Setelah wafatnya Rasulullah semua wahyu terhenti. Para sahabat tidak bisa lagi mengadu kepada
Rasulullah apabila mereka menemui suatu permasalahan. Maka karena itu apabila
mereka menemui permasalahan mereka merujuk kepada al-quran, apabila mereka
tidak menemukan di dalam al-quran, maka mereka mencari dalam sunnah, apabila
tidak ditemukan juga maka mereka berijtihad.
Diantara usaha dalam ijtihad yang mereka
lakukan adalah menakar suatu masalah dan mencari padanannya dengan permasalahan
lain ayng tidak mempunyai dalil hukum. Inilah yang dikenal dengan istilah
qiyas. Yaitu melihat kepada illat dari permasalahan yang akan dijadikan sebagai
takaran atau padanan dalam melahirkan hukum yang baru.
Dalam kesempatan ini akan dibahas fokus
mengenai slah satu rukun dari qiyas itu sendiri, yaitu mengenai illat. Yang
meliputi mengenai pengeritan, syarat dan cara menemukan illat.
‘ILAT HUKUM DAN
CARA MENEMUKANNYA
1.
Pengertian ‘Illat
‘Illah di dalam kitab-kitab ushul sering juga disebut sebagai manaat al-hukm
(kausa hukum), amarah al-hukm (tanda hukum) dan sabab.[1] Seperti yang ditemukan dalam sebuah kitab, bahwa Illat itu adalah مناطق الحكم :sesuatu yang menentukan
ada atau tidaknya hukum. Secara
etimologis, “illat berati nama bagi sesuatu yang menyebabkan berubahnya keadaan
sesuatu yang lain dengan keberadaannya. Misalnya penyakit dikatakan ‘illat,
karena dengan adanya penyakit tersebut tubuh manusia berubah dari sehat menjadi
sakit.[2]
Secara terminology, mayoritas ulama
Hanafiyah dan Hanbaliyah mendefenisikan:
المعرفة الحكم[3]yaitu
suatu yang dengannya dapat diketahui hukum. Maksudnya ‘illat sebagai pengenal (pemberitahu)
adanya hukum. Apabila terdapat suatu ‘illat pada sesuatu, maka hukumnya ada.
Dengan arti kata, ‘illat tersebut menjadi pertanda bagi adanya hukum. Tetapi
bukan berarti hukum ada disebabkan adanya ‘illat.
‘Illat adalah suatu sifat yang ada pada ashal yang sifat itu yang menjadi
dasar untuk menetapkan hukum ashal serta untuk mengetahui hukum pada fara’ yang
belum ditetapkan hukumnya, seperti menghabiskan harta anak yatim merupakan
suatu sifat yang terdapat pada perbuatan memekan harta anak yatim yang menjadi
dasar untuk menetapkan haramnya hukum menjual harta anak yatim.[4]
‘Illat ialah suatu sifat yang nyata dan berlaku tiap kali peristiwa
terjadi, dan sejalan dengan tujuan penetapan hukum. Sebagaimana diketahui,
berdasarkan penelitian yang mendalam, diyakini bahwa tujuan Allah dalam
menetapkan setiap hukum adalah untuk mewujudkan setiap kemashlahatan bagi
hamba-hamba-Nya, yaitu dengan meraih manfaat dan menghindarkan bahaya dan
kemudaratan bagi hamba.[5]
Jadi ‘illat itu merupakan suatu ukuran atau patokan dalam mengambil
keputusan yang dijadikan sebagai titik banding antara permasalahan yang sudah
mempunyai hukum dengan permasalahan yang belum ada hukumnya. Bisa juga disebut
sebagai alasan logika dari pengambilan hukumnya.
Dalam hal ini, ada tiga istilah yang pada hampir bersamaan, yaitu ‘illat,
sabab dan hikmah. Tiga hal ini pada umunya sama-sama merupakan dasar dan ukuran untuk
membuat suatu hukum. Adapun perbedaannya sebagai berikut; ‘illat adalah suatu
sifat yang nyata, sesuai dengan tujuan hukum dan terukur, di mana asy-syari’
menjadikan sebagai gantunngan/kaitan adanya hukum. Misalnya: tindakan
perusakan harta benda menjadi ‘illah adanya ketentuan kewajiban
mengganti barang yang dirusakan. Demikian juga, akad atau transaksi merupakan ‘illah
adanya keawjiban untuk memenuhi apa yang diakadkan.[6]
Smentara itu, yang disebut dengan sabab ialah, suatu sifat yang nyata dan
terukur, di mana asy-syari’ menjadikan sebagai gantungan/kaitan adanya
hukum, baik hukum tersebut memiliki unsur munasib (hubungan yang serasi)
dengan hukum itu sendiri (seprti contoh ‘illah di atas), maupun tidak
terlihat adanya keserasian hubungan antara sifat tersebut dengan hukumnya,
seperti hubungan antara tergelincirnya matahari di tengah hari (zawal
asy-syams) dengan masuknya waktu shalat zuhur, atau hubungan antara
menyaksikan hilal ramadan dengan kewajiban melaksanakan puasa ramadan. Dengan
demikian dapat ditegaskan, bahwa sabab lebih bersifat umum dari pada ‘illah,
di mana sifat hukum yang menjadi ‘illah mesti memiliki kesesuaian yang
serasi (munasib) dengan hukumnya, sedangkan sabab tidak mesti memiliki unsur
munasib.[7]
Sementara itu yang dimaksud dengan hikmah ialah, dampak yang timbul dalam
bentuk lahirnya manfaat atau terhindarnya kemudaratan, dari adanya hubungannya
antara hukum dengan ‘illah atau sababnya. Dengan kata lain, hikmah
mengambarkan tujuan penetapan hukum itu sendiri. Dalam hal ini para ulama
sepakat, bahwa ada atau tidak adanya ketentuan hukum tertentu tergantung kepada
atau tidak adanya ‘illah atau sababnya, meskipun terkadang hikmah yang
ditimbulkannya berbeda-beda.[8]
Hikmah hukum merupakan pendorong pembentukan hukum dan sebagai tujuannya
yang terakhir ialah untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat dengan
memperoleh manfaat dan keuntungan serta terhindar dari segala macam kerusakan.
‘illat hukum suatu sifat yang nyata dan pasti yang ada pada suatu peristiwa
yang dijadikan dasar hukum.[9]
‘Illat merupakan sifat dan keadaan yang melekat pada dan mendahului
peristiwa/ perbuatan hukum yang terjadi dan menjadi sebab hukum, sedangkan
hikmah adalah sebab positif dan hasil yang dirasakan kemudian setelah adanya
peristiwa hukum. Sebagai contoh; seorang musafir boleh mengqasar shalatnya,
seperti mengerjakan shalat zhuhur yang empat rakaat menjadi dua rakaat dan
sebagainya. Hikmahnya adalah untuk menghilangkan kemusyaqqatan dan kemudaratan.[10]
Contoh lain, ‘illah adanya hak syuf’ah (prioritas untuk
membeli barang) bagi orang tertentu dibandingkan orang lain, karena orang
tersebut merupakan mitra usaha (syarik) atau tetangga dari orang yang
menjual barang itu. Sedangkan hikmah yang menjadi tujuan hukum adanya hak
syuf’ah ialah untuk menghindarkan kemudaratan, yaitu hal-hal yang tidak
diinginkan (‘azda) yang mungkin timbul dari mitra usaha atau tetangga
baru terhadap mitra usaha atau tetangga lamanya.[11]
Dalam kaitannya dengan hukum, apabila ‘illah syuf’ah telah
terwujud, maka secara otomatis hukum syuf’ah menjadi lahir pula,
meskipun tidak terdapat kemudaratan di dalamnya. Sebaliknya, hak syuf’ah
tidak lahir, meski seseorang telah merasakan kemudaratan yang timbul oleh mitra
usahanya atau tetangga lamanya. Dengan kata lain, adanya hikmah yang merupakan
tujuan hukum pada suatu keadaan, tidak secara otomatis menimbulkan hukum, tidak
pula dapat mengubah ketentuan hukum. Sebab yang dapat menimbulkan hukum adalah ‘illah
atau sabab, bukan hikmah.[12]
Hikmah ini hanya merupakan dugaan saja dan tidak dapat dijadikan dasar ada atau
tidaknya hukum.[13]
2. Syarat-Syarat Dan Macam-Macam ‘Illat
a. ‘Illat itu merupakan suatu sifat yang jelas, nyata dan bisa ditangkap oleh
panca indra manusia[14].
Maksudnya ‘illat harus kongkrit, tidak banyak membutuhkan pemiliran manusia
sehingga dengan mudah dapat ditentukan. Contohnya, sifat memabukkan menjadi
‘illat diharamkannya khamar. Sifat membunuh menjadi ‘illat yang menghalangi
seseorang menerima warisan.
b. ‘Illat itu mundhabith[15](dapat
diukur atau tepat) yaitu memiliki hakikat tertentu dan terbatas dan berlaku
untuk setiap orang serta keadaan. Dengan arti kata, ‘illat itu harus kuat,
tidak terpengaruh oleh perbedaan individu dan situasi ataupun keadaan lingkungan
atau dapat menakomodasi seluruh perubahan yang terjadi secara definitif.
Seperti, membunuh dipandang sifat yang dapat diukur dan menjadi ‘illat yang
bisa menghalangi seseorang mendapatkan kewarisan. ‘illat membunuh ini juga
dapat direntangkan kepada pembunuhan dalam kasus wasiat.
c. ‘Illat itu dapat dapat direntangkan kepada kasus yang lain (muta’addi)[16].
Maksunya ‘illat itu menpunyai jangkauan yang luas, tidak saja terdapat pada ashal
tetapi juga terdapat pada furu’ (kasus lain). Oleh karena itu, apabila
‘illat tidak dapat menjangkau secara luas, maka qiyas tidak dapat dilakukan.
Atas dasar itu ‘illat qasirah yaitu ‘illat yang hanya terbatas kepada kasus
tertentu dan tidak mungkin berlaku kepada kasus lain tidak dapat dijadikan
‘illat.
d. Tidak ada dalil yang menyatakan bahwa sifat itu tidak dipandang untuk
menjadi ‘illat.[17]
Maksudnya, sifat yang menjadi ‘illat itu tidak dinyatakan batal oleh suatu
dalil. Seperti, pendapat sementara orang yang berpendapat isteri mempunyai hak
talak didasarkan sukarela kedua belah pihak. Akan tetapi kerelaan suami isteri
ini tidak dipandang oleh syara’ karena bertentangna dengan hadis berikut:
عن إبن عباس قال: أتى انبيى صلعم رجل فقال: يل
رسول الله إنن سيدي زوجني أمته وهو يريد أن يفرق بيني و بينها قال: فصعد رسول الله
صلى الله عليه وسلم المنبر فقال: يايها الناس إما بال أحدكم يزوج عبده أمته ثم
يريد أن يفرق بينهما ؟ إنما الطلأق لمن أخذ بالساق[18]
e. Harus ada korelasi yang sesuai (munasib wa al-mula’im).[19]
Misalnya, sakit merupakan sifat yang sesuai bolehnya seseorang membatalkan
puasa karena sakit dapat menyulitkan melakukan puasa. Bila dilakukan juga,
khawatir dapat menimbulkan mudarat kepada yang bersangkutan. Padahal syara’
melarang seseorang merusak dan mencelakakan diri sendiri. Sifat yang tidak
mempunyai korelasi yang pantas dan layak dengan hukum, tidak dapat dijadikan
‘illat. Seperti mengantuk tidak dapat dijadikan ‘illat untuk bolehnya seseorang
berbuka puasa, karena antara puasa dan mengantuk tidak mempunyai korelasi yang
layak.
f. Hendaknya sifat yang dijadikan ‘illat itu jelas untuk hikmah yang
dimaksudkan oleh syara’ dan bukan hikmah semata.[20]
Maksudnya sifat yang menjadi ‘illat itu nyata untuk hikmah. diduga kuat sifat
itu dapat mewujudkan kemaslahatan bagi manusia untuk waktu sekarang dan waktu
yang akan datang.
g. ‘Illat itu tidak datang belakangan dari hukum ashal.[21]
Dengan arti penetapan, ‘illat hukum tidak terkemudian dari penetapan hukum.
Bila ‘illat dianggap sebagai motivasi atau pemberitahu, tentu sebagai motivasi
atau pemberitahu ‘illat tidak boleh datang terlambat dari hukkum ashal.
h. ‘Illat itu bersifat utuh dan berlakku secara timbal balik. Maksudnya bila
ada ‘illat, maka hukumpun ada, dan sebaliknya bila ‘illatnya hilang, maka
hukumnya tidak ada. Seperti keadaan terpaksa merupakan ‘illat dibolehkannya
memakn bangkai dan daging babi. Apabila keadaan terpaksa sudah hilang, maka
seseorang tidak dibolehkan lagi memekan bangkai dan daging babi tersebut.
i. ‘Illat itu terdapat dalam hukum syara’
j. ‘Illat itu tidak bertentangan dengan ‘illat lain yang posisinya lebih kuat.
k. ‘Illat tidak menyalahi nash atau ijmak. Syarat ini dikemukakan oleh Ibn
Hajib, sebagian ulama Syafi’iyah dan golonngan Hanafiyah.[22]
Menurut mereka, dasar dalam menetapkan hukum adallah nash atau ijmak, bkan
dengan ‘illat. Digunakan ‘illat, bila nash atau ijmak memang menunjukkan kepada
kita bahwa ‘illat itu termuat di dalam keduanya. Oelha karena itu tidaklah
logis apabila ‘illat menyalahi nash atau ijmak.
Abdul Wahab Kalaf menyebutkan, bahwa syarat-syarat
‘illat yang telah disepakati ada empat, yaitu:
1.
Hendaklah
ia merupakan sifat yang nyata, yakni sifat material yang dapat dijangkau oleh
panca indra yang lahir. Karena ‘illat adalah yang membatasi hukum pada cabang, maka
oleh karena itu harus terdiri dari hal yang nyata dan yang bisa dijangkau oleh
rasa pada ashal dan bisa terjangkau wujudnya pada cabang.[23]
Hal ini duperlukan karena ‘illat itulah yang menjadi dasar untuk menetapkan
hukum yang ada pada fara’. Seperti sifat pada menghabiskan harta anak yantim,
terjangkau oelh panca indra dan akal, bahwa ‘illat itu ada pada memekan harta
anak yatim (ashal) dan terjangkau pula oleh pancaindera dan akal bahwa ‘illat
itu ada pada menjual harta anak yatim (fara’). Jika sifat ‘illat itu
samar-samar, kurang jelas dan masih ragu-ragu, tentulah tidak dapat untuk
digunakan untuk menetapkan ada dan tidaknya hukum pada ashal.[24]
2. Hendaklah ia merupakan sifat yang pasti, yakni tertentu dan terbatas, dapat
dibuktikan wujudnya pada cabang dengan membatasi, atau karena terdapat sedikit
perbedaan. Karena asas qiyas adalah bersamaan cabang dan ashal pada ‘illat
hukum ashal. Kesamaan ini mengharuskan adanya ‘illat sebagai yang pasti dan
terbatas, sehingga dapat menjatuhkan hukum bahwa dua kejadian itu sama
‘illatnya.[25]
Seperti pembunuhan sengaja dilakukan oleh ahli waris terhadap orang yang akan
diwarisinya hakekatnya adalah pasti, karena itu dapat dijadikan dasar qiyas
atas pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja oleh penerima wasiat terhadap
orang yang telah memberi wasiat kepadannya.
3. Hendaknya merupakan siafat yang sesuai, yakni terdiri dari tempat dugaan
mewujudkan hikmah hukum, artinya bahwa hubungan hukum denngan sifat itu dalam
atau tidaknya harus diwujudkan apa yang menjadi tujuan pembuat hukum dalam
bentuk hukum dari segi menarik keuntungan atau menghindari bahaya, karena yang
memotofisir secara hakiki dan tujuan utama dalam pembentukan hukum adalah
hikmahnya. Jadi seandainya hikmah semua hukum itu nyata dan pasti, niscaya
hikmah itu adalah ‘ilat-‘ilat hukum, karena ia adalah memotifisir
pembentukannya.[26]
Seperti hal yang memabukkan adalah hal yang sesuai dengan haram minum khamar,
yaitu memelihara akal dengan menghindari diri dari mabuk. Dan adanya hukum
qisas terhadap pembunuhan yang disengaja yang mempunyai hikmah untuk menjaga
kehidupan manusia.
4.
Hendaknya tidak merupakan sifat yang terbatas
pada ashal, artinya harus sifat yang dapat diwujudkan pada beberapa individu
dan bisa didapati pada selain ashal. Karena tujuan yang dimaksudkan dari
pemberian ‘illat hukum ashal, adalah jangkauannya hukum ashal itu sendiri pada
cabang, maka seandainya hukum itu diberi ‘illat dengan ‘illat yang tidak bisa
didapati pada selain ashal, tidak dapat dijadikan sebagai asas qiyas. Seperti
hukum-hukum yang khusus berlaku bagi Nabi Muhammad SAW tidak dijadikan dasar
qiyas untuk mengawini wanita lebih dari empat orang, hal ini tidak berlaku bagi
orang lain.
Pembagian
‘illat
1.
Sesuai dan berpengaruh (al-muanasib
al-mu’tsir), yaitu siafat yang sesuai yang oleh s?yar’i telah disusun hukum yang
sesuai dengan sifat itu, baik dalam nash maupun ijma’. Sifat tersebut telah
ditetapkan sebagai ilmu hukum. Penyusunan hukum itu atas dasar penyesuaian
terhadap sifat tersebut, seperti firman Allah:
tRqè=t«ó¡our Ç`tã ÇÙÅsyJø9$# ( ö@è% uqèd ]r& (#qä9ÍtIôã$$sù uä!$|¡ÏiY9$# Îû ÇÙÅsyJø9$# ( wur £`èdqç/tø)s? 4Ó®Lym tbößgôÜt ( #sÎ*sù tbö£gsÜs? Æèdqè?ù'sù ô`ÏB ß]øym ãNä.ttBr& ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÎ/º§qG9$# =Ïtäur úïÌÎdgsÜtFßJø9$#
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh.
Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu
hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu
mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka Telah suci, Maka
campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang
mensucikan diri.
Hukum yang pasti dalam nash ini adalah keharusan menghindari wanita di waktu
haid, dan telah tersusun (sebagai dasar) bahwa ia adalah kotoran (adza).
Sedangkan shighat nash bahwa `illat hukum ini adalah kotoran. Maka oleh karena
itu, kotoran yang menjadi sebab keharusan menghindari wanita di waktu haid
adalah sifat yang sesuai dan mempengaruhi (al-muanasib al-mu’tsir).[27]
Dan sabda Nabi SAWلآيرث القاتل (pembunuh tidak punya hak unutk menerima harta pusaka).
Maka hukum yang pasti dalam nash ini, ialah mencegah pembunuh dari memperoleh
harata pusaka orang yang diwarisi. Telah tersusun (sebagai dasar) bahwa dia
adalah pembunuh, sedsang sighat nash memberi petunjuk bahwa `illat pencegah ini
adalah pembunuhan, karana menghubungkan hukum sumber asli itu adalah
`illat,jadi pembunuhan yang mencegah untuk memperoleh harta pusaka adalah sifat
yang munasib dan mu’tsir.
2. Sesuai dan sepadan (al-muanasib al-mulaa’im), yaitu sifat yang sesuai yang oleh syar’i
telah disusun hukum yang sesuai dengan sifat itu. Dan nash atau ijma’ belum
menetapkannya sebagai ‘illat hukum yang telah disusun atas dasar sesuai
dengannya. Contoh sifat yang sesuai
yaitu keadaan seorang perempuan yang masih kecil sebagai ketetapan kewalian
ayah dalam mengawinkan perempuan yang masih kecil hal ini telah terdapat
ketetapan nash bahwa kewalian ayah adalah mengawinkan anak perempuan yang masih
kecil dan perawan itu. Jadi hukumnya ialah ketetapan kekuasaan yang
disusun atas dasar menyesuaikan sifat perawan dan kecil.
3. Sesuai dan dibiarkan (al-muanasib al-mursal), yaitu sifat yang oleh
syar’I tidak disusun hukum yang sesuai dengannya. Tidak pula terdapat dalil
syara’ yang menunjukkan pengakuannya atau menyia-nyiakan pengakuannya bahawa
sifat itu munasib, artinya dapat menunjukkan maslahah, namun ia mursal, artinya
terlepas dari dalil pengakuan dan dalil pembatalan (ilgha’) yang disebut dengan
al-Maslahatul Mursalah. Contohnya, kemslahatan-kemaslahatan yang oleh sahabat
dijadikan dasar pensyariatan keharusan pajak bagi tanah pertanian, mencetak
uang, pembukuan Al-Qur’an dan prenyebarannya.
4. Sesuai dan disia-siakan (al-muanasib al-mulgha), yaitu sifat yang nyata
bahwa pendasaran hukum adalah mewujudkan kemaslahatan hukum. Contohnya,
menetapkan seseorang yang berbuka pada bulan Ramadhan secara sengaja dengan
hukuman secara khusus adalah pengajaran baginya
3.
Masalikul
‘illat (Cara Mencari ‘illat)
Masalikul ‘illat adalah cara atau metode yang
digunakan untuk mencari sifat atau ‘illat dari suatu peristiwa atau kejadian
yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum. Diantara cara tersebut,
ialah:
a.
Nash yang
menunjukkannya
Dalam hal ini nash sendirilah yang menerangkan
bahwa suatu sifat merupakan ‘illat hukum dari suatu peristiwa atau kejadian. ‘illat
yang demikian disebut ‘illat manshus alaih. Lakukan qiyas berdasarkan ‘illat
yang disebutkan oleh nash pada hakikatnya adalah menetapkan hukum sesuatu
berdasarkan nash. Petunjuk nash tentang sifat sesuatu kejadian atau peristiwa
yang merupakan ‘illat itu ada dua macam yaitu :
1. Dalalah
Sharahah,
ialah penunjukan lafazh yang terdapat dalam nash kepada ‘illat hukum jelas
sekali. Atau dengan kata lain bahwa lafazh nash itu sendiri yang
menunjukan ‘illat hukum dengan jelas, seperti ungkapan yang terdapat dalam
nash: لكي من أجل,.Dalalah sharahah ada dua
macam, yang pertama dalalah sharahah yang qath’I ( apabila penunjukan kepada ‘illat
hukum itu pasti dan yakin, tidak mungkin dialihkan kepada hukum yang lain). Dan
yang kedua ialah dalalah sharahah yang dzanni ( apabila penunjukan nash kepada ‘illat
hukum itu adlah berdasarkan dugaan keras).
2.
Dalalah ima’ ( isharah ), ialah
petunjuk yang dipahami dari sifat yang menyertainya, atau dengan perkataan lain
dan sifat itu merupakan ‘illat ditetapkannya suatu hukum. Jika penyertaan
sifat itui tidak dapat dipahamkan demikian, maka tidak ada gunanya menyertakan
sifat itu
Ada beberapa
macam dalalah ima’, diantaranya ialah:
-
Mengerjakan suatu pekerjaan karena ada terjadi
sesuatu peristiwa sebelumnya. Contohnya seperti Nabi Muhammad SAW mengerjakan
sujud sahwi, karena beliau lupa mengerjakan salah satu dari rukun shalat.
-
Menyebutkan suatu sifat bersamaan ( sebelum
atau sesudah ) dengan hukum. Seandainya sifat itu dipandang bukan sebagai ‘illat
tentulah tidak perlu disebutkan.Contohnya, adalah Nabi SAW bersabda:
حَدَّثَنَا
آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عُمَيْرٍ سَمِعْتُ
عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ كَتَبَ أَبُو بَكْرَةَإِلَى ابْنِهِ
وَكَانَ بِسِجِسْتَانَ بِأَنْ لَا تَقْضِيَ بَيْنَ اثْنَيْنِ وَأَنْتَ غَضْبَانُ
فَإِنِّي سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا
يَقْضِيَنَّ حَكَمٌ بَيْنَ اثْنَيْنِ وَهُوَ غَضْبَانُ
Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Syu'bah Telah menceritakan kepada kami Abdul Malik bin Umair, aku mendengar Abdurrahman bin Abu Bakrah mengatakan, Abu Bakrah menulis surat untuk anaknya yang ketika itu berada di Sijistan yang isinya; 'Jangan engkau mengadili diantara dua orang ketika engkau marah, sebab aku mendengar Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "Seorang hakim dilarang memutuskan antara dua orang ketika marah.
-
Membedakan dua buah hukum dengan menyebutkan
dua sifat yang berbeda pula, seperti sabda Rasulullah SAW :
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَأَبُو كَامِلٍ فُضَيْلُ بْنُ حُسَيْنٍ كِلَاهُمَا عَنْ سُلَيْمٍ قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا سُلَيْمُ بْنُ أَخْضَرَ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ حَدَّثَنَا نَافِعٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَسَمَ فِي النَّفَلِ لِلْفَرَسِ سَهْمَيْنِ وَلِلرَّجُلِ سَهْمًا
و حَدَّثَنَاه ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ وَلَمْ يَذْكُرْ فِي النَّفَلِ
“Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dan Abu Kamil Fudlail bin Husain keduanya dari Sulaim, Yahya berkata; telah mengabarkan kepada kami Sulaim bin Akhdlar dari 'Ubaidullah bin umar telah menceritakan kepada kami Nafi' dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membagikan harta rampasan perang untuk tentara berkuda dua bagian, sedangkan untuk tentara pejalan kaki satu bagian." Dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair telah menceritakan kepada kami ayahku telah menceritakan kepada kami 'Ubaidullah dengan isnad seperti ini, namun dia tidak menyebutkan, "Nafl (harta rampasan)."
Barisan berjalan kaki dan barisan berkuda menjadi
‘illat perbedaan pembagian harta rampasan perang.
-
Membedakan dua hukum dengan syarat, seperti
firman Allah SWT: ( QS.At-Thalaq : 6 )
£`èdqãZÅ3ór& ô`ÏB ß]øym OçGYs3y `ÏiB öNä.Ï÷`ãr wur £`èdr!$Òè? (#qà)ÍhÒçGÏ9 £`Íkön=tã 4
bÎ)ur £`ä. ÏM»s9'ré& 9@÷Hxq (#qà)ÏÿRr'sù £`Íkön=tã 4Ó®Lym z`÷èÒt £`ßgn=÷Hxq 4
÷bÎ*sù z`÷è|Êör& ö/ä3s9 £`èdqè?$t«sù £`èduqã_é& (
(#rãÏJs?ù&ur /ä3uZ÷t/ 7$rã÷èoÿÏ3 (
bÎ)ur ÷Län÷| $yès? ßìÅÊ÷äI|¡sù ÿ¼ã&s! 3t÷zé& ÇÏÈ
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati)
mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil,
Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, Kemudian jika
mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya,
dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu
menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”.
Pada ayat ini diterangkan bahwa hamil menjadi syarat wajibnya pemberian
nafkah kepada istri yang ditalaq ba’in dan menyusukan anak menjadi syarat
pemberian upah menyusukan anak.
-
Membedakan antara dua hukum dengan pengecualian
( istimewa ) dan pengecualian (Istidrak).
b.
Ijma yang
menunjukan
Maksudnya, ialah ‘illat itu ditetapkan dengan
ijma. Seperti belum baligh (masih kecil) menjadi ‘illat dikuasai oleh wali
harta anak yatim yang belum baligh. Hal ini disepakati oleh para ulama.
c.
Dengan
Penelitian
Ada beberapa
cara penelitian itu dilakukan :
1) Tahqiqul Manath ialah mengamalkan berdasarkan nash dan ijma’, maka sesungguhnya hukum itu
dikaitkan dengan sifat yang dibutuhkan pada hukum atas mu’ayyannya sampai
diketahui tetapnya sifat itu padanya.[28]
Contohnya, Allah menetapkan untuk menafkahi isteri dengan cara baik melalui
sabda Nabi SAW:
عن جابر رضي الله عنه قال: رسول الله صلى الله عليه وسلم في ذكر النساء: ولهن
عليكم رزكهن وكسوتهن بالمعروف (أخرجه مسلم)[29]
Berdasarkan hadis di atas
seorang suami berkewajiban menafkahi isteri dan memberikannya pakaian. Akan
tetapi ukuran nafkah isteri tidak mungkin dijelaskan kepada tiap suami. Oleh
karena itu ukuran nafkah isteri ditentukan menurut ‘urf setempat. Hal
ini didukung oleh hadis Nabi seperti berikut ini:
عن عاءشة ان هندا بنت عتبة قالت: يا رسول الله إن ابا سفيان رجل شحيح وليس
يعطيني ما يكفيني وولدي إلا ما أخذت منه وهو لايعل. فقال: خذي ما يكفيك وولدك
بالمعروف (روه البخارى)[30]
2) Tanqihul
manath adalah bahwa dijelaskan
suatu ketentuan hukum atas suatu tertentu, akan tetapi kita mengetahui bahwa
ketentuan tersebut tidak berlaku khusus atas sesuatu tertentu itu.[31]
Dari defenisi di atas yang
dikemukakan oleh Ibn Taimiyah, dapat dipahami bahwa tanqih al-manath
berarti ketentuanhukum yang telah ditetapkan dalam kasus tertentu tidak hanya
berlaku khusus sebagai ketetapan hukum atas sesuatu tertentu. Akan tetapi hukum
itu juga berlaku untuk kasus lainnya. Oleh karena itu cara menngetahui ‘illat
dengan tanqih al-manath ini mencari dan mengupas ‘illat hukum dari
ketetapan hukum atas sesuatu kasus yang telah jelas dalam nash untuk bisa
diterapkan dalam kasus hukum lainnya yang ‘illatnya sama dengan ‘illat hukkum
yang erdapat nash. Seperti kasus tikus yang terjatuh ke dalam minyak. Rasul
bersabda
عن ميمونة رضي الله عنها قالت: سـءـل النبي صلى الله عليه وسلم عن فأرة سقطت
في سمن فقال: القوها وما حولها وكلوه (رواه البخاري)[32]
Kasus ini memperlihatkan
beberapa ‘illat hukum yaitu, keadaan tikus yang jatuh ke dalam minyak, minyak
yang membeku, atau karena najisnya. Ketentuan kasus hukum itu, tidak saja
berlaku untuk tikus yang jatuh ke dalam minyak tersebut, akan tetapi juga
berlaku kepada hewan najis dan jenis makanan lainnya.
3) Takhrij al-Manath. Yang dimaksud dengan takhrij al-manath menurut
Ibn Taimiyah adalah
“Qiyas murni yaitu adanya nash-nash hukum tentang
beberapa hal (perkara) yang kadang dapat diduga bahwa hukum itu tidak berlaku
khusus bagi perkara-perkara tersebut, lalu dicarikan dalil yang sama dengan
kasus tersebut. Cara penarikan dalil ini dilakukan dengan menghilangkan
pembeda, atau mencarikan persamaan sifat berdasarkan tujuan dalail bahwa syar’i
mengaitkan hukum dengan sifat di dalam ashal”.[33]
Selain istilah takhrij al-manath, para
pakar ushul fiqh memakai pula istilah al-munasabah, al-mulaimah, al-istidlal
wa ri’ayah al-maqasid.[34]
Meskipun dengan nama yang beragam, namun tetap mengacu kepada pengertian dan
tujuan yang sama. Tujuan yang dikandung hukum itu berupa pencapaian
kemaslahatan dan menolak kemudaratan. Tercapainya kemaslahatan itu dimungkinkan
dengan adanya sifat yang jelas dan dapat diketahui oleh akal bahwa sifat itu
berlaku pada bagian-bagian lainnya.
Al-munasabah ini juga dapat dibagi kepada:[35]
a. Al-munasib al-muuatsir, yaitu ‘illat yang dipandang oleh nash secara langsung.
Artinya, nash atau ijma’ sendiri yang menjelaskan kedudukan ‘illat itu. Untuk
suatu hukum, secara langsung al-munasib dalam bentuk ini berada pada
tingkatan tertinggi sehingga disepakati oleh ulama dalam hal kedudukannya
sebagai ‘illat hukum. Seperti QS. Al-Jum’ah (62) ayat 9:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) ÏqçR Ío4qn=¢Á=Ï9 `ÏB ÏQöqt ÏpyèßJàfø9$# (#öqyèó$$sù 4n<Î) Ìø.Ï «!$# (#râsur yìøt7ø9$# 4 öNä3Ï9ºs ×öyz öNä3©9 bÎ) óOçGYä. tbqßJn=÷ès?
Dalam ayat di atas perintah meninggalkan jual beli duhubungkan dengan
panggilan shalat jum`at. Jadi panggilan shalat jum`at adalah `illat larangan
jual beli dan `illat itu ditetapkan langsung oleh nash.
b. Al-Munasib al-mulaim, keserasian yang tidak dianggap oleh syara’ sebagai
‘illat hukum secara langsunng. Tetapi anggapan syara’ terletak pada nash lain
sebagai ‘illat hukum, atau sifat yang dianggap oleh syara’ sebagai ‘illat huku,
dari nash tetapi sejenis dengan ‘illat hukum munasib. Misalnya
menetapkan kewalian nikah anak yangbelum dewasa dengan ‘illat belum dewasa.
Berlakunya ‘illat belum dewasa untuk kewalian nikah tidak dipandang oleh nash
atau ijma’, namun ijma’ pernah memandang belum dewasa itu menjadi ‘illat untuk
hukum yang sejenis dengan itu, yaitu pada kewalian harta.
c. Al-Munasib al-mursal, yaitu keserasian yang tidak didukung oleh dalil dan tidak
ada pula dalil yang menolaknya. Akan tetapi di dalamnya terdapat unsur
kemaslahatan dalam mencapai tujuan syara’. Al-Munasib al-mursal ini juga
disebut al-maslahah al-mursalah. Misalnya mengaku sebagai suami isteri
tidak bisa hanya dengan mengajukan saksi, kecuali apabila ada surat nikah
d. Al-Munasib al-mulgha, yaitu munasib yang oleh akal dapat diterima
sebagai sesuatu yang baik dan maslahah, akan tetapi bertentangan dengan nash.
Seperti seorang mufti memberikan fatwanya kepada seorang raja yang berhubungan
seks dengan isterinya di siang hari bulan ramadhan. Yahya al-lits memberi fatwa
untuk raja tersebut dikenakan kafarat puasa dua bulan berturut-turut karena
tidak ada kafarat yang lebih baik dari kafarah tersebut. Mufti itu berfatwa
demikian agar uhkkuman tersebut mambuat raja itu jera. Hukuman itu oleh mufti
sangat relevan bagi seorang pembesar. Akan tetapi hukuman yang difatwakan mufti
itu bertentangan dengan nash. Sebab syara’ telah meneetapkan, orang yang
berhubungan seksual di siang hari bulan ramadhan urutan pertama hukumannya
adalah memerdekakan budak. Oleh karena itu, meskipun terkandung kemaslahatan,
akan tetapi bertentangan dengan nash, maka al-munasib al-mulgha ini
tidak dapat diterima sebagai salah satu cara untuk mendapatkan ‘illat.
Dari penjelasan sebelumnya sudah dapat dipahami, cara
atau metode untuk mendapatkan ‘illat ini cukup suli, bukan suatu hal yang mudah
hanya dengan memandang kepada nash atau ijma’ saja. Dengan artian, bahwa
mengetahui ‘illat tidak saja diketahui dari tujuan nash dan ijma’ tetapi juga
sangat ditentukan oleh kemampuan para mujtahid untuk mencarinya.
KEPUSTAKAAN
Muhammad Hasim Kamali, Prinsip dan
Teori-Teori Hukum Islam, Ushul Fiqh, (Yogyakarta; pustaka pelajar, 1996)
Kemal Muchtar, Ushul Fiqh, jilid I
(Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995)
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh
(Jakarta: Amzah, 2011)
Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum
Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada1988)
Mu’in Umar dkk.Ushul Fiqh. (Jakarta: Departemen Agama RI,
1985)
Al-Syaukani, Irsyad Al-Fuhul, ([t.t]:
Dar al-Fikr, [t.t])
Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-Asqalani, Fath
al-Bari bi Syarah Shahih al-Bukhari, Jilid X, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993)
Taj al-Din Abd al-Wahab ibn al-Subki, Hasyiyah
al-Alamah al-banani ‘Ala Matan Jam’u al-Jawami’, Juz II, (Mesir: Dar
al-Kutub al-Arabiyah, [t.t])
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, Cet. Ke-1,
jilid I (Jakarta: Logos, 1996)
Al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ihkam,
Juz III, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1983)
[1] Muhammad Hasim Kamali, Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam (Ushul Fiqh) (Yogyakarta;
pustaka pelajar, 1996), h. 267
[2] Al-Syaukani, Irsyad
Al-Fuhul, ([t.t]: Dar al-Fikr, [t.t]), h. 207
[12] Ibid
[13] Kemal Muchtar, Op.cit
[14] Taj al-Din Abd al-Wahab ibn al-Subki, Hasyiyah al-Alamah al-banani ‘Ala
Matan Jam’u al-Jawami’, Juz II, (Mesir: Dar al-Kutub al-Arabiyah, [t.t]),
h. 234
[15] Wahbah al-Zuhaili, op.cit., h. 665
[16] Abdul Wahab Khalaf, op.cit., h. 68
[20] Al-Syaukani, op.cit., 207
[21] Al-Amidi, op.cit., h. 289
[23] Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada1988), h. 102
[30] Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari bi Syarah Shahih
al-Bukhari, Jilid X, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), h. 639
Tidak ada komentar:
Posting Komentar