Senin, 15 Februari 2016

QADHA PADA MASA RASULULLAH

A.    Perkembangan Hukum Pada Masa Rasulullah SAW
Dalam membicarakan perkembangan hukum pada masa Rasulullah SAW, sebelumnya penulis sedikit melihat kebelakang tentang perkembangan kehidupan masyarakat Arab khususnya suku Quraisy yang mendiami kota Mekkah. Suku Quraisy merupakan suku terpandang yang mendiami sekitar lembah Mekkah, mereka merupakan keturunan dari nabi Ibrahim As yang merupakan nabi sekaligus pendiri Ka’bah yang ada di lembah Mekkah tersebut.
Sistem kemasyarakatan yang ada dan berkembang pada saat itu, mereka hidup dengan kelompok-kelompok atau suku-suku, setiap suku memiliki seorang pemimpin yang diberi gelar Sayyid atau Syaikh, yang dipilih berdasarkan kelahiran, keberanian atau kearifannya. Sistem kekeluargaan yang berdasarkan patrilinial dengan meletakkan posisi laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Pada masa ini kedudukan perempuan dipandang sangat rendah. Wanita hanya dibebani kewajiban tanpa imbalan hak sama sekali.[1]
Wanita pada masa ini tak ubahnya seperti barang yang bahkan bisa diwariskan. Demikian rendahnya kedudukan wanita pada masa itu sehingga laki-laki dengan mudahnya mengucapkan kata cerai atau talak untuk menceraikan istrinya. Bahkan dalam hukum kewarisan sekalipun, kedudukan wanita dianggap tidak ada. Kerena itu anak perempuan tidak mendapatkan bagian dari harta warisan peninggalan orang tuanya seperti halnya anak laki-laki. Istri tidak menjadi ahli waris mendiang suaminya.[2]
Dari sedikit sejarah tersebutlah nantinya akan banyak berpengaruh kepada perkembangan hukum Islam yang akan dibawa serta dikembangkan pada masa Rasulullah SAW. Sebab mayarakat Quraisy yang telah menjadikan hukum tersebut sebagai bagian dari adat mereka, sehingga mereka tetap berpegang teguh kepada adat yang telah turun temurun mereka pakai.
Nabi Muhammad memulai pengembangan Islam sejak beliau diberikan mandat oleh Allah SWT setelah turunya wahyu Allah ketika beliau sedang ber-tahannus di gua hira’ ketika berumur 40 tahun. Wahyu yang pertama turun adalah surat al-Alaq ayat 1-5, dan setelah itu turun surat al-Mudatsir yang menyuruh Rasulullah untuk berdakwah kepada masyarakat Quraisy.
Selama nabi menyampaikan dakwah islamiyah tersebut, dalam catatan sejarah berlangsung selama 23 tahun, beliau berusaha membangun untuk membangun suatu tatanan agama dan negara yang berlandaskan kepada hukum dari Allah SWT. Baik dari segi akidah maupun dalam segi hukum-hukum muamalah. Dan sebagai sumber hukum pada saat itu adalah berdasarkan tuntunan Allah SWT dengan wahyu yang diturunkan-Nya melalui al-Qur’an.
Akan tetapi, al-Qur’an yang diturunkan kepada Rasulullah SAW tidak sekaligus, tetapi berangsur-angsur (tadrij) dimulai di Mekkah dan diakhiri di Madinah. Atas dasar wahyu yang sudah diturunkan itulah, Nabi menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat. Namun apabila timbul persoalan yang belum ada dalam wahyu maka dalam hal ini nabi melakukan ijtihad.[3]
Apabila ijtihad yang dilakukan nabi benar, maka tidak ada teguran dari Allah, namun adakalanya nabi melakukan kesalahan. Contoh ijtihad nabi tentang hukuman bagi tawanan perang Badar. Menurut Ijtihadnya, hukuman bagi mereka adalah membayar tebusan.[4] Ternyata pendapat tesebut tidak tepat sasaran. Oleh karena itu turunlah firman Allah Q.S al-Anfal ayat 67-68 :
$tB šc%x. @cÓÉ<oYÏ9 br& tbqä3tƒ ÿ¼ã&s! 3uŽó r& 4Ó®Lym šÆÏ÷WムÎû ÇÚöF{$# 4 šcr߃̍è? uÚttã $u÷R9$# ª!$#ur ߃̍ムnotÅzFy$# 3 ª!$#ur îƒÍtã ÒOŠÅ3ym ÇÏÐÈ   Ÿwöq©9 Ò=»tGÏ. z`ÏiB «!$# t,t7y öNä3¡¡yJs9 !$yJÏù öNè?õs{r& ë>#xtã ×LìÏàtã ÇÏÑÈ  
Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Kalau Sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil.

