Kamis, 18 Februari 2016

RABI’AH AL- ADAWIYAH DAN DZU AN-NUN AL-MISHRI

I.       Pendahuluan
Islam memuat tiga dimensi dasar yang harus dimiliki setiap muslim, yaitu Iman, Islam dan Ihsan, sebagaimana halnya Jibril as bertanya tentang tiga hal ini kepada Rasulullah SAW. Para ulama yang berjasa mempertahankan kesucian agama Islam juga dapat digolongkan dalam tiga kelompok besar. Kelompok yang pertama adalah menjaga kedudukan Islam dan pokok-pokok ajarannya, adapun kelompok kedua adalah memelihara dan mempertahankan kedudukan Iman dan dasar-dasarnya, dan kelompok yang ketiga adalah penjaga kedudukan Ihsan[1]
Maka dalam makalah ini, penulis akan membahas kelompok yang ketiga ini, yang biasa dikenal sebagai para sufi dengan ajaran tasawufnya. Yang mana tujuan terpenting dari ajaran tasawuf adalah mendekatkan diri sedekat-dekatnya dengan Allah, maka dekat dengan Allah akan melahirkan beberapa ajaran mendasar dalam tasawuf, yaitu al-Hub al-Illahi (kecintaan dan kerinduan kepada Allah), al-Wahdat as-Syuhud (menyatu dengan Allah) dan al-Mukasyafah (penangkapan langsung terhadap Allah tanpa ada halangan).
Ciri utama para sufi ialah usahanya yang gigih untuk mencapai puncak ma’rifah hingga berujung dengan pertemuan kepada Allah. Cinta yang tumbuh karena cerahnya mata batin dalam melihat kemakhlukan diri, serta kesadaran akan kasih sayang Allah yang selalu dirasakan tak pernah berhenti membelai dirinya, dan ikhlas mengorbankan segala yang dimiliki (kekayaan, kehendak, kehidupan) dan apapun yang bermakna bagi manusia semata hanya untuk yang tercinta tanpa mengharapkan ganjaran sedikitpun. Mereka sudah tidak mengenal berbagai hal yang bermakna manusia lagi, kalau masih ada rasa bahwa aku adalah aku dan engkau adalah engkau, maka belumlah sampai kepada inti cinta, begitu dalam cinta tersebut hingga kadang merasa mampu bersatu dengan Tuhan. Sebagaimana tokoh sufi wanita Rabi’ah al-Adawiyah yang terkenal dengan kecintaannya terhadap sang Kholiq.
Disamping Rabi’ah al-Adawiyah, penulis disini juga akan membahas tokoh sufi Dzu an-Nun al-Mishri yang melahirkan paham baru dalam dunia tasawuf yaitu al-mukasyafah, sehingga beliau digelar dengan bapak  ma’rifah, dan ia menggambarkan mukasyafah bahwa ia berada bersama Allah, karena keberadaan itulah ia mengenal Allah lebih jelas.
Untuk lebih jelasnya mengenal dua sosok tokoh sufi ini beserta ajarannya, akan penulis paparkan dalam pembahasan berikut ini.

