Di dunia ini kita tidak hanya menjumpai satu sistem hukum saja melainkan
lebih dari satu. Adapun yang dimaksud dengan sistem hukum disini meliputi
unsur-unsur seperti: struktur, kategori dan konsep. Perbedaan dalam unsur-unsur
tersebut mengakibatkan perbedaan dalam sistem hukum yang dipakai.
Jika kita melihat sistem hukum yang ada di dunia ini bisa kita kelompokkan
menjadi tiga, yaitu Sistem Hukum Eropa Benua atau yang terkenal dengan sebutan
Hukum Romawi Jerman (Civil Law Sistem), Sistem Hukum Hukum Inggris (Common Law
System) dan Hukum Islam.
Sebagai akibat dijajah oleh Belanda, maka Indonesia memakai sistem Hukum
Romawi Jerman, disamping juga memakai Hukum Adat dan Hukum Islam untuk sebagian
peraturan.
Dalam makalah ini, pemakalah hanya memaparkan antara hukum Islam dengan Hukum
Romawi dan kesalahapahaman orang-orang dalam memahami Hukum Islam terutama
sekali para Orientalis dan bantahannya.
B.
Pembahasan
Jika kita berbicara tentang hukum, secara sederhana yang terlintas dalam
pikiran kita peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah
laku manusia, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dengan cara
tertentu dan ditegakkan oleh penguasa. Hukum kadangkalanya tidak tertulis
seperti hukum adat dan kadangkalanya tertulis seperti Hukum Romawi dan Hukum
Islam.
1.
Hukum Islam
Perkataan hukum yang kita pergunakan sekarang
dalam bahasa Indonesia berasal dari kata hukm (tanpa u antara huruf k
dan m) dalam bahasa Arab. Artinya, nama atau kaidah yakni ukuran, tolak ukur,
patokan, pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah laku atau perbuatan
manusia. Hubungan antara perkataan hukum dalam bahasa Indonesia tersebut diatas
dengan hukm dalam pengertian norma dalam bahasa Arab, memang erat
sekali, sebab peraturan apapun macam dan sumbernya mengandung norma atau atau
kaidah sebagai intinya.[1]
Dalam ilmu hukum Islam kaidah itu disebut hukm.
Dalam sistem hukum Islam ada lima hukm
atau kaidah yang dipergunakan sebagai patokan mengukur perbuatan manusia baik
di bidang ibadah maupun di lapangan muamalah. Kelima jenis kaidah tersebut
disebut al-ahkam al khamsah atau penggolongan hukum yang lima, yaitu (1)
jaiz atau mubah atau ibahah, (2) sunnat, (3) makruh, (4)
wajib, dan (5) haram.[2]
Penggolongan hukum yang lima atau yang disebut
juga lima kategori hukum atau lima jenis hukum ini di dalam kepustakaan hukum
Islam disebut juga dengan hukum taklifi yakni norma atau kaidah hukum
Islam yang mungkin mengandung kewenangan terbuka, yaitu kebebasan memilih untuk
melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan, yang disebut jaiz, mubah atau ibahah. Mungkin juga hukum taklifi
itu mengandung anjuran untuk dilakukan karena jelas mamfaatnya bagi pelaku,
disebut sunnat. Mungkin juga mengandung kaidah yang seyogyanya tidak
dilakukan karena jelas tidak berguna dan akan merugikan orang yang melakukannya
(makruh). Mungkin juga mengandung perintah yang wajib dilakukan (fardhu
atau wajib), dan mengandung larangan untuk dilakukan (haram).[3]
Selain dari hukum taklifi tersebut
diatas, Hukum Islam juga terdiri dari hukum wadh’i yakni hukum yang
mengandung ‘sebab’, ‘syarat’ dan ‘halangan’ terjadinya hukum dan kandungan
hukum. Ketiga kandungan hukum wadh’i itu adalah: (1) ‘Sebab’, yang menurut
rumusannya, merupakan sesuatu yang tampak yang dijadikan tanda adanya hukum.
Misalnya kematian menjadi sebab adanya (hukum) kewarisan. (2) ‘Syarat’ adalah
sesuatu yang kepadanya tergantung suatu hukum, misalnya syarat wajib
mengeluarkan zakat harta yaitu apabila sudah sampai nisabnya. (3) ‘Halangan’
atau mani’ adalah sesuatu yang dapat menghalangi
hubungan hukum , misalnya pembunuhan menghalangi hubungan hukum kemarisan.[4]
Sejarah Hukum Islam
Secara garis besar hukum Islam terbagi menjadi
beberapa priode, yaitu :
1) Hukum Islam pada masa Rasululullah, pada masa ini hukum Islam yang berlaku
bersumber dari al-Quran yang masih diwahyukan kepada beliau dan Hadis beliau.
2) Hukum Islam pada Masa Sahabat, pada masa ini perkembangan hukum Islam cukup
berkembang dikarenakan banyak sahabat r.a yang berijtihad untuk menentukan
hukum yang tidak ditemukan dalam al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad Saw.
3) Hukum Islam pada masa Tabi’in, pada masa ini hukum Islam ditandai dengan
munculnya aliran-aliran politik yang secara implisit mendorong terbentuknya
aliran hukum. Perkembangan ini dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu perluasan
wilayah dan penggunaan ra’yu. Sedangkan sumber hukum Islam pada masa ini al-Quran,
Sunnah, Ijma’ dan Ijtihad.
4) Hukum Islam pada masa pembentukan Madzhab, pada masa ini perkembangan hukum
Islam sangat pesat, keadaan ini ditandai dengan banyaknya ulama dan umat Islam
yang berijtihad sehingga menghasilkan hukum yang baru faktor pendukungnya yaitu
berkembangnya pemikiran dan upaya umat Islam melestarikan al-Quran. Sedangkan
sumber hukum Islam pada masa ini ada dua yaitu muttafaq alai (al-Quran,
Sunnah, Ijma, Qiyas) dan mukhtalaf alaih ( Istihsan, Maslahah Mursalah,
Istishab, ‘Urf, Madzhab Shahabi dan lain-lain).[5]
2.
Hukum Romawi
Romawi terbawi dua yaitu: (1) Barat dengan ibukotanya
Roma berdiri tahun 754 SM, bertahan 10 abad, terletak antara lautan Adriatik di
Barat, Sunggah Diliyah di Timur, Negeri tatar di Selatan dan Habasyah di timur,
(2) Bizantium di Timur, ibukotanya Konstantinopel, meliputi wilayah: Wilayah
Yunani, Balkan, Asia, Suriah, Palestina, Laut Tengah semuanya, Mesir dan semua
Afrika Utara.
Hukum Romawi yang dikenal juga dengan istilah Civil
Law atau Hukum Sipil merupakan istilah yang diambil dari sumber hukum sipil
itu sendiri pada zaman kaisar Justianus yang bernama corpus juris civilis
yang terdiri dari empat bagian.
Hukum sipil dapat didefinisikan sebagai suatu
tradisi hukum yang berasal dari Hukum Roma yang terkodifikasi dalam corpus
juris civilis Justinian dan tersebar ke seluruh benua Eropa dan seluruh
dunia. Kode sipil terbagi ke dalam dua cabang, yaitu:
1) Hukum Romawi yang terkodifikasi (Kode Sipil Prancis 1804) dan daerah
lainnya di benua Eropa yang mengadopsinya (Quebec dan Lousiana); dan
2) Hukum Romawi yang tidak terkodifikasi (Skotlandia dan Afrika Selatan).
Hukum kode sipil sangat sistematis, terstruktur yang berdasarkan deklarasi para
dewan, prinsip-prinsip umum dan sering menghindari hal-hal detail.[6]
Sejarah
Perkembangan Hukum Sipil
Sejarah perkembangan Hukum sipil Romawi dapat dibagi ke dalam dua tahapan,
yaitu:
1) Perkembangan di Eropa
Perkembangan hukum Romawi di Eropa bisa kita
tenggok di tiga daerah yang termasuk ke dalam kekaisaran Romawi yaitu Prancis,
Jerman dan Belanda.
Dalam menerapkan hukum Romawi yang
terkodifikasi, Prancis tidak hanya memakai satu hukum tetapi juga menggunakan
kebiasaan lokal atau yang lebih dikenal dengan istilah customary Law(
hukum kebiasaan). Sehingga menyebabkan terjadinya dualisme sumber hukum yang
harus ditaati oleh penduduk Prancis ketika itu. Walaupun dua hukum yang
diterapkan, namun sistem hukum Romawi memiliki kultur yang kuat untuk
diterapkan.[7]
Pengaruh hukum Romawi pada teritorial Jerman
dapat ditelusuri sejak tahun 1495 dengan didirikannya pengadilan tingkat
banding dengan nama Rechtkammergericht yang berlokasi di Spayer.
Pengadilan ini terletak di sebuah kota kecil Wetzlar sebelah utara Frankfurt.
Pengadilan ini menandai permulaan penerimaan hukum romawi secara massif pada
teritorial Jerman.
Pengenalan hukum Romawi di Belanda hampir sama
dengan penerimaan di wilayah Jerman. Sistem hukum Belanda menganut sistem
kodifikasi sebagaimana juga kita mengenalnya dengan beberapa kitab, yaitu Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang, dan Peraturan Kepailitan. Sistematika yang dipakai
merupakan adopsi dari hukum Napoleon. Kecuali dengan beberapa pembaharuan hukum
yang dilakukan setelah priode kemerdekaan.[8]
2) Perkembangan di luar Eropa
Sistem hukum Romawi tidak hanya bertahan di benua Eropa tetapi juga
menyebar ke daerah-daerah lain di dunia termasuk ke Indonesia yang terapkan
oleh Pemerintahan Belanda ketika menjajah Indonesia dan tetap dipakai sampai
sekarang. Penyebaran ini dimulai dengan era kolonialisasi negara-negara barat
terhadap negara-negara lain di dunia.[9]
Sistem Hukum Romawi yang berlaku di dunia sekarang ini sudah mengalami
perubahan dan di modifikasi agar sesuai dengan tuntutan zaman yaitu
menyesuaikan kepada tuntutan dan kebutuhan masyarakatnya.[10]
Karakteristik Hukum Romawi
Sistem Hukum Romawi mempunyai tiga karakteristik, yaitu adanya kodifikasi,
hakim tidak terikat kepada preseden sehingga undang-undang menjadi sumber hukum
utama dan sistem peradilan bersifat inkuisitoral.[11]
3.
Salah
Paham Orientalis Terhadap Hukum Islam
Para Orientalis yang mempelajari Islam dan Hukum Islam mengalami
kekeliruan atau salah paham dalam memahami hukum Islam. Walaupun mereka mempelajari dan
mengadakan kajian tentang Islam dan Hukum Islam, tetapi mereka tidak bisa
terlepas dari agama yang dianutnya, bahkan mereka menyebut Hukum Islam dengan
sebutan Mohammedan Law dan menyebut agama Islam ini dengan sebutan Mohammedanism.[12]
Diantara Orientalis yang sangat intens
mengkaji tentang Hukum Islam adalah Snouck Hurgronje, beliau adalah seorang
penasehat Hukum Pemerintahan kolonial Belanda.
Orang Orientalis mengklaim bahwa Undang-Undang
Romawi merupakan salah satu sumber Fiqh Islam/Hukum Islam. Mereka beralasan :
1) Undang-Undang Romawi lebih dahulu muncul daripada Fiqh Islam,
2) Adanya kemiripan antara keduanya dalam beberapa qaidah, seperti: al-bayyinah
‘ala al-mudda’i wa al-yamin ‘ala man ankara, konsep istishlah yang merupakan azaz
mamfaat dalam Undang-Undang Romawi, fiqh= juresprudenstia, ra’yu=
opinion, nash= jus scriptum, qiyas= jus non scriptum.
3) Aspek transformasi peradaban
4) Aspek pendidikan (madrasah Iskandariyah dan Qastaniyah di Mesir)
Keterpengaruhan tersebut terjadi dalam dua fase:
1) Fase pembentukan dan pertumbuhan pada zaman Nabi saw, dimana Nabi saw
dituduh mengetahui Undang-Undang Romawi Bizantium ketika dalam perjalanan
dagang ke Syam
2) Fase kematangan pada masa sahabat, tabi’in dan mujtahidin, dimana syariat
Islam berasimilasi dengan Undang-Undang Romawi di negeri-negeri yang di
taklukkan kaum muslimin seperti Syam dan Mesir.
Tuduhan-tuduhan yang dilakukan oleh Orientalis
tersebut bisa disanggah bahwa:
1. Makkah dan Madinah tidak pernah dijajah oleh Romawi, walaupun Undang-Undang
Romawi sudah ada ketika itu namun penduduk Makkah atau Madinah tidak
bersinggungan dengan kebudayaan Romawi sehingga pengaruh hukum Romawi tidak
dirasakan di dua kota suci tersebut, ditambah lagi kultur Arab yang mempunyai rasa
kesukuan yang kuat dan tidak mudah untuk menerima hal yang baru.
2. Tidak ada satu butirpun dalam piagam Madinah ditemukan yang memuat
Undang-Undang Romawi.
3. Prinsip-prinsip Islam bersumber dari al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad saw dan hadis beliau yang otentik.
4. Fiqih diambil dari istinbath dari dalil yang terperinci.
5. Hadis lebih dahulu muncul dari pada kemenangan Islam di negara-negara yang
semula tunduk kepada Romawi.
Kesalah pahama terhadap Islam juga disebabkan karena (1) salah memahami
ruang lingkup ajaran Islam, (2) salah menggambarkan kerangka dasar ajaran
Islam, dan (3) salah mempergunakan metode mempelajari Islam.
Kesalahapahaman (1) mengenai ruang lingkup ajaran Islam terjadi, misalnya
karena orang menganggap semua agama itu samadan ruang lingkupnya sama juga.
Dipengaruhi ajaran Nasrani yang ruang lingkupnya hanya mengatur hubungan
manusia dengan Tuhan saja, orang menganggap agama Islam demikian juga halnya.
Tetapi agama Islam itu tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan belaka,
seperti yang dikandung oleh istilah religion, tetapi juga dengan
masyarakat dan alam sekitarnya. Sebagai satu sistem ia mengatur hidup dan
kehidupan manusia dalam berbagai dimensi dan karena itu ruang lingkup ajarannya
pun mencakup berbagai tata hubungan itu. Untuk menghindari salah paham orang
harus mempelajari Islam dari sumber yang asli, yaitu al-Quran dan Hadis. Jika
dipelajari dari sumber aslinya maka kita akan memperoleh gambaran yang jelas
tentang tata hubungan itu, karena al-Quran sebagai sumber pertama dan utama
agama Islam tidak hanya memuat ajaran tentang iman dan ibadah atau akidah dan
syariah saja, tetapi juga memuat akhlak tentang manusia bagaimana harus
bersikap dan berbuat dalam hidup dan kehidupannya di dunia ini terhadap dirinya
sendiri, manusia lain dan lingkungannya.[13]
Kesalahpahaman (2) terjadi karena orang salah menggambarkan kerangka dasar
ajaran Islam. Orang menggambarkan bagian-bagian agama Islam itu tidak secara
menyeluruh sebagai satu kesatuan, tetapi sepotong-sepotong atau sebagian-sebagian
saja. Misalnya, orang menggambarkan atau membuat gambaran yang memberi kesan
seakan-akan agama Islam isinya hanyalah mengenai akidah dan iman saja, atau
agama Islam hanya tentang syariah dan hukum belaka saja atau agama Islam itu
hanyalah ajaran akhlak semata-mata, tanpa meletakkan dan menghubungkan
bagian-bagian itu dalam kerangka dasar keterpaduan agama Islam secara
menyeluruh. Menggambarkan Islam dengan sepotong-sepotong inilah yang
menyebabkan Islam disalahpahami di dunia ini. Penggambaran agama Islam seperti
ini sering dilakukan oleh orang Islam sendiri tanpa disadari dan dengan sadar
karena maksud-maksud tertentu dilakukan oleh para orientalis, terutama di
masa-masa sebelum perang dunia kedua dahulu. Untuk ‘menghindari kesalahpahaman’
seperti itu maka hendaklah komponen-komponen kerangka agama Islam dipelajari
secara menyeluruh dalam satu kesatuan yang padu.[14]
Kesalahpahaman (3) terjadi karena salah mempergunakan metode mempelajari
Islam. Metode yang dipergunakan oleh orientalis, terutama sebelum perang dunia
kedua, adalah pendekatan yang tidak benar, karena mereka pada umumnya
menjadikan bagian-bagian bahkan seluruh ajaran agama Islam semata-mata hanya
sebagai objek studi dan analisis. Fazlur Rahman menggambarkan mereka itu
seperti dokter bedah mayat. Para orientalis itu meletakkan Islam diatas meja
operasinya, memotongnya bagian demi bagian dan menganalisa bagian-bagian itu
dengan menggunakan norma-norma atau ukuran-ukuran mereka sendiri yang un
Islamic. Artinya, mereka menpergunakan metode mempelajari dan menganalisis
ajaran agama Islam dengan analisis serta ukuran yang tidak islami, tidak sesuai
dengan ajaran Islam. Hasilnya, tentu saja tidak memuaskan dan pasti menimbulkan
salah paham terhadap Islam.
Metode pendekatan yang dilakukan oleh para orientalis ini tidak sesuai
dengan agama Islam. Oleh karena itu, untuk mempelajari Islam secara baik dan
benar dan agar ‘tidak salah paham terhadap Islam’, pelajarilah Islam dengan
metode yang sesuai dengan ajaran Islam. Misalnya dengan metode filosofis,
metode sejarah dan sosiologis dan lain-lain.[15]
C.
Penutup
Dari pemaparan diatas dapat ditarik
beberapa kesimpulan:
1.
Hukum Islam merupakan kaidah-kaidah atau
norma-norma yang mengatur tata kehidupan masyarakat yang tertuang dalam hukum taklifi
dan hukum wadh’i.
2.
Hukum Islam bersumber dari al-Quran dan Hadis
Nabi saw yang mengalami fase-fase sampai kepada fase pematangan yang berdiri
sendiri tidak terpengaruhi oleh undang-undang manapun di dunia saat itu.
3.
Hukum Islam mempunyai metode-metode yang
berbeda dengan hukum romawi.
4.
Hukum Romawi adalah hukum yang berlaku pada
daerah-daerah Eropa dan daerah jajahan kolonialisasi Eropa.
5.
Hukum Romawi dalam perkembangannya dewasa ini
mengalami perubahan seiring dengan tuntutan zaman walaupun sumbernya masih
berasal dari Hukum Romawi Kuno tapi sudah mengalami modifikasi atau amandemen.
6.
Banyak terjadi kesalahpaham dalam memahami
Hukum Islam terutama oleh kalangan di luar Islam seperti para Orientalis yang
mempelajari Hukum Islam hanya dengan tujuan untuk mencari celah untuk menyerang
Islam itu sendiri.
7.
Alasan-alasan yang dipakai oleh para
orientalis dalam menyerang Hukum Islam tidak bisa dipertanggungjawabkan dan
bisa dibantah. Hal tersebut sebenarnya terjadi atas kebencian mereka terhadap
Islam dan Hukum Islam.
[1] Hazairin, Tujuh Serangkai Tentang
Hukum, (Jakarta: Tintamas, 1982), hal. 68
[2] Zuhdi Masjfuk, Pengantar Hukum Syariah,
(Jakarta: Haji Mas Agung, 1977), hal. 5
[3] Prof. H. Mohammad Daud Ali, S.H, Hukum
Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 45
[5] Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, kaidah-Kaidah
Hukum Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002
[6] Ade Maman Suherman, S.H, M.Sc, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum,
(Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2008), hal. 56-57
[8] ibid
[9] Ibid
[10] Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H, Ilmu
Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000), hal 236
[11] Prof.Dr. Peter Mahmud Marzuki, S.H, MS,
LL.M, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2008), hal. 286
[12] Prof. H. Mohammad Daud Ali, S.H, Loc.Cit,
hal.5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar