BAB
I
PENDAHULUAN
Menurut
kalender masehi wafat nabi Muhammad tercatat pada bulan juni 632 M. meskipun
peristiwa itu didahului dengan masa sakit selama tiga bulan, tanpaknya para
sahabat seperti belum siap menghadapi kenyataan itu. Mereka belum mendapat petunjuk
dari Rasul mengenai siapa yang bakal meneruskan kepemimpinan beliau.
Satu-satunya isyarat yang diberikan rasul adalah bahwa untuk beberapa kali
Rasul meminta abu bakar ra. Untuk memimpin atau menjadi imam shalat,
menggantikan rasul selama beliau sakit. Sebagaimana diketahui abu bakar
merupukan sahabat yang senior, beliau mertua . Namun tidak satu kata pun pesan
disampaikan kepada abu bakar tentang siapa yang meneruskan kepemimpinan
masyarakat islam yang telah selama sepuluh tahun dipegang Nabi Muhammad SAW.
Berita kematian rasul bagaikan belum
disadari oleh sahabat. Sampai-sampai sabahat Umar bin Khatab terlontar
komentarnya” ada yang mengatakan nabi wafat. Demi allah tidak. Siapa yang
mengatakan nabi wafat akan mengatakan sentuhan pedangku ini. Nabi tidak wafat,
beliau hanya menghadap allah, seperti dilkukan nabi Musa. Suatu nabi akan
kembali dating”. Katanya.
Ketika itu abu bakar dengan bijak
memberikan penjelasan kepada khalayak “barangsiapa yang memuja Nabi, kini nabi
telah wafat, tetapi kalau memuja Allah, maka dia hidup selama-lamanya”.
Sebagaimana diketahui selama
kepemimpinan Nabi Muhammad semua ma kekuasaan berada ditangan beliau, yang
meliputi fungsi kenabian, imam shalat, panglima perang, hakim maupun amirul
mukminin.
Selisih pendapat kemudian muncul,
mengenai siapa yang paling berhak menjadi khalifah, para sahabat muhajirin
ataukah ansor? Namun akhirnya sahabat Umar bin Khatab berhasil meyakinkan para
elite islam di Madinah, agar abu bakar diangkat menjadi khalifah pertama pasca
Nabi Muhammad. Beriau berasal dari suku Quraisy, yang diyakini sebagai paling
diunggulkan dalam jabatan kepemimpinan.
Sejarah adalah suatu rujukan saat kita akan membangun masa
depan. Namun, kadang orang malas untuk melihat sejarah. Sehingga orang
cenderung berjalan tanpa tujuan dan mungkin mengulangi kesalahan yang pernah
ada dimasa lalu. Disnilah sejarah berfungsi sebagai cerminan bahwa dimasa silam
telah terjadi sebuah kisah yang patut kita pelajari untuk merancang masa depan.
Khulafa
al-Rasyidun sebagai sahabat-sahabat yang meneruskan perjuangan Nabi Muhammad
kiranya pantas untuk dijadikan sebagai rujukan saat kita akan melaksanakan
sesuatu dimasa depan. Karena peristiwa yang terjadi sungguh beragam. Dari mulai
cara pengaangkatan sebagai khalifah, sistem pemerintahan, pengelolaan
administrasi, hubungan sosial kemasyaratan dan lain sebagainya.
Dalam memahami sejarah kita dituntut untuk dapat berpikir
kritis. Sebab, sejarah bukanlah sebuah barang mati yang tidak dapat dirubah.
Akan tetapi sejarah bisa saja dirubah kisahnya oleh sang penulis sejarah. Nalar
kritis kita dituntut untuk mampu membaca sejarah dan membandingkan dengan
pendapat lain. Saat kita sudah mampu untuk menyibak tabir sejarah dari berbagai
sumber, barulah kita dapat melakukan rekonstruksi sejarah.
Rekonstruksi sejarah perlu dilakukan
agar kita dapat memisahkan antara peradaban Arab dan peradaban islam. Sebab,
kita sering memakan mentah-mentah peradaban yang datang dari Arab sebab
semuanya dianggap sebagai peradaban islam. Kita perlu memandang peradaban dari
berbagai aspeknya. Langkah ini agar kita tidak hanya sekedar ”bangga” dan larut
dalam historisisme yang seringkali ”menjebak” pemikiran progressif kita
a.
Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq 11-3 H/ 632-634
M
1. Latar
belakang pengangkatan Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq
Masa
Abu Bakar merupakan fase pertama kekholifahan setelah meninggalnya Rasulullah.
Naiknya Abu Bakar sebagai khalifah merupakan awal bergulirnya politik yang
demokratis pasca Rasulullah SAW meninggal. Abu Bakar terpilih secara demokratis
setelah menyisihkan pesaingnya dari kalangan Ahlul Bait yaitu Ali. Waktu itu
Ahlul Bait mempunyai pandangan bahwa Ali yang paling berhak menempati posisi khalifah
setelah Rasulullah. Terjadilah diskursus yang cukup alot, hingga kemudian
bergegaslah Abu Bakar dan Umar menuju Tsaqifah Bani Sa’adah tempat berkumpulnya
kaum Anshor. Adapun yang berkembang wacana di kalangan Anshor adalah,
menginginkan Sa’ad bin Ubadah seorang suku Khazraj sebagai pengganti Nabi. Akan
tetapi, usulan tersebut direspon oleh Abu Bakar dengan sembari memberikan
komentar logisnya bahwa kaum Jazirah Arab sepanjang sejarahnya sangat tidak
suka dengan pemimpin yang datang dari luar suku Quraish. Apa yang dikatakan
oleh Abu Bakar sangat berkaitaan dengan stigma yang berkembang saat itu yang
konon datang dari hadits Nabi yang berbunyi : “Al-Aimmatu min Quraish
(kepemimpinan dalam Islam adalah kalangan Quraish) . Setelah pemaparan Abu
Bakar yang santun serta pengetahuannya yang luas dan lugas akhirnya kaum Anshor
datang mengelilingi Abu Bakar dengan diikuti pernyataan tunduk dan memilih Abu
Bakar sebagai pengganti Nabi. Keputusan kaum Anshor ini kemudian diikuti leh
kabilah-kabilah lainnya sehingga dibaiatlah Abu Bakar sebagai khalifah pertama
setelah Nabi .
Sebagai kahlifah pertama, Abu Bakar
dihadapkan pada keadaan masyarakat sepeninggal Muhammad SAW. Meski terjadi
perbedaan pendapat tentang tindakan yang akan dilakukan dalam menghadapi
kesulitan yang memuncak tersebut, kelihatan kebesaran jiwa dan ketabahan
batinnya. Seraya bersumpah dengan tegas ia menyatakan akan memerangi semua
golongan yang menyimpang dari kebenaran (orang-orang yang murtad, tidak mau
membayar zakat dan mengaku diri sebagai nabi).
Kekuasaan yang dijalankan pada massa
khalifah Abu Bakar, sebagaimana pada masa Rasululllah, bersifat sentral;
kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif terpusat ditangan Khalifah.
Selain menjalankan roda pemerintahan, khalifah juga melaksanakan hukum,.
Meskipun demikian, seperti juga Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar selalu mengajak
sahabat-sahabatnya bermusyawarah.
Setelah menyelesaikan urusan perang
dalam negeri, barulah Abu Bakar mengririm kekuatan ke luar Arabia. Khalid Ibn
Walid dikirim ke Irak dan dapat menguasai Al-Hiyah di tahun 634 M. Ke Syria
dikirim ekspedisi dibawah pimpinan empat jendral yaitu Abu Ubaidah, Amr Ibn
’Ash, Yazid Ibn Abi Sufyan, dan Syurahbil. Sebelumnya pasukan dipimpin oleh
Usamah yang masih berusia 18 tahun.
Periode
Abu Bakar begitu sangat singkat terhitung 632-634 M. Tetapi bila diikuti secara
singkat, pemerintahan Abu Bakar bisa dibilang mampu melewati masa-masa
kritis,terutama yang berkaitan dengan Negara Islam yang baru dia rintis.
Tentunya tekanan dari luar maupun dari dalam datang secara bergiliran seumpama
mengamuk pemerintahan Abu Bakar saat itu, akan tetapi realitasnya Abu Bakar
mampu melewatinya dengan baik.
Sebagai
Negara rintisan baru tentunya banyak guliran amukan pembankangan yang terjadi
di sana sini. Sebagai sebuah gejala yang paling menonjol waktu itu munculnya
pengakuan-pengakuan nabi palsu. Adapun gejala yang menusuk dari dalam masih
seputar pergolakan ahlul bait yang kurang suka dengan kekholifahan Abu Bukar.
Di
sisi lain, musuh luar tidak kalah kuatnya mengintai pemerintahan Abu Bakar.
Selain banyak munculnya nabi-nabi palsu, beberapa daerah ada yang membangkang
dengan tidak mau membayar zakat lagi pada pemerintahan Abu Bakar. Abu Bakar
menghadapinya dengan tegas dan lugas terhadap berbagai macam gejolak tersebut.
Abu Bakar mengeluarkan dua alternatif bagi mereka, tunduk tanpa syarat atau
diperangi. Sebagai awal dari manuver politiknya, Abu Bakar memulai dengan
memberantas kaum murtad yang terjadi di dearah Syam dengan kemenangan di
pihaknya yang kemudian dikenal dengan perang Riddah. Kemampuan serta
keberanian Abu Bakar mengirim ekspedisi ke luar yang jauh dari kekuasannya
adalah salah satu keunggulan dari Abu Bakar. Walau banyak sahabat lain yang
meragukan pilihannya, tetapi pada kenyataannya Abu Bakar mampu membasmi kaum Riddah
tepat waktu, sekaligus mencegah munculnya perpecahan yang akut di kalangan umat
Islam. .
