Senin, 15 Februari 2016

ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM ROMAWI

A.    Pendahuluan
Di dunia ini kita tidak hanya menjumpai satu sistem hukum saja melainkan lebih dari satu. Adapun yang dimaksud dengan sistem hukum disini meliputi unsur-unsur seperti: struktur, kategori dan konsep. Perbedaan dalam unsur-unsur tersebut mengakibatkan perbedaan dalam sistem hukum yang dipakai.

Jika kita melihat sistem hukum yang ada di dunia ini bisa kita kelompokkan menjadi tiga, yaitu Sistem Hukum Eropa Benua atau yang terkenal dengan sebutan Hukum Romawi Jerman (Civil Law Sistem), Sistem Hukum Hukum Inggris (Common Law System) dan Hukum Islam.

Sebagai akibat dijajah oleh Belanda, maka Indonesia memakai sistem Hukum Romawi Jerman, disamping juga memakai Hukum Adat dan Hukum Islam untuk sebagian peraturan.

Dalam makalah ini, pemakalah hanya memaparkan antara hukum Islam dengan Hukum Romawi dan kesalahapahaman orang-orang dalam memahami Hukum Islam terutama sekali para Orientalis dan bantahannya.

B.     Pembahasan

Jika kita berbicara tentang hukum, secara sederhana yang terlintas dalam pikiran kita peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa. Hukum kadangkalanya tidak tertulis seperti hukum adat dan kadangkalanya tertulis seperti Hukum Romawi dan Hukum Islam.

1.      Hukum Islam
Perkataan hukum yang kita pergunakan sekarang dalam bahasa Indonesia berasal dari kata hukm (tanpa u antara huruf k dan m) dalam bahasa Arab. Artinya, nama atau kaidah yakni ukuran, tolak ukur, patokan, pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah laku atau perbuatan manusia. Hubungan antara perkataan hukum dalam bahasa Indonesia tersebut diatas dengan hukm dalam pengertian norma dalam bahasa Arab, memang erat sekali, sebab peraturan apapun macam dan sumbernya mengandung norma atau atau kaidah sebagai intinya.[1] Dalam ilmu hukum Islam kaidah itu disebut hukm.

Dalam sistem hukum Islam ada lima hukm atau kaidah yang dipergunakan sebagai patokan mengukur perbuatan manusia baik di bidang ibadah maupun di lapangan muamalah. Kelima jenis kaidah tersebut disebut al-ahkam al khamsah atau penggolongan hukum yang lima, yaitu (1) jaiz atau mubah atau ibahah, (2) sunnat, (3) makruh, (4) wajib, dan (5) haram.[2]

Penggolongan hukum yang lima atau yang disebut juga lima kategori hukum atau lima jenis hukum ini di dalam kepustakaan hukum Islam disebut juga dengan hukum taklifi yakni norma atau kaidah hukum Islam yang mungkin mengandung kewenangan terbuka, yaitu kebebasan memilih untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan, yang disebut jaiz, mubah  atau ibahah. Mungkin juga hukum taklifi itu mengandung anjuran untuk dilakukan karena jelas mamfaatnya bagi pelaku, disebut sunnat. Mungkin juga mengandung kaidah yang seyogyanya tidak dilakukan karena jelas tidak berguna dan akan merugikan orang yang melakukannya (makruh). Mungkin juga mengandung perintah yang wajib dilakukan (fardhu atau wajib), dan mengandung larangan untuk dilakukan (haram).[3]

Selain dari hukum taklifi tersebut diatas, Hukum Islam juga terdiri dari hukum wadh’i yakni hukum yang mengandung ‘sebab’, ‘syarat’ dan ‘halangan’ terjadinya hukum dan kandungan hukum. Ketiga kandungan hukum wadh’i itu adalah: (1) ‘Sebab’, yang menurut rumusannya, merupakan sesuatu yang tampak yang dijadikan tanda adanya hukum. Misalnya kematian menjadi sebab adanya (hukum) kewarisan. (2) ‘Syarat’ adalah sesuatu yang kepadanya tergantung suatu hukum, misalnya syarat wajib mengeluarkan zakat harta yaitu apabila sudah sampai nisabnya. (3) ‘Halangan’ atau mani’ adalah sesuatu yang dapat menghalangi hubungan hukum , misalnya pembunuhan menghalangi hubungan hukum kemarisan.[4]

Sejarah Hukum Islam
Secara garis besar hukum Islam terbagi menjadi beberapa priode, yaitu :
1)      Hukum Islam pada masa Rasululullah, pada masa ini hukum Islam yang berlaku bersumber dari al-Quran yang masih diwahyukan kepada beliau dan Hadis beliau.
2)      Hukum Islam pada Masa Sahabat, pada masa ini perkembangan hukum Islam cukup berkembang dikarenakan banyak sahabat r.a yang berijtihad untuk menentukan hukum yang tidak ditemukan dalam al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad Saw.
3)      Hukum Islam pada masa Tabi’in, pada masa ini hukum Islam ditandai dengan munculnya aliran-aliran politik yang secara implisit mendorong terbentuknya aliran hukum. Perkembangan ini dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu perluasan wilayah dan penggunaan ra’yu. Sedangkan sumber hukum Islam pada masa ini al-Quran, Sunnah, Ijma’ dan Ijtihad.
4)      Hukum Islam pada masa pembentukan Madzhab, pada masa ini perkembangan hukum Islam sangat pesat, keadaan ini ditandai dengan banyaknya ulama dan umat Islam yang berijtihad sehingga menghasilkan hukum yang baru faktor pendukungnya yaitu berkembangnya pemikiran dan upaya umat Islam melestarikan al-Quran. Sedangkan sumber hukum Islam pada masa ini ada dua yaitu muttafaq alai (al-Quran, Sunnah, Ijma, Qiyas) dan mukhtalaf alaih ( Istihsan, Maslahah Mursalah, Istishab, ‘Urf, Madzhab Shahabi dan lain-lain).[5]

2.      Hukum Romawi

Romawi terbawi dua yaitu: (1) Barat dengan ibukotanya Roma berdiri tahun 754 SM, bertahan 10 abad, terletak antara lautan Adriatik di Barat, Sunggah Diliyah di Timur, Negeri tatar di Selatan dan Habasyah di timur, (2) Bizantium di Timur, ibukotanya Konstantinopel, meliputi wilayah: Wilayah Yunani, Balkan, Asia, Suriah, Palestina, Laut Tengah semuanya, Mesir dan semua Afrika Utara.

Hukum Romawi yang dikenal juga dengan istilah Civil Law atau Hukum Sipil merupakan istilah yang diambil dari sumber hukum sipil itu sendiri pada zaman kaisar Justianus yang bernama corpus juris civilis yang terdiri dari empat bagian.

Hukum sipil dapat didefinisikan sebagai suatu tradisi hukum yang berasal dari Hukum Roma yang terkodifikasi dalam corpus juris civilis Justinian dan tersebar ke seluruh benua Eropa dan seluruh dunia. Kode sipil terbagi ke dalam dua cabang, yaitu:
1)      Hukum Romawi yang terkodifikasi (Kode Sipil Prancis 1804) dan daerah lainnya di benua Eropa yang mengadopsinya (Quebec dan Lousiana); dan
2)      Hukum Romawi yang tidak terkodifikasi (Skotlandia dan Afrika Selatan). Hukum kode sipil sangat sistematis, terstruktur yang berdasarkan deklarasi para dewan, prinsip-prinsip umum dan sering menghindari hal-hal detail.[6]
Sejarah Perkembangan Hukum Sipil
Sejarah perkembangan Hukum sipil Romawi dapat dibagi ke dalam dua tahapan, yaitu:
1)      Perkembangan di Eropa
Perkembangan hukum Romawi di Eropa bisa kita tenggok di tiga daerah yang termasuk ke dalam kekaisaran Romawi yaitu Prancis, Jerman dan Belanda.

Dalam menerapkan hukum Romawi yang terkodifikasi, Prancis tidak hanya memakai satu hukum tetapi juga menggunakan kebiasaan lokal atau yang lebih dikenal dengan istilah customary Law( hukum kebiasaan). Sehingga menyebabkan terjadinya dualisme sumber hukum yang harus ditaati oleh penduduk Prancis ketika itu. Walaupun dua hukum yang diterapkan, namun sistem hukum Romawi memiliki kultur yang kuat untuk diterapkan.[7]

Pengaruh hukum Romawi pada teritorial Jerman dapat ditelusuri sejak tahun 1495 dengan didirikannya pengadilan tingkat banding dengan nama Rechtkammergericht yang berlokasi di Spayer. Pengadilan ini terletak di sebuah kota kecil Wetzlar sebelah utara Frankfurt. Pengadilan ini menandai permulaan penerimaan hukum romawi secara massif pada teritorial Jerman.

Pengenalan hukum Romawi di Belanda hampir sama dengan penerimaan di wilayah Jerman. Sistem hukum Belanda menganut sistem kodifikasi sebagaimana juga kita mengenalnya dengan beberapa kitab, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, dan Peraturan Kepailitan. Sistematika yang dipakai merupakan adopsi dari hukum Napoleon. Kecuali dengan beberapa pembaharuan hukum yang dilakukan setelah priode kemerdekaan.[8]

2)      Perkembangan di luar Eropa
Sistem hukum Romawi tidak hanya bertahan di benua Eropa tetapi juga menyebar ke daerah-daerah lain di dunia termasuk ke Indonesia yang terapkan oleh Pemerintahan Belanda ketika menjajah Indonesia dan tetap dipakai sampai sekarang. Penyebaran ini dimulai dengan era kolonialisasi negara-negara barat terhadap negara-negara lain di dunia.[9]
Sistem Hukum Romawi yang berlaku di dunia sekarang ini sudah mengalami perubahan dan di modifikasi agar sesuai dengan tuntutan zaman yaitu menyesuaikan kepada tuntutan dan kebutuhan masyarakatnya.[10]
Karakteristik Hukum Romawi
Sistem Hukum Romawi mempunyai tiga karakteristik, yaitu adanya kodifikasi, hakim tidak terikat kepada preseden sehingga undang-undang menjadi sumber hukum utama dan sistem peradilan bersifat inkuisitoral.[11]

3.      Salah Paham Orientalis Terhadap Hukum Islam

Para Orientalis yang mempelajari Islam dan Hukum Islam mengalami kekeliruan atau salah paham dalam memahami hukum Islam. Walaupun mereka mempelajari dan mengadakan kajian tentang Islam dan Hukum Islam, tetapi mereka tidak bisa terlepas dari agama yang dianutnya, bahkan mereka menyebut Hukum Islam dengan sebutan Mohammedan Law dan menyebut agama Islam ini dengan sebutan Mohammedanism.[12]

Diantara Orientalis yang sangat intens mengkaji tentang Hukum Islam adalah Snouck Hurgronje, beliau adalah seorang penasehat Hukum Pemerintahan kolonial Belanda.

Orang Orientalis mengklaim bahwa Undang-Undang Romawi merupakan salah satu sumber Fiqh Islam/Hukum Islam. Mereka beralasan :
1)      Undang-Undang Romawi lebih dahulu muncul daripada Fiqh Islam,
2)      Adanya kemiripan antara keduanya dalam beberapa qaidah, seperti: al-bayyinah ‘ala al-mudda’i wa al-yamin ‘ala man ankara,  konsep istishlah yang merupakan azaz mamfaat dalam Undang-Undang Romawi, fiqh= juresprudenstia, ra’yu= opinion, nash= jus scriptum, qiyas= jus non scriptum.
3)      Aspek transformasi peradaban
4)      Aspek pendidikan (madrasah Iskandariyah dan Qastaniyah di Mesir)
Keterpengaruhan tersebut terjadi dalam dua fase:
1)      Fase pembentukan dan pertumbuhan pada zaman Nabi saw, dimana Nabi saw dituduh mengetahui Undang-Undang Romawi Bizantium ketika dalam perjalanan dagang ke Syam
2)      Fase kematangan pada masa sahabat, tabi’in dan mujtahidin, dimana syariat Islam berasimilasi dengan Undang-Undang Romawi di negeri-negeri yang di taklukkan kaum muslimin seperti Syam dan Mesir.
Tuduhan-tuduhan yang dilakukan oleh Orientalis tersebut bisa disanggah bahwa:
1.      Makkah dan Madinah tidak pernah dijajah oleh Romawi, walaupun Undang-Undang Romawi sudah ada ketika itu namun penduduk Makkah atau Madinah tidak bersinggungan dengan kebudayaan Romawi sehingga pengaruh hukum Romawi tidak dirasakan di dua kota suci tersebut, ditambah lagi kultur Arab yang mempunyai rasa kesukuan yang kuat dan tidak mudah untuk menerima hal yang baru.
2.      Tidak ada satu butirpun dalam piagam Madinah ditemukan yang memuat Undang-Undang Romawi.
3.      Prinsip-prinsip Islam bersumber dari al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw dan hadis beliau yang otentik.
4.      Fiqih diambil dari istinbath dari dalil yang terperinci.
5.      Hadis lebih dahulu muncul dari pada kemenangan Islam di negara-negara yang semula tunduk kepada Romawi.
Kesalah pahama terhadap Islam juga disebabkan karena (1) salah memahami ruang lingkup ajaran Islam, (2) salah menggambarkan kerangka dasar ajaran Islam, dan (3) salah mempergunakan metode mempelajari Islam.
Kesalahapahaman (1) mengenai ruang lingkup ajaran Islam terjadi, misalnya karena orang menganggap semua agama itu samadan ruang lingkupnya sama juga. Dipengaruhi ajaran Nasrani yang ruang lingkupnya hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan saja, orang menganggap agama Islam demikian juga halnya. Tetapi agama Islam itu tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan belaka, seperti yang dikandung oleh istilah religion, tetapi juga dengan masyarakat dan alam sekitarnya. Sebagai satu sistem ia mengatur hidup dan kehidupan manusia dalam berbagai dimensi dan karena itu ruang lingkup ajarannya pun mencakup berbagai tata hubungan itu. Untuk menghindari salah paham orang harus mempelajari Islam dari sumber yang asli, yaitu al-Quran dan Hadis. Jika dipelajari dari sumber aslinya maka kita akan memperoleh gambaran yang jelas tentang tata hubungan itu, karena al-Quran sebagai sumber pertama dan utama agama Islam tidak hanya memuat ajaran tentang iman dan ibadah atau akidah dan syariah saja, tetapi juga memuat akhlak tentang manusia bagaimana harus bersikap dan berbuat dalam hidup dan kehidupannya di dunia ini terhadap dirinya sendiri, manusia lain dan lingkungannya.[13]
Kesalahpahaman (2) terjadi karena orang salah menggambarkan kerangka dasar ajaran Islam. Orang menggambarkan bagian-bagian agama Islam itu tidak secara menyeluruh sebagai satu kesatuan, tetapi sepotong-sepotong atau sebagian-sebagian saja. Misalnya, orang menggambarkan atau membuat gambaran yang memberi kesan seakan-akan agama Islam isinya hanyalah mengenai akidah dan iman saja, atau agama Islam hanya tentang syariah dan hukum belaka saja atau agama Islam itu hanyalah ajaran akhlak semata-mata, tanpa meletakkan dan menghubungkan bagian-bagian itu dalam kerangka dasar keterpaduan agama Islam secara menyeluruh. Menggambarkan Islam dengan sepotong-sepotong inilah yang menyebabkan Islam disalahpahami di dunia ini. Penggambaran agama Islam seperti ini sering dilakukan oleh orang Islam sendiri tanpa disadari dan dengan sadar karena maksud-maksud tertentu dilakukan oleh para orientalis, terutama di masa-masa sebelum perang dunia kedua dahulu. Untuk ‘menghindari kesalahpahaman’ seperti itu maka hendaklah komponen-komponen kerangka agama Islam dipelajari secara menyeluruh dalam satu kesatuan yang padu.[14]
Kesalahpahaman (3) terjadi karena salah mempergunakan metode mempelajari Islam. Metode yang dipergunakan oleh orientalis, terutama sebelum perang dunia kedua, adalah pendekatan yang tidak benar, karena mereka pada umumnya menjadikan bagian-bagian bahkan seluruh ajaran agama Islam semata-mata hanya sebagai objek studi dan analisis. Fazlur Rahman menggambarkan mereka itu seperti dokter bedah mayat. Para orientalis itu meletakkan Islam diatas meja operasinya, memotongnya bagian demi bagian dan menganalisa bagian-bagian itu dengan menggunakan norma-norma atau ukuran-ukuran mereka sendiri yang un Islamic. Artinya, mereka menpergunakan metode mempelajari dan menganalisis ajaran agama Islam dengan analisis serta ukuran yang tidak islami, tidak sesuai dengan ajaran Islam. Hasilnya, tentu saja tidak memuaskan dan pasti menimbulkan salah paham terhadap Islam.
Metode pendekatan yang dilakukan oleh para orientalis ini tidak sesuai dengan agama Islam. Oleh karena itu, untuk mempelajari Islam secara baik dan benar dan agar ‘tidak salah paham terhadap Islam’, pelajarilah Islam dengan metode yang sesuai dengan ajaran Islam. Misalnya dengan metode filosofis, metode sejarah dan sosiologis dan lain-lain.[15]
  
C.     Penutup

Dari pemaparan diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan:
1.      Hukum Islam merupakan kaidah-kaidah atau norma-norma yang mengatur tata kehidupan masyarakat yang tertuang dalam hukum taklifi dan hukum wadh’i.
2.      Hukum Islam bersumber dari al-Quran dan Hadis Nabi saw yang mengalami fase-fase sampai kepada fase pematangan yang berdiri sendiri tidak terpengaruhi oleh undang-undang manapun di dunia saat itu.
3.      Hukum Islam mempunyai metode-metode yang berbeda dengan hukum romawi.
4.      Hukum Romawi adalah hukum yang berlaku pada daerah-daerah Eropa dan daerah jajahan kolonialisasi Eropa.
5.      Hukum Romawi dalam perkembangannya dewasa ini mengalami perubahan seiring dengan tuntutan zaman walaupun sumbernya masih berasal dari Hukum Romawi Kuno tapi sudah mengalami modifikasi atau amandemen.
6.      Banyak terjadi kesalahpaham dalam memahami Hukum Islam terutama oleh kalangan di luar Islam seperti para Orientalis yang mempelajari Hukum Islam hanya dengan tujuan untuk mencari celah untuk menyerang Islam itu sendiri.
7.      Alasan-alasan yang dipakai oleh para orientalis dalam menyerang Hukum Islam tidak bisa dipertanggungjawabkan dan bisa dibantah. Hal tersebut sebenarnya terjadi atas kebencian mereka terhadap Islam dan Hukum Islam.




[1] Hazairin, Tujuh Serangkai Tentang Hukum, (Jakarta: Tintamas, 1982), hal. 68
[2] Zuhdi Masjfuk, Pengantar Hukum Syariah, (Jakarta: Haji Mas Agung, 1977), hal. 5
[3] Prof. H. Mohammad Daud Ali, S.H, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 45
[4] Ibid, hal. 46
[5] Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002
[6] Ade Maman Suherman, S.H, M.Sc,  Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, (Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2008), hal. 56-57
[7] Ibid, hal, 58-59
[8] ibid
[9] Ibid
[10] Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000), hal 236
[11] Prof.Dr. Peter Mahmud Marzuki, S.H, MS, LL.M, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal. 286
[12] Prof. H. Mohammad Daud Ali, S.H, Loc.Cit, hal.5
[13] Ibid, hal 65-66
[14] Ibid, hal 68
[15] Ibid, hal 70

Tidak ada komentar:

Posting Komentar