Kamis, 18 Februari 2016

peradaban Islam, Abu Bakar - Umar bin Khatab

BAB I
PENDAHULUAN
Menurut kalender masehi wafat nabi Muhammad tercatat pada bulan juni 632 M. meskipun peristiwa itu didahului dengan masa sakit selama tiga bulan, tanpaknya para sahabat seperti belum siap menghadapi kenyataan itu. Mereka belum mendapat petunjuk dari Rasul mengenai siapa yang bakal meneruskan kepemimpinan beliau. Satu-satunya isyarat yang diberikan rasul adalah bahwa untuk beberapa kali Rasul meminta abu bakar ra. Untuk memimpin atau menjadi imam shalat, menggantikan rasul selama beliau sakit. Sebagaimana diketahui abu bakar merupukan sahabat yang senior, beliau mertua . Namun tidak satu kata pun pesan disampaikan kepada abu bakar tentang siapa yang meneruskan kepemimpinan masyarakat islam yang telah selama sepuluh tahun dipegang Nabi Muhammad SAW.
            Berita kematian rasul bagaikan belum disadari oleh sahabat. Sampai-sampai sabahat Umar bin Khatab terlontar komentarnya” ada yang mengatakan nabi wafat. Demi allah tidak. Siapa yang mengatakan nabi wafat akan mengatakan sentuhan pedangku ini. Nabi tidak wafat, beliau hanya menghadap allah, seperti dilkukan nabi Musa. Suatu nabi akan kembali dating”. Katanya.
            Ketika itu abu bakar dengan bijak memberikan penjelasan kepada khalayak “barangsiapa yang memuja Nabi, kini nabi telah wafat, tetapi kalau memuja Allah, maka dia hidup selama-lamanya”.
            Sebagaimana diketahui selama kepemimpinan Nabi Muhammad semua ma kekuasaan berada ditangan beliau, yang meliputi fungsi kenabian, imam shalat, panglima perang, hakim maupun amirul mukminin.
            Selisih pendapat kemudian muncul, mengenai siapa yang paling berhak menjadi khalifah, para sahabat muhajirin ataukah ansor? Namun akhirnya sahabat Umar bin Khatab berhasil meyakinkan para elite islam di Madinah, agar abu bakar diangkat menjadi khalifah pertama pasca Nabi Muhammad. Beriau berasal dari suku Quraisy, yang diyakini sebagai paling diunggulkan dalam jabatan kepemimpinan.
Sejarah adalah suatu rujukan saat kita akan membangun masa depan. Namun, kadang orang malas untuk melihat sejarah. Sehingga orang cenderung berjalan tanpa tujuan dan mungkin mengulangi kesalahan yang pernah ada dimasa lalu. Disnilah sejarah berfungsi sebagai cerminan bahwa dimasa silam telah terjadi sebuah kisah yang patut kita pelajari untuk merancang masa depan.
Khulafa al-Rasyidun sebagai sahabat-sahabat yang meneruskan perjuangan Nabi Muhammad kiranya pantas untuk dijadikan sebagai rujukan saat kita akan melaksanakan sesuatu dimasa depan. Karena peristiwa yang terjadi sungguh beragam. Dari mulai cara pengaangkatan sebagai khalifah, sistem pemerintahan, pengelolaan administrasi, hubungan sosial kemasyaratan dan lain sebagainya.
Dalam memahami sejarah kita dituntut untuk dapat berpikir kritis. Sebab, sejarah bukanlah sebuah barang mati yang tidak dapat dirubah. Akan tetapi sejarah bisa saja dirubah kisahnya oleh sang penulis sejarah. Nalar kritis kita dituntut untuk mampu membaca sejarah dan membandingkan dengan pendapat lain. Saat kita sudah mampu untuk menyibak tabir sejarah dari berbagai sumber, barulah kita dapat melakukan rekonstruksi sejarah.
Rekonstruksi sejarah perlu dilakukan agar kita dapat memisahkan antara peradaban Arab dan peradaban islam. Sebab, kita sering memakan mentah-mentah peradaban yang datang dari Arab sebab semuanya dianggap sebagai peradaban islam. Kita perlu memandang peradaban dari berbagai aspeknya. Langkah ini agar kita tidak hanya sekedar ”bangga” dan larut dalam historisisme yang seringkali ”menjebak” pemikiran progressif kita




a.         Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq 11-3 H/ 632-634 M
1.      Latar belakang pengangkatan Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq
            Masa Abu Bakar merupakan fase pertama kekholifahan setelah meninggalnya Rasulullah. Naiknya Abu Bakar sebagai khalifah merupakan awal bergulirnya politik yang demokratis pasca Rasulullah SAW meninggal. Abu Bakar terpilih secara demokratis setelah menyisihkan pesaingnya dari kalangan Ahlul Bait yaitu Ali. Waktu itu Ahlul Bait mempunyai pandangan bahwa Ali yang paling berhak menempati posisi khalifah setelah Rasulullah. Terjadilah diskursus yang cukup alot, hingga kemudian bergegaslah Abu Bakar dan Umar menuju Tsaqifah Bani Sa’adah tempat berkumpulnya kaum Anshor. Adapun yang berkembang wacana di kalangan Anshor adalah, menginginkan Sa’ad bin Ubadah seorang suku Khazraj sebagai pengganti Nabi. Akan tetapi, usulan tersebut direspon oleh Abu Bakar dengan sembari memberikan komentar logisnya bahwa kaum Jazirah Arab sepanjang sejarahnya sangat tidak suka dengan pemimpin yang datang dari luar suku Quraish. Apa yang dikatakan oleh Abu Bakar sangat berkaitaan dengan stigma yang berkembang saat itu yang konon datang dari hadits Nabi yang berbunyi : “Al-Aimmatu min Quraish (kepemimpinan dalam Islam adalah kalangan Quraish) . Setelah pemaparan Abu Bakar yang santun serta pengetahuannya yang luas dan lugas akhirnya kaum Anshor datang mengelilingi Abu Bakar dengan diikuti pernyataan tunduk dan memilih Abu Bakar sebagai pengganti Nabi. Keputusan kaum Anshor ini kemudian diikuti leh kabilah-kabilah lainnya sehingga dibaiatlah Abu Bakar sebagai khalifah pertama setelah Nabi .
Sebagai kahlifah pertama, Abu Bakar dihadapkan pada keadaan masyarakat sepeninggal Muhammad SAW. Meski terjadi perbedaan pendapat tentang tindakan yang akan dilakukan dalam menghadapi kesulitan yang memuncak tersebut, kelihatan kebesaran jiwa dan ketabahan batinnya. Seraya bersumpah dengan tegas ia menyatakan akan memerangi semua golongan yang menyimpang dari kebenaran (orang-orang yang murtad, tidak mau membayar zakat dan mengaku diri sebagai nabi).
Kekuasaan yang dijalankan pada massa khalifah Abu Bakar, sebagaimana pada masa Rasululllah, bersifat sentral; kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif terpusat ditangan Khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan, khalifah juga melaksanakan hukum,. Meskipun demikian, seperti juga Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabatnya bermusyawarah.
Setelah menyelesaikan urusan perang dalam negeri, barulah Abu Bakar mengririm kekuatan ke luar Arabia. Khalid Ibn Walid dikirim ke Irak dan dapat menguasai Al-Hiyah di tahun 634 M. Ke Syria dikirim ekspedisi dibawah pimpinan empat jendral yaitu Abu Ubaidah, Amr Ibn ’Ash, Yazid Ibn Abi Sufyan, dan Syurahbil. Sebelumnya pasukan dipimpin oleh Usamah yang masih berusia 18 tahun.
Periode Abu Bakar begitu sangat singkat terhitung 632-634 M. Tetapi bila diikuti secara singkat, pemerintahan Abu Bakar bisa dibilang mampu melewati masa-masa kritis,terutama yang berkaitan dengan Negara Islam yang baru dia rintis. Tentunya tekanan dari luar maupun dari dalam datang secara bergiliran seumpama mengamuk pemerintahan Abu Bakar saat itu, akan tetapi realitasnya Abu Bakar mampu melewatinya dengan baik.
Sebagai Negara rintisan baru tentunya banyak guliran amukan pembankangan yang terjadi di sana sini. Sebagai sebuah gejala yang paling menonjol waktu itu munculnya pengakuan-pengakuan nabi palsu. Adapun gejala yang menusuk dari dalam masih seputar pergolakan ahlul bait yang kurang suka dengan kekholifahan Abu Bukar.
            Di sisi lain, musuh luar tidak kalah kuatnya mengintai pemerintahan Abu Bakar. Selain banyak munculnya nabi-nabi palsu, beberapa daerah ada yang membangkang dengan tidak mau membayar zakat lagi pada pemerintahan Abu Bakar. Abu Bakar menghadapinya dengan tegas dan lugas terhadap berbagai macam gejolak tersebut. Abu Bakar mengeluarkan dua alternatif bagi mereka, tunduk tanpa syarat atau diperangi. Sebagai awal dari manuver politiknya, Abu Bakar memulai dengan memberantas kaum murtad yang terjadi di dearah Syam dengan kemenangan di pihaknya yang kemudian dikenal dengan perang Riddah. Kemampuan serta keberanian Abu Bakar mengirim ekspedisi ke luar yang jauh dari kekuasannya adalah salah satu keunggulan dari Abu Bakar. Walau banyak sahabat lain yang meragukan pilihannya, tetapi pada kenyataannya Abu Bakar mampu membasmi kaum Riddah tepat waktu, sekaligus mencegah munculnya perpecahan yang akut di kalangan umat Islam. .
           
2.      Pearadaban Islam Masa Abu Bakar
a)   Politik dan Pemerintahan
Secara umum memang al-Qur’an sudah menetapkan tiga dasar pemerintahan Islam yaitu : “ keadilan, musyawarah, dan kepatuhan terhadap Ulil Amri. Baik disukai ataupun tidak disukai oleh orang mukmin, kecuali Ulil Amri tersebut memerintahkan kedurhakaan terhadap Allah. Maka ia tidak boleh didengarkan dan dipatuhi. Berdasarkan tiga dasar pemerintahan Islam yang terdapat dalam al-Qur’an tersebut. Maka diadakan pertemuan sagifah, yaitu musyawarah tentang pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah pengganti Rasulullah, sebagai mana yang diajukan oleh Umar. Karena sifat orang arab yang memiliki solidaritas internal yang kokoh disatu sisi, dan disisi lain ganas terhadap suku atau khalifah lain sehingga pertemuan sagifah berlangsung begitu alotnya. Masing-masing suku menginginkan khalifah dari kaumnya sendiri. Hingga timbul argumen,”dari kaummu ada khalifah dari kaumku juga ada khalifah”. Namun argumen ini langsung dipatahkan oleh masing-masing kelompok.[1]
                   Dapat kita lihat bahwa pemerintahannya tidaklah menggunakan kekuasaan Tuhan sebagaimana Fir’aun dari Mesir atau bentuk pemerintahan lain yang di kenal di Eropa Tengah. Abu Bakar tidaklah menggunakan kekuasaan Allah bagi dirinya, tetapi ia berkuasa atas dukungan Orang-orang yang membai’atnya.
               Pada saat dibai’at, Abu Bakar dipanggil oleh seseorang dengan “Ya Khalifatullah”, maka ia memutus kata-kata orang itu dengan berseteru, “Aku bukan khalifah Allah tetapi khalifah Rasulullah SAW”.
Yang dimaksud dengan khalifah Rasulullah SAW tidak lain bahwa dia hanyalah pengganti Rasulullah SAW dalam memimpin muslimin serta mengarahkan kehidupan mereka agar tidak keluar dari batas-batas hukum Allah SWT, agar mereka melaksanakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Menurutnya khalifah Allah hanyalah dikhususkan bagi Rasulullah SAW sehingga kedudukan itu tidak terpikirkan olehnya, sedangkan Rasulullah SAW adalah khatamul-anbiya’ wa al-mursalin. Kenabiannya tidaklah diwariskan kepada siapapun juga. Allah SWT telah memilihnya sebagai penyampai Risalah-Nya, dan menurunkan kepadanya kitab yang benar. Dan telah disempurnakan bagi mukminin agama-Nya, juga nikmat-Nya atas mereka.
       Sejak tumbuhnya dan dalam pelaksanannya, pemerintahan Abu Bakar sebenarnya bersifat demokratis. Ia di bai’at karena sifat dan kedudukannya di sisi Rasulullah SAW, bukan karena keluarganya atau kefanatikan terhadap sukunya. Abu bakar tidak minta agar dirinya dibai’at. Bahkan ia mencalonkan Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah bin Jarraah agar kaum Muslimin membai’at salah satu dari keduanya yang mereka inginkan.
                   Pembagian tugas pemerintah kian hari semakin tampak kelihatan dan lebih nyata dari zaman pemerintahan Rasulullah, ketentuan pembagian tersebut adalah sebagai berikut :[2]
1). Urusan Keuangan.
            Urusan keuangan di pegang oleh Abu Ubaidah Amir bin Jarrah yang mendapatkan nama julukan dari Rasulullah SAW “Orang kepercayaan ummat”. Menurut keterangan Al-Mukri bahwa yang mula-mula membentuk kas Negara atau baitullmall adalah Abu Bakar dan urusannya di serahkan kepada Abu Ubaidah Amir bin Jarrah. Kantor Baitulmall mula-mula terletak di kota Sunuh, satu batu dari Mesjid Nabawi dan tidak pernah di kawal. Pada suatu kali orang berkata kepadanya, “Alangkah baiknya kalau baitulmall dijaga dan dikawal”. Jawab Abu Bakar, “tak perlu karena di kunci”. Di kala Abu Bakar pindah kediamannya dekat Masjid baitulmall atau kas Negara itu diletakkan di rumahnya sendiri. Tetapi boleh di katakan bahwa kas situ selalu kosong karena seluruh pembendaharaan yang datang langsung di bagi-bagi dan di pergunakan menurut perencanannya.
             Sumber-sumber keuangan yang utama di zaman Abu Bakar adalah :
1. Zakat
2. Rampasan
3. Upeti
2.) Urusan Kehakiman.
       Sebagaiman kita ketahui bahwa Abu BAkar adalah seorang kepala Negara yang bertanggung jawab langsung (Presidentil Kabinet), maka pembantu-pembantunya (Menteri-menteri) adalah atas pertunjukannya sendiri. Dari itu untuk mengurus soal kehakiman di tunjuknyalah Umar bin Khattab.
Kaum Muslimin dan rakyat Madinah amat patuh kepada peraturan pemerintah yang dipetik dari ajaran agamanya. Soal halal dan haram, soal hak milik dan hubungan baik sesama manusia adalah menjadi pedoman hidup mereka.
                   Hal-hal yang pertama kali dilakukan oleh Abu Bakar. Diantaranya ialah : Dia orang yang pertama kali masuk Islam, yang pertama kali menghimpun Al Qur’an, yang pertama kali menamakan Al Quran sebagai Mushaf. Dan dia juga adalah yang pertama kali dinamakan khalifah.
                   Kekuasaan yang dijalankan pada massa khalifah Abu Bakar, sebagaimana pada masa Rasululllah, bersifat sentral; kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif terpusat di tangan Khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan, khalifah juga melaksanakan hukum,. Meskipun demikian, seperti juga Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabatnya bermusyawarah.[3]
Hanya dua tahun Abu Bakar mangaku jabatan sebagai khalifah pertama masyarakat Islam, jadi tidak mengalami masa jatuhnya Siria. Pengabdiannya itu terpaksa diakhiri karena maut telah datang tanpa dapat dicegah. Sejarah mencatat selama masa jabatannya itu Abu Bakar telah berhasil menganugerahkan sejumlah sukses, yaitu:
*  Di bawah masa kepemimpinannya Islam telah tersebar di Mesopotamia
* Dalam waktu bersamaan dua tokoh nabi palsu telah berhasil dilenyapkan, yaitu Thulaiha dan Musaelamah.
*  Di samping itu gagasannya untuk melakukan kodifikasi al-Qur’an telah menunjukan hasil awal yaitu mengumpulkan naskah-naskah yang sebelumnya masih terserak.
b)  Pengumpulan ayat-ayat al-Qur’an
Semula Abu Bakar termasuk yang menolak gagasan mengkodifikasi al-Qur’an, karena dianggap bid’ah atau tidak ada contoh dari Nabi. Selama masa hidup nabi memang tidak ada contoh dari nabi. Selama masa hidup nabi memang tidak pernah muncul problem perlu tidaknya kodifikasi al-Qur’an maupun hadis, sebab segala sesuatunya dapat lansung ditanyakan kepada Nabi.
Setelah Nabi Muhammad wafat, kaum muslimin mengangkat Abu Bakar untuk menggantikan bahwa pada masa pemerintahan Abu Bakar terjadi kekecauan akibat ulah Musailamah bin Kazzab beserta pengikut-pengikut. Mereka menolak membayar zakat dan murtad dari islam. Pasukan Islam dipimpin Khalid bin Walid. Peristiwa tersebut terjadi di Yamman tahun 12 h. Akibatnya banyak sahabat yang gugur, termasuk 70 orang yang diyakini tidak hafal al-Qur’an, terjadi berdarah di Yamman dicermati secara kritis oleh Umar bin Khattab, ia takut peristiwa itu segera akan terjadi lagi, sehingga semakin banyak korban dari kalangan penghafal al-Qur’an. hingga muncul ide Umar untuk membukukan al-Qur’an dalam satu mushaf, yang disampaikan pada Abu Bakar Al-siddiq. Semula Abu Bakar keberatan atas usul Umar dengan alasan dilakukan oleh Rasulullah. tetapi akhirnya Umar berhasil meyakinkannnya. Abu Bakar memilih Zaid bin Tsabit dalam rangka menyaksikan mandate dan tugas suci tersebut. mengingat kedudukannya dalam Qira’at penulisan, pemahaman dan kecerdasan serta kehadirannya pada masa pembacaan Rasulullah, yang akhirnya sumber utama dalam penulisan tersebut adalah ayat-ayat al-Qur’an yang ditulis dan dicatat di hadapan Nabi dan hafalan para sahabat dibawah petunjuk Umar dan Abu Bakar dan dicocokkan dengan hafalan para sahabat. Hasil kerja Zaid yang berupa mushaf al-qur’an disimpan ke tangan Umar bin Khattab. sepeninggalan Umar, mushaf disimpan oleh Hafsah binti Umar.

       - Pengiriman Pasukan ke Syria, Palestina, Hism, Yordania dan Persia
                    Setelah meneyelesaikan urusan perang dalam negeri, barulah Abu Bakar mengirim kekuatan ke luar Arabia. Khalid ibnu Walid di kirim ke Irak dan dapat menguasai al-Hirah di tahun 634 M. ke Syiria dikirim ekspedisi dibawah empat jenderal yaitu Abu Ubaidah, Amru bin ‘Ash, Yazid Bin Abi Sufyan, dan Syurahbil. Sebelumnya pasukan dipimpim oleh Usamah yang masih berusia 18 tahun. Untuk memperkuat tentara ini, Khalid bin Walid di perintahkan meninggalkan Irak dan melalui gurun pasir yang jarang dijalani, ia sampai ke Syiria.[4]
3.  Akhir Pemerintahan Abu Bakar
Abu Bakar wafat pada tahun ke-13 Hijriah, malam Selasa, tanggal 23 Jumadil Akhir pada usia 63 tahun. Masa khalifahnya 2 tahun, 3 bulan, dan 3 hari. la dikubur di rumah Aisyah Rodhiyallahu ‘anha di samping kubur Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Menjelang wafatnya, Abu Bakar meminta pendapat sejumlah sahabat generasi pertama yang tergolong ahli syura. Mereka seluruhnya sepakat untuk mewasiatkan khalifah sesudahnya kepada Umar ibnul Khaththab Rodhiyallahu ‘anhu.
Dengan demikian, Abu Bakar merupakan orang yang pertama mewasiatkan khalifah sepeninggalnya kepada orang yang sudah ditunjuk dan mengangkat khalifah berdasarkan wasiat tersebut.
Kaum Muslimin belum mendapatkan kesepakatan tentang siapa yang akan menggantikan Abu Bakar dalam masa yang singkat tersebut. Mereka kemudian mengembalikan masalah tersebut kepada Abu Bakar seraya berkata, “Terserah kepada pendapatmu saja.” Saat itulah, Abu Bakar mulai meminta pendapat dari para tokoh sahabat masing-masing secara terpisah. Ketika Abu Bakar Rodhiyallahu ‘anhu mengetahui kesepakatan mereka tentang kelayakan dan keutamaan Umar Rodhiyallahu ‘anhu, ia pun keluar menemui orang banyak seraya memberitahukan bahwa ia telah mengerahkan segenap usaha untuk memilih siapakah orang yang paling layak dan tepat menggantikannya. Kepada khalayak. Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu meminta agar mereka menunjuk Umar Rodhiyallahu ‘anhu sebagai khalifah sepeninggalnya. Mereka semua menjawab, “Kami dengar dan kami taat.”5
Jika kita perhatikan secara saksama, sebenarnya hal tersebut didasarkan kepada syura Ahlul Halli Wal’Aqdi sebab Abu Bakar tidak meminta kepada mereka agar menunjuk Umar kecuali telah meminta pendapat para tokoh sahabat yang kemudian secara bulat menyepakati dan merekomendasikan Umar. Sekalipun demikian, pengangkatan Abu Bakar terhadap Umar tersebut belum bisa dilaksanakan dan dikukuhkan kecuali setelah ia berkhotbah di hadapan para sahabat dan meminta kepada mereka untuk mendengar dan menaati Umar. Mereka semua lalu menjawab,”Kami mendengar, kami taat.” Juga setelah kaum Muslimin bersepakat sepeninggalnya atas kebenaran tindakan Abu Bakar dan keabsahan proses penggantian (suksesi) tersebut. Demikianlah dalil dari ijma (kesepakatan) atas terlaksananya Imamah melalui istikhlaf (penunjukan orang tertentu) dan ‘ahd (wasiat) dengan memperhatikan syarat-syarat yang Syar’i dan Mu’tabarah.6
Setelah mengetahui kesepakatan semua orang atas penunjukan Umar sebagai pengganti, Abu Bakar memanggil Utsman bin Affan dan membacakan surat berikut ini kepadanya.
“Bismillahirrahmanirrahim. Berikut ini adalah wasiat Abu Bakar, Khalifah Rasulullah, pada akhir kehidupannya di dunia dan awal kehidupannya di akhirat, di mana orang kafir akan beriman dan orang fajir akan yakin. Sesungguhnya. aku telah mengangkat Umar ibnul Khaththab untuk memimpin kalian. Jika dia bersabar dan berlaku adil. itulah yang kuketahui tentang dia dan pendapatku tentang dirinya.
Abu Bakar menstempelnya. Surat wasiat ini lalu dibawa keluar oleh Utsman untuk dibacakan kepada khalayak ramai. Mereka pun membaiat Umar ibnul Khaththab. Peristiwa ini berlangsung pada bulan Jumadil Akhir tahun ke-13 Hijriah.[5]
Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar Rodhiyallahu ‘anhu tersebut menunjukkan sejumlah hal dan prinsip, di antaranya.
Pertama, Khalifah Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu berlangsung melalui syura. Semua Ahlul Halli wal-’Aqdi dari kalangan sahabat termasuk di dalamnya Ali Radhiyallahu ‘anhu ikut serta dalam pengambilan keputusan ini. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada satu pun nash al-Qur’an atau Sunnah yang menegaskan hak khalifah kepada seseorang sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua, perbedaan pendapat yang terjadi di Saqifah bani Sa’idah antar para tokoh sahabat, dalam rangka memusyawarahkan pemilihan khalifah, merupakan hal lumrah yang menjadi tuntutan pembahasan suatu permasalahan. Hal ini bahkan menjadi bukti nyata atas perlindungan Pembuat syariat (Allah) terhadap beraneka pendapat dan pandangan dari segala bentuk pelarangan dan pembatasan, selama menyangkut masalah yang tidak dinyatakan secara tegas dan gamblang oleh nash. Jalan untuk mencapai kebenaran tentang setiap masalah yang didiamkan oleh Pembuat syariat ialah dengan mengemukakan berbagai pandangan dan membahas semuanya dengan objektif, bebas, dan jujur.
Ketiga. Nasihat Ali Radhiyallahu ‘anhu kepada Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu a   gar tidak ikut terjun memerangi kaum murtad. Ali mengkhawatirkan kaum Muslimin jika beliau terbunuh. Hal ini menjadi bukti nyata atas kecintaan Ali Radhiyallahu ‘anhu yang sangat mendalam terhadap Abu Bakar. Merupakan bukti nyata pula bahwa Ali telah sepenuhnya menerima Khalifah Abu Bakar dan kelayakannya untuk memimpin kaum Muslimin. Sebagaimana hal ini juga menunjukkan tingkat kerja sama dan keikhlasan antara keduanya.
Seperti diketahui bahwa keterlambatan baiat Ali hanyalah karena pertimbangan sambung rasa musayarah atau mujamalah (basa-basi) terhadap perasaan Fathimah Radhiyallahu ‘anha yang begitu yakin dengan ijtihadnya bahwa dirinya berhak mewarisi dari ayahnnya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana setiap anak wanita mewarisi dari bapaknya. Keterlambatan ini bukan karena kedengkian atau ketidaksetujuan yang disembunyikan oleh Ali terhadapAbu Bakar. Mungkinkah orang yang menyimpan kebencian kepada seseorang akan dapat menampilkan sikap yang penuh dengan rasa cinta, kerja sama dan ghirah ini?
Keempat, setiap Muslim yang merenungkan sikap yang diambil oleh Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu terhadap kabilah-kabilah yang murtad dan tekad yang begitu kuat untuk memerangi kabilah-kabilah tersebut sehingga berhasil meyakinkan semua sahabat yang pada mulanya tidak bersedia melakukannya, niscaya akan meyakini adanya hikmah Allah yang telah mengangkat orang yang sesuai dan untuk menghadapi tugas yang sesuai pula. Siapa pun di antara kita hampir tidak dapat membayangkan bahwa di kalangan sahabat ada orang yang lebih patut dari Abu Bakar untuk menghentikan badai (kemurtadan) tersebut dan mengembalikannya ke pangkuan Islam.
Kelima, mungkin ada yang mengira bahwa semata-mata wasiat (‘ahd) dan penunjukan ganti (istikhlaf) dapat dinilai sebagai salah satu cara pengukuhan imamah dan pemerintahan, dengan dalil tindakan Abu Bakar yang telah mewasiatkan khalifah kepada Umar.
Dari sini, kita mengetahui, sebagaimana telah  sebutkan terdahulu, bahwa khilafah Umar berlangsung berdasarkan masyurah dhimniyah (syura tidak langsung/implisit) yang termasuk ke dalam kesepakatan sahabat dalam menyetujui orang yang dipilih Abu Bakar untuk mereka.
b.        Khalifah Umar Ibn Khatab
1.         Latar belakang pengangkatan Khalifah
Umar Ibn Al-Khaththab diangkat dan dipilih oleh para pemuka masyarakat dan disetujui oleh jama’ah kaum muslimin. Pada saat menderita sakit menjelang ajal tiba, Abu Bakar melihat situasi negara masih labil dan pasukan yang sedang bertempur di medan perang tidak boleh terpecah belah akibat perbedaan keinginan tentang siapa yang akan menjadi calon penggantinya, ia memilih Umar Ibn Al-Khaththab. Pilihannya ini sudah dimintakan pendapat dan persetujuan para pemuka masyarakat pada saat mereka menengok dirinya sewaktu sakit.
           Pengangkatan itu, sebagai hasil penunjuk Abu Bakar sebelum wafat, meskipun itu harus mendapatkan persetujuan dari para sahabat yang senior. Sebagai amirul mukminin umar bin khattab berpidato menyatakan tekatnya akan memerintah dengan bersih, jujur, adil, serta tidak melakukan nepotisme dalam masa pemerintahannya.[6]
Pada masa kepemimpinan Umar Ibn Al-Khaththab, wilayah islam sudah meliputi jazirah Arabia, Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir. Karena perluasan daerah terjadi dengan begitu cepat,
Umar Ibn Al-Khaththab segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh administrasi pemerintahan, dengan diatur menjadi delapan wialayah propinsi : Mekah, Madinah, Syria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen yang dipandang perlu didirikan pada masanya mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga Yudikatif dengan Eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, Jawatan kepolisian dibentuk. Demikian juga jawatan pekerjaan umum, Umar Ibn Al-Khaththab juga mendirikan Bait al-Mall. Dalam menyelesaikan permasalahan yang berkembang dimayarakat Umar selalu berkomunikasi dengan orang-orang yang memang dianggap mampu dibidangnya.[7]
2.         Kemajuan peradaban islam masa umar ibn khatab:
-       Politik/ pemerintahan
          Sistem pemerintahannya adalah system yang terkonsentrasi pada urusan khilafah, yaitu memeberi tafsiran kepada kita tentang peristiws-peristiwa pada masa islam, bahkan pada masa dinasti umawiyah.[8]
-       Militer dan perluasan wilayah
Gerakan perluasan pengaruh islam itu dipimpin Khalid bin Walid. Pada masa Umarlah kemenangan di persembahkan dengan memduduki Damaskus  pada tahun  641 M. Dari Damaskus itulah operasi-operasi berikutnya di lancarkan ke Armenia, yang kelak menjadi kawasan Turki Usmani, Mesopotamia bahagian Utara, Georgia, dan Adzebajan. Kedua daerah terakhir ini berada di kawasan bekas Rusia. Dari sanalah kemudian Persia segera dapat ditembus dan ditakhlukkan tahun 642 M.
Tahun 637 M Persia dapat ditaklukkan. Alam sepertinya membantu penaklukan itu, berupa bertiupnya angin topan padang pasir yang amat ganas yang menerpa dataran rendah disekitar sungai Tigris. Angin itu membantu membantu mengusir pasukan Sasanid dari kawasan Irak. Orak Irak betulbetul merasa senang dengan kehadiran bangsa Arab Islam yang telah mengusir pasukan sasanaid dari Persia yang telah lama di duduki Irak.[9]
-       Sosial kemasyarakatan
Masyarakat arab saat itu terwakili oleh suku (kabilah), Karena masyarakat ini terdiri dari beberapa kabilah. Dan memmang tatan bangsa Arab pada dasarnya dibangun diatas kabilah. Kondisi suku-suku (kabilah) sebelum islam menjadi kunci pembuka periode-periode berikutnya. Kabilah itu dibagi menjadi tiga bagian:
a)         Ada beberapa suku-suku yang tergolong dalam deretan peradaban yang terkemuka pada zamannya, sehingga sampai pada taraf mendirikan kerajaan setelah sebelumnya berhasil membangun perkotaan.
b)        Suku yang menempati daerah terdepan (Hadhar), suku itu berada diperkotaan, meskipun bukan suatu keharusan kota yang dimaksud semaju kota yang lalu.
c)         Suku yang warganya masih badawi dan mereka merupakan suku yang berpidah-pindah, tinggal diperkemahan dan tidak mapan selama-lamanya.[10]



-       Pemahaman dan pembaharuan pemikiran bidang agama
Diantara perkembangan yang ada pada masa Khalifah Umar  adalah :
·       Pemberlakuan Ijtihad
·       Menghapuskan zakat bagi para muallaf
·       Mengahpuskan hukum mut’ah
·       Lahirnya ilmu Qira’at
·       Penyebaran Ilmu Hadits
·       Menempa mata uang dan
·       menciptakan tahun Hijriah

3.    Akhir pemerintahan umar: terbunuhnya umar dan penunjukan Majelis Syura
Umar memerintah selama sepuluh tahun (13-23 H/634-644 M) masa jabatannya berakhir dengan kematian. Di dibunuh oleh seorang budak dari Persia bernama Abu Lu’lu’ah. Untuk menentukan penggantinya, umar tidak menempuh jalan yang dilakukan Abu Bakar. Dia menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang diantaranya menjadi khalifah.[11] Enam tersebut adalah Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa’ad ibn Waqqas dan Abdurrahman Ibn ‘Auf. Setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Usman sebagai khalifah, melalui persaingan yang sangat ketat dengan Ali bin Abi Thalib.[12]

BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
1.                            Abu Bakar Shidik
Abu Bakar Shidik  adalah khaifah pertama yang menjadi amirul mukminin pasca wafatnya  Rasulullah SAW, pada saat itu umat islam kehilangan figur kepemimpinan Rasulullah, beliau diangkat karena kedekatan beliau dengan Rasulullah SAW, sebagai symbol pengangkatannya pegangganti Nabi, beliau ditunjuk Nabi menjadi Imam Shalat ketika Nabi sakit. Dia adalah penggagas dan pelopor berbagai kemenangan dalam penyiaran agama Islam keseluruh penjuru kawasan disekitar dunia Arab. Banya jasa-jasa yang  ditingglkannya salah satu yang menonjol adalah tentang pengumpulan ayat-ayat al-Qur’an.
2.                            Khalifah Umar Ibn Khatab
Khalifah Umar Ibn Khatab khalifah yang mengganti Abu Bakar Shididiq setelah beliau wafat, dan melanjutkan perjuangannya yang belum selesai khususnya mengenai perluasan penyiaran agama Islam keberbagai Negara. Banyak kemajuan-kemajuan yang dialaminya sepertia yang dijelaskan sebelumnya sehingga beliau di juluki sebagai pelaksana dari cita-cita perluasan daerah pengaruh islam. Bukan hanya itu, Umar juga berhasil dalam mengatur atau mengorganisasi hasil kemenangan itu.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Siti Maryam, dkk (Ed.), Sejarah Peradaban Islam dari masa klasik hingga masa modern, Yogyakarta: LESFI, 2004,
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 
H. Munawir Sjadzali, M.A., Islam dan Tata Negara ajaran, sejarah dan pemikiran, Jakarta: UI-Press, 1993,
Abu Su’ud, Islamologi Sejarah, Ajaran, dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia, Rineka Cipta: 2003,
Al’isy, Yusuf, , Dinasti Umawiyah, Pustaka al-Kautsar: 2007
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid I, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1987, cet.v



[1] Yatim, Badri. 2006. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hal.

[2]  Ibid, hal. 70
[3]  Ibid, hal. 73
[4]   Badri Yatim, Op.Cit, hal. 36
[5] H. Munawir Sjadzali, M.A., Islam dan Tata Negara ajaran, sejarah dan pemikiran, Jakarta: UI-Press, 1993, Hlm. 25
[6] Abu Su’ud, Islamologi Sejarah, Ajaran, dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia, Rineka Cipta: 2003, hal. 57
[6]  Asghar Ali Engineer, Op. Cit, hlm. 77

[8]  Yusuf al-Isy, Op.Cit. hal.8
[9]  Dr. Abu Su’ud, Op.Cit, hal. 58
[10] Yusuf Al’isy, Dinasti Umawiyah, Pustaka al-Kautsar: 2007, hal. 15-16
[11] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid I, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1987, cet.v), hal. 263

Tidak ada komentar:

Posting Komentar