II.    Pembahasan
A.    Rabia’ah Al-Adawiyah
1.      Biografi Rabi’ah al-Adawiyah
a.      Kelahiran Rabi’ah al-Adawiyah
Biografi Rabi’ah al-Adawiyah banyak ditulis orang sampai orang barat sekalipun, seperti Margaret Smith, Masingon dan Nicholson. Namun penulis disini hanya menukil biografi yang ditulis oleh Muhammad Athiyah Khomis[2].
Pada abad kedua Hijriyah, Irak telah menjadi sebuah negeri Islam yang berkembang pesat dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Salah satu pusat ilmu pengetahuan yang berkembang pada waktu itu adalah kota Basrah, ia menjadi pusat perhatian para ahli filsafat, alim ulama dan cendekiawan dari berbagai negeri Islam. Akan tetapi di tengah-tengah kegiatan ilmu pengetahuan, daerah Basrah juga tidak lepas dari kehidupan keduniawian dan kemewahan yang menjadi ciri kerajaan Persia, sehingga di Basrah terlihat dengan jelas gaya kehidupan yang meniru-niru cara hidup yang banyak terdapat di istana Persia, karena keberadaan kota Basrah yang berdekatan dengan Persia.
Di tengah-tengah kehidupan seperti itu, masih terdapat kelompok muslimin yang tinggal di berbagai bagian kota dalam gubuk-gubuk yang reot. Disebuah gubuk tinggallah sebuah keluarga[3] yang hidup dalam kemiskinan, ia hidup dengan penuh taqwa dan iman Kepada Allah, tak henti-hentinya ia beribadah dan berzikir kepada Allah.
Hampir dalam setiap tahun keluarga Ismail dikarunia seorang bayi perempuan, dan sampai saat itu, ia telah diberi Allah tiga orang putri. Setiap melahirkan seorang putri, sang ibu selalu menyambutnya dengan air mata, karena ia merasa kehadiran putrinya merupakan beban yang tak terpikulkan lagi karena kemiskinan keluarga itu. Namun suaminya menyambut kehadiran putrinya itu dengan rasa syukur dan pasrah, karena ia berkeyakinan  setiap kelahiran bayi perempuan pun merupakan suatu tanda karunia Allah kepada hamba-Nya.
Disuatu malam yang gelap gulita, untuk keempat kalinya keluarga yang miskin itu dikejutkan oleh rintihan ibu yang akan melahirkan. Di rumah gubuk itu tidak ada pembantu atau sanak keluarga yang dapat membantu kecuali hanya sang suami yang sholeh, Sang suami merasakan kepedihan yang tak tertahankan, dikantongnya tak ada uang sedinar pun, bahkan minyak sebagai bahan penerang gubuknya pada waktu itu tidak ada, sedangkan istrinya makin lama semakin keras rintihannya, sehingga terlintaslah dipikirannya untuk minta bantuan kepada tetangganya, namun rasa malu dan harga diri menghalanginya untuk meminta bantuan kepada tetangga, karena ia telah berjanji kepada Allah tidak akan memohon bantuan kepada manusia kecuali hanya kepada Allah.
Tapi karena rintihan istrinya yang tiada henti-hentinya untuk mendapatkan pertolongan memaksa suaminya untuk meminta bantuan kepada tetangga, maka dengan rasa berat hati, ia datangi rumah tetangganya dimalam hari itu dengan harapan agar mendapatkan bantuan berupa sedikit minyak atau kain untuk pembalut bayi, namun tak seorang pun dari tetangganya yang sedang tertidur lelap untuk bersedia membukakan pintu. Maka dengan rasa sedih, bapak yang malang itu kembali ke gubuknya dengan tangan hampa dan menemui istrinya yang masih merintih kesakitan. Tak kuat menahan air pedih perasaannya, maka bercucuranlah air matanya, dan tidak ada jalan lain kacuali hanya dengan memohon kepada Allah SWT.
Dengan pertolongan Allah, terdengarlah tangis bayi yang memecah kekesunyian malam, dan membangunkan ayahnya yang sedang harap-harap cemas, semoga kali ini dikarunia Allah anak laki-laki, supaya kelak bisa mambantu kehidupannya. Namun itu hanya sebuah harapan saja dan tidak menjadi sebuah kenyataan, karena ternyata anaknya yang keempat itu juga seorang bayi perempuan.
Namun Ismail adalah seorang muslim yang sabar dan taqwa, dan tidak memperlihatkan rasa kekecewaan sedikit pun terhadap istrinya, tetapi dengan persaan gembira ia bertanya kepada istrinya:”apakah nama sebaiknya yang kita berikan kepada putrid kita ini?, baiklah karena ia adalah anak keempat kita namakan saja Rabi’ah, dengan nama lengkapnya Rabi’ah Binti Ismail al-Adawiyah al-Bashriyah, yang lahir pada tahun 95 H/713 M[4]. dinamakan Rabi’ah karena ia adalah anak keempat, dan al-Adawiyah karena ia berasal dari Bani Adawiyah, dan dilahirkan di kota Basrah. Dialah perempuan sufi yang paling terkenal, yang sering juga disebut Rabi’ah al-Basrah.

b.      Gadis Kecil Yang Shalehah
Rabi’ah tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga yang biasa dengan kehidupan orang shaleh dan penuh zuhud, sejak kecil telah tampak kecerdasan dari dirinya yang tak biasanya dimiliki oleh anak kecil lainnya, dan ia juga sudah menyadari penderitaan yang dihadapi orang tuanya, sehingga ia menjadi pendiam dan tidak menuntut terlalu banyak dari orang tuanya seperti gadis kecil lainnya yang sedang menginjak usia dewasa.
Dalam kehidupan sehari-hari, ia selalu memperhatikan orang tuanya beribadah, dan ia selalu melakukan ibadah sesuai dengan yang dilihatnya dan didengarnya dari ayahnya. Ia telah terdidik menjadi anak yang berbudi luhur dan berakhlak mulia. Pernah suatu hari, ketika seluruh anggota keluarga telah duduk disekitar meja makan, kecuali Rabi’ah, ia masih memandang ayahnya, seolah-olah minta penjelasan dari ayahnya tentang makanan yang terhidang. Karena ayahnya masih berdiam diri, Rabi’ah berkata: ” ayah, aku tidak ingin ayah menyediakan makanan yang tidak halal”. Dengan keheranan ayahnya menatap putrinya yang masih kecil dan menjawab: ” Rabi’ah bagaimana pendapatmu, jika tiada lagi yang bisa kita peroleh kecuali makanan yang haram?, lalu Rabi’ah menjawab: “ biar saja kita menahan lapar di dunia ini lebih baik dari pada kita menahannya kelak di akhirat dalam api neraka”. Ayahnya sangat heran mendengar jawaban anaknya yang masih kecil, karena jawaban seperti itu biasanya didengarnya dari majlis-majlis yang dihadiri oleh orang-orang sufi atau sholeh[5].

