Islam memuat tiga dimensi dasar yang harus dimiliki setiap muslim,
yaitu Iman, Islam dan Ihsan, sebagaimana halnya Jibril as bertanya tentang tiga
hal ini kepada Rasulullah SAW. Para ulama yang berjasa mempertahankan kesucian
agama Islam juga dapat digolongkan dalam tiga kelompok besar. Kelompok yang
pertama adalah menjaga kedudukan Islam dan pokok-pokok ajarannya, adapun
kelompok kedua adalah memelihara dan mempertahankan kedudukan Iman dan
dasar-dasarnya, dan kelompok yang ketiga adalah penjaga kedudukan Ihsan[1].
Maka dalam makalah ini, penulis akan membahas kelompok yang ketiga
ini, yang biasa dikenal sebagai para sufi dengan ajaran tasawufnya. Yang mana tujuan
terpenting dari ajaran tasawuf adalah mendekatkan diri sedekat-dekatnya dengan
Allah, maka dekat dengan Allah akan melahirkan beberapa ajaran mendasar dalam
tasawuf, yaitu al-Hub al-Illahi (kecintaan dan kerinduan kepada Allah), al-Wahdat
as-Syuhud (menyatu dengan Allah) dan al-Mukasyafah (penangkapan
langsung terhadap Allah tanpa ada halangan).
Ciri utama para sufi ialah usahanya yang gigih untuk mencapai
puncak ma’rifah hingga berujung dengan pertemuan kepada Allah. Cinta
yang tumbuh karena cerahnya mata batin dalam melihat kemakhlukan diri, serta
kesadaran akan kasih sayang Allah yang selalu dirasakan tak pernah berhenti
membelai dirinya, dan ikhlas mengorbankan segala yang dimiliki (kekayaan,
kehendak, kehidupan) dan apapun yang bermakna bagi manusia semata hanya untuk
yang tercinta tanpa mengharapkan ganjaran sedikitpun. Mereka sudah tidak
mengenal berbagai hal yang bermakna manusia lagi, kalau masih ada rasa bahwa aku
adalah aku dan engkau adalah engkau, maka belumlah sampai kepada
inti cinta, begitu dalam cinta tersebut hingga kadang merasa mampu bersatu
dengan Tuhan. Sebagaimana tokoh sufi wanita Rabi’ah al-Adawiyah yang terkenal
dengan kecintaannya terhadap sang Kholiq.
Disamping Rabi’ah al-Adawiyah, penulis disini juga akan membahas
tokoh sufi Dzu an-Nun al-Mishri yang melahirkan paham baru dalam dunia tasawuf
yaitu al-mukasyafah, sehingga beliau digelar dengan bapak ma’rifah, dan ia menggambarkan mukasyafah
bahwa ia berada bersama Allah, karena keberadaan itulah ia mengenal Allah lebih
jelas.
Untuk lebih jelasnya mengenal dua sosok tokoh sufi ini beserta
ajarannya, akan penulis paparkan dalam pembahasan berikut ini.
II.
Pembahasan
A.
Rabia’ah Al-Adawiyah
1.
Biografi Rabi’ah al-Adawiyah
a.
Kelahiran Rabi’ah al-Adawiyah
Biografi Rabi’ah al-Adawiyah banyak ditulis orang sampai orang
barat sekalipun, seperti Margaret Smith, Masingon dan Nicholson. Namun penulis
disini hanya menukil biografi yang ditulis oleh Muhammad Athiyah Khomis[2].
Pada abad kedua Hijriyah, Irak telah menjadi sebuah negeri Islam
yang berkembang pesat dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Salah satu pusat
ilmu pengetahuan yang berkembang pada waktu itu adalah kota Basrah, ia menjadi
pusat perhatian para ahli filsafat, alim ulama dan cendekiawan dari berbagai
negeri Islam. Akan tetapi di tengah-tengah kegiatan ilmu pengetahuan, daerah
Basrah juga tidak lepas dari kehidupan keduniawian dan kemewahan yang menjadi ciri
kerajaan Persia, sehingga di Basrah terlihat dengan jelas gaya kehidupan yang
meniru-niru cara hidup yang banyak terdapat di istana Persia, karena keberadaan
kota Basrah yang berdekatan dengan Persia.
Di tengah-tengah kehidupan seperti itu, masih terdapat kelompok
muslimin yang tinggal di berbagai bagian kota dalam gubuk-gubuk yang reot.
Disebuah gubuk tinggallah sebuah keluarga[3]
yang hidup dalam kemiskinan, ia hidup dengan penuh taqwa dan iman Kepada Allah,
tak henti-hentinya ia beribadah dan berzikir kepada Allah.
Hampir dalam setiap tahun keluarga Ismail dikarunia seorang bayi
perempuan, dan sampai saat itu, ia telah diberi Allah tiga orang putri. Setiap
melahirkan seorang putri, sang ibu selalu menyambutnya dengan air mata, karena
ia merasa kehadiran putrinya merupakan beban yang tak terpikulkan lagi karena
kemiskinan keluarga itu. Namun suaminya menyambut kehadiran putrinya itu dengan
rasa syukur dan pasrah, karena ia berkeyakinan
setiap kelahiran bayi perempuan pun merupakan suatu tanda karunia Allah
kepada hamba-Nya.