2. Pearadaban
Islam Masa Abu Bakar
a)
Politik dan Pemerintahan
Secara umum
memang al-Qur’an sudah menetapkan tiga dasar pemerintahan Islam yaitu : “
keadilan, musyawarah, dan kepatuhan terhadap Ulil Amri. Baik
disukai ataupun tidak disukai oleh orang mukmin, kecuali Ulil Amri
tersebut memerintahkan kedurhakaan terhadap Allah. Maka ia tidak boleh
didengarkan dan dipatuhi. Berdasarkan tiga dasar pemerintahan Islam yang
terdapat dalam al-Qur’an tersebut. Maka diadakan pertemuan sagifah, yaitu musyawarah
tentang pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah pengganti Rasulullah, sebagai
mana yang diajukan oleh Umar. Karena sifat orang arab yang memiliki solidaritas
internal yang kokoh disatu sisi, dan disisi lain ganas terhadap suku atau
khalifah lain sehingga pertemuan sagifah berlangsung begitu alotnya.
Masing-masing suku menginginkan khalifah dari kaumnya sendiri. Hingga timbul
argumen,”dari kaummu ada khalifah dari kaumku juga ada khalifah”. Namun argumen
ini langsung dipatahkan oleh masing-masing kelompok.[1]
Dapat kita lihat bahwa pemerintahannya tidaklah
menggunakan kekuasaan Tuhan sebagaimana Fir’aun dari Mesir atau bentuk
pemerintahan lain yang di kenal di Eropa Tengah. Abu Bakar
tidaklah menggunakan kekuasaan Allah bagi dirinya, tetapi ia berkuasa atas
dukungan Orang-orang yang membai’atnya.
Pada
saat dibai’at, Abu Bakar dipanggil oleh seseorang dengan “Ya Khalifatullah”,
maka ia memutus kata-kata orang itu dengan berseteru, “Aku bukan khalifah Allah
tetapi khalifah Rasulullah SAW”.
Yang dimaksud dengan khalifah Rasulullah SAW tidak lain bahwa dia hanyalah pengganti Rasulullah SAW dalam memimpin muslimin serta mengarahkan kehidupan mereka agar tidak keluar dari batas-batas hukum Allah SWT, agar mereka melaksanakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Menurutnya khalifah Allah hanyalah dikhususkan bagi Rasulullah SAW sehingga kedudukan itu tidak terpikirkan olehnya, sedangkan Rasulullah SAW adalah khatamul-anbiya’ wa al-mursalin. Kenabiannya tidaklah diwariskan kepada siapapun juga. Allah SWT telah memilihnya sebagai penyampai Risalah-Nya, dan menurunkan kepadanya kitab yang benar. Dan telah disempurnakan bagi mukminin agama-Nya, juga nikmat-Nya atas mereka.
Yang dimaksud dengan khalifah Rasulullah SAW tidak lain bahwa dia hanyalah pengganti Rasulullah SAW dalam memimpin muslimin serta mengarahkan kehidupan mereka agar tidak keluar dari batas-batas hukum Allah SWT, agar mereka melaksanakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Menurutnya khalifah Allah hanyalah dikhususkan bagi Rasulullah SAW sehingga kedudukan itu tidak terpikirkan olehnya, sedangkan Rasulullah SAW adalah khatamul-anbiya’ wa al-mursalin. Kenabiannya tidaklah diwariskan kepada siapapun juga. Allah SWT telah memilihnya sebagai penyampai Risalah-Nya, dan menurunkan kepadanya kitab yang benar. Dan telah disempurnakan bagi mukminin agama-Nya, juga nikmat-Nya atas mereka.
Sejak tumbuhnya dan dalam pelaksanannya,
pemerintahan Abu Bakar sebenarnya bersifat demokratis. Ia di bai’at karena
sifat dan kedudukannya di sisi Rasulullah SAW, bukan karena keluarganya atau
kefanatikan terhadap sukunya. Abu bakar tidak minta agar dirinya dibai’at.
Bahkan ia mencalonkan Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah bin Jarraah agar kaum
Muslimin membai’at salah satu dari keduanya yang mereka inginkan.
Pembagian
tugas pemerintah kian hari semakin tampak kelihatan dan lebih nyata dari zaman
pemerintahan Rasulullah, ketentuan pembagian tersebut adalah sebagai berikut :[2]
1).
Urusan Keuangan.