c.       Rabi’ah Sebagai Anak Yatim Piatu   
Dalam usianya yang masih muda, ayahnya berpulang kerahmatullah kemudian juga disusul oleh ibunya. Dengan demikian, sejak kecil ia sudah kehilangan kasih sayang orang tuanya dan mersa betapa pahitnya penderitaan anak yatim yang hidup dalam kemiskinan, jadilah ia kini sebagai anak yatim piatu.
Penderitaannya terus bertambah, terutama setelah kota Basrah dilanda kelaparan hebat, ia dan saudara-saudaranya terpaksa harus berpencar, sehingga ia harus menaggung beban penderitaan itu sendirian. Suatu ketika Rabi’ah sedang berjalan-jalan di kota Basrah, ia dihadang oleh segerombolan penyamun, karena tak kuasa menyelamatkan diri, ia tertangkap dan dijual sebagai hamba sahaya dengan harga yang sangat murah yaitu seharga enam dirham[6].
Dalam statusnya sebagai budak, ia diberlakukan benar-benar kurang manusiawi, siang malam tenaganya diperas tanpa istirahat. Rabi’ah sadar akan dirinya sebagai hamba sahaya dan selalu diperas oleh majikannya, sehingga keadaan yang demikian membuatnya untuk selalu bermunajat dan meminta petunjuk kepada Allah. Dalam suasana duka dan pedih dengan penderitaan dan himpitan tugas yang diberi majikannya, ia sering mendapat bisikan suara yang mengatakan ”janganlah bersedih, sebab pada saat hari perhitungan nanti, derajatmu akan sama dengan orang-orang yang terdekat dengan Allah di dalam surga”[7].
Dari hari kehari perubahan selalu terjadi dalam dirinya, dan ia semakin tidak menghiraukan lagi sekelilingnya, meskipun tugas-tugasnya setiap hari tetap dilaksanakannya. Pada suatu malam, majikannya menyaksikannya sedang sujud  mengerjakan sholat malam, dan ia berdo’a: “ Ya Robbi, Engkau maha tahu bahwa aku ingin selalu bersama-Mu, hati nuraniku sangat ingin berbakti sekuat tenaga kepada-Mungkau, seandainya aku yang menentukan keadaanku, maka sejenak pun aku tak ingin menghentikan baktiku pada-Mu, tetapi Engkau telah menempatkan aku dibawah kemurahan hati orang lain[8].
Pada pagi harinya, Rabi’ah dipanggil oleh majikannya, dan berkata padanya: “ Wahai Rabi’ah aku telah memutuskan untuk memerdekakanmu dengan sepenuhnya, seandainya kamu tetap ingin menetap tinggal dirumahku ini, kami semua akan gembira dan menerima kamu sebagai orang yang bebas dan menerima fasilitas dari kami, tetapi jika kamu berkeingnan meninggalkan rumah kami ini, kami mendo’akan keselamatan bagimu[9].
Maka Rabi’ah memilih untuk meninggalkan rumah itu dan kembali ke desa dimana ia dilahirkan dengan membina kehidupan baru yang menolak kesenangan dan kelezatan dunia. Kehidupan yang dibinanya atas dasar zuhud dan mengisinya hanya semata-mata beribadah kepada Allah[10].

d.      Kematian Rabi’ah al-Adawiyah
Rabi’ah meninggal pada tahun 185 H/ 801 M di kota Basrah, kota tempat kelahirannya, ketika itu ia berusia 90 tahun[11].
Kematian Rabi’ah membuat orang yang mengenalnya hampir tak percaya, bahwa perempuan suci itu akan segera meninggalkan alam fana ini dan menjumpai Tuhan yang sangat dicintainya. Orang-orang kehilangan Rabi’ah, karena dialah perempuan yang selama hidupnya penuh dengan penderitaan, namun tak bergantung kepada manusia. Setiap orang pasti akan mengenal Rabi’ah sebagai seorang sufi yang telah berjumpa dengan Tuhannya.

2.      Konsep al-Hub al-Illahi Menurut Rabi’ah al-Adawiyah
Al-Hub atau cinta merupakan gagasan keruhanian yang tidak muncul secara tiba-tiba dalam ilmu tasawuf, tetapi berkembang setelah tasawuf meninggalkan wujudnya sebagai gerakan keruhanian yang bersahaja. Ketika ilmu tasawuf muncul pada abad ke 8 M atau 2 H, ia masih merupakan gerakan yang menekankan pola kehidupan zuhud, dan cinta pada masa ini belum lagi dipandang penting, akan tetapi cinta tampil sebagai peringkat keruhanian penting setelah munculnya ahli-ahli tasawuf terkemuka seperti Rabia’ah al-Adawiyah, Ja’far as-Shadiq dan lain-lain[12].
Menurut Rabi’ah al-Adawiyah al-hub al- illahi merupakan cetusan dari perasaan jiwa yang rindu dan pasrah terhadap Allah, seluruh ingatan dan perasaan tertuju kepada-Nya dan cinta dalam ilmu tasawuf juga merupakan landasan ketaatan dan ketaqwaan kepada sang kholiq. Hal ini tergambar dalam ungkapannya: “  Wahai Tuhanku tenggelamkanlah aku dalam mencintaimu, sehingga tidak membimbangkan aku dari padamu. Ya Tuhan bintang dilangit telah gemerlapan, mata telah bertiduran, pintu-pintu istana telah dikunci dan tiap pecinta telah menyendiri dengan yang dicintainya, dan inlah aku berada dihadhiratMu. Tuhanku malam telah berlalu dan siang segera datang, aku gelisah apakah amalan aku Engkau terima hingga aku merasa bahagia, apakah Engkau tolak sehingga aku merasa sedih. Demi kemahakuasaanMu,, inilah yang aku lakukan sehingga Engkau beri hayat (hidup), sehingga Engkau usir aku dari hadapanMu aku tak akan pergi, karena cinta padaMu telah memenuhi hatiku[13].
Cinta Rabi’ah kepada Allah telah terpatri dengan kuat, tertulis dengan tinta emas, tergantung direlung-relung hati, bahkan seluruh pintu-pintu cinta untuk selain Allah telah tertutup rapat, sebagaimana terlihat dalam munajatnya: “ Buat hatiku, hanya Engkau yang aku kasihi, beri ampunlah pembuat dosa yang datang kehadhiratMu. Engkau harapanku, kebahagian dan kesenanganku, hatiku telah enggan mencintai selain dari Engkau:.
Rasa cinta yang dirasakan oleh Rabi’ah adalah cinta yang murni, suci sempurna, dan cinta spiritual (cinta Qudus) yang sudah tertanam didalam hatinya, bukan cinta nafsu (al-hub al hawa), dan ia menjadikan cinta sebagai media renungan terhadap keindahan abadi Tuhan.
 Cinta yang sempurna menurut Rabi’ah seperti seorang pecinta (muhib) yang hanyut dalam ketiadaan dan hilang diri (fanâ) dan menyatukan diri dengan-Nya dan menjadi milik-Nya[14], dan membuat ia tenggelam dalam zikir, beribadah dan membaca al-Qur’an.
Berdasarkan pengalaman rohaniah yang dilakukan Rabi’ah dalam menggapai al-hub al-illahi, terdapat beberapa cara yang dilakukanya untuk mengantarkannya kepada tingkatan tersebut, diantaranya:
a.       Bangun di waktu malam
Rabi’ah telah menepati janjinya kepada Allah, ia selalu dalam keadaan beribadah kepada Allah sampai menemui ajalnya, bahkan ia selalu sholat tahajjud sepanjang malam sampai tibanya waktu fajar. Dengan amal ibadahnya, wajah Rabi’ah selalu kelihatan berseri-seri, karena orang yang mendekatkan dirinya kepada Allah melalui tahjjud akan mendapatkan limpahan cahaya Illahi. Ketika dalam melaksanakan sholat, Rabi’ah selalu menangis, sehingga orang-orang selalu mendapati tempat sujudnya bersimbah air mata, karena kekhusukannya dalam beribadah dan hatinya hanya tertuju kepada Allah. Demikianlah Rabi’ah mengawali kehidupan piritualnya setelah mengadakan uzlah dengan melakukan tahajjud, bangun malam dan selalu ingat akan kematian[15].
b.      Tidak menikah seumur hidup
Rabi’ah al-Adawiyah menempuh jalan hidupnya dengan cara zuhud dan beribadah kepada Allah SWT. Selama hidupnya ia tak pernah menikah, walaupun ia seorang wanita yang cantik dan menarik, juga orang yang cerdas dan luas ilmunya. Walaupun ia tak pernah menikah, namun ia sadar bahwa perkawinan termasuk sunnah agama Islam, sebab dalam Islam tak ada rahbaniyyah (kependetaan), kalau demikian apa sebabnya Rabi’ah tidak pernah  menikah selama hidupnya, padahal tidak sedikit laki-laki yang berupaya untuk mendekatinya bahkan untuk meminangnya?
Menurut Athiyah Khamis, alasan mengapa Rabi’ah tidak menikah selama hidupnya karena kemungkinan sekali ia terpengaruh oleh penderitaan yang dialaminya ketika ia jatuh ditangan laki-laki yang memperlakukannya dengan kejam, ia tidak mungkin melupakan begitu saja pencuri yang telah menculiknya lalu menjualnya sebagai hamba sahaya. Disamping itu, alasan lainnya ialah kecenderungan yang terjadi pada masa hidupnya. Manusia telah tenggelam dalam kemewahan hidup yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, sehingga ia lebih senang memilih hidup terasing dan jauh dari kebisingan duniawi[16].
Pada suatu ketika, sesorang bertanya kepada Rabi’ah, mengapa kamu tidak mau menikah?, ia menjawabnya: ada tiga keprihatinanku, bila ada orang yang bisa menghilangkan keprihatinanku, maka aku akan menikahinya. Kemudian ia mengemukan tiga permasalahan tersebut, pertama, bila aku meninggal dunia, maka aku akan menghadap Tuhanku, apakah dalam keadaan beriman atau suci?. Kedua, apakah aku akan menerima kitab amalanku dengan tangan kanan?. Ketiga, bila telah datang hari kiamat dan orang dari kelompok kanan telah masuk surga, dan orang dari kelompok kiri telah masuk neraka, maka dalam kelompok manakah aku?, orang itu menjawab: “aku tidah tahu apa-apa tentang pertanyaanmu, tetapi masalah itu hanya diketahui Allah SWT. Rabi’ah berkata: jika demikian halnya, maka aku akan tetap dalam keadaan cemas dan prihatin, bagaimana aku akan mampu berumah tangga dengan orang yang tidak bisa menghilangkan keprihatinanku??. Alasan Rabi’ah ini menggabarkan bahwa memang tidak ada niat baginya untuk membagi cinta kepada Allah dengan makhluk ciptaan-Nya.
 Itulah sebabnya, Rabi’ah tidak mau menikah selama hidupnya, karena kekhusukannya beribadah kepada Allah menyebabkan ia tak sanggup melangkah kejenjang rumah tangga, akal dan pikirannya hanya terpusat kepada Allah, dan dalam hatinya hanya tersedia tempat untuk mencintai Allah.

