Senin, 15 Februari 2016

Cara Kerja Ilmu

A.    Pendahuluan
Tidak semua pengetahuan dapat serta merta disebut sebagai ilmu. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi pengetahuan agar sampai sebagai ilmu, yaitu ada obyek, ada metode dan ada system.[1] Di dalam penelitian ilmiah, misalnya pembuatan skripsi, disebutkan sasaran pembahasan dan penelitian (obyek), cara pembahasan dan meneliti (metode) serta runtutan pembahasan pembahasan yang yang saling berkaitan antar bab dan pasal (system).
Secara khusus tulisan ini menempatkan pembahasan tentang “cara” atau “metode” tersebut, yang dalam judul ditulis dengan “cara kerja ilmu”. Adapun pembagiannya menjadi empirik dan non empirik, sejatinya dimaksudkan agar mempermudah sistematika penulisan serta pemahaman, meskipun pembagian itu masih membuka ruang yang dapat diperdebatkan.
Pengertian empirik secara sederhana adalah pengalaman (inderawi). Orang-orang yang memiliki pemahaman empirik, yaitu empirisme, berpendapat bahwa pengalaman adalah sumber tahu. Segala pengetahuan bertumpu pada pengalaman. Tidak ada pengetahuan pengetahuan tanpa pengalaman lebih dahulu.[2] Dengan demikian non empirik berarti sumber pengetahuan selain pengalaman. Khazanah filsafat Barat menempatkan rasio (pemikiran, idea) di lahan non empirik ini, di mana kedua-duanya (empirie dan rasio) merupakan garis besar sumber pengetahuan.[3]
Sementara obyek transenden (obyek luar rasa, rasio), misalnya tentang Tuhan, alam barzah dan semacamnya, tidak dapat dimasukkan ke dalam dua kategori di atas. Sebab meskipun itu diyakini ada, tetapi keduanya berada di luar jangkauan pikiran.[4] (rasio) dan juga tidak dapat ditangkap oleh indera lahir (empirie).
Pembagian cara kerja ilmu, baik empirik maupun non empirik, dengan sendirinya, masuk ke dalam kawasan epistemologis yang asumsi dasarnya mencoba mempertanyakan, bagaimana kita mendapat pengetahuan : Apakah sumber-sumber pengetahuan itu ? Apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan ? Apakah manusia masih dimungkinkan untuk mendapat pengetahuan ? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manusia ?[5]
B.     Cara Kerja Ilmu Empiris[6]
Ilmu empiris dilihat dari segi objek  terbagi kepada dua:
1.      Ilmu pasti, memiliki obyek yang bersifat permanent, dalam ilmu pasti juga penelitiannya bersifat induktif, dimana data ataupun fakta yang diamati bersifat khusus (particular) kemudian disimpulkan bersifat umum ( general)
2.      Ilmu social/ humniora, dalam humaniora yang menjadi obyek kajiannya adalah manusia itu sendiri, penelitiannya bersifat relative sesesuai dengan kondisi ( dinamis )
Sifat pertama dari ilmu ialah bahwa ilmu menjelajah dunia empiric tanpa batas sejauh dapat ditangkap oleh panca indera ( dan Indera lain) namun karena kemampuan indera manusia itu terbatas, maka sebagai sifat yang keduanya ialah bahwa tingkat kebenaran yang dicapainya pun relative atau tidak sampai kepada tingkat kebenaran yang mutlak. Sebagai sifat yang ketiga dari ilmu ialah bahwa ilmu menemukan proposisi-proposisi ( hubungan sebab-akibat ) yang teruji secara empiric.[7]
John Locke, yang dipanggil sebagai bapak kaum empirisme Inggris, mengajukan sebuah teori bahwa pikiran manusia pada saat lahir dianggap sebagai selembar kertas lilin yang licin (tabula rasa) di mana data yang ditangkap pancaindera lalu tergambar disitu. Semakin  lama, semakin banyak kesan pancaindera yang tergambar.[8] Jadi secara khusus kaum empiris mendasarkan teori pengetahuannya kepada pengalaman yang ditangkap pancaindera. Karena pengalaman ia memperoleh pengetahuan, menurutnya pengetahuan  yang benar adalah yang bersumber dari pengalaman  indrawi tidak dari pengalaman lainya. [9]
Tokoh lain dari kalangan empiris adalah filosof Inggris David Hume  seorang penganut empiris yang sangat radikal, bukan saja karena ia menekankan pengalaman indrawi sebagai dasar dari semua pengetahuan, melainkan juga menolak adanya kualitas ( hukum sebab akibat) yang diterangkan akal. Menurtunya kualitas hanya dapat diterangkan melalui pengalaman.[10] Beberapa prinsip teori empiris yang didasarkan kepada teori di atas antara lain[11].
Pertama, perbedaan antara yang mengetahui dan yang diketahui. Yang mengetahui adalah subyek dan yang diketahui adalah obyek. Terdapat alam nyata yang terdiri dari fakta atau obyek yang ditangkap oleh seseorang.
Kedua, kebenaran atau pengujian kebenaran dari fakta atau obyek didasarkan kepada pengalaman manusia. Kaum empiris harus diyakinkan sekurang-kurangnya dalam tiga hal : pertama, fakta atau obyek adalah termasuk benda-benda yang dapat dialami manusia ; kedua, bahwa terdapat seseorang yang melihat itu secara langsung ; dan ketiga, jika kaum empiris itu sendiri ada di sana, dia sendiri harus menyaksikan fakta atau obyek tersebut.
Ketiga, prinsip keteraturan. Bagi kaum empiris fakta, misalnya alam, adalah teratur. Dengan rekonstruksi keteraturan fakta pada masa lalu, kaum empiris merasa cukup beralasan untuk membuat ramalan mengenai kemungkinan ‘tingkah laku’ benda tersebut di masa depan.
Keempat, prinsip keserupaan. Keserupaan berarti bahwa bila terdapat gejala-gejala yang berdasarkan pengalaman adalah  identik atau sama, maka kita mempunyai cukup jaminan untuk membuat kesimpulan yang bersifat umum tentang hal itu (generalisasi).
Masuk dalam kerangka cara kerja ilmu-ilmu empiris adalah ilmu alam dan ilmu kemanusiaan. Cara kerja ilmu-ilmu alam adalah berdasarkan tahapan-tahapan sebagai berikut :


a.       Pengamatan ( Observasi )
Dalam observasi itu fakta-fakta dari fenomena dikumpulkan, diamati, diklasifikasikan dan diklarifikasi, disusun secara teratur ( sistematis ) kemudian ditarik generalisasi-generalisasi sebagai kesimpulannya. Dari sinilah terwujud hukum-hukum, dalil-dalil, atau teori-teori dari suatu ilmu.[12]
Pengamatan yang biasa, ilmu empiris memperoleh bahan-bahan dari kenyataan empiris yang dapat diamati dengan berbagai macam cara. Observasi sehari-hari dan observasi ilmiah. Observasi sehari-hari bersifat emosional di kaitkan dengan emosi sipengamat. Pengamatannya bersifat subjektif yang dipengaruhi oleh persepsi social, dipengaruhi oleh suatu kepentingan yang bersifat pribadi dengan menguntungkan diri sendiri. Observasi ilmiah, emosi harus dikesampingkan , prasangka,  dan tidak memihak kepada apapun, bahkan unsur subjektif dihilangkan,[13] hal-hal yang dikenal dan berpengaruh subjek dan variasi. Variasi yang ada tidak diperhatikan, tidak ada kepentingan dirinya sendiri.
b.      Induksi[14]
Hal-hal yang diamati harus dirumuskan dalam pernyataan-pernyataan kemudian disimpulkan kembali dalam pernyataan-pernyataan umum, setelah terulang kembali maka pernyataan umum tersebut memperoleh kedudukan sebagai hukum.

c.       Deduksi[15]
Matematika serta logika memungkinkan pengolahan lebih lanjut bahan-bahan empiris begitu bahan ini tercakup dalam system pernyataan yang runtut.
Jalan pikiran deduksi ini terutama dipergunakan ilmu dalam percobaan, dan itu pun merupakan pembuktian teori atau hipotesa, maka jalan pikiran itu dirumuskan demikian, jika hukum (umum) ini benar, maka gejala yang ditimbulkan haruslah demikian dan demikian.[16]
d.       Percobaan-percobaan (eksperiment)
Berdasarkan atas system itu dapat dijabarkan pernyataan-pernyataan khusus tertentu, kemudian dapat dikaji lagi dalam kerangka observasi eksperimental atau tidak eksperimental kemudian di verifikasi.
e.       Evaluasi
Hasil-hasil kajian membawa kita pada tahap evaluasi suatu teori yang disusun dengan menggunakan induksi dan deduksi.[17]ilmu-ilmu yang termasuk kedalam kerja ilmu-ilmu empiris secara lebih khusus menurut Berling ada tiga yakni, ilmu alam, ilmu hayat, ilmu manusia.[18]
Tahapan-tahapan itu tampak dalam sejarah penemuan teori tata surya. Dulu diyakini bersama bahwa bumi adalah pusat alam, sehingga matahari mengitarinya. Tetapi setelah ada penelitian dan penemuan data baru yang dirintis oleh Nicolaus Copernicus(1473-1543), yang melakukan percobaan teoritis yang mengatakan suatu hepotesanya bahwa matahari merupakan suatu system tersendiri dengan planet-planetnya dan salah satu planet itu adalah bumi. Penjelasan Copernicus itu diperkuat oleh Tycho Brahe (1546-1601) dan Johannes Kepler (1571-1630) serta ditambah dengan penemuan teropong bintang oleh Galileo Galilei.[19]
Tahab berikutnya dalam perkembangan ilmu falak berkaitan dengan nama Isaac Newton ( 1642-1727 ) yang menjadi ahli dalam bidang ilmu alam. Anggapan-anggapanya tentang gravitasi ukuran kecil maupun ukuran besar system matahari mengakibatkan system Copernicus-Kepler-Galille disempurnakan lagi dan ditempatkan dalam keseluruhan yang lebih luas.[20] Ilmu alam mempelajari sesuatu secara objektif, sedangkan pada ilmu kemanusiaan yang hidup secara individual dan social hidup, secara subjektif dan emotif maka tidak bisa disamakan pada cara kerjanya. Karena pada ilmu alam objek yang diteliti berbeda dari subjek yang meneliti sedangkan pada ilmu manusia antara subjek dan objek sejajar.
Dengan adanya penemuan-penemuan di atas, maka hukum atas teori lama gugur sebab penemuan hukum baru yang lebih pasti[21] serta memenuhi syarat lebih pasti, lebih umum, dan lebih mempunyai daya terang yang lebih kuat.[22]
Data empiris dapat "mengalahkan" atau menolak sebuah hipotesis, dapat pula menjadi alasan untuk menyempurnakan hipotesis, namun tidak pernah dapat dipakai untuk membuktikan secara tuntas berlakunya sebuah hipotesis.
Tahap berikutnya dalam pembentukan ilmu adalah perumusan hukum. Dibandingkan dengan hipotesis, hukum memiliki 3 ciri khas, yaitu: (1) lebih pasti, (2) lebih bersifat umum, dan (3) memiliki daya-terang yang lebih kuat.  Hukum dapat menjadi titik tolak bagi penjelasan-penjelasan deduktif.
Setiap hukum bersifat empiris dan harus diperiksa kebenarannya atau digugurkan dari kedudukannya berdasarkan data empiris.  Hukum-hukum yang terdapat dalam peristiswa serumpun dapat pula digabungkan dalam suatu hukum yang bersifat umum, menuju kepada pembentukan sebuah teori.
Teori merupakan pandangan umum mengenai realitas, merupakan wujud dari usaha untuk mengkonsilidasikan perbendaharaan pengetahuan, agar diperoleh gambaran yang "efisien".  Selama sebuah teori memiliki daya-terang yang menjelaskan kedudukan atau keterbatasan hukum, maka teori itu berguna.
Sementara cara kerja ilmu-ilmu kemanusiaan sebelum abad ke-19 hendak disamakan dengan cara kerja ilmu-ilmu alam, padahal obyek kajiannya berbeda secara prinsipil. Dalam kaitan ini ciri khas ilmu-ilmu kema-nusiaan ada empat, yakni.[23];
a.    Obyek penyeledikannya adalah manusia dengan keseluruhan lahir-batinnya. Ia memiliki keinginan, harapan, sifat interaktif dan selanjutnya. Dalam suatu peninjauan yang dipentingkan adalah obyekny. Walaupun tidak mungkin mendapatkan obyektivitas yang absolute.[24]
b.    Cara pandang analog, artinya tidak memiliki hukum yang tetap, sebab ruang dan waktu, letak geografis serta tantangan yang berbeda menghasilkan pola perilaku dan dan kebudayaan yang berbeda. Hal demikian itu menjadikan kebenaran relatif dan sulit untuk mencapai kepastian, sehingga sulit juga mengadakan generalisasi.
c.    Tidak biasa mencita-citakan suaatu titik pangkal “pengamatan murni” tanpa prasangka. Hal ini karena mau tidak mau manusia (peneliti) terlibat dalam obyek yang dikajinya. Sehingga Ilmu social lebih bersifat subyektif.
d.    Tidak bebas nilai, tetapi justru menghasilkan nilai-nilai.
Cara kerja ilmu empiris ini disebut juga dengan induksi. Dalam ilmu empiris kita sangat mengandalkan data individual (particular). Dari data-data yang bersifat individual tersebut kita dapat mengambil kesimpulan (generalisasi ) itulah yang kita namakan dengan pengambilan kesimpulan secara APOSTERIORI yang berarti penarikan kesimpulan diakhir setelah kita mengumpulkan sebanyak mungkin data dilapangan.[25]
Jika cara kerja ilmu empiris ini diterapkan dalam penelitian sebuah ilmu penelitian sebuah ilmu maka akan dirijuk pada objek material ilmu itu. Akan menemukan bahwa karakter ilmu alam tidak akan sama dengan karakter ilmu social kemanusian. Jika pada ilmu alam ditemukan objeknya bersifat tetap, baku dan deterministic, maka pada ilmu social kemanusiaan objeknya manusia dengan segala keunikannya yang tidak deterministic.

C.    Cara Kerja Ilmu Non Empiris
Karena non empiris berarti selain ilmu-ilmu yang bersifat inderawi, maka dengan sendirinya itu bersumber dari rasio dan pengetahuan intuitif. Kaum rasionalisme mulai dengan suatu pernyataan yang sudah pasti.  Awal  mula ilmu- ilmu pasti berhubungan erat dengan kebutuahan praktis, dan pengamatan empiris, seperti berapa luas sebuah bangunan dan panjang sebuah jalan, berapa lebar danau, berapa ketinggian sebuah gunung.  Bidang- bidang yang pernah dicakup ilmu pasti yaitu ;[26]
a.       Bidang-bidang klasik : Ilmu Ukur dan Ilmu Hitung.
Ilmu ukur dan ilmu hitung kiranya menjadi kedua cabang paling kuno dari ilmu-ilmu pasti. Sejak semula masing-masing ilmu direncanakan menjadi suatu system ketat dan konsekuen dengan dasar-dasar paling sederhana yang paling masuk akal dan niscaya serta patokan –patokan yang ditentukan untuk maju berdasarkan anggapan-anggapan yang paling sederhana itu.
Sejak masa purba, aljabar dan ilmu hitung dikembangkan terus selama masa kegemilangan Arab. Dari situ antara lain ditemukan notasi Arab dengan ditinggalkannya system Romawi yang berbelit-belit itu, dan dipakai tanda ‘0” ( Nol) yang berasal dari India.
Lama kelamaan menyusullah bagian lain yang bersangkutan, malahan ada yang semakin menggabungkan ilmu ukur dan ilmu hitung. Umpamanya, trigonometri, ilmu ukur analitis antara lain mengenai irisan kerucut, perhitungan infinitesimal, diferensial, integral. Tokoh-tokohnya antara lain Rene Descarates ( 1596- 1650 ), Pascal, Newton, dan khususnya Gottfried wilhem Leibniez ( 1646-1716). Semua itu masih merupakan lanjutan serta perluasan ilmu ukur dan ilmu hitung klasik sambil menghasilkan keseluruhan ilmu pasti klasik yang tercapai sekitar abad ke 18.
b.      Musik dan Ilmu Falak
Sebagai warisan kuno (antara lain Pythagoras, abad ke -6 sM) sejak permulan Abad pertengahan Barat ( antara lain Kasiodorus, abad ke 6) ilmu ukur ( geometria)  dan ilmu hitung ( arithmetica)  bersama ilmu falak ( astronomica )  dan music ( artes).  Bahwa ilmu falak sering dianggap sebagai ilmu yang dekat dengan ilmu pasti.
c.       Logika Sebagai Ilmu Pasti
Menurut Langeveld, logika itu adalah kepandaian untuk memutuskan secara jitu. Logika mempelajari syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mengambil kesimpulan secara benar ; atau dengan kata lain, untuk menghasilkan pengetahuan yang benar. Dengan kata lain pula, logika diperlukan dalam penarikan kesimpulan yang bersifat ilmiah. Unsur utama logika adalah pemikiran dan keputusan.[27]
Salah satu jasa Aristoteles yang masih berlaku hingga dewasa ini ialah logika klasik, yaitu system  silogisme deduktif. Apalagi keberlakuan system silogisme itu dibuktikannya menurut cara pembuktian ilmu-ilmu pasti, yaitu berupa paham dasar, beberapa aksioma, serta beberapa patokan. Akibat perkembangan logika modern sejak abad ke 19 yang dirintis Leibniz, dewasa ini logika Aristoteles sering dipandang kurang relevan karena titik pangkalnya diperkirakan empiris dan aposteriori. Dan logika modern berhasil menunjukkan beberapa kelemahan dalam system silogisme deduktif Aristoteles sendiri.
d.      Septem Artes Liberales
Keempat kecakapan diatas digabungkan oleh Kasiodorus dalam quadrivium ( kembar emapt ) yang dianggab sebagai bagian dari septem artes liberals ( tujuh kecakapan orang merdeka ). Manusia merdeka dengan artes liberalesnya dibedakan dari manusia budak yang wajib bekerja dengan tangan sambil berkeringat, yaitu menjalankan  artes serviles ( kecakapan para budak) mengolah tanah, menenun, berburu dan sebagainya.

Aksioma dasar yang dipakai membangun system pemikirannya diturunkan dari idea yang menurut anggapannya adalah jelas, tegas, dan pasti dalam pikiran manusia.[28] Misalnya dari titik A ke titik B yang lebih dekat adalah garis lurus, bukan dengan garis menyudut. Ini adalah aksioma dasar yang jelas, tegas dan pasti di dalam pikiran manusia, bahkan tanpa pengalaman (empirie) sekalipun manusia mengetahui hal itu. Ilmu ini pada akhirnya banyak disebut sebagai ilmu pasti, yang di dalamnya termasuk juga logika.
Melakukan penyimpulan, seperti contoh di atas, bisa ditempuh melalui induksi, deduksi, analogi dan komparasi.[29]
Induksi adalah cara penarikan kesimpulan yang bergerak dari hal-hal yang khusus menuju kesimpulan yang umum. Induksi disebut pula sebagai system terbuka, artinya ia bersifat probability, terbukanya kemungkinan lain yang tidak sama dengan kesimpulan umum yang sudah dihasilkan. Misalnya, penarikan kesimpulan bahwa gadis muslim berjilbab berdasarkan fakta di beberapa negara muslim yang diteliti, terbuka kemungkinan terdapat juga gadis muslim lain di luar sample penelitian tidak berjilbab.
Sebaliknya, deduksi merupakan cara menarik kesimpulan yang bergerak dari hal-hal umum menuju hal yang khusus. Kesimpulan yang dihasilkan merupakan keharusan sebagai akibat dari pernyataan umum yang diajukan; jadi merupakan sesuatu yang tak terelakkan. Misalnya setiap muslim wajib mencari ilmu, sementara Fulan adalah seorang muslim. Maka keharusan mencari ilmu tidak terelakkan bagi Fulan.
Kemudian Analogi adalah mengambil kesimpulan dengan cara menggantikan apa yang diusahakan untuk dibuktikan dengan hal yang serupa, namun lebih dikenal. Di sini penyimpulan dilakukan dengan cara tidak langsung. Penyimpulan demikian biasa pula dikenal dengan qiyas. Misalnya putusan tentang wajib zakat fitrah dengan beras bagi kebanyakan  muslim Indonesia didasarkan pada adanya keserupaan antara beras dan gandum.
Komparasi adalah mengambil kesimpulan dengan cara menghadapkan apa yang akan dibuktikan dengan sesuatu yang mempunyai kesamaan dengannya. Penyimpulan ini sama dengan analogi, yakni secara tidak langsung. Hal yang hendak dibuktikan sebanding dengan hal yang sudah dikenal. Cara ini kerap dilakukan dalam hidup, misalnya ketika memilih sesuatu barang di antara beberapa pilihan dan lain sebagainya.
Membedakan secara tegas antara keempat metode tersebut, cukup rumit. Dalam prakteknya, induksi berdampingan dengan deduksi, analogi berdampingan dengan komparasi. Setiap metode ini hampir tidak dapat diterapkan secara murni, sebab ada unsur saling mengisi dan melengkapi di antara kesemuanya.[30]
Suatu penalaran secara analogi berusaha untuk mencapai suatu kesimpulan dengan menggantikan apa yang kita coba untuk membuktikan dengan sesuatu yang serupa dengan hal tersebut, namun yang jelas lebih dikenal, dan kemudian menyimpulkan kembali apa yang mengawali penalaran kita. Contohnya kita ingin membuktikan adanya Tuhan berdasarkan susunan dunia tempat kita hidup. Dalam hal ini kita dapat mengatakan sebagai berikut. Perhatikanlah sebuah jam. Seperti halnya dunia, jam tersebut juga merupakan mekanisme yang terdiri dari bagian-bagian yang sangat erat hubungannya yang satu dengan yang lain. Kiranya tidak seorang pun beranggapan bahwa sebuah jam dapat membuat dirinya sendiri atau terjadi secara kebetulan. Susunan jam yang sangat rumit menunjukkan bahwa ada yang membuatnya. Dengan demikian secara analogi adanya dunia juga menunjukan ada pembuatnya, karena dunia kita ini juga sangat rumit susunannya dan bagian- bagiannya berhubungan sangat erat yang satu dengan yang lain secara baik.[31]
D.    Penutup
Cara kerja ilmu di bagi kepada dua yaitu :
a.       Cara kerja ilmu empiris yaitu cara kerja ilmu yang berawal dari pengalaman inderawi baik melalui penglihatan, pendengaran maupun pengamatan prose situ dimulai dari observasi, teori, dan dilakukakan eksperimen. Ilmu yang tergolong kepada kelompok limu empiris adalah ilmu alam, ilmu hayat dan ilmu kemanusiaan
b.      Sedangkan cara kerja ilmu non empiris yaitu ilmu yang dirumuskan secara pasti, yang bersifat abstrak, yang termasuk kedalam kelompok ilmu non empiris yaitu aksioma, logika, baik logika induktif maupun deduktif serta pengambilan kesimpulan secara analogi dan komparasi. Wallahu a’lamu.


Daftar Pustaka
Anshari, Endang Saifuddin,  Ilmu Filsafat dan Agama,  Bandung, 1981
Fithri, Widia , Wacana Filsafat Ilmu, Padang : Azka, 2004
Kattsoff , Louis  O., Pengantar Filsafat , Yogyakarta : Tiara Wacana, ter Soejono Soemargono, 1996
Muliono R., Slamet, Wacana Ilmu (Pengantar Filsafat Ilmu),Jakarta, Forum Langit Biru, Cet. I, 2002
Mudlor Ahmad, Ilmu dan Keinginan Tahu, Bandung, Trigenda Karya, Cet. I, 1994
Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan Pengantar ke Ilmu dan Filsafat,  Jakarta : Rineka Cipta, 2004
R , Slamet Muliono, Wacana Ilmu  (Pengantar Filsafat Ilmu)   Jakarta : Forum Langit Biru,2002
Rahmat , Aceng, Filsafat Ilmu Lanjutan, Jakarta : Kencana , 2011
Surajiyo, Ilmu Filsafat suatu pengantar, Jakarta : Bumi Aksara, 2007
Suriasumantri , Jujun S., Filsafat Ilmu, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, Cet. XVI, 2003
--------------------, Ilmu dalam Perspektif, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, Cet. XI, 1994
Susanto  ,A.,  Filsafat Ilmu, Suatu Kajian dalam dimensi Ontologis, Epistimolgis dan Aksiologis, Jakarta : Bumi Aksara, 2011
Soetrino, SRDm Rita Hanafie, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian,  Yogyakarta :Andi Offset, 2007
Tim Redaksi Drikarya,  Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-Ilmu,  Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993
Verhaak , C. dan Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta : PT. Gramedia, 1991




[1] Ahmad Mudhor, Ilmu dan Keinginan  Tahu (Bandung : Trigenda Karya, Cet. I, 1994), h. 85-86
[2] Ibid, h.72
[3] Ibid, h.71
[4] Ibid, h.25
[5] Jujun s.Suriasumantri, Filsafat Ilmu,( Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, Cet. XVI, 2003), h. 119

[6] Empiris yakni segala sesuatu yang berdasarkan pengalaman. Segala sesuatu yang dapat dilihat, diamati, dirasakan, diraba, dan lain-lain. Ilmu-ilmu empiris yakni ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pengumpulan data secara empiris (yang berdasar pengalaman) bukan sesuatu yang abstrak. Ringkasnya ilmu empiris merujuk pada fenomena dilapangan. Lihat, Widia Fithri, Wacana Filsafat Ilmu,( Padang : Azka, 2004), h.53
[7] Soetrino,SRDm Rita Hanafie, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, (Yogyakarta :Andi Offset, 2007), h.141
[8] Jujun s. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, cet XI 1994), h. 103
[9] A. Susanto,  Filsafat Ilmu, Suatu Kajian dalam dimensi Ontologis, Epistimolgis dan Aksiologis, ( Jakarta : Bumi Aksara, 2011) , h. 141
[10] Aceng Rahmat , Filsafat Ilmu Lanjutan, (Jakarta : Kencana , 2011) h. 171
[11]Jujun s. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspekti…f, h. 102-103
[12] Soetrino,SRDm Rita Hanafie, Filsafat Ilmu…. h. 152
[13] Endang Saifuddin Anshari,  Ilmu Filsafat dan Agama, ( Bandung, 1981) , h.59
[14] Jalan pikiran sampai keputusan umum dari putusan yang sifatnya khusus itu disebut induksi, putusan yang diambil orang sebagai konklusi bersifat umum sedangkan putusan yang diadakan setelah tiap-tiap kali mempunyai pengalaman itu adalah khusus.lihat, Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan Pengantar ke Ilmu dan Filsafat, (Jakarta : Rineka Cipta, 2004 ), h. 35
[15]Jalan pikiran kepada yang khusus dari yang umum, Bukti itu disebut bukti apriori. Ibid, h. 35
[16]Ibid, h. 36
[17] Surajiyo, Ilmu Filsafat suatu pengantar, ( Jakarta : Bumi Aksara, 2007) ,h. 80-81
[18] Ibid, h, 71
[19] Slamet Muliono R, Wacana Ilmu  (Pengantar Filsafat Ilmu) ( Jakarta : Forum Langit Biru,2002), h. 46-47
[20] C.Verhaak dan Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta : PT. Gramedia, 1991), h. 32
[21] Slamet Muliono R, Wacana Ilmu  (Pengantar Filsafat Ilmu) h. 47
[22] Ibid, h. 48
[23] Ibid, h. 49-50
[24] Endang Saifuddin Anshari,  Ilmu Filsafat dan Agama…, h.57
[25] Widia Fithri, Wacana Filsafat Ilmu…, h. 53-54
[26] C. Verhaak dan Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan, ( Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1991), h. 82
[27] Soetrino,SRDm Rita Hanafie, Filsafat Ilmu…. h.125
[28] Jujun s. Suriasumantri, Ilmu Dalam …, h.99
[29] Ahmad Mudhor, Ilmu dan Keinginan…., h.40-42
[30] Ibid, h. 42
[31] Louis  O. Kattsoff, Pengantar Filsafat ( Yogyakarta : Tiara Wacana, ter Soejono Soemargono, 1996 ) h. 32

Tidak ada komentar:

Posting Komentar