Perbedaan
pendapat yang terjadi dikalangan umat Islam merupakan hal yang wajar sepanjang
perbedaan itu dapat disikapi dengan baik, bahkan tidak tertutup kemungkinan hal
itu akan menjadi rahmat. Banyak faktor yang mempengaruhi timbulnya perbedaan
pendapat tersebut, antara lain fanatik kesukuan, perbedaan ilmu dan sudut
pandang, sosial budaya, persoalan politik , adanya ayat-ayat mutasyabihat, dan
lain-lain.
Dalam sejarah perkembangan
pemikiran Islam, munculnya berbagai aliran berawal dari peristiwa yang terjadi
antara Mu’awiyah dan Ali bin Abi Thalib atas terbunuhnya Utsman bin ‘Affan khalifah ke tiga tahun 656 M. Konsekwensi dari peristiwa ini tidak hanya
menimbulkan persoalan politik dalam dunia Islam, tetapi juga memunculkan aliran-aliran
theologis. Fenomena ini sangat menarik untuk dicermati, baik dari aspek
historis, doktrin dan lain-lain.
Mu’tazilah
merupakan satu diantara sekian aliran yang berkembang dikalangan umat Isam.
Mu’tazilah adalah aliran theology Islam terbesar dan tertua yang lahir
sekitar permulaan abad pertama hijriyah
di sebuah kota yang pada waktu itu merupakan
pusat ilmu dan peradaban Islam yaitu kota
Basrah di Iraq. Aliran Mu’tazilah muncul sebagai refleksi politik dan respon
terhadap pemikiran-pemikiran minoritas Khawarij dan Murji’ah.
Aliran Mu’tazilah dalam bidang theologi menganut sistem rasionalis.
Penyebutan rasionalis (ahl – al-ra’y) pada dasarnya lebih disebabkan
oleh corak pikir mereka yang cenderung menggunakan rasio sebagai bash power
pemikirannya. Kehadiran Mu’tazilah dalam sejarah pemikiran Islam telah mendapat
sorotan dari pihak-pihak diluar aliran ini. Ada yang memandang aliran ini sebagai aliran
sesat (tergelincir) dari kebenaran, dan adapula yang memandangnya sebagai
aliran yang telah berjasa terhadap Islam.
Untuk mengetahui lebih jauh,
bagaimana faham dan pemikiran yang dianut oleh kaum Mu’tazilah, dalam makalah ini
akan penulis kemukakan beberapa pokok
bahasan terkait dengan aliran m’tazilah tersbut yang meliputi : Ajaran Pokok Mu’tazilah (Al-Ushul
al-Khamsah), Akal dan Wahyu, Sifat Tuhan, Iman dan Kufur, Perbuatan Manusia
, Perbuatan Tuhan dan Mihnah.
II. PEMBAHASAN
1. Pengertian dan Sejarah Lahirnya Mu’tazilah
Secara
harfiah kata
mu’tazilah berasal dari kata ‘azala yang diberi tambahan (mazid)
dua huruf menjadi I’tazala yang
berarti “berpisah” atau “memisahkan diri”, juga berarti “jauh atau menjauhkan
diri”.[1]
Abul Fida dalam kitabnya “Akhbar Abi al-Fida” seperti yang dikutip oleh Prof.
DR. Abdul Aziz Dahlan dalam bukunya “ Teologi dan Aqidah dalam Islam”
mengatakan bahwa sejumlah orang yang tidak termasuk golongan Utsman bin ‘Affan
dan tidak mau pula membai’ah Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, mereka
itu disebut kaum mu’tazilah.[2]
Sejarah munculnya aliran
mu’tazilah berawal di kota Bashrah
(Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa
pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul
Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid al-Hasan al-Bashri
yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal (lahir 80 H dan wafat 131
H), kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha' berpendapat bahwa muslim
berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam
Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah
awal kemunculan paham ini, Wasil bin Atha’ pun memisahkan diri dan akhirnya
golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya.
