Senin, 15 Februari 2016

الامور بمقاصدها DAN HAL YANG BERKAITAN

قاعدة الامور بمقاصدها
Segala sesuatu itu tergantung pada niat”
Niat yang terkandung dalam hati sanubari seseorang sewaktu melakauan perbuatan menjadi kriteria yang menentukan nilai dan status hukum yang dilakukannya. Apakah nilai dari perbuatan itu amal syari’at, atau perbuatan kebiasaan dan apakah status hukumnya? Jika sebagai amal syari’at, maka wajib atau sunnah atau lain sebagainya ditentukan oleh niat pelakunya. Itulah sebab kaidah ini diterapkan hampir diseluruh masalah fiqhiyah.
Pada hal ini, ualama berbeda pendapat tentang niat ini apakah termasuk rukun atau syarat ;
a)      Segolongan ulama berpendapat, bahwa niat itu termasuk rukun, sebab niat shalat misalnya, adalah termasuk dalam dzat shalat,
b)      Segololongan lain mengatakan, bahwa niat termasuk syarat, sebab kalau niat termasuk rukun, maka harus pula diniati. Jadinya niat diniati,
c)      Menurut Imam al-Ghazali, “diperinci”. Apabila puasa, niat termasuk rukun, sedangkan apabila shalat niat termasuk syarat,
d)     Menurut Imam Nawawiy daan Rafi’iy  berpendapat sebaliknya, bahwa bagi shalat niat termasuk rukun, sedangkan puasa, termasuk syarat[1].

Contoh kasus ; misalnya menyemblih binatang untuk dimakan, halal. Tetapi menyemblihnya untuk pemujaan bagi selain Allah , maka haram hukumnya. Menjual senjata kepada orang yang kita ketahui benar akan mempergunakannya untuk membunuh orang, maka haram hukumnya. Tetapi apabila dijual kepada bukan pembunuh, misalnya kepada orang mujahidin untuk bertempur dalam perperangan maka itu ibadah.
Apabila mengingat kaedah ini maka apabila berlawanan ucapan dengan niat, wajiblah dihargai niat, jika mungkin diketahui niat itu. Apabila berlawanan antara makna lafaz dengan lafaz, maka dipeganglah makna lafaz. Hal ini dilakukan apabila tidak berkaitan dengan hak orang lain. Apabila berkaitan dengan hak orang lain maka yang dipandang adalah lafaznya.

قاعدة العبرة في العقود بالمقاصد و المعاني لا بالالفاظ و المباني
“Yang dianggap dalam aqad adalah maksud-maksud bukan lafaz-lafaz dan betuk-bentuk perkataan”
Apabila dalam suatu aqad terjadi suatu perbedaan antara niat atau maksud si pembuat dengan lafaz yang diucapkannya maka yang harus dianggap sebagai suatu aqad adalah maksudnya selama masih dapat diketahui. Selain itu dalam membatasi makna  baik dalam menentukan halal atau haramnya, sah batalnya suatu aqad, dipautkan kepada maksud aqad dan niat bukan kepada ucapan, oleh karenanya kita tidak sah berpegang kepada harfiyah lafaz apabila terbukti maksud dan niat bukan sebagai yang dilafazkan.

قاعدة النية تعمم الخاص و تخصص العام
“Niat mengumumkan yang khusus dan yang mengkhususkan yang umum”
Ini disepkati oleh ulama Malikiyah dan Hambali dalam kandungan kaedah tersebut[2]. Menurut imam Syafi’i berpendapat انية تخصص اللفظ العام ولا تعمم “niat dalam sumpah mengkhususkan lafaz yang umum, dan tidak menjadikan umumnya pada khususnya”. Contoh, apabila seseorang bersumpah, bahwa ia tidak akan berbicara dengan seseorang, yang dimaksud dengan seseoraang itu adalah Budi, maka sumpah itu hanya berlaku pada Budi saja.

قاعدة تخصص العام بالنية مقبول ديانة لا قضاء
“Mengkhususkan yang umum dengan niat diterima dalam hukum agama tidak dalam hukum dunia”.
Pendapat ini dipegang oleh imam Hanafiyah

الايمان مبنية على الاغراض
“Sumpah berdasarkan maksud(niat)”
Ada ikhtilaf dalam hal ini :
a)      Imam Maliki dan Hambali berpendapat ; “bahwa sumpah berdasarkan atas niat”, yaitu orang itu itu tidak dikatakan zalim kalau berniat demikian, baik sesuai dengan makna lahir lafaz atau tidak sesuai.
b)      Menurut Hanafi dan Syafi’I, sumpah menggunakan lafa jika mungkin menggunakan lafaz, kalau tidak maka berdasarkan niat[3].


الايمان متنية على العرف
“Sumpah berdasarkan ‘urf”
Para imam juga berbeda pendapat tentang hal ini, menurut imam Hanafi dan satu pendapat dari Hanabila “sumpah berdasarkan ‘urf orang yang bersumpah, jika tidak mungkin membawanya kedalam makna syar’i[4].

هل اليمين على نية الحالف او على نية المستحلف
“Apakah sumpah berdasarkan niat orang yang bersumpah atau orang yang menyuruhnya bersumpah”
Dalam hal ini juga ada perbedaan pendapat, Hanafi berpendapat bahwa sumpah dihapan qadhi berdasarkan niat yang bersumpah jika dia dizalimi, dan bardasaarkan niat yang menyuruh bersumpah jika bersumpah yang menzalimi[5].

من استعجل ما اخره الشرع يجازي برده
siapa yang mempercepat apa yang dilambatkan syara’ dibalasi dengan menolaknya”

اليثار في القرب مكروه و في عيرها محبوب

من سعى في نقض ما تم من جهته فسعيه مردود عليه


DAFTAR PUSTAKA

Imam Musbikin, Qawaa’id Alfiqhiyah, Rajawali Press, Jalarta, 2001
Dr. Muhammad Shidqy  al-Borno, الوجيز في اضاح قواعد الفقه الكلية, Beirut, 1996
Safrudin Halimy Kamaludin, MA. Qawa’id Fiqhiyah, 2004




[1] Imam Musbikin, Qawaa’id Alfiqhiyah, Rajawali Press, Jalarta, 2001, hal. 42
[2] Muhammad Shidqy  al-Borno, الوجيز في اضاح قواعد الفقه الكلية, Beirut, 1996, hal. 102
[3] Safrudin Halimy Kamaludin, Qawa’id Fiqhiyah, 2004, hal. 15
[4] Ibid
[5] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar