Kamis, 18 Februari 2016

PERADABAN ISLAM MASA DAULAH FATIMIYAH DI MESIR (909-1171 M)

A.    Pendahuluan
Pada masa kekuasaan Daulah Abbasiyah muncul beberapa dinasti-dinasti kecil yang tersebar di bawah naungan khalifah Daulah Abbasiyah. Hal ini merupakan salah satu faktor melemahnya kekuatan kekuasaan Daulah Abbasiyah yang begitu luas.
Dinasti-dinasti kecil ini juga dipengaruhi oleh aliran-aliran keagamaan antara Sunni dan Syi’ah. Kedua aliran ini mempunyai peran penting demi berkembangnya dinasti-dinasti kecil yang menerapkan salah satu aliran keagamaan dalam bentuk pemerintahannya.
Di antara dinasti yang berkembang itu adalah Dinasti Fatimiyah. Dalam sejarah, Daulah Fatimiyah mengukir masa keemasan di Mesir yang dibuktikan banyaknya perkembangan dari berbagai bidang.
Dalam kesempatan kali ini penulis akan membahas lebih lanjut tentang Daulah Fatimiyah mencakup latar belakang munculnya Daulah Fatimiyah, perkembangan dan kemajuan peradaban Islam pada masa tersebut baik dari segi politik pemerintahan, ekonomi dan perdagangan, sosial kemasyarakatan, pendidikan dan iptek, kesenian, pemikiran dan filsafat, serta pemahaman agama dan terakhir membahas kemunduran dan kehancuran Daulah Fatimiyah.

B.     Latar Belakang Berdirinya Daulah Fatimiyah
Dinasti Fatimiyah berdiri pada tahun 909 sampai 1172 M. Dinasti ini mengklaim sebagai keturunan garis lurus dari pasangan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Rasulullah. Menurut mereka, Ubaidillah al-Mahdi sebagai pendiri dinasti ini merupakan cucu Ismail bin Ja’far ash-Shadiq. Sedangkan imam Ja’far ash-Shadiq wafat, Syi’ah terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama meyakini Musa al-Kazim sebagai imam ketujuh pengganti imam Ja’far, sedangkan kelompok lainnya mempercayai Ismail bin Muhammad al-Maktum sebagai imam Syi’ah ketujuh. Kelompok Syi’ah kedua ini dinamai Syi’ah Ismailiyah. Syi’ah Ismailiyah tidak menampakkan gerakannya secara jelas sehingga muncullah Abdullah bin Maimun yang membentuk Syi’ah Ismailiyah sebagai sebuah sistem gerakan politik keagamaan.[1] Ia berjuang mengorganisir propaganda Syi’ah dengan tujuan menegakkan kekuasaan Fatimiyah. Secara rahasia ia mengirimkan misionari kesegala penjuru wilayah Muslim diantaranya negara Tunisia  dan negara Afrika lainya seperti Mesir.[2]
Orang-orang Syi’ah memilih Tunisia sebagai pusat gerakan pertamanya mempunyai alasan yang kuat, karena Tunisia letaknya Jauh dari Baghdad. Namun sebelumnya, ketika Tunisia di perintah oleh Aghlabiyah kondisi negara tersebut sudah terlihat melemah, sehingga orang Syi’ah membuat propganda-propaganda.[3] Setelah orang Afrika termakan isu-isu dari para propagandis, maka para propagandis mendatangkan imam Ubaidillah al-Mahdi yang sebelumnya bersembunyi di Sijilmasa sebagai basis Syi’ah. Setelah Dinasti Aghlbiyah hancur, Ubaidillah al-Mahdi memproklamirkan dirinya sebagai pemimpin di Tunisia dan mengambil nama Fatimiyah sebagai nama dinastinya.[4] Selain itu, Dinasti Fatimiyah melakukan ekspedisi yang dipimpin oleh Jauhar. Pada tahun 358 H/969 M ia meninggalkan ifriqiyat dengan pasukan yang lebih kurang 100.000 orang. Ketika mendekati Mesir, ia berunding dengan berbagai kelompok yang hasilnya ialah jaminan posisi yang aman bagi kalangan elit sipil, namun gagal. Kemudian pada bulan Sya’ban 458 H/ 969 M, Jauhar memasuki ibu kota dan nama khalifah Fatimiyah disebut dalam khutbah.[5]
Untuk mencari tempat di hati umat Islam strategi yang dilakukan Dinasti Fatimiyah yang pertama adalah mengatakan bahwa mereka adalah keturunan Fatimah putri Rasulullah SAW. dan istri Ali bin Abi Thalib. Karena sebagaimana yang mereka pahami bahwa untuk menjadi khalifah adalah berasal dari keturunan yang paling dekat dengan Rasulullah SAW. Untuk itu Ubaidillah mengklaim dirinya keturunan Fatimah. Hal ini bagi penulis tentu saja sedikit banyak meyakinkan umat islam ketika itu untuk mempercayai dan tentunya mempunyai dampak sehingga memberikan respon positif dalam mendukung Ubaidillah sebagai khalifah dari Dinasti Fatimiyah.
Al-Mahdi merupakan khalifah yang melanjutkan estafet perjuangan Ubaidillah, beliau mendirikan kota baru di Tunisia yang kemudian diberi nama al-Mahdi dan pada tahun 914 M ia wafat dan digantikan oleh anaknya Abu al-Qasim dengan sebutan al-Qoim. Pada masa pemerintahannya ia berhasil memperluas wilayah kekuasaannya yang meliputi Genoa dan sepanjang Calabria, dan pada waktu yang bersamaan mengirim pasukan ke Mesir namun usahanya tidak berhasil karena dicegal oleh Abu Yazi Makka, seorang khawarij di Mesir dan pada akhirnya ia meninggal dan digantikan oleh anaknya al-Mansur yang berhasil menghancurkan Abu Yazid Makkad. Al-Mansur digantikan Abi Tamim Ma’ad yang dikenal dengan al-Muiz. Awal kekuasaannya berhasil merebut Maroko, Syicilia, dan Mesir. Dengan memasuki kota lama menyingkirkan Dinasti Ikhshidiyah dan mendirikan ibu kota baru di al-Qahirah, sang penunduk (Kairo Modern).
                  Para khalifah yang memimpin Daulah Fatimiyah adalah :
1.      Ubaidillah al-Mahdi (909-934)
2.      Al-Qaim (934-946)
3.      Al-Mansur (946-953)
4.      Al-Muiz (95975)
5.      Al-Aziz (975-996)
6.      Al-Hakim (996-1021)
7.      Al-Zahir (1021-1036)
8.      Al-Mustansir (1036-1094)
9.      Al-Musta’li ( 1094-1101)
10.  Al-Amir (1101-1130)
11.  Al-Hafiz (1130-1149)
12.  Al-Zahir (1149-1154)
13.  Al-Faiz (1154-1160)
14.  Al-Adhid (1160-1171)

C.    Kemajuan Peradaban Islam Pada Masa Daulah Fatimiyah
Sumbangan Dinasti Fatimiyah terhadap peradaban Islam sangat besar baik dalam bidang pemerintahan, ekononomi, sosial, kesenian, pendidikan dan sebagainya.
1.      Politik dan Pemerintahan
Dalam bidang politik yang dicapai oleh Dinasti Fatimiyah diantaranya adalah:
a)      Mencari simpati masyarakat dengan membebaskan tawanan Ikhsyidiyah dan pengikut al-Kufur.
b)      Perluasan daerah dari Atlantik, Sisilia dan pulau-pulau lainnya sampai ke Laut Merah, Yaman, Suriah dan mekkah.
c)      Membentuk angkatan laut untuk mendukung ekspansi ke luar Mesir dan mengusir pasukan Salib
d)     Menghancurkan gereja Holy Spulchre di Palestina pada masa al-Hakim (996-1021)
e)      Menentukan sistem pergantian khalifah melalui imam (khalifah merangkap imam) dan membentuk wazir Tanfidz
Adapun dari sisi pemerintahan, Dinasti Fatimiyah menganut kepercayaan bahwa kekhalifahan dalam pemerintahan adalah dari ayah ke anaknya tidak boleh dari seorang saudara ke saudara yang lain. Seorang khalifah hanya boleh mencalonkan satu orang dari penggantinya dan tidak boleh lebih. Hal ini berbeda dengan kekhalifahan Abbasiyah yang boleh menunjuk lebih dari satu calon yang menggantikannya jika ia meninggal.[6]
Dalam pelaksanaan pemerintahan seorang khalifah adalah kepala yang bersifat temporal dan spiritual. Pengangkatan dan pemecatan pejabat tinggi berada di bawah kontrol kekuasaan khalifah. Menteri-menteri (wazir) kekhalifan dibagi-bagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok militer dan sipil. Kelompok militer diantaranya: urusan tentara, perang, pengawal rumah tangga khalifah dan semua permasalahan yang menyangkut keamanan. Yang termasuk kelompok sipil di antaranya:[7]
a.       Qadi, yang berfungi sebagai hakim dan direktur percetakan uang
b.      Ketua dakwah, yang memimpin darul hikmah (bidang keilmuan)
c.       Inspektur pasar, yang membidangi bazar, jalan dan pengawasan timbangan dan ukuran
d.      Bendaharawan negara, yang membidangi baitul mal
e.       Wakil kepala urusan rumah tangga khalifah
f.       Qori, yang membacakan al-Quran bagi khalifah kapan saja dibutuhkan
Selain dari pejabat istana ini, ada bebarapa pejabat lokal yang diangkat oleh khalifah untuk mengelola bagian wilayah Mesir, Syiria dan Asia Kecil. Mesir dikelola oleh gubernur Mesir Utara, Syarqiya, Gabiya da Alexandria. Pengurusannya diserahkan kepada para pejabat setempat.
Ketentaraan dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama, amir-amir yang terdiri dari pejabat-pejabat tinggi dan pengawal khalifah. Kedua, para opsir jaga. Ketiga, berbagai resimen yang bertugas sebagai hafidzah, juyutsiyah, dan sudaniyah.[8]

2.      Ekonomi dan Perdagangan
Di bawah pemerintahan Daulah Fatimiyah, Mesir mengalami kemajuan dan kemakmuran ekonmi yang mengungguli Irak dan daerah-daerah lainnya. Hubungan dagang dengan non-Islam dibina dengan baik, termasuk dengan India dan negeri-negeri Mediterania yang beragama Kristen. Di samping itu, dari Mesir ini dihasilkan produk industri dan seni Islam.
Di antara kemajuan dari bidang Ekonomi dan perdagangan Daulah Fatimiyah adalah:
a.       Dinasti Fatimiyah merupakan penghasil gandum dan kapas terbesar di masa itu, karena Mesir daerah yang subur, sehingga Mesir dapat mengekspor Gandum dan kapas serta kain pada waktu itu.
b.      Dinasti Fatimiyah memajukan aneka industri dan kerajinan rakyat, seperti tenunan, ukir-mengukiran dan sebagainya.[9]

3.      Sosial Kemasyarakatan
Mayoritas khalifah Fatimiyah bersikap moderat dan penuh perhatian kepada urusan agama non-muslim. Selama masa ini pemeluk Kristen diperlakukan secara bijaksana, hanya khalifah al-Hakim yang bersikap agak keras terhadap mereka. Orang-orang Kristen Kopti dan Armenia tidak pernah merasakan kemurahan dan keramahan melebihi sikap npemerintahan muslim. Pada masa al-Aziz bahkan mereka lebih diuntungkan dari pada umat Islam di mana mereka ditunjuk menduduki jabatan-jabatan tinggi di istana. Beliau sangat menghargai orang-orang non-muslim. Demikian pula pada masa al-Muntashir dan seterusnya, mereka hidup penuh kedamaian dan kemakmuran.[10] Selain memberikan perhatian kepada warga non-muslim khalifah-khalifah Fatimiyah memberikan kebebasan bernegara kepada orang-orang Sunni, sehingga banyak da’i-da’i Sunni yang belajar di al-Azhar.[11]
Walaupun Dinasti Fatimiyah ini bersungguh-sungguh di dalam mensyi’ahkan orang Mesir, tetapi mereka tidak melakukan pemaksaan kepada orang Sunni untuk mengikuti aliran Syi’ahnya. Itulah salah satu bentuk kebijakan pemerintahan yang dilakukan Dinasti Fatimiyah yang imbasnya sangat besar dan kehidupan sosial yang aman dan tentram.[12]

4.      Pendidikan dan Iptek
Sebagaimana pemerintahan khalifah Abbasiyah dan Umayyah, Dinassti Fatimiyah juga mempunyai sumbangsih besar dalam bidang pendidikan dan iptek. Banyak masjid dan sekolah yang didirikan sebagai sentral pendidikan agama. Salah satu masjid yang didirikan Dinasti Fatimiyah adalah Masjid al-Azhar, fungsi masjid ini menjadi universitas al-Azhar sebagai sarana pengembangan paham Syi’ah. Hal ini dilakukan atas usulan dari Yakub bin Killis kepada khalifah al-Aziz (975-996 M). Pada masa khalifah al-Hakim (996-1021 M) didirikan Universitas Dar al-Ulum.[13]
Yakub bin Killis merupakan tokoh ilmuan yang paling terkenal pada masa Fatimiyah. Pada masanya, ia berhasil membesarkan seorang ahli fisika yang bernama Muhammad al-Tamimi. Di samping al-Tamimi ada juga seorang ahli sejarah yang bernama Muhammad ibnu Yusuf al-Kindi dan ibnu Salamah al-Quda’i.[14]
Pada masa pemerintahan al-Hakim (996-121 M) juga mendirikan bait al-hikmah. Hal ini terinspirasi dari lembaga yang sama yang didirikan al-Ma’mun di Baghdad. Lembaga ini banyak mengoleksi buku-buku. Sehingga menjadi pusat pengkajian astronomi, kedokteran, dan ajaran-ajaran terutama Syi’ah.[15]

5.      Kesenian
Pada masa Daulah Fatimiyah di Mesir, kesenian merupakan salah satu bidang yang menjadi objek perhatian khalifah. Hal ini terbukti dengan peninggalan-peningalan pembanguan fisik dan seni arsitektur yang merupakan lambang kemajuan ketika itu.
Beberapa konsep Fatimiyah tentang penguasa dan imperium diekspresikan di dalam upacra, kesenian, dan arsitektur keistanaan. Arsitektur istana Fatimiyah merupakan persaingan antara imperium Abasiyah dan Bizantium. Beberapa kasau yang terbuat dari emas meyangga langit-langit atau flapon, gambar burung dan binatang yang aneh-aneh menghiasi dinding dan furniture, beberapa pancuran air terjun menyejukkan udara. Dan singgasananya pun terbuat dari emas yang menyerupai singgasana Bizantium.
Selain hal di atas, tempat peribadatan juga menjadi perhatian, terbukti dengan bangunan megah masjid al-Azhar dan masjid al-Hakim, kedua masjid ini dibangun dengan sejumlah menara dan kubah yang melambangkan sifat ketinggian para imam dan mengingatkan terhadap kota suci Makkah dan Madinah sebagai sebuah cara pemulian terhadap khalifah lantaran kesungguhannya dalam berbakti kepada Tuhan dan kepada Islam.
Seni lukis Fatimiyah dan beberapa karya manuskrip yang tercerahkan memperlihatkan pengaruh unsur istana Abasiyah di Samarra. Kramik Fatimiyah dihiasi dengan pola-pola tanaman dan binatang, ia melambangkan keberuntungan dan dihiasi dengan pemburu, musikus, penari, dan tokoh-tokoh umat manusia yang menggambarkan kehiduapan linggkungan istana. Tujuannya adalah untuk melukiskan kembali keagunggan pemerintahan Fatimiyah.[16]
Kesenian tidak hanya terbatas pada seni ukir saja. Pada awal pemerintahan al-Hakim Li Amrillah, ia menjadikan kawasan sekitar pinggir sungai Nil di kota Kairo sebagai tempat perkumpulan untuk mendengarkan musik, namun hal ini menyebabkan merosotnya ahklak masyarakat, akhirnya al-Hakim menutup tempat-tempat tersebut dan melarang pertunjukan musik di tempat-tempat umum.[17]
Terlepas dari positif dan negatifnya, hal di atas merupakan bukti wujud dan berkembangnya kesenian pada masa Daulah Fatimiyah.

6.      Pemikiran dan Fislsafat
Pada masa Daulah Fatimiyah pemikiran dan ilmu filsafat juga mengalami kemajuan. Dalam menyebarkan ke-Syi’ahannya, Dinasti Fatimiyah banyak mengadopsi filsafat Yunani yang kemudian mereka kembangkan. Banyak karya filsafat Barat seperti Aristoteles, Plato dan ahli filsafat lainnya yang diterjemahkan ke dalam bahasa arab dan kemudian dipelajarinya. Kelompok ahli filsafat yang paling terkenal pada masa Dinasti Fatimiyah ini adalah ikhwanu shofa. Beberapa tokoh filusuf yang muncul pada masa Fatimiyah di antarnya Abu Hatim ar-Rozi, Abu Abdillah an-Nasafi, Abu Yakub as-Sajazi, Abu an-Nu’man al-Maghribi dan sebagainya.[18]

7.      Pemahaman Agama
Toleransi keagamaan sudah menjadi perhatian pada masa Dinasti Fatimiyahm, hal ini berlangsung pada awal pemerintahannya, tetapi pada masa selanjutnya Dinasti fatimiyah menjadikan Syi’ah sebagai mazhab resmi negara dan bahkan akhirnya Syi’ah dipaksakan kepada rakyat, sehingga untuk pejabat-pejabat pemerintahan harus dari kalangan syi’ah.
Perhatian pemerintahan Dinasti Fatimiyah terhadap agama di wujudkan dengan dibangunkannya Masjid al-Aqsa dan mendirikan Masjid al-Azhar.[19]

D.    Faktor Kemunduran dan Kehancuran Daulah Fatimiyah
Kesuksesan dalam menjaga harmonisasi internal dan eksternal -dalam berbagai aspek-  dalam sebuah Negara akan menjadikan seorang pemimpin bijaksana dalam pandangan masyarakat. Tak ayal sebuah kemunduran akan terjadi, jika keseimbangan itu hilang.
Hal ini juga terjadi pada Daulah Fatimiyah, di mana titik bermulanya kemunduran terjadi pada masa Khalifah al-Hakim (996-1021 M) yang mengklem dirinya sebagai ‘Titisan Tuhan’, sehingga menimbulkan kemarahan rakyat.
Bukan itu saja, ia juga membunuh Barjawan (wazirnya), tanpa ada kesalahan dan mengabaikan nilai toleransi dengan menghancurkan gereja Holy Spulcher.
Kemunduran ini juga berkepanjangan sampai masa al-Muntashir, sehinggga terjadi perpecahan dalam pemerintahan.[20]
Kemunduran inilah yang pada akhirnya menyebabkan kehancuran. Daulah Fatimiyah dihancurkan oleh Dinasti bani Ayyubiyah pada tahun 1171 M. Hal ini terjadi disebabkan oleh beberapa faktor:[21]
a.      Faktor Interen
1). Heterogennya agama, sehingga terjadi konflik antar agama.
2). Militer yang terdiri dari beberapa suku yang menyebabkan terjadinya persaingan, yakni antara suku Maghribi, Sudan, dan Turki.
3). Khalifah sudah tidak mampu lagi menguasai militer dan wazir karena khalifahnnya sudah lemah.
4). Terjadinya perebutan kekuasaan antara khalifah dengan wazir dan antara wazir-wazir, sehingga wazir dapat menguasai khalifah.
5). Terjadinya kemarau panjang pada masa al-Munthasir (1036-1094 M), serta berjangkitnya penyakit menular.
6). Kehidupan istana yang bermewah-mewahan, sementara rakyat menderita karena kelaparan.
7). Tidak adanya kaderisasi pemimpin.

b.      Faktor Exteren
1). Masuknya pasukan salib ke Suriah dan Mesir.
2). Munculnya Dinasti Ayubiyah yang bermazhab Sunni, dipimpin oleh Salahuddin Al-Ayubi.

E.      Kesimpulan
Daulah fatimiyah didirikan pada tahun 909 M oleh Ubaidillah al-Mahdi. Dinasti i Fatimiyah lahir sebagai manifestasi dari ideologi Syi’ah Ismailiyah yang berpaham bahwa yang berhak memangku jabatan sebagai imamah adalah keturunan Fatimah binti Rasulullah SAW. Dinasti ini lahir di antara dua kekuatan politik khalifah yaitu Abbasiyah di Baghdad dan Umayyah II di Spanyol. Pada masa Muiz, Mesir merupakan target yang akan dikuasainya sebelum awalnya pusat Pemerintahannya di Tunisai. Akhirnya Mesir menjadi pusat pemerintahan Dinasti Fatimiyah setelah Muiz berhasil menaklukkannya pada tahun 953 M.
Selama pemerintahan Dinasti Fatimiyah berkuasa, telah banyak memberikan sumbangan dalam berbagai bidang. Kontribusi tersebut bisa kita rasakan hasilnya sampai saat ini terutama Masjid al-Azhar dan universitasnya sebagai pusat peradaban islam yang gemilang dari dulu samapi saat ini. puncak kemajuan tersebut ketika di bawah pemerintahan khalifah al-Aziz.
Kemunduran Daulah Fatimiyah terlihat saat pemerintahan al-Hakim yang mengaku sebagai titisan Tuhan sehingga banyak kalangan yang menaruh kebencian kepadanya. Puncak kehancuran Dinasti Fatimiyah terlihat pada khalifah terakhir yaitu al-Adhid, ketika Salahuddin al-Ayyubi dari Dinasti Ayyubiyah menyerang dan berhasil menurunkan al-Adhid dari khalifah Fatimiyah pada tahun 1171 M. Dengan demikian, maka berakhirlah Daulah Fatimiyah di Mesir.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Taufik ED, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: PT Ikhtiyar Baru Van Hoeve, tth)         
Harun Maidir, Sejarah Peradaban Islam, (padang: IAIN Imam Bonjol, 2001)
Jamaluddin Surur Muhammad, Tarikh ad-Daulah Fatimiyah, (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1995)
M. Lapidus Ira, Sejarah Sosial Umat Islam, (Jakrta: PT. Raja Gravindo Persada 1999)
Munir Amin Samsul, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:  Amzah, 2009)
Thohir Ajid , Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2004)
Yatim Badri , Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006)




[1] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:  Amzah, 2009), h. 254-255
[2] Ibid
[3] Lihat, Maidir harun,Sejarah Peradaban Islam, (padang: IAIN Imam Bonjol, 2001). h. 80
[4] Ibid, h. 80-81
[5] Lihat, Taufik Abdullah ED, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: PT Ikhtiyar Baru Van Hoeve, tth), h. 134
[6] Muhammad Jamaluddin Surur, Tarikh ad-Daulah Fatimiyah, (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1995), h. 125
[7] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2004), h.115
[8] Ibid, h. 115
[9] Lihat, Maidir Harun, Op.Cit., h. 84
[10] Samsul Munir Amin, Op.Cit, h. 265
[11] Ajid Thohir, Op.Cit, h. 118-119
[12] Ibid
[13]Lihat,  Maidr Harun, op.cit, h. 84
[14] Lihat,Ajid Thohir, op.cit, h. 117
[15] Lihat, Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 283
[16] lihat, Ira. M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, (Jakrta: PT. Raja Gravindo Persada 1999), h 533 dan 537

[17] Muhammad Jalaluddin Surur, Op.cit, h 152
[18] Ajid Thihir, Op.Cit, h 117
[19] lihat, Maidir Harun, Op,cit, h 85
[20] Ibid. h. 85
[21] . Ibid, h 85-86

Tidak ada komentar:

Posting Komentar