Intinya, ijtihad nabi SAW, tidak seperti Ijtihad ulama sekarang. Ijtihad nabi hanya sebatas wahyu tidak turun, dan ketika turun maka wahyu menggantikan ijtihad nabi SAW. Tentu Rasulullah tidak mempunyai pilihan lain, kecuali berbuat berdasarkan pendapatnya (ijtihad).[5] Hal ini berdasarkan hadis nabi dari Abu Dawud
إنما أقضى بينكم برأيي فيما لم ينزل علي فيه وحي
Sesungguhnya aku menetapkan suatu hukum di antara kamu berdasarkan pendapatku, selama wahyu belum turun kepadaku tentang masalah ini.

Jadi ijtihad pada masa nabi dapat dikatakan sebagai sebagai tasyri’. Dimana selain Allah memberikan wahyu, nabi juga berijtihad untuk menetapkan huku, dan disanalah terbentuk sunnah nabi yang kemudian diriwayatkan oleh para sahabat. Jika hal ini dikaitkan dengan diri nabi SAW, paling tidak terdapat dua hal yang perlu dikemukakan :
1.      Beliau menetapkan hukum bagi suatu peristiwa berdasarkan petunjuk wahyu yang diturunkan secara bertahap sesuai kebutuhan yang ada atau wahyu tersebut berkenaan dengan masalah yang dihadapi nabi SAW dan masyarakat.
2.      Beliau menetapkan hukum suatu peristiwa yang muncul berdasarkan petunjuk umum syari’at yang dipahami dari al-Qur’an ketika wahyu tidak diturunkan atau tidak secara langsung berkenaan dengan masalah yang sedang dihadapi, sedangkan para sahabat berupaya memahami atau menerapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan petunjuk.[6]
B.     Qadha Dan Pedoman Rasulullah SAW Dalam Memutuskan Perkara
Kata-kata Qadha berasal dari kata al-Qadha (القضاء) berasal dari kata qadha-yaqdhi-qadhaan, dengan dalam bentuk jama’ (اقضية) aqdhiyyah. Memiliki beberapa arti melakukan, melaksanakan, mengerjakan, membayar, menyampaikan, membatalkan, menghukum.[7] 
Muhammad Salam Madkur memberi tiga arti kata al-qada; yaitu,
-          al-Farag berarti putus atau selesai.
-          al-Adaa berarti menunaikan atau membayarkan dan
-          al-Bukmu, berarti mencegah atau menghalang-halangi. Menurut fuqaha sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhammad Salam Madkur, bahwa istilah peradilan atau al-Qadha adalah :
الإخبر عن الحكم الشرعىى على سبيل الإلظام
Menyampaikan hukum syari dengan jalan penetapan[8]
Dan menurut Hasby as-shidqi, beliau mengartikan qadha adalah kekuasaan mengadili perkara.[9] Jadi dalam arti yang sederhana qadha dapat diartikan sebagai suatu peradilan atau pengadilan.
Apabila dilihat ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia maka peradilan adalah segala sesuatu mengenai pengadilan. Sedangkan pengadilan memiliki arti banyak yaitu dewan atau majelis yang mengadili perkara; mahkamah; proses mengadili; keputusan hakim ketika mengadili perkara; rumah (bangunan) tempat mengadili perkara.[10]
Untuk berjalannya peradilan dengan baik dan normal, sebagaimana dituliskan dalam literatur fiqih diperlukan adanya enam unsur, yakni
1 Hakim atau Qadhi

Orang yang diangkat oleh kepala negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugat menggugat, oleh karena penguasa sendiri tidak dapat menyesaikan tugas peradilan. Hukum, yaitu putusan hakim yang ditetapkan untuk menyelesaikan suatu perkara.

2 Mahkum Bih, suatu hak.

3 Mahkum Alaih, yaitu orang yang dijatuhkan hukuman atasnya.

4 Mahkum Lah, yaitu orang yang menggugat suatu hak.

5 Perkataan atau perbuatan yang menunjuk kepada hukum (putusan).[11]
Untuk perkembangan hukum pada masa nabi, karena segala persoalan yang muncul dikembalikan kepada nabi untuk diselesaikan, nabi menjadi satu-satunya sumber hukum. Dalam artian, secara langsung pembuat hukum adalah nabi, sedangkan Tuhan membuat hukum secara tidak langsung. Hal ini karena tugas nabi adalah menyampaikan dan melaksanakan hukum yang ditentukan Tuhan. Oleh karena itu, sumber hukum yang ditinggalkan nabi untuk masa-masa selanjutnya adalah al-Qur’an dan Sunnah nabi.
Dalam al-Qur’an menurut penelitian Abdul Wahab Khallaf, ayat-ayat hukum mengenai soal ibadah jumlahnya 140  dalam al-Qur’an. Ayat ini terdiri berkenaan dengan soal shalat, zakat, puasa dan haji. Sedangkan ayat-ayat hukum mengenai muamalah jumlahnya jumlahnya 228, lebih kurang 3% dari jumlah keseluruhan ayat al-Qur’an yang tersebar dalam berbagai surat sehingga untuk memahami diperlukan metode dan keahlian khusus. Beliau kemudian mengklasifikasikan beberapa ayat-ayat hukum sebagai berikut :
1.      Hukum keluarga yang terdiri dari hukum perkawinan dan hukum kewarisan sebanyak 70 ayat :
-           Mengenai hukum perkawinan misalnya, terdapat dalam al-Qur’an surah 2 ayat 221, 230, 232, 235; surat 4 ayat 3, 4, 22, 23, 24, dan 25, 129; surat 24 ayat 32, 33; surat 60 ayat 10 dan 11; surat 65 ayat 1 dan 2.
-          Mengenai kewarisan terdapat dalam beberapa ayat Qur’an, misalnya dalam surat 2 ayat 180 dan 240; surat 4 ayat 7sampai 12, 32, 33, dan 176 surat 33 ayat 6
2.      Mengenai hukum perdata lainnya, diantanya hukum perjanjian (perikatan) terdapat 70 ayat, contohnya dalam surat 2 ayat 280, 282, 283; surat 8 ayat 56 dan 58.
3.      Mengenai hukum ekonomi keuangan termasuk hukum dagang terdiri dari 10 ayat antara lain dalam surat 2 ayat 275, 282, 284; surat 3 ayat 130; surat 3 ayat 130; surat 4 ayat 29; surat 83 ayat 1-3.
4.      Hukum pidana terdiri dari 30 ayat antara lain dalam surat 2 ayat 178 dan 179; surat 4 ayat 92 dan 93; surat 5 ayat 33, 38 dan 39; surat 24 ayat 2; surat 42 ayat 40.
5.      Mengenai hukum tata Negara ada 10 ayat antara lain dalam surat 3 ayat 110, 159; surat 3 ayat 10; surat 4 ayat 49; surat 42 ayat 38.
6.      Mengenai hukum internasional terdapat 25 ayat antara lain dalam surat 2 ayat 190 sampai 193; surat 8 ayat 39 dan 41; surat 9 ayat 29 dan 123; surat 22 ayat 39 dan 40.[12]
7.      Mengenai hukum acara dan peradilan terdapat 13 ayat antara lain surat 2 ayat 282; surat 4 ayat 65 dan 105; surat 5 ayat 8; surat 38 ayat 26.
Selain dari ayat-ayat tersebut juga terdapat hadis-hadis nabi yang diterima serta dicatat oleh para sahabat yang pandai tulis baca, akan tetapi hadis tersebut kebanyakan dihapal oleh sahabat dan diriwayatkan secara lisan. Dalam proses turunnya ayat-ayat tersebut, pasti terdapat penyebab turunnya ayat tersebut.  Berikut beberapa tentang turunnya ayat-ayat hukum :
1.      Peristiwa Mursid Ghanawi. Mursid Ghanawi adalah utusan nabi dari Madinah ke Mekkah. Sesampai dikota itu ia dilamar oleh seorang wanita kaya dan cantik. Tatkala wanita itu meminang Mursid, ia tidak segera memutuskannya untuk menerima atau menolak karena wanita tersebut tidak memeluk agama Islam. Ia lalu kembali ke Madinah dan menanyakan kepada nabi. Nabi tidak segera menjawabnya, hingga turun lah surat al-Baqarah ayat 221 :
Ÿwur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sム4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷sB ׎öyz `ÏiB 7px.ÎŽô³B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& 3 Ÿwur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sム4 Óö7yès9ur í`ÏB÷sB ׎öyz `ÏiB 78ÎŽô³B öqs9ur öNä3t6yfôãr& 3 y7Í´¯»s9'ré& tbqããôtƒ n<Î) Í$¨Z9$# ( ª!$#ur (#þqããôtƒ n<Î) Ïp¨Yyfø9$# ÍotÏÿøóyJø9$#ur ¾ÏmÏRøŒÎ*Î/ ( ßûÎiüt7ãƒur ¾ÏmÏG»tƒ#uä Ĩ$¨Y=Ï9 öNßg¯=yès9 tbr㍩.xtGtƒ ÇËËÊÈ    
dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.

2.      Kasus janda Sa’ad bin Rabi’. Janda Sa’ad bin Rabi’ mempunyai dua orang anak perempuan pada waktu Sa’ad gugur dalam peperangan melawan kaum kafir Quraisy. Menurut adat masyarakat Arab ketika itu apabila ada seorang laki-laki meninggal dunia dan meninggalkan harta, maka anak perempuan serta jandanya tidak mendapatkan bagian dari harta yang ditinggalkan, dan yang berhak atas harta tersebut sesuai hukum adat pada masa itu adalah seluruh harta jatuh kepada saudara laki-lakinya. Tatkala nabi memikirkan permasalahan tersebut turunlah surat an-Nisa yang intinya sebagai berikut :
Berikan 2/3 (dari harta peninggalan Sa’ad itu) kepada anak-anaknya, 1/8 untuk jandanya dan sisanya kepada saudara-saudaranya (ashabah)[13]
Dalam memutuskan perkara sudah tentu Rasulullah SAW mempergunakan wahyu Allah yang diturunkan kepadanya. Para penggugat dan tergugat hadir dihadapan Rasul, maka beliau mendengar keterangan para pihak yang sedang berperkara. Adapuan dalam penetapan hukum-hukum itu, haruslah diperhatikan prinsip-prinsip tentang pemeliharaan hak-hak sebagaimana keharusan berpegang kepada adanya dalil-dalil syari’at dengan ketentuan tidak boleh menyalahinya sedikit atau banyak. Adapun aturan-aturan tambahan dianggap sebagai sendi keadilan, maka berkembang kemudian menurut situasi zaman dan tempat.[14]

Praktek Tasyri` di Masa Rasulullah
1.      Dalam Masalah Hukum Ibadah Ibadah (Sholat)
Sholat disyari`atkan pada awal-awal Islam, hanyalah dua rakaat pagi dan dua rakaat sore, sebagaimana yang digambarkan oleh Allah dalam surat Ghafir ayat 55:وسبح بحمد ربك بالعشي والإبكر. Sedangkan untuk malam cukup dengan membaca al-Qur`an saja, seperti yang terdapat dalam awal surat al-Muzammil. Kemudian beberapa hari sebelum hijrah, barulah diwajibkan sholat lima waktu.
Ibadah sholat mendapat perhatian khusus dari Allah, al-Qur`an menjelaskan wajibnya dengan berbagai uslub, adakalanya dengan al-amr ash-sharih, adakalanya dengan memuji orang yang melakukan sholat dan mencela orang yang meninggalkan sholat, dan uslub lain sebagainya.
Diantara ayat yang mewajibkan sholat adalah, surat al-Haj ayat 77:
يأيها الذين آمنوا اركعوا واسجدوا
Dikarenakan perintah ruku` dan sujud (sholat) dalam ayat ini masih bersifat mujmal, kemudian Rasulullah menjelaskan tatacara pelaksanaannya dalam sunnah fi`liyah beliau.[15]
2.      Dalam Masalah Hukum Mu`amalah (Jual Beli)
Allah menjelaskan tentang pentasyri`an jual beli dalam surat an-Nisa` ayat 29:
يأيها الذين آمنوا لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلا أن تكون تجارة عن تراض منكم[16]


