Dalam membicarakan perkembangan hukum pada
masa Rasulullah SAW, sebelumnya penulis sedikit melihat kebelakang tentang
perkembangan kehidupan masyarakat Arab khususnya suku Quraisy yang mendiami kota Mekkah. Suku
Quraisy merupakan suku terpandang yang mendiami sekitar lembah Mekkah, mereka
merupakan keturunan dari nabi Ibrahim As yang merupakan nabi sekaligus pendiri
Ka’bah yang ada di lembah Mekkah tersebut.
Sistem kemasyarakatan yang ada dan berkembang
pada saat itu, mereka hidup dengan kelompok-kelompok atau suku-suku, setiap
suku memiliki seorang pemimpin yang diberi gelar Sayyid atau Syaikh, yang
dipilih berdasarkan kelahiran, keberanian atau kearifannya. Sistem kekeluargaan yang berdasarkan patrilinial dengan meletakkan
posisi laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Pada masa ini kedudukan perempuan
dipandang sangat rendah. Wanita hanya dibebani kewajiban tanpa imbalan hak sama
sekali.[1]
Wanita pada masa ini tak ubahnya seperti barang yang bahkan bisa
diwariskan. Demikian rendahnya kedudukan wanita pada masa itu sehingga laki-laki
dengan mudahnya mengucapkan kata cerai atau talak untuk menceraikan istrinya.
Bahkan dalam hukum kewarisan sekalipun, kedudukan wanita dianggap tidak ada.
Kerena itu anak perempuan tidak mendapatkan bagian dari harta warisan
peninggalan orang tuanya seperti halnya anak laki-laki. Istri tidak menjadi
ahli waris mendiang suaminya.[2]
Dari sedikit sejarah tersebutlah nantinya akan banyak berpengaruh
kepada perkembangan hukum Islam yang akan dibawa serta dikembangkan pada masa
Rasulullah SAW. Sebab mayarakat Quraisy yang telah menjadikan hukum tersebut
sebagai bagian dari adat mereka, sehingga mereka tetap berpegang teguh kepada
adat yang telah turun temurun mereka pakai.
Nabi Muhammad memulai pengembangan Islam sejak beliau diberikan
mandat oleh Allah SWT setelah turunya wahyu Allah ketika beliau sedang
ber-tahannus di gua hira’ ketika berumur 40 tahun. Wahyu yang pertama turun
adalah surat al-Alaq ayat 1-5, dan setelah itu turun surat al-Mudatsir yang
menyuruh Rasulullah untuk berdakwah kepada masyarakat Quraisy.
Selama nabi menyampaikan dakwah islamiyah
tersebut, dalam catatan sejarah berlangsung selama 23 tahun, beliau berusaha
membangun untuk membangun suatu tatanan agama dan negara yang berlandaskan
kepada hukum dari Allah SWT. Baik dari segi
akidah maupun dalam segi hukum-hukum muamalah. Dan sebagai sumber hukum pada
saat itu adalah berdasarkan tuntunan Allah SWT dengan wahyu yang diturunkan-Nya
melalui al-Qur’an.
Akan tetapi, al-Qur’an yang diturunkan kepada Rasulullah SAW tidak
sekaligus, tetapi berangsur-angsur (tadrij) dimulai di Mekkah dan
diakhiri di Madinah. Atas dasar wahyu yang sudah diturunkan itulah, Nabi
menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat. Namun apabila
timbul persoalan yang belum ada dalam wahyu maka dalam hal ini nabi melakukan
ijtihad.[3]
Apabila ijtihad yang dilakukan nabi benar, maka tidak ada teguran
dari Allah, namun adakalanya nabi melakukan kesalahan. Contoh ijtihad nabi
tentang hukuman bagi tawanan perang Badar. Menurut Ijtihadnya, hukuman bagi mereka
adalah membayar tebusan.[4]
Ternyata pendapat tesebut tidak tepat sasaran. Oleh karena itu turunlah firman
Allah Q.S al-Anfal ayat 67-68 :
$tB c%x. @cÓÉ<oYÏ9 br& tbqä3t ÿ¼ã&s! 3uó r& 4Ó®Lym ÆÏ÷Wã Îû ÇÚöF{$# 4 crßÌè? uÚttã $u÷R9$# ª!$#ur ßÌã notÅzFy$# 3 ª!$#ur îÍtã ÒOÅ3ym ÇÏÐÈ wöq©9 Ò=»tGÏ. z`ÏiB «!$# t,t7y öNä3¡¡yJs9 !$yJÏù öNè?õs{r& ë>#xtã ×LìÏàtã ÇÏÑÈ
Tidak
patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan
musuhnya di muka bumi. kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah
menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.
Kalau
Sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu
ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil.
Intinya, ijtihad nabi SAW, tidak
seperti Ijtihad ulama sekarang. Ijtihad nabi hanya sebatas wahyu tidak turun,
dan ketika turun maka wahyu menggantikan ijtihad nabi SAW. Tentu Rasulullah
tidak mempunyai pilihan lain, kecuali berbuat berdasarkan pendapatnya
(ijtihad).[5]
Hal ini berdasarkan hadis
nabi dari Abu Dawud
إنما أقضى بينكم برأيي فيما لم ينزل علي فيه وحي
Sesungguhnya aku menetapkan suatu hukum di
antara kamu berdasarkan pendapatku, selama wahyu belum turun kepadaku tentang
masalah ini.
Jadi ijtihad
pada masa nabi dapat dikatakan sebagai sebagai tasyri’. Dimana selain Allah
memberikan wahyu, nabi juga berijtihad untuk menetapkan huku, dan disanalah
terbentuk sunnah nabi yang kemudian diriwayatkan oleh para sahabat. Jika hal
ini dikaitkan dengan diri nabi SAW, paling tidak terdapat dua hal yang perlu
dikemukakan :
1.
Beliau
menetapkan hukum bagi suatu peristiwa berdasarkan petunjuk wahyu yang
diturunkan secara bertahap sesuai kebutuhan yang ada atau wahyu tersebut
berkenaan dengan masalah yang dihadapi nabi SAW dan masyarakat.
2.
Beliau
menetapkan hukum suatu peristiwa yang muncul berdasarkan petunjuk umum syari’at
yang dipahami dari al-Qur’an ketika wahyu tidak diturunkan atau tidak secara
langsung berkenaan dengan masalah yang sedang dihadapi, sedangkan para sahabat
berupaya memahami atau menerapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan petunjuk.[6]
B.
Qadha Dan Pedoman Rasulullah SAW Dalam Memutuskan Perkara
Kata-kata Qadha berasal dari kata al-Qadha (القضاء) berasal dari kata qadha-yaqdhi-qadha’an, dengan dalam bentuk jama’ (اقضية) aqdhiyyah. Memiliki
beberapa arti melakukan, melaksanakan, mengerjakan, membayar, menyampaikan,
membatalkan, menghukum.[7]
Muhammad Salam Madkur memberi tiga arti kata al-qada;
yaitu,
-
al-Farag berarti putus atau selesai.
-
al-Ada’a berarti
menunaikan atau membayarkan dan
-
al-Bukmu, berarti mencegah atau
menghalang-halangi. Menurut fuqaha sebagaimana yang
dikemukakan oleh
Muhammad Salam
Madkur, bahwa
istilah peradilan atau al-Qadha adalah :
الإخبر عن الحكم الشرعىى على سبيل الإلظام
Menyampaikan hukum
syar’i dengan jalan penetapan[8]
Dan menurut Hasby as-shidqi, beliau
mengartikan qadha adalah kekuasaan mengadili perkara.[9]
Jadi dalam arti yang sederhana qadha dapat diartikan sebagai suatu peradilan
atau pengadilan.
Apabila dilihat ke dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia maka peradilan adalah segala sesuatu mengenai pengadilan. Sedangkan pengadilan memiliki
arti banyak yaitu
dewan atau majelis yang mengadili perkara; mahkamah; proses mengadili; keputusan hakim
ketika mengadili perkara; rumah (bangunan) tempat mengadili perkara.[10]
Untuk berjalannya peradilan dengan baik
dan
normal, sebagaimana
dituliskan dalam literatur
fiqih diperlukan adanya enam
unsur, yakni
1. Hakim atau Qadhi
Orang yang diangkat oleh kepala negara untuk
menjadi hakim dalam menyelesaikan gugat menggugat, oleh karena penguasa sendiri tidak dapat menyesaikan tugas peradilan.
Hukum, yaitu putusan hakim yang ditetapkan untuk menyelesaikan suatu
perkara.