Peristiwa ini terjadi disaat
halaqah yang dipimpin oleh Hasan al Bashri yang pada saat itu juga
dihadiri oleh Amr bin Ubaid dan Wasil bin Atha’. Pembicaraan mengenai orang
mukmin yang melakukan dosa besar muncul karena ada salah seorang yang hadir menanyakan
kepada Hasan al Bashri, apakah orang mukmin yang melakukan dosa besar masih mukmin atau kafir, kelompok Khawarij
memandang mereka kafir, Murji’ah masih mengelompokkan mereka kepada mukmin.
Ketika Hasan al Bashri masih berfikir, Wasil bin Atha’ mengeluarkan
pendapatnya, bahwa orang mukmin yang melakukan dosa besar tidak lagi mukmin dan
tidak pula kafir, melainkan diposisi antara keduanya. Selesai berkata Washil
berdiri dan meninggalkan majelis. Atas peristiwa itu Hasan al Bashri mengatakan
“i’tazala ‘anna” (Wasil telah memisahkan diri dari kita), inilah yang kemudian
menjadi awal sebutan mu’tazilah bagi Wasil dan rekan-rekannya.[3]
2. Ajaran Pokok Aliran Mu’tazilah
Setting
utama yang menjadi potret pembahasan paham Mu’tazilah yang dikembangkan oleh
pendiri dan pengikut-pengikut aliran ini berkisar pada masalah ushul al-khamsah (lima ajaran pokok)
Kelima ajaran pokok tersebut adalah :
- Al-Tauhid
( Ke Maha Esaan Tuhan )
Tauhid merupakan prinsip utama dan inti sari ajaran
Islam, namun bagi Mu’tazilah tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus di
sucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti ke-Maha Esaan-Nya. Untuk
memurnikan ke-Esaan Tuhan , Mu’tazilah menolak konsep bahwa Tuhan memiliki
sifat. Dia melihat, mendengar, kuasa, dan lain-lain, namun mendengar, melihat
dan kuasa Tuhan itu bukan sifat tapi adalah Dzat Tuhan itu sendiri.[4]
Menurut Abu Huzail. Nama lengkapnya Hamdan bin
al-Huzail al-Allaf (lahir 135 H dan
wafat tahun 255 H), pemberian sifat-sifat pada Allah berarti menghilangkan
keesaan-Nya. Sifat-sifat Allah itu tidak mempunyai bentuk yang mandiri, tetapi
menyatu dengan eksistensi keesaan-Nya, karena itu Tuhan tidak dapat disebut
memiliki sifat.[5]
Dengan dasar tauhid tersebut juga, kaum Mu’tazilah menetapkan bahwa
al-Qur’an adalah makhluk Allah (Khalq
Allah). Penetapan ini dimaksudkan untuk
mencegah berbilangnya yang qadim, karena tidak ada yang qadim kecuali Allah.[6]
Meskipun mu’tazilah digolongkan kepada “Mu’atthilah”
(orang yang meniadakan sifat-sifat Tuhan), namun setelah dicermati, menurut
penulis Mu’tazilah hanya meniadakan atau menafikan sifat-sifat Tuhan dalam
penyebutan, tidak dalam pemahaman (keyakinan), karena sifat itu menurut mereka
menyatu dengan eksistensi Tuhan. Mereka meyakini bahwa Tuhan melihat, tetapi Tuhan
melihat dengan zat-Nya, Tuhan ‘Alim, tetapi Tuhan ‘alim (mengetahui) dengan
zat-Nya dan seterusnya.
- Al-‘Adl
( Keadilan Tuhan)
Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua adalah al-‘Adl
(keadilan Tuhan), artinya Tuhan Maha Adil. Menurut meraka keadilan Tuhan itu
adalah Tuhan tidak menghendaki keburukan, meskipun Tuhan berkusa bersikap
zalim, akan tetapi mustahil Tuhan berbuat zalim, bila Tuhan berbuat zalim, maka
kezaliman-Nya itu dapat mengurangi kesempurnaan-Nya. Menurut Abu Huzail, Tuhan
dikatakan adil, bila semua perbuatannya itu baik atau Tuhan tidak berbuat yang
tidak baik.
Tuhan baru dikatakan ‘Adil manakala Ia senantiasa
berbuat yang terbaik untuk manusia. Bahkan menurut mereka wajib[7]
bagi Tuhan untuk mendatangkan yang terbaik bagi manusia. Ajaran ini lebih
dikenal dengan sebutan al-Shalih wa al-ashlah.[8]
Dasar keadilan yang di pegangi mereka ialah
meletakkan pertanggungan jawaban manusia atas segala perbuatannya. Dalam
menafsirkan keadilan, mereka berkata: Tuhan tidak menghendaki keburukan
keburukan, tidak menciptakan perbuatan manusia, manusia bisa mengerjakan
perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya, Allah hanya memerintahkan apa yang
dikehendaki-Nya. Ia hanya menguasai kebaikan kebaikan dan memerintahkan itu
pada manusia dan tidak campur tangan dalam keburukan-keburukan yang dikerjakan
manusia. Dari ajaran dasar keadilan Tuhan inilah timbul paham kebebasan
manusia. Manusia bebas dalam memilih, berkehendak dan berbuat, boleh memilih
antara yang baik dan buruk, karena kelak manusia itu pulalah yang akan menerima
balasan sesuai dengan pilihannya ketika hidup didunia. Inilah yang disebut
dengan ‘Adil.[9] .
Sepintas pendapat dan pemikiran Mu’tazilah tersebut
di atas senada dengan Qadariyah, namun bila ditelusuri pendapat ini terkesan
mengatur Tuhan terutama dalam hal memberikan keadilan bagi manusia.
- Al-Wa’d
wa al-Wa’id ( janji
dan Ancaman)
Janji dan
Ancaman adalah kelanjutan dari prinsip
keadilan. Mu’tazilah yakni bahwa Allah akan memberikan balasan yang baik
bagi pelaku kebaikan dan siksa untuk pelaku kejahatan.[10]
Allah tidak adil jika tidak memberi
pahala kepada orang yang berbuat baik dan memberi siksaan kepada orang yang
berbuat jahat. Siapa yang keluar dari dunia dengan segala ketaatan dan penuh
taubat maka ia akan mendapat pahala. Karena itu Mu’tazilah mengingkari adanya
“syafaat” di hari kiamat , karena syafaat menurut mereka berlawanan dengan
janji dan ancaman Allah (al-Wa’d wa al-Wa’id).[11]
- Al-Manzilah
bayn al-Manzilataini
Pada dasarnya prinsip ini merupakan pembahasan
seputar tahkim terhadap pelaku dosa besar. Orang berdosa besar bukan kafir
sebagaimana yang disebutkan oleh kaum Khawarij dan bukan pula mukmin
sebagaimana yang dikatakan oleh kaum Murji’ah, tetapi fasiq, yang menduduki
posisi antara mukmin dan kafir (di bawah orang mukmin dan diatas orang kafir).
Mnurut
Wasil bin Atha’ kata mukmin merupakan sifat baik dan nama pujian yang tidak
bisa diberikan kepada orang fasiq, prediket kafir juga tidak dapat diberikan
kepada orang fasiq, karena dibalik dosa besar yang ia lakukan ia masih mengucapkan
dua kalimat syahadat dan mengerjakan perbuatan baik, orang seperti ini
jika mati sebelum bertaubat akan kekal dalam neraka, hanya siksaan yang
diterimanya lebih ringan dari siksaan orang kafir.
Dari keterangan diatas terlihat
jelas, bahwa kaum Mu’tazilah tidak memiliki konsistensi dalam pemahamannya.
Mereka berpendirian bahwa orang mukmin yang berdosa besar berada diantara dua posisi ( tidak mukmin dan
tidak juga kafir) ini menunjukkan bahwa tempat pembalasan mereka bukan di sorga
dan bukan pula dineraka, namun kenyataannya mereka meyakini bahwa orang brdosa
akan masuk neraka, walaupun menurut mereka hukumannya lebih ringan dari orang-orang
kafir.
- Al-Amr
bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an
al-Munkar
Artinya adalah memerintahkan kebaikan
dan melarang keburukan. Ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan
kebaikan. Ini merupakan konsekwensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan
keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik yang salah satu diantaranya
adalah menyuruh orang berbuat baik dan melarang orang berbuat mungkar.
Ajaran
ini tidak hanya kewjiban bagi mu’tazilah saja, tetapi berlaku untuk seluruh
umat Islam, perbedaannya hanya terletak pada tata cara pelaksanaannya. Apakah
perintah dan larangan cukup dijalankan dengan seruan saja, ataukah perlu
diwujudkan dengan paksaan dan kekerasan ?.
Kaum
Khawarij memandang untuk menerapkan ajaran ini perlu kekerasan, sedangkan kaum
Mu’tazilah berpendapat cukup dengan
seruan saja dan kekerasan dapat dilakukan kalau diperlukan.[12]
seperti yang pernah mereka lakukan pada kasus Mihnah.
Bagi
kaum mu’tazilah, yang ma’ruf itu adalah hal-hal yang mereka anggap benar dan
baik menurut ajaran Islam dan apa-apa yang sejalan dengan pendapat mereka.
Sedangkan apa-apa yang menyalahinya
dipandang sebagai yang mungkar dan harus diberantas.[13]
Menurut
Abd. Al-Jabbar, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang mukmin dalam melakukan amar ma’ruf
nahi mungkar, diantaranya :
1. Ia mengetahui
perbuatan yang disuruh itu ma’ruf dan yang diarang itu mungkar
2. Ia mengetahui
bahwa kemungkaran itu telah nyata dilakukan orang
3. Ia
mengetahui bahwa perbuatan amar ma’ruf
nahi mungkar itu tidak akan membawa mudharat yang lebih besar
4. Ia mengetahui
bahwa tindakannya tidak akan membahayakan harta dan dirinya.[14]
3.
Akal dan Wahyui
Akal
dan wahyu memiliki kedudukan yang sangat penting untuk mengetahui soal ke
Tuhanan dan untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan. .[15]
Abu
Huzail, adalah tokoh mu’tazilah pertama yang memberikan pandangan terhadap
kedudukan akal dan wahyu dalam mengetahui masalah ke Tuhanan dan
kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan. Beliau mengatakan bahwa akal
manusia dapat [16] :
1. Mengtetahui
adanya Tuhan
2. Mengetahui
kewajiban manusia untuk berterima kasih kepada Tuhan
3. Mengetahui apa
yang baik dan apa yang buruk
4. Mengetahui
kewajiban manusia untuk melakukan yang baik dan kewajiban manusia menjauhi yang
buruk
Menurut Abu Huzail,
meskipun akal mampu mengetahui Tuhan, mengetahui yang baik dan buruk dan
mengetahui kewajiban-keajiban terhadap Tuhan, namun untuk mengetahui cara
memuja dan menyembah Allah, maka keberadaan wahyu diperlukan. Akal betul dapat
mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, tetapi wahyulah yang
menerangkan kepada manusia cara yang
tepat menyembah Tuhan.[17]
Lebih lanjut al-Hilli mengatakan bahwa akal dapat mengetahui sebahagian dari
yang baik dan sebahagian dari yang buruk.[18]
Abd. Al-Jabbar berkata : Akal dapat mengetahui kewajaiban-kewajiban dalam garis
besarnya saja, tetapi tidak sanggup mengetahui perinciannya, baik mengenai
hidup manusia di akhirat, maupun mengenai hidup manusia di dunia.[19]
Dari
penjelasan tersebut di atas, jelaslah bahwa tidak semua yang baik dan tidak
semua yang buruk dapat diketahui oleh akal. Untuk mengetahui itu akal
memerlukan pertolongan wahyu. Oleh karena itu
wahyu bagi kaum Mu’tazilah mempunyai fungsi konfirmasi dan informasi,
memperkuat apa-apa yang telah diketahui oleh akal dan menerangkan apa-apa yang
belum diketahui oleh akal.[20] Dalam
keterangan al-Syahrastani seperti dikutip oleh Prof.Dr.Harun Nasution,
bahwa wahyu mempunyai fungsi konfirmasi bagi mu’tazilah, … dan jika syari’at
membawa penjelasan tentang baik dan
buruk, syariat memberi informasi, dan menetukan baik dan buruk (kana mukhbiran
‘anha la mutsbitan laha) Akal telah tahu pada Tuhan dan telah tahu akan
kewajiban terhadap Tuhan, dan wahyu datang untuk mengingatkan manusia pada
kewajiban itu.
4. Sifat Tuhan
Mu’tazilah berpandangan bahwa Tuhan tidaklah memiliki
sifat. Washil bin Atho’ mengatakan Kalau
Tuhan memiliki sifat , maka dalam diri Tuhan terdapat unsur yang banyak, yaitu unsur yang disifati dan unsur-unsur
sifat yang melekat pada zat. Kalau dikatakan Tuhan mempunyai sifat 20, Tuhan
akan mempunyai 21 unsur, kalau Tuhan memiliki 99 sifat, unsurnya bertambah
menjadi 100. Jika Tuhan memiliki sifat , sifat itu mestilah kekal seperti
halnya dengan zat Tuhan. Dan jika sifat-sifat itu kekal, maka yang bersifat
kekal bukanlah satu, tetapi banyak. Tegasnya, kekalnya sifat-sifat akan membawa
kepada faham banyaknya yang kekal (ta’addud al-qidam).[21] ,
dan hal ini akan membawa kepada kemusyrikan, dan syirik adalah dosa besar yang
tidak dapat diampuni
Tuhan tidak memiliki
sifat, itu bukan berarti , bahwa Tuhan tidak mengetahui, tidak berkuasa, tidak
berkehendak dan sebagainya, . Tuhan tetap nengetahui, berkuasa, berkehendak dan
sebagainya , tetapi mengetahi, berkuasa dan sebagainya itu bukanlah sifat dalam
arti sebenarnya. Menurut Abu Huzail arti Tuhan mengetahui , ialah Tuhan
mengetahui dengan perantaraan pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan
sendiri, yaitu zat atau esensi tuhan.[22]
Sedangkan menurut al-Jubba’i arti Tuhan mengetahui dengan esensinya ialah untuk
mengetahui Tuhan tidak berhajat kepada suatu sifat dalam bentuk pengetahan atau
keadaan mengetahui.[23]
Walaupun Mu’tazilah berpendapat tuhan tidak memiliki
sifat, mereka tidak menolak ayat-ayat yang menggambarkan tentang
sifat Tuhan, namun harus diberi interpretasi lain, seperti kata al-‘arsy ,
tahta, kerajaan diberi arti kekuasan.
5. Iman dan Kufur
Iman merupakan aspek penting dalam ajaran Islam
termasuk bagi kaum Mu’tazilah. Mu’tazilah berpendapat bahwa amal perbuatan
merupakan salah satu unsur penting dalam konsep iman. Mereka berpendapat bahwa
seseorang yang selalu meningkatkan amal kebajikannya, maka imannya semakin
bertamabah dan setiap kali melakaukan maksiat, maka imannya semakin berkurang.[24]
Iman bukanlah sekedar
tashdiq dan iman dalam arti mentgetahuipun belumlah cukup. Abd. Al-Jabbar
berkata : orang yang tahu Tuhan, tetapi melawan kepadanya, bukanlah orang yang
beriman.[25]
Tegasnya iman adalah melaksanakan perintah-perintah Tuhan. Mu’tazilah sebagai
aliran yang mengutamakan akal, berpendirian bahwa iman tidaklah mempunyai arti
pasif dan tashdiq saja, tetapi mesti memiliki arti aktif, karena manusia dengan
akalnya mesti sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan.
