Senin, 15 Februari 2016

KRITERIA KEBENARAN DALAM ILMU PENGETAHUAN

A.      Pendahuluan
Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer memberikan ilustrasi berupa gambaran seorang anak yang baru memasuki dunia pendidikan formal melakukan mogok belajar pada pelajaran matematika, meskipun orang tuanya sudah merayunya, memberikan iming-iming hadiah, bahkan hukuman fisik agar anaknya mau kembali belajar Matematika. Ketika ditelusuri alasannya, ternyata ia menganggap gurunya sebagai pembohong, sebab pada suatu hari guru tersebut mengatakan bahwa 3 + 4 = 7, namun pada hari berikutnya 5 + 2 = 7, kemudian pada hari lainnya 6 + 1 = 7 dan seterusnya. Menurut pemikiran anak tersebut dengan keterbatasan pikirannya, guru matematika yang mengajarnya tidak konsisten dengan apa yang dikatakan sebelumnya, sehingga dianggap sebagai pembohong.[1]
Ilustrasi di atas cukup menggambarkan betapa kebenaran merupakan sesuatu yang krusial dalam kehidupan ini. Seringkali, dengan dalih sebuah kebenaran seseorang, kelompok, lembaga, atau bahkan negara akan menghalalkan segala cara terhadap orang lain karena dianggap sudah melakukan tindakan yang benar. Dari ilustrasi di atas–jika diuji material kebenarannya dengan pendekatan matematika– semua yang disampaikan guru tersebut benar, akan tetapi keterbatasan seorang anak itulah yang menyebabkan timbulnya anggapan salah, sehingga menimbulkan dampak negatif maupun positif.
Bagaimana sesuatu dianggap benar, dan apa yang menjadi kriteria kebenarannya, tidak mungkin berdiri sendiri jika tidak ditopang dengan dasar-dasar penunjangnya, baik pernyataan, teori, keterkaitan, konsistensi, keterukuran, dapat atau tidak dibuktikan, berfungsi, dan bersifat netral atau tidak netral, bahkan apakah kebenaran bersifat tentatif [2] atau sepanjang masa. Untuk mencapai sebuah kebenaran ada beberapa tahapan yang harus dilalui, baik itu rasional, hipotesa, kausalitas, anggapan sementara, teori, atau sudah menjadi hukum kebenaran.[3] Tahapan untuk mendapat kebenaran tersebut dapat dilihat dengan menggunakan alat kajian filsafat, baik filsafafat Yunani, filsafat Barat, ataupun filsafat Islam.
Dalam makalah ini akan dibahas sekitar kriteria kebenaran ilmu pengetahuan ditinjau dari pendekatan filsafat ilmu sebagai salah satu bagian dari dasar-dasar pengetahuan. Paling tidak pembahasan ini dapat dijadikan sebagai pijakan tentang kriteria kebenaran yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah mengenai pertanyaan identitas kebenaran ilmu pengetahuan, bagaimana ilmu pengetahuan dianggap benar?, serta bagaimana mendapatkan kebenaran dengan berbagai macam pendekatan ilmiah.

B.       Pengertian Kebenaran
Kebenaran tertuang dalam ungkapan-ungkapan yang dianggap benar, misalnya hukum-hukum, teori-teori, ataupun rumus-rumus filasafat, juga kenyataan yang dikenal dan diungkapkan. Mereka muncul dan berkembang maju sampai pada taraf kesadaran dalam diri pengenal dan/atau masyarakat pengenal. Sebagai landasan penemuan defenisi kebenaran ini adalah kesimpulan umum bahwa pengetahuan itu bersifat logis dan/atau rasional yang mengantarkan kepada tujuan berupa kebenaran. Ahmad Tafsir mengungkapkan dalam kerangka berfikir sebagai berikut:
“Yang logis ialah yang masuk akal. Yang logis itu mencakup yang rasional dan supra-rasional. Yang rasional ialah yang masuk akal dan sesuai dengan hukum alam. Yang supra-rasional ialah yang masuk akal sekalipun tidak sesuai dengan hukum alam”. Istilah logis boleh dipakai dalam pengertian rasional.[4]

Dengan menggunakan istilah logis[5] dan rasional sebagai bahan dasar dari kebenaran dalam pengetahuan, maka kriteria kebenaran tidak dapat berdiri sendiri sebagai hasil disiplin ilmu, akan tetapi sangat erat kaitannya dengan permasalahan yang akan diselesaikan manusia dalam kehidupannya, baik masih berupa hipotesa (dugaan kebenaran sementara) sehingga menghasilkan teori yang bisa menjadi hukum.