2. Mahkum
Bih, suatu hak.
3. Mahkum
Alaih, yaitu orang yang dijatuhkan hukuman atasnya.
4. Mahkum
Lah, yaitu orang yang menggugat suatu hak.
Untuk perkembangan hukum pada masa nabi,
karena segala persoalan yang muncul dikembalikan kepada nabi untuk
diselesaikan, nabi menjadi satu-satunya sumber hukum. Dalam artian, secara langsung pembuat hukum adalah nabi, sedangkan
Tuhan membuat hukum secara tidak langsung. Hal ini karena tugas nabi adalah
menyampaikan dan melaksanakan hukum yang ditentukan Tuhan. Oleh karena itu,
sumber hukum yang ditinggalkan nabi untuk masa-masa selanjutnya adalah
al-Qur’an dan Sunnah nabi.
Dalam al-Qur’an menurut penelitian Abdul Wahab Khallaf, ayat-ayat
hukum mengenai soal ibadah jumlahnya 140
dalam al-Qur’an. Ayat ini terdiri berkenaan dengan soal shalat, zakat,
puasa dan haji. Sedangkan ayat-ayat hukum mengenai muamalah jumlahnya jumlahnya
228, lebih kurang 3% dari jumlah keseluruhan ayat al-Qur’an yang tersebar dalam
berbagai surat sehingga untuk memahami diperlukan metode dan keahlian khusus.
Beliau kemudian mengklasifikasikan beberapa ayat-ayat hukum sebagai berikut :
1.
Hukum
keluarga yang terdiri dari hukum perkawinan dan hukum kewarisan sebanyak 70
ayat :
-
Mengenai hukum perkawinan misalnya, terdapat
dalam al-Qur’an surah 2 ayat 221, 230, 232, 235; surat 4 ayat 3, 4, 22, 23, 24,
dan 25, 129; surat 24 ayat 32, 33; surat 60 ayat 10 dan 11; surat 65 ayat 1 dan
2.
-
Mengenai
kewarisan terdapat dalam beberapa ayat Qur’an, misalnya dalam surat 2 ayat 180
dan 240; surat 4 ayat 7sampai 12, 32, 33, dan 176 surat 33 ayat 6
2.
Mengenai
hukum perdata lainnya, diantanya hukum perjanjian (perikatan) terdapat 70 ayat,
contohnya dalam surat 2 ayat 280, 282, 283; surat 8 ayat 56 dan 58.
3.
Mengenai
hukum ekonomi keuangan termasuk hukum dagang terdiri dari 10 ayat antara lain
dalam surat 2 ayat 275, 282, 284; surat 3 ayat 130; surat 3 ayat 130; surat 4
ayat 29; surat 83 ayat 1-3.
4.
Hukum
pidana terdiri dari 30 ayat antara lain dalam surat 2 ayat 178 dan 179; surat 4
ayat 92 dan 93; surat 5 ayat 33, 38 dan 39; surat 24 ayat 2; surat 42 ayat 40.
5.
Mengenai
hukum tata Negara ada 10 ayat antara lain dalam surat 3 ayat 110, 159; surat 3
ayat 10; surat 4 ayat 49; surat 42 ayat 38.
6.
Mengenai
hukum internasional terdapat 25 ayat antara lain dalam surat 2 ayat 190 sampai
193; surat 8 ayat 39 dan 41; surat 9 ayat 29 dan 123; surat 22 ayat 39 dan 40.[12]
7.
Mengenai
hukum acara dan peradilan terdapat 13 ayat antara lain surat 2 ayat 282; surat
4 ayat 65 dan 105; surat 5 ayat 8; surat 38 ayat 26.
Selain dari
ayat-ayat tersebut juga terdapat hadis-hadis nabi yang diterima serta dicatat
oleh para sahabat yang pandai tulis baca, akan tetapi hadis tersebut kebanyakan
dihapal oleh sahabat dan diriwayatkan secara lisan. Dalam proses turunnya
ayat-ayat tersebut, pasti terdapat penyebab turunnya ayat tersebut. Berikut beberapa tentang turunnya ayat-ayat
hukum :
1.
Peristiwa
Mursid Ghanawi. Mursid Ghanawi adalah utusan nabi dari Madinah ke Mekkah.
Sesampai dikota itu ia dilamar oleh seorang wanita kaya dan cantik. Tatkala
wanita itu meminang Mursid, ia tidak segera memutuskannya untuk menerima atau
menolak karena wanita tersebut tidak memeluk agama Islam. Ia lalu kembali ke
Madinah dan menanyakan kepada nabi. Nabi tidak segera menjawabnya, hingga turun
lah surat al-Baqarah ayat 221 :
wur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sã 4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷sB ×öyz `ÏiB 7px.Îô³B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& 3 wur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sã 4 Óö7yès9ur í`ÏB÷sB ×öyz `ÏiB 78Îô³B öqs9ur öNä3t6yfôãr& 3 y7Í´¯»s9'ré& tbqããôt n<Î) Í$¨Z9$# ( ª!$#ur (#þqããôt n<Î) Ïp¨Yyfø9$# ÍotÏÿøóyJø9$#ur ¾ÏmÏRøÎ*Î/ ( ßûÎiüt7ãur ¾ÏmÏG»t#uä Ĩ$¨Y=Ï9 öNßg¯=yès9 tbrã©.xtGt ÇËËÊÈ
dan janganlah
kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik
hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari
orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran.
2. Kasus
janda Sa’ad bin Rabi’. Janda Sa’ad bin Rabi’ mempunyai dua orang anak perempuan
pada waktu Sa’ad gugur dalam peperangan melawan kaum kafir Quraisy. Menurut
adat masyarakat Arab ketika itu apabila ada seorang laki-laki meninggal dunia
dan meninggalkan harta, maka anak perempuan serta jandanya tidak mendapatkan
bagian dari harta yang ditinggalkan, dan yang berhak atas harta tersebut sesuai
hukum adat pada masa itu adalah seluruh harta jatuh kepada saudara
laki-lakinya. Tatkala nabi memikirkan permasalahan tersebut turunlah surat
an-Nisa yang intinya sebagai berikut :
Berikan
2/3 (dari harta peninggalan Sa’ad itu) kepada anak-anaknya, 1/8 untuk jandanya
dan sisanya kepada saudara-saudaranya (ashabah)[13]
Dalam
memutuskan perkara sudah tentu Rasulullah SAW mempergunakan wahyu Allah yang
diturunkan kepadanya. Para penggugat dan tergugat hadir dihadapan Rasul, maka
beliau mendengar keterangan para pihak yang sedang berperkara. Adapuan dalam
penetapan hukum-hukum itu, haruslah diperhatikan prinsip-prinsip tentang
pemeliharaan hak-hak sebagaimana keharusan berpegang kepada adanya dalil-dalil
syari’at dengan ketentuan tidak boleh menyalahinya sedikit atau banyak. Adapun
aturan-aturan tambahan dianggap sebagai sendi keadilan, maka berkembang
kemudian menurut situasi zaman dan tempat.[14]
Praktek Tasyri` di Masa Rasulullah
1.
Dalam
Masalah Hukum Ibadah Ibadah (Sholat)
Sholat disyari`atkan pada awal-awal Islam,
hanyalah dua rakaat pagi dan dua rakaat sore, sebagaimana yang digambarkan oleh
Allah dalam surat Ghafir ayat 55:وسبح
بحمد ربك بالعشي والإبكر. Sedangkan untuk malam cukup dengan membaca al-Qur`an saja, seperti
yang terdapat dalam awal surat al-Muzammil. Kemudian beberapa hari sebelum
hijrah, barulah diwajibkan sholat lima waktu.
Ibadah sholat mendapat perhatian khusus dari Allah, al-Qur`an
menjelaskan wajibnya dengan berbagai uslub, adakalanya dengan al-amr
ash-sharih, adakalanya dengan memuji orang yang melakukan sholat dan
mencela orang yang meninggalkan sholat, dan uslub lain sebagainya.
Diantara ayat yang mewajibkan sholat adalah, surat al-Haj ayat 77:
يأيها
الذين آمنوا اركعوا واسجدوا
Dikarenakan perintah ruku` dan sujud (sholat)
dalam ayat ini masih bersifat mujmal, kemudian Rasulullah menjelaskan tatacara
pelaksanaannya dalam sunnah fi`liyah beliau.[15]
2.
Dalam
Masalah Hukum Mu`amalah (Jual Beli)
Allah menjelaskan tentang pentasyri`an jual beli dalam surat
an-Nisa` ayat 29:
يأيها
الذين آمنوا لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلا أن تكون تجارة عن تراض منكم[16]
3.
Dalam
Masalah Peradilan (Had Sariq)
Allah
telah menentukan hukuman yang harus dijatuhkan kepada orang yang mencuri adalah
potong tangan, sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah dalam surat al-Maidah
ayat 38:
Pembuktian-pembuktian
dimasa Rasulullah SAW adalah :
1. Bayyinah
2. Sumpah
3. Saksi
4. Bukti
tertulis
5. Firasat
Rasulullah SAW
bersabda :
البينة على المدعي واليمين
على من انكر
“keterangan (pembuktian) itu diminta
kepada penggugat, sedangkan sumpah dikenakan atas tergugat”.
Rasulullah SAW juga bersabda :
امرنى ربي ان احكم بظواهر
والله يتولى السراءر
“aku diperintahkan Tuhanku memutuskan perkara menurut bukti-bukti
(alasan-alasan) yang nyata, sedangkan hakikat urusan itu terserah kepada Allah
sendiri”.
Berbagai macam putusan yang Rasulullah SAW telah tetapkan, membuktikan,
bahwa Rasulullah SAW tidak pernah memihak kepada suatu golongan dan beliau
tetatp memelihara keadilan dan kejujuran.[18]
C.
Peradilan di Daerah-daerah Pada Masa Rasulullah Serta Pendelegasian
Peradilan Kepada Sahabat.
Pada masa Rasulullah SAW masih hidup, beliau
terus mengembangkan dakwah Islam keseluruh penjuru Arab, sehingga agama Islam
terus berkembang baik dari segi ajaran yang disampaikan oleh Rasulullah maupun
dari segi wilayahnya. Perluasan wilayah Islam tentu mengharuskan nabi untuk
mengirim seorang sahabat untuk menuntun umat yang baru memeluk agama Islam
tersebut.
Maka dikirimlah para sahabat-sahabat untuk
menjadi pembimbing ummat di daerah-daerah yang jauh dari Madinah. Adapun urusan
peradilan dan perkembangan hukum disana diserahkan kepada sahabat yang
dijadikan penguasa dan utusan tersebut.
Nabi memberikan sebuah latihan kepada para
sahabat untuk bisa memecahkan permasalahan tentang hukum dihadapan beliau. Hal
ini merupakan petunjuk untuk membolehkan kita memisahkan antara kekuasaan
eksekutif dan yudikatif. Jadi Rasulullah sebagai pembuat hukum berusaha
memberikan sebuah kelapangan kepada mufti yang akan dikirim ke darah-daerah
Islam yang jauh untuk memutuskan perkara-perkara hukum.
Nabi pernah mendelegasikan Hudzaifah ibn al-Yaman
al-‘Absy untuk menyelesaikan perselisihan dua orang
bersaudara yang memperebutkan hidhar atau jidar rumah mereka. Nabi juga diriwayatkan pernah
meminta ‘Amru ibn al-‘Ash
untuk
memberi
keputusan pada sebuah masalah yang dibawa oleh dua orang yang datang kepada
nabi mengadukan persengketaan mereka. Nabi bersabda kepada ‘Amru:
“Putuskanlah perkara yang terjadi antara keduanya wahai ‘Amru.” Maka
‘Amru merasa kaget dan berkata: “Akankah
aku putuskan perkara keduanya sementara engakau
berada bersama kami wahai Rasulullah?”. Selain kepada dua sahabatnya seperti di atas, Nabi juga pernah meminta
hal sama kepada sahabat ‘Uqbah ibn ‘Amir al-Juhani untuk memmutus
satu perkara. Nabi diberitakan juga pernah mengirimkan Ma’qil ibn Yasar
dan
dalam kesempatan berbeda ‘Ali ibn Abu Thalib sebagai qadhi
ke Yaman.
Sebelum mengutus Ali ibn Thalib ke Yaman,
Rasulullah memebrikan
nasehat untuk tidak menetapkan hukum sebelum mendengar keterangan dari kedua belah pihak yang
bersengketa, nabi bersabda :
عن على ابن
ابى طا لب قال : قال رسول الله ص م : اذا تقاضي اليك رجلان فلا تقضي لأول حتى سمع
كلام الأخر فسوف تدرى كيف تقضي
Dari Ali
bin Abi T halib:
Rasululla h
SAW
bersabda: Apabila datang
kepadamu dua orang minta suatu hukum janganlah kamu memutuskan untuk yang pertama sampai kamu
mendengarkan ucapan
yang
l ain,
supaya den gan itu ka mu b isa tahu ba gai m ana kamu memutuskan.