Disuatu malam yang gelap gulita, untuk keempat kalinya keluarga
yang miskin itu dikejutkan oleh rintihan ibu yang akan melahirkan. Di rumah
gubuk itu tidak ada pembantu atau sanak keluarga yang dapat membantu kecuali
hanya sang suami yang sholeh, Sang suami merasakan kepedihan yang tak
tertahankan, dikantongnya tak ada uang sedinar pun, bahkan minyak sebagai bahan
penerang gubuknya pada waktu itu tidak ada, sedangkan istrinya makin lama
semakin keras rintihannya, sehingga terlintaslah dipikirannya untuk minta
bantuan kepada tetangganya, namun rasa malu dan harga diri menghalanginya untuk
meminta bantuan kepada tetangga, karena ia telah berjanji kepada Allah tidak
akan memohon bantuan kepada manusia kecuali hanya kepada Allah.
Tapi karena rintihan istrinya yang tiada henti-hentinya untuk
mendapatkan pertolongan memaksa suaminya untuk meminta bantuan kepada tetangga,
maka dengan rasa berat hati, ia datangi rumah tetangganya dimalam hari itu
dengan harapan agar mendapatkan bantuan berupa sedikit minyak atau kain untuk
pembalut bayi, namun tak seorang pun dari tetangganya yang sedang tertidur
lelap untuk bersedia membukakan pintu. Maka dengan rasa sedih, bapak yang
malang itu kembali ke gubuknya dengan tangan hampa dan menemui istrinya yang
masih merintih kesakitan. Tak kuat menahan air pedih perasaannya, maka
bercucuranlah air matanya, dan tidak ada jalan lain kacuali hanya dengan
memohon kepada Allah SWT.
Dengan pertolongan Allah, terdengarlah tangis bayi yang memecah
kekesunyian malam, dan membangunkan ayahnya yang sedang harap-harap cemas,
semoga kali ini dikarunia Allah anak laki-laki, supaya kelak bisa mambantu
kehidupannya. Namun itu hanya sebuah harapan saja dan tidak menjadi sebuah
kenyataan, karena ternyata anaknya yang keempat itu juga seorang bayi
perempuan.
Namun Ismail adalah seorang muslim yang sabar dan taqwa, dan tidak
memperlihatkan rasa kekecewaan sedikit pun terhadap istrinya, tetapi dengan
persaan gembira ia bertanya kepada istrinya:”apakah nama sebaiknya yang kita
berikan kepada putrid kita ini?, baiklah karena ia adalah anak keempat kita
namakan saja Rabi’ah, dengan nama lengkapnya Rabi’ah Binti Ismail al-Adawiyah
al-Bashriyah, yang lahir pada tahun 95 H/713 M[4].
dinamakan Rabi’ah karena ia adalah anak keempat, dan al-Adawiyah karena ia berasal
dari Bani Adawiyah, dan dilahirkan di kota Basrah. Dialah perempuan sufi yang paling
terkenal, yang sering juga disebut Rabi’ah al-Basrah.
b.
Gadis Kecil Yang Shalehah
Rabi’ah tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga yang biasa
dengan kehidupan orang shaleh dan penuh zuhud, sejak kecil telah tampak
kecerdasan dari dirinya yang tak biasanya dimiliki oleh anak kecil lainnya, dan
ia juga sudah menyadari penderitaan yang dihadapi orang tuanya, sehingga ia
menjadi pendiam dan tidak menuntut terlalu banyak dari orang tuanya seperti
gadis kecil lainnya yang sedang menginjak usia dewasa.
Dalam kehidupan sehari-hari, ia selalu memperhatikan orang tuanya
beribadah, dan ia selalu melakukan ibadah sesuai dengan yang dilihatnya dan
didengarnya dari ayahnya. Ia telah terdidik menjadi anak yang berbudi luhur dan
berakhlak mulia. Pernah suatu hari, ketika seluruh anggota keluarga telah duduk
disekitar meja makan, kecuali Rabi’ah, ia masih memandang ayahnya, seolah-olah
minta penjelasan dari ayahnya tentang makanan yang terhidang. Karena ayahnya
masih berdiam diri, Rabi’ah berkata: ” ayah, aku tidak ingin ayah menyediakan
makanan yang tidak halal”. Dengan keheranan ayahnya menatap putrinya yang masih
kecil dan menjawab: ” Rabi’ah bagaimana pendapatmu, jika tiada lagi yang bisa
kita peroleh kecuali makanan yang haram?, lalu Rabi’ah menjawab: “ biar saja
kita menahan lapar di dunia ini lebih baik dari pada kita menahannya kelak di
akhirat dalam api neraka”. Ayahnya sangat heran mendengar jawaban anaknya yang
masih kecil, karena jawaban seperti itu biasanya didengarnya dari majlis-majlis
yang dihadiri oleh orang-orang sufi atau sholeh[5].
c.
Rabi’ah Sebagai Anak Yatim Piatu
Dalam usianya yang masih muda, ayahnya berpulang kerahmatullah
kemudian juga disusul oleh ibunya. Dengan demikian, sejak kecil ia sudah
kehilangan kasih sayang orang tuanya dan mersa betapa pahitnya penderitaan anak
yatim yang hidup dalam kemiskinan, jadilah ia kini sebagai anak yatim piatu.
Penderitaannya terus bertambah, terutama setelah kota Basrah
dilanda kelaparan hebat, ia dan saudara-saudaranya terpaksa harus berpencar,
sehingga ia harus menaggung beban penderitaan itu sendirian. Suatu ketika
Rabi’ah sedang berjalan-jalan di kota Basrah, ia dihadang oleh segerombolan
penyamun, karena tak kuasa menyelamatkan diri, ia tertangkap dan dijual sebagai
hamba sahaya dengan harga yang sangat murah yaitu seharga enam dirham[6].
Dalam statusnya sebagai budak, ia diberlakukan benar-benar kurang
manusiawi, siang malam tenaganya diperas tanpa istirahat. Rabi’ah sadar akan
dirinya sebagai hamba sahaya dan selalu diperas oleh majikannya, sehingga
keadaan yang demikian membuatnya untuk selalu bermunajat dan meminta
petunjuk kepada Allah. Dalam suasana duka dan pedih dengan penderitaan dan
himpitan tugas yang diberi majikannya, ia sering mendapat bisikan suara
yang mengatakan ”janganlah bersedih, sebab pada saat hari perhitungan nanti,
derajatmu akan sama dengan orang-orang yang terdekat dengan Allah di dalam
surga”[7].
Dari hari kehari perubahan selalu terjadi dalam dirinya, dan ia
semakin tidak menghiraukan lagi sekelilingnya, meskipun tugas-tugasnya setiap
hari tetap dilaksanakannya. Pada suatu malam, majikannya menyaksikannya sedang
sujud mengerjakan sholat malam, dan ia
berdo’a: “ Ya Robbi, Engkau maha tahu bahwa aku ingin selalu bersama-Mu,
hati nuraniku sangat ingin berbakti sekuat tenaga kepada-Mungkau, seandainya
aku yang menentukan keadaanku, maka sejenak pun aku tak ingin menghentikan
baktiku pada-Mu, tetapi Engkau telah menempatkan aku dibawah kemurahan hati
orang lain”[8].
Pada pagi harinya, Rabi’ah dipanggil oleh majikannya, dan berkata
padanya: “ Wahai Rabi’ah aku telah memutuskan untuk memerdekakanmu dengan
sepenuhnya, seandainya kamu tetap ingin menetap tinggal dirumahku ini, kami
semua akan gembira dan menerima kamu sebagai orang yang bebas dan menerima
fasilitas dari kami, tetapi jika kamu berkeingnan meninggalkan rumah kami ini,
kami mendo’akan keselamatan bagimu”[9].
Maka Rabi’ah memilih untuk meninggalkan rumah itu dan kembali ke desa
dimana ia dilahirkan dengan membina kehidupan baru yang menolak kesenangan dan
kelezatan dunia. Kehidupan yang dibinanya atas dasar zuhud dan mengisinya
hanya semata-mata beribadah kepada Allah[10].
d.
Kematian Rabi’ah al-Adawiyah
Rabi’ah meninggal pada tahun 185 H/ 801 M di kota Basrah, kota
tempat kelahirannya, ketika itu ia berusia 90 tahun[11].
Kematian Rabi’ah membuat orang yang mengenalnya hampir tak percaya,
bahwa perempuan suci itu akan segera meninggalkan alam fana ini dan
menjumpai Tuhan yang sangat dicintainya. Orang-orang kehilangan Rabi’ah, karena
dialah perempuan yang selama hidupnya penuh dengan penderitaan, namun tak
bergantung kepada manusia. Setiap orang pasti akan mengenal Rabi’ah sebagai
seorang sufi yang telah berjumpa dengan Tuhannya.
2.
Konsep al-Hub al-Illahi Menurut Rabi’ah al-Adawiyah
Al-Hub atau cinta
merupakan gagasan keruhanian yang tidak muncul secara tiba-tiba dalam ilmu
tasawuf, tetapi berkembang setelah tasawuf meninggalkan wujudnya sebagai
gerakan keruhanian yang bersahaja. Ketika ilmu tasawuf
muncul pada abad ke 8 M atau 2 H, ia masih merupakan gerakan yang menekankan
pola kehidupan zuhud, dan cinta pada masa ini belum lagi dipandang penting,
akan tetapi cinta tampil sebagai peringkat keruhanian penting setelah munculnya
ahli-ahli tasawuf terkemuka seperti Rabia’ah al-Adawiyah, Ja’far as-Shadiq dan
lain-lain[12].
Menurut Rabi’ah al-Adawiyah al-hub al- illahi merupakan
cetusan dari perasaan jiwa yang rindu dan pasrah terhadap Allah, seluruh ingatan
dan perasaan tertuju kepada-Nya dan cinta dalam ilmu tasawuf juga merupakan landasan ketaatan dan ketaqwaan kepada sang kholiq.