Secara garis besar Ahmad Tafsir menggambarkan bahwa ketika ada masalahsebagai  manusia yang serba ingin tahu akar masalah maka  ada dugaan. Berangkat dari dugaan, ada anggapan sementara yang kita sebut hipotesa. Hipotesa ini merupakan anggapan kebenaran sementara yang belum teruji secara teoritis[6]. Hipotesa ini ada karena adanya sebab akibat yang dapat dibenarkan secara rasional. Hipotesa yang sudah diuji kebenaran dan terbukti kebenarannya akan menjadi teori, selanjutnya suatu teori yang selalu benar secara empiris[7] maka naik tingkatannya menjadi aksioma[8] atau hukum.[9]
Betrand Russell berpendapat bahwa kebenaran adalah suatu sifat dari kepercayaan yang diturunkan dari kalimat yang menyatakan kepercayaan tersebut. Kebenaran merupakan suatu hubungan tertentu antara kepercayaan dengan suatu fakta atau lebih di luar kepercayaan itu. Bila hubungan ini tidak ada maka kebenaran itu salah.[10] Sidi Gazalba memberikan keterangan tentang  kebenaran yang merupakan hubungan antara pengetahuan dan apa yang menjadi objeknya. Apabila terdapat kesesuaian dalam hubungan objek dan pengetahuan kita tentang objek, itulah yang dimaksud dengan kebenaran.[11] Adapun definisi kebenaran itu dapat kita kaji bersama dari beberapa sumber, antara lain, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap yang disusun oleh Daryanto, di dalamnya dijelaskan bahwa kebenaran memiliki arti seperti: keadaan yang cocok dengan keadaan sesungguhnya; sesuatu yang sunguh-sungguh ada; kelurusan hati; izin; persetujuan; perkenan; dan kebetulan.[12]
Imam Wahyudi, seorang dosen Filsafat Pengetahuan dan Filsafat Ilmu Universitas Gajahmada Yogyakarta, mengelompokkan kebenaran dalam tiga makna, yaitu kebenaran moral, kebenaran logis, dan kebenaran metafisik. Kebenaran moral menjadi bahasan etika, ia menunjukkan hubungan antara pernyataan dengan apa yang dirasakan. Kebenaran logis menjadi bahasan epistemologi, logika, dan psikologi, ia merupakan hubungan antara pernyataan dengan kenyataan. Sedangkan kebenaran metafisik berkaitan dengan yang ada sejauh pertimbangan akal budi, karena yang ada mengungkapkan diri kepada akal budi. Yang ada merupakan dasar dari kebenaran, dan akal budi yang menyatakannya.[13]
Menurut teori kebenaran metafisik/ontologis, kebenaran adalah kualitas individual atas objek, ia merupakan kualitas primer yang mendasari realitas dan bersifat objektif, ia didapat dari sesuatu itu sendiri. Kita memperolehnya melalui intensionalitas[14], tidak diperoleh dari relasi antara sesuatu dengan sesuatu, misalnya kesesuaian antara pernyataan dengan fakta. Dengan demikian kebenaran metafisis menjadi dasar kebenaran epistemologi,[15] pernyataan disebut benar jika memang yang dinyatakan itu sungguh ada.
Sedangkan menurut Noeng Muhajir, eksistensi kebenaran dalam aliran filsafat yang satu berbeda dengan aliran filasafat lainnya. Positivisme hanya mengakui kebenaran yang dapat ditangkap secara langsung atau tak-langsung lewat indra. Idealisme hanya mengakui kebenaran dunia ide, mengenai materi hanyalah bayangan dari dunia ide. Sedangkan Islam berangkat dari eksistensi kebenaran yang bersumber dari Allah Swt. Eksisitensi wahyu merupakan kebenaran mutlak, epistemologinya yang perlu dibenahi, juga model logika pembuktian kebenarannya.[16]
Lebih jauh Noeng Muhajir menawarkan epistemologi berangkat dari dua postulat, pertama, semua yang gaib (Zat Allah, alam barzah, surga dan neraka) itu urusan Allah, bukan kawasan ilmu, sedangkan alam semesta dengan beribu galaksi yang terbentang di muka bumi kita adalah kawasan ilmu yang dapat kita rambah. Kedua, manusia itu makhluk lemah dibanding kebijakan Allah, sehingga kebenaran mutlak dari Allah tidak tertangkap oleh manusia.[17]
Dari beberapa defenisi kebenaran di atas, penulis menyimpulkan bahwa kebenaran adalah keadaan yang cocok dengan keadaan sesungguhnya jika dihubungkan dengan realitas; sifat kelurusan hati yang sesuai dengan persetujuan atau perkenan jika dihubungkan dengan idealitas. Namun demikian jika berkenaan dengan ilmu pengetahuan atau sisi ilmiah, maka penulis lebih cenderung pada defenisi pertama yaitu keadaan yang cocok, sesuai, atau sejalan dengan keadaan sesungguhnya.

C.      Kriteria Kebenaran Ilmiah
Dengan melihat berbagai kajian tentang kebenaran sebagai dasar-dasar pengetahuan, dapat disimpulkan bahwa terdapat keanekaragaman kebenaran itu sendiri, tergantung berangkat dari disiplin ilmu apa, pendekatan apa yang dipakai dalam penentuan kebenaran, dan aliran filsafat apa yang dijadikan paradigma berpikir. Bagi kalangan agama kebenaran yang berasal dari wahyu Allah adalah mutlak kebenarannya. Sedangkan kebenaran hasil pemikiran manusia bersifat nisby. Kebenaran dari wahyu Allah tidak semua bersifat jelas dan gamblang, akan tetapi banyak informasi tentang kebenaran yang mengarahkan kepada manusia untuk berfikir, memperhatikan, mengkaji proses yang terjadi di alam ini, paling tidak jika tidak ada kebenaran yang absolut, maka setidaknya pendekatan terhadap kebenaran itu sendiri.
