Pada masa
kekuasaan Daulah Abbasiyah muncul beberapa dinasti-dinasti kecil yang tersebar
di bawah naungan khalifah Daulah Abbasiyah. Hal ini merupakan salah satu faktor
melemahnya kekuatan kekuasaan Daulah Abbasiyah yang begitu luas.
Dinasti-dinasti
kecil ini juga dipengaruhi oleh aliran-aliran keagamaan antara Sunni dan
Syi’ah. Kedua aliran ini mempunyai peran penting demi berkembangnya
dinasti-dinasti kecil yang menerapkan salah satu aliran keagamaan dalam bentuk
pemerintahannya.
Di antara dinasti
yang berkembang itu adalah Dinasti Fatimiyah. Dalam sejarah, Daulah Fatimiyah
mengukir masa keemasan di Mesir yang dibuktikan banyaknya perkembangan dari
berbagai bidang.
Dalam kesempatan
kali ini penulis akan membahas lebih lanjut tentang Daulah Fatimiyah mencakup
latar belakang munculnya Daulah Fatimiyah, perkembangan dan kemajuan peradaban
Islam pada masa tersebut baik dari segi politik pemerintahan, ekonomi dan
perdagangan, sosial kemasyarakatan, pendidikan dan iptek, kesenian, pemikiran
dan filsafat, serta pemahaman agama dan terakhir membahas kemunduran dan
kehancuran Daulah Fatimiyah.
B.
Latar Belakang Berdirinya Daulah Fatimiyah
Dinasti
Fatimiyah berdiri pada tahun 909 sampai 1172 M. Dinasti ini mengklaim sebagai
keturunan garis lurus dari pasangan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Rasulullah.
Menurut mereka, Ubaidillah al-Mahdi sebagai pendiri dinasti ini merupakan cucu
Ismail bin Ja’far ash-Shadiq. Sedangkan imam Ja’far ash-Shadiq wafat, Syi’ah
terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama meyakini Musa al-Kazim sebagai
imam ketujuh pengganti imam Ja’far, sedangkan kelompok lainnya mempercayai
Ismail bin Muhammad al-Maktum sebagai imam Syi’ah ketujuh. Kelompok Syi’ah
kedua ini dinamai Syi’ah Ismailiyah. Syi’ah Ismailiyah tidak menampakkan
gerakannya secara jelas sehingga muncullah Abdullah bin Maimun yang membentuk
Syi’ah Ismailiyah sebagai sebuah sistem gerakan politik keagamaan.[1] Ia
berjuang mengorganisir propaganda Syi’ah dengan tujuan menegakkan kekuasaan
Fatimiyah. Secara rahasia ia mengirimkan misionari kesegala penjuru wilayah
Muslim diantaranya negara Tunisia dan
negara Afrika lainya seperti Mesir.[2]
Orang-orang
Syi’ah memilih Tunisia sebagai pusat gerakan pertamanya mempunyai alasan yang
kuat, karena Tunisia letaknya Jauh dari Baghdad. Namun sebelumnya, ketika
Tunisia di perintah oleh Aghlabiyah kondisi negara tersebut sudah terlihat
melemah, sehingga orang Syi’ah membuat propganda-propaganda.[3] Setelah
orang Afrika termakan isu-isu dari para propagandis, maka para propagandis
mendatangkan imam Ubaidillah al-Mahdi yang sebelumnya bersembunyi di Sijilmasa
sebagai basis Syi’ah. Setelah Dinasti Aghlbiyah hancur, Ubaidillah al-Mahdi
memproklamirkan dirinya sebagai pemimpin di Tunisia dan mengambil nama
Fatimiyah sebagai nama dinastinya.[4] Selain
itu, Dinasti Fatimiyah melakukan ekspedisi yang dipimpin oleh Jauhar. Pada tahun
358 H/969 M ia meninggalkan ifriqiyat dengan pasukan yang lebih kurang
100.000 orang. Ketika mendekati Mesir, ia berunding dengan berbagai kelompok
yang hasilnya ialah jaminan posisi yang aman bagi kalangan elit sipil, namun
gagal. Kemudian pada bulan Sya’ban 458 H/ 969 M, Jauhar memasuki ibu kota dan
nama khalifah Fatimiyah disebut dalam khutbah.[5]
Untuk mencari
tempat di hati umat Islam strategi yang dilakukan Dinasti Fatimiyah yang
pertama adalah mengatakan bahwa mereka adalah keturunan Fatimah putri
Rasulullah SAW. dan istri Ali bin Abi Thalib. Karena sebagaimana yang mereka
pahami bahwa untuk menjadi khalifah adalah berasal dari keturunan yang paling
dekat dengan Rasulullah SAW. Untuk itu Ubaidillah mengklaim dirinya keturunan
Fatimah. Hal ini bagi penulis tentu saja sedikit banyak meyakinkan umat islam
ketika itu untuk mempercayai dan tentunya mempunyai dampak sehingga memberikan
respon positif dalam mendukung Ubaidillah sebagai khalifah dari Dinasti Fatimiyah.
Al-Mahdi
merupakan khalifah yang melanjutkan estafet perjuangan Ubaidillah, beliau
mendirikan kota baru di Tunisia yang kemudian diberi nama al-Mahdi dan pada
tahun 914 M ia wafat dan digantikan oleh anaknya Abu al-Qasim dengan sebutan
al-Qoim. Pada masa pemerintahannya ia berhasil memperluas wilayah kekuasaannya
yang meliputi Genoa dan sepanjang Calabria, dan pada waktu yang bersamaan
mengirim pasukan ke Mesir namun usahanya tidak berhasil karena dicegal oleh Abu
Yazi Makka, seorang khawarij di Mesir dan pada akhirnya ia meninggal dan
digantikan oleh anaknya al-Mansur yang berhasil menghancurkan Abu Yazid Makkad.
Al-Mansur digantikan Abi Tamim Ma’ad yang dikenal dengan al-Muiz. Awal
kekuasaannya berhasil merebut Maroko, Syicilia, dan Mesir. Dengan memasuki kota
lama menyingkirkan Dinasti Ikhshidiyah dan mendirikan ibu kota baru di
al-Qahirah, sang penunduk (Kairo Modern).
Para khalifah yang memimpin Daulah Fatimiyah adalah :
1.
Ubaidillah al-Mahdi (909-934)
2.
Al-Qaim (934-946)
3.
Al-Mansur (946-953)
4.
Al-Muiz (95975)
5.
Al-Aziz (975-996)
6.
Al-Hakim (996-1021)
7.
Al-Zahir (1021-1036)
8.
Al-Mustansir (1036-1094)
9.
Al-Musta’li ( 1094-1101)
10.
Al-Amir (1101-1130)
11.
Al-Hafiz (1130-1149)
12.
Al-Zahir (1149-1154)
13.
Al-Faiz (1154-1160)
14.
Al-Adhid (1160-1171)
C.
Kemajuan Peradaban Islam Pada Masa Daulah Fatimiyah
Sumbangan Dinasti
Fatimiyah terhadap peradaban Islam sangat besar baik dalam bidang pemerintahan,
ekononomi, sosial, kesenian, pendidikan dan sebagainya.
1.
Politik dan Pemerintahan
Dalam bidang
politik yang dicapai oleh Dinasti Fatimiyah diantaranya adalah:
a)
Mencari simpati masyarakat dengan membebaskan tawanan Ikhsyidiyah
dan pengikut al-Kufur.
b)
Perluasan daerah dari Atlantik, Sisilia dan pulau-pulau lainnya sampai
ke Laut Merah, Yaman, Suriah dan mekkah.
c)
Membentuk angkatan laut untuk mendukung ekspansi ke luar Mesir dan
mengusir pasukan Salib
d)
Menghancurkan gereja Holy Spulchre di Palestina pada masa al-Hakim
(996-1021)
e)
Menentukan sistem pergantian khalifah melalui imam (khalifah
merangkap imam) dan membentuk wazir Tanfidz
Adapun dari
sisi pemerintahan, Dinasti Fatimiyah menganut kepercayaan bahwa kekhalifahan
dalam pemerintahan adalah dari ayah ke anaknya tidak boleh dari seorang saudara
ke saudara yang lain. Seorang khalifah hanya boleh mencalonkan satu orang dari
penggantinya dan tidak boleh lebih. Hal ini berbeda dengan kekhalifahan
Abbasiyah yang boleh menunjuk lebih dari satu calon yang menggantikannya jika
ia meninggal.[6]
Dalam
pelaksanaan pemerintahan seorang khalifah adalah kepala yang bersifat temporal
dan spiritual. Pengangkatan dan pemecatan pejabat tinggi berada di bawah
kontrol kekuasaan khalifah. Menteri-menteri (wazir) kekhalifan dibagi-bagi
dalam dua kelompok, yaitu kelompok militer dan sipil. Kelompok militer
diantaranya: urusan tentara, perang, pengawal rumah tangga khalifah dan semua
permasalahan yang menyangkut keamanan. Yang termasuk kelompok sipil di
antaranya:[7]
a.
Qadi, yang berfungi sebagai hakim dan direktur percetakan uang
b.
Ketua dakwah, yang memimpin darul hikmah (bidang keilmuan)
c.
Inspektur pasar, yang membidangi bazar, jalan dan pengawasan
timbangan dan ukuran
d.
Bendaharawan negara, yang membidangi baitul mal
e.
Wakil kepala urusan rumah tangga khalifah
f.
Qori, yang membacakan al-Quran bagi khalifah kapan saja dibutuhkan
Selain dari pejabat istana ini, ada bebarapa pejabat lokal yang
diangkat oleh khalifah untuk mengelola bagian wilayah Mesir, Syiria dan Asia
Kecil. Mesir dikelola oleh gubernur Mesir Utara, Syarqiya, Gabiya da
Alexandria. Pengurusannya diserahkan kepada para pejabat setempat.
Ketentaraan dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama, amir-amir
yang terdiri dari pejabat-pejabat tinggi dan pengawal khalifah. Kedua, para
opsir jaga. Ketiga, berbagai resimen yang
bertugas sebagai hafidzah, juyutsiyah, dan sudaniyah.[8]
2.
Ekonomi dan Perdagangan
Di bawah pemerintahan Daulah Fatimiyah, Mesir mengalami kemajuan
dan kemakmuran ekonmi yang mengungguli Irak dan daerah-daerah lainnya. Hubungan
dagang dengan non-Islam dibina dengan baik, termasuk dengan India dan
negeri-negeri Mediterania yang beragama Kristen. Di samping itu, dari Mesir ini
dihasilkan produk industri dan seni Islam.
Di antara kemajuan dari bidang Ekonomi dan perdagangan Daulah
Fatimiyah adalah:
a.
Dinasti Fatimiyah merupakan penghasil gandum dan kapas terbesar di
masa itu, karena Mesir daerah yang subur, sehingga Mesir dapat mengekspor
Gandum dan kapas serta kain pada waktu itu.
b.
Dinasti Fatimiyah memajukan aneka industri dan kerajinan rakyat,
seperti tenunan, ukir-mengukiran dan sebagainya.[9]
3.
Sosial Kemasyarakatan
Mayoritas
khalifah Fatimiyah bersikap moderat dan penuh perhatian kepada urusan agama non-muslim.
Selama masa ini pemeluk Kristen diperlakukan secara bijaksana, hanya khalifah
al-Hakim yang bersikap agak keras terhadap mereka. Orang-orang Kristen Kopti
dan Armenia tidak pernah merasakan kemurahan dan keramahan melebihi sikap npemerintahan
muslim. Pada masa al-Aziz bahkan mereka lebih diuntungkan dari pada umat Islam
di mana mereka ditunjuk menduduki jabatan-jabatan tinggi di istana. Beliau
sangat menghargai orang-orang non-muslim. Demikian pula pada masa al-Muntashir
dan seterusnya, mereka hidup penuh kedamaian dan kemakmuran.[10] Selain
memberikan perhatian kepada warga non-muslim khalifah-khalifah Fatimiyah
memberikan kebebasan bernegara kepada orang-orang Sunni, sehingga banyak
da’i-da’i Sunni yang belajar di al-Azhar.[11]
Walaupun
Dinasti Fatimiyah ini bersungguh-sungguh di dalam mensyi’ahkan orang Mesir,
tetapi mereka tidak melakukan pemaksaan kepada orang Sunni untuk mengikuti
aliran Syi’ahnya. Itulah salah satu bentuk kebijakan pemerintahan yang
dilakukan Dinasti Fatimiyah yang imbasnya sangat besar dan kehidupan sosial
yang aman dan tentram.[12]
4.
Pendidikan dan Iptek
Sebagaimana
pemerintahan khalifah Abbasiyah dan Umayyah, Dinassti Fatimiyah juga mempunyai
sumbangsih besar dalam bidang pendidikan dan iptek. Banyak masjid dan sekolah
yang didirikan sebagai sentral pendidikan agama. Salah satu masjid yang
didirikan Dinasti Fatimiyah adalah Masjid al-Azhar, fungsi masjid ini menjadi
universitas al-Azhar sebagai sarana pengembangan paham Syi’ah. Hal ini
dilakukan atas usulan dari Yakub bin Killis kepada khalifah al-Aziz (975-996 M).
Pada masa khalifah al-Hakim (996-1021 M) didirikan Universitas Dar al-Ulum.[13]
Yakub bin
Killis merupakan tokoh ilmuan yang paling terkenal pada masa Fatimiyah. Pada
masanya, ia berhasil membesarkan seorang ahli fisika yang bernama Muhammad
al-Tamimi. Di samping al-Tamimi ada juga seorang ahli sejarah yang bernama
Muhammad ibnu Yusuf al-Kindi dan ibnu Salamah al-Quda’i.[14]
Pada masa
pemerintahan al-Hakim (996-121 M) juga mendirikan bait al-hikmah. Hal
ini terinspirasi dari lembaga yang sama yang didirikan al-Ma’mun di Baghdad.
Lembaga ini banyak mengoleksi buku-buku. Sehingga menjadi pusat pengkajian
astronomi, kedokteran, dan ajaran-ajaran terutama Syi’ah.[15]
5.
Kesenian
Pada masa
Daulah Fatimiyah di Mesir, kesenian merupakan salah satu bidang yang menjadi
objek perhatian khalifah. Hal ini terbukti dengan peninggalan-peningalan
pembanguan fisik dan seni arsitektur yang merupakan lambang kemajuan ketika
itu.
Beberapa konsep
Fatimiyah tentang penguasa dan imperium diekspresikan di dalam upacra,
kesenian, dan arsitektur keistanaan. Arsitektur istana Fatimiyah merupakan
persaingan antara imperium Abasiyah dan Bizantium. Beberapa kasau yang terbuat
dari emas meyangga langit-langit atau flapon, gambar burung dan binatang yang
aneh-aneh menghiasi dinding dan furniture, beberapa pancuran air terjun
menyejukkan udara. Dan singgasananya pun terbuat dari emas yang menyerupai
singgasana Bizantium.
Selain hal di
atas, tempat peribadatan juga menjadi perhatian, terbukti dengan bangunan megah
masjid al-Azhar dan masjid al-Hakim, kedua masjid ini dibangun dengan sejumlah
menara dan kubah yang melambangkan sifat ketinggian para imam dan mengingatkan
terhadap kota suci Makkah dan Madinah sebagai sebuah cara pemulian terhadap
khalifah lantaran kesungguhannya dalam berbakti kepada Tuhan dan kepada Islam.
Seni lukis
Fatimiyah dan beberapa karya manuskrip yang tercerahkan memperlihatkan pengaruh
unsur istana Abasiyah di Samarra. Kramik Fatimiyah dihiasi dengan pola-pola
tanaman dan binatang, ia melambangkan keberuntungan dan dihiasi dengan pemburu,
musikus, penari, dan tokoh-tokoh umat manusia yang menggambarkan kehiduapan
linggkungan istana. Tujuannya adalah untuk melukiskan kembali keagunggan pemerintahan
Fatimiyah.[16]
Kesenian tidak
hanya terbatas pada seni ukir saja. Pada awal pemerintahan al-Hakim Li
Amrillah, ia menjadikan kawasan sekitar pinggir sungai Nil di kota Kairo
sebagai tempat perkumpulan untuk mendengarkan musik, namun hal ini menyebabkan
merosotnya ahklak masyarakat, akhirnya al-Hakim menutup tempat-tempat tersebut
dan melarang pertunjukan musik di tempat-tempat umum.[17]
Terlepas dari
positif dan negatifnya, hal di atas merupakan bukti wujud dan berkembangnya
kesenian pada masa Daulah Fatimiyah.
6.
Pemikiran dan Fislsafat
Pada masa
Daulah Fatimiyah pemikiran dan ilmu filsafat juga mengalami kemajuan. Dalam
menyebarkan ke-Syi’ahannya, Dinasti Fatimiyah banyak mengadopsi filsafat Yunani
yang kemudian mereka kembangkan. Banyak karya filsafat Barat seperti
Aristoteles, Plato dan ahli filsafat lainnya yang diterjemahkan ke dalam bahasa
arab dan kemudian dipelajarinya. Kelompok ahli filsafat yang paling terkenal
pada masa Dinasti Fatimiyah ini adalah ikhwanu shofa. Beberapa tokoh
filusuf yang muncul pada masa Fatimiyah di antarnya Abu Hatim ar-Rozi, Abu
Abdillah an-Nasafi, Abu Yakub as-Sajazi, Abu an-Nu’man al-Maghribi dan
sebagainya.[18]
7.
Pemahaman Agama
Toleransi
keagamaan sudah menjadi perhatian pada masa Dinasti Fatimiyahm, hal ini berlangsung
pada awal pemerintahannya, tetapi pada masa selanjutnya Dinasti fatimiyah
menjadikan Syi’ah sebagai mazhab resmi negara dan bahkan akhirnya Syi’ah
dipaksakan kepada rakyat, sehingga untuk pejabat-pejabat pemerintahan harus
dari kalangan syi’ah.
Perhatian
pemerintahan Dinasti Fatimiyah terhadap agama di wujudkan dengan dibangunkannya
Masjid al-Aqsa dan mendirikan Masjid al-Azhar.[19]
D.
Faktor Kemunduran dan Kehancuran Daulah Fatimiyah
Kesuksesan dalam
menjaga harmonisasi internal dan eksternal -dalam berbagai aspek- dalam sebuah Negara akan menjadikan seorang
pemimpin bijaksana dalam pandangan masyarakat. Tak ayal sebuah kemunduran akan
terjadi, jika keseimbangan itu hilang.
Hal ini juga
terjadi pada Daulah Fatimiyah, di mana titik bermulanya kemunduran terjadi pada
masa Khalifah al-Hakim (996-1021 M) yang mengklem dirinya sebagai ‘Titisan
Tuhan’, sehingga menimbulkan kemarahan rakyat.
Bukan itu saja,
ia juga membunuh Barjawan (wazirnya), tanpa ada kesalahan dan mengabaikan nilai
toleransi dengan menghancurkan gereja Holy Spulcher.
Kemunduran ini
juga berkepanjangan sampai masa al-Muntashir, sehinggga terjadi perpecahan
dalam pemerintahan.[20]
Kemunduran
inilah yang pada akhirnya menyebabkan kehancuran. Daulah Fatimiyah dihancurkan
oleh Dinasti bani Ayyubiyah pada tahun 1171 M. Hal ini terjadi disebabkan oleh
beberapa faktor:[21]
a.
Faktor Interen
1).
Heterogennya agama, sehingga terjadi konflik antar agama.
2).
Militer yang terdiri dari beberapa suku yang menyebabkan terjadinya persaingan,
yakni antara suku Maghribi, Sudan, dan Turki.
3).
Khalifah sudah tidak mampu lagi menguasai militer dan wazir karena khalifahnnya
sudah lemah.
4).
Terjadinya perebutan kekuasaan antara khalifah dengan wazir dan antara
wazir-wazir, sehingga wazir dapat menguasai khalifah.
5).
Terjadinya kemarau panjang pada masa al-Munthasir (1036-1094 M), serta
berjangkitnya penyakit menular.
6).
Kehidupan istana yang bermewah-mewahan, sementara rakyat menderita karena
kelaparan.
7). Tidak
adanya kaderisasi pemimpin.
b.
Faktor Exteren
1). Masuknya
pasukan salib ke Suriah dan Mesir.
2).
Munculnya Dinasti Ayubiyah yang bermazhab Sunni, dipimpin oleh Salahuddin
Al-Ayubi.
E.
Kesimpulan
Daulah
fatimiyah didirikan pada tahun 909 M oleh Ubaidillah al-Mahdi. Dinasti i
Fatimiyah lahir sebagai manifestasi dari ideologi Syi’ah Ismailiyah yang
berpaham bahwa yang berhak memangku jabatan sebagai imamah adalah
keturunan Fatimah binti Rasulullah SAW. Dinasti ini lahir di antara dua
kekuatan politik khalifah yaitu Abbasiyah di Baghdad dan Umayyah II di Spanyol.
Pada masa Muiz, Mesir merupakan target yang akan dikuasainya sebelum awalnya
pusat Pemerintahannya di Tunisai. Akhirnya Mesir menjadi pusat pemerintahan
Dinasti Fatimiyah setelah Muiz berhasil menaklukkannya pada tahun 953 M.
Selama pemerintahan
Dinasti Fatimiyah berkuasa, telah banyak memberikan sumbangan dalam berbagai
bidang. Kontribusi tersebut bisa kita rasakan hasilnya sampai saat ini terutama
Masjid al-Azhar dan universitasnya sebagai pusat peradaban islam yang gemilang
dari dulu samapi saat ini. puncak kemajuan tersebut ketika di bawah
pemerintahan khalifah al-Aziz.
Kemunduran
Daulah Fatimiyah terlihat saat pemerintahan al-Hakim yang mengaku sebagai
titisan Tuhan sehingga banyak kalangan yang menaruh kebencian kepadanya. Puncak
kehancuran Dinasti Fatimiyah terlihat pada khalifah terakhir yaitu al-Adhid,
ketika Salahuddin al-Ayyubi dari Dinasti Ayyubiyah menyerang dan berhasil
menurunkan al-Adhid dari khalifah Fatimiyah pada tahun 1171 M. Dengan demikian,
maka berakhirlah Daulah Fatimiyah di Mesir.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Taufik
ED, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: PT Ikhtiyar Baru Van
Hoeve, tth)
Harun Maidir, Sejarah Peradaban Islam, (padang: IAIN Imam
Bonjol, 2001)
Jamaluddin Surur Muhammad, Tarikh ad-Daulah Fatimiyah,
(Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1995)
M. Lapidus Ira,
Sejarah Sosial Umat Islam, (Jakrta: PT. Raja Gravindo Persada 1999)
Munir Amin Samsul, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009)
Thohir Ajid , Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta:
PT Raja Grapindo Persada, 2004)
Yatim Badri , Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2006)
[1] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 254-255
[2] Ibid
[3] Lihat, Maidir harun,Sejarah Peradaban Islam, (padang: IAIN Imam
Bonjol, 2001). h. 80
[4] Ibid, h. 80-81
[5] Lihat, Taufik Abdullah ED, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam,
(Jakarta: PT Ikhtiyar Baru Van Hoeve, tth), h. 134
[6] Muhammad Jamaluddin Surur, Tarikh ad-Daulah Fatimiyah, (Kairo:
Dar al-Fikr al-Arabi, 1995), h. 125
[7] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta:
PT Raja Grapindo Persada, 2004), h.115
[8] Ibid, h. 115
[9] Lihat, Maidir Harun, Op.Cit., h. 84
[10] Samsul Munir Amin, Op.Cit, h. 265
[11] Ajid Thohir, Op.Cit, h. 118-119
[12] Ibid
[13]Lihat, Maidr Harun, op.cit, h.
84
[14] Lihat,Ajid Thohir, op.cit, h. 117
[15] Lihat, Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2006), h. 283
[16] lihat, Ira. M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, (Jakrta: PT.
Raja Gravindo Persada 1999), h 533 dan 537
[17] Muhammad Jalaluddin Surur, Op.cit, h 152
[18] Ajid Thihir, Op.Cit, h 117
[19] lihat, Maidir Harun, Op,cit, h 85
[20] Ibid. h. 85
[21] . Ibid, h 85-86
Tidak ada komentar:
Posting Komentar