Paradigma secara sederhana dapat diartikan sebagai
kerangka pikir untuk melihat suatu permasalahan. Paradigma pengetahuan
merupakan perspektif intelektual yang dalam kondisi normal memberikan pedoman
kerja terhadap ilmuwan yang membentuk ‘masyarakat ilmiah’ dalam disiplin
tertentu. Pengertian lain dari paradigma ilmiah adalah sebagai gambaran
intelektual yang daripadanya dapat ditentukan suatu subjek kajian. Perspektif
intelektual inilah yang kemudian akan membentuk ilmu pengetahuan normal (normal
science) yang mendasari pembentukan kerangka teoritis terhadap
kajian-kajian ilmiah. Pengertian paradigma juga menjadi gambaran fundamental
mengenai subjek ilmu pengetahuan. Paradigma memberikan batasan mengenai apa
yang harus dikaji, pertanyaan yang harus diajukan, bagaimana harus dijawab dan
aturan-aturan yang harus diikuti dalam memahami jawaban yang diperoleh.
Paradigma dalam ilmu pengetahuan mempunyai definisi
bahwa seperangkat keyakinan mendasar yang memandu tindakan-tindakan manusia
dalam kesehariannya maupun dalam penyelidikan ilmiah. Paradigma dalam hal ini
dibatasi pada paradigma pencarian ilmu pengetahuan, yaitu suatu keyakinan dasar
yang digunakan berbagai kalangan untuk mencari kebenaran realitas menjadi suatu
ilmu atau disiplin ilmu pengetahuan.
Dalam mengembangkan suatu paradigma ilmu kita harus
dapat melihat cara pandang yang menjadi aspek filosofis dan metodologis dalam
menemukan ilmu pengetahuan, yaitu: dimensi ontologis (dimensi yang membicarakan
hakikat ilmu), dimensi epistemologis (dimensi yang membicarakan bagaimana
memperoleh ilmu), dimensi aksiologis (dimensi yang membicarakan nilai ssebuah
ilmu), dimensi retorik (dimensi yang membicarakan tentang bahasa yang dipakai
dalam pemikiran ilmu), dan dimensi metodologis (dimensi yang membicarakan
metode-metode memperoleh ilmu).
Paradigma sangat penting perannya dalam mempengaruhi
teori, analisis mau pun tindak perilaku seseorang. Karena paradigma sangat
menentukan apa yang tidak kita pilih, tidak ingin kita lihat, dan tidak ingin
kita ketahui. Paradigma pulalah yang mempengaruhi pandangan seseorang apa yang
baik dan buruk, adil dan yang tidak adil. Oleh karena itu, jika ada dua orang
yang melihat sesuatu realitas sosial yang sama, akan menghasilkan pandangan,
penilaian, sikap dan perilaku yang berbeda pula. Perbedaan ini semuanya
dikarenakan perbedaan paradigma yang dimiliki, yang secara otomatis memengaruhi
persepsi dan tindak komunikasi seseorang.
Selanjutnya pandangan tentang paradigma ilmu
pengetahuan tampaknya berubah-ubah antar waktu. Perubahan paradigma dalam ilmu
pengetahuan mencakup seluruh aspek paradigma. Dalam realitas contoh-contoh dari
paradigma ilmu sangat banyak. Namun menurut Muhammad Adib dalam bukunya
Filsafat Ilmu mengemukakan bahwa ada empat paradigma ilmu yang dikembangkan
dalam menemukan hakikat realitas atau ilmu pengetahuan. Berikut dikemukakan
empat paradigma ilmu tersebut secara lebih rinci:
1.
Positivisme, yaitu aliran yang
menyatakan bahwa ilmu alam adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang benar
dan memandang bahwa suatu pernyataan dikatakan ilmu pengetahuan apabila
kebenarannya dapat dibuktikan secara empiris.
- Postpositivisme,
yaitu aliran yang memperbaiki kelemahan positivisme yang hanya
mengandalkan pengamatan langsung terhadap objek, dan memandang bahwa suatu
hal yang mustahil bila suatu realitas dapat dilihat secara benar oleh
manusia (peneliti).
- Critical
Theory, yaitu aliran yang digunakan untuk mengkritik, mengubah masyarakat
keseluruhan, tidak hanya memahami dan menjelaskannya, dan berpengaruh
terhadap perubahan sosial dalam mengubah sistem dan struktur tersebut
menjadi lebih adil.
- Konstruktivisme,
yaitu aliran yang menekankan bahwa pengetahuan adalah bentukan kita
sendiri.. Pengetahuan merupakan hasil dari konstruksi kognitif dengan
membuat struktur, kategori, konsep, skema, yang diperlukan untuk membentuk
pengetahuan.
