Perkembangan
hukum Islam di Indonesia tidak lepas dari perjalanan masuknya Islam ke
Indonesia di masa lalu. Awal abad ke-7 masehi jejak masuknya Islam telah
diketahui ke Nusantara, hal ini didasarkan adanya pedagang-pedagang muslim asal
Arab, Persia dan India yang sudah sampai ke kepulauan nusantara.
Ke-khas-an
Perkembangan Islam di Indonesia terlihat berbeda jika dibandingkan dengan
wilayah-wilayah lain. Di Indonesia Islam tersebar melalui jalur pelayaran dan
perdagangan yang bersifat internasional antara negeri-negeri Asia bagian barat
dan timur mungkin disebabkan oleh kegiatan kekhilafahan Islam di bawah Bani
Umayyah di bagian barat dan kekaisaran Cina zaman Dinasti Tang, serta kerajaan
Sriwijaya di Asia Tenggara.
Sebelum
masuknya penjajahan Eropa ke Indonesia, hukum Islam telah menjadi hukum yang
diterapkan di tengah-tengah masyarakat Islam di Indonesia. Hal ini ditandai
dengan hadirnya berbagai kesultanan Islam di Indonesia yang menjadi hukum Islam
sebagai hukum Negara. Namun, setelah masuknya penjajahan Belanda ke Indonesia,
hukum Islam mulai disingkirkan dan dibatasi dalam penerapannya di tengah-tengah
masyarakat.
Pada
saat terjadinya kemerdekaan, upaya untuk kembali menerapkan hukum Islam di
Indonesia mulai muncul kembali, hal ini di dasari dengan lahirnya piagam
Jakarta yang menyatakan wajibnya penerapan Syari’at Islam bagi pemeluknya.
Upaya-upaya tersebut terus berlangsung, ditandai dengan banyaknya produk hukum Islam
yang dilahirkan dalam bentuk Undang-Undang. Pada tahun 1991 melalui Instruksi
Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991 pemerintah telah melegislasikan Kompulasi
Hukum Islam (KHI) yang kemudian menjadi salah satu bahan rujukan dalam Instansi
Pemerintah terutama Peradilan Agama.
B. Pembahasan
1. Sejarah
Hukum Islam di Indonesia
Dalam lintas sejarah, hukum Islam di Indonesia dapat dibagi menjadi
empat periode,[1]
dua periode sebelum kemerdekaan, dan dua lagi pasca kemerdekaan.
1. Dua periode pertama, dapat
dibagi lagi ke dalam dua fase sebagai berikut:
a.
Fase berlakunya
hukum Islam sepenuhnya. Dalam fase ini, dikenal teori reception in complexu yang
dikemukakan oleh L.W.C. Van Den Breg.
Menurut teori ini, hukum Islam sepenuhnya telah diterima oleh umat
Islam berlaku sejak adanya kerajaan Islam sampai masa awal VOC, yakni ketika
Belanda masih belum mencampuri semua persoalan hukum yang berlaku di
masyarakat.
Setelah Belanda dengan VOC-nya mulai semakin kuat dalam menjarah
kekayaan bumi Indonesia, maka pada tanggal 25 Mei 1760 M pemerintah Belanda
secara resmi menerbitkan peraturan Resolutio der Indischr Regeering yang
kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.
Peraturan ini memang tidak hanya memuat pemberlakuan hukum Islam
dalam bidang kekeluargaan (perkawinan dan kewarisan), tetapi juga menggantikan
kewenangan lembaga-lembaga peradilan Islam yang dibentuk oleh para raja atau
sultan Islam dengan peradilan buatan Belanda.[2]
Keberadaan hukum Islam di Indonesia sepenuhnya baru diakui oleh
Belanda setelah dicabutnya Compendium Freijer secara berangsur-angsur,
dan terakhir dengan staatstabled 1913 No. 354.
Dalam Staatsblad 1882 No. 152 ditetapkan pembentukan Peradilan
Agama di Jawa dan Madura, dengan tanpa mengurangi legalitas mereka dalam
melaksanakan tugas peradilan sesuai dengan ketentuan fiqhi.[3]
b. Fase berlakunya hukum Islam setelah dikehendaki atau diterima
oleh hukum adat. Dalam fase ini, teori Reception in Complexu yang
pertama kali diperkenalkan oleh L.W.C. Van Den Breg itu[4]
kemudian digantikan oleh teori Receptio yang dikemukakan oleh Cristian
Snouck Hurgronje dan dimulai oleh Cornelis Van Vollenhoven[5]
sebagai penggagas pertama.
Untuk menggantikan Receptio in Complexu dengan Receptio,
pemerintah Belanda kemudian menerbitkan Wet op de Staatsinrichting van
Nederlands Indie, disingkat Indische Staatsregeling (I.S), yang
sekaligus membatalkan Regeerrings Reglement (RR) tahun 1885, pasal 75
yang menganjurkan kepada hakim Indonesia untuk memberlakukan undang-undang
agama.
Dalam I.S. tersebut, diundangkan Stbl 1929: 212 yang menyatakan
bahwa hukum Islam dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda. Dan dalam
pasal 134 ayat 2 dinyatakan:
"Dalam
hal terjadi perkara perdata antara sesame orang Islam, akan diselesaikan oleh
hakim agama Islam apabila hukum Adat mereka menghendakinya, dan sejauh itu
tidak ditentukan lain dengan sesuatu ordonansi".[6]
Berdasarkan ketentuan di atas, maka dengan alasan hukum waris belum
diterima sepenuhnya oleh hukum adat, pemerintah Belanda kemudian menerbitkan
Stbl. 1937: 116 yang berisikan pencabutan wewenang Pengadilan agama dalam
masalah waris (yang sejak 1882 telah menjadi kompetensinya) dan dialihkan ke
Pengadilan Negeri.[7]
Dengan pemberlakuan teori Receptio tersebut dengan segala
peraturan yang meninak-lanjutinya, di samping dirancang untuk melumpuhkan sistem
dan kelembagaan hukum Islam yang ada, juga secara tidak langsung telah
mengakibatkan perkembangan hukum Barat di Indonesia semakin eksis, mengingat
ruang gerak hukum adapt sangat terbatas tidak seperti hukum Islam, sehingga
dalam kasus-kasus tertentu kemudian dibutuhkan hukum Barat.
Dengan demikian, maka pada fase ini hukum Islam mengalami
kemunduran sebagai rekayasa Belanda yang mulai berkeyakinan, bahwa letak
kekuatan moral umat Islam Indonesia sesungguhnya terletak pada komitmennya
terhadap ajaran Islam.[8]
2. Dua periode kedua, yakni
setelah kemerdekaan dapat dibagi pula ke dalam dua fase sebagai berikut:
a.
Hukum Islam
sebagai sumber persuasif, yang dalam hukum konstitusi disebut dengan persuasisive
source, yakni bahwa suatu sumber hukum baru dapat diterima hanya setelah
diyakini.
b.
Hukum Islam
sebagai sumber otoritatif, yang dalam hukum konstitusi dikenal dengan outheriotative
source, yakni sebagai sumber hukum yang langsung memiliki kekuatan hukum.
Piagam Jakarta, sebelum Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, berkedudukan
sebagai sumber persuasif UUD-45. Namun setelah Dekrit yang mengakui bahwa
Piagam itu menjiwai UUD-45, berubah menjadi sumber otoritatif.
Suatu hal yang pasti adalah, bahwa proklamasi kemerdekaan RI yang
dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945, mempunyai arti yang sangat penting
bagi perkembangan sistem hukum di Indonesia.
Bangsa Indonesia yang sebelumnya dikondisikan untuk mengikuti sistem
hukum Belanda mulai berusaha untuk melepaskan diri dan berupaya untuk menggali
hukum secara mandiri.
Hal ini bukan berarti mengubahnya secara revolutif sebagaimana
perolehan kemerdekaan itu sendiri. Perubahan suatu produk hukum yang telah lama
melembaga dalam tata-pola kehidupan bangsa adalah tidak mudah. Ia memerlukan
upaya persuasif dan harus dilakukan secara terus menerus, simultan dan
sistematis.
Upaya pertama yang dilakukan oleh pemerintah RI terhadap hukum
Islam adalah pemberlakuan teori Receptio Exit gagasan Hazairin[9]
yang berarti menolak teori Receptio yang diberlakukan oleh pemerintah
colonial Belanda sebelumnya.
Menurutnya, teori receptio itu memang sengaja diciptakan
oleh Belanda untuk merintangi kemajuan Islam di Indonesia. Teori itu sama
dengan teori iblis karena mengajak umat Islam untuk tidak mematuhi dan
melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya.[10]
Perkembangan hukum Islam menjadi semakin menggembirakan setelah
lahirnya teori Receptio a Contrario yang memberlakukan hukum kebalikan
dari Receptio, yakni bahwa hukum adat itu baru dapat diberlakukan jika
tidak bertentangan dengan hukum Islam. Dengan teori yang terakhir ini, maka
hukum Islam jadi memiliki ruang gerak yang lebih leluasa.
2. Produk-Produk
Hukum Islam di Indonesia
Di
antara sebagian besar produk hukum Islam yang ada dalam sistem hukum nasional
di Indonesia, umumnya memiliki tiga bentuk;
1. Hukum Islam yang secara formil maupun materil menggunakan corak dan
pendekatan keislaman.
2. Hukum Islam dalam proses transformasi diwujudkan sebagai sumber –
sumber materi hukum, di mana asas – asas dan prinsip – prinsipnya menjiwai
setiap produk aturan dan perundang – undangan.
3. hukum Islam yang secara formil dan materil ditransformasikan secara
persuasive source dan authority source.[11]
Pada
kenyataannya, terdapat beberapa produk peraturan perundang-undangan yang secara
formil maupun materil tegas memiliki muatan yuridis hukum Islam, antara lain:
a.
UU No. 1 tahun 1974 tentang Hukum Perkawinan. Undang – Undang ini adalah hukum nasional yang berlaku bagi semua
masyarakat apapun agamanya, hanya saja Ketentuan – ketentuan yang termaktub
dalam undang – undang ini bersifat pengembangan pemahaman tentang hukum syariat
atau hukum agama Islam mengenai perkawinan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah untuk kepentingan umat Islam Indonesia.
Pada pasal 1 Undang – Undang perkawinan, dimuat tujuan perkawinan
adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan tersebut sama dengan tujuan
pernikahan yang dirumuskan dalam Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam yaitu membentuk
keluarga sakinah (tenang, tenteram, bahagia) yang dibina dengan cinta dan kasih
sayang (mawaddah warrahmah). Tujuan untuk membina keluarga atau rumah tangga
berdasarkan ajaran agama adalah sejalan dengan ajaran Al-Qur’an yang
memerintahkan kepada orang – orang beriman untuk membina dan melindungi
keluarga dan atau keturunannya dari siksa (api) neraka (QS. 66:6).
Hal lain yang merupakan pencerminan hukum Islam yang terdapat pada
Undang – Undang Perkawinan adalah kedudukan istri yang seimbang dengan hak dan
kedudukan suami. Terdapat kemitraan antara suami dan istri, hanya saja
kodratnya berbeda (sesuai dengan ajaran Islam, laki – laki memimpin dan menjadi
penanggung jawab penghidupan dan kehidupan istrinya dalam keluarga). Ada
pembagian pekerjaan, dan dalam undang – undang perkawinan hal itu dirumuskan
dengan kata – kata “suami (laki – laki) sebagai kepala keluarga, dan istri
(perempuan) sebagai ibu rumah tangga”. Kedudukan perempuan sebagai ibu rumah
tangga tidak boleh dipandang sebagai penurunan kedudukan. Menurut Daud Ali, ini
hanyalah pernyataan pembagian pekerjaan dan tanggung jawab.[12]
b. UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Kini UU No. 3
Tahun 2006). Peradilan Agama bertugas untuk menyelesaikan perkara di
tingkat pertama orang – orang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan,
wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, serta waqaf dan
sadaqah (pasal 49 ayat (1)). Peradilan Agama telah menjadi peradilan mandiri
yang sederajat dengan Peradilan Umum, Militer, dan TUN.[13]
Sebelum undang – undang ini dikeluarkan, Peradilan Agama sebenarnya telah ada
bahkan sejak jaman pemerintahan kolonial Belanda. Hanya saja kewenangan dan
kedudukannya masih belum jelas. dengan dikeluarkannya undang – undang ini, maka
jelaslah kewenangan dan hukum acara Peradilan Agama di seluruh Indonesia.
Adanya peraturan ini juga akan lebih memantapkan upaya penggalian berbagai asas
dan kaidah hukum Islam melalui jurisprudensi sebagai salah satu bahan baku
dalam penyusuan dan pembinaan hukum nasional.
c. UU No. 72 Tahun 1992 tentang Perbankan Syari’ah,
menetapkan bahwa perbankan syariah di Indonesia menganut dual banking system.[14]
1)
UU No. 10 Tahun 1998 yang
merupakan penyempurnaan dari UU di atas, yang peraturan pelaksanaannya
dituangkan dalam Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia dan dikuatkan dalam
bentuk peraturan Bank Indonesia. Penggunaan istilah bank syariah sudah tegas
disebutkan “Bank Berdasarkan Prinsip Syariah” dan pada Pasal 1 butir 13
disebutkan berlakunya hukum Islam sebagai dasar transaksi di perbankan syariah.
2)
Teknis operasional produk dan
transaksi syariah yang digunakan pada bank syariah diatur dalam Fatwa DSN MUI.
3)
Eksistensi bank syariah diperkuat
dengan adanya UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang memungkinkan
kebijakan moneter berdasarkan prinsip syariah.
4)
UU No. 21 tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
d. UU No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji
(diganti dengan UU No. 13 Tahun 2008).
e. UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelo!aan Zakat, Infak dan
Shadaqah. Undang – Undang ini lahir karena terinspirasi oleh situasi
krisis moneter. Ketika itu, terbuka pikiran para cendekiawan Islam untuk
mencari pintu keluar dari krisis moneter tersebut. Mereka yang dapat
menyalurkan pikiran ke DPR melihat bahwa sesungguhnya ada potensi masyarakat
yang dapat digali dan dikembangkan untuk membangun kekuatan ekonomi yang masih
belum dilirik secara ekonomi maupun manajerial.
f. UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Otonomi
Khusus Nangroe Aceh Darussalam.
g. UU Politik Tahun 1999 yang mengatur ketentuan partai Islam.
h. UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Tujuan
dikeluarkannya undang – undang ini adalah untuk menertibkan prosedur
kepengurusan dan tujuan wakaf, selain dari itu adalah untuk mengantisipasi
penyalahgunaan terhadap tanah wakaf.
Di samping tingkatannya yang berupa Undang-undang, juga terdapat
peraturan-peraturan lain yang berada di bawah Undang-undang, antara lain:
a. PP No.9 Tahun 1975 tentang Petunjuk Pelaksanaan UU Hukum
Perkawinan, mengatur lebih lanjut mengenai prosedur perceraian. Sebagai
eksistensi dari ketentuan agama, bahwa perceraian adalah hal yang dihalalkan
dan tata cara perceraian harus menurut hukum agama sebagai hak dari suami untuk
“cerai talak” sementara untuk “cerai gugatan” merupakan putusan dari hakim
Pengadilan Agama.
b. PP No.28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
c. PP No.72 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Bank
Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.
d. Inpres No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.[15]
Sumber penyusunan kompilasi ini adalah wahyu yang terdapat dalam Al-Qur’an,
Sunnah Rasulullah yang terdapat dalam kitab – kitab hadis, dan ra’yu melalui
ijtihad yang tercermin dalam kitab – kitab fiqih, pendapat para ulama
Indonesia, yurisprudensi peradilan agama yang diperoleh melalui jalur
pengkajian kitab – kitab fiqih lama, jalur ulama khususnya ulama fiqih, jalur
yurisprudendi, dan jalur studi perbandingan dengan negara – negara lain.
Garis – garis
hukum Islam dituangkan ke dalam bahasa perundang – undangan dan disusun ke
dalam tiga buku. Buku I mengenai Hukum Perkawinan, terdiri dari 19 bab dengan
170 pasal. Buku II mengenai Hukum Kewarisan, terdiri dari 6 bab dengan 44 pasal
(mulai dari pasal 171 sampai dengan pasal 214). Mengenai hukum kewarisan yang
dimasukkan kepada buku II hanyalah pokok – pokoknya saja, sisanya akan menunggu
pembentukan Undang – Undang Kewarisan Nasional yang akan datang. Buku III
mengenai Hukum Perwakafan terdiri dari 5 bab dengan 44 pasal (pasal 215 sampai
dengan pasal 228).
e.
Inpres No.4/2000
tentang Penanganan Masalah Otonomi Khusus di NAD.
3. Kompilasi
Hukum Islam Sebagai Produk Hukum di Indonesia
KHI
disusun atas prakarsa penguasa Negara, dalam hal ini Ketua Mahkamah Agung dan
Menteri Agama (melalui Surat Keputusan Bersama) dan mendapat pengakuan ulama
dari berbagai unsure. Secara resmi KHI merupakan hasil consensus (ijma’)
ulama dari berbagai “golongan” melalui media lokakarya yang dilaksanakan secara
nasional, yang kemudian mendapat legalisasi dari kekuasaan Negara.
Penyusunan
KHI dapat dipandang sebagai suatu proses transformasi hukum Islam dalam bentuk
tidak tertulis ke dalam peraturan perundang-undangan. Dalam penyusunannya dapat
dirinci pada dua tahapan. Pertama, tahapan pengumpulan bahan baku, yang
digali dari berbagai sumber baik tertulis maupun tidak tertulis. Kedua,
tahapan perumusan yang didasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan sumber hukum Islam (al-Qur’an dan Sunnah Rasul), khususnya ayat dan
teks yang berhubungan dengan substansi KHI.
Tahapan
pengumpulan bahan baku dalam penyusunan KHI dilakukan melalui beberapa jalur.
Jalur pertama, penelahaan 38 kitab fiqh dari berbagai mazhab, mencakup
160 masalah hukum keluarga. Penelahaan kitab fiqh itu dilakukan para pakar di
tujuh IAIN. Jalur kedua, wawancara dengan 181 ulama yang ttersebar di
sepuluh daerah hukum Pengadilan Tinggi Agama waktu itu (Aceh, Medan, Padang,
Palembang, Bandung, Surakarta, Surabaya, Banjarmasin, Ujung Pandang dan
Mataram). Jalur ketiga, penelahaan produk pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama yang terhimpun dalam 16 buah buku. Ia terdiri atas empat jenis,
yakni himpunan putusan PTA, himpunan fatwa pengadilan, himpunan yurisprudensi
Pengadilan Agama, dan law report tahun 1977 sampai 1984. Jalur keempat,
kajian perbandingan hukum keluarga yang berlaku di Maroko, Mesir dan Turki.
Di samping itu, memperhatikan aspek-aspek historis dan kemajemukan masyarakat
bangsa Indonesia, baik secara vertikal maupun horizontal.
Dalam
perumusan KHI, secara substansial dilakukan dengan mengacu kepada sumber hukum
Islam, yakni al-Qur’an dan Sunnah Rasul; dan secara hirarki mengacu kepada
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di samping itu, para perumus KHI
memperhatikan tatanan hukum Barat tertulis (terutama hukum Eropa Kontinental)
dan Tatanan hukum Adat, yang memiliki titik temu dengan tatanan hukum Islam.
Berkenan dengan hal itu, dalam beberapa hal, maka terjadi adaptasi dan
modifikasi tatanan hukum lainnaya itu ke dalam KHI. Dengan demikian, KHI
merupakan suatu perwujudan hukum Islam yang khas di Indonesia. Atau dengan
perkataan lain, KHI merupakan perwujudan hukum Islam yang bercorak
keindonesiaan.[16]
4. Latar
Belakang Terbentuknya Kompilasi Hukum Islam
Pada
akhir dekade 1980-an terdapat dua peristiwa penting berkenaan dengan
perkembangan hukum dan peradilan Islam di Indonesia. Pertama, dalam suatu
lokakarya yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 25 Februari 1988, ulama
Indonesia telah menerima tiga rancangan buku kompilasi hukum Islam. Rancangan
kompilasi itu, tiga tahun kemudian yaitu pada tanggal 10 Juni 1991, mendapat
legalisasi Pemerintah dalam bentuk Intruksi Presiden kepada Menteri Agama untuk
digunakan oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya. Intruksi
itu dilaksanakan dengan keputusan Menteri Agama Nomor 154 tanggal 22 Juli 1991.
Kedua, pada tanggal 29 Desember 1989 tentang peradilan Agama, setelah mengalami
perubahasan yang sangat alot, baik di kalangan pemerintah maupun di dewan
Perwakilan Rakyat.
Kedua
peristiwa itu merupakan suatu rangkaian yang saling berhubungan secara timbal
balik dan saling melengkapi. Kompilasi hukum Islam (KHI) disusun dan dirumuskan
untuk mengisi kekosongan hukum substansial (mencakup hukum perkawinan,
kewarisan dan perwakafan), yang diberlakukan pada pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama. sedangkan di dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, antara
lain diatur tentang kekuasaan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama di
bidang perkawinan, kewarisan, hibah wasiat, wakaf dan shadaqah, khususnya bagi
orang-orang yang beragama Islam.
Penerapan
hukum Islam dalam proses pengambilan keputusan di pengadilan itu selalu menjadi
masalah, oleh karena rujukan yang digunakan oleh pengadilan senantiasa
beranekaragam. Ia terdiri atas beragam kitab fiqh dari berbagai aliran
pemikiran (mazhab), yang berakibat munculnya keragaman keputusan pengadilan
terhadap perkara serupa. Hal itu sangat merisaukan para petinggi hukum,
terutama dari kalangan Mahkamah Agung dan Departemen Agama.[17]
Untuk
mengatasi hal tersebut diperlukan adanya suatu buku hukum yang menghimpun semua
hukum terapan yang berlaku bagi lingkungan Peradilan Agama untuk dijadikan
pedoman oleh para hakim dalam melaksanakan tugasnya, sehingga terjamin adanya
kesatuan dan kepastian hukum.
Melalui
jalan panjang dengan proses yang penuh lika-liku, pada tahun 1991 terbentuklah
kompilasi hukum Islam yang dilegalisasi dalam bentuk formal di Indonesia dengan
Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1991 dan Keputusan Menteri
Agama Nomor 154 tahun 1991.[18]
5. KHI Dalam Tatanan
Hukum Indonesia
Dalam
UUD 1945 hanya menyebutkan beberapa jenis peraturan, yaitu Undang-undang (UU),
Perpu dan Peraturan Pemerintah (PP). Namun dalam praktek ketatanegaraan
mengalami modifikasi dan revisi berdasarkan politik hukum. Melalui TAP. MPRS
No.XX/MPRS/1966, tata urutan peraturan perundang-undangan diformulasikan dalam
urutan, yaitu UUD 1945, TAP. MPR., UU (formal), Perpu, PP, Kepres, dan
peraturan pelaksana lainnya yang lebih rendah, seperti Peraturan Menteri atau
instruksi Menteri.
Tap.
MPRS No.XX Tahun 1966 tersebut belum mencerminkan acuan ketatanegaraan,
sehingga direvisi melalui Tap. MPR No. V Tahun 1973 dan Tap MPR No.IX Tahun
1978, sehingga Hirarki peraturan perundang-undangan menjadi UU dan Perpu setingkat
UU, PP, Kepres, Kepmen, Keputusan Kepala Lembaga Pemerintahan Non Departemen,
Kep. Dirjen Departemen, Keputusan Badan Negara, Peraturan Daerah Tingkat I,
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tk.I, Peraturan daerah Tk.II, dan Keputusan
Bupati/Walikota Kepala Daerah Tk.II, (Achmad Ali, 1990:42).
Akibat
adanya amandemen UUD 1945 pada sidang Tahunan MPR 2000, maka upaya revisi
kembali terulang, sebagai upaya pemantapan Indonesia sebagai Rechtstaat
(negara Hukum). Hasil amandemen tersebut menunjukan tata urutan peraturan
perundang-undangan sebagai berikut: UUD
1945, Tap. MPR, UU, Perpu, PP, Kepres, dan Perda. Pembukaan UUD 45 sebagai
Norma dasar, sedangkan batang tubuh sebagai aturan dasar, dan jenis aturan di
bawahnya disebut aturan perundang-undangan. Bahkan pada amandemen UUD 45 Tahun
2000 ini dijelaskan secara rinci tugas masing-masing, seperti Tap. MPR dibuat
oleh MPR, UU dibuat oleh DPR, Perpu dan PP serta Kepres oleh Presiden.
Bila
UUD ‘45 merupakan Norma Dasar (pembukaan) dan aturan dasar (Batang tubuh), maka
aturan yang di bawahnya menjadi peraturan yang menjabarkan norma dasar dan
aturan dasar. KHI termasuk dalam kelompok kedua, sebagai penjabaran dari aturan
dasar Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 45.
Sesuai asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori,
bahwa undang-undang atau aturan yang mempunyai derajat lebih rendah dalam
hirarki perundangan tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi. Secara
filosofis, KHI yang didasarkan pada Inpres tidak bertentangan dengan aturan
yang lebih tinggi, bahkan materi hukumnya mengisi kekosongan materi hukum pada
peradilan Agama sesuai amanat penjelasan umum UUD 45, di mana disebutkan. di
samping UUD, berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis. Mengingat KHI termasuk dalam kelompok hukum
materil yang tidak tertulis, maka secara yuridis memiliki kekuatan hukum.[19]
6. Materi Pokok
Dalam KHI
Keseluruhan
KHI terdiri atau terbagi dalam Tiga Kitab Hukum, dengan urutan sebagai berikut
:
1.
Buku
I : Hukum Perkawinan, terdiri atas 19 Bab meliputi 170 pasal (pasal 1 samapai
dengan pasal 170).
2.
Buku
II : Hukum Kewarisan, terdiri atas 6 Bab meliputi 43 pasal (pasal 171 sampai
dengan pasal 214).
3.
Buku
III : Hukum Perwakafan, terdiri atas 5 Bab meliputi 12 pasal (pasal 215 sampai
dengan pasal 228).[20]
C. Penutup
Sejarah
perkembangan hukum Islam di Indonesia dimulai sejak pertama kali Islam masuk ke
Indonesia. Dalam perkembangan sejarahnya perkembangan hukum Islam dapat dibagi
menjadi empat periodesasi :
1.
Fase
berlakunya hukum Islam sepenuhnya. Dalam fase ini, dikenal teori reception
in complexu seperti yang dikemukakan oleh L.W.C. Van Den Breg.
2.
Fase
berlakunya hukum Islam setelah dikehendaki atau diterima oleh hukum adat. Hal
ini dikenal dengan teori Receptio yang dikemukakan oleh Snouck Hurgronje
dan Cornelis Van Vollenhoven.
3.
Hukum
Islam sebagai sumber persuasif, yang dalam hukum konstitusi disebut dengan persuasisive
source, yakni bahwa suatu sumber hukum baru dapat diterima hanya setelah
diyakini.
4.
Hukum
Islam sebagai sumber otoritatif, yang dalam hukum konstitusi dikenal dengan outheriotative
source, yakni sebagai sumber hukum yang langsung memiliki kekuatan hukum.
Dalam
perjalanannya pasca kemerdekaan, telah lahir beberapa produk hukum Islam di Indonesia.
Salah satunya Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang pada tanggal 10 Juni 1991,
mendapat legalisasi Pemerintah dalam bentuk Intruksi Presiden kepada Menteri
Agama untuk digunakan oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang
memerlukannya. Intruksi itu dilaksanakan dengan keputusan Menteri Agama Nomor
154 tanggal 22 Juli 1991.
Keberadaan
KHI sebagai kumpulan hukum Islam sangat membantu hakim dalam peradilan agama
dalam memutuskan perkara yang dihadapi berkaitan dengan perkawinan, kewarisan
dan perwakafan. Sehingga, akan terbentuk penyeragaman putusan dalam pelaksanaan
proses peradilan di Pengadilan agama di Indonesia.
KEPUSTAKAAN
Ahmad,
Amrullah, dkk. 1996. Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta:
Gema Insani Pers.
Ali, Muhammad Daud. 1984. Kedudukan Hukum Islam dan Sistem Hukum
di Indonesia. Jakarta: Risalah.
Ali,
Muhammad Daud. 1997. Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan).
Jakarta: Rajawali Pers.
Amir
Machmud dan Rukmana. 2010. Bank Syariah : Teori, Kebijakan, dan Studi
Empiris di Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Anshori,
Abdul Ghofur dan Yulkarnain Harahab, Hukum Islam Dinamika dan
Perkembangannya di Indonesia, Yogyakarta : Total Media, 2008
Bisri,
Cik Hasan, dkk. 1999. Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta
: Logos Wacana Ilmu.
Hazairin. 1976. Hendak ke Mana
Hukum Islam. Jakarta: Tinta Mas
Hutagalung, Mura. 1985. Hukum
Islam dalam Era Pembangunan. Jakarta: Ind-Hill-CO. Cet I
Kusnadi, Didi. 2010. Hukum Islam di Indonesia (Tradisi, Pemikiran,
Politik Hukum dan Produk Hukum). Kuningan: Ebook.
Notosusanto. 1963. Organisasi dan Yurisprudensi Pengadilan Agama
di Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Penerbit Gajah Mada
Sunny, Ismail, dkk. 2001. Prospek Hukum Islam dalam Kerangka
Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia. Jakarta : Rajawali Press.
Supriyadi,
Dedi. 2007. Sejarah Hukum Islam. Bandung : Pustaka Setia.
Suryaman, Tjua. 1991. Politik Hukum di Indonesia, Perkembangan
dan Pembentukannya, Bandung: Raja Rosdakarya. Cet. I
Wignjodipoero, Soerojo. 1990. Pengantar dan Asas-asas Hukum
Adat. Jakarta: Haji Mas agung
[1] Ismail Sunny, dkk, Prospek Hukum Islam dalam Kerangka
Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, Jakarta : Rajawali Press, 2001, h.
200
[2] M. Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dan Sistem Hukum di Indonesia,
(Jakarta: Risalah, 1984), h. 12
[3] Tjua Suryaman, Politik Hukum di Indonesia, Perkembangan dan
Pembentukannya, (Cet. I: Bandung :
Raja Rosdakarya, 1991), h. 43-44
[4] Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta:
Haji Masagung, 1990), h. 28
[7] Notosusanto, Organisasi dan Yurisprudensi Pengadilan Agama di
Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Gajah Mada, 1963), h. 9-10
[8]
Abdul Ghofur
Anshori dan Yulkarnain Harahab, Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di
Indonesia, Yogyakarta : Total Media, 2008, h. 93
[12] Mohammad Daud
Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan). Jakarta:
Rajawali Pers, 1997. h. 39 – 54.
[13] Ibid, h.277
[14] Amir Machmud
dan Rukmana, Bank Syariah : Teori, Kebijakan, dan Studi Empiris di Indonesia.
Jakarta: Erlangga, 2010. h. 21.
[15] Muhammad Daud
Ali, op,cit,. h. 111 – 140.
[16] Cik Hasan
Bisri, dkk, Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta :
Logos Wacana Ilmu, 1999, h. 8-9
[17] Ibid.,
h. 1-2
[18] Dedi
Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, Bandung : Pustaka Setia, 2007, h. 387
[19] Amrullah
Ahmad,dkk, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional Cet.I; Gema
Insani Pers, Jakarta,1996, h. 150
[20] Cik Hasan
Bisri, dkk, op.cit., h. 49
Tidak ada komentar:
Posting Komentar