Kamis, 18 Februari 2016

‘ILAT HUKUM DAN CARA MENEMUKANNYA

      A.    PENDAHULUAN
Setelah wafatnya Rasulullah semua wahyu terhenti. Para sahabat tidak bisa lagi mengadu kepada Rasulullah apabila mereka menemui suatu permasalahan. Maka karena itu apabila mereka menemui permasalahan mereka merujuk kepada al-quran, apabila mereka tidak menemukan di dalam al-quran, maka mereka mencari dalam sunnah, apabila tidak ditemukan juga maka mereka berijtihad.
Diantara usaha dalam ijtihad yang mereka lakukan adalah menakar suatu masalah dan mencari padanannya dengan permasalahan lain ayng tidak mempunyai dalil hukum. Inilah yang dikenal dengan istilah qiyas. Yaitu melihat kepada illat dari permasalahan yang akan dijadikan sebagai takaran atau padanan dalam melahirkan hukum yang  baru.
Dalam kesempatan ini akan dibahas fokus mengenai slah satu rukun dari qiyas itu sendiri, yaitu mengenai illat. Yang meliputi mengenai pengeritan, syarat dan cara menemukan illat.

‘ILAT HUKUM DAN CARA MENEMUKANNYA
1.    Pengertian ‘Illat

‘Illah di dalam kitab-kitab ushul sering juga disebut sebagai manaat al-hukm (kausa hukum), amarah al-hukm (tanda hukum) dan sabab.[1] Seperti yang ditemukan dalam sebuah kitab, bahwa Illat itu adalah مناطق الحكم :sesuatu yang menentukan ada atau tidaknya hukum. Secara etimologis, “illat berati nama bagi sesuatu yang menyebabkan berubahnya keadaan sesuatu yang lain dengan keberadaannya. Misalnya penyakit dikatakan ‘illat, karena dengan adanya penyakit tersebut tubuh manusia berubah dari sehat menjadi sakit.[2]
Secara terminology, mayoritas ulama Hanafiyah dan Hanbaliyah mendefenisikan:  المعرفة الحكم[3]yaitu suatu yang dengannya dapat diketahui hukum. Maksudnya ‘illat sebagai pengenal (pemberitahu) adanya hukum. Apabila terdapat suatu ‘illat pada sesuatu, maka hukumnya ada. Dengan arti kata, ‘illat tersebut menjadi pertanda bagi adanya hukum. Tetapi bukan berarti hukum ada disebabkan adanya ‘illat.
‘Illat adalah suatu sifat yang ada pada ashal yang sifat itu yang menjadi dasar untuk menetapkan hukum ashal serta untuk mengetahui hukum pada fara’ yang belum ditetapkan hukumnya, seperti menghabiskan harta anak yatim merupakan suatu sifat yang terdapat pada perbuatan memekan harta anak yatim yang menjadi dasar untuk menetapkan haramnya hukum menjual harta anak yatim.[4]
‘Illat ialah suatu sifat yang nyata dan berlaku tiap kali peristiwa terjadi, dan sejalan dengan tujuan penetapan hukum. Sebagaimana diketahui, berdasarkan penelitian yang mendalam, diyakini bahwa tujuan Allah dalam menetapkan setiap hukum adalah untuk mewujudkan setiap kemashlahatan bagi hamba-hamba-Nya, yaitu dengan meraih manfaat dan menghindarkan bahaya dan kemudaratan bagi hamba.[5]
Jadi ‘illat itu merupakan suatu ukuran atau patokan dalam mengambil keputusan yang dijadikan sebagai titik banding antara permasalahan yang sudah mempunyai hukum dengan permasalahan yang belum ada hukumnya. Bisa juga disebut sebagai alasan logika dari pengambilan hukumnya.
Dalam hal ini, ada tiga istilah yang pada hampir bersamaan, yaitu ‘illat, sabab dan hikmah. Tiga hal ini pada umunya sama-sama merupakan dasar dan ukuran untuk membuat suatu hukum. Adapun perbedaannya sebagai berikut; ‘illat adalah suatu sifat yang nyata, sesuai dengan tujuan hukum dan terukur, di mana asy-syari’ menjadikan sebagai gantunngan/kaitan adanya hukum. Misalnya: tindakan perusakan harta benda menjadi ‘illah adanya ketentuan kewajiban mengganti barang yang dirusakan. Demikian juga, akad atau transaksi merupakan ‘illah adanya keawjiban untuk memenuhi apa yang diakadkan.[6]
Smentara itu, yang disebut dengan sabab ialah, suatu sifat yang nyata dan terukur, di mana asy-syari’ menjadikan sebagai gantungan/kaitan adanya hukum, baik hukum tersebut memiliki unsur munasib (hubungan yang serasi) dengan hukum itu sendiri (seprti contoh ‘illah di atas), maupun tidak terlihat adanya keserasian hubungan antara sifat tersebut dengan hukumnya, seperti hubungan antara tergelincirnya matahari di tengah hari (zawal asy-syams) dengan masuknya waktu shalat zuhur, atau hubungan antara menyaksikan hilal ramadan dengan kewajiban melaksanakan puasa ramadan. Dengan demikian dapat ditegaskan, bahwa sabab lebih bersifat umum dari pada ‘illah, di mana sifat hukum yang menjadi ‘illah mesti memiliki kesesuaian yang serasi (munasib) dengan hukumnya, sedangkan sabab tidak mesti memiliki unsur munasib.[7]
Sementara itu yang dimaksud dengan hikmah ialah, dampak yang timbul dalam bentuk lahirnya manfaat atau terhindarnya kemudaratan, dari adanya hubungannya antara hukum dengan ‘illah atau sababnya. Dengan kata lain, hikmah mengambarkan tujuan penetapan hukum itu sendiri. Dalam hal ini para ulama sepakat, bahwa ada atau tidak adanya ketentuan hukum tertentu tergantung kepada atau tidak adanya ‘illah atau sababnya, meskipun terkadang hikmah yang ditimbulkannya berbeda-beda.[8]
Hikmah hukum merupakan pendorong pembentukan hukum dan sebagai tujuannya yang terakhir ialah untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat dengan memperoleh manfaat dan keuntungan serta terhindar dari segala macam kerusakan. ‘illat hukum suatu sifat yang nyata dan pasti yang ada pada suatu peristiwa yang dijadikan dasar hukum.[9]
‘Illat merupakan sifat dan keadaan yang melekat pada dan mendahului peristiwa/ perbuatan hukum yang terjadi dan menjadi sebab hukum, sedangkan hikmah adalah sebab positif dan hasil yang dirasakan kemudian setelah adanya peristiwa hukum. Sebagai contoh; seorang musafir boleh mengqasar shalatnya, seperti mengerjakan shalat zhuhur yang empat rakaat menjadi dua rakaat dan sebagainya. Hikmahnya adalah untuk menghilangkan kemusyaqqatan dan kemudaratan.[10]
Contoh lain, ‘illah adanya hak syuf’ah (prioritas untuk membeli barang) bagi orang tertentu dibandingkan orang lain, karena orang tersebut merupakan mitra usaha (syarik) atau tetangga dari orang yang menjual barang itu. Sedangkan hikmah yang menjadi tujuan hukum adanya hak syuf’ah ialah untuk menghindarkan kemudaratan, yaitu hal-hal yang tidak diinginkan (‘azda) yang mungkin timbul dari mitra usaha atau tetangga baru terhadap mitra usaha atau tetangga lamanya.[11]
Dalam kaitannya dengan hukum, apabila ‘illah syuf’ah telah terwujud, maka secara otomatis hukum syuf’ah menjadi lahir pula, meskipun tidak terdapat kemudaratan di dalamnya. Sebaliknya, hak syuf’ah tidak lahir, meski seseorang telah merasakan kemudaratan yang timbul oleh mitra usahanya atau tetangga lamanya. Dengan kata lain, adanya hikmah yang merupakan tujuan hukum pada suatu keadaan, tidak secara otomatis menimbulkan hukum, tidak pula dapat mengubah ketentuan hukum. Sebab yang dapat menimbulkan hukum adalah ‘illah atau sabab, bukan hikmah.[12] Hikmah ini hanya merupakan dugaan saja dan tidak dapat dijadikan dasar ada atau tidaknya hukum.[13]

2.    Syarat-Syarat Dan Macam-Macam ‘Illat
a.    ‘Illat itu merupakan suatu sifat yang jelas, nyata dan bisa ditangkap oleh panca indra manusia[14]. Maksudnya ‘illat harus kongkrit, tidak banyak membutuhkan pemiliran manusia sehingga dengan mudah dapat ditentukan. Contohnya, sifat memabukkan menjadi ‘illat diharamkannya khamar. Sifat membunuh menjadi ‘illat yang menghalangi seseorang menerima warisan.
b.    ‘Illat itu mundhabith[15](dapat diukur atau tepat) yaitu memiliki hakikat tertentu dan terbatas dan berlaku untuk setiap orang serta keadaan. Dengan arti kata, ‘illat itu harus kuat, tidak terpengaruh oleh perbedaan individu dan situasi ataupun keadaan lingkungan atau dapat menakomodasi seluruh perubahan yang terjadi secara definitif. Seperti, membunuh dipandang sifat yang dapat diukur dan menjadi ‘illat yang bisa menghalangi seseorang mendapatkan kewarisan. ‘illat membunuh ini juga dapat direntangkan kepada pembunuhan dalam kasus wasiat.
c.    ‘Illat itu dapat dapat direntangkan kepada kasus yang lain (muta’addi)[16]. Maksunya ‘illat itu menpunyai jangkauan yang luas, tidak saja terdapat pada ashal tetapi juga terdapat pada furu’ (kasus lain). Oleh karena itu, apabila ‘illat tidak dapat menjangkau secara luas, maka qiyas tidak dapat dilakukan. Atas dasar itu ‘illat qasirah yaitu ‘illat yang hanya terbatas kepada kasus tertentu dan tidak mungkin berlaku kepada kasus lain tidak dapat dijadikan ‘illat.
d.   Tidak ada dalil yang menyatakan bahwa sifat itu tidak dipandang untuk menjadi ‘illat.[17] Maksudnya, sifat yang menjadi ‘illat itu tidak dinyatakan batal oleh suatu dalil. Seperti, pendapat sementara orang yang berpendapat isteri mempunyai hak talak didasarkan sukarela kedua belah pihak. Akan tetapi kerelaan suami isteri ini tidak dipandang oleh syara’ karena bertentangna dengan hadis berikut:
عن إبن عباس قال: أتى انبيى صلعم رجل فقال: يل رسول الله إنن سيدي زوجني أمته وهو يريد أن يفرق بيني و بينها قال: فصعد رسول الله صلى الله عليه وسلم المنبر فقال: يايها الناس إما بال أحدكم يزوج عبده أمته ثم يريد أن يفرق بينهما ؟ إنما الطلأق لمن أخذ بالساق[18]

e.    Harus ada korelasi yang sesuai (munasib wa al-mula’im).[19] Misalnya, sakit merupakan sifat yang sesuai bolehnya seseorang membatalkan puasa karena sakit dapat menyulitkan melakukan puasa. Bila dilakukan juga, khawatir dapat menimbulkan mudarat kepada yang bersangkutan. Padahal syara’ melarang seseorang merusak dan mencelakakan diri sendiri. Sifat yang tidak mempunyai korelasi yang pantas dan layak dengan hukum, tidak dapat dijadikan ‘illat. Seperti mengantuk tidak dapat dijadikan ‘illat untuk bolehnya seseorang berbuka puasa, karena antara puasa dan mengantuk tidak mempunyai korelasi yang layak.
f.     Hendaknya sifat yang dijadikan ‘illat itu jelas untuk hikmah yang dimaksudkan oleh syara’ dan bukan hikmah semata.[20] Maksudnya sifat yang menjadi ‘illat itu nyata untuk hikmah. diduga kuat sifat itu dapat mewujudkan kemaslahatan bagi manusia untuk waktu sekarang dan waktu yang akan datang.
g.    ‘Illat itu tidak datang belakangan dari hukum ashal.[21] Dengan arti penetapan, ‘illat hukum tidak terkemudian dari penetapan hukum. Bila ‘illat dianggap sebagai motivasi atau pemberitahu, tentu sebagai motivasi atau pemberitahu ‘illat tidak boleh datang terlambat dari hukkum ashal.
h.    ‘Illat itu bersifat utuh dan berlakku secara timbal balik. Maksudnya bila ada ‘illat, maka hukumpun ada, dan sebaliknya bila ‘illatnya hilang, maka hukumnya tidak ada. Seperti keadaan terpaksa merupakan ‘illat dibolehkannya memakn bangkai dan daging babi. Apabila keadaan terpaksa sudah hilang, maka seseorang tidak dibolehkan lagi memekan bangkai dan daging babi tersebut.
i.      ‘Illat itu terdapat dalam hukum syara’
j.      ‘Illat itu tidak bertentangan dengan ‘illat lain yang posisinya lebih kuat.
k.    ‘Illat tidak menyalahi nash atau ijmak. Syarat ini dikemukakan oleh Ibn Hajib, sebagian ulama Syafi’iyah dan golonngan Hanafiyah.[22] Menurut mereka, dasar dalam menetapkan hukum adallah nash atau ijmak, bkan dengan ‘illat. Digunakan ‘illat, bila nash atau ijmak memang menunjukkan kepada kita bahwa ‘illat itu termuat di dalam keduanya. Oelha karena itu tidaklah logis apabila ‘illat menyalahi nash atau ijmak.
Abdul Wahab Kalaf menyebutkan, bahwa syarat-syarat ‘illat yang telah disepakati ada empat, yaitu:
1.      Hendaklah ia merupakan sifat yang nyata, yakni sifat material yang dapat dijangkau oleh panca indra yang lahir. Karena ‘illat adalah yang membatasi hukum pada cabang, maka oleh karena itu harus terdiri dari hal yang nyata dan yang bisa dijangkau oleh rasa pada ashal dan bisa terjangkau wujudnya pada cabang.[23] Hal ini duperlukan karena ‘illat itulah yang menjadi dasar untuk menetapkan hukum yang ada pada fara’. Seperti sifat pada menghabiskan harta anak yantim, terjangkau oelh panca indra dan akal, bahwa ‘illat itu ada pada memekan harta anak yatim (ashal) dan terjangkau pula oleh pancaindera dan akal bahwa ‘illat itu ada pada menjual harta anak yatim (fara’). Jika sifat ‘illat itu samar-samar, kurang jelas dan masih ragu-ragu, tentulah tidak dapat untuk digunakan untuk menetapkan ada dan tidaknya hukum pada ashal.[24]
2.      Hendaklah ia merupakan sifat yang pasti, yakni tertentu dan terbatas, dapat dibuktikan wujudnya pada cabang dengan membatasi, atau karena terdapat sedikit perbedaan. Karena asas qiyas adalah bersamaan cabang dan ashal pada ‘illat hukum ashal. Kesamaan ini mengharuskan adanya ‘illat sebagai yang pasti dan terbatas, sehingga dapat menjatuhkan hukum bahwa dua kejadian itu sama ‘illatnya.[25] Seperti pembunuhan sengaja dilakukan oleh ahli waris terhadap orang yang akan diwarisinya hakekatnya adalah pasti, karena itu dapat dijadikan dasar qiyas atas pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja oleh penerima wasiat terhadap orang yang telah memberi wasiat kepadannya.
3.      Hendaknya merupakan siafat yang sesuai, yakni terdiri dari tempat dugaan mewujudkan hikmah hukum, artinya bahwa hubungan hukum denngan sifat itu dalam atau tidaknya harus diwujudkan apa yang menjadi tujuan pembuat hukum dalam bentuk hukum dari segi menarik keuntungan atau menghindari bahaya, karena yang memotofisir secara hakiki dan tujuan utama dalam pembentukan hukum adalah hikmahnya. Jadi seandainya hikmah semua hukum itu nyata dan pasti, niscaya hikmah itu adalah ‘ilat-‘ilat hukum, karena ia adalah memotifisir pembentukannya.[26] Seperti hal yang memabukkan adalah hal yang sesuai dengan haram minum khamar, yaitu memelihara akal dengan menghindari diri dari mabuk. Dan adanya hukum qisas terhadap pembunuhan yang disengaja yang mempunyai hikmah untuk menjaga kehidupan manusia.
4.      Hendaknya tidak merupakan sifat yang terbatas pada ashal, artinya harus sifat yang dapat diwujudkan pada beberapa individu dan bisa didapati pada selain ashal. Karena tujuan yang dimaksudkan dari pemberian ‘illat hukum ashal, adalah jangkauannya hukum ashal itu sendiri pada cabang, maka seandainya hukum itu diberi ‘illat dengan ‘illat yang tidak bisa didapati pada selain ashal, tidak dapat dijadikan sebagai asas qiyas. Seperti hukum-hukum yang khusus berlaku bagi Nabi Muhammad SAW tidak dijadikan dasar qiyas untuk mengawini wanita lebih dari empat orang, hal ini tidak berlaku bagi orang lain.