Cara Kerja
Paradigma Ilmu
Menurut Kuhn dalam Rizal Mustansyir (Filsafat Ilmu,
2010: 154), menyatakan bahwa cara kerja paradigma dan terjadinya revolusi
ilmiah secara singkat dapat digambarkan ke dalam tahap-tahap yang akan
dikemukakan berikut:
Tahap Pertama, paradigma ini membimbing dan
mengarahkan aktivitas ilmiah dalam masa ilmu normal (normal science). Disini
para ilmuwan berkesempatan menjabarkan dan mengembangkan paradigma sebagai
model ilmiah yang digelutinya secara rinci dan mendalam. Dalam tahap ini para
ilmuwan tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang membimbing aktivitas
ilmiahnya. Selama menjalankan aktivitas ilmiah itu para ilmuwan menjumpai
berbagai fenomena yang tidak dapat diterangkan dengan paradigma yang
dipergunakan sebagai bimbingan atau arahan aktivitas ilmiahnya itu, ini
dinamakan anomali. Anomali adalah suatu keadaan yang memperlihatkan adanya
ketidakcocokan antara kenyataan (fenomena) dengan paradigma yang dipakai.
Tahap kedua, menumpuknya anomali-anomali menimbulkan
krisis kepercayaan dari para ilmuwan terhadap paradigma. Paradigma mulai
diperiksa dan dipertanyakan. Para ilmuan mulai keluar dari jalur ilmu normal.
Tahap ketiga, para ilmuwan bisa kembali lagi pada
cara-cara ilmiah yang lama sembari memperluas dan mengembangkan suatu paradigma
tandingan yang dipandang bisa memecahkan masalah dan mebimbing aktivitas ilmiah
berikutnya. Proses peralihan dari paradigma lama ke paradigma baru inilah yang
dinamakan revolusi ilmiah.
Secara lebih rinci revolusi ilmiah atau cara kerja
paradigma menurut Thomas Kuhn dapat dipaparkan sebagai berikut:
1. Normal Sains
(Science)
Sains yang normal berarti riset berdasar atas satu
atau lebih pencapaian ilmiah yang lalu, pencapaian yang oleh masyarakat ilmiah
tertentu pada suatu ketika dinyatakan sebagai pemberi fondasi bagi praktek
selanjutnya. Ini dapat dicontohkan seperti misalnya pada abad ke-17, banyak
pandangan tentang sifat listrik dengan
pengeksperimen seperti Hauksbee, Gray, Desaguliers, Du Fay, Nollet,
Watson, Franklin dan lain-lain. Semua konsep kelistrikan mempunyai sesuatu yang
sama yang menjadi pedoman seluruh riset ilmiah pada zaman itu. Sains yang
normal memiliki mekanisme yang melekat yang memastikan pelonggaran pembatasan
yang mengikat riset manakala paradigma yang menurunkannya itu tidak lagi
berfungsi secara efektif.
Kuhn mengemukakan bahwa sains normal adalah beberapa
contoh praktik ilmiah nyata yang diterima (mencakup dalil, teori, penerapan dan
instrumentasi) menyajikan model-model yang melahirkan tradisi-tradisi tertentu
dari riset ilmiah. Atau dengan kata lain, sains normal adalah kerangka
referensi yang mendasari sejumlah teori maupun praktik-praktik ilmiah dalam
periode tertentu sampai akhirnya kerangka tersebut tidak mampu lagi
menyelesaikan masalah (anomali) yang ada pada suatu riset ilmiah tersebut. Dari
sini tampak bahwa paradigma pada saat pertama kali muncul itu sifatnya masih
sangat terbatas, baik dalam cakupan maupun ketepatannya. Paradigma memperoleh
statusnya karena lebih berhasil dari pada saingannya dalam memecahkan masalah.
2. Anomali dan
Munculnya Penemuan Baru
Data anomali berperan besar dalam memunculkan sebuah
penemuan baru yang diawali dengan kegiatan ilmiah. Dalam hal ini teradapat 2
macam kegiatan ilmiah yaitu, 1) Puzzle solving, para ilmuwan membuat percobaan
dan mengadakan observasi yang bertujuan untuk memecahkan teka-teki, bukan
mencari kebenaran. Bila paradigmanya tidak dapat digunakan untuk memecahkan
persoalan penting atau malah mengakibatkan konflik, maka suatu paradigma baru
harus diciptakan. 2) Dengan demikian kegiatan ilmiah selanjutnya diarahkan
kepada penemuan paradigma baru, jika penemuan baru ini berhasil, maka akan
terjadi perubahan besar dalam ilmu pengetahuan. Penemuan diawali dengan
kesadaran akan adanya anomali. Kemudian riset berlanjut dengan eksplorasi yang
diperluas pada wilayah anomali. Riset tersebut akan berakhir bila teori atau
paradigma itu telah disesuaikan sehingga yang menyimpang menjadi sesuai dengan
yang diharapkan. Jadi dalam penemuan baru harus ada penyesuaian antara fakta
dengan teori yang baru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar