Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Dalam perjalanan rumah tanggga terkadang terjadi hal yang
mengakibatkan perceraian.
Undang-undang perkawinan di Indonesia, yaitu
undang-undang No. 1 Tahun 1974 menjelaskan dasar-dasar terjadinya perceraia,
namun tidak menjelaskan mengenai saksi dalam perceraian itu.
Dalam fiqh, ulama berbeda pendapat tentang
saksi dalam perceraian ini, ulama mutaqaddimin tidak mewajibkan adanya saksi
dalam perceraian ini, sedangkan ulama mutaakkhirin mewajibkan saksi dalam
perceraian.
Dalam tulisan ini dibahas mengenai saksi
tersebut, mulai dari pengertian, pendekatan al-Quran dan sunnah, fiqh dan ushul
fiqh, serta juga dengan pendekatan undang-undang perkawinan itu sendiri.
B.
PENGERTIAN SAKSI
1.
Pengertian saksi menurut bahasa
a.
WJS. Poerwadarminta mengemukakan arti saksi itu,
saksi adalah sebuah kata benda dalam bahasa indonesia berarti “orang melihat
atau mengetahui”[1]
b.
Muhammad Idris al-Marbawy, mengungkapkan saksi
dalam bahasa Arab adalah شاهدة- شاهدasalnya dari شهد- يشهد- شهادة.[2]
Dalam kamus Mahmud Yunus disebutkan, bahwa arti dari شهد- يشهد- شهادة adalah menjadi saksi,
mengetahui[3].
2.
Penngertian saksi menurut syara’
a)
Menurut Ma’ruf bin Humam al-Hanafy
أخبار صدق لإثبات حق
بلفظ الشهادة في مجلس القضاء[4]
Pemberitahuan kebenaran untuk menetapakn suatu yang haq dengan
uccapan kesaksian di depan sidang pengadilan
b)
Menurut Abu Abdillah Muhammad Ibn ‘Abadi
al-Baqi ibn Yusuf al-Zarqani
لما المشاهدة: المعينة المأخوذة من الشهود اي
الحضور لأن الشاهد مشاهد غاب عن غيره[5]
Saksi adalah orang yang ada atau dengan kata lain hadir
dalam suatu (peristiwa) karena saksi menyaksikan apa yang tidak disaksikan oleh
orang lain
c)
Menurut Jalaluddin al-Mahalli
أخبر حق للغير على الغير بلفظ أشهد[6]
Memberitahukan dengan sebenarnya hak seseorang terhadap
orang lain dengan lafaz “aku bersaksi”
d)
Menurut al-Kahlani
الشاهد حامل الشهادة ومؤديها لأنه شاهد لما غاب عن
غيره[7]
Saksi adalah orang yang mempertanggung jawabkan kesaksian
dan mengemukakannya karena dia menyaksikan suatu (peristiwa) yang orang lain
tidak mengetahuinya
e)
Menurut Said Sabiq
الشهادة هي المعاينة لأن الشاهد يخبر عما شهدة
وعاينة ومعناه الأخبار عما علمه بلفظ أشهد أو شهددت[8]
Syahadah adalah suatu kesaksian karena seorang saksi
menceritakan apa yang telah ia saksikan dan apa yang telah ia lihat.
Pengertiannya ialah pemberitahuan seseorang tentang apa yang dia ketahui dengan
menggunakan kata-kata “aku saksikan atau telah aku saksikan”.
Perbedaan dari defrdenisi-defenisi yang
diungkapkan oleh para ulama tersebut adalah perbedaan dari redaksi fariasi saja
dalam medefenisikan saksi. Seperti yang diungkapkan oleh Ma’ruf bin Humam
al-Hanafy dari ulama Hanafiyah bahwasaksi adalah untuk memberitahukan kebenaran
di depan sidang pengadilan untuk menetapkan suatu yang haq, sedangkan menurut
ulama Malikiyah, Yusuf al-Zarqani saksi adalah orang yang hadir dan menyaksikan
suati peristiwa. Dan menurut Jalaluddin al-Mahalli dari kalangan Syafi’iyah
saksi adalah pemberitahuan dengan yang sebenarnya hak orang lain dengan
menggunakan lafaz “aku bersaksi”.
Semua defenisi di atas dapat kita ambil
kesimpulan, bahwa saksi itu adalah mengungkapkan sesuatu apa adanya sesuai yang
diketahui secara pasti untuk menetapkan suatu kebenaran.
C.
PENDEKATAN AL-QURAN DAN SUNNAH
Surat al-Thalaq: 2
فَإِذَا بَلَغۡنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمۡسِكُوهُنَّ بِمَعۡرُوفٍ
أَوۡ فَارِقُوهُنَّ بِمَعۡرُوفٖ وَأَشۡهِدُواْ ذَوَيۡ عَدۡلٖ مِّنكُمۡ
وَأَقِيمُواْ ٱلشَّهَٰدَةَ لِلَّهِۚ ذَٰلِكُمۡ يُوعَظُ بِهِۦ مَن كَانَ يُؤۡمِنُ
بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مَخۡرَجٗا
٢
Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah
mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan
kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang
beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah
niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar
Kata أَمۡسِكُ pada فَأَمۡسِكُوهُنّterambil dari kata مسك yang pada mulanya berarti memegang. Suami berhak
secara penuh menentukan kelangsungan perkawinan. Ini mengisyaratkan langsung
bahwa wanita yang dicerai ini masih berstatus isteri selama mas ‘iddah. Hanya
saja dia tidak boleh digauli oleh suami. Kemudian diiringi oleh فَارِقُوهُنَّ mengindikasikan keutamaan rujuk atas perceraian.[9]
Al-Qurtubi menuturkan penafsirannya mengenai
ayat perintah persaksian perceraian. Makna firman Allah (wa
asyidu/persaksikanlah) adalah perintah persaksian dalam perceraian. Tetapi ada
yang menyatakan untuk kasus rujuk. Dalam redaksi literal, jelas merujuka kepada
(perintah saksi) dalam hal rujuk, bukan peceraian. Akan tetapi, jika seseorang
merujuk (istrinya setelah diceraiakan) tanpa ada persaksian apakah rujuk itu
sah. Ulama berbeda dalam dua pendapat. ada juga yang menyatakan perintah
persaksian itu untuk kasus rujuk dan perceraian sekaligus. Perintah persaksian
ini menurut abu hanifah hukumnya sunnah, sama seperti perintah persaksian pada
firman Allah “... dan persaksikanlah ketika kamu bertransaksi jual beli... (QS.
Al-Baqarah: 282)”. Menurut Syafi’i, persaksian adalah wajib dalam rujuk dan
sunnah dalam perceraian. Manfaat persaksian ini adalah agar tidak timbul
pertentangan (salaing tidak mengakui) antara suami dan istri, agar tidak muncul
tuduhan masyarakat ketika tetap keduanya hidup bersama, atau pada kasus
kematian salah satu pasangan tidak muncul pengakuan ikatan pernikahan tanpa
dasar untuk tujuan pengambilan warisan.[10]
Fuqaha tidak ada yang berbeda pendapat bahwa
perceraian yang disebutkan dalam ayat itu maksudnya adalah meninggalkan isteri
sampai habis masa iddahnya, sedang perceraian itu sendiri telah jatuh (sah)
meskipun tanpa dipersaksikan dan juga disebutkan masalah persaksian itu sesudah
menyebut percerian, lagi pula penyaksian tidak menjdi syarat sahnya perceraian
demikian pula rujuk.
Perintah Allah untuk mempersaksikan itu
hanyalah dimaksudkan untuk berhati-hati dan demi untuk menghndari salah sangka
(tuduhan) terhadap suami isteri itu sebab kalau misalnya hanya diketahui
talaknya saja tanpa diketahui bahwa mereka telah rujuk, atau tidak diketahui
talaknya, maka akan menimbulkan buruk sangka orang lain.[11]
Hadits ‘Imran bin Hushain z:
أَنَّ
عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ سُئِلَ عَنِ الرَّجُلِ يُطَلِّقُ امْرَأَتَهُ, ثُمَّ
يَقَعُ بِهَا وَلَمْ يُشْهِدْ عَلَى طَلَاقِهَا وَلاَ عَلَى رَجْعَتِهَا. فَقَالَ:
طَلَّقْتَ لِغَيْرِ سُنَّةٍ وَرَاجَعْتَ لِغَيْرِ سُنَّةٍ، أَشْهِدْ عَلَى
طَلَاقِهَا وَعَلَى رَجْعَتِهَا وَلَا تَعُدْ
“Imran bin Hushain ditanya tentang seorang lelaki yang menalak
istrinya, kemudian ia menggaulinya (merujuknya) dalam keadaan tidak
mempersaksikan talak dan rujuknya. ‘Imran berkata, ‘Kamu telah menalak tanpa
mengikuti sunnah dan rujuk tidak menurut sunnah. Persaksikanlah talakmu dan
rujukmu (sekarang), dan janganlah kamu ulangi hal itu!’.” (HR. Abu Dawud dan
Ibnu Majah. Disahihkan sanadnya oleh Ibnu Hajar dan al-Albani[12]
D.
PENDEKATAN FIQH DAN USHUL FIQH
Perintah dipersaksikannya talak berdasarkan
surat al-Talaq: 2 ini mendapat tanggapan beragam dari pada para ulama.
1. Saksi dalam perceraian adalah sunat. Pendapat ini dipegang oleh Abu Hanifah
dan Imam Syafi’i. Perbuatan ini sama halnya dengan jual beli.
2. Imam Ahmad dan Imam Malik yang memahami perintah itu sebagai perintah wajib
untuk rujuk dan bukan untuk perceraian.
3. Ulama mutaqaddimin mengatakan bahwa persaksian itu bukan syarat bagi sahnya
ruju’ atau perceraian. Alasannya adalah perintah itu hanya sekedar berjaga-jaga
jangan terjadi perselisihan jika tidak dipesaksikan.
4. Ulama kontemporer menyatakan saksi dalam perceraian adalah wajib. Pendapat
ini dipelopori oleh Muhammad bduh. Pendapat ini sejalan dengan pendapat syi’ah
yang disampaikna oleh al-Tabarsi. Allah memerintahkan persaksian dalam rujuk
dan ketiuka perveraian. Karena setiap perintah yang terkandung di dalam
al-Quran asal hukumnya adalah wajib selama tidak ada yang menunjukkan menjadi
hukum lain seperti sunnah dan sebagainya.
Yusuf Qardawi menyatakan dengan tegas bahwa
kedudukan saksi dalam perceraian adalah wajib. Tidak ada sebab dan alasan untuk
menggantikan kewajiban dalam hal persaksian ini menjadi perkara sunat.
Menurutnya, begitu juga wajib dalam saksi rujuk. Sarannya lagi sebaiknya
didaftarkan kepengadilan dan isteri diberitahu lewat pengadilan.[13]
Diriwayatkan bahwa ada orang yang bertanya
kepada Ali Bin Abi Talib tentang talak. Ali bertanya kepadanya apakah ada
dipersaksikan kepada dua orang laki-laki
yang adil sebagimana perintah Allah dalam al-Quran? Jawabnya tidak. Ali
berkata lagi kepada oreang yang bertanya, pulanglah talak itu bukan talak yang
sah.[14]
E.
MENURUT PERUNDANG-UNDANGAN
Pasal 39 undang-undang No. 1 Tahun 1974
(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan
yang berdangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak
(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami isteri
itu tidak akan hidup rukun lagi sebagai suami isteri
(3) Tatacara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturn
perundangan tersendiri.
Pasal 129 Kompilasi Hukum Islam
Seorang suami yang
akan menjatuhkan talak kepada
isterinya mengajukan
permohonan baik lisan
maupun
tertulis kepada Pengadilan
Agama yang mewilayahi
tempat tinggal isteri
disertai dengan
alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan
itu.
Pasal 130 Kompilasi Hukum Islam
Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak
permohonan tersebut, dan terhadap keputusan
tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi
Pasal 131 Kompilasi Hukum Islam
1. Pengadilan agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud pasal
129 dan dalam waktu
selambat-lambatnya tiga puluh
hari memanggil pemohon
dan isterinya untuk
meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud
menjatuhkan talak.
2. Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menashati kedua belah pihak dan ternyata
cukup alasan untuk menjatuhkan talak
serta yang bersangkutan
tidak mungkin lagi hidup
rukun dalam rumah tangga, pengadilan
Agama menjatuhkan keputusannya
tentang izin bagi
suami untuk mengikrarkan talak.
3. Setelah keputusannya mempunyai kekeutan hukum tetap suami mengikrarkan talaknya disepan sidang Pengadilan Agama,
dihadiri oleh isteri atau kuasanya.
4. Bila suami tidak mengucapkan ikrar
talak dalam tempo 6
(enam) bulah terhitung
sejak putusan Pengadilan
Agama tentang izin
ikrar talak baginya mempunyai
kekuatanhukum yang tetap maka hak suami
untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan yant tetap utuh.
5. Setelah sidang penyaksian ikrar talak Pengadilan Agama membuat
penetapan tentang terjadinya Talak
rangkap empat yang merupakan bjukti perceraian baki bekas suami dan isteri.
Helai pertama beserta
surat ikrar talak
dikirimkan kepada Pegawai
Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat
tinggal suami untuk
diadakan pencatatan, helai
kedua dan ketiga
masing-masing diberikan kepada suami isteri dan helai keempat disimpan
oleh Pengadilan Agama
Tata cara persidangan diatur di dalam
Peraturan Pemeruntah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 1
tahun 1974. Pada pasal 14 dinyatakan bahwa:
Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut
agama Islam, yang akan menceraikan isterinya mengajukan surat kepada Pengadilan
di tempat tinggalnya, yang beri pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan
isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar
diadakan sidang untuk keperluan itu.
Bersamaan dengan adanya aturan mengenai
perceraian ini, mulai aturan dari Al-Quran, sunnah, fiqh dan ushul fiqh, serta
ditambah dengan peraturan perundang-undangan. Maka dapat disimpulkan bahwa
perceraian itu harus dipersaksikan adalah wajib hukumnya.
Hal ini bukan untuk mempersulit untuk
melakukan perceraian, tetapi pernah juga disebut sebellumnya bahwa perceraian
itu harus dipersaksiakan supaya antara suami dan isteri itu tidak mengingkari
atau mempermasalahkan perceraian mereka di kemudian hari. Dan juga dengan
dipersaksikannya pereraian ini dapat memenuhi kewajiban dan hak-hak yang masih
ada setelah terjadinya perceraian.
Dan yang pastinya perceraian yang
dipersaksiakan itu, yang dalam hal ini dilakukan di depan sidang pengadilan
akan mempunyai kekuatan hukum yang pasti dan dapat dipertanggung jawabkan
secara pasti juga.
KEPUSTAKAAN
WJS. Poerdaminta, Kamus Umum Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985)
Muhammad Idris al-Mardawy, Kamus Idris
al-Mardawy, (Bandung: al-Ma’arif, t.t)
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia,
(Jakarta: Mahmud Yunus Wadzuryah, 1989)
Ma’ruf bin Humam al-Hanafy, Syarh Fath
al-Qadir, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th)
Abu Abdillah Muhammad Ibn ‘Abadi al-Baqi ibn
Yusuf al-Zarqani, Syarh Mawaththa’ Imam Malik, jilid IV (Mesir: Mustafa
al-Baby al-Halaby, 1970)
Jalaluddin al-Mahalli, al-Mahally,
jilid IV (Mesir: Dar al-Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah al-Azhar, t.t)
Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subul
al-Salam, Jilid IV (Bandung: Maktabah Dahlan, t.t)
Said Sabiq, Fiqh al-Sunnah, jilid III (Beirut:
Dar al-Fikr, 1983)
M. Quraish
Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,
(Jakarta: Lentera Hati, 2004)
Al-Qurtubi, Juz XVIII
Muhammad Ali al-Shabuni, Tafsir Ayat Ahkam
al-Shabuni, ( Surabaya:PT. Bina Ilmu, 2007)
Yusuf Qardawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2002)
[5] Abu Abdillah Muhammad Ibn ‘Abadi al-Baqi ibn Yusuf al-Zarqani, Syarh
Mawaththa’ Imam Malik, (Mesir: Mustafa al-Baby al-Halaby, 1970), jilid IV,
h. 313
[6] Jalaluddin al-Mahalli, al-Mahally, (Mesir: Dar al-Ihya al-Kutub
al-‘Arabiyah al-Azhar, t.t), jilid IV, h. 318
[7] Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam, (Bandung: Maktabah
Dahlan, t.t), Jilid IV, H. 126
[8]
Said Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr,
1983) jilid III, h. 332
[9]
M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati,
2004), h. 295
[12]
Lihat kitab
Bulughul Maram (Kitab “an-Nikah Bab ar-Raj’ah”) dan al-Irwa’ no. 2078
Tidak ada komentar:
Posting Komentar