3.      Dalam Masalah Peradilan (Had Sariq)
Allah telah menentukan hukuman yang harus dijatuhkan kepada orang yang mencuri adalah potong tangan, sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah dalam surat al-Maidah ayat 38:
والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما[17]
Pembuktian-pembuktian dimasa Rasulullah SAW adalah :
1.      Bayyinah
2.      Sumpah
3.      Saksi
4.      Bukti tertulis
5.      Firasat
Rasulullah SAW bersabda :
البينة على المدعي واليمين على من انكر
“keterangan (pembuktian) itu diminta kepada penggugat, sedangkan sumpah dikenakan atas tergugat”.
Rasulullah SAW juga bersabda :
امرنى ربي ان احكم بظواهر والله يتولى السراءر
aku diperintahkan Tuhanku memutuskan perkara menurut bukti-bukti (alasan-alasan) yang nyata, sedangkan hakikat urusan itu terserah kepada Allah sendiri”.
Berbagai macam putusan yang Rasulullah SAW telah tetapkan, membuktikan, bahwa Rasulullah SAW tidak pernah memihak kepada suatu golongan dan beliau tetatp memelihara keadilan dan kejujuran.[18]
C.    Peradilan di Daerah-daerah Pada Masa Rasulullah Serta Pendelegasian Peradilan Kepada Sahabat.
Pada masa Rasulullah SAW masih hidup, beliau terus mengembangkan dakwah Islam keseluruh penjuru Arab, sehingga agama Islam terus berkembang baik dari segi ajaran yang disampaikan oleh Rasulullah maupun dari segi wilayahnya. Perluasan wilayah Islam tentu mengharuskan nabi untuk mengirim seorang sahabat untuk menuntun umat yang baru memeluk agama Islam tersebut.
Maka dikirimlah para sahabat-sahabat untuk menjadi pembimbing ummat di daerah-daerah yang jauh dari Madinah. Adapun urusan peradilan dan perkembangan hukum disana diserahkan kepada sahabat yang dijadikan penguasa dan utusan tersebut.
Nabi memberikan sebuah latihan kepada para sahabat untuk bisa memecahkan permasalahan tentang hukum dihadapan beliau. Hal ini merupakan petunjuk untuk membolehkan kita memisahkan antara kekuasaan eksekutif dan yudikatif. Jadi Rasulullah sebagai pembuat hukum berusaha memberikan sebuah kelapangan kepada mufti yang akan dikirim ke darah-daerah Islam yang jauh untuk memutuskan perkara-perkara hukum.
Nabi pernah mendelegasikan Hudzaifah ibn al-Yaman al-‘Absy untuk menyelesaikan perselisihan dua orang bersaudara yang memperebutkan hidhar atau jidar rumah mereka. Nabi juga diriwayatkan pernah meminta  Amru  ibn  al-‘Ash  untuk  memberi keputusan pada sebuah masalah yang dibawa oleh dua orang yang datang kepada nabi mengadukan   persengketaa mereka.   Nab bersabd kepad Amru: Putuskanlah perkara yang terjadi antara keduanya wahai Amru.” Maka ‘Amru merasa kaget dan berkata: “Akankah aku putuskan perkara keduanya sementara engakau berada bersama kami wahai Rasulullah?. Selain kepada dua sahabatnya seperti di atas, Nabi juga pernah meminta hal sama kepada sahabat Uqbah ibn Amir al-Juhani untuk memmutus satu perkara. Nabi diberitakan juga pernah mengirimkan Ma’qil ibn Yasar dan dalam kesempatan berbeda Ali ibn Abu Thalib sebagai qadhi ke Yaman.
Sebelum mengutus Ali ibn Thalib ke Yaman, Rasulullah memebrikan nasehat untuk tidak menetapkan hukum sebelum mendengar keterangan dari kedua belah pihak yang bersengketa, nabi bersabda :
عن على ابن ابى طا لب قال : قال رسول الله ص م : اذا تقاضي اليك رجلان فلا تقضي لأول حتى سمع كلام الأخر فسوف تدرى كيف تقضي
Dari  Ali  bin  Abi  T halib:  Rasululla h  SAW  bersabda:  Apabila  datang kepadamu dua orang minta suatu hukum janganlah kamu memutuskan untuyang pertamsampai kamu  mendengarkan  ucapan  yang  l ain, supaya den gan itu ka mu b isa tahu ba gai m ana kamu memutuskan.
Rasulullah juga menguji para qadhi yang akan diberangkatkan, seperti ketika nabi mengutus Mu’az ibn Jabal ke Yaman sebagai qadhi dan ia juga diberi  wewenang mengumpulakan zakat para pegawai yang berada di Yaman, oleh karena itu akan diserahi urusan qadha’ dan lain-lain: Bagaimana caranya engkau memutuskan perkara yang dibawa orang kepadamu?. “Saya akan memutuskannya menurut yang tersebut dalam Kitabullah.” Jawab Muadz. Rasulullah SAW bertanya lagi:Kalau engkau tak menemukan hal itu dalam Kitabullah, bagaimana?. Muadz menjawab: “Saya akan memutuskannya menurut Sunah Rasul-Nya. Lalu Rasulullah SAW bertanya lagi : Kalau hal itu tidak ditemukan juga dalam Sunnah Rasulullah dan tidak pula dalam Kitabullah, bagaimana?” Lalu Mu’adz menjawab: Jika tidak terdapat dalam keduanya saya akan berijtihad sepenuh kemampuan saya.Mendengar jawaban itu, Rasulullah SAW lalu menepukkan kedua tangannya ke dada Muadz dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq utusan Rasulullah, kepada apa yang diridlainya.[19]
Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa nabi memberikan kesempatan para sahabat yang ditunjuk sebagai qadhi di daerah-daerah untuk melakukan ijtihad dalam memutuskan perkara. Sumber pokok untuk memutuskan perkara adalah berpedoman kepada al-Qur’an dan Sunnah, namun apabila tidak ditemukan oleh dua sumber pokok tersebut maka berijtihad sesuai kemampuan mufti tersebut.


PENUTUP
Kesimpulan
Qadha pada masa nabi berkaitan erat dengan perkembangan hukum itu sendiri. Perkembangan hukuk yang menjadi acuan utama nabi dalam memutuskan suatu perkara yang terjadi ditengah-tengah ummat Islam. Sebagai pokok atau sumber hukum Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah
Allah menurunkan ayat-ayat hukum yang menjadi pedoman bagi umat Islam dalam memutuskan perkara. Selain itu nabi juga mengeluarkan Sunnah atau Hadis yang menjadi penjelasan tambahan bagi al-Qur’an, atau bahkan menjadi hukum baru yang tidak ada di dalam al-Qur’an.
Dalam memutus suatu perkara nabi menggunakan pembuktian sebagai berikut :
1.      Bayyinah
2.      Sumpah
3.      Saksi
4.      Bukti tertulis
5.      Firasat
Pendelegasian tugas sebagai mufti atau qadhi kepada sahabat yang ditunjuk untuk memimpin daerah-daerah yang tunduk kepada Islam, salah satunya adalah Mu’az bin Jabbal yang ditunjuk sebagai qadhi, ia di uji oleh nabi untuk memutus perkara yang tidak ada dalilnya dalam al-Qur’an maupun Sunnah Nabi, maka ia berijtihad sesuai dengan kemampuannya.



[1] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hal 155
[2] Ibid, hal 156
[3]Abdul Ghofur Anshori dan Yulkarnaini Harahap, Hukum Islam Dinamika Dan Perkembangannya Di Indonesia, (Jogjakarta, Kreasi Total Media 2008), hal 55
[4] Mohammad Daud Ali, Op.Cit, hal 158
[5] Dedi Supriadi, Sejarah Hukum Islam (dari kawasan Jazirah Arab sampai Indonesia), (Bandung : Pustaka Setia 2007), hal 58
[6] Ibid, hal 68
[7]Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif: 1997)., hal 1130
[8]Muhammad Salam Madkur, Al-Qadha Fil al-Islam (Kairo: Dar an-Nadha al-arabiyyah, t.th), hal 11
[9]Hasbi Ash-Shiddeqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam (Yogyakarta: PT. Maarif, 1994), hal. 29
[10] Departemen  Pendidikan  Nasional  RI,  Kamus  Besar  Bahasa  Indonesia,  Edisi  IV (Jakarta: Depdiknas-Balai Pustaka, 2008), cet.I., hal. 10
[11] Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), cet.I., hal. 6-7
[12] Muhammad Daud Ali, Op.cit, hal 163-164
[13] Ibid, hal 166
[14] Hasbi Ash-Shiddeqy, Op.cit, hal 10-11
[15] Muhammad Khudari Beik, Tarekh Tasyri Islamy, (Daar al-Kutb, Kairo : al-Azhar : 2008), hal 33
[16] Ibid, hal 64
[17] Ibid, hal 68
[18] Hasbi Ash-Shiddeqy, Op.cit, hal 11
[19] Muhammad Salam Madkur, op.cit., hal 39

Tidak ada komentar:

Posting Komentar