Kamis, 18 Februari 2016

MU’TAZILAH

I.  PENDAHULUAN  
            Perbedaan pendapat yang terjadi dikalangan umat Islam merupakan hal yang wajar sepanjang perbedaan itu dapat disikapi dengan baik, bahkan tidak tertutup kemungkinan hal itu akan menjadi rahmat. Banyak faktor yang mempengaruhi timbulnya perbedaan pendapat tersebut, antara lain fanatik kesukuan, perbedaan ilmu dan sudut pandang, sosial budaya, persoalan politik , adanya ayat-ayat mutasyabihat, dan lain-lain.
Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, munculnya berbagai aliran berawal dari peristiwa yang terjadi antara Mu’awiyah dan Ali bin Abi Thalib atas terbunuhnya Utsman bin ‘Affan  khalifah ke tiga tahun 656 M.  Konsekwensi dari peristiwa ini tidak hanya menimbulkan persoalan politik dalam dunia Islam,  tetapi juga memunculkan aliran-aliran theologis. Fenomena ini sangat menarik untuk dicermati, baik dari aspek historis, doktrin dan lain-lain.
            Mu’tazilah merupakan satu diantara sekian aliran yang berkembang dikalangan umat Isam. Mu’tazilah adalah aliran theology Islam terbesar dan tertua yang lahir sekitar  permulaan abad pertama hijriyah di sebuah kota yang pada waktu itu merupakan pusat ilmu dan peradaban Islam yaitu kota Basrah di Iraq. Aliran Mu’tazilah muncul sebagai refleksi politik dan respon terhadap pemikiran-pemikiran minoritas Khawarij dan Murji’ah.
Aliran Mu’tazilah dalam bidang theologi menganut sistem rasionalis. Penyebutan rasionalis (ahl – al-ra’y) pada dasarnya lebih disebabkan oleh corak pikir mereka yang cenderung menggunakan rasio sebagai bash power pemikirannya. Kehadiran Mu’tazilah dalam sejarah pemikiran Islam telah mendapat sorotan dari pihak-pihak diluar aliran ini. Ada yang memandang aliran ini sebagai aliran sesat (tergelincir) dari kebenaran, dan adapula yang memandangnya sebagai aliran yang telah berjasa terhadap Islam.
Untuk mengetahui lebih jauh, bagaimana faham dan pemikiran yang dianut oleh kaum Mu’tazilah, dalam makalah ini akan  penulis kemukakan beberapa pokok bahasan terkait dengan aliran m’tazilah tersbut yang  meliputi : Ajaran Pokok Mu’tazilah (Al-Ushul al-Khamsah), Akal dan Wahyu, Sifat Tuhan, Iman dan Kufur, Perbuatan Manusia , Perbuatan Tuhan dan Mihnah.

II. PEMBAHASAN  

1. Pengertian dan Sejarah Lahirnya Mu’tazilah

Secara harfiah kata mu’tazilah berasal dari kata ‘azala yang diberi tambahan (mazid) dua huruf menjadi  I’tazala yang berarti “berpisah” atau “memisahkan diri”, juga berarti “jauh atau menjauhkan diri”.[1] Abul Fida dalam kitabnya “Akhbar Abi al-Fida” seperti yang dikutip oleh Prof. DR. Abdul Aziz Dahlan dalam bukunya “ Teologi dan Aqidah dalam Islam” mengatakan bahwa sejumlah orang yang tidak termasuk golongan Utsman bin ‘Affan dan tidak mau pula membai’ah Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, mereka itu disebut kaum mu’tazilah.[2]
Sejarah munculnya aliran mu’tazilah berawal  di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid al-Hasan al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal (lahir 80 H dan wafat 131 H), kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha' berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini, Wasil bin Atha’ pun memisahkan diri dan akhirnya golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya.
Peristiwa ini terjadi disaat  halaqah yang dipimpin oleh Hasan al Bashri yang pada saat itu juga dihadiri oleh Amr bin Ubaid dan Wasil bin Atha’. Pembicaraan mengenai orang mukmin yang melakukan dosa besar muncul karena ada salah seorang yang hadir menanyakan kepada Hasan al Bashri, apakah orang mukmin yang melakukan dosa besar  masih mukmin atau kafir, kelompok Khawarij memandang mereka kafir, Murji’ah masih mengelompokkan mereka kepada mukmin. Ketika Hasan al Bashri masih berfikir, Wasil bin Atha’ mengeluarkan pendapatnya, bahwa orang mukmin yang melakukan dosa besar tidak lagi mukmin dan tidak pula kafir, melainkan diposisi antara keduanya. Selesai berkata Washil berdiri dan meninggalkan majelis. Atas peristiwa itu Hasan al Bashri mengatakan “i’tazala ‘anna” (Wasil telah memisahkan diri dari kita), inilah yang kemudian menjadi awal sebutan mu’tazilah bagi Wasil dan rekan-rekannya.[3]

2.  Ajaran Pokok Aliran Mu’tazilah
            Setting utama yang menjadi potret pembahasan paham Mu’tazilah yang dikembangkan oleh pendiri dan pengikut-pengikut aliran ini berkisar pada masalah  ushul al-khamsah (lima ajaran pokok)
Kelima ajaran pokok tersebut adalah :

  1. Al-Tauhid ( Ke Maha Esaan Tuhan )
            Tauhid merupakan prinsip utama dan inti sari ajaran Islam, namun bagi Mu’tazilah tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus di sucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti ke-Maha Esaan-Nya. Untuk memurnikan ke-Esaan Tuhan , Mu’tazilah menolak konsep bahwa Tuhan memiliki sifat. Dia melihat, mendengar, kuasa, dan lain-lain, namun mendengar, melihat dan kuasa Tuhan itu bukan sifat tapi adalah Dzat Tuhan itu sendiri.[4] 
Menurut Abu Huzail. Nama lengkapnya Hamdan bin al-Huzail al-Allaf  (lahir 135 H dan wafat tahun 255 H), pemberian sifat-sifat pada Allah berarti menghilangkan keesaan-Nya. Sifat-sifat Allah itu tidak mempunyai bentuk yang mandiri, tetapi menyatu dengan eksistensi keesaan-Nya, karena itu Tuhan tidak dapat disebut memiliki sifat.[5]
Dengan dasar tauhid tersebut  juga, kaum Mu’tazilah menetapkan bahwa al-Qur’an adalah makhluk  Allah (Khalq Allah). Penetapan ini  dimaksudkan untuk mencegah berbilangnya yang qadim, karena tidak ada yang qadim kecuali Allah.[6]
Meskipun mu’tazilah digolongkan kepada “Mu’atthilah” (orang yang meniadakan sifat-sifat Tuhan), namun setelah dicermati, menurut penulis Mu’tazilah hanya meniadakan atau menafikan sifat-sifat Tuhan dalam penyebutan, tidak dalam pemahaman (keyakinan), karena sifat itu menurut mereka menyatu dengan eksistensi Tuhan. Mereka meyakini bahwa Tuhan melihat, tetapi Tuhan melihat dengan zat-Nya, Tuhan ‘Alim, tetapi Tuhan ‘alim (mengetahui) dengan zat-Nya dan seterusnya.   

  1. Al-‘Adl ( Keadilan Tuhan)
Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua adalah al-‘Adl (keadilan Tuhan), artinya Tuhan Maha Adil. Menurut meraka keadilan Tuhan itu adalah Tuhan tidak menghendaki keburukan, meskipun Tuhan berkusa bersikap zalim, akan tetapi mustahil Tuhan berbuat zalim, bila Tuhan berbuat zalim, maka kezaliman-Nya itu dapat mengurangi kesempurnaan-Nya. Menurut Abu Huzail, Tuhan dikatakan adil, bila semua perbuatannya itu baik atau Tuhan tidak berbuat yang tidak baik.
Tuhan baru dikatakan ‘Adil manakala Ia senantiasa berbuat yang terbaik untuk manusia. Bahkan menurut mereka  wajib[7] bagi Tuhan untuk mendatangkan yang terbaik bagi manusia. Ajaran ini lebih dikenal dengan sebutan al-Shalih wa al-ashlah.[8]
Dasar keadilan yang di pegangi mereka ialah meletakkan pertanggungan jawaban manusia atas segala perbuatannya. Dalam menafsirkan keadilan, mereka berkata: Tuhan tidak menghendaki keburukan keburukan, tidak menciptakan perbuatan manusia, manusia bisa mengerjakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya,  Allah hanya memerintahkan apa yang dikehendaki-Nya. Ia hanya menguasai kebaikan kebaikan dan memerintahkan itu pada manusia dan tidak campur tangan dalam keburukan-keburukan yang dikerjakan manusia. Dari ajaran dasar keadilan Tuhan inilah timbul paham kebebasan manusia. Manusia bebas dalam memilih, berkehendak dan berbuat, boleh memilih antara yang baik dan buruk, karena kelak manusia itu pulalah yang akan menerima balasan sesuai dengan pilihannya ketika hidup didunia. Inilah yang disebut dengan ‘Adil.[9] .
Sepintas pendapat dan pemikiran Mu’tazilah tersebut di atas senada dengan Qadariyah, namun bila ditelusuri pendapat ini terkesan mengatur Tuhan terutama dalam hal memberikan keadilan bagi manusia.

  1. Al-Wa’d wa al-Wa’id ( janji dan Ancaman)
Janji dan Ancaman adalah kelanjutan dari prinsip  keadilan. Mu’tazilah yakni bahwa Allah akan memberikan balasan yang baik bagi pelaku kebaikan dan siksa untuk pelaku kejahatan.[10]
 Allah tidak adil jika tidak memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan memberi siksaan kepada orang yang berbuat jahat. Siapa yang keluar dari dunia dengan segala ketaatan dan penuh taubat maka ia akan mendapat pahala. Karena itu Mu’tazilah mengingkari adanya “syafaat” di hari kiamat , karena  syafaat menurut mereka berlawanan  dengan  janji dan ancaman Allah (al-Wa’d wa al-Wa’id).[11]

  1. Al-Manzilah bayn al-Manzilataini
Pada dasarnya prinsip ini merupakan pembahasan seputar tahkim terhadap pelaku dosa besar. Orang berdosa besar bukan kafir sebagaimana yang disebutkan oleh kaum Khawarij dan bukan pula mukmin sebagaimana yang dikatakan oleh kaum Murji’ah, tetapi fasiq, yang menduduki posisi antara mukmin dan kafir (di bawah orang mukmin dan diatas orang kafir).
            Mnurut Wasil bin Atha’ kata mukmin merupakan sifat baik dan nama pujian yang tidak bisa diberikan kepada orang fasiq, prediket kafir juga tidak dapat diberikan kepada orang fasiq, karena dibalik dosa besar yang ia lakukan ia masih mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengerjakan perbuatan baik, orang seperti ini jika mati sebelum bertaubat akan kekal dalam neraka, hanya siksaan yang diterimanya lebih ringan dari siksaan orang kafir.
            Dari keterangan diatas terlihat jelas, bahwa kaum Mu’tazilah tidak memiliki konsistensi dalam pemahamannya. Mereka berpendirian bahwa orang mukmin yang berdosa besar  berada diantara dua posisi ( tidak mukmin dan tidak juga kafir) ini menunjukkan bahwa tempat pembalasan mereka bukan di sorga dan bukan pula dineraka, namun kenyataannya mereka meyakini bahwa orang brdosa akan masuk neraka, walaupun menurut mereka  hukumannya lebih ringan dari orang-orang kafir.
           
  1. Al-Amr bi al-Ma’ruf  wa al-Nahy ‘an al-Munkar
            Artinya adalah memerintahkan kebaikan dan melarang keburukan. Ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekwensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik yang salah satu diantaranya adalah menyuruh orang berbuat baik dan melarang orang berbuat mungkar.
Ajaran ini tidak hanya kewjiban bagi mu’tazilah saja, tetapi berlaku untuk seluruh umat Islam, perbedaannya hanya terletak pada tata cara pelaksanaannya. Apakah perintah dan larangan cukup dijalankan dengan seruan saja, ataukah perlu diwujudkan dengan paksaan dan kekerasan ?.
Kaum Khawarij memandang untuk menerapkan ajaran ini perlu kekerasan, sedangkan kaum Mu’tazilah  berpendapat cukup dengan seruan saja dan kekerasan dapat dilakukan kalau diperlukan.[12] seperti yang pernah mereka lakukan pada kasus Mihnah.
Bagi kaum mu’tazilah, yang ma’ruf itu adalah hal-hal yang mereka anggap benar dan baik menurut ajaran Islam dan apa-apa yang sejalan dengan pendapat mereka. Sedangkan apa-apa yang menyalahinya  dipandang sebagai yang mungkar dan harus diberantas.[13]  
Menurut Abd. Al-Jabbar, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi  seorang mukmin dalam melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, diantaranya :

1.      Ia mengetahui perbuatan yang disuruh itu ma’ruf dan yang diarang itu mungkar 
2.      Ia mengetahui bahwa kemungkaran itu telah nyata dilakukan orang
3.      Ia mengetahui  bahwa perbuatan amar ma’ruf nahi mungkar itu tidak akan membawa mudharat yang lebih besar
4.      Ia mengetahui bahwa tindakannya tidak akan membahayakan harta dan dirinya.[14]

3.  Akal dan Wahyui
            Akal dan wahyu memiliki kedudukan yang sangat penting untuk mengetahui soal ke Tuhanan dan untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan. .[15]
            Abu Huzail, adalah tokoh mu’tazilah pertama yang memberikan pandangan terhadap kedudukan akal dan wahyu dalam mengetahui masalah ke Tuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan. Beliau mengatakan bahwa akal manusia dapat [16] :
1.      Mengtetahui adanya Tuhan
2.      Mengetahui kewajiban manusia untuk berterima kasih kepada Tuhan
3.      Mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk
4.      Mengetahui kewajiban manusia untuk melakukan yang baik dan kewajiban manusia menjauhi yang buruk

Menurut Abu Huzail, meskipun akal mampu mengetahui Tuhan, mengetahui yang baik dan buruk dan mengetahui kewajiban-keajiban terhadap Tuhan, namun untuk mengetahui cara memuja dan menyembah Allah, maka keberadaan wahyu diperlukan. Akal betul dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, tetapi wahyulah yang menerangkan  kepada manusia cara yang tepat menyembah Tuhan.[17] Lebih lanjut al-Hilli mengatakan bahwa akal dapat mengetahui sebahagian dari yang baik dan sebahagian dari yang buruk.[18] Abd. Al-Jabbar berkata : Akal dapat mengetahui kewajaiban-kewajiban dalam garis besarnya saja, tetapi tidak sanggup mengetahui perinciannya, baik mengenai hidup manusia di akhirat, maupun mengenai hidup manusia di dunia.[19]
            Dari penjelasan tersebut di atas, jelaslah bahwa tidak semua yang baik dan tidak semua yang buruk dapat diketahui oleh akal. Untuk mengetahui itu akal memerlukan pertolongan wahyu. Oleh karena itu  wahyu bagi kaum Mu’tazilah mempunyai fungsi konfirmasi dan informasi, memperkuat apa-apa yang telah diketahui oleh akal dan menerangkan apa-apa yang belum diketahui oleh akal.[20]  Dalam  keterangan al-Syahrastani seperti dikutip oleh Prof.Dr.Harun Nasution, bahwa wahyu mempunyai fungsi konfirmasi bagi mu’tazilah, … dan jika syari’at membawa penjelasan  tentang baik dan buruk, syariat memberi informasi, dan menetukan baik dan buruk (kana mukhbiran ‘anha la mutsbitan laha) Akal telah tahu pada Tuhan dan telah tahu akan kewajiban terhadap Tuhan, dan wahyu datang untuk mengingatkan manusia pada kewajiban itu.

4. Sifat Tuhan

Mu’tazilah  berpandangan bahwa Tuhan tidaklah memiliki sifat.  Washil bin Atho’ mengatakan Kalau Tuhan memiliki sifat , maka dalam diri Tuhan terdapat unsur yang banyak,  yaitu unsur yang disifati dan unsur-unsur sifat yang melekat pada zat. Kalau dikatakan Tuhan mempunyai sifat 20, Tuhan akan mempunyai 21 unsur, kalau Tuhan memiliki 99 sifat, unsurnya bertambah menjadi 100. Jika Tuhan memiliki sifat , sifat itu mestilah kekal seperti halnya dengan zat Tuhan. Dan jika sifat-sifat itu kekal, maka yang bersifat kekal bukanlah satu, tetapi banyak. Tegasnya, kekalnya sifat-sifat akan membawa kepada faham banyaknya yang kekal (ta’addud al-qidam).[21] , dan hal ini akan membawa kepada kemusyrikan, dan syirik adalah dosa besar yang tidak dapat diampuni
Tuhan tidak memiliki sifat, itu bukan berarti , bahwa Tuhan tidak mengetahui, tidak berkuasa, tidak berkehendak dan sebagainya, . Tuhan tetap nengetahui, berkuasa, berkehendak dan sebagainya , tetapi mengetahi, berkuasa dan sebagainya itu bukanlah sifat dalam arti sebenarnya. Menurut Abu Huzail arti Tuhan mengetahui , ialah Tuhan mengetahui dengan perantaraan pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri, yaitu zat atau esensi tuhan.[22] Sedangkan menurut al-Jubba’i arti Tuhan mengetahui dengan esensinya ialah untuk mengetahui Tuhan tidak berhajat kepada suatu sifat dalam bentuk pengetahan atau keadaan mengetahui.[23]
Walaupun  Mu’tazilah berpendapat tuhan tidak memiliki sifat,  mereka tidak  menolak ayat-ayat yang menggambarkan tentang sifat Tuhan, namun harus diberi interpretasi lain, seperti kata al-‘arsy , tahta, kerajaan diberi arti kekuasan.

5. Iman dan Kufur
Iman  merupakan aspek penting dalam ajaran Islam termasuk bagi kaum Mu’tazilah. Mu’tazilah berpendapat bahwa amal perbuatan merupakan salah satu unsur penting dalam konsep iman. Mereka berpendapat bahwa seseorang yang selalu meningkatkan amal kebajikannya, maka imannya semakin bertamabah dan setiap kali melakaukan maksiat, maka imannya semakin berkurang.[24]
Iman bukanlah sekedar tashdiq dan iman dalam arti mentgetahuipun belumlah cukup. Abd. Al-Jabbar berkata : orang yang tahu Tuhan, tetapi melawan kepadanya, bukanlah orang yang beriman.[25] Tegasnya iman adalah melaksanakan perintah-perintah Tuhan. Mu’tazilah sebagai aliran yang mengutamakan akal, berpendirian bahwa iman tidaklah mempunyai arti pasif dan tashdiq saja, tetapi mesti memiliki arti aktif, karena manusia dengan akalnya mesti sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan.
Menurut hemat penulis, Jika dikaitkan dengan kebebasan yang dimiliki oleh manusia dalam berbuat dan berkehendak serta kemampuan manusia mengenal Tuhan dan kewajiban-kewajiban yang diperintahkan kepadanya, maka naluri keimanan yang diberikan Allah kepada manusia, baru akan tumbuh dan berkembang seiring dengan kemauan manusia untuk mengembangkannya. Setidaknya inilah isyarat yang dapat dimaknai dari perkataan iman mesti  memiliki arti aktif. meskipun persoalan hidayah Allah tidak dapat diabaikan.

6. Perbuatan Manusia
Dalam hal perbuatan manusia, kaum Mu’tazilah menganut kekebasan atau free will yang merupakan penjabaran dari ajaran  Al-‘Adl (keadilan Tuhan). Faham ke Maha Adilan Tuhan menghendaki agar manusia sendirilah yang melakukan perbuatan dalam arti kehendak dan daya yang diperlukan untuk melakukan perbuatan, haruslah kehendak dan daya manusia sendiri, bukan kehendak dan daya Tuhan sebagaimana yang dianut oleh paham Jabariyah. Kalau manusia melakukan perbuatan baik atau  perbuatan jahat bukan karena kehendak dan dayanya sendiri, tentu menjadi sesuatu yang tidak adil kalau Tuhan akan menghukumnnya oleh karena perbuatan yang tidak dikekehndakinya atau oleh karena daya dan tekanan yang datang dari luar drinya.
Al-Jubba’i menerangkan, bahwa manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya, manausia berbuat baik dan buruk ,patuh dan tidak patuh kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri. Dan daya untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia  sebelum adanya perbuatan[26] hal senada juga dikemukakan oleh  Abd. Al-Jabbar.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh manusia akan terjadi sesuai dengan kehendaknya. Dan hal ini tentunya akan berbeda kalau perbuatan manusia itu adalah perbuatan Tuhan bukan perbuatan manusia, maka sesuatu yang diinginkan oleh manusia bisa tidak akan terjadi dan sesuatu yang diinginkanpun tidak akan terjadi. Begitupun kalau manusia melakukan kejahatan, tentu itu adalah perbuatan Tuhan, dan Tuhan dengan demikian bersfiat zalim. Hal ini tidaklah dapat diterima akal.
Faham kebebasan berbuat yang dianut oleh kaum mu’tazilah mengandung pengertian  bahwa kebebasan yang diberikan kepada manusia bukan semata-mata kebebasan absolut yang terlepas dari kehendak mutlak Tuhan. Artinya Tuhan memberikan kebebasan kepada manusia untuk berbuat baik atau jahat, namun dibalik semua itu Tuhan menyediakan sanksi-sanksi atas perbuatan manusia tersebut. Maksudnya manusia akan dituntut pertanggungjawaban kelak dikemudian hari atas jalan yang ia pilih, baik atau buruk.
Menururt penulis kebebasan mutlak tidak akan pernah ada, atau dengan kata lain tidak semua perbuatan yang dikehendaki manusia akan terwujud sesuai kehendaknya, disana pasti ada keterlibatan Allah sebagai Rabb. Kalau manusia yang penentu kenapa mesti ada yang gagal, kenapa harus ada yang kecelakaan dan sebagainya. Oleh karena itu, menurut penulis kebebasan berbuat dan berkehendak tidak akan terwujud jika berjalan diluar sistem Allah (sunnatullah)

7. Perbuatan Tuhan
Allah adalah Tuhan Yang Maha Sempurna; baik dalam dzat, sifat maupun perbuatan-Nya. Dia berbuat atau tidak  melakukan sesuatu semua atas iradah (kehendak) Nya sendiri. Dan yang pasti semua aliran dalam pemikiran Islam berpandangan bahwa Tuhan melakukan perbuatan.
Dalam pandangan Mu’tazilah Tuhan hanya akan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik, mustahil Tuhan melakukan perbuatan yang tidak baik, karena hal itu akan  bertentangan dengan kemahaadilan dan kemahasempurnaan Tuhan, dan Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk , karena Ia mengetahui keburukan dari perbuatan buruk itu. Ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan oleh Mu’tazilah untuk mendukung pendapat ini terdapat pada surat al-Anbiya’ (21) ayat 23 : Artinya : “Dia tidak ditanya atentang apa yang diperbuatn-Nya, dan merekalah yang akan ditanya”.

Menurut  Abd. Jabbar, ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Tuhan hanya berbuat baik dan maha suci dari perbuatan buruk. Sebagai yang Maha sempurna dan Maha Adil,  maka Tuhan wajib melakukan perbuatan-perbuatan baik.  Dari sini timbullah faham al-shalih wa al-ashlah. Hal ini mengandung arti bahwa Tuhan wajib mewujudkan yang baik, bahkan yang terbaik bagi manusia

8. Mihnah
Al-Mihnah artinya “cobaan”, “menguji” atau “memeriksa”. Menurut Ahmad dalam bukunya Dhuha al-Islam seperti yang dikutip oleh al-Asyraf mengatakan bahwa al-Mihnah dimaksudkan sebagai pemeriksaan untuk mengetahui para ulama dan pejabat kehakiman mengenai kemakhlukan al-Qur’an. Bagi mereka yang berpendirian bahwa al-Qur’an itu qadim maka mereka akan disiksa, karena keyakinan seperti itu dianggap syirik yang harus dibetulkan dengan cara amr bi al-ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-munkar, bila perlu dengan kekerasan.[27]  
Al-Mihnah menjadi senjata ampuh bagi kaum mu’tazilah untuk memperkuat kedudukannya ditengah-tengah masyarakat. Dengan al-Mihnah mereka dapat menguji pendapat dan kesetiaan  para hakim, pejabat dan juga pemuka-pemuka masyarakat yang memiliki pengaruh terhadap paham Mu’tazilah disertai dengan tindak kekerasan dan paksaan agar mereka mau menerima paham bahwa al-Qur’an itu adalah makhluk..[28] Kegiatan ini bertambah kuat dengan dukungan yang diberikan oleh khalifah Abbasiyah  (khalifah al-Makmun) yang menjadikan Mu’tazilah sebagai aliran (mazhab) resmi pemerintah. Sampai akhirnya kholifah Al-Mutawakkil (218.H) naik sebagai pemegang estapet kepeminpinan tertinggi dalam Islam dan menyatakan pembatalan terhadap status aliran Mu’tazilah sebagai mazhab negara dan menyatakan kecendrungannya kepada Ahlusunnah wal Jama’ah.
Setelah peristiwa itu kejadian menjadi berbalik, kaum Mu’tazilah berada pada posisi  dimusuhi oleh penguasa dan mayoritas umat, mereka tertekan, bahkan setelah itu sampai sekarang mereka tidak lagi bisa bangkit tegak seperti dulu. Gambaran tentang pendirian mereka dalam tulisan lawan-lawan mereka tidak lagi objektif, mereka dicap sesat dan tergelincir.

III.  PENUTUP
  1. Kesimpulan
Sebagai bagian akhir dari penulisan makalah ini, penulis dapat memberi kesimpulan sebagai berikut :
    1. Mu’tazilah adalah salah satu firqah dalam Islam yang mengedepankan pemikiran dan mengenyampingkan Al-Quran, Hadits, Ijma’ apabila berbenturan dengan akal pikiran
    2. Mu’tazilah memiliki ajaran pokok yang disebut al-ushul al-Khamsah (al-Tauhid, Al-‘Adl, Al-Wa’d wa al-Wa’id, al-Manzilah bayn al-manzilatain serta Amr al-Ma’ruf wa al-Nahy an- al-Munkar) dan pandangan mereka mengenai Akal dan Wahyu, Sifat Tuhan, Iman dan Kufur, Perbuatan Tuhan, Perbuatan Manusia dan Mihnah yang banyak  berseberangan dengan aliran aliran lain yang ada dalam Islam.
    3. Mu’tazilah berdiri sekitar abad pertama Hijriyah dengan di pelopori Washil bin ‘Atho’ dan jama’ahnya. Mereka pernah jaya dimasa dinasti Abbasiyah di pinpin oleh Khalifah al-Ma’mun, dan Faham Mu’tazilah ini sempat menjadi idiologi Khilafah Islamiyah walau sebenarnya tidak menerima di hati masyarakat muslim.
  1. Saran
    1. Untuk menjadikan perbedaan menjadi sebuah rahmat, maka hal penting yang harus dikembangkan adalah bagaimana kita menyikapinya dengan baik, memaknai dan menempatkan tujuan masing-masing tanpa harus terpengaruh dengan tujuan dan keinginan pribadi maupun golongan
    2. Kemampuan berfikir rasional harus terus dikembangkan, untuk memahami dan menggali ajaran Islam sehingga keberadaan Islam sebagai Din al-Haq yang rahmatan lil’alamin dapat tumbuh dan dirasakan disetiap waktu dan masa. Namun hal penting yang harus digaris bawahi adalah pengembangan potensi rasional tersebut tidak melampai batas-batas al-Qur’an.Wallahu a’lam




[1]Luwis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah,cet. X,(Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi,t.t) h.207
[2]Abdul Aziz Dahlan,Teologi dan Aqidah dalam Islam, (Padang,IAIN IB Press,.2001), h.77
[3]Harun Nasution,Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cet, 5 (Jakarta: UI Press, 1986),h.38 
[4]Rosihan Anwar dan Abdul Rozak,Ilmu Kalam,(Bandung:Pustaka Setia, 2001) h.80
[5]Harun Nasution, opcit, h.135
[6]A.Syalabi, Tarikh al-Islami wa al-Hadharatu al-Islamiyah, diterjemahkan oleh Mukhtar yahya dan Sanusi Latif, Sejarah Kebudayaan Islam 2,(Pustaka Alhusna, cet.II,1992)h.393.
[7] Yang dimaksud dengan wajib disini adalah mustahil bagi Tuhan melakukan suatu yang jahat
[8]Alkhendra, Pemikiran Islam,(Bandung:Alfabeta,2000),h.53
[9]Ibid.
[10]A.Hanafi, Pengantar Theologi Islam,cet. IV(Pustaka Alhusna,1987) h.78
[11] Ibid.
[12]Harun Nasution, Op-Cit. h.56
[13] Alkhendra,loccit
[14]Rosihan Anwar, Op-Cit,h. 86
[15]Harun Nasution, opcit, h.79
[16]Ibid, h.81
[17]Ibid, h. 96 
[18]Ibid, h. 97 
[19]Ibd
[20]Ibid
[21] Ibid, h.135
[22] Ibid
[23] Ibid
[24]Rosihan Anwar, opcit,
[25]Harun Nasution,loc.cit
[26] Ibid
[27]Al-Asyraf,Mu’tazilah dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Islam,posted on 26/04/2010 search goegle19/9/2011
[28]Ibid 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar