Senin, 15 Februari 2016

PARADIGMA ILMU

Paradigma secara sederhana dapat diartikan sebagai kerangka pikir untuk melihat suatu permasalahan. Paradigma pengetahuan merupakan perspektif intelektual yang dalam kondisi normal memberikan pedoman kerja terhadap ilmuwan yang membentuk ‘masyarakat ilmiah’ dalam disiplin tertentu. Pengertian lain dari paradigma ilmiah adalah sebagai gambaran intelektual yang daripadanya dapat ditentukan suatu subjek kajian. Perspektif intelektual inilah yang kemudian akan membentuk ilmu pengetahuan normal (normal science) yang mendasari pembentukan kerangka teoritis terhadap kajian-kajian ilmiah. Pengertian paradigma juga menjadi gambaran fundamental mengenai subjek ilmu pengetahuan. Paradigma memberikan batasan mengenai apa yang harus dikaji, pertanyaan yang harus diajukan, bagaimana harus dijawab dan aturan-aturan yang harus diikuti dalam memahami jawaban yang diperoleh.
Paradigma dalam ilmu pengetahuan mempunyai definisi bahwa seperangkat keyakinan mendasar yang memandu tindakan-tindakan manusia dalam kesehariannya maupun dalam penyelidikan ilmiah. Paradigma dalam hal ini dibatasi pada paradigma pencarian ilmu pengetahuan, yaitu suatu keyakinan dasar yang digunakan berbagai kalangan untuk mencari kebenaran realitas menjadi suatu ilmu atau disiplin ilmu pengetahuan.
Dalam mengembangkan suatu paradigma ilmu kita harus dapat melihat cara pandang yang menjadi aspek filosofis dan metodologis dalam menemukan ilmu pengetahuan, yaitu: dimensi ontologis (dimensi yang membicarakan hakikat ilmu), dimensi epistemologis (dimensi yang membicarakan bagaimana memperoleh ilmu), dimensi aksiologis (dimensi yang membicarakan nilai ssebuah ilmu), dimensi retorik (dimensi yang membicarakan tentang bahasa yang dipakai dalam pemikiran ilmu), dan dimensi metodologis (dimensi yang membicarakan metode-metode memperoleh ilmu).
Paradigma sangat penting perannya dalam mempengaruhi teori, analisis mau pun tindak perilaku seseorang. Karena paradigma sangat menentukan apa yang tidak kita pilih, tidak ingin kita lihat, dan tidak ingin kita ketahui. Paradigma pulalah yang mempengaruhi pandangan seseorang apa yang baik dan buruk, adil dan yang tidak adil. Oleh karena itu, jika ada dua orang yang melihat sesuatu realitas sosial yang sama, akan menghasilkan pandangan, penilaian, sikap dan perilaku yang berbeda pula. Perbedaan ini semuanya dikarenakan perbedaan paradigma yang dimiliki, yang secara otomatis memengaruhi persepsi dan tindak komunikasi seseorang.
Selanjutnya pandangan tentang paradigma ilmu pengetahuan tampaknya berubah-ubah antar waktu. Perubahan paradigma dalam ilmu pengetahuan mencakup seluruh aspek paradigma. Dalam realitas contoh-contoh dari paradigma ilmu sangat banyak.  Namun menurut Muhammad Adib dalam bukunya Filsafat Ilmu mengemukakan bahwa ada empat paradigma ilmu yang dikembangkan dalam menemukan hakikat realitas atau ilmu pengetahuan. Berikut dikemukakan empat paradigma ilmu tersebut secara lebih rinci:
1.       Positivisme, yaitu aliran yang menyatakan bahwa ilmu alam adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan memandang bahwa suatu pernyataan dikatakan ilmu pengetahuan apabila kebenarannya dapat dibuktikan secara empiris.
  1. Postpositivisme, yaitu aliran yang memperbaiki kelemahan positivisme yang hanya mengandalkan pengamatan langsung terhadap objek, dan memandang bahwa suatu hal yang mustahil bila suatu realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti).
  2. Critical Theory, yaitu aliran yang digunakan untuk mengkritik, mengubah masyarakat keseluruhan, tidak hanya memahami dan menjelaskannya, dan berpengaruh terhadap perubahan sosial dalam mengubah sistem dan struktur tersebut menjadi lebih adil.
  3. Konstruktivisme, yaitu aliran yang menekankan bahwa pengetahuan adalah bentukan  kita sendiri.. Pengetahuan merupakan hasil dari konstruksi kognitif dengan membuat struktur, kategori, konsep, skema, yang diperlukan untuk membentuk pengetahuan.
Cara Kerja Paradigma Ilmu
Menurut Kuhn dalam Rizal Mustansyir (Filsafat Ilmu, 2010: 154), menyatakan bahwa cara kerja paradigma dan terjadinya revolusi ilmiah secara singkat dapat digambarkan ke dalam tahap-tahap yang akan dikemukakan berikut:
Tahap Pertama, paradigma ini membimbing dan mengarahkan aktivitas ilmiah dalam masa ilmu normal (normal science). Disini para ilmuwan berkesempatan menjabarkan dan mengembangkan paradigma sebagai model ilmiah yang digelutinya secara rinci dan mendalam. Dalam tahap ini para ilmuwan tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang membimbing aktivitas ilmiahnya. Selama menjalankan aktivitas ilmiah itu para ilmuwan menjumpai berbagai fenomena yang tidak dapat diterangkan dengan paradigma yang dipergunakan sebagai bimbingan atau arahan aktivitas ilmiahnya itu, ini dinamakan anomali. Anomali adalah suatu keadaan yang memperlihatkan adanya ketidakcocokan antara kenyataan (fenomena) dengan paradigma yang dipakai.
Tahap kedua, menumpuknya anomali-anomali menimbulkan krisis kepercayaan dari para ilmuwan terhadap paradigma. Paradigma mulai diperiksa dan dipertanyakan. Para ilmuan mulai keluar dari jalur ilmu normal.
Tahap ketiga, para ilmuwan bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang lama sembari memperluas dan mengembangkan suatu paradigma tandingan yang dipandang bisa memecahkan masalah dan mebimbing aktivitas ilmiah berikutnya. Proses peralihan dari paradigma lama ke paradigma baru inilah yang dinamakan revolusi ilmiah.
Secara lebih rinci revolusi ilmiah atau cara kerja paradigma menurut Thomas Kuhn dapat dipaparkan sebagai berikut:
1.      Normal Sains (Science)
Sains yang normal berarti riset berdasar atas satu atau lebih pencapaian ilmiah yang lalu, pencapaian yang oleh masyarakat ilmiah tertentu pada suatu ketika dinyatakan sebagai pemberi fondasi bagi praktek selanjutnya. Ini dapat dicontohkan seperti misalnya pada abad ke-17, banyak pandangan tentang  sifat  listrik  dengan  pengeksperimen  seperti Hauksbee, Gray, Desaguliers, Du Fay, Nollet, Watson, Franklin dan lain-lain. Semua konsep kelistrikan mempunyai sesuatu yang sama yang menjadi pedoman seluruh riset ilmiah pada zaman itu. Sains yang normal memiliki mekanisme yang melekat yang memastikan pelonggaran pembatasan yang mengikat riset manakala paradigma yang menurunkannya itu tidak lagi berfungsi secara efektif.
Kuhn mengemukakan bahwa sains normal adalah beberapa contoh praktik ilmiah nyata yang diterima (mencakup dalil, teori, penerapan dan instrumentasi) menyajikan model-model yang melahirkan tradisi-tradisi tertentu dari riset ilmiah. Atau dengan kata lain, sains normal adalah kerangka referensi yang mendasari sejumlah teori maupun praktik-praktik ilmiah dalam periode tertentu sampai akhirnya kerangka tersebut tidak mampu lagi menyelesaikan masalah (anomali) yang ada pada suatu riset ilmiah tersebut. Dari sini tampak bahwa paradigma pada saat pertama kali muncul itu sifatnya masih sangat terbatas, baik dalam cakupan maupun ketepatannya. Paradigma memperoleh statusnya karena lebih berhasil dari pada saingannya dalam memecahkan masalah.

2.      Anomali dan Munculnya Penemuan Baru

Data anomali berperan besar dalam memunculkan sebuah penemuan baru yang diawali dengan kegiatan ilmiah. Dalam hal ini teradapat 2 macam kegiatan ilmiah yaitu, 1) Puzzle solving, para ilmuwan membuat percobaan dan mengadakan observasi yang bertujuan untuk memecahkan teka-teki, bukan mencari kebenaran. Bila paradigmanya tidak dapat digunakan untuk memecahkan persoalan penting atau malah mengakibatkan konflik, maka suatu paradigma baru harus diciptakan. 2) Dengan demikian kegiatan ilmiah selanjutnya diarahkan kepada penemuan paradigma baru, jika penemuan baru ini berhasil, maka akan terjadi perubahan besar dalam ilmu pengetahuan. Penemuan diawali dengan kesadaran akan adanya anomali. Kemudian riset berlanjut dengan eksplorasi yang diperluas pada wilayah anomali. Riset tersebut akan berakhir bila teori atau paradigma itu telah disesuaikan sehingga yang menyimpang menjadi sesuai dengan yang diharapkan. Jadi dalam penemuan baru harus ada penyesuaian antara fakta dengan teori yang baru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar