Senin, 15 Februari 2016

Tasyri’ di Indonesia ; Studi Terhadap Kompilasi Hukum Islam (KHI)

A. Pendahuluan
Perkembangan hukum Islam di Indonesia tidak lepas dari perjalanan masuknya Islam ke Indonesia di masa lalu. Awal abad ke-7 masehi jejak masuknya Islam telah diketahui ke Nusantara, hal ini didasarkan adanya pedagang-pedagang muslim asal Arab, Persia dan India yang sudah sampai ke kepulauan nusantara.
Ke-khas-an Perkembangan Islam di Indonesia terlihat berbeda jika dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain. Di Indonesia Islam tersebar melalui jalur pelayaran dan perdagangan yang bersifat internasional antara negeri-negeri Asia bagian barat dan timur mungkin disebabkan oleh kegiatan kekhilafahan Islam di bawah Bani Umayyah di bagian barat dan kekaisaran Cina zaman Dinasti Tang, serta kerajaan Sriwijaya di Asia Tenggara.
Sebelum masuknya penjajahan Eropa ke Indonesia, hukum Islam telah menjadi hukum yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat Islam di Indonesia. Hal ini ditandai dengan hadirnya berbagai kesultanan Islam di Indonesia yang menjadi hukum Islam sebagai hukum Negara. Namun, setelah masuknya penjajahan Belanda ke Indonesia, hukum Islam mulai disingkirkan dan dibatasi dalam penerapannya di tengah-tengah masyarakat.
Pada saat terjadinya kemerdekaan, upaya untuk kembali menerapkan hukum Islam di Indonesia mulai muncul kembali, hal ini di dasari dengan lahirnya piagam Jakarta yang menyatakan wajibnya penerapan Syari’at Islam bagi pemeluknya. Upaya-upaya tersebut terus berlangsung, ditandai dengan banyaknya produk hukum Islam yang dilahirkan dalam bentuk Undang-Undang. Pada tahun 1991 melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991 pemerintah telah melegislasikan Kompulasi Hukum Islam (KHI) yang kemudian menjadi salah satu bahan rujukan dalam Instansi Pemerintah terutama Peradilan Agama.
   
B. Pembahasan
1. Sejarah Hukum Islam di Indonesia
Dalam lintas sejarah, hukum Islam di Indonesia dapat dibagi menjadi empat periode,[1] dua periode sebelum kemerdekaan, dan dua lagi pasca kemerdekaan.
1.   Dua periode pertama, dapat dibagi lagi ke dalam dua fase sebagai berikut:
a.       Fase berlakunya hukum Islam sepenuhnya. Dalam fase ini, dikenal teori reception in complexu yang dikemukakan oleh L.W.C. Van Den Breg.
Menurut teori ini, hukum Islam sepenuhnya telah diterima oleh umat Islam berlaku sejak adanya kerajaan Islam sampai masa awal VOC, yakni ketika Belanda masih belum mencampuri semua persoalan hukum yang berlaku di masyarakat.
Setelah Belanda dengan VOC-nya mulai semakin kuat dalam menjarah kekayaan bumi Indonesia, maka pada tanggal 25 Mei 1760 M pemerintah Belanda secara resmi menerbitkan peraturan Resolutio der Indischr Regeering yang kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.
Peraturan ini memang tidak hanya memuat pemberlakuan hukum Islam dalam bidang kekeluargaan (perkawinan dan kewarisan), tetapi juga menggantikan kewenangan lembaga-lembaga peradilan Islam yang dibentuk oleh para raja atau sultan Islam dengan peradilan buatan Belanda.[2]
Keberadaan hukum Islam di Indonesia sepenuhnya baru diakui oleh Belanda setelah dicabutnya Compendium Freijer secara berangsur-angsur, dan terakhir dengan staatstabled 1913 No. 354.
Dalam Staatsblad 1882 No. 152 ditetapkan pembentukan Peradilan Agama di Jawa dan Madura, dengan tanpa mengurangi legalitas mereka dalam melaksanakan tugas peradilan sesuai dengan ketentuan fiqhi.[3]
b. Fase berlakunya hukum Islam setelah dikehendaki atau diterima oleh hukum adat. Dalam fase ini, teori Reception in Complexu yang pertama kali diperkenalkan oleh L.W.C. Van Den Breg itu[4] kemudian digantikan oleh teori Receptio yang dikemukakan oleh Cristian Snouck Hurgronje dan dimulai oleh Cornelis Van Vollenhoven[5] sebagai penggagas pertama.
Untuk menggantikan Receptio in Complexu dengan Receptio, pemerintah Belanda kemudian menerbitkan Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie, disingkat Indische Staatsregeling (I.S), yang sekaligus membatalkan Regeerrings Reglement (RR) tahun 1885, pasal 75 yang menganjurkan kepada hakim Indonesia untuk memberlakukan undang-undang agama.
Dalam I.S. tersebut, diundangkan Stbl 1929: 212 yang menyatakan bahwa hukum Islam dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda. Dan dalam pasal 134 ayat 2 dinyatakan:

"Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesame orang Islam, akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum Adat mereka menghendakinya, dan sejauh itu tidak ditentukan lain dengan sesuatu ordonansi".[6]
Berdasarkan ketentuan di atas, maka dengan alasan hukum waris belum diterima sepenuhnya oleh hukum adat, pemerintah Belanda kemudian menerbitkan Stbl. 1937: 116 yang berisikan pencabutan wewenang Pengadilan agama dalam masalah waris (yang sejak 1882 telah menjadi kompetensinya) dan dialihkan ke Pengadilan Negeri.[7]
Dengan pemberlakuan teori Receptio tersebut dengan segala peraturan yang meninak-lanjutinya, di samping dirancang untuk melumpuhkan sistem dan kelembagaan hukum Islam yang ada, juga secara tidak langsung telah mengakibatkan perkembangan hukum Barat di Indonesia semakin eksis, mengingat ruang gerak hukum adapt sangat terbatas tidak seperti hukum Islam, sehingga dalam kasus-kasus tertentu kemudian dibutuhkan hukum Barat.
Dengan demikian, maka pada fase ini hukum Islam mengalami kemunduran sebagai rekayasa Belanda yang mulai berkeyakinan, bahwa letak kekuatan moral umat Islam Indonesia sesungguhnya terletak pada komitmennya terhadap ajaran Islam.[8]
2.   Dua periode kedua, yakni setelah kemerdekaan dapat dibagi pula ke dalam dua fase sebagai berikut:
a.       Hukum Islam sebagai sumber persuasif, yang dalam hukum konstitusi disebut dengan persuasisive source, yakni bahwa suatu sumber hukum baru dapat diterima hanya setelah diyakini.
b.      Hukum Islam sebagai sumber otoritatif, yang dalam hukum konstitusi dikenal dengan outheriotative source, yakni sebagai sumber hukum yang langsung memiliki kekuatan hukum.
Piagam Jakarta, sebelum Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, berkedudukan sebagai sumber persuasif UUD-45. Namun setelah Dekrit yang mengakui bahwa Piagam itu menjiwai UUD-45, berubah menjadi sumber otoritatif.
Suatu hal yang pasti adalah, bahwa proklamasi kemerdekaan RI yang dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945, mempunyai arti yang sangat penting bagi perkembangan sistem hukum di Indonesia.
Bangsa Indonesia yang sebelumnya dikondisikan untuk mengikuti sistem hukum Belanda mulai berusaha untuk melepaskan diri dan berupaya untuk menggali hukum secara mandiri.
Hal ini bukan berarti mengubahnya secara revolutif sebagaimana perolehan kemerdekaan itu sendiri. Perubahan suatu produk hukum yang telah lama melembaga dalam tata-pola kehidupan bangsa adalah tidak mudah. Ia memerlukan upaya persuasif dan harus dilakukan secara terus menerus, simultan dan sistematis.
Upaya pertama yang dilakukan oleh pemerintah RI terhadap hukum Islam adalah pemberlakuan teori Receptio Exit gagasan Hazairin[9] yang berarti menolak teori Receptio yang diberlakukan oleh pemerintah colonial Belanda sebelumnya.
Menurutnya, teori receptio itu memang sengaja diciptakan oleh Belanda untuk merintangi kemajuan Islam di Indonesia. Teori itu sama dengan teori iblis karena mengajak umat Islam untuk tidak mematuhi dan melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya.[10]
Perkembangan hukum Islam menjadi semakin menggembirakan setelah lahirnya teori Receptio a Contrario yang memberlakukan hukum kebalikan dari Receptio, yakni bahwa hukum adat itu baru dapat diberlakukan jika tidak bertentangan dengan hukum Islam. Dengan teori yang terakhir ini, maka hukum Islam jadi memiliki ruang gerak yang lebih leluasa.

2. Produk-Produk Hukum Islam di Indonesia
Di antara sebagian besar produk hukum Islam yang ada dalam sistem hukum nasional di Indonesia, umumnya memiliki tiga bentuk;
1.       Hukum Islam yang secara formil maupun materil menggunakan corak dan pendekatan keislaman.
2.       Hukum Islam dalam proses transformasi diwujudkan sebagai sumber – sumber materi hukum, di mana asas – asas dan prinsip – prinsipnya menjiwai setiap produk aturan dan perundang – undangan.
3.       hukum Islam yang secara formil dan materil ditransformasikan secara persuasive source dan authority source.[11]
Pada kenyataannya, terdapat beberapa produk peraturan perundang-undangan yang secara formil maupun materil tegas memiliki muatan yuridis hukum Islam, antara lain:
a.      UU No. 1 tahun 1974 tentang Hukum Perkawinan. Undang – Undang ini adalah hukum nasional yang berlaku bagi semua masyarakat apapun agamanya, hanya saja Ketentuan – ketentuan yang termaktub dalam undang – undang ini bersifat pengembangan pemahaman tentang hukum syariat atau hukum agama Islam mengenai perkawinan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah untuk kepentingan umat Islam Indonesia.
Pada pasal 1 Undang – Undang perkawinan, dimuat tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan tersebut sama dengan tujuan pernikahan yang dirumuskan dalam Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam yaitu membentuk keluarga sakinah (tenang, tenteram, bahagia) yang dibina dengan cinta dan kasih sayang (mawaddah warrahmah). Tujuan untuk membina keluarga atau rumah tangga berdasarkan ajaran agama adalah sejalan dengan ajaran Al-Qur’an yang memerintahkan kepada orang – orang beriman untuk membina dan melindungi keluarga dan atau keturunannya dari siksa (api) neraka (QS. 66:6).
Hal lain yang merupakan pencerminan hukum Islam yang terdapat pada Undang – Undang Perkawinan adalah kedudukan istri yang seimbang dengan hak dan kedudukan suami. Terdapat kemitraan antara suami dan istri, hanya saja kodratnya berbeda (sesuai dengan ajaran Islam, laki – laki memimpin dan menjadi penanggung jawab penghidupan dan kehidupan istrinya dalam keluarga). Ada pembagian pekerjaan, dan dalam undang – undang perkawinan hal itu dirumuskan dengan kata – kata “suami (laki – laki) sebagai kepala keluarga, dan istri (perempuan) sebagai ibu rumah tangga”. Kedudukan perempuan sebagai ibu rumah tangga tidak boleh dipandang sebagai penurunan kedudukan. Menurut Daud Ali, ini hanyalah pernyataan pembagian pekerjaan dan tanggung jawab.[12]
b.      UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Kini UU No. 3 Tahun 2006). Peradilan Agama bertugas untuk menyelesaikan perkara di tingkat pertama orang – orang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, serta waqaf dan sadaqah (pasal 49 ayat (1)). Peradilan Agama telah menjadi peradilan mandiri yang sederajat dengan Peradilan Umum, Militer, dan TUN.[13] Sebelum undang – undang ini dikeluarkan, Peradilan Agama sebenarnya telah ada bahkan sejak jaman pemerintahan kolonial Belanda. Hanya saja kewenangan dan kedudukannya masih belum jelas. dengan dikeluarkannya undang – undang ini, maka jelaslah kewenangan dan hukum acara Peradilan Agama di seluruh Indonesia. Adanya peraturan ini juga akan lebih memantapkan upaya penggalian berbagai asas dan kaidah hukum Islam melalui jurisprudensi sebagai salah satu bahan baku dalam penyusuan dan pembinaan hukum nasional.
c.       UU No. 72 Tahun 1992 tentang Perbankan Syari’ah, menetapkan bahwa perbankan syariah di Indonesia menganut dual banking system.[14]
1)        UU No. 10 Tahun 1998 yang merupakan penyempurnaan dari UU di atas, yang peraturan pelaksanaannya dituangkan dalam Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia dan dikuatkan dalam bentuk peraturan Bank Indonesia. Penggunaan istilah bank syariah sudah tegas disebutkan “Bank Berdasarkan Prinsip Syariah” dan pada Pasal 1 butir 13 disebutkan berlakunya hukum Islam sebagai dasar transaksi di perbankan syariah.
2)        Teknis operasional produk dan transaksi syariah yang digunakan pada bank syariah diatur dalam Fatwa DSN MUI.
3)        Eksistensi bank syariah diperkuat dengan adanya UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang memungkinkan kebijakan moneter berdasarkan prinsip syariah.
4)        UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
d.      UU No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (diganti dengan UU No. 13 Tahun 2008).
e.       UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelo!aan Zakat, Infak dan Shadaqah. Undang – Undang ini lahir karena terinspirasi oleh situasi krisis moneter. Ketika itu, terbuka pikiran para cendekiawan Islam untuk mencari pintu keluar dari krisis moneter tersebut. Mereka yang dapat menyalurkan pikiran ke DPR melihat bahwa sesungguhnya ada potensi masyarakat yang dapat digali dan dikembangkan untuk membangun kekuatan ekonomi yang masih belum dilirik secara ekonomi maupun manajerial.
f.       UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus Nangroe Aceh Darussalam.
g.      UU Politik Tahun 1999 yang mengatur ketentuan partai Islam.
h.      UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Tujuan dikeluarkannya undang – undang ini adalah untuk menertibkan prosedur kepengurusan dan tujuan wakaf, selain dari itu adalah untuk mengantisipasi penyalahgunaan terhadap tanah wakaf.
       Di samping tingkatannya yang berupa Undang-undang, juga terdapat peraturan-peraturan lain yang berada di bawah Undang-undang, antara lain:
a.       PP No.9 Tahun 1975 tentang Petunjuk Pelaksanaan UU Hukum Perkawinan, mengatur lebih lanjut mengenai prosedur perceraian. Sebagai eksistensi dari ketentuan agama, bahwa perceraian adalah hal yang dihalalkan dan tata cara perceraian harus menurut hukum agama sebagai hak dari suami untuk “cerai talak” sementara untuk “cerai gugatan” merupakan putusan dari hakim Pengadilan Agama.
b.      PP No.28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
c.       PP No.72 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.
d.      Inpres No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.[15] Sumber penyusunan kompilasi ini adalah wahyu yang terdapat dalam Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah yang terdapat dalam kitab – kitab hadis, dan ra’yu melalui ijtihad yang tercermin dalam kitab – kitab fiqih, pendapat para ulama Indonesia, yurisprudensi peradilan agama yang diperoleh melalui jalur pengkajian kitab – kitab fiqih lama, jalur ulama khususnya ulama fiqih, jalur yurisprudendi, dan jalur studi perbandingan dengan negara – negara lain.
Garis – garis hukum Islam dituangkan ke dalam bahasa perundang – undangan dan disusun ke dalam tiga buku. Buku I mengenai Hukum Perkawinan, terdiri dari 19 bab dengan 170 pasal. Buku II mengenai Hukum Kewarisan, terdiri dari 6 bab dengan 44 pasal (mulai dari pasal 171 sampai dengan pasal 214). Mengenai hukum kewarisan yang dimasukkan kepada buku II hanyalah pokok – pokoknya saja, sisanya akan menunggu pembentukan Undang – Undang Kewarisan Nasional yang akan datang. Buku III mengenai Hukum Perwakafan terdiri dari 5 bab dengan 44 pasal (pasal 215 sampai dengan pasal 228).
e.       Inpres No.4/2000 tentang Penanganan Masalah Otonomi Khusus di NAD.
3. Kompilasi Hukum Islam Sebagai Produk Hukum di Indonesia
KHI disusun atas prakarsa penguasa Negara, dalam hal ini Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama (melalui Surat Keputusan Bersama) dan mendapat pengakuan ulama dari berbagai unsure. Secara resmi KHI merupakan hasil consensus (ijma’) ulama dari berbagai “golongan” melalui media lokakarya yang dilaksanakan secara nasional, yang kemudian mendapat legalisasi dari kekuasaan Negara.
Penyusunan KHI dapat dipandang sebagai suatu proses transformasi hukum Islam dalam bentuk tidak tertulis ke dalam peraturan perundang-undangan. Dalam penyusunannya dapat dirinci pada dua tahapan. Pertama, tahapan pengumpulan bahan baku, yang digali dari berbagai sumber baik tertulis maupun tidak tertulis. Kedua, tahapan perumusan yang didasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sumber hukum Islam (al-Qur’an dan Sunnah Rasul), khususnya ayat dan teks yang berhubungan dengan substansi KHI.
Tahapan pengumpulan bahan baku dalam penyusunan KHI dilakukan melalui beberapa jalur. Jalur pertama, penelahaan 38 kitab fiqh dari berbagai mazhab, mencakup 160 masalah hukum keluarga. Penelahaan kitab fiqh itu dilakukan para pakar di tujuh IAIN. Jalur kedua, wawancara dengan 181 ulama yang ttersebar di sepuluh daerah hukum Pengadilan Tinggi Agama waktu itu (Aceh, Medan, Padang, Palembang, Bandung, Surakarta, Surabaya, Banjarmasin, Ujung Pandang dan Mataram). Jalur ketiga,  penelahaan produk pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama yang terhimpun dalam 16 buah buku. Ia terdiri atas empat jenis, yakni himpunan putusan PTA, himpunan fatwa pengadilan, himpunan yurisprudensi Pengadilan Agama, dan law report tahun 1977 sampai 1984. Jalur keempat, kajian perbandingan hukum keluarga yang berlaku di Maroko, Mesir dan Turki. Di samping itu, memperhatikan aspek-aspek historis dan kemajemukan masyarakat bangsa Indonesia, baik secara vertikal maupun horizontal.
Dalam perumusan KHI, secara substansial dilakukan dengan mengacu kepada sumber hukum Islam, yakni al-Qur’an dan Sunnah Rasul; dan secara hirarki mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di samping itu, para perumus KHI memperhatikan tatanan hukum Barat tertulis (terutama hukum Eropa Kontinental) dan Tatanan hukum Adat, yang memiliki titik temu dengan tatanan hukum Islam. Berkenan dengan hal itu, dalam beberapa hal, maka terjadi adaptasi dan modifikasi tatanan hukum lainnaya itu ke dalam KHI. Dengan demikian, KHI merupakan suatu perwujudan hukum Islam yang khas di Indonesia. Atau dengan perkataan lain, KHI merupakan perwujudan hukum Islam yang bercorak keindonesiaan.[16]    

4. Latar Belakang Terbentuknya Kompilasi Hukum Islam
Pada akhir dekade 1980-an terdapat dua peristiwa penting berkenaan dengan perkembangan hukum dan peradilan Islam di Indonesia. Pertama, dalam suatu lokakarya yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 25 Februari 1988, ulama Indonesia telah menerima tiga rancangan buku kompilasi hukum Islam. Rancangan kompilasi itu, tiga tahun kemudian yaitu pada tanggal 10 Juni 1991, mendapat legalisasi Pemerintah dalam bentuk Intruksi Presiden kepada Menteri Agama untuk digunakan oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya. Intruksi itu dilaksanakan dengan keputusan Menteri Agama Nomor 154 tanggal 22 Juli 1991. Kedua, pada tanggal 29 Desember 1989 tentang peradilan Agama, setelah mengalami perubahasan yang sangat alot, baik di kalangan pemerintah maupun di dewan Perwakilan Rakyat.
Kedua peristiwa itu merupakan suatu rangkaian yang saling berhubungan secara timbal balik dan saling melengkapi. Kompilasi hukum Islam (KHI) disusun dan dirumuskan untuk mengisi kekosongan hukum substansial (mencakup hukum perkawinan, kewarisan dan perwakafan), yang diberlakukan pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. sedangkan di dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, antara lain diatur tentang kekuasaan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama di bidang perkawinan, kewarisan, hibah wasiat, wakaf dan shadaqah, khususnya bagi orang-orang yang beragama Islam.
Penerapan hukum Islam dalam proses pengambilan keputusan di pengadilan itu selalu menjadi masalah, oleh karena rujukan yang digunakan oleh pengadilan senantiasa beranekaragam. Ia terdiri atas beragam kitab fiqh dari berbagai aliran pemikiran (mazhab), yang berakibat munculnya keragaman keputusan pengadilan terhadap perkara serupa. Hal itu sangat merisaukan para petinggi hukum, terutama dari kalangan Mahkamah Agung dan Departemen Agama.[17]     
Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan adanya suatu buku hukum yang menghimpun semua hukum terapan yang berlaku bagi lingkungan Peradilan Agama untuk dijadikan pedoman oleh para hakim dalam melaksanakan tugasnya, sehingga terjamin adanya kesatuan dan kepastian hukum.
Melalui jalan panjang dengan proses yang penuh lika-liku, pada tahun 1991 terbentuklah kompilasi hukum Islam yang dilegalisasi dalam bentuk formal di Indonesia dengan Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1991 dan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 tahun 1991.[18]

5. KHI Dalam Tatanan Hukum Indonesia
Dalam UUD 1945 hanya menyebutkan beberapa jenis peraturan, yaitu Undang-undang (UU), Perpu dan Peraturan Pemerintah (PP). Namun dalam praktek ketatanegaraan mengalami modifikasi dan revisi berdasarkan politik hukum. Melalui TAP. MPRS No.XX/MPRS/1966, tata urutan peraturan perundang-undangan diformulasikan dalam urutan, yaitu UUD 1945, TAP. MPR., UU (formal), Perpu, PP, Kepres, dan peraturan pelaksana lainnya yang lebih rendah, seperti Peraturan Menteri atau instruksi Menteri.
Tap. MPRS No.XX Tahun 1966 tersebut belum mencerminkan acuan ketatanegaraan, sehingga direvisi melalui Tap. MPR No. V Tahun 1973 dan Tap MPR No.IX Tahun 1978, sehingga Hirarki peraturan perundang-undangan menjadi UU dan Perpu setingkat UU, PP, Kepres, Kepmen, Keputusan Kepala Lembaga Pemerintahan Non Departemen, Kep. Dirjen Departemen, Keputusan Badan Negara, Peraturan Daerah Tingkat I, Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tk.I, Peraturan daerah Tk.II, dan Keputusan Bupati/Walikota Kepala Daerah Tk.II, (Achmad Ali, 1990:42).
Akibat adanya amandemen UUD 1945 pada sidang Tahunan MPR 2000, maka upaya revisi kembali terulang, sebagai upaya pemantapan Indonesia sebagai Rechtstaat (negara Hukum). Hasil amandemen tersebut menunjukan tata urutan peraturan perundang-undangan sebagai berikut:  UUD 1945, Tap. MPR, UU, Perpu, PP, Kepres, dan Perda. Pembukaan UUD 45 sebagai Norma dasar, sedangkan batang tubuh sebagai aturan dasar, dan jenis aturan di bawahnya disebut aturan perundang-undangan. Bahkan pada amandemen UUD 45 Tahun 2000 ini dijelaskan secara rinci tugas masing-masing, seperti Tap. MPR dibuat oleh MPR, UU dibuat oleh DPR, Perpu dan PP serta Kepres oleh Presiden.
Bila UUD ‘45 merupakan Norma Dasar (pembukaan) dan aturan dasar (Batang tubuh), maka aturan yang di bawahnya menjadi peraturan yang menjabarkan norma dasar dan aturan dasar. KHI termasuk dalam kelompok kedua, sebagai penjabaran dari aturan dasar Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 45.
Sesuai  asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori, bahwa undang-undang atau aturan yang mempunyai derajat lebih rendah dalam hirarki perundangan tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi. Secara filosofis, KHI yang didasarkan pada Inpres tidak bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, bahkan materi hukumnya mengisi kekosongan materi hukum pada peradilan Agama sesuai amanat penjelasan umum UUD 45, di mana disebutkan. di samping UUD, berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis.  Mengingat KHI termasuk dalam kelompok hukum materil yang tidak tertulis, maka secara yuridis memiliki kekuatan hukum.[19]

6. Materi Pokok Dalam KHI
Keseluruhan KHI terdiri atau terbagi dalam Tiga Kitab Hukum, dengan urutan sebagai berikut :
1.      Buku I : Hukum Perkawinan, terdiri atas 19 Bab meliputi 170 pasal (pasal 1 samapai dengan pasal 170).
2.      Buku II : Hukum Kewarisan, terdiri atas 6 Bab meliputi 43 pasal (pasal 171 sampai dengan pasal 214).
3.      Buku III : Hukum Perwakafan, terdiri atas 5 Bab meliputi 12 pasal (pasal 215 sampai dengan pasal 228).[20]

C. Penutup
Sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia dimulai sejak pertama kali Islam masuk ke Indonesia. Dalam perkembangan sejarahnya perkembangan hukum Islam dapat dibagi menjadi empat periodesasi :
1.    Fase berlakunya hukum Islam sepenuhnya. Dalam fase ini, dikenal teori reception in complexu seperti yang dikemukakan oleh L.W.C. Van Den Breg.
2.    Fase berlakunya hukum Islam setelah dikehendaki atau diterima oleh hukum adat. Hal ini dikenal dengan teori Receptio yang dikemukakan oleh Snouck Hurgronje dan Cornelis Van Vollenhoven.
3.    Hukum Islam sebagai sumber persuasif, yang dalam hukum konstitusi disebut dengan persuasisive source, yakni bahwa suatu sumber hukum baru dapat diterima hanya setelah diyakini.
4.    Hukum Islam sebagai sumber otoritatif, yang dalam hukum konstitusi dikenal dengan outheriotative source, yakni sebagai sumber hukum yang langsung memiliki kekuatan hukum.
Dalam perjalanannya pasca kemerdekaan, telah lahir beberapa produk hukum Islam di Indonesia. Salah satunya Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang pada tanggal 10 Juni 1991, mendapat legalisasi Pemerintah dalam bentuk Intruksi Presiden kepada Menteri Agama untuk digunakan oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya. Intruksi itu dilaksanakan dengan keputusan Menteri Agama Nomor 154 tanggal 22 Juli 1991.
Keberadaan KHI sebagai kumpulan hukum Islam sangat membantu hakim dalam peradilan agama dalam memutuskan perkara yang dihadapi berkaitan dengan perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Sehingga, akan terbentuk penyeragaman putusan dalam pelaksanaan proses peradilan di Pengadilan agama di Indonesia.
  
KEPUSTAKAAN

Ahmad, Amrullah, dkk. 1996. Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Gema Insani Pers.
Ali, Muhammad Daud. 1984. Kedudukan Hukum Islam dan Sistem Hukum di Indonesia. Jakarta: Risalah.
Ali, Muhammad Daud. 1997. Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan). Jakarta: Rajawali Pers.
Amir Machmud dan Rukmana. 2010. Bank Syariah : Teori, Kebijakan, dan Studi Empiris di Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Anshori, Abdul Ghofur dan Yulkarnain Harahab, Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia, Yogyakarta : Total Media, 2008
Bisri, Cik Hasan, dkk. 1999. Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta : Logos Wacana Ilmu.
Hazairin. 1976. Hendak ke Mana Hukum Islam. Jakarta: Tinta Mas
Hutagalung, Mura. 1985. Hukum Islam dalam Era Pembangunan. Jakarta: Ind-Hill-CO. Cet I
Kusnadi, Didi. 2010. Hukum Islam di Indonesia (Tradisi, Pemikiran, Politik Hukum dan Produk Hukum). Kuningan: Ebook.
Notosusanto. 1963. Organisasi dan Yurisprudensi Pengadilan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Penerbit Gajah Mada
Sunny, Ismail, dkk. 2001. Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia. Jakarta : Rajawali Press.
Supriyadi, Dedi. 2007. Sejarah Hukum Islam. Bandung : Pustaka Setia.
Suryaman, Tjua. 1991. Politik Hukum di Indonesia, Perkembangan dan Pembentukannya, Bandung: Raja Rosdakarya. Cet. I
Wignjodipoero, Soerojo. 1990. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta: Haji Mas agung





[1] Ismail Sunny, dkk, Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, Jakarta : Rajawali Press, 2001, h. 200
[2] M. Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dan Sistem Hukum di Indonesia, (Jakarta: Risalah, 1984), h. 12
[3] Tjua Suryaman, Politik Hukum di Indonesia, Perkembangan dan Pembentukannya, (Cet. I: Bandung: Raja Rosdakarya, 1991), h. 43-44
[4] Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta: Haji Masagung, 1990), h. 28
[5] Mura Hutagalung, Hukum Islam dalam Era Pembangunan (Jakarta: Ind-Hill-CO, 1985, Cet I), h. 19
[6] Ismail Sunny, op.cit., h. 132
[7] Notosusanto, Organisasi dan Yurisprudensi Pengadilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Gajah Mada, 1963), h. 9-10
[8] Abdul Ghofur Anshori dan Yulkarnain Harahab, Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia, Yogyakarta : Total Media, 2008, h. 93
[9]  Hazairin, Hendak ke Mana Hukum Islam, (Jakarta: Tinta Mas, 1976), h. 3-6
[10] M. Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dan Sistem Hukum di Indonesia…, h. 220
  [11] Didi Kusnadi. Hukum Islam di Indonesia (Tradisi, Pemikiran, Politik Hukum dan Produk Hukum). Kuningan: Ebook, 2010. h. 14.
[12] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan). Jakarta: Rajawali Pers, 1997. h. 39 – 54.
[13] Ibid, h.277
[14] Amir Machmud dan Rukmana, Bank Syariah : Teori, Kebijakan, dan Studi Empiris di Indonesia. Jakarta: Erlangga, 2010. h. 21.
[15] Muhammad Daud Ali, op,cit,. h. 111 – 140.
[16] Cik Hasan Bisri, dkk, Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999, h. 8-9
[17] Ibid., h. 1-2
[18] Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, Bandung : Pustaka Setia, 2007, h. 387
[19] Amrullah Ahmad,dkk, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional Cet.I; Gema Insani Pers, Jakarta,1996, h. 150
[20] Cik Hasan Bisri, dkk, op.cit., h. 49

Tidak ada komentar:

Posting Komentar