Urusan
keuangan di pegang oleh Abu Ubaidah Amir bin Jarrah yang mendapatkan nama
julukan dari Rasulullah SAW “Orang kepercayaan ummat”. Menurut keterangan
Al-Mukri bahwa yang mula-mula membentuk kas Negara atau baitullmall
adalah Abu Bakar dan urusannya di serahkan kepada Abu Ubaidah Amir bin Jarrah.
Kantor Baitulmall mula-mula terletak di kota Sunuh, satu batu dari Mesjid
Nabawi dan tidak pernah di kawal. Pada suatu kali orang berkata kepadanya,
“Alangkah baiknya kalau baitulmall dijaga dan dikawal”. Jawab Abu Bakar,
“tak perlu karena di kunci”. Di kala Abu Bakar pindah kediamannya dekat Masjid baitulmall
atau kas Negara itu diletakkan di rumahnya sendiri. Tetapi boleh di katakan
bahwa kas situ selalu kosong karena seluruh pembendaharaan yang datang langsung
di bagi-bagi dan di pergunakan menurut perencanannya.
Sumber-sumber
keuangan yang utama di zaman Abu Bakar adalah :
1. Zakat
1. Zakat
2.
Rampasan
3.
Upeti
2.)
Urusan Kehakiman.
Sebagaiman kita ketahui bahwa Abu BAkar
adalah seorang kepala Negara yang bertanggung jawab langsung (Presidentil
Kabinet), maka pembantu-pembantunya (Menteri-menteri) adalah atas
pertunjukannya sendiri. Dari itu untuk mengurus soal kehakiman di tunjuknyalah
Umar bin Khattab.
Kaum Muslimin dan rakyat Madinah amat patuh kepada peraturan pemerintah yang dipetik dari ajaran agamanya. Soal halal dan haram, soal hak milik dan hubungan baik sesama manusia adalah menjadi pedoman hidup mereka.
Kaum Muslimin dan rakyat Madinah amat patuh kepada peraturan pemerintah yang dipetik dari ajaran agamanya. Soal halal dan haram, soal hak milik dan hubungan baik sesama manusia adalah menjadi pedoman hidup mereka.
Hal-hal
yang pertama kali dilakukan oleh Abu Bakar. Diantaranya ialah : Dia orang yang
pertama kali masuk Islam, yang pertama kali menghimpun Al Qur’an, yang pertama
kali menamakan Al Quran sebagai Mushaf. Dan dia juga adalah yang pertama kali
dinamakan khalifah.
Kekuasaan yang dijalankan
pada massa khalifah Abu Bakar, sebagaimana pada masa Rasululllah, bersifat
sentral; kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif terpusat di tangan
Khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan, khalifah juga melaksanakan
hukum,. Meskipun demikian, seperti juga Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar selalu
mengajak sahabat-sahabatnya bermusyawarah.[3]
Hanya dua tahun Abu Bakar mangaku
jabatan sebagai khalifah pertama masyarakat Islam, jadi tidak mengalami masa
jatuhnya Siria. Pengabdiannya itu terpaksa diakhiri karena maut telah datang
tanpa dapat dicegah. Sejarah mencatat selama masa jabatannya itu Abu Bakar telah
berhasil menganugerahkan sejumlah sukses, yaitu:
* Di bawah masa kepemimpinannya Islam telah
tersebar di Mesopotamia
* Dalam waktu bersamaan dua tokoh
nabi palsu telah berhasil dilenyapkan, yaitu Thulaiha dan Musaelamah.
* Di samping itu gagasannya untuk melakukan
kodifikasi al-Qur’an telah menunjukan hasil awal yaitu mengumpulkan
naskah-naskah yang sebelumnya masih terserak.
b) Pengumpulan ayat-ayat al-Qur’an
Semula Abu Bakar termasuk yang menolak
gagasan mengkodifikasi al-Qur’an, karena dianggap bid’ah atau tidak ada contoh
dari Nabi. Selama masa hidup nabi memang tidak ada contoh dari nabi. Selama
masa hidup nabi memang tidak pernah muncul problem perlu tidaknya kodifikasi
al-Qur’an maupun hadis, sebab segala sesuatunya dapat lansung ditanyakan kepada
Nabi.
