Jika Daulah Umayyah menerapkan Prinsip Arab
oriented, yaitu hanya mengambil bangsa Arab pada pos-pos penting
pemerintahan, maka lain halnya dengan Abbasiyah, mereka tidak menunjuk pegawai
–termasuk militer- berdasarkan Bangsa Arab atau non-Arab, melainkan berdasarkan
loyalitas mereka terhadap Daulah.[2] Di satu
sisi ini membawa kemajuan yang pesat terhadap Daulah Abbasiyah terutama di
bidang ilmu pengetahuan, namun di sisi lain ini melahirkan kekuatan baru di
dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah itu sendiri. Dan tidak Jarang dinasti yang
berada di dalam dinasti induk Abbasiyah ini kekuasaannya melebihi kekuasaan
dinasti Abbasiyah itu sendiri, sehingga kedudukan khalifah Abbasiyah hanyalah
sebagai simbol, Sedangkan secara defacto kekuasaan berada di tangan para Amir.
Salah satu dinasti tersebut adalah Dinasti Buwaihi yang berkuasa dari tahun 334
- 447 H.
Pada makalah ini penulis akan menggambarkan
keseluruhan mengenai Dinasti Buwaihi yang meliputi: asal-usul Dinasti Buwaihi,
masa kekuasaan Dinasti Buwaihi yang terdiri:
a. Masa pembentukan
Dinasti
Buwaihi, b. Kondisi Dinasti Buwaihi,
c. Kemunduran Dinasti Buwaihi, d. Kehancuran Dinasti Buwaihi. Khusus pada
poin Kondisi Dinasti Buwaihi ini penulis juga akan menampilkan kondisi politik
pemerintahan, kemajuan ilmu pengetahuan, kesenian, ekonomi, pemahaman keagamaan
serta pemikiran filsafat di masa ini.
B.
ASAL-USUL BANI BUWAIHI
Bani Buwaihi mulai dikenal dalam sejarah adalah pada
awal abad ke-4 Hijriah. Bani Buwaihi -yang kemudian memegang kekuasaan di dalam
Daulah Abbasiyah- pada mulanya berasal dari tiga orang bersaudara,
yaitu Ali, Hasan dan Ahmad.
Ketiganya
adalah putra dari seorang yang bernama Buwaihi.[3]
Buwaihi ini berasal dari keluarga miskin yang tinggal
di suatu negeri bernama Dailam.[4] Ia
adalah seorang rakyat biasa yang kehidupan sehari-harinya sebagai pencari ikan.[5] Ketiga
orang anaknya pada mulanya juga mengikuti kehidupan dan pekerjaan sehari-hari
ayahnya. Walaupun mereka berasal dari keluarga miskin, namun keluarga ini
terkenal dengan keberaniannya. Watak keberanian ini memang sudah keturunan dari
kakek mereka yang bergelar Abu Suja’[6] yang berarti bapak pemberani. Di dalam diri
ketiga putranya ini tentu telah mengalir darah pemberani itu. Hal ini terbukti
setelah ketiga bersaudara ini jadi tentara.
Kakak tertua, yakni Ali Ibn Buwaihi karena keberanian
dan kecakapannya diangkat menjadi komandan tentara. Ia membawa kedua adiknya
pindah dari negeri mereka ke ibu kota Daulah Abbasiyah Baghdad. Sebagai tentara
yang punya keberanian tinggi ketiga bersaudara ini mengabdikan diri kepada
orang-orang penting dalam Daulah Abbasiyah untuk melindungi mereka dari bahaya
yang mengancam. Berkat langkah maju yang ditempuh oleh Ali Ibnu Buwaihi
akhirnya ia dapat masuk ke dalam pusat kekuasaan khalifah. Berawal dari
perjuangan inilah ia berhasil mengangkat nama negeri Dailam ke kawasan Timur
dan Barat.[7] Pada
gilirannya mereka menjadi penguasa di ibu kota Baghdad, dimana kekuasaan mereka
di kenal di dunia Islam Timur dan Barat.
Itulah asal usul keluarga Buwaihi yang pada mulanya
berasal dari keluarga miskin di negeri Dailam kemudian menjadi penguasa di
dalam Daulah Abbasiyah selama hampir satu seperempat abad.
C.
MASA KEKUASAAN DINASTI
BUWAIHI
Dinasti Buwaihi Berkuasa pada masa Daulah Abbasiyah
berkuasa di Baghdad selama hampir satu seperempat abad, yaitu dari tahun
334-447 H/ 945-1055 M. Meskipun dalam masa tersebut kekhalifahan dipegang oleh
keluarga Bani Abbas, tetapi khalifah hanya sebagai lambang saja. Yang menguasai
dan mengatur pemerintahan adalah keluarga Bani
Buwaihi
- Pembentukan Dinasti Buwaihi
Dinasti Buwaihi terbentuk semenjak Ahmad Ibn Buwaihi
memasuki kota Baghdad dan diserahi kekuasaan oleh Khalifah Al-Mustakfiy sebagai
pelindungnya dari bahaya orang Turki. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 12
Jumadil Awwâl 334 H. Kemudian lima hari setelah itu oleh khalifah Al-Mustakfiy,
Ahmad ibn Buwaihi dipercaya memegang jabatan atas nama khalifah. Inilah titik
awal terbentuknya Dinasti Buwaihi di dalam Daulah Abbasiyah.[8]
Sebelum Dinasti Buwaihi berkuasa di dalam Daulah
Abbasiyah, yang berkuasa adalah orang-orang keturunan Turki. Penguasa yang
terakhir dari orang-orang Turki adalah Mardawij, pada masa inilah ketiga putra
Buwaihi datang untuk bekerja di bawah pimpinan Mardawij. Oleh Mardawij mereka
diterima dengan baik, karena mereka memiliki kecakapan yang tinggi dan
ketiganya diangkat menjadi panglima untuk wilayah-wilayah yang luas, dan kepada
mereka diberi gelar sultan.
‘Ali ibn Buwaihi -putra Buwaihi yang tertua- diberi
kekuasaan untuk seluruh wilayah Persia, Al-Hasan –adik ‘Ali- diberi
kekuasan untuk wilayah Ray, Hamadzan
dan Isfahân, sedangkan Ahmad ibn Buwaihi
yang paling muda diberikan kekuasaan untuk wilayah Ahwaz dan Kirman.[9]
Dengan diberikan wilayah kekuasaan yang luas kepada Bani
Buwaihi mulailah terbuka celah bagi mereka untuk mendapatkan kemungkinan
merebut kekuasaan nantinya. Selain menguasai wilayah, mereka juga sekaligus
menjadi panglima. Karena itu kekuasaan militer juga berada di tangan mereka
yang pada suatu ketika bisa dimanfaatkan. Ahmad Ibn Buwaihi yang pada
waktu itu ibu kota Baghdad berada dalam kekuasaannya selalu mencari peluang
yang baik untuk menduduki Baghdad yang menjadi tempat kedudukan khalifah. Kota
ini dikawal ketat oleh sejumlah pengawal yang dipimpin oleh Tauzon, seorang diktator
militer yang bergelar Amîr al-Umarâ’. Pada masa khalifah al-Muttaqiy, Ahmad
ibn Buwaihi pernah diminta oleh khalifah datang ke Baghdad guna melindungi
dirinya, karena pada waktu itu terjadi keretakan hubungan antara khalifah
dengan Tauzon. Pada tahun 332 H ia berangkat menuju Baghdad, namun sebelum
masuk kota itu ia dicegat oleh Tauzon, sehingga ia gagal masuk ke sana. [10]
Pada tahun 334 H Tauzon meninggal dunia, sedangkan
wakilnya yang bernama Ibn Syairazad sedang berada di luar kota Baghdad.
Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Ahmad ibn Buwaihi untuk memasuki
Baghdad, kehadirannya diterima baik oleh Khalifah al-Mustakfiy yang ketika itu
menghadapi bahaya besar dari orang-orang Turki. Dalam kondisi ini yang terbaik
baginya adalah meminta perlindungan kepada Ahmad ibn Buwaihi yang
terkenal gagah dan berani dengan cara mengangkatnya sebagai penguasa atas nama
khalifah. Sehingga orang-orang Turki yang dianggap berbahaya tidak berpeluang
merebut kedudukan khalifah.[11]
Sebagai pengahargaan terhadap keluarga Buwaihi,
khalifah memberikan gelar kepada Ahmad Ibn Buwaihi dengan Mu’îz al-Daulah, kepada
Ali ibn Buwaihi dengan Imâd al-Daulah dan kepada Hasan ibn Buwaihi dengan
Rukn al-Daulah. Mulai saat itu resmilah keluarga Buwaihi sebagai pemegang
kekuasaan dalam Daulah Abbasiyah. Selanjutnya kekuasaan dipegang secara turun
temurun oleh keluarga ini hingga mereka dijatuhkan oleh Bani Saljuk pada tahun
447 H/ 1055 M.
Selama kekuasaan Dinasti Buwaihi ini tercatat penguasa
yang memerintah sebanyak 11 orang yaitu:
1.
Ahmad Ibn Buwaihi (Mu’îz
al-Daulah) tahun 334-356 H
2.
Bakhtiar (’Îzz al-Daulah) tahun
356-367 H
3.
Abu Suja’ ’Khusru (‘Adhd al-Daulah)
tahun 367-372 H
4.
Abu Kalyajar al-Marzuban
(’Sham-sham al-Daulah) tahun 372-376 H
5.
Abu al-Fawaris (’Syaraf al-Daulah)
tahun 376-379 H
6.
Abu Nash Fairuz (’Baha’ al-Daulah)
tahun 379-403 H
7.
Abu Suja’ (Sultan al-Daulah) tahun
403-411 H
8.
Musyrif al-Daulah tahun 411-416 H
9.
Abu Thahîr (’Jalal al-Daulah)
tahun 416-435 H
10. Abu Kalyajar al-Marzuban (Imad al-Daulah) tahun 435-440 H
11. Abu Nashr (’Kushr al-Malik al-Rahîm ) tahun 440-447 H[12]
- Kondisi Dinasti
Buwaihi
a.
Politik Pemerintahan
Pemerintahan Bani Buwaihi bukanlah kekhalifahan yang
berdiri sendiri seperti halnya Bani Abbasiyah atau Bani Umayyah. Mereka
berkuasa sebagai Amîr al-Umarâ’ di bawah kekhalifahan Bani Abbasiyah. Tercatat
selama Bani Buwaihi menjadi Amîr al-Umarâ’ mereka berada di bawah pimpinan lima khalifah
Abbasiyah yaitu: al-Mustakfiy (944-946 ), al-Muti’ (946-974 ), Al-Tâ’i (974-991
), Al-Qadîr (991-1031 ) dan al-Qhâ’im (1031-1075 ).[13]
Meskipun mereka hanyalah Amîr al-Umarâ’ Namun mereka memegang kekuasaan
secara defacto pada dinasti Abbasiyah. Bahkan pada masa Adhdu al-Daulah, ia
mulai meninggalkan istilah amir al-Umara’ dan menggantinya menjadi
Malik (raja).
Selama Bani Buwaihi memasuki kota Baghdad dan mendapat
posisi penting di pemerintahan Abbasiyah, mereka menjadikan posisi khalifah tak
obahnya seperti boneka. Segala kebijakan berada di tangan Amîr.
Seperti disebutkan terdahulu bahwa dinasti Buwaihi
mulai berkuasa sejak Mu’îz al-Daulah diserahi memegang kekuasaan atas nama
khalifah oleh al-Mustakfiy pada tahun 334 H. Langkah pertama yang beliau
lakukan adalah berusaha menggantikan kekhalifahan Bani Abbasiyah yang berpaham Sunniy
menjadi paham Syi’ah. Namun hal ini tidak berhasil dikarenakan mendapat reaksi
besar dari masyarakat.
Usaha lain yang beliau lakukan untuk menguatkan
kekuasaan adalah dengan mengganti khalifah Bani Abbasiyah Al-Mustakfiy, dan
mengangkat khalifah Al-Mutî’. Dengan diangkatnya al-Mutî’ sebagai khalifah, Muîz
a-Daulah dapat berkuasa dengan leluasa menjalankan kekuasaannya. Karena ia yang
mengangkat khalifah, maka ia dapat memperlakukan khalifah sesuka hatinya.
Selama Mu’îz al-Daulah berkuasa, dinasti Buwaihi belum
memperoleh kemajuan yang berarti. Ia banyak disibukkan menghadapi pemberontakan
dari kaum Sunniy yang berbeda paham dengan Dinasti Buwaihi yang berpaham
Syi’ah.
Pengganti Mu’îz al-Daulah adalah puteranya ‘Îzz al-Daulah.
‘Îzz al-Daulah berusaha menstabilkan kondisi politik waktu itu, namun ia malah
mendapatkan kendala yang lebih besar. Tidak hanya menghadapi kaum Sunniy,
melainkan ia harus menghadapi tantangan dari sepupunya sendiri yaitu Abu Suja’ Khursu yang bergelar Adhdu al-Daulah
yang berambisi merebut kekuasaan dari tangannya. Perang saudara terjadi yang
mengakibatkan ‘Îzz al-Daulah terbunuh pada tahun 367 H.
Setelah ‘Îzz al-Daulah terbunuh, Adhdu al-Daulah naik
menggantikannya. Ia memegang kekuasaan dari tahun 367-372 H. pada masa inilah
banyak kemajuan yang tampak pada masa Dinasti Buwaihi. Di antara keberhasilan
yang beliau capai di bidang politik pemerintahan –yang tidak pernah berhasil
dilakukan pemimpin Buwaihi yang lain- adalah:
1)
Mengganti istilah penguasa Buwaihi
dari amir al-umara’ menjadi Malik. Hal ini berhasil beliau
lakukan setelah ia menjalin hubungan dekat dengan khalifah al-Thâ’i.
2)
Mempersatukan seluruh penguasa
Buwaihi yang berada di wilayah-wilayah yang luas.[14]
Satu hal yang mesti digarisbawahi, bahwa stabilitas
politik dinasti Buwaihi cukup terkendali hanya pada masa 3 anak Buwaihi dan Adhdu
al-Daulah. Khusus setelah masa 3 anak Buwaihi, kondisi politik banyak diwarnai
pertikaian dan perebutan kekuasaan sesama keturunan Buwaihi. Dan hal ini
pulalah nantinya yang akan menyebabkan kehancuran Dinasti Buwaihi.[15] Ketika
Penguasa Kuat seperti Mu’îz a-Daulah dan
Adhdu al-Daulah maka semua dapat dikendalikan, namun ketika penguasa lemah maka
tampaklah tanda-tanda kehancuran Buwaihi. Faktor lain yang menyebabkan rumitnya
situasi politik waktu itu adalah timbulnya pertentangan di tubuh militer antara
bangsa Dailam dan Turki, serta adanya serangan-serangan gencar dari Bizantium
ke Wilayah Islam. Hal ini menyebabkan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang
memerdekakan diri dari kekuasaan pusat di Baghdad.[16] Di antara
dinasti itu adalah: Iksidiah di Mesir dan Syria, Hamdan di Aleppo dan
Lembah Furat, Ghaznawiy di Ghazna dan dinasti Saljuk yang berhasil merebut
kekuasaan dari dinasti Buwaihi.[17]
Untuk mengukuhkan politiknya, Bani Buwaihi memindahkan
fungsi pemerintahan dan keagamaan dari Baghdad ke Syiraj, meskipun secara lahir
Baghdad masih tetap sebagai pusat Abbasiah tetapi sebetulnya secara prinsip ibu
kota telah berpindah ke kota Syiraj.[18]
b.
Ekonomi
Untuk menopang perekonomian masyarakat pada masa
dinasti Buwaihi dikembangkan berbagai usaha yang meliputi :[19]
1)
Perdagangan
2)
Pertanian
Untuk menopang pertanian pada waktu itu telah dibangun
kanal-kanal dan saluran irigasi
3)
Industri
Di antara bentuk industri yang dikembangkan pada waktu itu, yang paling
besar adalah industri permadani
Satu hal yang mesti dicatat pada masa Adhdu al-Daulah berkuasa, kesejahteraan imam masjid diperhatikan, para
penulis dan tokoh agama serta ilmuan diberi honorarium yang cukup besar. Untuk kesehatan masyarakat dibangun Rumah
sakit besar di Baghdad dan di Syiraj.[20]
c.
Iptek Dan Kesenian
Sebagaimana Para khalifah Abbasiyah pada periode awal,
para penguasa Buwaihi mencurahkan perhatian yang besar dan sungguh-sungguh
terhadap ilmu pengetahuan dan kesusastraan. Pada masa Bani Buwaihi ini banyak
bermunculan ilmuan besar, di antaranya Al-Farâbiy (w. 950 M), Ibn Sina
(980-1037 M), Al-Farghâni, Abd al-Rahmân al-Shûfiy (w.986 M), Ibn
Miskawaih (w.1030 M), Abu al-A’la al-Ma’âriy (973-1057 M), serta kelompok Ikhwân
al-Shafa.[21]
Ikhwan al-Shafa ini sebetulnya telah ada sebelum Buwaihi berkuasa, tetapi
sifatnya hanya rahasia, mengingat Ikhwan al-shafa ini adalah berpaham syi’ah
sementara penguasa yang berkuasa pada dinasti Abbasiah sebelumnya berpaham
Sunniy.
Kemajuan di
masa Bani Buwaihi semakin tampak jelas dengan dibangunnya masjid-masjid, rumah
sakit, kanal-kanal dan bangunan umum lainnya, salah satunya adalah Dar
al-Mamlakah yang terdapat di kota Baghdad. [22]
Kemajuan ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat pada
masa ini terjadi karena banyak faktor, menurut analisa penulis ada beberapa hal
yang menyebabkan kemajuan ilmu pengetahuan pada masa dinasti Buwaihi, di antaranya
adalah:
1)
Warisan tradisi dari Dinasti
Abbasiyah awal yang mendorong para pemikir abad berikutnya untuk mengembangkan
ilmu pengetahuan, seperti banyaknya penterjemahan, penulisan karya ilmiah serta
pen-tahqiq-an kitab-kitab sebelumnya pada masa Harun al-Rasyîd dan
al-Makmûn.
2)
Perhatian khalifah dan amîr
yang begitu besar terhadap pengembangan ilmu pengetahuan. Ini dapat kita lihat
pada masa Adhdu al-Daulah yang memberikan honorarium yang besar terhadap para Fuqahâ’,
Muhadditsîn, mutakallimîn dan ahli Nahu, pujangga, sastrawan,
dokter, ahli Hisab, arsitek dan lain-lain.[23] Pada masa beliau, istana digunakan sebagai
tempat pertemuan ilmuan, sastrawan, cendikiawan dan ulama. Di sini menjadi
kesempatan untuk para penulis untuk menulis buku dalam berbagai cabang ilmu. Di
antara buku yang ditulis pada masa itu adalah: “Al-Idhah wa al-Takmîlah fi
al-Nahw” karangan Syekh Abu ‘Ali
al-Farîsiy, dan Taji fi Akhbâriy Baniy Buwaihi” yang ditulis oleh Ishâq al-Shâbiy.[24]
d.
Pemikiran Filsafat dan Pemahaman
Keagamaan
Masalah keagamaan pada
masa Bani Buwaihi diwarnai oleh perseteruan antara paham Syi’ah[25] yang di
bawa oleh dinasti Buwaihi dengan paham Sunniy yang dianut oleh masyarakat Abbasiyah
secara umum. Bahkan pada masa Mu’îz al-Daulah, beliau berusaha merubah paham
kekhalifahan dari Sunniy menjadi Syi’ah. Namun usaha itu gagal karena mendapat
reaksi dari masyarakat.
Tetapi pada masa Adhdu
al-Daulah toleransi/tasâmuh antara kedua paham dapat terwujud. Sehingga
baik Bani Abbas maupun Bani Buwaihi tidak ada yang memaksakan pahamnya
masing-masing. Keduanya berjalan secara serasi dan harmonis. Hanya saja Pada
masa Bahâ’ al-Daulah sempat terjadi insiden berdarah antara kaum Sunniy dan
Syi’ah
Sedangkan Pemikiran
filsafat sangat berkembang pada masa ini. Ini ditandai dengan kebanyakan tokoh
yang muncul waktu itu adalah para filosof seperti kelompok Ikhwân al-Shafâ, Ibn
Sina, Al-Farâbiy dan Ibn Miskawaih.
- Kemunduran Dinasti Buwaihi
Setelah Adhd al-Daulah meninggal pada tahu 372 H, ia
digantikan oleh putranya yang bernama Abu Kalyajar al-Marzuban yang bergelar Sham-sham
al-Daulah.[26]
Pada waktu Sham-sham al-Daulah menggantikan ayahnya hubungan baik dengan
khalifah masih dapat dipertahankan. Namun tidak lama kemudian suatu hal yang
menggoncang kekuasaannya terjadi yaitu terjadi sengketa dengan saudaranya
sendiri bernama Abu al-Fawaris yang bergelar Syaraf al-Daulah yang berambisi
merebut kekuasaan dari tangannya. Meskipun ia berusaha mengadakan perdamaian
dengan saudaranya tersebut tetapi tidak berhasil. Pada tahun 736 H Syaraf al-Daulah
berhasil merebut kekuasaan dari tangan Sham-sham al-Daulah, dan menahannya
sampai meninggal dunia pada tahun 376 H. Setelah memegang kekuasaan selama 3
tahun 11 bulan,[27]
sejak terjadinya sengketa antara Sham-sham al-Daulah dengan Syaraf al-Daulah
inilah Dinasti Buwaihi mulai mengalami kemunduran.
Pada Masa kekuasaan Syaraf al-Daulah keadaan politik
mulai memburuk karena jalan kekerasan yang ditempuhnya mendapat kebencian dari
keluarga Bani Buwaihi sendiri. Namun kebetulan ia tidak lama memegang
kekuasaan, karena meninggal pada tahun 379 H, dalam usia 28 tahun setelah
berkuasa selama 2 tahun 8 bulan.[28]
Kemudian ia digantikan oleh saudaranya Abu Nashr yang bergelar Bahâ’ al-Daulah
setelah, mendapat persetujuan dari khalifah Al-Thâ’i di Baghdad.
Berbeda dengan beberapa penguasa sebelumnya Bahâ’ al-Daulah
telah mulai memberikan kesempatan kepada orang-orang Turki untuk jabatan
penting. Bahkan ia sampai mengabaikan keluarganya sendiri yang merupakan sendi
kekuatan Bani Buwaihi. Tindakan lain yang dilakukannya adalah dengan menangkap
seorang penguasa wilayah (gubernur) Ali ibn Syaraf al-Daulah karena dianggapnya
akan menjadi saingan. Ali Adalah Putra saudaranya sendiri. Karena terlalu
khawatir, maka Ali dibunuhnya. Tindakan ini membawa dampak yang negatif.
Kemudian sewaktu terjadi sengketa antara orang-orang
Turki dengan orang-orang Dailam, Bahâ’ al-Daulah segera menghimpun orang-orang
Turki dengan maksud supaya dapat melemahkan kekuatan orang-orang Dailam.[29]
Tindakan ini menimbulkan pergolakan, salah seorang keluarga Bani Buwaihi yang
bergelar Fakhr al-Daulah yang waktu itu menjabat gubernur wilayah Ray, Hamadzan
dan Isfahan bertekad menguasai wilayah Iraq. Dan ia berusaha mendapatkan
peluang untuk menduduki Baghdad. Ketika ia berangkat bersama tentaranya menuju
Baghdad berita tentang keberangkatannya diketahui oleh Bahâ’ al-Daulah, ia
segera mengirim pasukan untuk mematahkannya, pertempuran tidak dapat dielakkan
pasukan Bahâ’ al-Daulah berhasil memukul mundur Fakhr al-Daulah. Dengan
demikian Bahâ’ al-Daulah masih dapat mempertahankan kekuasaannya, namun
kesatuan Bani Buwaihi telah mulai terpecah.
Pada tahun 381 H terjadi keretakan hubungan antara
Baha’ al-Daulah dengan khalifah Al-Thâ’i. Pada tahun itu juga khalifah
ditangkap dan dipenjarakannya. Kemudian beliau mengangkat Al-Qodir sebagai
penggantinya, dan semua harta benda yang berharga dirampasnya.[30] Dengan diangkatnya Al-Qodir menjadi khalifah
sesuai dengan persetujuan Bahâ’ al-Daulah, maka ia dapat bertindak sesuka
hatinya. Semenjak itulah khalifah hanyalah sebagai lambang kekuasaan saja dan
semua wewenang dan kekuasaan sepenuhnya berada di tangan Bahâ’ al-Daulah.
Dominasi Bahâ’ al-Daulah semakin tampak setelah ia menikahkan anaknya dengan khalifah
Al-Qodir.
Masa Bahâ’ al-Daulah ini memang menjadi masa suram
Dinasti Buwaihi, Bahkan seorang penulis yang bernama Abu Mahâsin mengatakan
bahwa Bahâ al-Daulah adalah seorang penguasa yang zalim, yang hampir tidak ada
meninggalkan karya positif bagi negara dan rakyatnya. Selain hal di atas ada
beberapa peristiwa dan catatan penting bagi perjalanan kekuasaan Bahâ al-Daulah
yaitu:
a.
Terjadinya insiden Baghdad antara
kaum Syi’ah dan kaum Sunniy, yang dipicu oleh sikap fanatik Bani Buwaihi
terhadap ajaran Syi’ah. Insiden ini hampir merenggut nyawa seorang ulama
terkenal yaitu Abu Hamîd al-Asfahâniy.
b.
Penunjukan putra mahkota yang
bermuara kepada perebutan kekuasaan anak-anaknya pada periode berikutnya,
bahkan sampai akhir kekuasaan Bani Buwaihi.[31]
Dari uraian ini dapat disimpulkan Bahwa di antara
faktor-faktor penyebab kemunduran Dinasti adalah:
a.
Terjadinya perebutan kekuasaan
sesama keluarga Buwaihi
b.
Rusaknya Hubungan Khalifah dengan
penguasa
c.
Pemberian jabatan penting kepada
orang Turki (Saljuk) dan mulai mengabaikan orang-orang Dailam sendiri
(khususnya di bidang politik).
d.
Terjadinya pertikaian antara
Syi’ah dan Sunniy
e.
Ketidakmampuan penguasa
mengendalikan stabilitas politik
- Kehancuran Dinasti Buwaihi
Ketika telah terjadinya penggulingan demi penggulingan
kekuasan sesama keluarga Bani Buwaihi, tepatnya pada masa Al-Malik al-Rahîm,
Bani Saljuk di bawah pimpinan Tugrul Bek menyerbu Kota Baghdad, yang akhirnya
ia berhasil menangkap Al-Malik al-Rahîm, serta Baghdad dapat dikuasai.
Semenjak itu berakhirlah masa Dinasti Buwaihi, dan berdirilah Dinasti Bani
Saljuk di Daulah Abbasiyah sebagai ganti Dinasti Buwaihi.
D.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Bani Buwaihi merupakan bani berpaham Syi’ah yang
berkuasa secara defacto selama satu seperempat Abad di dalam dinasti Abbasiyah.
Namun kekuasaannya pada masa khalifah-khalifah Abbasiyah tertentu melebihi
kekuasaan khalifah. Bahkan khalifah bagi mereka hanyalah seperti boneka. Dinasti
Ini hanya berjaya pada masa 3 anak Buwaihi dan Adhdu al-Daulah, dan mengalami
kehancuran karena banyaknya pertikaian dan saling menggulingkan antara sesama amîr.
Dikarenakan makalah ini bersifat deskriptif maka sulit
bagi penulis untuk menyimpulkannya secara satu persatu. Mungkin inilah
kesimpulan singkat yang mewakili isi makalah ini.
2.
Saran-saran
Supaya terintegralnya pembahasan ini penulis
mengharapkan kepada seluruh peserta diskusi untuk dapat membaca dan membahas
masalah Bani Buwaihi ini dengan membandingkannya langsung dengan sejarah Bani
Abbasiyah. Karena bagaimanapun Bani Buwaihi merupakan bani yang berkuasa di
dalam dinasti Abbasiah. Sehingga nantinya tidak ada kita dapati hal yang
bertolak belakang antara satu sejarah dengan sejarah lain.
Terakhir penulis menyadari, bahwa dalam penulisan
makalah ini terdapat berbagai kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan saran
kontributif dan membangun dari kita bersama.
DAFTAR
KEPUTAKAAN
Abd Allah, Taufik dkk (Ed),
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Khilafah, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve, [tth].
Ahmed, Akbar S, Citra
Muslim, Tinjauan Sejarah dan Sosiologi, Jakarta: Erlangga, 1992
Faqih, Aunur Rahim Dan
Muntoha (ed), Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: UII
Press, 1998
Glasse, Cyril, The
Concise Encyclopedia of Islam, diterjemahkan oleh Ghufron A.Mas’adi, Jakarta:
PT Raja Grafindo, 1999
Hasan, Hasan Ibrâhîm, Tarikh al-Islam, Kairo:
Maktabah al-Nahdhah al-Misriyah, 1964
Ibn al-Atsîr, Al-Kamîl
fi al-Tarikh, Beirut: Dar Shadir, 1966
Ibn Khaldun, Muqaddimah
Ibn khaldun, (terj. Ahmadie Thoha), Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000
Lapidus, Ira M, Sejarah
Sosial Umat Islam, Bagian ke-satu dan dua, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1999
Mahmûd, Hasan
Ahmad, Al-Islâm wa al-Hadhârah al-Arabiyyah fi Asia al-Wustha, Kairo:Dar
al-Nahdhah, 1968
Mahmûd, Hasan
Ahmad dan Ahmad Ibrâhîm al-Syarîf, Al-‘Alâm al-Islâmiy fi
al-‘Ashri al-Abbasiy, Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabiy, 1977
Ridwan, Kafrawi dkk (ed), Ensiklopedi
Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994
[1] Sebuah
dinasti yang berkuasa di Iraq dan Persia, yang
juga dikenal dengan Buwaihids. Lebih lanjut lihat. Cyril Glasse, The
Concise Encyclopedia of Islam, diterjemahkan oleh Ghufron A.Mas’adi,
(Jakarta: PT Raja Grafindo, 1999) h. 65. Atau lihat juga Akbar S. Ahmed,
Citra Muslim, Tinjauan Sejarah dan Sosiologi, (Jakarta: Erlangga, 1992),
h. 45
[2] Ira M.
Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Bagian ke-satu dan dua, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1999), h. 109
[3]
Hasan Ahmad Mahmûd dan Ahmad Ibrâhîm al-Syarîf, Al-‘Alâm
al-Islâmiy fi al-‘Ashri al-Abbasiy, (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabiy, 1977),
h. 499, lihat juga. Kafrawi Ridwan dkk (ed), Ensiklopedi Islam,
(Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, [1994]) Jld. I, h. 267
[4]
Dikarenakan mereka tinggal di Dailam (di sekitar lautan Kaspia), mereka juga
dikenal dengan Bangsa Dailamiy, Lihat, Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn khaldun,
(terj. Ahmadie Thoha), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h.189
[5] Untuk
lebih jelas lihat Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islâmiyah
II, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2006) h. 69
[6] Hasan
Ibrâhîm Hasan, Tarikh al-Islam, (Kairo: Maktabah al-Nahdhah
al-Misriyah, 1964) Juz III, h. 37
[7] Hasan
Ahmad Mahmûd dan Ahmad Ibrâhîm al-Syarîf, Op Cit,
h.500
[8] Hasan Ahmad Mahmûd, Al-Islâm
wa al-Hadhârah al-Arabiyyah fi Asia al-Wustha, (Kairo:Dar al-Nahdhah,
1968), h. 77
[9] Hasan
Ibrâhîm Hasan, , Op Cit, h. 39
[10] Ibid,
h. 43
[11] Ibn
al-Atsîr, Al-Kamîl fi al-Tarikh, (Beirut:
Dar Shadir, 1966), Juz VIII, h. 450
[12] Taufik
Abd Allah dkk (Ed), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Khilafah, (Jakarta:
PT Ichtiar Baru Van Hoeve, [tth]), h.
[13] Ibid
[14] Hasan Ibrâhîm Hasan, Op
Cit, h. 45
[15] Hal ini akan penulis rinci pada poin
berikutnya, yaitu dalam pembahasan fase kemunduran dinasti Buwaihi.
[16] Badri
Yatim, Op.Cit, h. 71 dan 72
[17] Ibid
[18] Lihat
Ahmad Salabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, (Jakarta: Pustaka
Al-Husna, 1993), h. 329-330.
[19] Ibid
[20] Ibid
Lebih jelas lihat Ibn al-Atsîr, Op Cit, h. 705
[21] Ibid
[22] Ibid
[23] Hasan
Ibrâhîm Hasan, Op Cit, h.
48
[24] Ibid
[25] Pada
sebahagian buku dijelaskan bahwa Syi’ah yang dianut oleh Dinasti Buwaihi adalah
syi’ah Itsna ‘Asyariah. Salah satunya lihat. Aunur Rahim Faqih Dan Muntoha
(ed), Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: UII Press, 1998),
h. 63
[26] Ibn
al-Atsîr, Op Cit, h. 18
[27] Hasan
Ibrâhîm Hasan, Op Cit, h. 49
[28] Ibid
[29] Ibid,
h. 50
[30] Ibid
[31] Di
akhir Hayatnya Baha’ al-Daulah menunjuk anaknya yang pertama Sultan al-Daulah
sebagai Penguasa, namun hal ini menimbulkan kecemburuan dari saudaranya yang
lain, sehingga terjadilah penggulingan kekuasaan dari satu penguasa ke tangan
pernguasa lainnya. Dan hal seperti ini berlanjut dari khalifah Sulthan
al-Daulah sampai terakhir masa Malik al-Rahîm. Hal inilah yang membawa
kehancuran Dinasti Buwaihi. Karena di dalam proses saling menggulingkan
kekuasaan antara sesama keturunan Buwaihi ini, tidak jarang mereka meminta
bantuan kepada Bani Saljuk. Dan akhirnya ketika Bani Saljuk telah mendapatkan
momennya –tepatnya pada tahun 447 H- mereka mereka berhasil menduduki Baghdad
dan secara otomatis berakhirlah masa dinasti Buwaihi berkuasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar