PENDAHULUAN
Sebagai makluk religius (beragama), manusia memiliki kecenderungan
untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya sedekat mungkin. Oleh karena itu,
manusia selalu mencari dan terus mencari jalan untuk mewujudkan kecenderungan
itu. Dalam sejarah Islam, mulai dikenal salah satu jalan mendekatkan diri
kepada Tuhan yang disebut dengan tasawuf.
Umat Islam mulai akrab dengan tasawuf setelah adanya upaya pembinaan
aqidah, syari’ah dan akhlak, hingga pada akhirnya menjadi penyeimbang kehidupan
manusia, disamping harus memenuhi kebutuhan jasamani juga sekaligus kebutuhan
batin.[1]
Dalam tataran ini tasawuf tidak lagi dipahami sebagai ritualitas rutin yang
bersifat lahiriah, akan tetapi lebih dari itu seorang penganut tasawuf (sufi)
harus hidup membaur dalam kehidupan interaksi social.
Sejalan dengan pergeseran makna tasawuf di atas, para cendikiawan muslim
banyak mencoba mengatualisasikan ajaran tasawuf dengan mengkonsiliasikan ajaran
tasawuf dengan syari’at. Salah seorang tokoh cendikiawan muslim berhasil
menyusun dan mengkompromikan antara syari’at dengan tasawuf menjadi konstruksi
baru yang sangat memuaskan kalangan syar’i
dan kalangan sufi adalah imam al- Ghazali. Beliau mampu meningkatkan
tasawuf dengan dalil-dalil wahyu baik yang terdapat dalam al- Qur’an maupun
hadis Nabi SAW.[2]
Sebagai seorang ulama ahli dalam bidang syari’at dan penganut mazhab
Syafi’i dalam hokum fiqh, al- Ghazali juga termasuk pendukung mazhab Asy’ari
yang amat kritis, akan tetapi setelah lanjut usia beliau meragukan dalil akal
yang menjadi tiang tegaknya mazhab Asy’ariyah di samping dalil wahyu. Oleh
karena itu al-Ghazali beralih kepada filsafat, tetapi kemudian filsafat
dikritik dan ditinggalkannya lalu ia pun mendalami ilmu kalam. Akhirnya proses
pencarian pemahaman al-Ghazali berhenti dan mendapatkan kepuasan dalam penghayatan
kejiwaan sufisme.[3]
Di samping kemasyhurannya, al- Ghazali juga dianggap sebagai penyebab
kemunduran rasionalisme yang merupakan penyebab kemunduran Islam. Karena
al-Ghazali pernah menyerang pemikiran para filosof muslim tentang persoalan
metafisika sebagai pemikiran yang tersesat bahkan sampai mengklaim mereka
kafir.[4]
Terlepas dari semua itu, dalam perjalanan sejarah Islam dan kehidupan muslim,
al- Ghazali sedemikian berjasa kepada Islam dan umat islam, karena berhasil
menciptakan keseimbangan keagamaan yang tiada taranya. Bahkan Philip K Hitti
(seorang orientis) menempatkan al-Ghazali pada urutan kedua setelah Rasulullah
SAW dalam bidang pemikiran dan peletakan dasar-dasar ajaran Islam. Begitu juga
Dr.Zwemmer (seorang ahlli penyelidik protestan) mempunyai kesan bahwa sesudah
Nabi Muhammad SAW datanglah dua orang besar untuk menyempurnakan Islam yaitu
Imam Bukhari yang mengumpulkan hadis Rasulullah SAW dan Imam al-Ghazali yang
menguraikan pahamnya.[5]
Demikian besar jasa dan peranan al-Ghazali dalam mensyiarkan Islam
menjadikan dirinya patut mendapatkan apresiasi dari seluruh umat Islam. Banyak
ahli yang mencoba menggali konsep dan pemikirannya dalam berbagai aspek dan
sudut pandang. Oleh karena itu pula makalah ini berupaya melihat satu aspek
dari kehidupan ritualitas al-Ghazali yakni pada aspek tasawuf dan bagaimana
pula pengaruh tasawufnya tersebut dalam Islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Ringkas Kehidupan
al-Ghazali
Al-Ghazali memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad
bin Muhammad al-Ghazali.[6] Ia
lahir tahun 450 H/1058 M di Thus (suatu kota
kecil di Khurasan-Persia-Iran).[7]
Nama al-Ghazali kadang –kadang diucapkan al-Ghazzali (double Z), kata ini
berasal dari gazzal yang berarti
tukang pintal benang wol yang menjadi pekerjaan orang tuanya sehari-hari untuk
menafkahi keluarganya. Sedangkan al-Ghazali (tidak dengan double Z) diambil
dari kata ghazalah yang merupakan
nama kampong kelahiran al-Ghazali. Sebutan terakhir inilah yang banyak dipakai
karena ia merupakan keturunan asli Persia .[8]
Al-Ghazali dilahirkan dari orang tua yang terkenal
sangat hati-hati dalam kehidupan, mereka hanya mau makan dari usaha tenunnya
sendiri dan senantiasa cinta terhadap berbagai macam ilmu terutama ilmu-ilmu
tasawuf serta selalu berdoa agar anaknya (al-Ghazali) kelak menjadi ulama.
Namum, orang tua al-Ghazali tidak dapat menyaksikan keberhasilan anaknya
sebagaimana do’a orang tua al-Ghazali karena meninggal dunia. Sebelum meninggal
dunia, orang tua al-Ghazali sempat menitipkan al-Ghazali dan saudaranya Ahmad
kepada sahabatnya (seorang sufi) agar dapat mendidik dan membimbing dengan
baik. Menurut Abdul Karim Usman,[9]
diperkirakan al-Ghazali belajar di sini sampai berusia 15 tahun.
Akan tetapi keadaan ini tidak bertahan lama, sebab
harta warisan yang ditinggalkan oleh orang tua al-Ghazali untuk bekal hisupnya
beserta adiknya telah habis, sementara yang merawatnya juga menjalani kehidupan
secara sufistik yang sangat sederhana tidak mampu mampu memberi tambahan
nafkah. Akhirnya al-Ghazali dan adiknya diserahkan ke suatu madrasah yang
menyediakan biaya hidup bagi para muridnya. Di Madrasah inilah al-Ghazali
bertemu dengan Yusuf al-Nasaj, seorang guru sufi kenamaan pada masa itu. Di
sinilah titik awal perkembangan intelektual dan spiritual al-Ghazali yang kelak
membawanya menjadi seorang ulama yang sangat berpengaruh dalam perkembangan
pemikiran Islam.
Sepeninggalan gurunya, al-Ghazali belajar Thus kepada
seorang ulama yang bernama Ahmad Ibn Muhammad al-Razakany al-Thusi. Selanjutnya
al-Ghazali belajar pula dengan Abu Nashr al-Islami di Jurjan dan akhirnya ia
masuk ke Madrasah Nizhamiah di Naisabur yang dipimpin oleh al-Juwaini Iman
al-Harramain (iman dua kota
Haram yaitu Mekkah dan Madinah).[10]
Di Madrasah ini ia belajar ilmu kalam,hokum Islam, filsafat, dan sufisme.[11]
Karena kecerdasannya, dalam waktu yang relative
singkat al-Ghazali dapat menguasai ilmu yang diajarkan kepadanya. Bahkan ia
dapat menampilkan karya perdananya dalam bidang ilmu fiqh yaitu Madkhaf fi’Ilmi al-Ushul. Selain itu,
di Madrasah ini pula al-Ghazali belajar teori dan praktek tasawuf kepada Abu
Ali al-Fadhal Ibn Muhammad Ibn al-Farmadhi (477 H). Dengan demikian, semakin
lengkaplah ilmu yang diterimanya selama berada di Naisabur.
Pendid Zainuddin. Dkk,
Seluk BEluk Pendidikan dari al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), cet ke
-2, h. 19
ikan al-Ghazali secara formal tampaknya berakhir sejak
al-Farmadhi wafat, karena dalam sejarahnya al-Ghazali tidak tampak lagi berguru
kepada siapapun kecuali secara autodidak.[12]
Hal ini berarti bahwa al-Farmandhi adalah guru terakhir al-Ghazali dalam
pengembaraannya menuntut ilmu.
Pembinaan keilmuan al-Ghazali dilanjutkan dengan
pengabdian menjadi dosen di sebuah Nizhamiah itu pada usia 25 tahun. Setelah gurunya
al-Juwaini wafat (478 H), al-Ghazali pindah ke Mu’askar dan berhubungan baik
dengan Nizham al-Mulk (Perdana Mentri Sultan Bani Saljuk) yang kemudian
mengangkat al-Ghazali sebagai guru besar di Madrasah Nizhamiah Bagdhad.
Pengangkatannya ini juga didasarkan atas reputasi ilmiahnya yang begitu hebat.
Di Baghdad, nama al-Ghazali semakin popular, halaqah pengajiannya semakin luas. Di
kota ini pula ia berpolemik dengan golongan Bathiniyah Islamiyah dan kaum
filosof. Pada periode ini al-Ghazali menderita krisis rohani sebagai akibat
kesangsiannya-oleh orang Barat diistilahkan dengan sikap skepticisme –yaitu krisis menyangsikan semua ma’rifah (pengetahuan) baik yang berupa empiris maupun rasional.
Akibat dari krisis ini, al-Ghazali menderita sakit selama enam bulan dan
terpaksa menanggalkan semua jabatan yang disandangnya seperti Rektor dan Guru
Besar di Baghdad. Lalu al-Ghazali mengembara ke Dasmakus dan Mesjid Jami’
Damaskus ia mengisolasi diri (‘uzlah)
untuk beribadah, kontemplasi dan sufistik yang berlansung selama dua tahun.
Pada tahun 490 H/1098 M, al-Ghazali menuju Palestina
dan berdo’a di samping makam Nabi Ibrahim a.s. setelah itu ia berangkat ke
Mekah dan Madinah untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam
Rasulullah SAW. Kemudian al-Ghazali kembali memimpin Nizhamiah di Baghdad atas
desakan Perdana Menteri Fakhri al-Mulk (anak Nizam al-Mulk). Setelah Perdana
Mentri tersebut mati terbunuh, al-Ghazali kembali ke Thus tempat kelahirannya
dan membangun sebuah madrasah Khanqah
(semacam tempat praktek suluk) untuk mengajar tasawuf. Usaha ini dilakukan
al-Ghazali sampai ia wafat pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H/18 Desember 1111
M (dalam usia 55 tahun). Jasadnya dikebumikan di sebelah timur benteng dekat
Thabaran berdekatan dengan makam al-Firdausy (penyair terkenal).[13]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kehidupan
al-Ghazali bagaikan lingkaran besar yang berakhir pada titik di mana ia
memulai. Ia dilahirkan dalam kehidupan sufi di Thus dan kembali ke Thus dengan
kehidupan sufi. Begitu juga dengan aktifitas ilmiahnya.
B.
Karya – karya Monumental
al-Ghazali
Al-Ghazali merupakan pemikir Islam yang telah
menghasilkan berbagai karya di berbagai lapangan ilmu pengetahuan antara lain;
filsafat, ilmu kalam, fikih,tafsir,tafsir, akhlak, dan otobiografinya. Di
antara karya al-Ghazali dimaksud adalah:[14]
a.
Ihya’Ulum al Din, yang berisikan kumpulan pokok-pokok agama dan
akidah,
ibadah,
akhlak dan kaidah-kaidah suluk.
b.
Al- Iqtishad fi I’tiqad, diuraikan di dalamnya mengenai akidah
menurut aliran Asy’ari.
c.
Maqashid al-Falasifat, berisikan kritikan terhadap filosof.
d.
Tahafut al-Falasifat, berisikan
kritikan terhadap filosof.
e.
Al-Munqiz min al-Dhalal, yang
f.
Al – Munqiz min al-Dhalal, yang memaparkan seperangkat ilmu yang
mewarnai zamannya dan berbagai aliran penting,yang dikaji secara kritis dan
dijelaskan kelebihan dan kesalahan-kesalahannya.
Mengenai Tahafut al-Fisafat, munculnya anggapan bahwa
al-Ghazali adalah penyebab kemandegan filsafat dalam dunia Islam di Timur, hal
ini disanggah oleh beberapa ahli piker, di antaranya Harun Nasution. Menurutnya
kemacetan pada filsafat waktu itu sudah merupakan fenomena sosiologis yang
sangat kompleks. Ia juga menyanggah pendapat pada mengklaim akal dapat
mengetahui seluruh kebenaran terutama metafisika. Penyebab kemunduran filsafat
terletak pada ajaran tasawuf yang hanya mengandalkan daya rasa yang berpusat di
Kabul dan meninggalkan daya nalar yang berpusat pada akal dapat mengetahui
seluruh kebenaran terutama metafisika. Penyebab kemunduran filsafat terletak
pada ajaran tasawuf yang hanya mengandalkan daya rasa yang berpusat di kalbu
dan meninggalkan daya nalar yang berpusat pada akal sebagaimana aliran
al-Asy’ari yang memberikan kedudukan lemah pada akal. Sementara dalam dunia
Syi’ah, filsafat berkembang dan tumbuh dengan baik.[15]
C.
CORAK TASAWUF AL-GHAZALI
Pendidikan
awal al- Ghazali sesungguhnya berawal dari keluarga yang sudah terbiasa dengan
dunia sufistik, sehingga hal ini pula yang menjadi terminal terakhir bagi
al-Ghazali setelah melalui proses pencarian ilmu dan pemahaman diri seorang
al-Ghazali. Beralih al-Ghazali kepada tasawuf setelah pengambaran yang panjang
bahkan dinilai para ahli sufisme al-Ghazali mendukung menjadi pengikut aliran
sufistik yang sudah lama muncul dan berkembang sebelum al-Ghazali memasuki dunia
itu. Karena tidak semua aliran sufisme yang dapat diterima oleh kalangan ulama
waktu itu, bahkan mereka menilai tasawuf sebagai hal yang menyeleweng dari
ajaran Islam. Seperti, kalangan ulama yang menolok aliran sufisme yang
diajarkan oleh al-Bustami dan al-Hallaj yaitu al-Ittihadm ( ) dan al-hulul ( ). Ketegangan inilah sesungguhnya yang
menjadikan timbulnya paham yang berbenturan antara para ahli syari’at dengan
ahli sufi. Konsep-konsep seperti al-ittihad
dan al-hulul dipandang oleh kelompok
syari’at telah menyimpang dari frame akidah
Islam.
Sejak saat itu, jurang pemisah antara syari’at dan
tasawuf semakin jauh. Para sufi bukannya takut
atau gentar, bahkan dalam prakteknya mereka semakin liar. Sampai di sini, ada
kesan bahwa sufisme seperti agama tersendiri dalam islam.[16]
Artinya, para sufi berjalan sendiri dan mengabaikan ajaran-ajaran Islam
lainnya.
Pada situasi seperti ini, sejumlah ulama ahl al-Sunnah[17] berusaha
menyelaraskan antara sufi dan ahli syari’at. Mereka mencoba menggairahkan
kembali pola-pola kehidupan sufistik ahl
al-Sunnah pada masa perintisannya. Namun usaha itu baru mencapai puncak
keberhasilannya di tangan al-Ghazali.
Kehadiran al-Ghazali dalam tasawuf membawa angina
segar bagi perkembangan tasawuf, karena perjalanan tasawuf yang macet selama
hampir dua adab, akibat berbenturan dengan ahli syari’at menjadi lancer kembali
berkat usaha al-Ghazali dalam menyelaraskan keduanya.
Al- Ghazali memandang al-ma’rifah sebagai tingkat yang maksimal untuk mendekatkan diri
kepada Allah. Konsep ma’rifah al
–Ghazali tidak jauh berbeda dengan konsep ma’rifah para sufi sebelumnya, yakni pengenalan
lansung terhadap Allah melalui pandangan batin (musyahadah) di mana intinya adalah tauhid.[18]
Namun ia membatasi ma’rifah ini dengan
istilah al-qurb (penghayatan teramat
dekat dengan Tuhan).
Dalam dunia tasawuf, sesungguhnya konsep al-ma’rifah sudah diperkenalkan oleh
Zunnun al-Mishri (w. 860 M). menurut Zunnun, ada tiga macam pengetahuan tentang
Tuhan, yaitu:[19]
a.
Pengetahuan Tuhan satu dengan
perantaraan ucapan syahadah
b.
Pengetahuan ulama, Tuuhan satu
menurut logika akal
c.
Pengetahuan sufi Tuhan dengan
perantaraan hati sanubari
Pengetahuan tingkat pertama dan kedua belum merupakan
pengetahuan yang hakiki tentang Tuhan. Keduanya disebut ‘ilmu ( ) bukan ma’rifah. Pengetahuan ketigalah
yang merupakan pengetahuan hakiki tentang Tuhan yang dikenal dengan al-ma’rifah. Ma’rifah ini hanya terdapat dalam diri seorang sufi yang sanggup
melihat Tuhan dengan hati sanubarinya. Akan tetapi untuk mencapai tingkat ma’rifah ini sangat tergantung dengan
izin Allah karena al-ma’rifah
bukanlah merupakan hasil pemikiran manusia namun rahmat dan kehendak Allah.
Sebagaimana jawaban Zunnun ketika ditanyakan bagaimana memperoleh ma’rifah dari
Tuhan, ia berkata “aku mengetahui dengan Tuhan dan sekiranya tidak dengan
Tuhan, aku tidak akan tahu Tuhan”.
Menurut al-Qusyairy, ada tiga alat dalam tubuh manusia
yang dipergunakan sufi dalam menjalin hubungan dengan Tuhan. Qa’b ( ) untuk mengetahui sifat Tuhan, ruh ( )untuk mencintai Tuhan, dan sirr (
) untuk melihat Tuhan. Sirr lebih
halus dari ruh dan ruh lebih halus dari qalb.
Qalb tidak sama dengan jantung atau heart (dalam
bahasa Inggris) karena qalb selain alat untuk merasa, juga alat untuk berpikir.
Perbedaan qalb dengan akal ( ) ialah
bahwa akal tidak dapat memperoleh pengetahuan sessungguhnya tentang Tuhan,
sedangkan qalb dapat mengetahui hakekat dari segala sesuatu yang ada dan jika
dilimpahi cahaya Tuhan, maka qalb dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan. Sirr bertempat dalam ruh dan ruh bertampat dalam qalb.
Sirr timbul dan dapat menerima illuminasi dari Allah,
kalau qalb dan ruh telah suci sesuci-sucinya dan kosong sekosong-kosongnya
tidak berisi apupun, diwaktu itulah Tuhan menurunkan cahaya –Nya kepada seorang
sufi dan yang dilihat sufi hanyalah Allah. Pada tingkat ini, sampailah sufi
tersebut dalam ma’rifah dan untuk memperoleh ma’rifah harus menempuh proses yang berkesinambungan. Makin banyak
seorang sufi memperoleh ma’rifah dari
Tuhan, makin banyak pengetahuannya tentang rahasia-rahasia Tuhan dan makin
dekat dengan Allah.
D.
PENGARUH TASAWUF AL-GHAZALI
DALAM ISLAM
Berdasarkan
susunan ihya’ulum al-Bin tergambar pokok pikiran al-Ghazali mengenai
hubungan syari-at dan hakekat atau tasawuf. Yakni sebelum
mempelajari dan mengamalkan tasawuf, seorang harus mendalami ilmu syari’at dan
akidah terlebih dahulu.selain itu, dia juga harus konsekwen menjalankan
syari’at secara tekun dan sempurna. Karena dalam syari’at seperti shalat,
puasa, dan lainya, dalam Ihya’ diterangkan
tingkatan, cara menjalankan shalat, puasa, dan sebagainya. Sebagai umumnya para
penganut tasawuf, dalam Ihya’ dibedakan
tingkat orang shalat antara orang awam, orang khawas, dan yang lebih khusus
lagi. Demikian juga puasa, dan sebagainya. Sesudah menjalankan syari’at dengan
tertib dan penuh pengertian, baru dimulai mempelajari tarekat. Yaitu tentang
mawas diri, pengendalian nafsu-nafsu dan kemudian laku wiridan dalam
menjalankan zikir, hingga akhirnya berhasil mencapai ilmu kasyf atau penghayatan ma’rifat.
Untuk
mempertahankan nilai-nilai luhur agama dan spiritual – mistik ini, seseorang
harus awas dari godaan nafsu dan penyakit –penyakit yang sering menyerang dan
mengotori hati, yang berkaitan dengan pancaindra dan anggota badan, serta
bagaimana mengatasinya. Jadi sebagai bangunan untuk jadi sarana penyelarasan
hubungan syariat dan tasawuf, Ihya’ulum
al-Din merupakan karya menumental yang cukup lengkap dan teliti serta
sistimatis.[20]
Jadi
wajar ketika al-Ghazali , baik karena pengaruhnya sebagai ahl al-sunnah yang terpercaya, pemikkir sufisme yang brilian, dan
juga karyanya yang agung (Ihya’ulum
al-Din), tasawuf akhirnya mendapat tempat di hati ahl al-syari’at dan diterima sebagai bagian dari system agama ilmu
keislaman yang amat dibanggakan umat islam umumnya. Bahkan tasawuf kemudian
menyebar dan merakayatkan hingga kepelosok-pelosok Islam, terutama pada masa
kemunduran pemikiran Islam selama berabad-abad, sejak abad ke-13 hingga dewasa
ini.
Kecuali
Negara Saudi Arabia di mana pengaruh tasawuf disapu bersih oleh ajaran Salafiah
Wahabiah yang amat ketat mengamalkan kemurnian syari’at, taswuf masih tetap
mewarnai masyarakat di negeri-negeri Islam. Hal ini bias terjadi karena cita
kebangkitan dan modernisasi Islam masih belum cukup efektif mengubah pikiran
umat Islam. Bahkan yang dikatakan kebangkitan Islam itu pun baru semangatnya
yang over menyala-nyala. Karena selama kebangkitan itu belum merambah pada
kebangkitan penalaran ilmiah, belum mencakup efektif dan berarti. Tampa
kebangkitan penalaran dan penguasaan cara berfikir ilmiah, umat Islam tentu
akan ketinggalan laju perkembangan peradaban dunia.
Dengan
demikian sistim pemikiran al-Ghazali merupakan upayauntuk membatasi penghayatan
mistik dengan penghayatan qur’bah
(amat dekat pada Dzat Tuhan). Oleh karena itu dalam “Munqida min al-Dhalal”
al-Ghazali menyusun Ihya’ulum al-Din sebagai suatu system ajaran tasawuf yang
dipandang ideal, yang menjalin keselarasan antara syari’at, dan sebaliknya
ikatan syari’at untuk meluruskan pengalaman tasawuf agar konstruktif dan tidak
menjerumuskan dan meracuni alam pikiran manusia ke dalam bid’ah-bid’ah serta
khayal Tuhan.
Upaya
yang dilakukan al-Ghazali ini memang tidak sia-sia. System tasawuf Ihya’ulum al-Din akhirnya berhasil
merebut hati mayoritas penganut tasawuf. Pengaruh system ghazaliyah ini ternyata menentukan arah perkembangan pengalaman
ajaran tasawuf di seantero alam Islami. Namun demikian paham union-mistik
ternyata tidak dapat dimatikan. Walaupun pengaruhnya bias disudutkan oleh
kebesaran pengaruh al-Ghazali sebagai Hujjatul Islam, namun paham Union-mistik[21]
tetap bertahan, walau kemudian hanya diikuti oleh minoritas masyarakat sufi dan
selalu mendapat kecaman keras dari paham ortodoks. Sedangkan penganutnya adalah
tokoh-tokoh ulama cukup berpengaruh besar. Bahkan sesudah masa al-Ghazali
ajaran union-mistik mengambil bentuk paling puncak dalam pemikiran Ibn Arabi
(1165-1240 M)
Para
pemerhati tasawuf serta umat Islam pada umumnya menilai keberhasilan al-Ghazali
sebagai reputasi yang harus mendapatkan pujian. Karena kepiawainannya di dalam
menempatkan tasawuf kembali berada di dalam pengakuan Islam. Hanya saja sekian
banyak sanjungan tersebut tidaklah membuat pujiannya terhadap al-Ghazali
terlena. Malah umat Islam sendirilah yang terlena dan terlupa dengan pujiannya
terhadap al-Ghazali. Mereka melihat pemikiran tasawuf al-Ghazali suatu
pemikiran keagamaan final dan tidak menanggapinya sebagai hasil pemikiran
terhadap zaman yang akan senantiasa salah dan berubah serta berhak untuk
dikritik.[22]
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan di atas,
maka dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain:
1.
Sebagai seorang tokoh tasawuf dan
ulama ahli dalam bidang syari’at, al- Ghazali mencoba mengikat tasawuf dengan
dalil –dalil wahyu baik ang terdapat dalam Al-Qur’an maupun hadis Nabi SAW
sehingga berhasil menciptakan keseimbangan keagamaan yang lebih proposional.
2.
Konsep tasawuf al- Ghazali yang
cukup popular adalah ma’rifah, yaitu
tingkatan paling tinggi para sufi dalam usaha mendekatkan diri kepada Allah SWT
sedekat mungkin. Untuk mencapai tingkat ma’rifah
ini sangat tergantung dengan izin Allah karena al-ma’rifah bukanlah merupakan hasil pemikiran manusia namun rahmat
dan kehendak Allah.
3. Adanyaa upaya mengkompromikan antara tasawuf dan syari’at oleh
al-Ghazali yang selama ini saling berbenturan, ternyata mendapat tempat di
kalangan ahli syariat dan menjadikan tasawuf sebagai wadah mengaplikasikan
syariat itu sendiri dengan benar sebagai akibat adanya hubungan timbale balik
antara tasawuf dan syari’at itu sendiri. Pengaruh sistim ghazaliyah ini
menentukan arah perkembangan pengalaman ajaran tasawuf di seantero alam islami.
[1] Harun
Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek.Jilid I,(Jakarta:UI
Press,1985), h.46
[4] Nurcholis Madjid, Islam Kemoderanan dan
KeIndonesiaan, (Jakarta :Mizan,1988),
cet. Ke-2, h.283
[6] Abdul Halim Mahmud, Qadhiyah al-Tasawuf al-Munqidz
min al-Dhalal, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1985), h. 296
[7] Muhammad
Jalal Syarif dan Ali Abdul Muth’I Muhammad, al-Fikr al-Siyasi fi al- Islam,
(Kairo: Dar a-Jum’at, 1978), h. 361
[8] Yusuf al-Qardawi, al- Iman al-Ghazali Baina
Madihiyah wa Naqidiyah, (Mesir: Dar al-Wiffa, 1992) h. 19. Lihat juga Harun
Nasution, op.cit. h. 85. Lihat juga Departemen Agama RI, Ensiklopedia Islam,
(Jakarta:PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
1994), h. 25
[9] Abdul Karim Usman, Sirah al –Ghazali,
(Damaskus: Dar al-Fikr, t, th), h. 17
[10] Imam ini sangat mahir dalam ilmu kalam terutama paham
a—asy’ari bahkan ia merupakan pengikut setia aliran ini. Si sampong ilmu kalam,
imam ini juga pengikut mazhab syafi’i dan di sinilah berawalnya Al-Ghazali
memperoleh ilmu kalam, ilmu mantiq (logika) dan ilmu fiqh
[11] Harun
nasution, Filsafat dan Mistsisme dalam Islam , (Jakarta: Bulan Bintang,
1993), h.41
[12] Yahya
Jaya, Spritualisai Islam dalam menumbuh kembangkan kepribadsian dan
kesehatan mental, (Jakarta, 1991), h.21
[13] Zainuddin.
Dkk, Seluk Beluk Pendidikan dari al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990),
cet ke -2, h. 19
[14] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1996), cet ke -6, h.
[15] Harun Nasution, op.cit, h. 46
[16] M. Zurkani Jahja, Teologi
Ghazali, Pendekatan Metodologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h.51
[17] Minimal ada 6 tokoh yang berusaha menyajikan sufisme
dengan corak Sunni, yaitu: Abu Nashr al-Surrah al-Thusi (w. 379 H) dengan
karyanyaa al-Luma”:Abu Thalib al –
Makki (w. 386 H) dengan karyanya Quth al-Qulub;
Abu Bakar Ishaq (w.380 H) dengan karyanya al-Ta’aruf
li Madzhab al-Tasawuf; Abu Abd
al-Rahman al-Sulami (w.412 H) dengan karyanya dengan karyanya Thabaqat al-Sufiyyah; Abu al Qasim al
Qusyairi (w. 465 H) dengan karyanya
al-Risilah; dan Al-Hujwiri dengan karyanya Kasyf al-Mahjub. Lihat Abdul Aziz Dahlan, Tasawuf Sumi dan Tasawuf Falsafi, Tinjauan Filosofis, dalam Jurnal
Umum Quran No. 8 Vol. II, 1991, h. 27.
[18] Chatib Quzwaun,
Al-Ghazali dan Tasawuf, (Kumpulan makalah Simposium tentang al-Ghazali), h.
15
[19] Ibid, h. 76
[20] Simuh, op.cit, h. 160
[21] Seperti paham
hulul, ittihad, wushul yang didasarkan atas khayal
[22] Amin Abdullah, Studi Agama, Normativitas atau
Historisitas, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1996), h. 267
Tidak ada komentar:
Posting Komentar