Pembagian ‘illat
1.      Sesuai dan berpengaruh (al-muanasib al-mu’tsir), yaitu siafat yang sesuai yang oleh s?yar’i telah disusun hukum yang sesuai dengan sifat itu, baik dalam nash maupun ijma’. Sifat tersebut telah ditetapkan sebagai ilmu hukum. Penyusunan hukum itu atas dasar penyesuaian terhadap sifat tersebut, seperti firman Allah:
štRqè=t«ó¡our Ç`tã ÇÙŠÅsyJø9$# ( ö@è% uqèd ]Œr& (#qä9ÍtIôã$$sù uä!$|¡ÏiY9$# Îû ÇÙŠÅsyJø9$# ( Ÿwur £`èdqç/tø)s? 4Ó®Lym tbößgôÜtƒ ( #sŒÎ*sù tbö£gsÜs?  Æèdqè?ù'sù ô`ÏB ß]øym ãNä.ttBr& ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÎ/º§q­G9$# =Ïtäur šúï̍ÎdgsÜtFßJø9$#

Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.

Hukum yang pasti dalam nash ini adalah keharusan menghindari wanita di waktu haid, dan telah tersusun (sebagai dasar) bahwa ia adalah kotoran (adza). Sedangkan shighat nash bahwa `illat hukum ini adalah kotoran. Maka oleh karena itu, kotoran yang menjadi sebab keharusan menghindari wanita di waktu haid adalah sifat yang sesuai dan mempengaruhi (al-muanasib al-mu’tsir).[27]
Dan sabda Nabi SAWلآيرث القاتل  (pembunuh tidak punya hak unutk menerima harta pusaka). Maka hukum yang pasti dalam nash ini, ialah mencegah pembunuh dari memperoleh harata pusaka orang yang diwarisi. Telah tersusun (sebagai dasar) bahwa dia adalah pembunuh, sedsang sighat nash memberi petunjuk bahwa `illat pencegah ini adalah pembunuhan, karana menghubungkan hukum sumber asli itu adalah `illat,jadi pembunuhan yang mencegah untuk memperoleh harta pusaka adalah sifat yang munasib dan mu’tsir.

2.      Sesuai dan sepadan (al-muanasib al-mulaa’im), yaitu sifat yang sesuai yang oleh syar’i telah disusun hukum yang sesuai dengan sifat itu. Dan nash atau ijma’ belum menetapkannya sebagai ‘illat hukum yang telah disusun atas dasar sesuai dengannya. Contoh sifat yang sesuai yaitu keadaan seorang perempuan yang masih kecil sebagai ketetapan kewalian ayah dalam mengawinkan perempuan yang masih kecil hal ini telah terdapat ketetapan nash bahwa kewalian ayah adalah mengawinkan anak perempuan yang masih kecil dan perawan itu. Jadi hukumnya ialah ketetapan kekuasaan yang disusun atas dasar menyesuaikan sifat perawan dan kecil.

3.      Sesuai dan dibiarkan (al-muanasib al-mursal), yaitu sifat yang oleh syar’I tidak disusun hukum yang sesuai dengannya. Tidak pula terdapat dalil syara’ yang menunjukkan pengakuannya atau menyia-nyiakan pengakuannya bahawa sifat itu munasib, artinya dapat menunjukkan maslahah, namun ia mursal, artinya terlepas dari dalil pengakuan dan dalil pembatalan (ilgha’) yang disebut dengan al-Maslahatul Mursalah. Contohnya, kemslahatan-kemaslahatan yang oleh sahabat dijadikan dasar pensyariatan keharusan pajak bagi tanah pertanian, mencetak uang, pembukuan Al-Qur’an dan prenyebarannya.

4.      Sesuai dan disia-siakan (al-muanasib al-mulgha), yaitu sifat yang nyata bahwa pendasaran hukum adalah mewujudkan kemaslahatan hukum. Contohnya, menetapkan seseorang yang berbuka pada bulan Ramadhan secara sengaja dengan hukuman secara khusus adalah pengajaran baginya

3.    Masalikul ‘illat (Cara Mencari ‘illat)
Masalikul ‘illat adalah cara atau metode yang digunakan untuk mencari sifat atau ‘illat dari suatu peristiwa atau kejadian yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum. Diantara cara tersebut, ialah:
a.    Nash yang menunjukkannya
Dalam hal ini nash sendirilah yang menerangkan bahwa suatu sifat merupakan ‘illat hukum dari suatu peristiwa atau kejadian. ‘illat yang demikian disebut ‘illat manshus alaih. Lakukan qiyas berdasarkan ‘illat yang disebutkan oleh nash pada hakikatnya adalah menetapkan hukum sesuatu berdasarkan nash. Petunjuk nash tentang sifat sesuatu kejadian atau peristiwa yang merupakan ‘illat itu ada dua macam yaitu :
1.    Dalalah Sharahah, ialah penunjukan lafazh yang terdapat dalam nash kepada ‘illat hukum jelas sekali. Atau dengan kata lain bahwa lafazh nash itu sendiri yang menunjukan ‘illat hukum dengan jelas, seperti ungkapan yang terdapat dalam nash: لكي من أجل,.Dalalah sharahah ada dua macam, yang pertama dalalah sharahah yang qath’I ( apabila penunjukan kepada ‘illat hukum itu pasti dan yakin, tidak mungkin dialihkan kepada hukum yang lain). Dan yang kedua ialah dalalah sharahah yang dzanni ( apabila penunjukan nash kepada ‘illat hukum itu adlah berdasarkan dugaan keras).
2.    Dalalah ima’ ( isharah ), ialah petunjuk yang dipahami dari sifat yang menyertainya, atau dengan perkataan lain dan sifat itu merupakan ‘illat ditetapkannya suatu hukum. Jika penyertaan sifat itui tidak dapat dipahamkan demikian, maka tidak ada gunanya menyertakan sifat itu
Ada beberapa macam dalalah ima’, diantaranya ialah:
-          Mengerjakan suatu pekerjaan karena ada terjadi sesuatu peristiwa sebelumnya. Contohnya seperti Nabi Muhammad SAW mengerjakan sujud sahwi, karena beliau lupa mengerjakan salah satu dari rukun shalat.
-          Menyebutkan suatu sifat bersamaan ( sebelum atau sesudah ) dengan hukum. Seandainya sifat itu dipandang bukan sebagai ‘illat tentulah tidak perlu disebutkan.Contohnya, adalah Nabi SAW bersabda:
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عُمَيْرٍ سَمِعْتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ كَتَبَ أَبُو بَكْرَةَإِلَى ابْنِهِ وَكَانَ بِسِجِسْتَانَ بِأَنْ لَا تَقْضِيَ بَيْنَ اثْنَيْنِ وَأَنْتَ غَضْبَانُ فَإِنِّي سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَقْضِيَنَّ حَكَمٌ بَيْنَ اثْنَيْنِ وَهُوَ غَضْبَانُ
 
Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Syu'bah Telah menceritakan kepada kami Abdul Malik bin Umair, aku mendengar Abdurrahman bin Abu Bakrah mengatakan, Abu Bakrah menulis surat untuk anaknya yang ketika itu berada di Sijistan yang isinya; 'Jangan engkau mengadili diantara dua orang ketika engkau marah, sebab aku mendengar Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "Seorang hakim dilarang memutuskan antara dua orang ketika marah.

-          Membedakan dua buah hukum dengan menyebutkan dua sifat yang berbeda pula, seperti sabda Rasulullah SAW :
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَأَبُو كَامِلٍ فُضَيْلُ بْنُ حُسَيْنٍ كِلَاهُمَا عَنْ سُلَيْمٍ قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا سُلَيْمُ بْنُ أَخْضَرَ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ حَدَّثَنَا نَافِعٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَسَمَ فِي النَّفَلِ لِلْفَرَسِ سَهْمَيْنِ وَلِلرَّجُلِ سَهْمًا
و حَدَّثَنَاه ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ وَلَمْ يَذْكُرْ فِي النَّفَلِ
 
“Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dan Abu Kamil Fudlail bin Husain keduanya dari Sulaim, Yahya berkata; telah mengabarkan kepada kami Sulaim bin Akhdlar dari 'Ubaidullah bin umar telah menceritakan kepada kami Nafi' dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membagikan harta rampasan perang untuk tentara berkuda dua bagian, sedangkan untuk tentara pejalan kaki satu bagian." Dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair telah menceritakan kepada kami ayahku telah menceritakan kepada kami 'Ubaidullah dengan isnad seperti ini, namun dia tidak menyebutkan, "Nafl (harta rampasan)."

Barisan berjalan kaki dan barisan berkuda menjadi ‘illat perbedaan pembagian harta rampasan perang.
-          Membedakan dua hukum dengan syarat, seperti firman Allah SWT: ( QS.At-Thalaq : 6 )
£`èdqãZÅ3ór& ô`ÏB ß]øym OçGYs3y `ÏiB öNä.Ï÷`ãr Ÿwur £`èdr!$ŸÒè? (#qà)ÍhŠŸÒçGÏ9 £`ÍköŽn=tã 4 bÎ)ur £`ä. ÏM»s9'ré& 9@÷Hxq (#qà)ÏÿRr'sù £`ÍköŽn=tã 4Ó®Lym z`÷èŸÒtƒ £`ßgn=÷Hxq 4 ÷bÎ*sù z`÷è|Êör& ö/ä3s9 £`èdqè?$t«sù £`èduqã_é& ( (#rãÏJs?ù&ur /ä3uZ÷t/ 7$rã÷èoÿÏ3 ( bÎ)ur ÷Län÷Ž| $yès? ßìÅÊ÷ŽäI|¡sù ÿ¼ã&s! 3t÷zé& ÇÏÈ

“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”.

Pada ayat ini diterangkan bahwa hamil menjadi syarat wajibnya pemberian nafkah kepada istri yang ditalaq ba’in dan menyusukan anak menjadi syarat pemberian upah menyusukan anak.
-          Membedakan antara dua hukum dengan pengecualian ( istimewa ) dan pengecualian (Istidrak).
b.   Ijma yang menunjukan
Maksudnya, ialah ‘illat itu ditetapkan dengan ijma. Seperti belum baligh (masih kecil) menjadi ‘illat dikuasai oleh wali harta anak yatim yang belum baligh. Hal ini disepakati oleh para ulama.

c.    Dengan Penelitian
Ada beberapa cara penelitian itu dilakukan :
1)      Tahqiqul Manath ialah mengamalkan berdasarkan nash dan ijma’, maka sesungguhnya hukum itu dikaitkan dengan sifat yang dibutuhkan pada hukum atas mu’ayyannya sampai diketahui tetapnya sifat itu padanya.[28] Contohnya, Allah menetapkan untuk menafkahi isteri dengan cara baik melalui sabda Nabi SAW:
عن جابر رضي الله عنه قال: رسول الله صلى الله عليه وسلم في ذكر النساء: ولهن عليكم رزكهن وكسوتهن بالمعروف (أخرجه مسلم)[29]
Berdasarkan hadis di atas seorang suami berkewajiban menafkahi isteri dan memberikannya pakaian. Akan tetapi ukuran nafkah isteri tidak mungkin dijelaskan kepada tiap suami. Oleh karena itu ukuran nafkah isteri ditentukan menurut ‘urf setempat. Hal ini didukung oleh hadis Nabi seperti berikut ini:
عن عاءشة ان هندا بنت عتبة قالت: يا رسول الله إن ابا سفيان رجل شحيح وليس يعطيني ما يكفيني وولدي إلا ما أخذت منه وهو لايعل. فقال: خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف (روه البخارى)[30]

2)      Tanqihul manath adalah bahwa dijelaskan suatu ketentuan hukum atas suatu tertentu, akan tetapi kita mengetahui bahwa ketentuan tersebut tidak berlaku khusus atas sesuatu tertentu itu.[31]
Dari defenisi di atas yang dikemukakan oleh Ibn Taimiyah, dapat dipahami bahwa tanqih al-manath berarti ketentuanhukum yang telah ditetapkan dalam kasus tertentu tidak hanya berlaku khusus sebagai ketetapan hukum atas sesuatu tertentu. Akan tetapi hukum itu juga berlaku untuk kasus lainnya. Oleh karena itu cara menngetahui ‘illat dengan tanqih al-manath ini mencari dan mengupas ‘illat hukum dari ketetapan hukum atas sesuatu kasus yang telah jelas dalam nash untuk bisa diterapkan dalam kasus hukum lainnya yang ‘illatnya sama dengan ‘illat hukkum yang erdapat nash. Seperti kasus tikus yang terjatuh ke dalam minyak. Rasul bersabda
عن ميمونة رضي الله عنها قالت: سـءـل النبي صلى الله عليه وسلم عن فأرة سقطت في سمن فقال: القوها وما حولها وكلوه (رواه البخاري)[32]
Kasus ini memperlihatkan beberapa ‘illat hukum yaitu, keadaan tikus yang jatuh ke dalam minyak, minyak yang membeku, atau karena najisnya. Ketentuan kasus hukum itu, tidak saja berlaku untuk tikus yang jatuh ke dalam minyak tersebut, akan tetapi juga berlaku kepada hewan najis dan jenis makanan lainnya.

3)      Takhrij al-Manath. Yang dimaksud dengan takhrij al-manath menurut Ibn Taimiyah adalah
“Qiyas murni yaitu adanya nash-nash hukum tentang beberapa hal (perkara) yang kadang dapat diduga bahwa hukum itu tidak berlaku khusus bagi perkara-perkara tersebut, lalu dicarikan dalil yang sama dengan kasus tersebut. Cara penarikan dalil ini dilakukan dengan menghilangkan pembeda, atau mencarikan persamaan sifat berdasarkan tujuan dalail bahwa syar’i mengaitkan hukum dengan sifat di dalam ashal”.[33]

Selain istilah takhrij al-manath, para pakar ushul fiqh memakai pula istilah al-munasabah, al-mulaimah, al-istidlal wa ri’ayah al-maqasid.[34] Meskipun dengan nama yang beragam, namun tetap mengacu kepada pengertian dan tujuan yang sama. Tujuan yang dikandung hukum itu berupa pencapaian kemaslahatan dan menolak kemudaratan. Tercapainya kemaslahatan itu dimungkinkan dengan adanya sifat yang jelas dan dapat diketahui oleh akal bahwa sifat itu berlaku pada bagian-bagian lainnya.
Al-munasabah ini juga dapat dibagi kepada:[35]
a.       Al-munasib al-muuatsir, yaitu ‘illat yang dipandang oleh nash secara langsung. Artinya, nash atau ijma’ sendiri yang menjelaskan kedudukan ‘illat itu. Untuk suatu hukum, secara langsung al-munasib dalam bentuk ini berada pada tingkatan tertinggi sehingga disepakati oleh ulama dalam hal kedudukannya sebagai ‘illat hukum. Seperti QS. Al-Jum’ah (62) ayat 9:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) šÏŠqçR Ío4qn=¢Á=Ï9 `ÏB ÏQöqtƒ ÏpyèßJàfø9$# (#öqyèó$$sù 4n<Î) ̍ø.ÏŒ «!$# (#râsŒur yìøt7ø9$# 4 öNä3Ï9ºsŒ ׎öyz öNä3©9 bÎ) óOçGYä. tbqßJn=÷ès?

Dalam ayat di atas perintah meninggalkan jual beli duhubungkan dengan panggilan shalat jum`at. Jadi panggilan shalat jum`at adalah `illat larangan jual beli dan `illat itu ditetapkan langsung oleh nash.

b.      Al-Munasib al-mulaim, keserasian yang tidak dianggap oleh syara’ sebagai ‘illat hukum secara langsunng. Tetapi anggapan syara’ terletak pada nash lain sebagai ‘illat hukum, atau sifat yang dianggap oleh syara’ sebagai ‘illat huku, dari nash tetapi sejenis dengan ‘illat hukum munasib. Misalnya menetapkan kewalian nikah anak yangbelum dewasa dengan ‘illat belum dewasa. Berlakunya ‘illat belum dewasa untuk kewalian nikah tidak dipandang oleh nash atau ijma’, namun ijma’ pernah memandang belum dewasa itu menjadi ‘illat untuk hukum yang sejenis dengan itu, yaitu pada kewalian harta.
c.       Al-Munasib al-mursal, yaitu keserasian yang tidak didukung oleh dalil dan tidak ada pula dalil yang menolaknya. Akan tetapi di dalamnya terdapat unsur kemaslahatan dalam mencapai tujuan syara’. Al-Munasib al-mursal ini juga disebut al-maslahah al-mursalah. Misalnya mengaku sebagai suami isteri tidak bisa hanya dengan mengajukan saksi, kecuali apabila ada surat nikah
d.      Al-Munasib al-mulgha, yaitu munasib yang oleh akal dapat diterima sebagai sesuatu yang baik dan maslahah, akan tetapi bertentangan dengan nash. Seperti seorang mufti memberikan fatwanya kepada seorang raja yang berhubungan seks dengan isterinya di siang hari bulan ramadhan. Yahya al-lits memberi fatwa untuk raja tersebut dikenakan kafarat puasa dua bulan berturut-turut karena tidak ada kafarat yang lebih baik dari kafarah tersebut. Mufti itu berfatwa demikian agar uhkkuman tersebut mambuat raja itu jera. Hukuman itu oleh mufti sangat relevan bagi seorang pembesar. Akan tetapi hukuman yang difatwakan mufti itu bertentangan dengan nash. Sebab syara’ telah meneetapkan, orang yang berhubungan seksual di siang hari bulan ramadhan urutan pertama hukumannya adalah memerdekakan budak. Oleh karena itu, meskipun terkandung kemaslahatan, akan tetapi bertentangan dengan nash, maka al-munasib al-mulgha ini tidak dapat diterima sebagai salah satu cara untuk mendapatkan ‘illat.
Dari penjelasan sebelumnya sudah dapat dipahami, cara atau metode untuk mendapatkan ‘illat ini cukup suli, bukan suatu hal yang mudah hanya dengan memandang kepada nash atau ijma’ saja. Dengan artian, bahwa mengetahui ‘illat tidak saja diketahui dari tujuan nash dan ijma’ tetapi juga sangat ditentukan oleh kemampuan para mujtahid untuk mencarinya.

KEPUSTAKAAN

Muhammad Hasim Kamali, Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam, Ushul Fiqh, (Yogyakarta; pustaka pelajar, 1996)
Kemal Muchtar, Ushul Fiqh, jilid I (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995)
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2011)
Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada1988)
Mu’in Umar dkk.Ushul Fiqh. (Jakarta: Departemen Agama RI, 1985)
Al-Syaukani, Irsyad Al-Fuhul, ([t.t]: Dar al-Fikr, [t.t])
Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari bi Syarah Shahih al-Bukhari, Jilid X, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993)
Taj al-Din Abd al-Wahab ibn al-Subki, Hasyiyah al-Alamah al-banani ‘Ala Matan Jam’u al-Jawami’, Juz II, (Mesir: Dar al-Kutub al-Arabiyah, [t.t])
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, Cet. Ke-1, jilid I (Jakarta: Logos, 1996)
Al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ihkam, Juz III, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1983)




[1] Muhammad Hasim Kamali, Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam (Ushul Fiqh) (Yogyakarta; pustaka pelajar, 1996), h. 267
[2] Al-Syaukani, Irsyad Al-Fuhul, ([t.t]: Dar al-Fikr, [t.t]), h. 207
[3] Ibid
[4] Kemal Muchtar, Ushul Fiqh, jilid I (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), h. 121
[5] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2011), h. 164
[6] Ibid, h. 166
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Kemal Muchtar, Op.cit, h. 121
[10] Ibid, h. 122
[11] Abd. Rahman Dahlan, Op.cit, h. 167
[12] Ibid
[13] Kemal Muchtar, Op.cit
[14] Taj al-Din Abd al-Wahab ibn al-Subki, Hasyiyah al-Alamah al-banani ‘Ala Matan Jam’u al-Jawami’, Juz II, (Mesir: Dar al-Kutub al-Arabiyah, [t.t]), h. 234
[15] Wahbah al-Zuhaili, op.cit., h. 665
[16] Abdul Wahab Khalaf, op.cit., h. 68
[17] Al-Amidi, op.cit., h. 266
[18] Sunan Ibn Majah, jilid I, h. 674
[19] Ai- Amidi, op.cit., h. 11
[20] Al-Syaukani, op.cit., 207
[21] Al-Amidi, op.cit., h. 289
[22] Al-Amidi, op.cit., h. 226
[23] Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada1988), h. 102
[24] Kemal Muchtar, Op.cit, h. 122-123
[25] Ibid, h. 103
[26] Ibid, h. 103
[27] Ibid, h. 106-107
[28] Majmu’ Fatawa, op.cit., Jilid XIXh. 16

[30] Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari bi Syarah Shahih al-Bukhari, Jilid X, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), h. 639
[31] Majmu’ Fatawa, op.cit., Jilid XIX, h. 17
[32] Fath al-Bari, op.cit., Jilid II, h. 105
[33] Majmu’ Fatawa, op.cit., juz XIX, h. 16-17
[34] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, Cet. Ke-1, jilid I (Jakarta: Logos, 1996), h. 89
[35] Abdul Wahab Khalaf, op.cit., h. 71-75

Tidak ada komentar:

Posting Komentar