Dengan menggunakan berbagai pendekatan kebenaran dalam mendapatkan pengetahuan, maka dibutuhkan berbagai kriteria kebenaran yang disepakati secara konsensus, baik dengan cara mengadakan penelitian atau mengadakan perenungan. Dalam pendekatan ini dibedakan menjadi dua pendekatan kebenaran, yaitu kebenaran ilmiah dan kebenaran non-ilmiah. Kebenaran ilmiah akan dijelaskan secara rinci dalam makalah ini. Sedangkan kebenaran non-ilmiah juga ada di masyarakat, akan tetapi sulit untuk dapat dipertanggung jawabkan oleh kajian ilmiah.
Kriteria kebenaran sebagai dasar pengetahuan yang akan dibahas dalam makalah ini, adalah kriteria kebenaran ilmiah dengan menggunakan beberapa patokan dan pijakan yang dibuat para ahli sebelumnya. Kriteria kebenaran ini juga tidak terlepas dari sejarah dan patokan apa yang dipakainya. Hal ini tidak terlepas dari sifat kajian ilmiah, jika ada penemuan terbaru dalam bidang dan hal yang sama dapat menggantikan penemuan sebelumnya. Dan ini juga tidak terlepas dari filsafat manusia yang menghasilkannya pada saat itu.
Menurut Roger yang dikutif Imam Wahyudi, kebenaran yang dipergunakan dalam ilmu, agama, spiritualitas, estetika adalah sama, namun semuanya tidak dapat diukur dengan standar yang sama (incommensurable), tidak ada satupun yang benar-benar menunjuk pada klaim bahwa suatu penyataan adalah benar dalam suatu makna kata, namun salah pada makna lainnya.[18]
Kebenaran ilmiah muncul dari hasil penelitian ilmiah, artinya suatu kebenaran tidak mungkin muncul tanpa adanya tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk memperoleh pengetahuan ilmiah. Dengan menjalankan tahapan-tahapan dari penelitian, maka dapat diperoleh bahwa kebenaran merupakan proses dari hasil ilmu pengetahuan yang sebelumnya telah dilakukan penelitian. Sehingga hasilnya dapat dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah yang sistematis sebagai proses menghasilkan kebenaran ilmiah.
Secara metafisis, kebenaran ilmu pengetahuan bertumpu pada objeknya melalui penelitian dengan dukungan metode serta sarana penelitian yang dapat memperoleh pengetahuan. Semua objek ilmu benar dalam dirinya sendiri, karena tidak ada yang kontradiksi di dalamnya. Kebenaran dan kesalahan timbul tergantung pada kemampuan menteorikan fakta. Bangunan suatu pengetahuan secara epistemologi bertumpu pada asumsi metafisis tertentu, dari metafisis ini menuntut suatu cara atau metode yang sesuai untuk mengetahui objek. Dengan kata lain metode yang dikembangkan merupakan konsekuensi logis dari watak objek. Maka secara epistemologi kebenaran merupakan kesesuaian antara apa yang diklaim sebagai yang diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya notabene menjadi objek pengetahuan. Kebenaran terletak pada kesesuaian antara subjek dan objek, yaitu apa yang diketahui subjek dan realitas sebagaimana adanya.[19]
Sebelum membicarakan kriteria kebenaran secara ilmiah, alangkah baiknya kita melihat pada saat berkomunikasi, seseorang harus menyusun atau merangkai kata-kata miliknya menjadi suatu kalimat yang memiliki arti, misal berupa:
-       Pernyataan, dengan contoh: "Pintu itu tertutup”,
-       Pertanyaan, dengan contoh: “Apakah pintu itu tertutup?",
-       Perintah, dengan contoh: "Tutup pintu itu!", ataupun
-       Permintaan, dengan contoh: "Tolong pintunya ditutup."
Dari empat macam kalimat tersebut, hanya pernyataan saja yang memiliki nilai benar atau salah, tetapi tidak sekaligus benar atau salah. Meskipun para ilmuwan, matematikawan, ataupun ahli-ahli lainnya sering menggunakan beberapa macam kalimat tersebut dalam kehidupan sehari-hari mereka, namun hanya pernyataan saja yang menjadi perhatian mereka dalam mengembangkan ilmunya. Alasannya, kebenaran suatu teori ataupun pendapat yang dikemukakan setiap ilmuwan,  matematikawan, maupun para ahli lainnya seperti ulama sebagai ahli agama merupakan suatu hal yang akan sangat menentukan reputasi mereka. Karenanya mereka akan berusaha untuk menghasilkan suatu pernyataan atau teori yang benar. Suatu pernyataan (termasuk teori) tidak akan ada artinya, jika tidak bernilai benar. Karenanya, pembicaraan mengenai benar tidaknya suatu kalimat yang memuat suatu teori telah menjadi pembicaraan dan perdebatan para ahli filsafat dan logika sejak dahulu kala.[20]
Paparan berikut akan membicarakan tentang kebenaran, dalam arti, bilamana suatu pernyataan yang dimuat di dalam suatu kalimat disebut benar dan bilamana disebut salah. Untuk menjelaskan tentang kriteria kebenaran ini perhatikan dua kalimat berikut:
-       Semua manusia akan mati.
-       Jumlah besar sudut-sudut suatu segitiga adalah 180°.
Pertanyaannya dari dua kalimat tersebut adalah kalimat manakah yang bernilai benar dan sebaliknya bernilai salah?. Pertanyaan selanjutnya, mengapa kalimat tersebut dikategorikan bernilai benar atau salah?, dan bilamana suatu kalimat dikategorikan sebagai kalimat yang bernilai benar atau salah?. “Semua manusia akan mati”, merupakan suatu pernyataan yang bernilai benar karena kenyataannya memang demikian. Artinya, kalimat yang menyatakan bahwa semua manusia akan mati tersebut adalah sesuai atau cocok dengan keadaan yang sesungguhnya, yaitu sejak zaman dahulu kala sampai saat ini, setiap makhluk hidup yang bernama manusia akan mati, hingga memang belum ada yang dapat menunjukkan adanya orang (bahkan hanya satu orang) yang bersifat kekal atau abadi. Sehingga pernyataan pertama bernilai benar karena pernyataan itu melaporkan, mendeskripsikan ataupun menyimpulkan kenyataan atau fakta yang sebenarnya. Pernyataan pertama tersebut akan bernilai salah jika sudah ditemukan suatu alat atau obat yang sangat canggih sehingga akan ada orang yang tidak bisa mati.
Sedangkan pernyataan kedua bernilai benar karena pernyataan itu konsisten atau koheren ataupun tidak bertentangan dengan aksioma yang sudah disepakati kebenarannya dan konsisten dengan dalil atau teorema sebelumnya yang sudah terbukti. Itulah sekilas tentang teori korespondensi dan teori koherensi yang memungkinkan kita untuk dapat menentukan benar tidaknya suatu pernyataan.
Untuk menjawab pertanyaan di awal tadi, Jujun S. Suriasumantri menyatakan bahwa ada tiga teori yang berkait dengan kriteria kebenaran ini, yaitu: teori korespondensi, teori koherensi, dan teori pragmatis. Namun pendapat sebagian yang lain hanya membicarakan dua teori saja, yaitu teori korespondensi dan teori koherensi karena pragmatisme dijadikan sebagai pelengkap dua teori tersebut. Berikut adalah beberapa teori tentang kebenaran:
1.         Teori Koherensi
Menyimpulkan suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan tersebut bersifat kehoren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Teori kebenaran koherensi berpandangan bahwa pernyataan dikatakan benar bila terdapat kesesuaian antara pernyataan yang satu dengan pernyataan terdahulu atau lainnya dalam suatu sistem pengetahaun yang dianggap benar. Sebab sesuatu adalah anggota dari suatu sistem yang unsur-unsurnya berhubungan secara logis.[21] Jerome R. Ravertz menambahkan, uji coba suatu ilmu adalah bahwa ia harus memberikan pengaturan-pengaturan teoritis yang menjangkau luas, konsisten, dan koheren.[22]
Matematika merupakan salah satu contoh pengetahuan yang sistem penyusunan pembuktiannya didasarkan pada koherensi, pernyataan yang dianggap benar berupa aksioma disusun secara teorema kemudian dikembangkan melaui kaedah-kaedah matematika berupa sistem yang konsisten. Menurut Louis O. Kattsoff, teori koherensi atau konsistensi ini berkembang pada abad ke-19 di bawah pengaruh Hegel dan diikuti oleh penganut idealisme, seperti filosof Britania F. M Bradley (1864-1924).[23]
Contoh lain jika kita mengganggap bahwa pernyataan “semua manusia pasti akan mati adalah suatu pernyataan yang benar, maka penyataan si pulan sebagai seorang manusia dan si pulan pasti mati adalah benar pula, karena pernyataan kedua konsisten dengan pernyataan pertama. Dapat disimpulkan: Pertama, kebenaran menurut teori ini ialah kesesuain antara suatu pernyataan dengan pernyataan lainnya yang sudah diketahui, diterima, dan diakui kebanarannya. Kedua, teori ini dapat disebut juga teori penyaksian (justifikasi) tentang kebenaran, dimana putusan dianggap benar apabila mendapat penyaksian oleh putusan-putusan lainnya yang terlebih dahulu diketahui.[24]
Dengan demikian, suatu pernyataan dianggap benar apabila tahan uji (testable). Karl Kopper menegaskan, apabila pernyataan terdahulu bertentangan dengan pernyataan yang datang kemudian, maka yang pertama gugur atau batal (refutability). Sebaliknya jika cocok dengan pernyataan terdahulu, maka teori itu semakin kuat (corroboration).[25]
Sebagai sebuah teori tentu memiliki kelemahan, teori koherensi ini terjebak dalam validitas, di mana teorinya dijaga agar selalu ada koherensi internal. Suatu pernyataan dapat benar dalam dirinya sendiri, namun ada kemungkinan salah jika dihubungkan dengan pernyataan lain di luar sistemnya. Hal ini dapat mengarah kepada relativisme kebenaran. Namun demikian bersama teori korespondensi, teori koherensi inilah yang dipergunakan dalam cara berfikir ilmiah untuk mendapat kebenaran ilmiah. Penalaran teoritis yang berdasarkan logika deduktif jelas mempergunakan teori koherensi ini.

