Kamis, 18 Februari 2016

TASAWUF

A.    Pendahuluan
            Agama adalah sumber dari segala sumber nilai dan norma yang memberi petunjuk, mengilhami dan mengikat masyarakat yang bermoral. Ikatan moral akan berakar kuat bila bersumber dan sesuai dengan ajaran agama, karena itulah agama satu-satunya yang memiliki dimensi kedalaman kehidupan manusia.
            Tasawuf sebagai salah satu aspek ajaran Islam memberikan sumbangan yang penting untuk membina manusia yang mempunyai mental yang utuh dan tangguh. Sebab sasaran utama tasawuf adalah manusia dengan segala tingkah lakunya.[1]
            Dalam Islam, yang paling awal dibina adalah sikap mental dan kehidupan rohani, sebab kedua masalah itu yang membentuk lahiriyah. Untuk itu, di dalam makalah ini pemakalah akan menjabarkan tentang defenisi tasawuf, asal usul tasawuf dan maqamat dan hal.
B.     Pengertian Tasawuf
1.      Asal Usul Kata Tasawuf
Secara etimologis arti tasawuf sendiri masih diperselisihkan oleh banyak ahli baik dari kalangan ulama sufi, ulama salaf, ataupun kalangan ahli bahasa. Secara garis besar pendapat tersebut sebagai berikut.
a.         Berasal dari kata shaff  artinya barisan dalam shalat berjamaah. Alasannya seorang sufi mempunyai iman yang kuat, jiwa yang bersih dan selalu memilih yang terdepan dalam shalat berjamaah.[2]
b.         Shaufanah sejenis buah-buahan kecil berbulu yang banyak tumbuh digurun pasir Arab Saudi. Kata ini di ambil karena orang sufi banyak memakai pakaian berbulu dan hidup dalam kegersangan fisik tapi dalam kesuburan batin.[3]
c.         Shuffah artinya pelana yang dipergunakan oleh sahabat nabi yang miskin untuk bantal tidur di samping Masjid Nabawi di Madinah. Mereka mempunyai sifat yang teguh dalam pendirian, takwa, wara’, zuhud dan tekun beribadah.[4]
d.        Shafwah yang berarti sesuatu yang terpilih atau yang terbaik. Dikatakan demikian, karena seorang sufi biasa memandang diri mereka sebagai seorang pilihan atau orang yang terbaik.[5]
e.         Shafa yang berati bersih atau suci. Maksudnya kehidupan seorang sufi lebih banyak diarahkan pada penyucian batin untuk mendekatkan diri kepada Allah sebab Allah tidak bisa didekati kecuali oleh orang yang suci.[6]
f.          Berasal dari bahasa Yunani, theo artinya Tuhan dan sophos artinya hikmat yang berarti hikmat ketuhanan.[7]
g.         Shuff yang artinya wol, karena orang sufi suka memakai pakaian yang terbuat dari bulu binatang sebagai lambang kemiskinan dan kesederhanaan. Abu Nasr As-Sarraj Ath-Thusiy, tokoh fundamentalis tasawuf mengatakan kebiasaan memaakai kain wol kasar adalah kebiasaan para nabi dan orang-orang saleh sekaligus sebagai lambang kesederhanaan.[8]
2.      Defenisi Tasawuf
Pendefenisian tasawuf ternyata sulit untuk menarik satu kesimpulan  yang tepat, kesulitan tersebut berpangkal pada esensi tasawuf sebagai pengalaman rohaniah yang hampir tidak mungkin dijelaskan melalui bahasa lisan. Masing-masing orang yang mengalaminya mempunyai penghayatan yang berbeda dari orang lain sehingga pengungkapannya melalui cara yang berbeda pula. Maka muncullah defenisi tasawuf sebanyak orang yang mencoba menginformasikan pengalaman rohaniahnya.
Dari serangkaian defenisi yang ditawarkan para ahli ada satu azas yang disepakati tasawuf adalah moralitas-moralitas yang berasaskan Islam. Maksudnya bahwa prinsip tasawuf bermakna moral dan semangat islam, karena seluruh ajaran Islam dari berbagai aspeknya adalah prinsip moral.[9]
Ada juga yang berpendapat tasawuf secara umum adalah falsafah hidup dan cara tertentu dalam tingkah laku manusia dalam upayanya mereleasisasikan kesempurnaan moral, pemahaman tentang hakikat realitas dan kebahagiaan rohaniah.[10]
Berhubung sulitnya memberikan defenisi yang lengkap tentang tasawuf, seorang peneliti tasawuf bernama Abu al-Wafa’ al-Ganimi at-Taftazani tidak merumuskan satu defenisi tentang tasawuf dalam bukunya Madkhal ila at-tasawuf at-islami ( Pengantar ke tasawuf Islami). Menurutnya tasawuf mempunyai lima ciri umum, yaitu:memiliki nilai moral, pemenuhan fana (sirna) dalam realitas mutlak, pengetahuan intuitif langsung,  timbulnya rasa kebahagiaan sebagai karunia Allah dalam diri sufi karena tercapainya maqam atau tingkatan dan penggunaan simbol–simbol yang biasanya mengandung pengertian harfiah dan tersirat.[11]
Berdasarkan kajian terhadap tasawuf dari berbagai alirannya, tasawuf mempunyai lima ciri khas atau karakteristik,
a)      Tasawuf dari semua alirannya memiliki obsesi kedamaian  dan kebahagiaan spiritual yang abadi. Tasawuf digunakan sebagai pengendali berbagai kekuatan yang merusak keseimbangan daya dan getaran jiwa sehingga bebas dari pengaruh yang datang dari luar hakikat dirinya.[12]
b)      Tasawuf semacam pengetahuan langsung yang diperoleh dari tanggapan intuisi. Seorang sufi mencari hakikat kebenaran atau realitas melalui penyingkapan tabir penghalang dan dengan terbukanya tirai penghalang itu maka sufi dapat secara langsung melihat dan merasakan realitas tersebut.[13]
c)      Setiap perjalanan sufi berangkat dari dan untuk peningkatan kualitas moral yakni pemurnian jiwa melalui latihan yang keras dan berkelanjutan. [14]
d)     Peleburan diri pada kehendak Tuhan melalui fana, baik dalam pengertian simbolis atau pengertian substansial. Maksudnya peleburan diri dengan sifat-sifat Tuhan atau penyatuan diri dengan Tuhan dalam realitas yang tunggal.[15]
e)      Penggunaan kata simbolis dalam pengungkapan pengalaman. Setiap ucapan atau kata yang dipergunakan selalu mengandung makna ganda, tetapi yang ia maksudkan biasanya makna apa yang ia rasa dan alami bukan arti harfiahnya yang disebut sathahat. [16]  
C.    Asal Usul Tasawuf
Timbulnya tasawuf dalam Islam bersamaan dengan kelahiran agama Islam itu sendiri, yaitu semenjak nabi Muhammad SAW diutus menjadi rasul untuk umat. Pribadi Muhammad sebelum diangkat menjadi rasul telah berulang kali melakukan tahannuts di gua hira untuk mengasingkan diri dari masyarakat kota Mekkah yang sedang sibuk mempeturutkan keduniaan.
Kata tasawuf merupakan istilah bahasa arab lama dan jauh dari pengaruh Yunani, baik dari segi makna teks maupun konteks. Kata tasawuf sudah digunakan sebelum akhir abad II hijriah untuk sebutan Abu hasyim Al-Kufi (w.150 H). Sesungguhnya tasawuf adalah manifestasi dari gerakan Islam itu sendiri.[17]
Tasawuf dikenal secara luas di kawasan Islam penghujung abad II hijriah. Sebagai perkembangan lanjut dari kesalehan para zahid yang mengelompok diserambi Masjid Madinah yang lebih mengkhususkan diri untuk beribadah dan pengembangan kehidupan rohaniah dengan mengabaikan kenikmatan duniawi.[18]
Semenjak munculnya tasawuf falsafati serta kritikan terhadap tasawuf. Apakah memang murni dari Islam atau tidak? Di tambah lagi pendapat dari kalangan orientalis barat mengatakan bahwa sumber yang membentuk tasawuf ada dua unsur yaitu unsur Islam dan unsur di luar islam yaitu unsur masehi (agama Nasrani), Yunani, Hindu/Budha dan unsur Persia.[19]
Unsur Islam, secara umum ajaran islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah dan batiniyah. Pada unsur kehidupan natiniyah itulah kemudian lahir tasawuf. Tasawuf mendapatkan perhatian yang cukup besar dari al-Quran dan sunnah serta praktek kehidupan nabi dan para sahabatnya.
Al-Quran antara lain berbicara tentang kemungkinan manusia dengan Tuhan dapat saling mencintai  (mahabbah) pada surat al-maidah ayat 54, petunjuk bahwa manusia senantiasa bertemu dengan Tuhan dimanapun mereka berada didalam surat al-baqarah ayat 110,senantiasa bersikap sabar dalam menjalani pendekatan diri kepada Allah SWT lihat surat Ali Imran ayat 3 dan ayat-ayat lainnya.
Unsur luar Islam, mereka yang mengatakan tasawuf sama dengan unsur Masehi (agama Nasrani), unsur Yunani, unsur Hindu/Budha dan Unsur Persia mendasarkan pendapatnya karena adanya kesamaan tipologi. Alasan lain yang dikemukakan adalah tokoh-tokoh sufi kebanyakan dari Persiayang asalnya beragama Majusia tau bangsa lain yang tadinya beragama Kristen. Pendapat ini juga lemah karena cikal bakal tasawuf lahir di jazirah Arab dan dari bangsa arab itu sendiri.[20]
Dasar-dasar tasawuf sudah ada sejak datangnya agama Islam, hal ini dapat diketahui dari kehidupan Nabi Muhammad yang kemudian diteladani oleh para sahabat. Seperti konsep al-hubb dan ma’rifat ajaran pokok tasawuf, mereka dasarkan pada Alquran surat al-Maidah ayat 54 (... maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai Ku...) dan konsep ma’rifat yang dicapai melalui taqwa, akhlakul karimah dan melalui ilham mereka dasarkan kepada firman allah dalam surat al-Kahfi ayat 65 (  lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang kami berikan kepadanya rahmat dari sisi kami dan yang kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi kami ) dan lainnya.
D.    Maqamat dan Hal
Orang-orang sufi mempunyai jalan rohani yang menjadi tempat mereka berjalan. Thariqah (jalan) ini berdasarkan pada asas dan petunjuk serta berpatokan pada Alquran dan sunnah nabi. Para sufi menjelaskan dalam menempuh jalan menuju Allah SWT mereka mengandalkan Alquran. Jalan ini telah dilakukan oleh orang-orang sufi, prinsip jalan sufi ini dinamakan al-maqamat wal ahwal (kedudukan dan keadaan). 
1.    Maqamat
Maqamat berasal dari bahasa arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia.[21]Istilah ini digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditempuh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah.[22]Maqamat juga berarti tahapan atau tingkatan  (jalan) yang harus ditempuh oleh seorang calon sufi yaitu terdiri dari zuhud, taubat, wara’, faqr, sabar, tawakal dan ridha.
Tentang berapa jumlah maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai menuju Allah, dikalangan para sufi tidak sama pendapatnya. Namun ada maqamat yang disepakati oleh para sufi yaitu al-taubat, al-zuhud, al-wara’, al-faqr, al-sabr, al-tawakal dan al-ridha.[23]
a.  Zuhud
Secara harfiah zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu  yang bersifat keduniaan.[24]Sedangkan menurut Harun Nasution, keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian.[25]
Zuhud termasuk salah satu ajaran agama yang sangat penting dalam rangka mengendalikan diri dari pengaruh kehidupan dunia. Orang zuhud lebih mengutamakan kebahagiaan hidup diakhirat yang kekal dan abadi dari pada mengejar kehidupan dumia yang fana. Hal ini dapat dipahami dari ayat berikut: Surat al-An’am ayat 32
$tBur äo4quysø9$# !$uŠ÷R$!$# žwÎ) Ò=Ïès9 ×qôgs9ur ( â#¤$#s9ur äotÅzFy$# ׎öyz tûïÏ%©#Ïj9 tbqà)­Gtƒ 3 Ÿxsùr& tbqè=É)÷ès? ÇÌËÈ
 Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka Tidakkah kamu memahaminya?

Ayat diatas memberi petunjuk bahwa kehidupan didunia tidak sebanding dengan kehidupan akhirat yang kekal abadi sungguh tidak sebanding. Orang yang memiliki pandangan demikian tidak akan mau mengorbankan kebahagiaan hidup diakhirat hanya untuk mengejar kehidupan duniawi.
Sikap ini pertama kali muncul ketika terjadi kesenjangan antara kaum yang hidup sederhana dengan para raja yang hidup mewah. Muawiyah misalnya terkenal dengan kehidupan yang mewah,  anaknya yang bernama Yazid dikenal sebagai pemabuk begitu juga dengan khalifah-khalifah bani Abbas. Al-Amin anak Harun al-Rasyid juga dikenal sebagai orang yang kepribadiannya jauh dari kesuciaan. Sementara itu, sumber lain menyebutkan bahwa sebelum timbulnya hidup mewah dizaman  Muawiyah dan Abbasiyah, telah terjadi sikap perlombaan dan persaingan yang tidak sehat di zaman Usman dan Ali. Dalam keadaan ini ada sahabat yang tidak mau melibatkan diri lalu mereka mengasingkan diri dari persaingan tersebut.[26]
Berkenaan hal yang demikian muncullah para zahid Kuffah yang pertama kali memakai pakaian kasar sebagai reaksi kepada golongan Muawiyah yang memakai sutera. Mereka seperti Sufyan al-Tsauri (w.135 H), Abu Hasyin (w.150 H), Hasan Basri (w. 110H) dan Rabia’ah al-Adawiyah.
b.  Taubat
Taubat berasal dari bahasa arab  taba, yatubu, taubatan artinya kembali. Sedangkan taubat yang dimaksud kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan disertai janji tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi dan juga disertai dengan melakukan amal kebaikan. Untuk mencapai taubat yang sesungguhnya tidak dapat dicapai dalam satu kali saja. Ada kisah yang mengatakan bahwa seorang sufi sampai tujuh puluh kali taubat, baru ia mencapai taubat yang sesungguhnya.[27]
Dalam buku Kunci Memahami Ilmu Tasawuf oleh Mustafa Zahri menyebutkan taubat berbarengan dengan istighfar (memohon ampun) bagi orang awam cukup membacanya 70 kali sehari semalam. Sedangkan  orang khawas bertaubat dengan mengadakan riyadah (latihan) dan mujahadah (perjuangan) dalam usaha membuka hijab yang membatasi diri dengan Tuhan.[28]
Didalam al-Quran juga terdapat ayat yang menganjurkan bertaubat , salah satunya surat Ali Imran ayat 135
šúïÏ%©!$#ur #sŒÎ) (#qè=yèsù ºpt±Ås»sù ÷rr& (#þqßJn=sß öNæh|¡àÿRr& (#rãx.sŒ ©!$# (#rãxÿøótGó$$sù öNÎgÎ/qçRäÏ9 `tBur ãÏÿøótƒ šUqçR%!$# žwÎ) ª!$# öNs9ur (#rŽÅÇム4n?tã $tB (#qè=yèsù öNèdur šcqßJn=ôètƒ ÇÊÌÎÈ
Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri[229], mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka Mengetahui.

c.  Wara’
Secara harfiah wara’ berarti saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa.[29]Dalam pengertian sufi, wara’ adalah meninggalkan segala yang ada didalamnya terdapat keraguan antara halal dan haram (syubhat). Firman Allah surat Al-Mu’minun 51,
$pkšr'¯»tƒ ã@ߍ9$# (#qè=ä. z`ÏB ÏM»t6Íh©Ü9$# (#qè=uHùå$#ur $·sÎ=»|¹ ( ÎoTÎ) $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×LìÎ=tæ ÇÎÊÈ
Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
                        Kaum sufi menyadari bahwa setiap makanan, minuman, pakaian dan sebagainya yang haram dapat memberi pengaruh bagi orang yang memakan, meminum makanan tersebut. Orang yang demikian akan keras hatinya, sulit mendapatkan hidayah dan ilham dari tuhan.
d. Kefakiran
Secara harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang membutuhkan atau orang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita.tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban. 
e.  Sabar
Secara harfiah sabar berarti tabah hati. Di kalangan para sufi sabar diartikan sabar dalam menjalankan perintah-perintah Allah, dalam menjauhi segala larangan dan dalam menerima segala cobaan yang ditimpakan kepadanya dan juga sabar menunggu datangnya pertolongan Tuhan.[30]Sikap sabar sangat dianjurkan dalam al-Quran. Allah berfirman, dalam surat al-Ahqaf ayat 35
÷ŽÉ9ô¹$$sù $yJx. uŽy9|¹ (#qä9'ré& ÏQ÷yèø9$# z`ÏB È@ߍ9$# Ÿwur @Éf÷ètGó¡n@ öNçl°; 4 öNåk¨Xr(x. tPöqtƒ tb÷rttƒ $tB šcrßtãqムóOs9 (#þqèVt7ù=tƒ žwÎ) Zptã$y `ÏiB ¤$pk¨X 4 Ô÷»n=t/ 4 ö@ygsù à7n=ôgムžwÎ) ãPöqs)ø9$# tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÌÎÈ
Maka Bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul Telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka. pada hari mereka melihat azab yang diancamkan kepada mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (Inilah) suatu pelajaran yang cukup, Maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik.
Menurut Ali bin Abi Thalib bahwa sabar itu adalah bagian dari iman sebagaiman kepala yang kedudukannya lebih tinggi dari jasad.[31]hal ini menunjukkan bahwa sabar sangat memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.
Seseorang yang sabar adalah orang yang dapat menahan kemarahannya dengan kesadarannya, sebab disaat itu dia bisa marah akan tetapi ia lebih memilih sabar, lebih memilih mempergunakan akal sehinnga dapat menahan kemarahan. Sabar merupakan media dalam mengobati penyakit kejiwaan. Sabar merupakan proses pengosongan jiwa dari sifat permusuhan dan orang yang sabar akan memperoleh ketenangan jiwa. Adapun puncak dari kesabaran adalah sifat tawakal.[32] 
f.   Tawakal
Tawakal berarti menyerahkan diri. Menurut Harun Nasution tawakal adalah menyerahkan diri kepada qada dan keputusan Allah.
Bertawakal termasuk perbuatan yang diperintahkan oleh Allah.dalam firmanNya surat al-Maidah ayat 11
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#rãä.øŒ$# |MyJ÷èÏR «!$# öNà6øn=tæ øŒÎ) §Nyd îPöqs% br& (#þqäÜÝ¡ö6tƒ öNä3øŠs9Î) óOßgtƒÏ÷ƒr& £#s3sù óOßgtƒÏ÷ƒr& öNà6Ztã ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 n?tãur «!$# È@©.uqtGuŠù=sù šcqãYÏB÷sßJø9$# ÇÊÊÈ
  Hai orang-orang yang beriman, ingatlah kamu akan nikmat Allah (yang diberikan-Nya) kepadamu, di waktu suatu kaum bermaksud hendak menggerakkan tangannya kepadamu (untuk berbuat jahat), Maka Allah menahan tangan mereka dari kamu. dan bertakwalah kepada Allah, dan Hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu harus bertawakkal.

g.  Kerelaan
Rela artinya redha, suka dan senang. Manusia bisanya merasa sukar menerima keadaan yang biasa menimpa dirinya seperti kemiskinan, kerugian, kehilangan barang, pangkat, kedudukan dan kematian dan kekurangan yang lainnya. Orang yang dapat bertahan dari berbagai cobaan itu hanyakah orang-orang yang memiliki sifat ridha. Selain itu juga rela berjuang dijlan Allah, rela menghadapi segala kesukaran, membela kebenaran dan lainnya.
2.    Hal
Menurut Harun nasution, hal merupakan keadaan mental seperti perasaan senang, sedih, takut dan lainnya. Yang biasa disebut hal adalah takut (al-Khauf), rendah hati (al-Tawadhu’), patuh (al-Taqwa), ikhlas (al-Ikhlas), rasa berteman (al-Uns), gembira hati (al-Wajd) dan berterima kasih (al-Syukur).
Hal berlainan dengan maqam, bukan diperoleh atas usaha manusia, tapi didapatkan sebagai anugrah dan rahmat dari Tuhan serta hal bersifat sementara datang dan pergi, datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya mendekati  Tuhan.[33]
Selain melaksanakan usaha diatas seorang sufi juga harus melakukan kegiatan mental yang berat. Kegiatan mental tersebut seperti riyadah, mujahadah, khalwat, uzlah, muqarabah dan suluk. Riyadah berarti latihan mental dengan melaksanakan zikir dan tafakkur sebanyaknya dan melatih diri dengan berbagai sifat yang terdapat dalam maqam.
Mujahadah berarti berusaha sungguh-sungguh dalam melaksanakan perintah Allah, Khalwat berarti menyepi atau bersemedi dan uzlah bereti mengasingkan diri dari pengaruh keduniaan. Dan Muqarabah berarti mendekatkan diri kepada Allah dan suluk berarti menjalankan cara hidup sebagai sufi dengan zikir.[34]