c.       Meningkatkan kesucian jiwa
Rabi’ah al-Adawiyah berhasil mencapai kesucian jiwa dengan cara mengumpulkan ilmu pengetahuan, pengamblengan jiwa dan watak. Penerapan sikap zuhud dalam kehidupan dunia telah menyebabkan kemurnian cintanya kepada Allah semakin subur. Cinta Illahi yang dikembangkan Rabi’ah telah mendorongnya untuk menempuh arah baru dalam hidupnya. Ia bertanya apakah yang mendorong seseorang beribadah kepada Allah?, apakah karena mengharapkan surga atau takut pada neraka?, bukankah sudah selayaknya manusia beribadah dan mengabdi kepadaNya walaupun Dia tidak menyediakan surga atau neraka?. Dengan demikian, Rabi’ah selalu berusaha meningkatkan martabatnya dalam bidang kerohanian dari tingkat ibadat dan zuhud, ketingkat ridha dengan putusan dan ketentuan Allah, lalu meningkat lagi dari tingkat zikir dan ihsan (kebajikan) ke  tingkat cinta (mahabbah) dan ma’rifah[17].
Rabi’ah merupakan orang pertama yang mampu membuat pembagian cinta sehingga lebih mendekat kepada perasaan. Cinta menurut Rabi’ah ada dua macam: cinta karena dorongan hati belaka dan cinta yang didorong karena hendak membesarkan dan mengagungkan. Dia mencintai Allah karena ia merasakan dan menyadari betapa besar nikmat dan kekuasaan-Nya, sehingga cintanya menguasai seluruh relung hatinya, ia mencintai Allah karena hendak membesarkan dan mengaungkan-Nya.
Rabia’ah mempunyai syair yang memperlihatkan betapa dalam cintanya kepada Illahi:
Kekasihku tak ada yang menandingi-Nya
Hatiku hanya tercurah pada-Nya
Kekasihku tidak tampak padaku
Namun dalam hatiku tidak pernah sirna
Dalam syairnya yang lain, ia juga mengatakan:
O kegembiraan, tujuan dan harapanku
Engkau semangat hatiku
Engkau telah memberikan kebahagian padaku
Kerinduan pada-Mu merupakan bekalku
Kalau bukan karena mencari-Mu
Tak kujelajahi negri-negri yang luas ini
Betapa banyaknya limpahan nikmat kurni-Mu
Cinta pada-Mu tujuan hidupku
Itulah ungkapan-ungkapan yang yang diucapkan oleh Rabi’ah untuk menunjukkan betapa dalam dan dahsyatnya cinta nya kepada Allah SWT. Pada hakikatnya ia telah mengajarkan pada manusia arti cinta Illahi, cinta bagi dia adalah fana kepada Allah saja, sehingga cintanya hanya tertuju kepada-Nya saja.