Rasulullah juga menguji para qadhi yang akan diberangkatkan, seperti ketika nabi mengutus Mu’az ibn Jabal ke Yaman sebagai qadhi dan ia juga
diberi wewenang mengumpulakan
zakat para pegawai yang berada di
Yaman, oleh karena itu akan diserahi urusan qadha’ dan lain-lain: “Bagaimana caranya engkau memutuskan perkara
yang dibawa orang kepadamu?”. “Saya akan memutuskannya menurut
yang
tersebut dalam Kitabullah.”
Jawab
Mu’adz. Rasulullah SAW bertanya lagi: “Kalau engkau
tak menemukan hal itu dalam Kitabullah, bagaimana?”. Mu’adz menjawab: “Saya akan memutuskannya menurut Sunah Rasul-Nya”. Lalu Rasulullah SAW bertanya lagi : Kalau
hal itu tidak ditemukan juga dalam Sunnah Rasulullah
dan
tidak pula dalam Kitabullah, bagaimana?” Lalu
Mu’adz
menjawab: “Jika tidak terdapat dalam keduanya saya akan berijtihad sepenuh kemampuan saya.”
Mendengar jawaban
itu,
Rasulullah SAW lalu menepukkan kedua tangannya ke dada Mu’adz
dan berkata: “Segala puji bagi
Allah yang telah memberi taufiq utusan
Rasulullah, kepada
apa yang diridlainya.[19]
Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa nabi memberikan
kesempatan para sahabat yang ditunjuk sebagai qadhi di daerah-daerah untuk
melakukan ijtihad dalam memutuskan perkara. Sumber pokok untuk memutuskan
perkara adalah berpedoman kepada al-Qur’an dan Sunnah, namun apabila tidak
ditemukan oleh dua sumber pokok tersebut maka berijtihad sesuai kemampuan mufti
tersebut.
PENUTUP
Kesimpulan
Qadha pada masa nabi berkaitan erat dengan perkembangan hukum itu sendiri.
Perkembangan hukuk yang menjadi acuan utama nabi dalam memutuskan suatu perkara
yang terjadi ditengah-tengah ummat Islam. Sebagai pokok atau sumber hukum Islam
adalah al-Qur’an dan Sunnah
Allah menurunkan ayat-ayat hukum yang menjadi pedoman bagi umat Islam dalam
memutuskan perkara. Selain itu nabi juga mengeluarkan Sunnah atau Hadis yang
menjadi penjelasan tambahan bagi al-Qur’an, atau bahkan menjadi hukum baru yang
tidak ada di dalam al-Qur’an.
Dalam memutus suatu perkara nabi menggunakan pembuktian sebagai berikut :
1. Bayyinah
2. Sumpah
3. Saksi
4. Bukti
tertulis
5. Firasat
Pendelegasian tugas sebagai mufti atau qadhi kepada
sahabat yang ditunjuk untuk memimpin daerah-daerah yang tunduk kepada Islam,
salah satunya adalah Mu’az bin Jabbal yang ditunjuk sebagai qadhi, ia di uji
oleh nabi untuk memutus perkara yang tidak ada dalilnya dalam al-Qur’an maupun
Sunnah Nabi, maka ia berijtihad sesuai dengan kemampuannya.
[1] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam
Di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hal 155
[3]Abdul Ghofur Anshori dan Yulkarnaini Harahap, Hukum Islam Dinamika Dan
Perkembangannya Di Indonesia, (Jogjakarta, Kreasi Total Media 2008), hal 55
[5] Dedi Supriadi, Sejarah Hukum Islam (dari kawasan Jazirah
Arab sampai Indonesia), (Bandung : Pustaka Setia 2007), hal 58
[7]Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif: 1997)., hal 1130
[10]
Departemen Pendidikan Nasional
RI, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Edisi IV (Jakarta: Depdiknas-Balai Pustaka, 2008), cet.I.,
hal.
10
[11] Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), cet.I.,
hal. 6-7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar