Senin, 15 Februari 2016

AL-GHAZALI DAN CORAK TASAWUFNYA

BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai makluk religius (beragama), manusia memiliki kecenderungan untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya sedekat mungkin. Oleh karena itu, manusia selalu mencari dan terus mencari jalan untuk mewujudkan kecenderungan itu. Dalam sejarah Islam, mulai dikenal salah satu jalan mendekatkan diri kepada Tuhan yang disebut dengan tasawuf.
Umat Islam mulai akrab dengan tasawuf setelah adanya upaya pembinaan aqidah, syari’ah dan akhlak, hingga pada akhirnya menjadi penyeimbang kehidupan manusia, disamping harus memenuhi kebutuhan jasamani juga sekaligus kebutuhan batin.[1] Dalam tataran ini tasawuf tidak lagi dipahami sebagai ritualitas rutin yang bersifat lahiriah, akan tetapi lebih dari itu seorang penganut tasawuf (sufi) harus hidup membaur dalam kehidupan interaksi social.
Sejalan dengan pergeseran makna tasawuf di atas, para cendikiawan muslim banyak mencoba mengatualisasikan ajaran tasawuf dengan mengkonsiliasikan ajaran tasawuf dengan syari’at. Salah seorang tokoh cendikiawan muslim berhasil menyusun dan mengkompromikan antara syari’at dengan tasawuf menjadi konstruksi baru yang sangat memuaskan kalangan syar’i dan kalangan sufi adalah imam al- Ghazali. Beliau mampu meningkatkan tasawuf dengan dalil-dalil wahyu baik yang terdapat dalam al- Qur’an maupun hadis Nabi SAW.[2]
Sebagai seorang ulama ahli dalam bidang syari’at dan penganut mazhab Syafi’i dalam hokum fiqh, al- Ghazali juga termasuk pendukung mazhab Asy’ari yang amat kritis, akan tetapi setelah lanjut usia beliau meragukan dalil akal yang menjadi tiang tegaknya mazhab Asy’ariyah di samping dalil wahyu. Oleh karena itu al-Ghazali beralih kepada filsafat, tetapi kemudian filsafat dikritik dan ditinggalkannya lalu ia pun mendalami ilmu kalam. Akhirnya proses pencarian pemahaman al-Ghazali berhenti dan mendapatkan kepuasan dalam penghayatan kejiwaan sufisme.[3]
Di samping kemasyhurannya, al- Ghazali juga dianggap sebagai penyebab kemunduran rasionalisme yang merupakan penyebab kemunduran Islam. Karena al-Ghazali pernah menyerang pemikiran para filosof muslim tentang persoalan metafisika sebagai pemikiran yang tersesat bahkan sampai mengklaim mereka kafir.[4] Terlepas dari semua itu, dalam perjalanan sejarah Islam dan kehidupan muslim, al- Ghazali sedemikian berjasa kepada Islam dan umat islam, karena berhasil menciptakan keseimbangan keagamaan yang tiada taranya. Bahkan Philip K Hitti (seorang orientis) menempatkan al-Ghazali pada urutan kedua setelah Rasulullah SAW dalam bidang pemikiran dan peletakan dasar-dasar ajaran Islam. Begitu juga Dr.Zwemmer (seorang ahlli penyelidik protestan) mempunyai kesan bahwa sesudah Nabi Muhammad SAW datanglah dua orang besar untuk menyempurnakan Islam yaitu Imam Bukhari yang mengumpulkan hadis Rasulullah SAW dan Imam al-Ghazali yang menguraikan pahamnya.[5]
Demikian besar jasa dan peranan al-Ghazali dalam mensyiarkan Islam menjadikan dirinya patut mendapatkan apresiasi dari seluruh umat Islam. Banyak ahli yang mencoba menggali konsep dan pemikirannya dalam berbagai aspek dan sudut pandang. Oleh karena itu pula makalah ini berupaya melihat satu aspek dari kehidupan ritualitas al-Ghazali yakni pada aspek tasawuf dan bagaimana pula pengaruh tasawufnya tersebut dalam Islam.

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Sejarah Ringkas Kehidupan al-Ghazali
Al-Ghazali memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali.[6] Ia lahir tahun 450 H/1058 M di Thus (suatu kota kecil di Khurasan-Persia-Iran).[7] Nama al-Ghazali kadang –kadang diucapkan al-Ghazzali (double Z), kata ini berasal dari gazzal yang berarti tukang pintal benang wol yang menjadi pekerjaan orang tuanya sehari-hari untuk menafkahi keluarganya. Sedangkan al-Ghazali (tidak dengan double Z) diambil dari kata ghazalah yang merupakan nama kampong kelahiran al-Ghazali. Sebutan terakhir inilah yang banyak dipakai karena ia merupakan keturunan asli Persia.[8]
Al-Ghazali dilahirkan dari orang tua yang terkenal sangat hati-hati dalam kehidupan, mereka hanya mau makan dari usaha tenunnya sendiri dan senantiasa cinta terhadap berbagai macam ilmu terutama ilmu-ilmu tasawuf serta selalu berdoa agar anaknya (al-Ghazali) kelak menjadi ulama. Namum, orang tua al-Ghazali tidak dapat menyaksikan keberhasilan anaknya sebagaimana do’a orang tua al-Ghazali karena meninggal dunia. Sebelum meninggal dunia, orang tua al-Ghazali sempat menitipkan al-Ghazali dan saudaranya Ahmad kepada sahabatnya (seorang sufi) agar dapat mendidik dan membimbing dengan baik. Menurut Abdul Karim Usman,[9] diperkirakan al-Ghazali belajar di sini sampai berusia 15 tahun.
Akan tetapi keadaan ini tidak bertahan lama, sebab harta warisan yang ditinggalkan oleh orang tua al-Ghazali untuk bekal hisupnya beserta adiknya telah habis, sementara yang merawatnya juga menjalani kehidupan secara sufistik yang sangat sederhana tidak mampu mampu memberi tambahan nafkah. Akhirnya al-Ghazali dan adiknya diserahkan ke suatu madrasah yang menyediakan biaya hidup bagi para muridnya. Di Madrasah inilah al-Ghazali bertemu dengan Yusuf al-Nasaj, seorang guru sufi kenamaan pada masa itu. Di sinilah titik awal perkembangan intelektual dan spiritual al-Ghazali yang kelak membawanya menjadi seorang ulama yang sangat berpengaruh dalam perkembangan pemikiran Islam.
Sepeninggalan gurunya, al-Ghazali belajar Thus kepada seorang ulama yang bernama Ahmad Ibn Muhammad al-Razakany al-Thusi. Selanjutnya al-Ghazali belajar pula dengan Abu Nashr al-Islami di Jurjan dan akhirnya ia masuk ke Madrasah Nizhamiah di Naisabur yang dipimpin oleh al-Juwaini Iman al-Harramain (iman dua kota Haram yaitu Mekkah dan Madinah).[10] Di Madrasah ini ia belajar ilmu kalam,hokum Islam, filsafat, dan sufisme.[11]
Karena kecerdasannya, dalam waktu yang relative singkat al-Ghazali dapat menguasai ilmu yang diajarkan kepadanya. Bahkan ia dapat menampilkan karya perdananya dalam bidang ilmu fiqh yaitu Madkhaf fi’Ilmi al-Ushul. Selain itu, di Madrasah ini pula al-Ghazali belajar teori dan praktek tasawuf kepada Abu Ali al-Fadhal Ibn Muhammad Ibn al-Farmadhi (477 H). Dengan demikian, semakin lengkaplah ilmu yang diterimanya selama berada di Naisabur.
Pendid Zainuddin. Dkk, Seluk BEluk Pendidikan dari al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), cet ke -2, h. 19
ikan al-Ghazali secara formal tampaknya berakhir sejak al-Farmadhi wafat, karena dalam sejarahnya al-Ghazali tidak tampak lagi berguru kepada siapapun kecuali secara autodidak.[12] Hal ini berarti bahwa al-Farmandhi adalah guru terakhir al-Ghazali dalam pengembaraannya menuntut ilmu.
Pembinaan keilmuan al-Ghazali dilanjutkan dengan pengabdian menjadi dosen di sebuah Nizhamiah itu pada usia 25 tahun. Setelah gurunya al-Juwaini wafat (478 H), al-Ghazali pindah ke Mu’askar dan berhubungan baik dengan Nizham al-Mulk (Perdana Mentri Sultan Bani Saljuk) yang kemudian mengangkat al-Ghazali sebagai guru besar di Madrasah Nizhamiah Bagdhad. Pengangkatannya ini juga didasarkan atas reputasi ilmiahnya yang begitu hebat.
Di Baghdad, nama al-Ghazali semakin popular, halaqah pengajiannya semakin luas. Di kota ini pula ia berpolemik dengan golongan Bathiniyah Islamiyah dan kaum filosof. Pada periode ini al-Ghazali menderita krisis rohani sebagai akibat kesangsiannya-oleh orang Barat diistilahkan dengan sikap skepticisme –yaitu krisis menyangsikan semua ma’rifah (pengetahuan) baik yang berupa empiris maupun rasional. Akibat dari krisis ini, al-Ghazali menderita sakit selama enam bulan dan terpaksa menanggalkan semua jabatan yang disandangnya seperti Rektor dan Guru Besar di Baghdad. Lalu al-Ghazali mengembara ke Dasmakus dan Mesjid Jami’ Damaskus ia mengisolasi diri (‘uzlah) untuk beribadah, kontemplasi dan sufistik yang berlansung selama dua tahun.
Pada tahun 490 H/1098 M, al-Ghazali menuju Palestina dan berdo’a di samping makam Nabi Ibrahim a.s. setelah itu ia berangkat ke Mekah dan Madinah untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam Rasulullah SAW. Kemudian al-Ghazali kembali memimpin Nizhamiah di Baghdad atas desakan Perdana Menteri Fakhri al-Mulk (anak Nizam al-Mulk). Setelah Perdana Mentri tersebut mati terbunuh, al-Ghazali kembali ke Thus tempat kelahirannya dan membangun sebuah madrasah Khanqah (semacam tempat praktek suluk) untuk mengajar tasawuf. Usaha ini dilakukan al-Ghazali sampai ia wafat pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H/18 Desember 1111 M (dalam usia 55 tahun). Jasadnya dikebumikan di sebelah timur benteng dekat Thabaran berdekatan dengan makam al-Firdausy (penyair terkenal).[13]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kehidupan al-Ghazali bagaikan lingkaran besar yang berakhir pada titik di mana ia memulai. Ia dilahirkan dalam kehidupan sufi di Thus dan kembali ke Thus dengan kehidupan sufi. Begitu juga dengan aktifitas ilmiahnya.

B.       Karya – karya Monumental al-Ghazali
Al-Ghazali merupakan pemikir Islam yang telah menghasilkan berbagai karya di berbagai lapangan ilmu pengetahuan antara lain; filsafat, ilmu kalam, fikih,tafsir,tafsir, akhlak, dan otobiografinya. Di antara karya al-Ghazali dimaksud adalah:[14]
a.    Ihya’Ulum al Din, yang berisikan kumpulan pokok-pokok agama dan akidah, 
      ibadah, akhlak dan kaidah-kaidah suluk.
b.    Al- Iqtishad fi I’tiqad, diuraikan di dalamnya mengenai akidah menurut aliran Asy’ari.
c.    Maqashid al-Falasifat, berisikan kritikan terhadap filosof.
d.   Tahafut al-Falasifat, berisikan kritikan terhadap filosof.
e.    Al-Munqiz min al-Dhalal, yang
f.     Al – Munqiz min al-Dhalal, yang memaparkan seperangkat ilmu yang mewarnai zamannya dan berbagai aliran penting,yang dikaji secara kritis dan dijelaskan kelebihan dan kesalahan-kesalahannya.

Mengenai Tahafut al-Fisafat, munculnya anggapan bahwa al-Ghazali adalah penyebab kemandegan filsafat dalam dunia Islam di Timur, hal ini disanggah oleh beberapa ahli piker, di antaranya Harun Nasution. Menurutnya kemacetan pada filsafat waktu itu sudah merupakan fenomena sosiologis yang sangat kompleks. Ia juga menyanggah pendapat pada mengklaim akal dapat mengetahui seluruh kebenaran terutama metafisika. Penyebab kemunduran filsafat terletak pada ajaran tasawuf yang hanya mengandalkan daya rasa yang berpusat di Kabul dan meninggalkan daya nalar yang berpusat pada akal dapat mengetahui seluruh kebenaran terutama metafisika. Penyebab kemunduran filsafat terletak pada ajaran tasawuf yang hanya mengandalkan daya rasa yang berpusat di kalbu dan meninggalkan daya nalar yang berpusat pada akal sebagaimana aliran al-Asy’ari yang memberikan kedudukan lemah pada akal. Sementara dalam dunia Syi’ah, filsafat berkembang dan tumbuh dengan baik.[15]

C.      CORAK TASAWUF AL-GHAZALI
     Pendidikan awal al- Ghazali sesungguhnya berawal dari keluarga yang sudah terbiasa dengan dunia sufistik, sehingga hal ini pula yang menjadi terminal terakhir bagi al-Ghazali setelah melalui proses pencarian ilmu dan pemahaman diri seorang al-Ghazali. Beralih al-Ghazali kepada tasawuf setelah pengambaran yang panjang bahkan dinilai para ahli sufisme al-Ghazali mendukung menjadi pengikut aliran sufistik yang sudah lama muncul dan berkembang sebelum al-Ghazali memasuki dunia itu. Karena tidak semua aliran sufisme yang dapat diterima oleh kalangan ulama waktu itu, bahkan mereka menilai tasawuf sebagai hal yang menyeleweng dari ajaran Islam. Seperti, kalangan ulama yang menolok aliran sufisme yang diajarkan oleh al-Bustami dan al-Hallaj yaitu al-Ittihadm (       ) dan al-hulul (         ). Ketegangan inilah sesungguhnya yang menjadikan timbulnya paham yang berbenturan antara para ahli syari’at dengan ahli sufi. Konsep-konsep seperti al-ittihad dan al-hulul dipandang oleh kelompok syari’at telah menyimpang dari frame akidah Islam.
Sejak saat itu, jurang pemisah antara syari’at dan tasawuf semakin jauh. Para sufi bukannya takut atau gentar, bahkan dalam prakteknya mereka semakin liar. Sampai di sini, ada kesan bahwa sufisme seperti agama tersendiri dalam islam.[16] Artinya, para sufi berjalan sendiri dan mengabaikan ajaran-ajaran Islam lainnya.
Pada situasi seperti ini, sejumlah ulama ahl al-Sunnah[17] berusaha menyelaraskan antara sufi dan ahli syari’at. Mereka mencoba menggairahkan kembali pola-pola kehidupan sufistik ahl al-Sunnah pada masa perintisannya. Namun usaha itu baru mencapai puncak keberhasilannya di tangan al-Ghazali.
Kehadiran al-Ghazali dalam tasawuf membawa angina segar bagi perkembangan tasawuf, karena perjalanan tasawuf yang macet selama hampir dua adab, akibat berbenturan dengan ahli syari’at menjadi lancer kembali berkat usaha al-Ghazali dalam menyelaraskan keduanya.
Al- Ghazali memandang al-ma’rifah sebagai tingkat yang maksimal untuk mendekatkan diri kepada Allah. Konsep ma’rifah al –Ghazali tidak jauh berbeda dengan konsep ma’rifah  para sufi sebelumnya, yakni pengenalan lansung terhadap Allah melalui pandangan batin (musyahadah) di mana intinya adalah tauhid.[18] Namun ia membatasi ma’rifah ini dengan istilah al-qurb (penghayatan teramat dekat dengan Tuhan).
Dalam dunia tasawuf, sesungguhnya konsep al-ma’rifah sudah diperkenalkan oleh Zunnun al-Mishri (w. 860 M). menurut Zunnun, ada tiga macam pengetahuan tentang Tuhan, yaitu:[19]
a.    Pengetahuan Tuhan satu dengan perantaraan ucapan syahadah
b.    Pengetahuan ulama, Tuuhan satu menurut logika akal
c.    Pengetahuan sufi Tuhan dengan perantaraan hati sanubari
Pengetahuan tingkat pertama dan kedua belum merupakan pengetahuan yang hakiki tentang Tuhan. Keduanya disebut ‘ilmu (     ) bukan ma’rifah. Pengetahuan ketigalah yang merupakan pengetahuan hakiki tentang Tuhan yang dikenal dengan al-ma’rifah. Ma’rifah ini hanya terdapat dalam diri seorang sufi yang sanggup melihat Tuhan dengan hati sanubarinya. Akan tetapi untuk mencapai tingkat ma’rifah ini sangat tergantung dengan izin Allah karena al-ma’rifah bukanlah merupakan hasil pemikiran manusia namun rahmat dan kehendak Allah. Sebagaimana jawaban Zunnun ketika ditanyakan bagaimana memperoleh ma’rifah dari Tuhan, ia berkata “aku mengetahui dengan Tuhan dan sekiranya tidak dengan Tuhan, aku tidak akan tahu Tuhan”.
Menurut al-Qusyairy, ada tiga alat dalam tubuh manusia yang dipergunakan sufi dalam menjalin hubungan dengan Tuhan. Qa’b (      ) untuk mengetahui sifat Tuhan, ruh (         )untuk mencintai Tuhan, dan sirr (    ) untuk melihat Tuhan. Sirr lebih halus dari ruh dan ruh lebih halus dari qalb.
Qalb tidak sama dengan jantung atau heart (dalam bahasa Inggris) karena qalb selain alat untuk merasa, juga alat untuk berpikir. Perbedaan qalb dengan akal (    ) ialah bahwa akal tidak dapat memperoleh pengetahuan sessungguhnya tentang Tuhan, sedangkan qalb dapat mengetahui hakekat dari segala sesuatu yang ada dan jika dilimpahi cahaya Tuhan, maka qalb dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan. Sirr bertempat dalam ruh dan ruh bertampat dalam qalb.
Sirr timbul dan dapat menerima illuminasi dari Allah, kalau qalb dan ruh telah suci sesuci-sucinya dan kosong sekosong-kosongnya tidak berisi apupun, diwaktu itulah Tuhan menurunkan cahaya –Nya kepada seorang sufi dan yang dilihat sufi hanyalah Allah. Pada tingkat ini, sampailah sufi tersebut dalam ma’rifah dan untuk  memperoleh ma’rifah harus menempuh proses yang berkesinambungan. Makin banyak seorang sufi memperoleh ma’rifah dari Tuhan, makin banyak pengetahuannya tentang rahasia-rahasia Tuhan dan makin dekat dengan Allah.
D.      PENGARUH TASAWUF AL-GHAZALI DALAM ISLAM
Berdasarkan susunan ihya’ulum al-Bin  tergambar pokok pikiran al-Ghazali mengenai hubungan syari-at dan hakekat atau tasawuf. Yakni sebelum mempelajari dan mengamalkan tasawuf, seorang harus mendalami ilmu syari’at dan akidah terlebih dahulu.selain itu, dia juga harus konsekwen menjalankan syari’at secara tekun dan sempurna. Karena dalam syari’at seperti shalat, puasa, dan lainya, dalam Ihya’ diterangkan tingkatan, cara menjalankan shalat, puasa, dan sebagainya. Sebagai umumnya para penganut tasawuf, dalam Ihya’ dibedakan tingkat orang shalat antara orang awam, orang khawas, dan yang lebih khusus lagi. Demikian juga puasa, dan sebagainya. Sesudah menjalankan syari’at dengan tertib dan penuh pengertian, baru dimulai mempelajari tarekat. Yaitu tentang mawas diri, pengendalian nafsu-nafsu dan kemudian laku wiridan dalam menjalankan zikir, hingga akhirnya berhasil mencapai ilmu kasyf atau penghayatan ma’rifat.
Untuk mempertahankan nilai-nilai luhur agama dan spiritual – mistik ini, seseorang harus awas dari godaan nafsu dan penyakit –penyakit yang sering menyerang dan mengotori hati, yang berkaitan dengan pancaindra dan anggota badan, serta bagaimana mengatasinya. Jadi sebagai bangunan untuk jadi sarana penyelarasan hubungan syariat dan tasawuf, Ihya’ulum al-Din merupakan karya menumental yang cukup lengkap dan teliti serta sistimatis.[20]
Jadi wajar ketika al-Ghazali , baik karena pengaruhnya sebagai ahl al-sunnah yang terpercaya, pemikkir sufisme yang brilian, dan juga karyanya yang agung (Ihya’ulum al-Din), tasawuf akhirnya mendapat tempat di hati ahl al-syari’at dan diterima sebagai bagian dari system agama ilmu keislaman yang amat dibanggakan umat islam umumnya. Bahkan tasawuf kemudian menyebar dan merakayatkan hingga kepelosok-pelosok Islam, terutama pada masa kemunduran pemikiran Islam selama berabad-abad, sejak abad ke-13 hingga dewasa ini.
Kecuali Negara Saudi Arabia di mana pengaruh tasawuf disapu bersih oleh ajaran Salafiah Wahabiah yang amat ketat mengamalkan kemurnian syari’at, taswuf masih tetap mewarnai masyarakat di negeri-negeri Islam. Hal ini bias terjadi karena cita kebangkitan dan modernisasi Islam masih belum cukup efektif mengubah pikiran umat Islam. Bahkan yang dikatakan kebangkitan Islam itu pun baru semangatnya yang over menyala-nyala. Karena selama kebangkitan itu belum merambah pada kebangkitan penalaran ilmiah, belum mencakup efektif dan berarti. Tampa kebangkitan penalaran dan penguasaan cara berfikir ilmiah, umat Islam tentu akan ketinggalan laju perkembangan peradaban dunia.
Dengan demikian sistim pemikiran al-Ghazali merupakan upayauntuk membatasi penghayatan mistik dengan penghayatan qur’bah (amat dekat pada Dzat Tuhan). Oleh karena itu dalam “Munqida min al-Dhalal” al-Ghazali menyusun Ihya’ulum al-Din  sebagai suatu system ajaran tasawuf yang dipandang ideal, yang menjalin keselarasan antara syari’at, dan sebaliknya ikatan syari’at untuk meluruskan pengalaman tasawuf agar konstruktif dan tidak menjerumuskan dan meracuni alam pikiran manusia ke dalam bid’ah-bid’ah serta khayal Tuhan.
Upaya yang dilakukan al-Ghazali ini memang tidak sia-sia. System tasawuf Ihya’ulum al-Din akhirnya berhasil merebut hati mayoritas penganut tasawuf. Pengaruh system ghazaliyah ini ternyata menentukan arah perkembangan pengalaman ajaran tasawuf di seantero alam Islami. Namun demikian paham union-mistik ternyata tidak dapat dimatikan. Walaupun pengaruhnya bias disudutkan oleh kebesaran pengaruh al-Ghazali sebagai Hujjatul Islam, namun paham Union-mistik[21] tetap bertahan, walau kemudian hanya diikuti oleh minoritas masyarakat sufi dan selalu mendapat kecaman keras dari paham ortodoks. Sedangkan penganutnya adalah tokoh-tokoh ulama cukup berpengaruh besar. Bahkan sesudah masa al-Ghazali ajaran union-mistik mengambil bentuk paling puncak dalam pemikiran Ibn Arabi (1165-1240 M)
Para pemerhati tasawuf serta umat Islam pada umumnya menilai keberhasilan al-Ghazali sebagai reputasi yang harus mendapatkan pujian. Karena kepiawainannya di dalam menempatkan tasawuf kembali berada di dalam pengakuan Islam. Hanya saja sekian banyak sanjungan tersebut tidaklah membuat pujiannya terhadap al-Ghazali terlena. Malah umat Islam sendirilah yang terlena dan terlupa dengan pujiannya terhadap al-Ghazali. Mereka melihat pemikiran tasawuf al-Ghazali suatu pemikiran keagamaan final dan tidak menanggapinya sebagai hasil pemikiran terhadap zaman yang akan senantiasa salah dan berubah serta berhak untuk dikritik.[22]
BAB III
PENUTUP

A.      KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain:
1.    Sebagai seorang tokoh tasawuf dan ulama ahli dalam bidang syari’at, al- Ghazali mencoba mengikat tasawuf dengan dalil –dalil wahyu baik ang terdapat dalam Al-Qur’an maupun hadis Nabi SAW sehingga berhasil menciptakan keseimbangan keagamaan yang lebih proposional.
2.    Konsep tasawuf al- Ghazali yang cukup popular adalah ma’rifah, yaitu tingkatan paling tinggi para sufi dalam usaha mendekatkan diri kepada Allah SWT sedekat mungkin. Untuk mencapai tingkat ma’rifah ini sangat tergantung dengan izin Allah karena al-ma’rifah bukanlah merupakan hasil pemikiran manusia namun rahmat dan kehendak Allah.
3.     Adanyaa upaya mengkompromikan antara tasawuf dan syari’at oleh al-Ghazali yang selama ini saling berbenturan, ternyata mendapat tempat di kalangan ahli syariat dan menjadikan tasawuf sebagai wadah mengaplikasikan syariat itu sendiri dengan benar sebagai akibat adanya hubungan timbale balik antara tasawuf dan syari’at itu sendiri. Pengaruh sistim ghazaliyah ini menentukan arah perkembangan pengalaman ajaran tasawuf di seantero alam islami.




[1] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek.Jilid I,(Jakarta:UI Press,1985), h.46
            [2] Simuh, Tasawuh dan perkembangannya dalam Islam, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1996), cet. ke -1, h. 159
[3] Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Paramadina,1997), h. 197
[4] Nurcholis Madjid, Islam Kemoderanan dan KeIndonesiaan, (Jakarta :Mizan,1988),  cet. Ke-2, h.283
[5] Ibid, h .286
[6] Abdul Halim Mahmud, Qadhiyah al-Tasawuf al-Munqidz min al-Dhalal, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1985), h. 296
[7] Muhammad Jalal Syarif dan Ali Abdul Muth’I Muhammad, al-Fikr al-Siyasi fi al- Islam, (Kairo: Dar a-Jum’at, 1978), h. 361
[8] Yusuf al-Qardawi, al- Iman al-Ghazali Baina Madihiyah wa Naqidiyah, (Mesir: Dar al-Wiffa, 1992) h. 19. Lihat juga Harun Nasution, op.cit. h. 85. Lihat juga Departemen Agama RI, Ensiklopedia Islam, (Jakarta:PT. Ichtiar Baru Van  Hoeve, 1994), h. 25
[9] Abdul Karim Usman, Sirah al –Ghazali, (Damaskus: Dar al-Fikr, t, th), h. 17
[10] Imam ini sangat mahir dalam ilmu kalam terutama paham a—asy’ari bahkan ia merupakan pengikut setia aliran ini. Si sampong ilmu kalam, imam ini juga pengikut mazhab syafi’i dan di sinilah berawalnya Al-Ghazali memperoleh ilmu kalam, ilmu mantiq (logika) dan ilmu fiqh
[11] Harun nasution, Filsafat dan Mistsisme dalam Islam , (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h.41
[12] Yahya Jaya, Spritualisai Islam dalam menumbuh kembangkan kepribadsian dan kesehatan mental, (Jakarta, 1991), h.21 
[13] Zainuddin. Dkk, Seluk Beluk Pendidikan dari al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), cet ke -2, h. 19
[14] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), cet ke -6, h.
[15] Harun Nasution, op.cit, h. 46
[16] M. Zurkani Jahja, Teologi Ghazali, Pendekatan Metodologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h.51
[17] Minimal ada 6 tokoh yang berusaha menyajikan sufisme dengan corak Sunni, yaitu: Abu Nashr al-Surrah al-Thusi (w. 379 H) dengan karyanyaa al-Luma”:Abu Thalib al – Makki (w. 386 H) dengan karyanya Quth al-Qulub; Abu Bakar Ishaq (w.380 H) dengan karyanya al-Ta’aruf li Madzhab al-Tasawuf; Abu Abd  al-Rahman al-Sulami (w.412 H) dengan karyanya dengan karyanya Thabaqat al-Sufiyyah; Abu al Qasim al Qusyairi (w. 465 H) dengan karyanya al-Risilah; dan Al-Hujwiri dengan karyanya Kasyf al-Mahjub. Lihat Abdul Aziz Dahlan, Tasawuf Sumi dan Tasawuf Falsafi, Tinjauan Filosofis, dalam Jurnal Umum Quran No. 8 Vol. II, 1991, h. 27.
[18] Chatib Quzwaun, Al-Ghazali dan Tasawuf, (Kumpulan makalah Simposium tentang al-Ghazali), h. 15
[19] Ibid, h. 76
[20] Simuh, op.cit, h. 160
[21] Seperti paham hulul, ittihad, wushul yang didasarkan atas khayal
[22] Amin Abdullah, Studi Agama, Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1996), h. 267

Tidak ada komentar:

Posting Komentar