Setelah Nabi Muhammad
wafat, kaum muslimin mengangkat Abu Bakar untuk menggantikan bahwa pada masa
pemerintahan Abu Bakar terjadi kekecauan akibat ulah Musailamah bin Kazzab beserta
pengikut-pengikut. Mereka menolak membayar zakat dan murtad dari islam. Pasukan
Islam dipimpin Khalid bin Walid. Peristiwa tersebut terjadi di Yamman tahun 12
h. Akibatnya banyak sahabat yang gugur, termasuk 70 orang yang diyakini tidak
hafal al-Qur’an, terjadi berdarah di Yamman dicermati secara kritis oleh Umar
bin Khattab, ia takut peristiwa itu segera akan terjadi lagi, sehingga semakin
banyak korban dari kalangan penghafal al-Qur’an. hingga muncul ide Umar untuk
membukukan al-Qur’an dalam satu mushaf, yang disampaikan pada Abu Bakar
Al-siddiq. Semula Abu Bakar keberatan atas usul Umar dengan alasan dilakukan
oleh Rasulullah. tetapi akhirnya Umar berhasil meyakinkannnya. Abu Bakar
memilih Zaid bin Tsabit dalam rangka menyaksikan mandate dan tugas suci tersebut.
mengingat kedudukannya dalam Qira’at penulisan, pemahaman dan kecerdasan serta
kehadirannya pada masa pembacaan Rasulullah, yang akhirnya sumber utama dalam
penulisan tersebut adalah ayat-ayat al-Qur’an yang ditulis dan dicatat di
hadapan Nabi dan hafalan para sahabat dibawah petunjuk Umar dan Abu Bakar dan
dicocokkan dengan hafalan para sahabat. Hasil kerja Zaid yang berupa mushaf
al-qur’an disimpan ke tangan Umar bin Khattab. sepeninggalan Umar, mushaf
disimpan oleh Hafsah binti Umar.
-
Pengiriman Pasukan ke Syria, Palestina, Hism, Yordania dan Persia
Setelah
meneyelesaikan urusan perang dalam negeri, barulah Abu Bakar mengirim kekuatan
ke luar Arabia. Khalid ibnu Walid di kirim ke Irak dan dapat menguasai al-Hirah
di tahun 634 M. ke Syiria dikirim ekspedisi dibawah empat jenderal yaitu Abu
Ubaidah, Amru bin ‘Ash, Yazid Bin Abi Sufyan, dan Syurahbil. Sebelumnya pasukan
dipimpim oleh Usamah yang masih berusia 18 tahun. Untuk memperkuat tentara ini,
Khalid bin Walid di perintahkan meninggalkan Irak dan melalui gurun pasir yang
jarang dijalani, ia sampai ke Syiria.[4]
3. Akhir Pemerintahan Abu Bakar
Abu Bakar wafat pada tahun ke-13 Hijriah, malam Selasa, tanggal 23
Jumadil Akhir pada usia 63 tahun. Masa khalifahnya 2 tahun, 3 bulan, dan 3
hari. la dikubur di rumah Aisyah Rodhiyallahu ‘anha di samping kubur Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Menjelang wafatnya, Abu Bakar meminta pendapat sejumlah sahabat generasi
pertama yang tergolong ahli syura. Mereka seluruhnya sepakat untuk mewasiatkan
khalifah sesudahnya kepada Umar ibnul Khaththab Rodhiyallahu ‘anhu.
Dengan demikian, Abu Bakar merupakan orang yang pertama mewasiatkan
khalifah sepeninggalnya kepada orang yang sudah ditunjuk dan mengangkat
khalifah berdasarkan wasiat tersebut.
Kaum Muslimin belum mendapatkan kesepakatan tentang siapa yang akan
menggantikan Abu Bakar dalam masa yang singkat tersebut. Mereka kemudian
mengembalikan masalah tersebut kepada Abu Bakar seraya berkata, “Terserah
kepada pendapatmu saja.” Saat itulah, Abu Bakar mulai meminta pendapat dari
para tokoh sahabat masing-masing secara terpisah. Ketika Abu Bakar Rodhiyallahu
‘anhu mengetahui kesepakatan mereka tentang kelayakan dan keutamaan Umar
Rodhiyallahu ‘anhu, ia pun keluar menemui orang banyak seraya memberitahukan
bahwa ia telah mengerahkan segenap usaha untuk memilih siapakah orang yang
paling layak dan tepat menggantikannya. Kepada khalayak. Abu Bakar Radhiyallahu
‘anhu meminta agar mereka menunjuk Umar Rodhiyallahu ‘anhu sebagai khalifah
sepeninggalnya. Mereka semua menjawab, “Kami dengar dan kami taat.”5
Jika kita perhatikan secara saksama, sebenarnya hal tersebut didasarkan
kepada syura Ahlul Halli Wal’Aqdi sebab Abu Bakar tidak meminta kepada mereka
agar menunjuk Umar kecuali telah meminta pendapat para tokoh sahabat yang
kemudian secara bulat menyepakati dan merekomendasikan Umar. Sekalipun
demikian, pengangkatan Abu Bakar terhadap Umar tersebut belum bisa dilaksanakan
dan dikukuhkan kecuali setelah ia berkhotbah di hadapan para sahabat dan
meminta kepada mereka untuk mendengar dan menaati Umar. Mereka semua lalu
menjawab,”Kami mendengar, kami taat.” Juga setelah kaum Muslimin bersepakat
sepeninggalnya atas kebenaran tindakan Abu Bakar dan keabsahan proses
penggantian (suksesi) tersebut. Demikianlah dalil dari ijma (kesepakatan) atas
terlaksananya Imamah melalui istikhlaf (penunjukan orang tertentu) dan ‘ahd
(wasiat) dengan memperhatikan syarat-syarat yang Syar’i dan Mu’tabarah.6
Setelah mengetahui kesepakatan semua orang atas penunjukan Umar sebagai
pengganti, Abu Bakar memanggil Utsman bin Affan dan membacakan surat berikut
ini kepadanya.
“Bismillahirrahmanirrahim.
Berikut ini adalah wasiat Abu Bakar, Khalifah Rasulullah, pada akhir
kehidupannya di dunia dan awal kehidupannya di akhirat, di mana orang kafir
akan beriman dan orang fajir akan yakin. Sesungguhnya. aku telah mengangkat
Umar ibnul Khaththab untuk memimpin kalian. Jika dia bersabar dan berlaku adil.
itulah yang kuketahui tentang dia dan pendapatku tentang dirinya.
Abu Bakar
menstempelnya. Surat wasiat ini lalu dibawa keluar oleh Utsman untuk dibacakan
kepada khalayak ramai. Mereka pun membaiat Umar ibnul Khaththab. Peristiwa ini
berlangsung pada bulan Jumadil Akhir tahun ke-13 Hijriah.[5]
Peristiwa-peristiwa
yang terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar Rodhiyallahu ‘anhu tersebut
menunjukkan sejumlah hal dan prinsip, di antaranya.
Pertama, Khalifah Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu berlangsung melalui
syura. Semua Ahlul Halli wal-’Aqdi dari kalangan sahabat termasuk di dalamnya
Ali Radhiyallahu ‘anhu ikut serta dalam pengambilan keputusan ini. Hal ini
menunjukkan bahwa tidak ada satu pun nash al-Qur’an atau Sunnah yang menegaskan
hak khalifah kepada seseorang sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Kedua, perbedaan pendapat yang terjadi di Saqifah bani Sa’idah
antar para tokoh sahabat, dalam rangka memusyawarahkan pemilihan khalifah,
merupakan hal lumrah yang menjadi tuntutan pembahasan suatu permasalahan. Hal
ini bahkan menjadi bukti nyata atas perlindungan Pembuat syariat (Allah)
terhadap beraneka pendapat dan pandangan dari segala bentuk pelarangan dan
pembatasan, selama menyangkut masalah yang tidak dinyatakan secara tegas dan
gamblang oleh nash. Jalan untuk mencapai kebenaran tentang setiap masalah yang
didiamkan oleh Pembuat syariat ialah dengan mengemukakan berbagai pandangan dan
membahas semuanya dengan objektif, bebas, dan jujur.
Ketiga. Nasihat Ali Radhiyallahu ‘anhu kepada Abu Bakar
Radhiyallahu ‘anhu a gar tidak ikut
terjun memerangi kaum murtad. Ali mengkhawatirkan kaum Muslimin jika beliau
terbunuh. Hal ini menjadi bukti nyata atas kecintaan Ali Radhiyallahu ‘anhu
yang sangat mendalam terhadap Abu Bakar. Merupakan bukti nyata pula bahwa Ali
telah sepenuhnya menerima Khalifah Abu Bakar dan kelayakannya untuk memimpin
kaum Muslimin. Sebagaimana hal ini juga menunjukkan tingkat kerja sama dan
keikhlasan antara keduanya.
Seperti diketahui bahwa keterlambatan baiat Ali hanyalah karena
pertimbangan sambung rasa musayarah atau mujamalah (basa-basi) terhadap
perasaan Fathimah Radhiyallahu ‘anha yang begitu yakin dengan ijtihadnya bahwa
dirinya berhak mewarisi dari ayahnnya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam,
sebagaimana setiap anak wanita mewarisi dari bapaknya. Keterlambatan ini bukan
karena kedengkian atau ketidaksetujuan yang disembunyikan oleh Ali terhadapAbu
Bakar. Mungkinkah orang yang menyimpan kebencian kepada seseorang akan dapat
menampilkan sikap yang penuh dengan rasa cinta, kerja sama dan ghirah ini?
Keempat, setiap Muslim yang merenungkan sikap yang diambil oleh
Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu terhadap kabilah-kabilah yang murtad dan tekad
yang begitu kuat untuk memerangi kabilah-kabilah tersebut sehingga berhasil
meyakinkan semua sahabat yang pada mulanya tidak bersedia melakukannya, niscaya
akan meyakini adanya hikmah Allah yang telah mengangkat orang yang sesuai dan
untuk menghadapi tugas yang sesuai pula. Siapa pun di antara kita hampir tidak
dapat membayangkan bahwa di kalangan sahabat ada orang yang lebih patut dari
Abu Bakar untuk menghentikan badai (kemurtadan) tersebut dan mengembalikannya
ke pangkuan Islam.
Kelima, mungkin ada yang mengira bahwa semata-mata wasiat (‘ahd)
dan penunjukan ganti (istikhlaf) dapat dinilai sebagai salah satu cara
pengukuhan imamah dan pemerintahan, dengan dalil tindakan Abu Bakar yang telah
mewasiatkan khalifah kepada Umar.
Dari sini, kita mengetahui, sebagaimana telah sebutkan terdahulu, bahwa khilafah Umar
berlangsung berdasarkan masyurah dhimniyah (syura tidak langsung/implisit) yang
termasuk ke dalam kesepakatan sahabat dalam menyetujui orang yang dipilih Abu
Bakar untuk mereka.
b.
Khalifah Umar
Ibn Khatab
1.
Latar belakang
pengangkatan Khalifah
Umar Ibn Al-Khaththab diangkat dan
dipilih oleh para pemuka masyarakat dan disetujui oleh jama’ah kaum muslimin.
Pada saat menderita sakit menjelang ajal tiba, Abu Bakar melihat situasi negara
masih labil dan pasukan yang sedang bertempur di medan perang tidak boleh
terpecah belah akibat perbedaan keinginan tentang siapa yang akan menjadi calon
penggantinya, ia memilih Umar Ibn Al-Khaththab. Pilihannya ini sudah dimintakan
pendapat dan persetujuan para pemuka masyarakat pada saat mereka menengok
dirinya sewaktu sakit.
Pengangkatan
itu, sebagai hasil penunjuk Abu Bakar sebelum wafat, meskipun itu harus
mendapatkan persetujuan dari para sahabat yang senior. Sebagai amirul mukminin
umar bin khattab berpidato menyatakan tekatnya akan memerintah dengan bersih,
jujur, adil, serta tidak melakukan nepotisme dalam masa pemerintahannya.[6]
Pada masa kepemimpinan Umar Ibn
Al-Khaththab, wilayah islam sudah meliputi jazirah Arabia, Palestina, Syria,
sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir. Karena perluasan daerah terjadi
dengan begitu cepat,
Umar Ibn Al-Khaththab segera
mengatur administrasi negara dengan mencontoh administrasi pemerintahan, dengan
diatur menjadi delapan wialayah propinsi : Mekah, Madinah, Syria, Jazirah,
Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen yang dipandang perlu
didirikan pada masanya mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan
pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga Yudikatif
dengan Eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, Jawatan kepolisian
dibentuk. Demikian juga jawatan pekerjaan umum, Umar Ibn Al-Khaththab juga
mendirikan Bait al-Mall. Dalam menyelesaikan permasalahan yang berkembang
dimayarakat Umar selalu berkomunikasi dengan orang-orang yang memang
dianggap mampu dibidangnya.[7]
2.
Kemajuan
peradaban islam masa umar ibn khatab:
- Politik/
pemerintahan
Sistem pemerintahannya adalah system
yang terkonsentrasi pada urusan khilafah, yaitu memeberi tafsiran kepada kita
tentang peristiws-peristiwa pada masa islam, bahkan pada masa dinasti umawiyah.[8]
- Militer
dan perluasan wilayah
Gerakan perluasan pengaruh islam itu dipimpin Khalid
bin Walid. Pada masa Umarlah kemenangan di persembahkan dengan memduduki Damaskus pada tahun 641 M. Dari Damaskus itulah operasi-operasi
berikutnya di lancarkan ke Armenia, yang kelak menjadi kawasan Turki Usmani,
Mesopotamia bahagian Utara, Georgia, dan Adzebajan. Kedua daerah terakhir ini
berada di kawasan bekas Rusia. Dari sanalah kemudian Persia segera dapat
ditembus dan ditakhlukkan tahun 642 M.
Tahun 637 M Persia dapat ditaklukkan. Alam
sepertinya membantu penaklukan itu, berupa bertiupnya angin topan padang pasir
yang amat ganas yang menerpa dataran rendah disekitar sungai Tigris. Angin itu
membantu membantu mengusir pasukan Sasanid dari kawasan Irak. Orak Irak
betulbetul merasa senang dengan kehadiran bangsa Arab Islam yang telah mengusir
pasukan sasanaid dari Persia yang telah lama di duduki Irak.[9]
- Sosial
kemasyarakatan
Masyarakat
arab saat itu terwakili oleh suku (kabilah), Karena masyarakat ini terdiri dari
beberapa kabilah. Dan memmang tatan bangsa Arab pada dasarnya dibangun diatas
kabilah. Kondisi suku-suku (kabilah) sebelum islam menjadi kunci pembuka periode-periode
berikutnya. Kabilah itu dibagi menjadi tiga bagian:
a)
Ada beberapa
suku-suku yang tergolong dalam deretan peradaban yang terkemuka pada zamannya,
sehingga sampai pada taraf mendirikan kerajaan setelah sebelumnya berhasil
membangun perkotaan.
b)
Suku yang
menempati daerah terdepan (Hadhar), suku itu berada diperkotaan, meskipun bukan
suatu keharusan kota yang dimaksud semaju kota yang lalu.
c)
Suku yang
warganya masih badawi dan mereka merupakan suku yang berpidah-pindah, tinggal
diperkemahan dan tidak mapan selama-lamanya.[10]
- Pemahaman
dan pembaharuan pemikiran bidang agama
Diantara perkembangan yang ada pada
masa Khalifah Umar adalah :
· Pemberlakuan Ijtihad
· Menghapuskan zakat bagi para muallaf
· Mengahpuskan hukum mut’ah
· Lahirnya ilmu Qira’at
· Penyebaran Ilmu Hadits
· Menempa mata uang dan
· menciptakan tahun Hijriah
3. Akhir
pemerintahan umar: terbunuhnya umar dan penunjukan Majelis Syura
Umar memerintah selama sepuluh tahun (13-23
H/634-644 M) masa jabatannya berakhir dengan kematian. Di dibunuh oleh seorang
budak dari Persia bernama Abu Lu’lu’ah. Untuk menentukan penggantinya, umar
tidak menempuh jalan yang dilakukan Abu Bakar. Dia menunjuk enam orang sahabat
dan meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang diantaranya menjadi
khalifah.[11] Enam
tersebut adalah Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa’ad ibn Waqqas dan Abdurrahman
Ibn ‘Auf. Setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Usman
sebagai khalifah, melalui persaingan yang sangat ketat dengan Ali bin Abi
Thalib.[12]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Abu Bakar Shidik
Abu Bakar Shidik adalah khaifah pertama yang menjadi amirul
mukminin pasca wafatnya Rasulullah SAW,
pada saat itu umat islam kehilangan figur kepemimpinan Rasulullah, beliau
diangkat karena kedekatan beliau dengan Rasulullah SAW, sebagai symbol
pengangkatannya pegangganti Nabi, beliau ditunjuk Nabi menjadi Imam Shalat
ketika Nabi sakit. Dia adalah penggagas dan pelopor berbagai kemenangan dalam
penyiaran agama Islam keseluruh penjuru kawasan disekitar dunia Arab. Banya
jasa-jasa yang ditingglkannya salah satu
yang menonjol adalah tentang pengumpulan ayat-ayat al-Qur’an.
2.
Khalifah Umar
Ibn Khatab
Khalifah Umar Ibn Khatab khalifah yang
mengganti Abu Bakar Shididiq setelah beliau wafat, dan melanjutkan
perjuangannya yang belum selesai khususnya mengenai perluasan penyiaran agama
Islam keberbagai Negara. Banyak kemajuan-kemajuan yang dialaminya sepertia yang
dijelaskan sebelumnya sehingga beliau di juluki sebagai pelaksana dari
cita-cita perluasan daerah pengaruh islam. Bukan hanya itu, Umar juga berhasil
dalam mengatur atau mengorganisasi hasil kemenangan itu.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Siti
Maryam, dkk (Ed.), Sejarah Peradaban Islam dari masa klasik hingga
masa modern, Yogyakarta: LESFI, 2004,
Yatim,
Badri. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
H.
Munawir Sjadzali, M.A., Islam dan Tata Negara ajaran, sejarah dan pemikiran,
Jakarta: UI-Press, 1993,
Abu Su’ud, Islamologi Sejarah,
Ajaran, dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia, Rineka Cipta: 2003,
Al’isy, Yusuf, , Dinasti
Umawiyah, Pustaka al-Kautsar: 2007
A. Syalabi, Sejarah dan
Kebudayaan Islam, Jilid I, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1987, cet.v
[1] Yatim,
Badri. 2006. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada. Hal.
[4] Badri Yatim, Op.Cit, hal. 36
[5] H. Munawir
Sjadzali, M.A., Islam dan Tata Negara ajaran, sejarah dan pemikiran, Jakarta:
UI-Press, 1993, Hlm. 25
[6] Abu Su’ud, Islamologi Sejarah, Ajaran, dan
Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia, Rineka Cipta: 2003, hal. 57
[6]
Asghar Ali Engineer, Op. Cit, hlm. 77
[8] Yusuf
al-Isy, Op.Cit. hal.8
[9] Dr.
Abu Su’ud, Op.Cit, hal. 58
[10] Yusuf Al’isy, Dinasti Umawiyah, Pustaka
al-Kautsar: 2007, hal. 15-16
[11] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid I,
(Jakarta: Pustaka al-Husna, 1987, cet.v), hal. 263
Tidak ada komentar:
Posting Komentar