DAFTAR PUSTAKA
Abduk ,Abdurrahman  Khaliq dan Ihsan Illahi Zhahir, Pemikiran Sufisme Di bawah Bayang-Bayang  Fatamorgana, Jakarta:  Amzah, 2001
           
an- Najar ,  Amir , Ilmu Jiwa dalam Tasawuf, Jakarta: pustaka Azzam,2001

Nasution ,Harun , Falsfah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1983

Nata , Abuddin ,  Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006

Siregar ,Rivay , Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002

Su’ud , Abu , Islamologi Sejarah, Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat manusia, Jakarta: PT. Asdi mahayatsa, 2003
           
Wafa’ , Abul  al-Taftazani, Madkhal Ila tasawuf al-Islami, Kairo:Dar al-Saqafah li al-Tiba’ahwa al-Nasyr, 1979

Yunus , Mahmud , Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990

Zaki , M  Ibrahim, Tasawuf Hitam Putih, Solo: Tiga Serangkai, 2006

Zuhri , Mustafa , Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya: Bina Ilmu,1995




[1]Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), Ed.2, Cet. 2, hlm. xi
[2] Abdurrahman Abduk Khaliq dan Ihsan Illahi Zhahir, Pemikiran Sufisme Di bawah Bayang-Bayang  Fatamorgana, (Jakarta:  Amzah, 2001), Cet. II, hlmn. 11
[3] Ibid, hlm. 12
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Ibid, hlm. 13
[8]Ibid
[9]  Rivay Siregar, Op. Cit, hlm. 33
[10] Abul Wafa’ al-Taftazani, Madkhal Ila tasawuf al-Islami, (Kairo:Dar al-Saqafah li al-Tiba’ahwa al-Nasyr, 1979), h.3
[11] Abu Su’ud, Islamologi Sejarah, Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat manusia, (Jakarta: PT. Asdi mahayatsa, 2003), Cet. I, h.184
[12] Rivay Siregar, Op. Cit, hlm. 35
[13]  Ibid
[14]  Ibid
[15] Ibid
                [16] Ibid
[17] M Zaki Ibrahim, Tasawuf Hitam Putih, (Solo: Tiga Serangkai, 2006), hlm.10
[18] Rivay Siregar, Op.Cit, hlm. 36
[19] Ibid, hlm.47
[20] Ibid
[21] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), hlm. 362
[22] Harun Nasution, Falsfah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), cet. III, hlm. 62
[23] Abuddin Nata,  Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm.194
[24] Mahmud Yunus, hlm. 158
[25] Harun Nasution, op.cit., hlm. 64
[26]  Abuddin Nata, Op.Cit., 197
[27]  Ibid, hlm. 198
[28] Mustafa Zuhri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu,1995), hlm. 105
[29] Mahmud Yunus,  h. 497
[30] Abuddin Nata, Op.Cit., hlm. 201
[31] Ibid
[32] Amir an- Najar, Ilmu Jiwa dalam Tasawuf, (Jakarta: pustaka Azzam,2001), hlm. 243
[33] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta:Bulan bintang, 1983), cet.III, h.63
[34]  Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar