Tidak semua pengetahuan
dapat serta merta disebut sebagai ilmu. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi
pengetahuan agar sampai sebagai ilmu, yaitu ada obyek, ada metode dan ada
system.[1] Di dalam
penelitian ilmiah, misalnya pembuatan skripsi, disebutkan sasaran pembahasan
dan penelitian (obyek), cara pembahasan dan meneliti (metode) serta runtutan
pembahasan pembahasan yang yang saling berkaitan antar bab dan pasal (system).
Secara khusus tulisan ini
menempatkan pembahasan tentang “cara” atau “metode” tersebut, yang dalam judul
ditulis dengan “cara kerja ilmu”. Adapun pembagiannya menjadi empirik dan non
empirik, sejatinya dimaksudkan agar mempermudah sistematika penulisan serta
pemahaman, meskipun pembagian itu masih membuka ruang yang dapat diperdebatkan.
Pengertian empirik secara
sederhana adalah pengalaman (inderawi). Orang-orang yang memiliki pemahaman
empirik, yaitu empirisme, berpendapat bahwa pengalaman adalah sumber tahu.
Segala pengetahuan bertumpu pada pengalaman. Tidak ada pengetahuan pengetahuan
tanpa pengalaman lebih dahulu.[2] Dengan
demikian non empirik berarti sumber pengetahuan selain pengalaman. Khazanah
filsafat Barat menempatkan rasio (pemikiran, idea) di lahan non empirik ini, di
mana kedua-duanya (empirie dan rasio) merupakan garis besar sumber pengetahuan.[3]
Sementara obyek transenden
(obyek luar rasa, rasio), misalnya tentang Tuhan, alam barzah dan
semacamnya, tidak dapat dimasukkan ke dalam dua kategori di atas. Sebab meskipun
itu diyakini ada, tetapi keduanya berada di luar jangkauan pikiran.[4] (rasio)
dan juga tidak dapat ditangkap oleh indera lahir (empirie).
Pembagian cara kerja ilmu,
baik empirik maupun non empirik, dengan sendirinya, masuk ke dalam kawasan
epistemologis yang asumsi dasarnya mencoba mempertanyakan, bagaimana kita
mendapat pengetahuan : Apakah sumber-sumber pengetahuan itu ? Apakah hakikat,
jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan ? Apakah manusia masih dimungkinkan untuk
mendapat pengetahuan ? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk
ditangkap manusia ?[5]
B. Cara Kerja Ilmu Empiris[6]
Ilmu empiris dilihat dari segi objek terbagi kepada dua:
1. Ilmu pasti,
memiliki obyek yang bersifat permanent, dalam ilmu pasti juga penelitiannya
bersifat induktif, dimana data ataupun fakta yang diamati bersifat khusus
(particular) kemudian disimpulkan bersifat umum ( general)
2. Ilmu social/
humniora, dalam humaniora yang menjadi obyek kajiannya adalah manusia itu
sendiri, penelitiannya bersifat relative sesesuai dengan kondisi ( dinamis )
Sifat pertama dari ilmu ialah bahwa ilmu menjelajah dunia empiric tanpa
batas sejauh dapat ditangkap oleh panca indera ( dan Indera lain) namun karena
kemampuan indera manusia itu terbatas, maka sebagai sifat yang keduanya ialah
bahwa tingkat kebenaran yang dicapainya pun relative atau tidak sampai kepada
tingkat kebenaran yang mutlak. Sebagai sifat yang ketiga dari ilmu ialah bahwa
ilmu menemukan proposisi-proposisi ( hubungan sebab-akibat ) yang teruji secara
empiric.[7]
John Locke, yang dipanggil
sebagai bapak kaum empirisme Inggris, mengajukan sebuah teori bahwa pikiran
manusia pada saat lahir dianggap sebagai selembar kertas lilin yang licin (tabula
rasa) di mana data yang ditangkap pancaindera lalu tergambar disitu. Semakin lama, semakin banyak kesan pancaindera yang tergambar.[8] Jadi
secara khusus kaum empiris mendasarkan teori pengetahuannya kepada pengalaman
yang ditangkap pancaindera. Karena pengalaman ia memperoleh pengetahuan,
menurutnya pengetahuan yang benar adalah
yang bersumber dari pengalaman indrawi
tidak dari pengalaman lainya. [9]
Tokoh lain dari kalangan
empiris adalah filosof Inggris David Hume
seorang penganut empiris yang sangat radikal, bukan saja karena ia
menekankan pengalaman indrawi sebagai dasar dari semua pengetahuan, melainkan
juga menolak adanya kualitas ( hukum sebab akibat) yang diterangkan akal.
Menurtunya kualitas hanya dapat diterangkan melalui pengalaman.[10] Beberapa
prinsip teori empiris yang didasarkan kepada teori di atas antara lain[11].
Pertama, perbedaan antara yang mengetahui dan yang diketahui. Yang mengetahui
adalah subyek dan yang diketahui adalah obyek. Terdapat alam nyata yang terdiri
dari fakta atau obyek yang ditangkap oleh seseorang.
Kedua, kebenaran atau pengujian kebenaran dari fakta atau obyek didasarkan
kepada pengalaman manusia. Kaum empiris harus diyakinkan sekurang-kurangnya
dalam tiga hal : pertama, fakta atau obyek adalah termasuk benda-benda yang
dapat dialami manusia ; kedua, bahwa terdapat seseorang yang melihat itu secara
langsung ; dan ketiga, jika kaum empiris itu sendiri ada di sana, dia sendiri
harus menyaksikan fakta atau obyek tersebut.
Ketiga, prinsip keteraturan. Bagi kaum empiris fakta, misalnya alam, adalah
teratur. Dengan rekonstruksi keteraturan fakta pada masa lalu, kaum empiris
merasa cukup beralasan untuk membuat ramalan mengenai kemungkinan ‘tingkah
laku’ benda tersebut di masa depan.
Keempat, prinsip keserupaan. Keserupaan berarti bahwa bila terdapat gejala-gejala
yang berdasarkan pengalaman adalah identik
atau sama, maka kita mempunyai cukup jaminan untuk membuat kesimpulan yang
bersifat umum tentang hal itu (generalisasi).
Masuk dalam kerangka cara
kerja ilmu-ilmu empiris adalah ilmu alam dan ilmu kemanusiaan. Cara kerja ilmu-ilmu
alam adalah berdasarkan tahapan-tahapan sebagai berikut :
a. Pengamatan ( Observasi )
Dalam observasi itu fakta-fakta dari fenomena dikumpulkan, diamati,
diklasifikasikan dan diklarifikasi, disusun secara teratur ( sistematis )
kemudian ditarik generalisasi-generalisasi sebagai kesimpulannya. Dari sinilah
terwujud hukum-hukum, dalil-dalil, atau teori-teori dari suatu ilmu.[12]
Pengamatan yang biasa, ilmu empiris memperoleh bahan-bahan dari kenyataan
empiris yang dapat diamati dengan berbagai macam cara. Observasi sehari-hari
dan observasi ilmiah. Observasi sehari-hari bersifat emosional di kaitkan
dengan emosi sipengamat. Pengamatannya bersifat subjektif yang dipengaruhi oleh
persepsi social, dipengaruhi oleh suatu kepentingan yang bersifat pribadi dengan
menguntungkan diri sendiri. Observasi ilmiah, emosi harus dikesampingkan ,
prasangka, dan tidak memihak kepada
apapun, bahkan unsur subjektif dihilangkan,[13] hal-hal
yang dikenal dan berpengaruh subjek dan variasi. Variasi yang ada tidak
diperhatikan, tidak ada kepentingan dirinya sendiri.
b. Induksi[14]
Hal-hal yang diamati harus dirumuskan dalam pernyataan-pernyataan kemudian
disimpulkan kembali dalam pernyataan-pernyataan umum, setelah terulang kembali
maka pernyataan umum tersebut memperoleh kedudukan sebagai hukum.
c. Deduksi[15]
Matematika serta logika memungkinkan pengolahan lebih lanjut bahan-bahan
empiris begitu bahan ini tercakup dalam system pernyataan yang runtut.
Jalan pikiran deduksi ini terutama dipergunakan ilmu dalam percobaan, dan
itu pun merupakan pembuktian teori atau hipotesa, maka jalan pikiran itu
dirumuskan demikian, jika hukum (umum) ini benar, maka gejala yang ditimbulkan
haruslah demikian dan demikian.[16]
d. Percobaan-percobaan (eksperiment)
Berdasarkan atas system itu dapat dijabarkan pernyataan-pernyataan khusus
tertentu, kemudian dapat dikaji lagi dalam kerangka observasi eksperimental
atau tidak eksperimental kemudian di verifikasi.
e.
Evaluasi
Hasil-hasil kajian membawa kita pada tahap
evaluasi suatu teori yang disusun dengan menggunakan induksi dan deduksi.[17]ilmu-ilmu
yang termasuk kedalam kerja ilmu-ilmu empiris secara lebih khusus menurut
Berling ada tiga yakni, ilmu alam, ilmu hayat, ilmu manusia.[18]
Tahapan-tahapan itu tampak
dalam sejarah penemuan teori tata surya. Dulu diyakini bersama bahwa bumi
adalah pusat alam, sehingga matahari mengitarinya. Tetapi setelah ada
penelitian dan penemuan data baru yang dirintis oleh Nicolaus
Copernicus(1473-1543), yang melakukan percobaan teoritis yang mengatakan suatu
hepotesanya bahwa matahari merupakan suatu system tersendiri dengan
planet-planetnya dan salah satu planet itu adalah bumi. Penjelasan Copernicus
itu diperkuat oleh Tycho Brahe (1546-1601) dan Johannes Kepler (1571-1630)
serta ditambah dengan penemuan teropong bintang oleh Galileo Galilei.[19]
Tahab berikutnya dalam
perkembangan ilmu falak berkaitan dengan nama Isaac Newton ( 1642-1727 ) yang
menjadi ahli dalam bidang ilmu alam. Anggapan-anggapanya tentang gravitasi
ukuran kecil maupun ukuran besar system matahari mengakibatkan system
Copernicus-Kepler-Galille disempurnakan lagi dan ditempatkan dalam keseluruhan
yang lebih luas.[20]
Ilmu alam mempelajari sesuatu secara objektif, sedangkan pada ilmu kemanusiaan
yang hidup secara individual dan social hidup, secara subjektif dan emotif maka
tidak bisa disamakan pada cara kerjanya. Karena pada ilmu alam objek yang
diteliti berbeda dari subjek yang meneliti sedangkan pada ilmu manusia antara
subjek dan objek sejajar.
Dengan adanya
penemuan-penemuan di atas, maka hukum atas teori lama gugur sebab penemuan
hukum baru yang lebih pasti[21] serta
memenuhi syarat lebih pasti, lebih umum, dan lebih mempunyai daya terang
yang lebih kuat.[22]
Data empiris dapat "mengalahkan"
atau menolak sebuah hipotesis, dapat pula menjadi alasan untuk menyempurnakan
hipotesis, namun tidak pernah dapat dipakai untuk membuktikan secara tuntas berlakunya sebuah
hipotesis.
Tahap berikutnya dalam pembentukan ilmu adalah
perumusan hukum. Dibandingkan dengan hipotesis, hukum memiliki 3 ciri khas,
yaitu: (1) lebih pasti, (2) lebih bersifat umum, dan (3) memiliki daya-terang
yang lebih kuat. Hukum dapat menjadi
titik tolak bagi penjelasan-penjelasan deduktif.
Setiap hukum bersifat empiris dan harus
diperiksa kebenarannya atau digugurkan dari kedudukannya berdasarkan data
empiris. Hukum-hukum yang terdapat dalam
peristiswa serumpun dapat pula digabungkan dalam suatu hukum yang bersifat
umum, menuju kepada pembentukan sebuah teori.
Teori merupakan pandangan umum mengenai
realitas, merupakan wujud dari usaha untuk mengkonsilidasikan perbendaharaan
pengetahuan, agar diperoleh gambaran yang "efisien". Selama sebuah teori memiliki daya-terang yang
menjelaskan kedudukan atau keterbatasan hukum, maka teori itu berguna.
Sementara cara kerja
ilmu-ilmu kemanusiaan sebelum abad ke-19 hendak disamakan dengan cara kerja
ilmu-ilmu alam, padahal obyek kajiannya berbeda secara prinsipil. Dalam kaitan
ini ciri khas ilmu-ilmu kema-nusiaan ada empat, yakni.[23];
a. Obyek penyeledikannya
adalah manusia dengan keseluruhan lahir-batinnya. Ia memiliki keinginan,
harapan, sifat interaktif dan selanjutnya. Dalam suatu peninjauan yang
dipentingkan adalah obyekny. Walaupun tidak mungkin mendapatkan obyektivitas
yang absolute.[24]
b. Cara pandang analog,
artinya tidak memiliki hukum yang tetap, sebab ruang dan waktu, letak geografis
serta tantangan yang berbeda menghasilkan pola perilaku dan dan kebudayaan yang
berbeda. Hal demikian itu menjadikan kebenaran relatif dan sulit untuk mencapai
kepastian, sehingga sulit juga mengadakan generalisasi.
c. Tidak biasa
mencita-citakan suaatu titik pangkal “pengamatan murni” tanpa prasangka. Hal
ini karena mau tidak mau manusia (peneliti) terlibat dalam obyek yang
dikajinya. Sehingga Ilmu social lebih bersifat subyektif.
d. Tidak bebas nilai, tetapi
justru menghasilkan nilai-nilai.
Cara kerja ilmu empiris
ini disebut juga dengan induksi. Dalam ilmu empiris kita sangat mengandalkan data
individual (particular). Dari data-data yang bersifat individual tersebut kita
dapat mengambil kesimpulan (generalisasi ) itulah yang kita namakan dengan
pengambilan kesimpulan secara APOSTERIORI yang berarti penarikan kesimpulan
diakhir setelah kita mengumpulkan sebanyak mungkin data dilapangan.[25]
Jika cara kerja ilmu
empiris ini diterapkan dalam penelitian sebuah ilmu penelitian sebuah ilmu maka
akan dirijuk pada objek material ilmu itu. Akan menemukan bahwa karakter ilmu
alam tidak akan sama dengan karakter ilmu social kemanusian. Jika pada ilmu
alam ditemukan objeknya bersifat tetap, baku dan deterministic, maka pada ilmu
social kemanusiaan objeknya manusia dengan segala keunikannya yang tidak
deterministic.
C. Cara Kerja Ilmu Non
Empiris
Karena non empiris berarti
selain ilmu-ilmu yang bersifat inderawi, maka dengan sendirinya itu bersumber
dari rasio dan pengetahuan intuitif. Kaum rasionalisme mulai dengan suatu
pernyataan yang sudah pasti. Awal mula ilmu- ilmu pasti berhubungan erat dengan
kebutuahan praktis, dan pengamatan empiris, seperti berapa luas sebuah bangunan
dan panjang sebuah jalan, berapa lebar danau, berapa ketinggian sebuah
gunung. Bidang- bidang yang pernah
dicakup ilmu pasti yaitu ;[26]
a. Bidang-bidang klasik :
Ilmu Ukur dan Ilmu Hitung.
Ilmu ukur dan ilmu hitung kiranya menjadi kedua cabang paling kuno dari
ilmu-ilmu pasti. Sejak semula masing-masing ilmu direncanakan menjadi suatu
system ketat dan konsekuen dengan dasar-dasar paling sederhana yang paling
masuk akal dan niscaya serta patokan –patokan yang ditentukan untuk maju
berdasarkan anggapan-anggapan yang paling sederhana itu.
Sejak masa purba, aljabar dan ilmu hitung dikembangkan terus selama masa
kegemilangan Arab. Dari situ antara lain ditemukan notasi Arab dengan
ditinggalkannya system Romawi yang berbelit-belit itu, dan dipakai tanda ‘0” (
Nol) yang berasal dari India.
Lama kelamaan menyusullah bagian lain yang bersangkutan, malahan ada yang
semakin menggabungkan ilmu ukur dan ilmu hitung. Umpamanya, trigonometri, ilmu
ukur analitis antara lain mengenai irisan kerucut, perhitungan infinitesimal,
diferensial, integral. Tokoh-tokohnya antara lain Rene Descarates ( 1596- 1650
), Pascal, Newton, dan khususnya Gottfried wilhem Leibniez ( 1646-1716). Semua
itu masih merupakan lanjutan serta perluasan ilmu ukur dan ilmu hitung klasik
sambil menghasilkan keseluruhan ilmu pasti klasik yang tercapai sekitar abad ke
18.
b. Musik dan Ilmu Falak
Sebagai warisan kuno (antara lain Pythagoras, abad ke -6 sM) sejak permulan
Abad pertengahan Barat ( antara lain Kasiodorus, abad ke 6) ilmu ukur ( geometria)
dan ilmu hitung ( arithmetica) bersama ilmu falak ( astronomica ) dan music ( artes). Bahwa ilmu falak sering dianggap sebagai ilmu
yang dekat dengan ilmu pasti.
c. Logika Sebagai Ilmu Pasti
Menurut Langeveld, logika
itu adalah kepandaian untuk memutuskan secara jitu. Logika mempelajari
syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mengambil kesimpulan secara benar ;
atau dengan kata lain, untuk menghasilkan pengetahuan yang benar. Dengan kata
lain pula, logika diperlukan dalam penarikan kesimpulan yang bersifat ilmiah.
Unsur utama logika adalah pemikiran dan keputusan.[27]
Salah satu jasa Aristoteles yang masih berlaku hingga dewasa ini ialah
logika klasik, yaitu system silogisme
deduktif. Apalagi keberlakuan system silogisme itu dibuktikannya menurut cara
pembuktian ilmu-ilmu pasti, yaitu berupa paham dasar, beberapa aksioma, serta
beberapa patokan. Akibat perkembangan logika modern sejak abad ke 19 yang
dirintis Leibniz, dewasa ini logika Aristoteles sering dipandang kurang relevan
karena titik pangkalnya diperkirakan empiris dan aposteriori. Dan logika modern
berhasil menunjukkan beberapa kelemahan dalam system silogisme deduktif
Aristoteles sendiri.
d. Septem Artes Liberales
Keempat kecakapan diatas digabungkan oleh Kasiodorus dalam quadrivium (
kembar emapt ) yang dianggab sebagai bagian dari septem artes liberals (
tujuh kecakapan orang merdeka ). Manusia merdeka dengan artes liberalesnya
dibedakan dari manusia budak yang wajib bekerja dengan tangan sambil
berkeringat, yaitu menjalankan artes
serviles ( kecakapan para budak) mengolah tanah, menenun, berburu dan sebagainya.
Aksioma dasar yang dipakai membangun system pemikirannya diturunkan dari
idea yang menurut anggapannya adalah jelas, tegas, dan pasti dalam pikiran
manusia.[28]
Misalnya dari titik A ke titik B yang lebih dekat adalah garis lurus, bukan
dengan garis menyudut. Ini adalah aksioma dasar yang jelas, tegas dan pasti di
dalam pikiran manusia, bahkan tanpa pengalaman (empirie) sekalipun manusia
mengetahui hal itu. Ilmu ini pada akhirnya banyak disebut sebagai ilmu pasti,
yang di dalamnya termasuk juga logika.
Melakukan penyimpulan,
seperti contoh di atas, bisa ditempuh melalui induksi, deduksi, analogi dan
komparasi.[29]
Induksi adalah cara
penarikan kesimpulan yang bergerak dari hal-hal yang khusus menuju kesimpulan
yang umum. Induksi disebut pula sebagai system terbuka, artinya ia bersifat
probability, terbukanya kemungkinan lain yang tidak sama dengan kesimpulan umum
yang sudah dihasilkan. Misalnya, penarikan kesimpulan bahwa gadis muslim
berjilbab berdasarkan fakta di beberapa negara muslim yang diteliti, terbuka
kemungkinan terdapat juga gadis muslim lain di luar sample penelitian tidak
berjilbab.
Sebaliknya, deduksi
merupakan cara menarik kesimpulan yang bergerak dari hal-hal umum menuju hal
yang khusus. Kesimpulan yang dihasilkan merupakan keharusan sebagai akibat dari
pernyataan umum yang diajukan; jadi merupakan sesuatu yang tak terelakkan.
Misalnya setiap muslim wajib mencari ilmu, sementara Fulan adalah seorang
muslim. Maka keharusan mencari ilmu tidak terelakkan bagi Fulan.
Kemudian Analogi adalah
mengambil kesimpulan dengan cara menggantikan apa yang diusahakan untuk
dibuktikan dengan hal yang serupa, namun lebih dikenal. Di sini penyimpulan
dilakukan dengan cara tidak langsung. Penyimpulan demikian biasa pula dikenal
dengan qiyas. Misalnya putusan tentang wajib zakat fitrah dengan beras
bagi kebanyakan muslim Indonesia
didasarkan pada adanya keserupaan antara beras dan gandum.
Komparasi adalah mengambil
kesimpulan dengan cara menghadapkan apa yang akan dibuktikan dengan sesuatu
yang mempunyai kesamaan dengannya. Penyimpulan ini sama dengan analogi, yakni
secara tidak langsung. Hal yang hendak dibuktikan sebanding dengan hal yang
sudah dikenal. Cara ini kerap dilakukan dalam hidup, misalnya ketika memilih
sesuatu barang di antara beberapa pilihan dan lain sebagainya.
Membedakan secara tegas
antara keempat metode tersebut, cukup rumit. Dalam prakteknya, induksi
berdampingan dengan deduksi, analogi berdampingan dengan komparasi. Setiap
metode ini hampir tidak dapat diterapkan secara murni, sebab ada unsur saling
mengisi dan melengkapi di antara kesemuanya.[30]
Suatu penalaran secara
analogi berusaha untuk mencapai suatu kesimpulan dengan menggantikan apa yang
kita coba untuk membuktikan dengan sesuatu yang serupa dengan hal tersebut,
namun yang jelas lebih dikenal, dan kemudian menyimpulkan kembali apa yang
mengawali penalaran kita. Contohnya kita ingin membuktikan adanya Tuhan
berdasarkan susunan dunia tempat kita hidup. Dalam hal ini kita dapat
mengatakan sebagai berikut. Perhatikanlah sebuah jam. Seperti halnya dunia, jam
tersebut juga merupakan mekanisme yang terdiri dari bagian-bagian yang sangat
erat hubungannya yang satu dengan yang lain. Kiranya tidak seorang pun
beranggapan bahwa sebuah jam dapat membuat dirinya sendiri atau terjadi secara
kebetulan. Susunan jam yang sangat rumit menunjukkan bahwa ada yang membuatnya.
Dengan demikian secara analogi adanya dunia juga menunjukan ada pembuatnya,
karena dunia kita ini juga sangat rumit susunannya dan bagian- bagiannya
berhubungan sangat erat yang satu dengan yang lain secara baik.[31]
D. Penutup
Cara kerja ilmu
di bagi kepada dua yaitu :
a.
Cara kerja ilmu empiris yaitu cara kerja ilmu
yang berawal dari pengalaman inderawi baik melalui penglihatan, pendengaran
maupun pengamatan prose situ dimulai dari observasi, teori, dan dilakukakan
eksperimen. Ilmu yang tergolong kepada kelompok limu empiris adalah ilmu alam,
ilmu hayat dan ilmu kemanusiaan
b.
Sedangkan cara kerja ilmu non empiris yaitu ilmu yang dirumuskan secara
pasti, yang bersifat abstrak, yang termasuk kedalam kelompok ilmu non empiris
yaitu aksioma, logika, baik logika induktif maupun deduktif serta pengambilan
kesimpulan secara analogi dan komparasi. Wallahu a’lamu.
Daftar Pustaka
Anshari, Endang Saifuddin, Ilmu Filsafat dan Agama, Bandung, 1981
Fithri, Widia , Wacana Filsafat Ilmu, Padang : Azka, 2004
Kattsoff , Louis
O., Pengantar Filsafat , Yogyakarta : Tiara Wacana, ter Soejono
Soemargono, 1996
Muliono R., Slamet, Wacana Ilmu (Pengantar Filsafat Ilmu),Jakarta,
Forum Langit Biru, Cet. I, 2002
Mudlor Ahmad, Ilmu dan
Keinginan Tahu, Bandung, Trigenda Karya, Cet. I, 1994
Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan
Pengantar ke Ilmu dan Filsafat, Jakarta : Rineka Cipta, 2004
R , Slamet Muliono, Wacana Ilmu (Pengantar Filsafat Ilmu) Jakarta
: Forum Langit Biru,2002
Rahmat , Aceng, Filsafat Ilmu Lanjutan, Jakarta
: Kencana , 2011
Surajiyo, Ilmu Filsafat suatu
pengantar, Jakarta : Bumi Aksara, 2007
Suriasumantri , Jujun S., Filsafat Ilmu, Jakarta, Pustaka Sinar
Harapan, Cet. XVI, 2003
--------------------, Ilmu dalam Perspektif, Jakarta, Yayasan Obor
Indonesia, Cet. XI, 1994
Susanto ,A., Filsafat
Ilmu, Suatu Kajian dalam dimensi Ontologis, Epistimolgis dan Aksiologis, Jakarta
: Bumi Aksara, 2011
Soetrino, SRDm Rita Hanafie, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, Yogyakarta :Andi Offset, 2007
Tim Redaksi Drikarya, Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-Ilmu,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993
Verhaak , C. dan Haryono Imam, Filsafat Ilmu
Pengetahuan, Jakarta : PT. Gramedia, 1991
[2] Ibid, h.72
[3] Ibid, h.71
[4] Ibid, h.25
[6] Empiris yakni segala sesuatu yang berdasarkan
pengalaman. Segala sesuatu yang dapat dilihat, diamati, dirasakan, diraba, dan
lain-lain. Ilmu-ilmu empiris yakni ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pengumpulan
data secara empiris (yang berdasar pengalaman) bukan sesuatu yang abstrak.
Ringkasnya ilmu empiris merujuk pada fenomena dilapangan. Lihat, Widia Fithri, Wacana
Filsafat Ilmu,( Padang : Azka, 2004), h.53
[7] Soetrino,SRDm Rita Hanafie, Filsafat Ilmu
dan Metodologi Penelitian, (Yogyakarta :Andi Offset, 2007), h.141
[8] Jujun s. Suriasumantri, Ilmu Dalam
Perspektif (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, cet XI 1994), h. 103
[9] A. Susanto, Filsafat Ilmu, Suatu Kajian dalam dimensi
Ontologis, Epistimolgis dan Aksiologis, ( Jakarta : Bumi Aksara, 2011) , h.
141
[10] Aceng Rahmat , Filsafat Ilmu Lanjutan, (Jakarta
: Kencana , 2011) h. 171
[11]Jujun s. Suriasumantri, Ilmu Dalam
Perspekti…f, h. 102-103
[12] Soetrino,SRDm Rita Hanafie, Filsafat
Ilmu…. h. 152
[13] Endang Saifuddin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama, ( Bandung, 1981)
, h.59
[14] Jalan pikiran sampai keputusan umum dari
putusan yang sifatnya khusus itu disebut induksi, putusan yang diambil orang
sebagai konklusi bersifat umum sedangkan putusan yang diadakan setelah
tiap-tiap kali mempunyai pengalaman itu adalah khusus.lihat, Poedjawijatna,
Tahu dan Pengetahuan Pengantar ke Ilmu dan Filsafat, (Jakarta : Rineka
Cipta, 2004 ), h. 35
[15]Jalan pikiran kepada yang khusus dari yang
umum, Bukti itu disebut bukti apriori. Ibid, h. 35
[17] Surajiyo, Ilmu
Filsafat suatu pengantar, ( Jakarta : Bumi Aksara, 2007) ,h. 80-81
[18]
Ibid, h, 71
[19] Slamet Muliono R, Wacana Ilmu (Pengantar Filsafat Ilmu) ( Jakarta :
Forum Langit Biru,2002), h. 46-47
[20] C.Verhaak dan Haryono Imam, Filsafat Ilmu
Pengetahuan, (Jakarta : PT. Gramedia, 1991), h. 32
[21] Slamet Muliono R, Wacana Ilmu (Pengantar Filsafat Ilmu) … h. 47
[22] Ibid, h. 48
[23] Ibid, h. 49-50
[24] Endang Saifuddin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama…, h.57
[25] Widia Fithri, Wacana Filsafat Ilmu…,
h. 53-54
[26] C. Verhaak dan Haryono Imam, Filsafat Ilmu
Pengetahuan, ( Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1991), h. 82
[27] Soetrino,SRDm Rita Hanafie, Filsafat
Ilmu…. h.125
[28] Jujun s. Suriasumantri, Ilmu Dalam …,
h.99
[30] Ibid, h. 42
[31] Louis
O. Kattsoff, Pengantar Filsafat ( Yogyakarta : Tiara Wacana, ter
Soejono Soemargono, 1996 ) h. 32
Tidak ada komentar:
Posting Komentar