2.         Teori Korespondensi
Pernyataan dianggap benar jika materi yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Pengetahuan itu dikatakan benar apabila di dalamnya terdapat kesesuaian antara subjek dan objek. Hal ini karena puncak dari proses kognitif (kesadaran/pengetahuan) manusia terdapat di dalam budi atau pikiran manusia (intelectus), maka pengetahuan adalah benar bila terdapat di dalam budi pikiran subjek itu benar sesuai dengan apa yang ada di dalam objek. Suatu pernyataan benar apabila terdapat fakta yang sesuai menyatakan apa adanya. Kebenaran adalah kesesuaian dengan fakta, selaras dengan realitas, serasi (correspondens) dengan situasi aktual.[26]
Contoh penerapan dari teori ini misalnya pada pernyataan “Ibu kota propinsi Sumatera Barat adalah Padang” merupakan pernyataan yang benar sebab pernyataan tersebut faktual yaitu Padang sebagai ibu kota propinsi Sumatera Barat. Sekiranya pernyataan “Ibu kota propinsi Sumatera Barat adalah Bukittinggi”, maka pernyataan tersebut tidak benar sebab tidak terdapat kesesuaian dengan objek yang dituju.
Teori korespondensi ini merupakan teori kebenaran yang paling awal, sehingga dapat digolongkan kepada teori kebenaran tradisional, karena Aristoteles sejak awal (sebelum abad modern) mensyaratkan kebenaran pengetahuan harus sesuai dengan kenyataan yang diketahuinya.[27] Pengikut realisme adalah penganut teori ini, di antara pelopornya adalah Plato, Aristoteles, Moore, Russel, Ramsey, dan Tarski, kemudian dikembangkan oleh Bertrand Russel (1872-1970).[28]
Akan tetapi teori korespondensi ini bukan juga termasuk teori yang sempurna tanpa kelemahan, karena dengan mensyaratkan kebenaran harus sesuai dengan kenyataan, maka dibutuhkan penginderaan yang akurat, bagaimana dengan penginderan yang kurang cermat atau bahkan indra yang tidak normal lagi? Disamping itu juga bagaimana dengan objek yang tidak dapat diindra atau non-empiris? Maka dengan teori korespondensi objek non empiris tidak dapat dikaji kebenarannya.
Walau bagaimanapun, seperti disimpulkan pada bagian teori sebelumnya teori korespondensi juga merupakan instrumen yang dipergunakan dalam cara berfikir ilmiah untuk mendapat kebenaran ilmiah karena penalaran logika terdapat di dalamnya.

3.         Teori Pragmatisme
Menurut teori ini, kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis atau tidak. Elemennya adalah pembuktian secara empiris dalam bentuk pengumpulan fakta-fakta yang mendukung suatu pernyataan tertentu khususnya dalam realitas kehidupan, artinya suatu penyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.[29]
Menurut William James, ide yang benar ialah ide yang dapat kita serasikan, kita umumkan berlakunya, kita kuatkan dan kita periksa. Sebaliknya ide yang salah ialah ide yang tidak dapat diserasikan, tidak dapat diumumkan, tidak dapat diperiksa dan tidak dapat dijadikan penguatan.[30] Oleh karena itu, tidak ada kebenaran mutlak, yang ada hanya kebenaran-kebenran, yaitu apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman khusus. Nilai tergantung pada akibatnya dan pada kerjanya, artinya pada keberhasilan perbuatan.
Kriteria pragmatisme ini juga dipergunakan oleh ilmuwan dalam menentukan kebenaran ilmiah dilihat dalam perspektif waktu. Secara historis pernyataan ilmiah yang sekarang dianggap benar, mungkin pada satu masa atau waktu tidak demikian. Dalam menghadapi masalah seperti ini maka para ilmuawan bersikap pragmatis selama pernyataan itu fungsional dan memilki kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar. Sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian disebababkan perkembangan ilmu pengetahuan maka pernyataan itu akan ditinggalkan.[31] 
Teori ini dikembangkan oleh Charles S. Pierce (1839-19140), kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang mayoritas berkebangsaan Amerika, makanya teori ini juga sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli filsafat ini antara lain William James (1842-1910), John Dewey (1859-1952), George Herberd Mead (1863-1931), dan C. I. Lewis. Namun demikian, informasi lain menyebutkan bahwa teori ini juga tidak asing di Eropa, Hans Vaihinger (1852-1933) misalnya berpendapat bahwa mengetahui itu memiliki arti praktis. Persesuain dengan objeknya tidak mungkin dibuktikan, satu-satunya ukuran bagi berpikir adalah gunanya untuk mempengaruhi kejadian-kejadian di dunia.[32]
Masalah yang akan timbul dari teori ini adalah penentuan sebatas mana perbuatan itu dianggap keberhasilan dan eksistensi kebenaran yang dinyatakan dihadapkan pada situasi dinamis dengan perubahannya. Selain itu, pragmatisme juga tidak dapat mengantarkan kita pada hakikat kebenaran itu sendiri karena cenderung menghalalkan segala cara untuk memperoleh hasil dari penerapannya yang pada akhirnya akan menimbulkan pertentangan dengan norma-norma yang ada.
Inilah beberapa teori kebenaran yang menjadi mayoritas pilihan para ilmuwan, walaupun masih banyak teori-teori kebenaran lainnya dan akan berkembang sesuai dengan potensi akal budi, misaanya teori ilmu hudhuri atau iluminasi, performatif, proposisi, dan wahyu (agama).[33]
Dari berbagai macam teori kebenaran itu yang dianggap sebagai kriteria atau ukuran kebenaran ilmiah (ilmu pengetahuan), teori koherensi berdasarkan logika deduktif atau silogisme yang menarik kesimpulan khusus dari hal yang umum dengan akal sebagai sarana utamanya merupakan teori kebanaran ilmiah. Selain itu teori korespondensi dengan logika induktif atau empiris yang menarik kesimpulan umum dari hal yang khusus dengan pancaindra dan pengalaman sebagai sarana utamanya, juga merupakan satu dari teori yang benar tentang kebenaran. Ini dua hal yang urgen ketika melihat keadaan atau menjawab keragu-raguan.




D.      Kebenaran Ilmiah Dalam Kehidupan
Metode ilmiah (scientific methods) merupakan cara yang handal untuk menemukan kebenaran ilmiah. Tingkat kebenarannya yang logis-empiris membuat metode ilmiah mengembangkan ilmu pengetahuan yang semakin lama semakin maju. Bukti dari kemajuan ilmu adalah banyaknya teori baru yang semakin canggih, misalnya teknologi. Akan tetapi semakin berkembangnya ilmu alam dan ilmu sosial serta ilmu-ilmu lainnya, tidak jarang melahirkan spesialisasi yang berlebihan. Sebagai permisalan, Biologi berkepentingan untuk meneliti manusia sebagai suatu organisme, bukan sebagai makhluk yang berbudaya. Begitu pula ilmu Ekonomi berkepentingan dengan peningkatan kesejahateraan manusia, bukan pada peran manusia sebagai makhluk yang memiliki perasaan keagamaan.
Dengan keterbatasan seperti itu membuat ilmu pengetahuan tidak dapat merangkum seluruh pengalaman, pengetahuan, cita-cita, keindahan dan kasih sayang yang terdapat dalam diri manusia. Hal ini menjelaskan bahwa tidak semua urusan manusia dapat dipecahkan melalui pendekatan ilmiah, melainkan harus dibantu oleh filsafat dan agama yang dapat menjangkau kebenaran pada wilayah yang logis.
Pendekatan kebenaran ilmiah melalui penelitian ilmiah yang dibangun atas teori tertentu berkembang melalui penelitian ilmiah, yaitu penelitian yang sistematik dan terkontrol berdasarkan atas data empiris. Teori itu dapat diuji dalam hal keajegan (consisten) dan kemantapan internalnya. Artinya jika penelitian ulang orang lain menurut langkah-langkah yang sama, serupa pada kondisi yang sama akan memperoleh hasil yang ajeg atau koheren dengan sebelumnya. Pendekatan ilmiah ini menurut Sumardi Suryabrata, akan menghasilkan kesimpulan yang serupa bagi hampir setiap orang, karena pendekatan yang digunakan tidak diwarnai oleh keyakinan pribadi, bias, dan perasaan, penyimpulan bersifat objektif bukan subyektif. Kebenaran ilmiah terbuka untuk diuji oleh siapapun yang menghendakinya.[34]
Pendekatan pada kebenaran dalam ilmu alam adalah pendekatan terhadap sesuatu di luar pengenal, oleh karena itu memungkinkan dicapainya “keadaan yang sebenarnya” dari objek pengetahuan walaupun tetap memungkinkan adanya pengaruh dari pengenal. Sedangkan objektivitas dalam ilmu-ilmu sosial sulit dicapai karena adanya hubungan timbal balik yang terus-menerus antara subjek pengenal dan objek yang dikenal.
Kebenaran ilmiah pada akhirnya tidak bisa dibuat dalam suatu standard yang berlaku bagi semua jenis ilmu secara paksa, hal ini terjadi karena adanya banyak jenis dalam pengetahuan. Walaupun ilmu bervariasi disebabkan karena beragamnya objek dan metode, namun ia secara umum bertujuan mencapai kebenaran yang objektif, dihasilkan melalui konsensus. Kebenaran ilmu yang demikian tetap mempunyai sifat probabel (kemungkinan), tentatif (tidak tetap), evolutif (berkembang), bahkan relatif (tidak mutlak), dan tidak pernah mencapai kesempurnaan. Hal itu terjadi karena ilmu diusahakan oleh manusia dan komunitas sosialnya yang selalu berkembang disebabkan potensi yang besar dalam wujud akal budi.
Oleh karenanya dari sudut pandang subyektif, penulis merasa perlu mengedepankan teori kebenaran menurut wahyu atau agama, karena di dalamnya didapati keyakinan yang menempati urutan teratas ketika berbicara hal-hal yang tidak dapat di uraikan oleh teori koherensi maupun korespodensi. Teori kebanaran wahyu dengan senjata keyakinan dan/atau keimanan mampu memenjadikan manusia lebih sadar akan dirinya, dengan demikian ia akan sadar penciptanya. Lebih dari urgen, keyakinan maupun keimanan ini berimbas pada kehidupan yang terkendali menuju lebih baik.




E.       Penutup
Kebenaran ilmiah didapat melalui penelitian ilmiah yang dibangun atas teori tertentu, berkembang melalui penelitian ilmiah, yang sistematis, terkontrol, dan didasarkan atas data empiris. Teori itu dapat diuji dalam hal keajegan dan kemantapan internalnya, sehingga menghasilkan suatu pengetahuan yang jelas dan pasti kebenarannya menurut norma-norma keilmuan.
Dari berbagai teori kebenaran, dalam filsafat ilmu ditemukan dua teori yang dijadikan kriteria atau ukuran kebenaran ilmiah (ilmu pengetahuan), yaitu teori koherensi dan teori korespondensi, karena keduanya berdasarkan logika. Teori koherensi menyimpulkan kebenaran pernyataannya terdapat bersifat koherensi atau konsistensi dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar, sebab sesuatu adalah anggota dari suatu sistem yang unsur-unsurnya berhubungan secara logis. Sedangkan teori korespondensi menyimpulkan pernyataan benar jika materi yang dikandung pada pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Kebenaran terdapat fakta yang sesuai dan menyatakan apa adanya, selaras dengan realitas, serasi dengan situasi aktual.
Dalam menanggapi persoalan kebenaran ini perlu diajukan teori kebenaran baru menurut wahyu atau agama, di dalamnya didapati keyakinan dan keimanan yang tidak dapat diberikan oleh teori ilmiah ketika menjelaskan hakikat manusia dan penciptanya. Teori kebanaran wahyu dengan senjata keyakinan dan/atau keimanan mampu memenjadikan manusia lebih sadar akan dirinya, dan menyadarkan akan penciptanya, sehingga berimbas pada kehidupan yang terkendali menuju lebih baik.
Demikianlah makalah ini disusun sebagai upaya menemukan dan memperjuangkan kebanaran, perlu diingat bahwa kebenaran hakiki hanya milik-Nya. Allah A’lam bi al-Shawab.



DAFTAR PUSTAKA

Abbas, H. M. “Kebenaran Ilmiah” dalam: Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Intan Pariwara, 1997
Anshari, Endang Saifuddin, Ilmu, Filsafat dan Agama, Surabaya: Bina Ilmu, 1978.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Agama 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
_____________, Filsafat Ilmu. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004
Daryanto. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap. Surabaya: Apollo, 1997
Gazalba, Sidi. Sistematika Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang, 1995. cet. V
Hadi, P. Hardono. Jatidiri Manusia Berdasar Filsafat Organisme Whitehead. Yogyakarta: Kanisius, 1996
Hadiwijno, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius, 1981
Keraf, Sonny dan Dua, Mikhael. Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Epistemologis. Jakarta: Kanisius, 2002
Muhajir, Noeng. Ilmu Pendidikan Islam (Filsafat dan Paradigma), dalam buku Epistemologi Untuk Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: Fak. Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Jati, 1995
Poedjawijatna, I. R. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: Rineka Cipta, t.th
Ravertz, Jerome R. Filsafat Ilmu (Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan). terj. Saut Pasaribu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004
Suriasumatri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Muliasari, 1999. cet. XII
___________________, Ilmu Dalam Persepektif. Jakarta: Gramedia, 1978
Suryabrata, Sumardi. Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada,1983
Susanto, A. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarat: Bumi Aksara, 2011. cet. II
Tafsir, Ahmad. Filsafat Ilmu. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009. cet. IV
Wahyudi, Imam. Refleksi Tentang Kebenaran Ilmu dalam Jurnal Filsafat. Desember 2004. jilid. 38. no. 3




[1] Jujun S. Suriasumatri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Muliasari, 1999), cet. XII, h. 55
[2] Tentatif: belum pasti, sementra waktu, dan masih dapat berubah. Lihat Daryanto, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, (Surabaya: Apollo, 1997), h. 602
[3] Rasional: pemikiran menurut akal sehat, akal budi, nalar. Hipotesa: sesuatu yang dianggap benar meskipun kebenarannya masih belum dapat dibuktikan; anggapan sementara, anggapan dasar. Kausalitas: perihal sebab akibat. Lihat Daryanto, Kamus, h. 268, 336, 504
[4] Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), cet. IV, h. 17
[5] Logis: sesuai dengan akal. Lihat. Daryanto, Kamus, h. 406
[6]  Teoritis: berdasar pada teori, menurut teori. Lihat Daryanto, Kamus, h. 603
[7] Empiris: teori yang berpendapat bahwa segala pengetahuan manusia didapat dari pengalaman dan pengamatan. Ibid…, h. 191
[8] Aksioma: pernyataan yang bisa diterima meskipun sebagai kebenaran meskipun tanpa dibuktikan. Ibid…, h. 27
[9] Ahmad Tafsir, Filsafat, h. 35-36
[10] Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Persepektif, (Jakarta: Gramedia, 1978), h. 76
[11] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), cet. V, h. 30
[12] Daryanto, Kamus, h. 92
[13] Imam Wahyudi, Refleksi Tentang Kebenaran Ilmu dalam Jurnal Filsafat, Desember 2004, jilid. 38, no. 3
[14] Intensionalitas: hebat atau sangat kuat (tentang kekuatan dan efek), tinggi (mutu), bergelora, penuh semangat, berobar-kobar (persaan). Lihat Daryanto, Kamus, h. 286
[15] Epistemologi: bagian ilmu filsafat yang berkenaan dengan dasar dan batas-batas pengetahuan. Ibid…, h. 196
[16] Noeng Muhajir, Ilmu Pendidikan Islam (Filsafat dan Paradigma), dalam buku Epistemologi Untuk Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Fak. Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Jati, 1995), h. 22.
[17] Ibid…, h. 22
[18] Imam Wahyudi, Refleksi…, h. 257
[19] Sonny Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Epistemologis, (Jakarta: Kanisius, 2002), h. 66
[20] Jujun S. Suriasumatri, Filsafat…, h. 57
[21] Imam Wahyudi, Refleksi…, h. 256
[22] Jerome R. Ravertz, Filsafat Ilmu (Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan), terj. Saut Pasaribu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) h. 172
[23] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 117. Jujun S. Suriasumatri, Filsafat…, h. 57
[24] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, h. 117
[25] Ibid…, h.118
[26] Jujun S. Suriasumatri, Filsafat…, h. 57. Lihat juga Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, h. 112. A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis, (Jakarat: Bumi Aksara, 2011), cet. II, h. 87
[27] H. M. Abbas, Kebenaran Ilmiah dalam Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Intan Pariwara, 1997), h. 87
[28] Jujun S. Suriasumatri, Filsafat…, h. 57. Lihat juga Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, h. 113
[29] Jujun S. Suriasumatri, Filsafat…, h. 59. Lihat juga Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, h. 118-119. A. Susanto, Filsafat…, h. 87. Imam Wahyudi, Refleksi…, h. 59
[30] Harun Hadiwijno, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1981), h. 131
[31] Jujun S. Suriasumatri, Filsafat…, h. 59
[32] I. R. Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, (Jakarta: Rineka Cipta, t.th), h. 132
[33] Ilmu hudhuri adalah pengetahuan dengan kehadiran karena ia ditandai oleh keadaan neotice dan memiliki objek imanen (dalam akal budi/kesadaran) yang mmenjadikannya pengetahuan swaobjek. Ia tidak memiliki objek di luar dirinya, tetapi objek itu sendiri ada adalah objek subjektif yang ada pada dirinya. Para Sufi pada umumnya mengakui bahkan mempertegas keberdaan konsep hudhuri ini dengan keterangan tentang pengetahuan diri tentang diri yang berasal dri penyinaran dan anugerah Tuhan. Tokoh pelopor teoori hudhuri/illuminasi ini Mehdi Ha’iri Yazdi, Profesor filsafat Universitas Teheran. Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 35-36. Teori Performatif menyatakan bahwa kebenaran bukanlah kualitas atau sifat tetapi sebuah tindakan (performatif). Untuk menyatakan sesuatu itu benar maka cukup dengan melakukan konsesi (setuju/menerima/membenarkan terhadap gagasan yang telah dinyatakan. Teori Proposisi menytakan bahwa penyataan dinilai benar apabila sesuai dengan persyaratan materilnya suatu proposisi bukan pada syarat formal proposisi. Teori ini juga sering disebut kebenaran sintaksis. A. Susanto, Filsafat…, h. 87-89). Teori kebenran agama (wahyu) mengedepankan wahyu yang bersumber dari Tuhan. Mencari dan menentukan kebenaran sesuatu dalam agama dengan jalan mempertanyakan atau mencari jawaban tentang masalah asasi dari/atau kepada Kitab Suci. Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, h. 121-122
[34] Sumardi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,1983), h. 6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar