini masih berstatus isteri selama mas ‘iddah. Hanya saja dia tidak boleh digauli oleh suami. Kemudian diiringi oleh فَارِقُوهُنَّ mengindikasikan keutamaan rujuk atas perceraian.[9]
Al-Qurtubi menuturkan penafsirannya mengenai ayat perintah persaksian perceraian. Makna firman Allah (wa asyidu/persaksikanlah) adalah perintah persaksian dalam perceraian. Tetapi ada yang menyatakan untuk kasus rujuk. Dalam redaksi literal, jelas merujuka kepada (perintah saksi) dalam hal rujuk, bukan peceraian. Akan tetapi, jika seseorang merujuk (istrinya setelah diceraiakan) tanpa ada persaksian apakah rujuk itu sah. Ulama berbeda dalam dua pendapat. ada juga yang menyatakan perintah persaksian itu untuk kasus rujuk dan perceraian sekaligus. Perintah persaksian ini menurut abu hanifah hukumnya sunnah, sama seperti perintah persaksian pada firman Allah “... dan persaksikanlah ketika kamu bertransaksi jual beli... (QS. Al-Baqarah: 282)”. Menurut Syafi’i, persaksian adalah wajib dalam rujuk dan sunnah dalam perceraian. Manfaat persaksian ini adalah agar tidak timbul pertentangan (salaing tidak mengakui) antara suami dan istri, agar tidak muncul tuduhan masyarakat ketika tetap keduanya hidup bersama, atau pada kasus kematian salah satu pasangan tidak muncul pengakuan ikatan pernikahan tanpa dasar untuk tujuan pengambilan warisan.[10]

Fuqaha tidak ada yang berbeda pendapat bahwa perceraian yang disebutkan dalam ayat itu maksudnya adalah meninggalkan isteri sampai habis masa iddahnya, sedang perceraian itu sendiri telah jatuh (sah) meskipun tanpa dipersaksikan dan juga disebutkan masalah persaksian itu sesudah menyebut percerian, lagi pula penyaksian tidak menjdi syarat sahnya perceraian demikian pula rujuk.
Perintah Allah untuk mempersaksikan itu hanyalah dimaksudkan untuk berhati-hati dan demi untuk menghndari salah sangka (tuduhan) terhadap suami isteri itu sebab kalau misalnya hanya diketahui talaknya saja tanpa diketahui bahwa mereka telah rujuk, atau tidak diketahui talaknya, maka akan menimbulkan buruk sangka orang lain.[11]

Hadits ‘Imran bin Hushain z:
أَنَّ عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ سُئِلَ عَنِ الرَّجُلِ يُطَلِّقُ امْرَأَتَهُ, ثُمَّ يَقَعُ بِهَا وَلَمْ يُشْهِدْ عَلَى طَلَاقِهَا وَلاَ عَلَى رَجْعَتِهَا. فَقَالَ: طَلَّقْتَ لِغَيْرِ سُنَّةٍ وَرَاجَعْتَ لِغَيْرِ سُنَّةٍ، أَشْهِدْ عَلَى طَلَاقِهَا وَعَلَى رَجْعَتِهَا وَلَا تَعُدْ
“Imran bin Hushain ditanya tentang seorang lelaki yang menalak istrinya, kemudian ia menggaulinya (merujuknya) dalam keadaan tidak mempersaksikan talak dan rujuknya. ‘Imran berkata, ‘Kamu telah menalak tanpa mengikuti sunnah dan rujuk tidak menurut sunnah. Persaksikanlah talakmu dan rujukmu (sekarang), dan janganlah kamu ulangi hal itu!’.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah. Disahihkan sanadnya oleh Ibnu Hajar dan al-Albani[12]

D.    PENDEKATAN FIQH DAN USHUL FIQH
Perintah dipersaksikannya talak berdasarkan surat al-Talaq: 2 ini mendapat tanggapan beragam dari pada para ulama.
1.      Saksi dalam perceraian adalah sunat. Pendapat ini dipegang oleh Abu Hanifah dan Imam Syafi’i. Perbuatan ini sama halnya dengan jual beli.
2.      Imam Ahmad dan Imam Malik yang memahami perintah itu sebagai perintah wajib untuk rujuk dan bukan untuk perceraian.
3.      Ulama mutaqaddimin mengatakan bahwa persaksian itu bukan syarat bagi sahnya ruju’ atau perceraian. Alasannya adalah perintah itu hanya sekedar berjaga-jaga jangan terjadi perselisihan jika tidak dipesaksikan.
4.      Ulama kontemporer menyatakan saksi dalam perceraian adalah wajib. Pendapat ini dipelopori oleh Muhammad bduh. Pendapat ini sejalan dengan pendapat syi’ah yang disampaikna oleh al-Tabarsi. Allah memerintahkan persaksian dalam rujuk dan ketiuka perveraian. Karena setiap perintah yang terkandung di dalam al-Quran asal hukumnya adalah wajib selama tidak ada yang menunjukkan menjadi hukum lain seperti sunnah dan sebagainya.

Yusuf Qardawi menyatakan dengan tegas bahwa kedudukan saksi dalam perceraian adalah wajib. Tidak ada sebab dan alasan untuk menggantikan kewajiban dalam hal persaksian ini menjadi perkara sunat. Menurutnya, begitu juga wajib dalam saksi rujuk. Sarannya lagi sebaiknya didaftarkan kepengadilan dan isteri diberitahu lewat pengadilan.[13]
Diriwayatkan bahwa ada orang yang bertanya kepada Ali Bin Abi Talib tentang talak. Ali bertanya kepadanya apakah ada dipersaksikan kepada dua orang laki-laki  yang adil sebagimana perintah Allah dalam al-Quran? Jawabnya tidak. Ali berkata lagi kepada oreang yang bertanya, pulanglah talak itu bukan talak yang sah.[14]

E.     MENURUT PERUNDANG-UNDANGAN
Pasal 39 undang-undang No. 1 Tahun 1974
(1)   Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang berdangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak
(2)   Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami isteri itu tidak akan hidup rukun lagi sebagai suami isteri
(3)   Tatacara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturn perundangan tersendiri.

Pasal 129 Kompilasi Hukum Islam
Seorang  suami  yang  akan menjatuhkan  talak  kepada  isterinya mengajukan  permohonan  baik  lisan
maupun  tertulis  kepada  Pengadilan  Agama  yang  mewilayahi  tempat  tinggal  isteri  disertai  dengan
alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
Pasal 130 Kompilasi Hukum Islam
Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan
tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi
Pasal 131 Kompilasi Hukum Islam
1.      Pengadilan agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud pasal 129 dan dalam waktu  selambat-lambatnya  tiga  puluh  hari  memanggil  pemohon  dan  isterinya  untuk  meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak.
2.      Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menashati kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk  menjatuhkan  talak  serta  yang  bersangkutan  tidak  mungkin  lagi hidup  rukun  dalam rumah tangga,  pengadilan  Agama  menjatuhkan  keputusannya  tentang  izin  bagi  suami  untuk mengikrarkan talak.
3.      Setelah keputusannya mempunyai kekeutan hukum  tetap suami mengikrarkan  talaknya disepan sidang Pengadilan Agama, dihadiri oleh isteri atau kuasanya.
4.      Bila  suami  tidak mengucapkan  ikrar  talak  dalam  tempo 6  (enam)  bulah  terhitung  sejak  putusan Pengadilan Agama  tentang  izin  ikrar  talak baginya mempunyai kekuatanhukum yang  tetap maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan yant tetap utuh.
5.      Setelah sidang penyaksian ikrar talak Pengadilan Agama membuat penetapan  tentang terjadinya Talak rangkap empat yang merupakan bjukti perceraian baki bekas suami dan isteri. Helai  pertama  beserta  surat  ikrar  talak  dikirimkan  kepada  Pegawai  Pencatat  Nikah  yang mewilayahi  tempat  tinggal  suami  untuk  diadakan  pencatatan,  helai  kedua  dan  ketiga  masing-masing diberikan kepada suami isteri dan helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama
Tata cara persidangan diatur di dalam Peraturan Pemeruntah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tahun 1974. Pada pasal 14 dinyatakan bahwa:
Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan isterinya mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang beri pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
Bersamaan dengan adanya aturan mengenai perceraian ini, mulai aturan dari Al-Quran, sunnah, fiqh dan ushul fiqh, serta ditambah dengan peraturan perundang-undangan. Maka dapat disimpulkan bahwa perceraian itu harus dipersaksikan adalah wajib hukumnya.
Hal ini bukan untuk mempersulit untuk melakukan perceraian, tetapi pernah juga disebut sebellumnya bahwa perceraian itu harus dipersaksiakan supaya antara suami dan isteri itu tidak mengingkari atau mempermasalahkan perceraian mereka di kemudian hari. Dan juga dengan dipersaksikannya pereraian ini dapat memenuhi kewajiban dan hak-hak yang masih ada setelah terjadinya perceraian.
Dan yang pastinya perceraian yang dipersaksiakan itu, yang dalam hal ini dilakukan di depan sidang pengadilan akan mempunyai kekuatan hukum yang pasti dan dapat dipertanggung jawabkan secara pasti juga.

KEPUSTAKAAN
WJS. Poerdaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985)
Muhammad Idris al-Mardawy, Kamus Idris al-Mardawy, (Bandung: al-Ma’arif, t.t)
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Mahmud Yunus Wadzuryah, 1989)
Ma’ruf bin Humam al-Hanafy, Syarh Fath al-Qadir, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th)
Abu Abdillah Muhammad Ibn ‘Abadi al-Baqi ibn Yusuf al-Zarqani, Syarh Mawaththa’ Imam Malik, jilid IV (Mesir: Mustafa al-Baby al-Halaby, 1970)
Jalaluddin al-Mahalli, al-Mahally, jilid IV (Mesir: Dar al-Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah al-Azhar, t.t)
Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam, Jilid IV (Bandung: Maktabah Dahlan, t.t)
Said Sabiq, Fiqh al-Sunnah, jilid III (Beirut: Dar al-Fikr, 1983)
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2004)
Al-Qurtubi, Juz XVIII
Muhammad Ali al-Shabuni, Tafsir Ayat Ahkam al-Shabuni, ( Surabaya:PT. Bina Ilmu, 2007)
Yusuf Qardawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002)




[1] WJS. Poerdaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), h. 825
[2] Muhammad Idris al-Mardawy, Kamus Idris al-Mardawy, (Bandung: al-Ma’arif, t.t), h. 328
[3] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Mahmud Yunus Wadzuryah, 1989), h. 206
[4] Ma’ruf bin Humam al-Hanafy, Syarh Fath al-Qadir, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 145
[5] Abu Abdillah Muhammad Ibn ‘Abadi al-Baqi ibn Yusuf al-Zarqani, Syarh Mawaththa’ Imam Malik, (Mesir: Mustafa al-Baby al-Halaby, 1970), jilid IV, h. 313
[6] Jalaluddin al-Mahalli, al-Mahally, (Mesir: Dar al-Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah al-Azhar, t.t), jilid IV, h. 318
[7] Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam, (Bandung: Maktabah Dahlan, t.t), Jilid IV, H. 126
[8] Said Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983) jilid III, h. 332
[9] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2004), h. 295
[10] Al-Qurtubi, Juz XVIII, h. 104
[11] Muhammad Ali al-Shabuni, Tafsir Ayat Ahkam al-Shabuni, (
[12] Lihat kitab Bulughul Maram (Kitab “an-Nikah Bab ar-Raj’ah”) dan al-Irwa’ no. 2078
[13] Yusuf Qardawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), h. 460-461
[14] Sayid Sabiq, op.cit, h. 35

Tidak ada komentar:

Posting Komentar