B.     Dzunnun Al-Mishri
1.      Riwayat Hidup Dzu an-Nun al-Mishri
Nama lengkap beliau adalah Abu Faidh Dzu an-Nun al- Mishri, juga dikenal dengan nama Tsauban bin Ibrahim, lahir di Akhmim, Mesir Selatan tahun 156 H[18]. Julikan Dzun an-Nun diberikan kepadanya sehubungan dengan berbagai kekeramatan yang Allah berikan kepadanya. Diantaranya ia pernah mengeluarkan seorang anak dari perut buaya di sungai Nil dalam keadaan selamat atas permintaan ibu dari anak tersebut[19].
Riwayat hidup Dzu an-Nun tidak banyak diketahui, akan tetapi riwayatnya sebagai seorang sufi banyak dibicarakan. Dalam perjalanan hidupnya, ia selalu berpindah dari suatu tempat ke tempat lain. Ia pernah menjelajahi berbagai daerah di Mesir, mengunjungi Bait al-Maqdis, Bagdad, Mekah, Hijaz, Syiria, pegunungan Libanon, Anthokiah dan lembah Kan’an, sehingga hal ini memungkinkannya untuk memperoleh pengalaman yang banyak dan mendalam.
Ia hidup pada masa munculnya sejumlah ulama terkemuka dalam bidang ilmu Fiqih, hadis dan guru sufi, sehingga ia dapat berhubungan dan mengambil pelajaran dari mereka. Ia pernah belajar pada Imam Malik bin Anas, dan sering bertemu dengan Ahmad bin Hambal, Ma’ruf al-Kakhy, Sirri al-Saqati dan Bisri al-Hafi, semuanya merupakan tokoh-tokoh tasawuf pada zaman itu.
Dzun an-Nun al-Mishri merupakan orang pertama yang memberikan tafsiran tentang isarat-isyarat tasawuf, walaupun sudah ada sejumlah guru sufi sebelum dia. Ia juga merupakan orang pertama di Mesir yang berbicara tentang ahwal dan maqamat para wali, dan orang yang pertama memberikan defenisi tentang tauhid dengan pengertian bercorak sufistik. Ia mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan pemikiran tasawuf. Dengan demikian, tidaklah mengherankan kalau sejumlah penulis menyebutnya sebagai salah seorang peletak dasar-dasar tasawuf[20].
beliau pernah ditangkap dengan tuduhan membuat bid’ah dan dikirim ke kota Bagdad untuk dipenjarakan, setelah diadili khalifah[21], namun khalifah meminta agar beliau dibebaskan dan dikembalikan ke Mesir dengan penuh penghormatan. Dia meninggal di Mesir pada tahun 245 H[22] di kota Giza dan dimakamkan di Qurafah Shugra. 
2.      Konsep Ma’rifah Menurut Dzu an-Nun al-Mishri
Dalam tasawuf, Dzu an-Nun dipandang sebagai bapak paham ma’rifah, walaupun istilah ma’rifah sudah dikenal sebelum Dzu an-Nun, namun pengertian ma’rifah versi tasawuf barulah dikenal dengan munculnya Dzu an-Nun. Disamping itu, jasa yang paling besar dari beliau adalah ajarannya yang menetapkan keharusan melalui maqamat dan ahwal dalam perjalanan menuju ma’rifah. Sejak munculnya Dzu an-Nun berkembanglah pengertian ma’rifah yang khas dalam dunia sufi dan mulailah tersusun amalan-amalan tertentu dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dalam arti sufistik, ma’rifah diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari, pengetahuan itu sedemikian lengkap dan jelas, sehingga jiwanya merasa satu dengan yang dicintainya yaitu Allah SWT. Dan  Dzu an-Nun memperkenalkan corak baru tentang ma’rifah dalam bidang sufisme Islam, yaitu: pertama: ia membedakan antara ma’rifah sufiah dengan ma’rifah aqliyah. Ma’rifah yang pertama menggunakan pendekatan Qalb yang biasa digunakan para sufi, sedangkan ma’rifah yang kedua menggunakan pendekatan akal yang biasa digunakan para teolog. Kedua: menurut Dzu an-Nun, ma’rifah sebenarnya adalah musyahadah qalbiyah (penyaksian hati), sebab ma’rifah merupakan fitrah dalam hati manusia sejak azali. Ketiga: teori-teori ma’rifah Dzu an-Nun menyerupai gnosisme ala neo-platonik, lalu teori-teorinya ini kemudian dianggap sebagai jembatan menuju teori-teori wahdat asy-syuhud dan ittihad[23].
Pandangan-pandangan Dzu an-Nun tentang ma’rifah pada mulanya sulit diterima kalangan teolog, sehingga ia dianggap seorang zindiq dan ditangkap khalifah, tetapi akhirnya dibebaskan. Adapun pandangan Dzu an-Nun tentang ma’rifah sebagai berikut:
a.       Sesungguhnya ma’rifah yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan, seperti halnya dipercayai orang-orang mukmin, bukan pula ilmu-ilmu burhan dan nazhar milik para hakim, mutakallimin dan ahli balaghah, tetapi ma’rifah terhadap keesaan Tuhan yang harus dimiliki para wali Allah, karena mereka adalah orang yang menyaksikan Allah dengan hatinya, sehingga terbukalah baginya apa yang tidak dibukakan untuk hamba-hamba-Nya yang lain.
b.      Ma’rifah yang sebenarnya adalah bahwa Allah menyinari hatimu dengan cahaya ma’rifah yang murni seperti matahari tak dapat dilihat kecuali dengan cahayanya. Seorang hamba mendekat kepada Allah sehingga ia merasa hilang dirinya, lebur dalam kekuasan-Nya, mereka merasa hamba, mereka bicara dengan ilmu yang diletakkan Allah pada lidah mereka, melihat dengan penglihatan Allah, berbuat dengan perbuatan Allah.
Kedua pandangan Dzu an-Nun diatas menunjukkan bahwa ma’rifah kepada Allah tidak ditempuh melalui pendekatan akal dan pembuktian-pembuktian logis, akan tetapi ditempuh dengan cara ma’rifah bathiniyah, yakni Allah menyinari hati manusia dan menjaganya dari ketercemaran, sehingga semua yang ada di dunia ini tidak ada artinya lagi.
Ma’rifah menurut Dzu an-Nun juga berarti pengetahuan yang hakiki tentang Tuhan yang hanya terdapat pada para sufi yang sanggup  melihat Tuhan dengan hati nurani mereka. Ma’rifah dimasukkan Tuhan dalam hati seorang sufi, sehingga hatinya penuh dengan cahaya. Ketika Dzu an-Nun ditanya bagaimana dia mencapai ma’rifah tentang Tuhan, ia menjawab “ Aku mengenal Tuhan dengan (bantuan) Tuhan, kalau bukan karena bantuan-nya, saya tidak akan mungkin mengenalnya (‘araftu rabbi bi rabbi wa laula rabbi lama ‘araftu rabbi)”[24]. Sebelum sampai kepada maqam ma’rifah, Dzu an-Nun melihat Tuhan melalui tanda-tanda kebesaran-Nya yang terdapat di alam semesta, seperti dalam ungkapannya “ Ya Rabbi aku mengenal-Mu melalui bukti-bukti karya-Mu dan tindakan-Mu. Tolonglah aku ya Rabbi dalam mencari ridha-Mu dengan ridhaku dengan semangat Engkau dalam kecintaa-Mu, dengan kesentosaan dan niat teguh[25]”.
Pada ungkapan diatas menunjukkan bahwa ma’rifah tidak diperoleh begitu saja, tetapi melalui pemberian Tuhan. Ma’rifah bukanlah hasil pemikiran manusia, tetapi tergantung kepada kehendak dan rahmat Allah, ma’rifah adalah pemberian Tuhan kepada sufi yang sanggup menerimanya. Pemberian tersebut dicapai setelah seorang sufi terlebih dahulu menunjukkan kerajinan, ketaatan, kepatuhan dan sebagai pengabdian yang dikerjakan tubuh untuk beribadah. Ma’rifah juga dimaksudkan  dengan komunikasi cahaya dari Tuhan kedalam hati nurani seseorang.
Orang yang sudah mencapai ma’rifah tidak lagi berada dalam diri mereka, tetapi mereka berada dalam zat Tuhan, dapat melihat tanpa pengetahuan, tanpa mata, tanpa observasi, tanpa cahaya, tanpa penghalang dan hijab. Semua gerakan mereka disebabkan oleh Allah, kata-kata mereka adalah kata-kata Allah yang diucapkan melalui lidah mereka, mereka melihat dengan penglihatan Allah yang telah masuk kedalam hati mereka.
Ma’rifah merupakan tujuan pokok tasawuf yang dicapai dengan mahabbah, kalau cinta Rabi’ah kepada Allah seakan-akan menyebabkan ia lupa akan kenabiannya, maka Dzu an-Nun justru meletakkan cinta kepada Rasul sejajar dengan cinta kepada Allah. Ketika beliau ditanya tentang hakikat cinta, ia menjawab “ Bahwa engkau cinta terhadap apa yang dicintai Allah, engkau benci terhadap apa yang dibenci Allah, engkau memohon ridha-Nya, engkau tolak sekalian yang akan merintangi engkau menuju Allah”.
Dzu an-Nun mengajarkan ma’rifah sebagai tingkat tertinggi dalam tasawuf, sedangkan paham yang dikembangkan oleh Rabi’ah bahwa mahabbah juga berada dalam tingkat tertinggi. Maka, dalam hal ini para sufi berbeda pendapat bahwa mahabbah (cinta) lebih tinggi dari pada ma’rifah, dan sebagian lagi mengatakan ma’rifah lebih tinggi dari pada mahabbah, dan ada juga mengatakan bahwa mahabbah (cinta)  dan ma’rifah sama tingkatannya.
Menurut al-Ghazali cinta tidak mungkin ada tanpa ma’rifah, sebab orang hanya dapat mencintai, apabila seseorang itu mengenal atau mengetahui akan orang yang dicintainya terlebih dahulu. Ibnu Sina memandang wujud tertinggi dari cinta adalah persatuan mistik, sedangkan Ar-Rumi berpendapat  bahwa cintalah yang mengantarkan seseorang untuk mengetahui hakikat sesuatu (ma’rifah)[26].
Dari penjelasan para sufi diatas jelaslah bahwa pemahaman sufi tentang peringkat yang tertinggi dalam tasawuf berbeda-beda, menurut Ghazali yang tertinggi adalah cinta (mahabbah), sedangkan menurut ar-Rumi peringkat yang tertinggi adalah ma’rifah.  Dalam hal ini penulis sendiri lebih condong kepada pendapat yang dikemukan oleh al-Ghazali, karena tak mungkin orang akan mencintai sesuatu yang belum ia kenal atau ia ketahui sebelumnya.
Pada hakikatnya ibadah yang dilakukan oleh tokoh sufi ini tidak sekali ingin menonjolkan hal-hal yang bersifat lahiriah atau membanggakan kekeramatan yang dilakukannya, tetapi mereka hanya memikirkan bagaimana meningkatkan ketaatan pada Allah dengan melakukan ibadah, karena perhatian mereka yang amat besar terhadap Allah dengan berzikir dan beribadah. Cinta mereka kepada Allah telah merasuki seluruh jiwa raganya, maka ketika mereka berbicara, pembicaraanya hanya tercurah kepada Allah. Bahkan adakalanya ada rasa cemas dalam diri mereka, jika Allah tidak menerima Zikir dan ibadahnya.

III.    Penutup
A.    Kesimpulan
Rabi’ah berkembang dan tumbuh dalam lingkungan keluarga yang miskin yang biasa dengan kehidupan orang shaleh dan penuh zuhud terutama ayahnya Ismail. Ia mencintai Allah melebihi kecintaanya kepada selain Allah dan tidak mau ditinggalkan oleh Allah yang sangat yang dicintainya, dan berdo’a agar ia tetap mencintai Allah hingga Allah memenuhi ruang hatinya. Kecintaanya terhadap Allah bukan karena takut akan neraka-Nya atau karena mengharapkan surga-Nya, tetapi semata-mata hanya karena mengharapkan ridhonya. Menurut kaum sufi proses perjalanan ruhani Rabi’ah telah sampai kepada maqam mahabbah dan ma’rifah, namun sebelum sampai kepada tahapan maqam tersebut, ia terlebih dahulu telah melalui beberapa tahapan untuk sampai kepada derjat yang demikian.
Dzu an-Nun al-Mishri merupakan tokoh yang sangat berjasa sekali dalam ilmu tasawuf, karena beliau banyak memberikan petunjuk arah jalan menuju Allah. Dan jasanya yang paling besar adalah ajarannya yang menetapkan keharusan melalui maqamat dan ahwal dalam perjalanan menuju ma’rifah. Paham ma’rifah yang beliau maksud adalah suatu maqam tertinggi yang bisa dicapai oleh seorang sufi.


DAFTAR KEPUSTAKAAN

Khamis, Muhammad Athiyah. Penyair Wanita Sufi Rabi’ah al-Adawiyah. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1994
Mansur, Laily. Ajaran dan Teladan Para Sufi. Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada. 2002
Al-Hujwiri. Kasyful Mahjub Risalah Persia Tertua Tentang Tasawuf. Bandung: Mizan Pustaka. 1993
Sells, Michael A. Terbakar Cinta Tuhan Kajian Ekslusif Spiritualitas Islam Awal. Bandung: Mizan Pustaka. 2004
M, Abdul Hadi W. Tasawuf Yang Tertindas Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-Karya Hamzah Fansuri. Jakarta: Paramidana. 2001
Nasr, Sayyed Hossein dkk. Warisan Sufi ( Sufisme Persia Klasik Dari Permulaan Hingga Rumi (700-1300) . Yogyakarta: Pustaka Sufi. 1999
Anwar, Rosihon dan Mukhtar Solihin. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia. 2000




[1] Muhammada Atiyah Khamis, Penyair Wanita Sufi Rabi’ah Al Adawiyah, terjemahan Drs. Alludin Mahjuddin, MA, ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 1-2
[2] Ibid, h. 4-6
[3] Dalam beberapa sumber dikatakan bahwa yang tinggal digubuk tersebut adalah Ismail dan keluarganya.
[4] Laily Mansur, Ajaran Dan Teladan Para Sufi, (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2002), h. 46
[5] Muhammada Atiyah Khamis, Op.Cit, h. 8-9
[6] Ibid, h. 16
[7] Laily Mansur, Op.Cit, h. 46-47
[8] Ibid
[9] Ibid
[10]Ibid
[11] Rosihon Anwar dan Mukhtar Sholihin, Ilmu Tasawuf,  ( Bandung: Pustaka Setia, 2000), cet. I, h. 119
[12] Abdul Hadi, Tasawuf Yang Tertindas Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-Kayra Hamzah Fansuri, ( Jakarta: Paramidana, 2001) , h. 37
[13] Muhammad Athiyah Khamis, Op.Cit, h. 24
[14] Abdul Hadi, Op.Cit, h. 42
[15] Muhammad Athiyah Khamis, Op.Cit, h. 25-28
[16] Ibid, h. 31
[17] Ibid, h. 60
[18] Laily Mansur, Op.Cit, h. 79
[19] Rosihon Anwar dan Mukhtar Sholihin, Op.Cit, h. 123
[20] Ibid, h. 124
[21] Ketika itu yang menjadi khalifah adalah al-Mutawakkil pada masa daulah Abbasiyah
[22] Rosihon Anwar dan Mukhtar Sholihin, Op.Cit, h. 123
[23] Ibid, h. 125
[24] Ibid, h. 127
[25] Ibid
[26] Abdul Hadi, Op.Cit, h. 35

Tidak ada komentar:

Posting Komentar