Hal ini tergambar dalam ungkapannya: “ Wahai Tuhanku tenggelamkanlah aku dalam
mencintaimu, sehingga tidak membimbangkan aku dari padamu. Ya Tuhan bintang
dilangit telah gemerlapan, mata telah bertiduran, pintu-pintu istana telah
dikunci dan tiap pecinta telah menyendiri dengan yang dicintainya, dan inlah
aku berada dihadhiratMu. Tuhanku malam telah berlalu dan siang segera datang,
aku gelisah apakah amalan aku Engkau terima hingga aku merasa bahagia, apakah
Engkau tolak sehingga aku merasa sedih. Demi kemahakuasaanMu,, inilah yang aku
lakukan sehingga Engkau beri hayat (hidup), sehingga Engkau usir aku dari
hadapanMu aku tak akan pergi, karena cinta padaMu telah memenuhi hatiku[13].
Cinta Rabi’ah kepada Allah telah terpatri dengan kuat, tertulis
dengan tinta emas, tergantung direlung-relung hati, bahkan seluruh pintu-pintu
cinta untuk selain Allah telah tertutup rapat, sebagaimana terlihat dalam munajatnya:
“ Buat hatiku, hanya Engkau yang aku kasihi, beri ampunlah pembuat dosa yang
datang kehadhiratMu. Engkau harapanku, kebahagian dan kesenanganku, hatiku
telah enggan mencintai selain dari Engkau:.
Rasa cinta yang dirasakan oleh Rabi’ah adalah cinta yang murni,
suci sempurna, dan cinta spiritual (cinta Qudus) yang sudah tertanam
didalam hatinya, bukan cinta nafsu (al-hub al hawa), dan ia menjadikan
cinta sebagai media renungan terhadap keindahan abadi Tuhan.
Cinta yang sempurna menurut
Rabi’ah seperti seorang pecinta (muhib) yang hanyut dalam ketiadaan dan
hilang diri (fanâ) dan menyatukan diri dengan-Nya dan menjadi milik-Nya[14],
dan membuat ia tenggelam dalam zikir, beribadah dan membaca al-Qur’an.
Berdasarkan pengalaman rohaniah yang dilakukan Rabi’ah dalam
menggapai al-hub al-illahi, terdapat beberapa cara yang dilakukanya
untuk mengantarkannya kepada tingkatan tersebut, diantaranya:
a. Bangun di waktu malam
Rabi’ah telah menepati janjinya kepada Allah,
ia selalu dalam keadaan beribadah kepada Allah sampai menemui ajalnya, bahkan
ia selalu sholat tahajjud sepanjang malam sampai tibanya waktu fajar. Dengan
amal ibadahnya, wajah Rabi’ah selalu kelihatan berseri-seri, karena orang yang
mendekatkan dirinya kepada Allah melalui tahjjud akan mendapatkan limpahan
cahaya Illahi. Ketika dalam melaksanakan sholat, Rabi’ah selalu menangis,
sehingga orang-orang selalu mendapati tempat sujudnya bersimbah air mata,
karena kekhusukannya dalam beribadah dan hatinya hanya tertuju kepada Allah.
Demikianlah Rabi’ah mengawali kehidupan piritualnya setelah mengadakan uzlah
dengan melakukan tahajjud, bangun malam dan selalu ingat akan kematian[15].
b. Tidak menikah seumur hidup
Rabi’ah al-Adawiyah menempuh jalan hidupnya
dengan cara zuhud dan beribadah kepada Allah SWT. Selama hidupnya ia tak pernah
menikah, walaupun ia seorang wanita yang cantik dan menarik, juga orang yang
cerdas dan luas ilmunya. Walaupun ia tak pernah menikah, namun ia sadar bahwa
perkawinan termasuk sunnah agama Islam, sebab dalam Islam tak ada rahbaniyyah
(kependetaan), kalau demikian apa sebabnya Rabi’ah tidak pernah menikah selama hidupnya, padahal tidak
sedikit laki-laki yang berupaya untuk mendekatinya bahkan untuk meminangnya?
Menurut Athiyah Khamis, alasan mengapa Rabi’ah
tidak menikah selama hidupnya karena kemungkinan sekali ia terpengaruh oleh penderitaan
yang dialaminya ketika ia jatuh ditangan laki-laki yang memperlakukannya dengan
kejam, ia tidak mungkin melupakan begitu saja pencuri yang telah menculiknya lalu
menjualnya sebagai hamba sahaya. Disamping itu, alasan lainnya ialah
kecenderungan yang terjadi pada masa hidupnya. Manusia telah tenggelam dalam
kemewahan hidup yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, sehingga ia lebih senang
memilih hidup terasing dan jauh dari kebisingan duniawi[16].
Pada suatu ketika, sesorang bertanya kepada
Rabi’ah, mengapa kamu tidak mau menikah?, ia menjawabnya: ada tiga
keprihatinanku, bila ada orang yang bisa menghilangkan keprihatinanku, maka aku
akan menikahinya. Kemudian ia mengemukan tiga permasalahan tersebut, pertama,
bila aku meninggal dunia, maka aku akan menghadap Tuhanku, apakah dalam keadaan
beriman atau suci?. Kedua, apakah aku akan menerima kitab amalanku
dengan tangan kanan?. Ketiga, bila telah datang hari kiamat dan orang
dari kelompok kanan telah masuk surga, dan orang dari kelompok kiri telah masuk
neraka, maka dalam kelompok manakah aku?, orang itu menjawab: “aku tidah tahu
apa-apa tentang pertanyaanmu, tetapi masalah itu hanya diketahui Allah SWT.
Rabi’ah berkata: jika demikian halnya, maka aku akan tetap dalam keadaan cemas
dan prihatin, bagaimana aku akan mampu berumah tangga dengan orang yang tidak
bisa menghilangkan keprihatinanku??. Alasan Rabi’ah ini menggabarkan bahwa
memang tidak ada niat baginya untuk membagi cinta kepada Allah dengan makhluk
ciptaan-Nya.
Itulah
sebabnya, Rabi’ah tidak mau menikah selama hidupnya, karena kekhusukannya
beribadah kepada Allah menyebabkan ia tak sanggup melangkah kejenjang rumah
tangga, akal dan pikirannya hanya terpusat kepada Allah, dan dalam hatinya
hanya tersedia tempat untuk mencintai Allah.
c. Meningkatkan kesucian jiwa
Rabi’ah al-Adawiyah berhasil mencapai kesucian
jiwa dengan cara mengumpulkan ilmu pengetahuan, pengamblengan jiwa dan watak.
Penerapan sikap zuhud dalam kehidupan dunia telah menyebabkan kemurnian
cintanya kepada Allah semakin subur. Cinta Illahi yang dikembangkan Rabi’ah
telah mendorongnya untuk menempuh arah baru dalam hidupnya. Ia bertanya apakah
yang mendorong seseorang beribadah kepada Allah?, apakah karena mengharapkan
surga atau takut pada neraka?, bukankah sudah selayaknya manusia beribadah dan
mengabdi kepadaNya walaupun Dia tidak menyediakan surga atau neraka?. Dengan
demikian, Rabi’ah selalu berusaha meningkatkan martabatnya dalam bidang
kerohanian dari tingkat ibadat dan zuhud, ketingkat ridha dengan putusan dan
ketentuan Allah, lalu meningkat lagi dari tingkat zikir dan ihsan (kebajikan)
ke tingkat cinta (mahabbah) dan ma’rifah[17].
Rabi’ah merupakan orang pertama yang mampu membuat pembagian cinta
sehingga lebih mendekat kepada perasaan. Cinta menurut Rabi’ah ada dua macam:
cinta karena dorongan hati belaka dan cinta yang didorong karena hendak
membesarkan dan mengagungkan. Dia mencintai Allah karena ia merasakan dan
menyadari betapa besar nikmat dan kekuasaan-Nya, sehingga cintanya menguasai
seluruh relung hatinya, ia mencintai Allah karena hendak membesarkan dan
mengaungkan-Nya.
Rabia’ah mempunyai syair yang memperlihatkan betapa dalam cintanya
kepada Illahi:
Kekasihku tak ada yang menandingi-Nya
Hatiku hanya tercurah pada-Nya
Kekasihku tidak tampak padaku
Namun dalam hatiku tidak pernah sirna
Dalam
syairnya yang lain, ia juga mengatakan:
O kegembiraan, tujuan dan harapanku
Engkau semangat hatiku
Engkau telah memberikan kebahagian padaku
Kerinduan pada-Mu merupakan bekalku
Kalau bukan karena mencari-Mu
Tak kujelajahi negri-negri yang luas ini
Betapa banyaknya limpahan nikmat kurni-Mu
Cinta pada-Mu tujuan hidupku
Itulah
ungkapan-ungkapan yang yang diucapkan oleh Rabi’ah untuk menunjukkan betapa
dalam dan dahsyatnya cinta nya kepada Allah SWT. Pada hakikatnya ia telah
mengajarkan pada manusia arti cinta Illahi, cinta bagi dia adalah fana
kepada Allah saja, sehingga cintanya hanya tertuju kepada-Nya saja.
B. Dzunnun Al-Mishri
1. Riwayat Hidup Dzu an-Nun al-Mishri
Nama lengkap beliau adalah Abu Faidh Dzu an-Nun al- Mishri, juga dikenal dengan nama Tsauban bin Ibrahim, lahir di Akhmim,
Mesir Selatan tahun 156 H[18]. Julikan Dzun an-Nun diberikan kepadanya sehubungan dengan berbagai
kekeramatan yang Allah berikan kepadanya. Diantaranya ia pernah mengeluarkan
seorang anak dari perut buaya di sungai Nil dalam keadaan selamat atas
permintaan ibu dari anak tersebut[19].
Riwayat hidup Dzu an-Nun tidak banyak diketahui, akan tetapi
riwayatnya sebagai seorang sufi banyak dibicarakan. Dalam perjalanan hidupnya,
ia selalu berpindah dari suatu tempat ke tempat lain. Ia pernah menjelajahi
berbagai daerah di Mesir, mengunjungi Bait al-Maqdis, Bagdad, Mekah,
Hijaz, Syiria, pegunungan Libanon, Anthokiah dan lembah Kan’an, sehingga hal
ini memungkinkannya untuk memperoleh pengalaman yang banyak dan mendalam.
Ia hidup pada masa munculnya sejumlah ulama terkemuka dalam bidang
ilmu Fiqih, hadis dan guru sufi, sehingga ia dapat berhubungan dan mengambil
pelajaran dari mereka. Ia pernah belajar pada Imam Malik bin Anas, dan sering
bertemu dengan Ahmad bin Hambal, Ma’ruf al-Kakhy, Sirri al-Saqati dan Bisri
al-Hafi, semuanya merupakan tokoh-tokoh tasawuf pada zaman itu.
Dzun an-Nun al-Mishri merupakan orang pertama yang memberikan
tafsiran tentang isarat-isyarat tasawuf, walaupun sudah ada sejumlah guru sufi
sebelum dia. Ia juga merupakan orang pertama di Mesir yang berbicara tentang ahwal
dan maqamat para wali, dan orang yang pertama memberikan defenisi
tentang tauhid dengan pengertian bercorak sufistik. Ia mempunyai pengaruh besar
terhadap pembentukan pemikiran tasawuf. Dengan demikian, tidaklah mengherankan
kalau sejumlah penulis menyebutnya sebagai salah seorang peletak dasar-dasar
tasawuf[20].
beliau pernah ditangkap dengan tuduhan membuat bid’ah dan
dikirim ke kota Bagdad untuk dipenjarakan, setelah diadili khalifah[21], namun
khalifah meminta agar beliau dibebaskan dan dikembalikan ke Mesir dengan penuh
penghormatan. Dia meninggal di Mesir pada tahun 245 H[22]
di kota Giza dan dimakamkan di Qurafah Shugra.
2.
Konsep Ma’rifah Menurut Dzu an-Nun al-Mishri
Dalam tasawuf, Dzu an-Nun dipandang sebagai bapak paham ma’rifah,
walaupun istilah ma’rifah sudah dikenal sebelum Dzu an-Nun, namun
pengertian ma’rifah versi tasawuf barulah dikenal dengan munculnya Dzu
an-Nun. Disamping itu, jasa yang paling besar dari beliau adalah ajarannya yang
menetapkan keharusan melalui maqamat dan ahwal dalam perjalanan
menuju ma’rifah. Sejak munculnya Dzu an-Nun berkembanglah pengertian ma’rifah
yang khas dalam dunia sufi dan mulailah tersusun amalan-amalan tertentu dalam
upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dalam arti sufistik, ma’rifah diartikan sebagai pengetahuan
mengenai Tuhan melalui hati sanubari, pengetahuan itu sedemikian lengkap dan
jelas, sehingga jiwanya merasa satu dengan yang dicintainya yaitu Allah SWT.
Dan Dzu an-Nun memperkenalkan corak baru
tentang ma’rifah dalam bidang sufisme Islam, yaitu: pertama: ia
membedakan antara ma’rifah sufiah dengan ma’rifah aqliyah.
Ma’rifah yang pertama menggunakan pendekatan Qalb yang biasa
digunakan para sufi, sedangkan ma’rifah yang kedua menggunakan
pendekatan akal yang biasa digunakan para teolog. Kedua: menurut Dzu
an-Nun, ma’rifah sebenarnya adalah musyahadah qalbiyah (penyaksian
hati), sebab ma’rifah merupakan fitrah dalam hati manusia sejak
azali. Ketiga: teori-teori ma’rifah Dzu an-Nun menyerupai gnosisme
ala neo-platonik, lalu teori-teorinya ini kemudian dianggap sebagai jembatan
menuju teori-teori wahdat asy-syuhud dan ittihad[23].
Pandangan-pandangan Dzu an-Nun tentang ma’rifah pada mulanya
sulit diterima kalangan teolog, sehingga ia dianggap seorang zindiq dan
ditangkap khalifah, tetapi akhirnya dibebaskan. Adapun pandangan Dzu an-Nun
tentang ma’rifah sebagai berikut:
a.
Sesungguhnya
ma’rifah yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan, seperti halnya
dipercayai orang-orang mukmin, bukan pula ilmu-ilmu burhan dan nazhar
milik para hakim, mutakallimin dan ahli balaghah, tetapi ma’rifah
terhadap keesaan Tuhan yang harus dimiliki para wali Allah, karena mereka
adalah orang yang menyaksikan Allah dengan hatinya, sehingga terbukalah baginya
apa yang tidak dibukakan untuk hamba-hamba-Nya yang lain.
b.
Ma’rifah yang sebenarnya adalah bahwa Allah menyinari hatimu dengan cahaya
ma’rifah yang murni seperti matahari tak dapat dilihat kecuali dengan
cahayanya. Seorang hamba mendekat kepada Allah sehingga ia merasa hilang
dirinya, lebur dalam kekuasan-Nya, mereka merasa hamba, mereka bicara dengan
ilmu yang diletakkan Allah pada lidah mereka, melihat dengan penglihatan Allah,
berbuat dengan perbuatan Allah.
Kedua pandangan Dzu an-Nun diatas menunjukkan bahwa ma’rifah kepada
Allah tidak ditempuh melalui pendekatan akal dan pembuktian-pembuktian logis,
akan tetapi ditempuh dengan cara ma’rifah bathiniyah, yakni Allah
menyinari hati manusia dan menjaganya dari ketercemaran, sehingga semua yang
ada di dunia ini tidak ada artinya lagi.
Ma’rifah menurut Dzu
an-Nun juga berarti pengetahuan yang hakiki tentang Tuhan yang hanya terdapat
pada para sufi yang sanggup melihat
Tuhan dengan hati nurani mereka. Ma’rifah dimasukkan Tuhan dalam hati
seorang sufi, sehingga hatinya penuh dengan cahaya. Ketika Dzu an-Nun ditanya
bagaimana dia mencapai ma’rifah tentang Tuhan, ia menjawab “ Aku
mengenal Tuhan dengan (bantuan) Tuhan, kalau bukan karena bantuan-nya, saya tidak
akan mungkin mengenalnya (‘araftu rabbi bi rabbi wa laula rabbi lama ‘araftu
rabbi)”[24].
Sebelum sampai kepada maqam ma’rifah, Dzu an-Nun melihat Tuhan
melalui tanda-tanda kebesaran-Nya yang terdapat di alam semesta, seperti dalam
ungkapannya “ Ya Rabbi aku mengenal-Mu melalui bukti-bukti karya-Mu dan
tindakan-Mu. Tolonglah aku ya Rabbi dalam mencari ridha-Mu dengan ridhaku
dengan semangat Engkau dalam kecintaa-Mu, dengan kesentosaan dan niat teguh[25]”.
Pada ungkapan diatas menunjukkan bahwa ma’rifah tidak
diperoleh begitu saja, tetapi melalui pemberian Tuhan. Ma’rifah bukanlah
hasil pemikiran manusia, tetapi tergantung kepada kehendak dan rahmat Allah, ma’rifah
adalah pemberian Tuhan kepada sufi yang sanggup menerimanya. Pemberian tersebut
dicapai setelah seorang sufi terlebih dahulu menunjukkan kerajinan, ketaatan, kepatuhan
dan sebagai pengabdian yang dikerjakan tubuh untuk beribadah. Ma’rifah juga
dimaksudkan dengan komunikasi cahaya
dari Tuhan kedalam hati nurani seseorang.
Orang yang sudah mencapai ma’rifah tidak lagi berada dalam
diri mereka, tetapi mereka berada dalam zat Tuhan, dapat melihat tanpa
pengetahuan, tanpa mata, tanpa observasi, tanpa cahaya, tanpa penghalang dan
hijab. Semua gerakan mereka disebabkan oleh Allah, kata-kata mereka adalah
kata-kata Allah yang diucapkan melalui lidah mereka, mereka melihat dengan
penglihatan Allah yang telah masuk kedalam hati mereka.
Ma’rifah merupakan tujuan
pokok tasawuf yang dicapai dengan mahabbah, kalau cinta Rabi’ah kepada
Allah seakan-akan menyebabkan ia lupa akan kenabiannya, maka Dzu an-Nun justru
meletakkan cinta kepada Rasul sejajar dengan cinta kepada Allah. Ketika beliau
ditanya tentang hakikat cinta, ia menjawab “ Bahwa engkau cinta terhadap apa
yang dicintai Allah, engkau benci terhadap apa yang dibenci Allah, engkau
memohon ridha-Nya, engkau tolak sekalian yang akan merintangi engkau menuju
Allah”.
Dzu an-Nun mengajarkan ma’rifah sebagai tingkat tertinggi
dalam tasawuf, sedangkan paham yang dikembangkan oleh Rabi’ah bahwa mahabbah
juga berada dalam tingkat tertinggi. Maka, dalam hal ini para sufi berbeda
pendapat bahwa mahabbah (cinta) lebih tinggi dari pada ma’rifah,
dan sebagian lagi mengatakan ma’rifah lebih tinggi dari pada mahabbah,
dan ada juga mengatakan bahwa mahabbah (cinta) dan ma’rifah sama tingkatannya.
Menurut al-Ghazali cinta tidak mungkin ada tanpa ma’rifah,
sebab orang hanya dapat mencintai, apabila seseorang itu mengenal atau
mengetahui akan orang yang dicintainya terlebih dahulu. Ibnu Sina memandang
wujud tertinggi dari cinta adalah persatuan mistik, sedangkan Ar-Rumi
berpendapat bahwa cintalah yang
mengantarkan seseorang untuk mengetahui hakikat sesuatu (ma’rifah)[26].
Dari penjelasan para sufi diatas jelaslah bahwa pemahaman sufi tentang
peringkat yang tertinggi dalam tasawuf berbeda-beda, menurut Ghazali yang
tertinggi adalah cinta (mahabbah), sedangkan menurut ar-Rumi peringkat
yang tertinggi adalah ma’rifah.
Dalam hal ini penulis sendiri lebih condong kepada pendapat yang dikemukan
oleh al-Ghazali, karena tak mungkin orang akan mencintai sesuatu yang belum ia
kenal atau ia ketahui sebelumnya.
Pada hakikatnya ibadah yang dilakukan oleh tokoh sufi ini tidak
sekali ingin menonjolkan hal-hal yang bersifat lahiriah atau membanggakan kekeramatan
yang dilakukannya, tetapi mereka hanya memikirkan bagaimana meningkatkan
ketaatan pada Allah dengan melakukan ibadah, karena perhatian mereka yang amat
besar terhadap Allah dengan berzikir dan beribadah. Cinta mereka kepada Allah
telah merasuki seluruh jiwa raganya, maka ketika mereka berbicara,
pembicaraanya hanya tercurah kepada Allah. Bahkan adakalanya ada rasa cemas
dalam diri mereka, jika Allah tidak menerima Zikir dan ibadahnya.
III.
Penutup
A.
Kesimpulan
Rabi’ah berkembang dan tumbuh dalam lingkungan keluarga yang miskin
yang biasa dengan kehidupan orang shaleh dan penuh zuhud terutama ayahnya
Ismail. Ia mencintai Allah melebihi kecintaanya kepada selain Allah dan tidak
mau ditinggalkan oleh Allah yang sangat yang dicintainya, dan berdo’a agar ia
tetap mencintai Allah hingga Allah memenuhi ruang hatinya. Kecintaanya terhadap
Allah bukan karena takut akan neraka-Nya atau karena mengharapkan surga-Nya,
tetapi semata-mata hanya karena mengharapkan ridhonya. Menurut kaum sufi proses
perjalanan ruhani Rabi’ah telah sampai kepada maqam mahabbah dan
ma’rifah, namun sebelum sampai kepada tahapan maqam tersebut, ia
terlebih dahulu telah melalui beberapa tahapan untuk sampai kepada derjat yang
demikian.
Dzu an-Nun al-Mishri merupakan tokoh yang sangat berjasa sekali
dalam ilmu tasawuf, karena beliau banyak memberikan petunjuk arah jalan menuju
Allah. Dan jasanya yang paling besar adalah ajarannya yang menetapkan keharusan
melalui maqamat dan ahwal dalam perjalanan menuju ma’rifah.
Paham ma’rifah yang beliau maksud adalah suatu maqam tertinggi
yang bisa dicapai oleh seorang sufi.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Khamis,
Muhammad Athiyah. Penyair Wanita Sufi Rabi’ah al-Adawiyah. Jakarta: Pustaka
Firdaus. 1994
Mansur,
Laily. Ajaran dan Teladan Para Sufi. Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada.
2002
Al-Hujwiri.
Kasyful Mahjub Risalah Persia Tertua Tentang Tasawuf. Bandung: Mizan
Pustaka. 1993
Sells,
Michael A. Terbakar Cinta Tuhan Kajian Ekslusif Spiritualitas Islam
Awal. Bandung: Mizan Pustaka. 2004
M,
Abdul Hadi W. Tasawuf Yang Tertindas Kajian Hermeneutik Terhadap
Karya-Karya Hamzah Fansuri. Jakarta: Paramidana. 2001
Nasr,
Sayyed Hossein dkk. Warisan Sufi ( Sufisme Persia Klasik Dari Permulaan
Hingga Rumi (700-1300) . Yogyakarta: Pustaka Sufi. 1999
Anwar,
Rosihon dan Mukhtar Solihin. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia. 2000
[1]
Muhammada
Atiyah Khamis, Penyair Wanita Sufi Rabi’ah Al Adawiyah, terjemahan Drs. Alludin
Mahjuddin, MA, ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 1-2
[2] Ibid, h. 4-6
[3] Dalam beberapa
sumber dikatakan bahwa yang tinggal digubuk tersebut adalah Ismail dan
keluarganya.
[4] Laily Mansur,
Ajaran Dan Teladan Para Sufi, (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2002), h. 46
[6] Ibid, h. 16
[7] Laily Mansur,
Op.Cit, h. 46-47
[8] Ibid
[9] Ibid
[10]Ibid
[11] Rosihon Anwar
dan Mukhtar Sholihin, Ilmu Tasawuf, (
Bandung: Pustaka Setia, 2000), cet. I, h. 119
[12] Abdul Hadi,
Tasawuf Yang Tertindas Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-Kayra Hamzah Fansuri,
( Jakarta: Paramidana, 2001) , h. 37
[13] Muhammad
Athiyah Khamis, Op.Cit, h. 24
[14] Abdul Hadi, Op.Cit,
h. 42
[19] Rosihon Anwar
dan Mukhtar Sholihin, Op.Cit, h. 123
[20] Ibid, h. 124
[21] Ketika itu
yang menjadi khalifah adalah al-Mutawakkil pada masa daulah Abbasiyah
[22] Rosihon Anwar
dan Mukhtar Sholihin, Op.Cit, h. 123
[24] Ibid, h. 127
[25] Ibid
[26] Abdul Hadi, Op.Cit,
h. 35
Tidak ada komentar:
Posting Komentar