Menurut hemat penulis,
Jika dikaitkan dengan kebebasan yang dimiliki oleh manusia dalam berbuat dan
berkehendak serta kemampuan manusia mengenal Tuhan dan kewajiban-kewajiban yang
diperintahkan kepadanya, maka naluri keimanan yang diberikan Allah kepada
manusia, baru akan tumbuh dan berkembang seiring dengan kemauan manusia untuk
mengembangkannya. Setidaknya inilah isyarat yang dapat dimaknai dari perkataan
iman mesti memiliki arti aktif. meskipun
persoalan hidayah Allah tidak dapat diabaikan.
6. Perbuatan Manusia
Dalam hal perbuatan
manusia, kaum Mu’tazilah menganut kekebasan atau free will yang merupakan
penjabaran dari ajaran Al-‘Adl (keadilan
Tuhan). Faham ke Maha Adilan Tuhan menghendaki agar manusia sendirilah yang
melakukan perbuatan dalam arti kehendak dan daya yang diperlukan untuk
melakukan perbuatan, haruslah kehendak dan daya manusia sendiri, bukan kehendak
dan daya Tuhan sebagaimana yang dianut oleh paham Jabariyah. Kalau manusia
melakukan perbuatan baik atau perbuatan
jahat bukan karena kehendak dan dayanya sendiri, tentu menjadi sesuatu yang
tidak adil kalau Tuhan akan menghukumnnya oleh karena perbuatan yang tidak
dikekehndakinya atau oleh karena daya dan tekanan yang datang dari luar drinya.
Al-Jubba’i menerangkan, bahwa manusialah yang menciptakan
perbuatan-perbuatannya, manausia berbuat baik dan buruk ,patuh dan tidak patuh
kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri. Dan daya untuk mewujudkan
kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia
sebelum adanya perbuatan[26]
hal senada juga dikemukakan oleh Abd.
Al-Jabbar.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa perbuatan-perbuatan yang dilakukan
oleh manusia akan terjadi sesuai dengan kehendaknya. Dan hal ini tentunya akan
berbeda kalau perbuatan manusia itu adalah perbuatan Tuhan bukan perbuatan
manusia, maka sesuatu yang diinginkan oleh manusia bisa tidak akan terjadi dan
sesuatu yang diinginkanpun tidak akan terjadi. Begitupun kalau manusia
melakukan kejahatan, tentu itu adalah perbuatan Tuhan, dan Tuhan dengan
demikian bersfiat zalim. Hal ini tidaklah dapat diterima akal.
Faham kebebasan berbuat yang dianut oleh kaum mu’tazilah mengandung
pengertian bahwa kebebasan yang
diberikan kepada manusia bukan semata-mata kebebasan absolut yang terlepas dari
kehendak mutlak Tuhan. Artinya Tuhan memberikan kebebasan kepada manusia untuk
berbuat baik atau jahat, namun dibalik semua itu Tuhan menyediakan
sanksi-sanksi atas perbuatan manusia tersebut. Maksudnya manusia akan dituntut
pertanggungjawaban kelak dikemudian hari atas jalan yang ia pilih, baik atau
buruk.
Menururt penulis kebebasan mutlak tidak akan pernah ada, atau dengan kata
lain tidak semua perbuatan yang dikehendaki manusia akan terwujud sesuai
kehendaknya, disana pasti ada keterlibatan Allah sebagai Rabb.
Kalau manusia yang penentu kenapa mesti ada yang gagal, kenapa harus ada yang
kecelakaan dan sebagainya. Oleh karena itu, menurut penulis kebebasan berbuat
dan berkehendak tidak akan terwujud jika berjalan diluar sistem Allah
(sunnatullah)
7. Perbuatan
Tuhan
Allah adalah Tuhan Yang Maha Sempurna; baik dalam dzat, sifat maupun
perbuatan-Nya. Dia berbuat atau tidak
melakukan sesuatu semua atas iradah (kehendak) Nya sendiri. Dan yang
pasti semua aliran dalam pemikiran Islam berpandangan bahwa Tuhan melakukan
perbuatan.
Dalam pandangan Mu’tazilah Tuhan hanya akan melakukan perbuatan-perbuatan
yang baik, mustahil Tuhan melakukan perbuatan yang tidak baik, karena hal itu
akan bertentangan dengan kemahaadilan
dan kemahasempurnaan Tuhan, dan Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk , karena
Ia mengetahui keburukan dari perbuatan buruk itu. Ayat-ayat al-Qur’an yang
dijadikan oleh Mu’tazilah untuk mendukung pendapat ini terdapat pada surat
al-Anbiya’ (21) ayat 23 : Artinya : “Dia tidak ditanya atentang apa yang diperbuatn-Nya,
dan merekalah yang akan ditanya”.
Menurut Abd. Jabbar, ayat tersebut
memberi petunjuk bahwa Tuhan hanya berbuat baik dan maha suci dari perbuatan
buruk. Sebagai yang Maha sempurna dan Maha Adil, maka Tuhan wajib melakukan perbuatan-perbuatan
baik. Dari sini timbullah faham al-shalih
wa al-ashlah. Hal ini mengandung arti bahwa Tuhan wajib mewujudkan yang
baik, bahkan yang terbaik bagi manusia
8. Mihnah
Al-Mihnah artinya “cobaan”, “menguji” atau
“memeriksa”. Menurut Ahmad dalam bukunya Dhuha al-Islam seperti yang
dikutip oleh al-Asyraf mengatakan bahwa al-Mihnah dimaksudkan sebagai
pemeriksaan untuk mengetahui para ulama dan pejabat kehakiman mengenai
kemakhlukan al-Qur’an. Bagi mereka yang berpendirian bahwa al-Qur’an itu qadim
maka mereka akan disiksa, karena keyakinan seperti itu dianggap syirik yang
harus dibetulkan dengan cara amr bi al-ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-munkar,
bila perlu dengan kekerasan.[27]
Al-Mihnah menjadi senjata ampuh bagi kaum mu’tazilah untuk
memperkuat kedudukannya ditengah-tengah masyarakat. Dengan al-Mihnah
mereka dapat menguji pendapat dan kesetiaan
para hakim, pejabat dan juga pemuka-pemuka masyarakat yang memiliki
pengaruh terhadap paham Mu’tazilah disertai dengan tindak kekerasan dan paksaan
agar mereka mau menerima paham bahwa al-Qur’an itu adalah makhluk..[28]
Kegiatan ini bertambah kuat dengan dukungan yang diberikan oleh khalifah
Abbasiyah (khalifah al-Makmun) yang
menjadikan Mu’tazilah sebagai aliran (mazhab) resmi pemerintah. Sampai akhirnya
kholifah Al-Mutawakkil (218.H) naik sebagai pemegang estapet kepeminpinan
tertinggi dalam Islam dan menyatakan pembatalan terhadap status aliran Mu’tazilah
sebagai mazhab negara dan menyatakan kecendrungannya kepada Ahlusunnah wal Jama’ah.
Setelah
peristiwa itu kejadian menjadi berbalik, kaum Mu’tazilah berada pada
posisi dimusuhi oleh penguasa dan
mayoritas umat, mereka tertekan, bahkan setelah itu sampai sekarang mereka
tidak lagi bisa bangkit tegak seperti dulu. Gambaran tentang pendirian mereka
dalam tulisan lawan-lawan mereka tidak lagi objektif, mereka dicap sesat dan
tergelincir.
III.
PENUTUP
- Kesimpulan
Sebagai bagian akhir dari
penulisan makalah ini, penulis dapat memberi kesimpulan sebagai berikut :
- Mu’tazilah
adalah salah satu firqah dalam Islam yang mengedepankan
pemikiran dan mengenyampingkan Al-Quran, Hadits, Ijma’ apabila
berbenturan dengan akal pikiran
- Mu’tazilah memiliki ajaran pokok yang disebut
al-ushul al-Khamsah (al-Tauhid, Al-‘Adl, Al-Wa’d wa al-Wa’id,
al-Manzilah bayn al-manzilatain serta Amr al-Ma’ruf wa al-Nahy an-
al-Munkar) dan pandangan mereka mengenai Akal dan Wahyu, Sifat Tuhan,
Iman dan Kufur, Perbuatan Tuhan, Perbuatan Manusia dan Mihnah yang banyak
berseberangan dengan aliran aliran
lain yang ada dalam Islam.
- Mu’tazilah berdiri sekitar abad
pertama Hijriyah dengan di pelopori Washil bin ‘Atho’ dan jama’ahnya.
Mereka pernah jaya dimasa dinasti Abbasiyah di pinpin oleh Khalifah al-Ma’mun,
dan Faham Mu’tazilah ini sempat menjadi idiologi Khilafah Islamiyah walau
sebenarnya tidak menerima di hati masyarakat muslim.
- Saran
- Untuk
menjadikan perbedaan menjadi sebuah rahmat, maka hal penting yang harus
dikembangkan adalah bagaimana kita menyikapinya dengan baik, memaknai dan
menempatkan tujuan masing-masing tanpa harus terpengaruh dengan tujuan dan
keinginan pribadi maupun golongan
- Kemampuan
berfikir rasional harus terus dikembangkan, untuk memahami dan menggali
ajaran Islam sehingga keberadaan Islam sebagai Din al-Haq yang rahmatan
lil’alamin dapat tumbuh dan dirasakan disetiap waktu dan masa. Namun
hal penting yang harus digaris bawahi adalah pengembangan potensi
rasional tersebut tidak melampai batas-batas al-Qur’an.Wallahu a’lam
[1]Luwis
Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah,cet. X,(Beirut : Dar al-Kitab al-‘Arabi,t.t) h.207
[2]Abdul
Aziz Dahlan,Teologi dan Aqidah dalam Islam, (Padang ,IAIN IB Press,.2001), h.77
[3]Harun
Nasution,Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cet,
5 (Jakarta: UI Press, 1986),h.38
[4]Rosihan
Anwar dan Abdul Rozak,Ilmu Kalam,(Bandung :Pustaka
Setia, 2001) h.80
[5]Harun
Nasution, opcit, h.135
[6]A.Syalabi, Tarikh al-Islami wa al-Hadharatu
al-Islamiyah, diterjemahkan oleh Mukhtar yahya dan Sanusi Latif, Sejarah
Kebudayaan Islam 2,(Pustaka Alhusna, cet.II,1992)h.393.
[7]
Yang dimaksud dengan wajib disini adalah mustahil bagi Tuhan melakukan suatu
yang jahat
[8]Alkhendra,
Pemikiran Islam,(Bandung :Alfabeta,2000),h.53
[9]Ibid.
[10]A.Hanafi,
Pengantar Theologi Islam,cet. IV(Pustaka Alhusna,1987) h.78
[11]
Ibid.
[12]Harun Nasution, Op-Cit. h.56
[13] Alkhendra,loccit
[14]Rosihan
Anwar, Op-Cit,h. 86
[15]Harun Nasution, opcit, h.79
[16]Ibid, h.81
[17]Ibid, h. 96
[18]Ibid, h. 97
[19]Ibd
[20]Ibid
[21] Ibid, h.135
[22]
Ibid
[23]
Ibid
[24]Rosihan
Anwar, opcit,
[25]Harun
Nasution,loc.cit
[26]
Ibid
[27]Al-Asyraf,Mu’tazilah dan
Pengaruhnya Terhadap Dunia Islam,posted on 26/04/2010 search goegle19/9/2011
[28]Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar